Masa kecil dan masa remaja Sang Pastor

JEAN Baptist Marie Vianney, yang kemudian menjadi sangat dikenal dengan sebutan ‘Sang Pastor dari Ars’,  lahir di Dardilly, tak jauh dari Lyon, di Perancis Selatan, pada tanggal 8 Mei  1786. Ia lahir sebagai anak keempat dari pasangan Mathieu Vianney dan Marie Beluse, sebuah keluarga pedesaan yang bersahaja. Keluarga ini memiliki beberapa bidang tanah yang menyatu dengan tempat tinggal mereka yang sederhana.

Jean (dalam bahasa Indonesia: Yohanes) kecil sangat terinspirasi oleh kepedulian kedua orangtuanya kepada para miskin papa, sekalipun secara materi mereka sendiri bukan keluarga kaya. Rumah mereka selalu terbuka untuk orang miskin yang membutuhkan makanan dan pertolongan lainnya.  Ketika Jean masih bayi, kata pertama yang keluar dari bibirnya adalah “Yesus” dan “Maria”. Gerakan tangan pertamanya adalah gerakan membuat tanda salib, yang diajarkan sang ibu kepadanya. Sejak usia 4-5 tahun, ia sudah mempunyai kesukaan untuk menyendiri, yang menurut sebuah sumber, dilakukannya untuk berbicang-bincang dengan malaikat pelindungnya. Sebagai remaja, Jean membantu orangtuanya bertani dan memelihara ternak.  Jean remaja juga gemar melayani dengan penuh simpati orang-orang miskin yang berdatangan ke rumah orangtuanya. Ia pergi menjumpai  orang-orang sederhana di jalan dan membawa pulang baju mereka yang sobek, agar dapat dijahit dan diperbaiki oleh ibunya di rumah.

Ketika Revolusi Perancis merebak, gereja-gereja ditutup dan banyak pastor yang diusir. Saat itu, Jean remaja yang telah semakin dewasa dan sudah semakin matang dalam iman dan cintanya kepada Kristus, merasa prihatin atas keadaan itu dan berinisiatif mengumpulkan anak-anak di desanya. Ia mengajar mereka tentang Kitab Suci dengan cara yang sederhana namun serius. Kesehariannya dipenuhi kegiatan bekerja dengan tekun dan rajin serta banyak berdoa, sehingga pekerjaannya sendiri adalah sebenarnya suatu doa yang terus menerus. Sengsara Kristus dan mukjizat-mukjizat-Nya adalah sumber meditasi jiwa yang tak pernah kering baginya. Di akhir hari, bersama ibu dan kakaknya, Catherine, ia merenungkan Kitab Suci dan kisah para Kudus.

Perlahan namun pasti, tumbuh kerinduan di hati Jean untuk menjadi seorang pastor. Namun sampai usia tujuh belas tahun ia belum berkesempatan memulai studi untuk menjadi imam. Apalagi ayahnya menyatakan bahwa ia tak mempunyai cukup uang untuk membiayai pendidikan Jean.

Syukurlah pada tahun 1805, muncul harapan baru bagi Jean. Gereja-gereja mulai dibuka kembali, sebagai hasil keputusan pemerintah pada saat itu. Pastor Bailey, seorang misionaris gigih pada masa itu, ditunjuk menjadi pastor paroki di Ecully, sebuah desa tetangga Dardilly. Pekerjaan awal pastor Bailey di antaranya adalah membuka sebuah seminari untuk mendidik orang-orang muda calon imam. Berbekal restu sang ayah, Jean, yang saat itu sudah berusia 19 tahun, menghadap pastor Bailey, yang sudah lama mendengar tentang kesalehan Jean remaja. Ia segera menerima Jean menjadi salah satu murid di seminarinya.

Di seminari, Jean belajar bersama para pemuda lain yang jauh lebih muda darinya. Kebanyakan pemuda seusianya telah menyelesaikan taraf pendidikan yang sedang dimulainya itu. Jean menempuh studinya dengan segenap kesukaran, ia lambat belajar dan apa yang dipelajarinya hanya bertahan sebentar dalam pemahamannya. Keadaan merasa tertinggal dengan remaja sebayanya memperberat kesulitannya. Pelajaran bahasa Latin adalah pelajaran yang paling sukar baginya.

Dalam kesulitannya, Jean mencari pertolongan doa Bunda Maria Perawan Terberkati dan Santo Francis Regis dari Vivarais, sosok orang kudus yang menjadi devosi Jean sejak masa kanak-kanak. Ia berziarah ke makam St. Francis di Louvesc untuk memohon pertolongan doanya. Imannya membuahkan hasil yang nyata di mana pelan-pelan ia bisa mengatasi kesukarannya dalam belajar. Kelak ketika Jean telah menjadi imam di Ars, ia sering mengingat dengan penuh syukur pertolongan St. Francis itu. Ia membawa arca St. Francis ke parokinya dan menganjurkan devosi kepadanya.

Ketika perjalanan studinya mulai lancar, muncul tantangan baru. Raja Napoleon I membutuhkan pasukan tambahan untuk menguasai Spanyol. Wajib militer segera diberlakukan bagi semua pemuda, termasuk Jean. Kesedihan mendalam karena harus meninggalkan bangku sekolah seminari membuat Jean jatuh sakit. Ia harus dirawat di rumah sakit di Lyons, dan kemudian dipindahkan ke Roanne. Sementara itu pasukan tentara yang baru sudah mulai berangkat menuju Pyrenees. Keadaan itu membuat Jean akhirnya dapat kembali ke desanya tanpa pernah sempat menjalani wajib militernya.

Pada tahun 1812, setelah peninjauan seksama terhadap hasil belajarnya, Jean diijinkan mengikuti studi filosofi di Verrieres. Ia yang telah berumur 27 tahun saat itu, belajar bersama dua ratus pelajar lainnya, yang semuanya lebih muda darinya. Kesukaran lain menantinya. Setelah beberapa minggu, Jean didiskualifikasi untuk mengikuti studi filosofi dalam bahasa Latin, dan bersama enam pelajar lain ia harus mengikuti pelajaran itu dalam bahasanya sendiri yaitu bahasa Perancis.

Karena  keadaannya itu, Jean sering diolok-olok oleh sesama pelajar, namun ia tak pernah sekalipun terpancing untuk marah. Segala hinaan itu justru memperkuat hidup doa dan devosinya.  Tapi masih ada cobaan lain lagi menantinya. Sebelum diijinkan masuk seminari tinggi di Lyons untuk mempersiapkan tahbisan imamatnya, ia harus menjalani ujian mata pelajaran filosofi di hadapan uskup agung dan stafnya. Ketika pertanyaan diajukan padanya dalam bahasa Latin, tiba-tiba seluruh ingatannya terhadap apa yang sudah dipelajarinya lenyap. Dalam keadaan seperti itu tak satu pertanyaanpun yang dapat dijawabnya, karena merasa sangat grogi di hadapan para figur penting di hadapannya.  Di antara semua kandidat, Jean satu-satunya peserta studi yang dinyatakan gagal untuk melanjutkan ke jenjang seminari tinggi. Tak terbayangkan betapa berat pukulan ini bagi Jean. Seluruh kerja keras dan upayanya selama delapan tahun ternyata membuahkan kegagalan.

Dalam situasi yang sungguh sulit itu, iman Jean Vianney kepada Tuhan tetap tak tergoyahkan, dan oleh karenanya Tuhan membuka jalan baginya melalui pastor yang telah menerimanya dulu, Pastor Bailey. Berbekal pengetahuannya yang sangat baik terhadap kualitas karakter Jean, Romo Bailey memohon otoritas seminari untuk menguji Jean Vianney secara prbadi keesokan harinya. Ujian kali ini dilangsungkan di hadapan vikaris jendral dari keuskupan agung dan para wakil dari seminari teologis. Ternyata Jean berhasil lulus dengan amat memuaskan sehingga ia diperkenankan memasuki seminari tinggi untuk studi teologi di tahun 1814.

Kehidupan Jean di seminari lebih mendalam pada aspek kesalehannya daripada aspek akademis. Bagaimanapun, melihat kesungguhan dan kemuliaan hatinya, pemimpin seminari memberinya rekan sekamar yang pandai dan rela membantunya belajar. Dengan berbagai bantuan itu, akhirnya Jean berhasil sampai di akhir masa studinya dan bersiap menerima tahbisan imamat. Tahun 1814 itu terjadi kebutuhan yang besar dan mendesak akan para imam. Atas dasar  itu, Jean dan kawan-kawan direncanakan menerima tahbisan prodiakon menjelang Juli. Namun para pemimpin seminari merasa ragu. Bagaimana seorang dengan kualifikasi yang sangat tidak memadai bisa diijinkan menerima tahbisan? Akhirnya vikaris jendral bertanya kepada otoritas seminari, “Apakah Vianney muda seorang yang saleh? Apakah ia berdevosi kepada Bunda Maria Yang Terberkati?” Untuk hal-hal tersebut, para otoritas merasa sepenuhnya yakin kepada Jean Vianney. “Kalau begitu”, kata vikaris jendral itu, “saya menerima dia. Biarlah rahmat Allah yang akan menyempurnakan segalanya”. Pada tanggal 2 Juli 1814, Vianney menerima tahbisan prodiakon dan sekitar dua belas bulan kemudian tahbisan diakon. Bulan Agustus 1815, Jean Vianney ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Grenoble, yang mewakili uskup agung Lyons yang saat itu sedang berada di Roma. Pastor Jean Vianney berusia 29 tahun saat itu. Dan Tuhan mempunyai rencana yang agung atas hidupnya, yang kelak akan menjadi teladan bagi hidup panggilan para imam di seluruh dunia.

Pastor Vianney dalam kerendahan hatinya, selalu menyadari ketidaksempurnaannya. Ia pernah menyatakan dua prinsip yang sebaiknya menjadi  panduan seorang imam: (1) jangan pernah beranggapan bahwa tidak ada hasil berarti yang telah dicapai di paroki, betapapun nampaknya segala upaya yang telah dijalankan bertahun-tahun belum menunjukkan hasil yang diharapkan, dan (2) para imam jangan pernah beranggapan bahwa mereka telah melakukan usaha yang cukup, betapapun berartinya hasil yang telah berhasil mereka capai.

Untuk menyempurnakan pelayanannya, Pastor Vianney melanjutkan mempelajari moral teologi dari Pastor Bailey yang saleh dan berpengalaman. Pastor Bailey lalu menunjuknya menjadi pastor paroki. Pastor Jean mempraktekkan hidup pastoralnya dengan penuh kesalehan dan mati raga. Bersama Pastor Bailey, ia berdoa brevir berdua dan sepanjang hari berada dalam persekutuan penuh cinta kepada Tuhan. Berjam-jam mereka berdoa adorasi di depan Tabernakel. Sehari-hari, Romo Vianney hanya makan sedikit sekali, dan semua penghasilannya yang amat minim diberikannya seluruhnya untuk orang miskin. Baju-baju yang diberikan khusus untuknya, juga diberikannya kepada orang miskin. Praktis ia tidak memiliki apapun kecuali pakaian yang menempel di badannya. Berdua mereka mengunjungi umat yang miskin tiap-tiap harinya, menghibur dan menolong mereka sejauh yang mereka bisa. Dalam waktu tak lama, Pastor Bailey segera menyadari bahwa ia telah bekerja bersama seorang santo.

Pada bulan Desember 1817, Pastor Bailey wafat. Umat mengharapkan Pastor Vianney menggantikannya, tetapi ternyata Tuhan mempunyai rencana lain. Sebelum penetapan terjadi, pastor paroki yang baru saja ditempatkan di Ars juga wafat. Vikaris jendral lantas mengirimkan Pastor Vianney ke paroki kecil itu sambil berpesan, “Sahabatku, engkau akan bertugas di sebuah paroki kecil di mana sangat sedikit kasih Tuhan bisa dirasakan di sana. Engkau akan membangkitkan lagi api kasih Allah di sana!”

Dengan berkata sedemikian, Sang Vikjen sama sekali tidak menyangka bahwa dalam beberapa dekade, desa kecil Ars akan berkembang begitu rupa bagaikan sebuah jantung yang berdenyut penuh cinta kasih Allah, menyebarkan kehangatannya ke seluruh negeri.

Pastor yang baik

Ketika Pastor Jean Baptist Vianney memasuki paroki Ars untuk pertama kalinya di Februari petang yang dingin di tahun 1818, ia juga segera merasakan  dinginnya semangat spiritual umat Kristiani di sana. Tak seorangpun menyambut kedatangannya. Misa harian hanya dihadiri dua atau tiga wanita tua. Kaum pria tidak hadir dalam Misa hari Minggu, apalagi doa harian (Vespers), walau pada saat yang sama, cafe-cafe di desa itu selalu penuh pengunjung.

Pastor Jean melakukan semua upaya yang ia bisa untuk membangkitkan nyala api iman yang redup dan nyaris mati di Ars. Karena umat tidak datang kepadanya, dialah yang berinisiatif datang berkunjung ke rumah mereka. Ia tidak puas hanya dengan satu kali kunjungan formal, namun ia mengunjungi umatnya secara berkala, sesuai dengan berbagai kebutuhan spiritual yang ia lihat pada diri mereka. Ia biasa berkunjung saat sebuah keluarga tengah makan siang bersama. Ia akan masuk ke ruang keluarga sambil mengobrol dengan sikap ramah dan bersahabat. Sekalipun selalu diundang untuk ikut menikmati hidangan, Pastor Jean tidak pernah menikmati sedikitpun makanan, bahkan juga tidak segelas air. Ia berbicara tentang keseharian mereka, kepedulian, dan kekhawatiran mereka, harapan dan kekecewaan mereka.

Umat segera menyadari bahwa Pastor Jean adalah bagian dari diri mereka, mereka lantas mulai menceritakan uneg-uneg dan rahasia hati mereka kepadanya, meminta nasehatnya untuk masalah-masalah mereka. Dan kapanpun kesempatan itu datang, dengan ketrampilan alamiah untuk memberi masukan, Romo Vianney mengarahkan percakapan kepada tema-tema penyelenggaraan ilahi. Namun ia selalu menyampaikan semua itu dengan sikap menyenangkan, tidak pernah memaksa, selalu sabar, dan tidak menghakimi, walaupun mungkin ia tahu dan bisa menilai kekeliruan yang telah dilakukan umatnya. Semua sikap itu adalah cermin dari keluhuran hatinya, yang segera memenangkan hati banyak orang, yang kini berbalik menanti-natikan kunjungannya, dan merasa terhormat bila ia datang bertamu.

Kita tentu masih ingat kelemahan Pastor Vianney berhubungan dengan memorinya, yang telah sempat mempersulit perjalanan studinya hingga nyaris membuahkan kegagalan. Kelemahan ini juga mempersulitnya saat ia sedang menyiapkan kotbah. Banyak malam ia tidak tidur dengan cukup, demi mempersiapkan homili yang baik bagi umatnya. Namun, berkat pertolongan Yang Ilahi, kelemahan itu tidak menjadi penghalang baginya. Sehingga walau ia tidak dikaruniai bakat alam untuk berpidato di depan banyak orang, ia bisa berbicara dengan lancar, serius dan meyakinkan. Bertahun-tahun sesudah Ars menjadi pusat peziarahan umat dari seluruh Perancis, kadang mencapai 20.000 orang per tahunnya, Pastor Jean senantiasa mampu memberikan kotbah harian dari altar tanpa suatu persiapan khusus dan tanpa menimbulkan peristiwa yang memalukan sebagaimana yang ia alami di awal karirnya sebagai imam.

Dengan bantuan umat parokinya, yang hari demi hari semakin terkesan dengan kesalehan yang teguh dari pastor mereka, Jean berhasil membangun dua kapel baru yang melengkapi bangunan gereja utama. Salah satu kapel itu didedikasikan kepada St. Filomena, seorang remaja putri yang menjadi martir, yang relikwinya disimpan di Roma di awal abad kesembilan belas. Kapel lainnya dipersembahkan kepada St. Yohanes Pembaptis, dan di dalamnya terletak ruang pengakuan dosa yang digawangi Pastor Jean,  yang dikenal dengan sebutan “Bangku Belas Kasihan”, dari Yang Kuasa, di mana ribuan jiwa mengalami rekonsiliasi kembali dengan Sang Penciptanya, karena pelayanan dan nasehat yang penuh kuasa dan cinta ilahi dari Pastor Jean Vianney.

Ketika seorang rekan imam berkeluh kesah padanya sambil mengatakan bahwa ia tidak merasa berhasil dalam pelayanan di parokinya, walau ia merasa telah melakukan segala cara untuk membangkitkan umat di parokinya, Romo Vianney bertanya padanya, “Sungguhkah engkau sudah melakukan segala yang mungkin dengan seluruh kekuatanmu?  Apakah engkau berpuasa dan beramal? Apakah engkau berdoa?”

Kemurahan hati Pastor Vianney nyaris tak terbatas. Makanan, pakaian, dan pasokan kebutuhan sehari-hari lainnya yang diberikan dengan murah hati oleh bangsawan Ars untuknya, segera berpindah tangan ke orang-orang miskin. Ia hanya menyimpan sangat sedikit untuk dirinya, sekedar cukup supaya ia tidak kelaparan. Bahkan yang sudah sedikit itu pun sering ia berikan juga, jika ada orang miskin yang datang untuk meminta makanan. Suatu hari Mr. Mandy, tokoh masyarakat Ars, menemukan Pastor Jean dalam keadaan pucat pasi dan sangat kelelahan. Dengan penuh kecemasan ia bertanya, Apakah Anda sakit, Pater?”. Ia menyahut, “Oh temanku yang baik, engkau datang pada waktunya, aku tak punya apapun lagi untuk dimakan.” Selama tiga hari Romo Vianney tak mempunyai persediaan apapun sejak kentang terakhir yang ada padanya diberikannya kepada orang lapar. Sehari-hari ia hanya makan sekali sehari, dan umumnya hanya terdiri atas kentang rebus, yang dibuatnya cukup hingga akhir minggu, hingga menjelang Jumat atau Sabtu sudah mulai berjamur. Namun ketika sanak saudara atau kerabatnya datang, ia rela bersusah payah menyediakan hidangan sederhana untuk mereka. Pastor Jean selalu berusaha agar hidup mati raga dan penyangkalan dirinya itu tidak diketahui oleh publik.

Suatu hari seorang pengemis dijumpainya di jalan, pengemis itu tak beralas kaki sehingga kakinya luka-luka. Pastor Jean segera menyerahkan sepatu dan kaus kakinya sendiri kepada pengemis itu, kemudian ia pulang ke rumah dengan kaki telanjang.

Ia mempersembahkan mati raganya untuk kesejahteraan umatnya, dan meningkatkan kebiasaannya itu menjelang Paskah, dan kapanpun itu jika dapat menyentuh hati para pendosa yang keras. Ia biasa bangun jam dua pagi untuk berdoa Brevier. Pukul empat pagi ia masuk ke gereja untuk beradorasi di hadapan Tabernakel dan kemudian memimpin Misa pagi. Setelah itu, ia memberi pengarahan pada kelas katekis dan mendengarkan pengakuan dosa umatnya. Begitulah rutinitas yang dijalaninya dengan setia tiap hari sehingga ia selalu ada di gereja sampai tengah hari. Selanjutnya sepanjang sore ia mengunjungi orang yang sakit dan menghabiskan sisa waktunya di gereja, di mana ia, melengkapi pelayanan pengajaran imannya kepada umat, memimpin penyembahan sore bersama umat.

Perkembangan spiritual yang pesat yang terjadi pada paroki di Ars lama kelamaan didengar oleh seluruh negeri. Imam-imam dari paroki lain memohon bantuannya memberi kotbah dan memberikan Sakramen Pengakuan Dosa. Pastor Vianney tidak pernah menolak permohonan bantuan ini, sehingga dalam dua tahun, ia menjadi rasul Kristus yang sangat dikenal di lingkungan katedral. Begitu suksesnya pekerjaan spiritualnya sehingga orang tidak lagi menunggu dia datang lagi mengunjungi paroki mereka, tetapi mereka sendiri yang datang langsung ke Ars. Segera jalan-jalan desa Ars dipenuhi para pejalan kaki dan kendaraan yang membawa sejumlah besar pengunjung, dan peziarahan itu terus meningkat seiring mulai tersiarnya berbagai kabar mengenai mukjizat-mukjizat yang terjadi di Ars.

“Rumah Penyelenggaraan Ilahi” dan berbagai cobaan

Di tahun 1825, tujuh tahun setelah Pastor Vianney ditunjuk menjadi pastor paroki Ars, ia berkesempatan mewujudkan cita-citanya sejak lama. Seorang donatur menyumbangkan sejumlah besar uang, yang segera dipakainya untuk membeli sebuah rumah yang kemudian dikenal dengan nama “House of Providence”  (Rumah Penyelenggaraan Ilahi). Di rumah itu, dikumpulkannya semua orang miskin yang terabaikan, yang tak punya rumah, dan anak-anak yatim piatu di Ars. Mereka dirawat dan dicukupi segala kebutuhan fisik dan spiritualnya dalam satu atap.  Dua wanita dari umat paroki ditunjuknya menjadi kepala pengelola rumah itu. Pastor Vianney juga terjun sendiri untuk memberikan katekisasi kepada mereka. Umat paroki di Ars lambat laun terlibat pula dalam mendukung kegiatan pengajaran tersebut.

Rumah ini dikelola Pastor Vianney selama dua puluh lima tahun. Kebutuhan finansial rumah dicukupi oleh dana yang disumbangkan para donatur kepadanya, dan sering terjadi bahwa sumbangan dana tiba secara tak terduga, tepat pada saat rumah itu sedang membutuhkan dana yang mendesak. Pada suatu hari tak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat roti dan tak ada lagi cukup uang untuk membeli roti. Semua orang yang didatangi Pastor Vianney menyatakan tak sanggup membantu. Belum pernah Pastor Jean merasa benar-benar ditinggalkan seperti saat itu. Kemudian ia teringat akan St. Francis Regis dan memutuskan untuk mencari pertolongan dari Surga. Ia membawa relikwi santo Francis ke ruang penyimpanan makanan, lalu menutupinya dengan remah-remah tepung gandum yang tersisa. Keesokan harinya para pengelola rumah itu mengingatkan dia bahwa tak ada lagi tersisa makanan untuk dimakan. Pastor Vianney menangis dan mengatakan bahwa mereka mungkin harus membiarkan anak-anak yang miskin itu pergi. Bagaimanapun, ia memutuskan pergi ke ruang penyimpanan bersama seorang anak buahnya dan dengan kecemasan yang besar membuka pintunya, dan saat itu dilihatnya ruang penyimpanan yang tadinya kosong itu ternyata telah penuh dengan gandum.

Dalam peristiwa semacam itu kekudusan Pastor Vianney menampakkan dirinya. Bukannya menyambut mukjizat publik dengan kegembiraan, ia justru merasa kebalikannya, merasa sangat malu, karena ia telah merasa nyaris putus asa pada awalnya. Ia segera mengatakan kepada anak-anak, “Lihatlah anak-anak terkasih, saya telah sempat tidak mempercayai Tuhan yang begitu baik. Saya telah hampir meminta kalian semua pergi, dan untuk semua ini Dia telah menghukum saya.”

Berita mukjizat penambahan persediaan makanan itu segera tersebar. Seluruh warga paroki mengunjungi ruang penyimpanan itu dan setiap orang merasa yakin dengan apa yang mereka lihat. Uskup Devie dari Belley menyelidiki peristiwa itu secara pribadi dan menemukan kenyataan seperti yang didengarnya.

Rahmat yang besar dalam kehidupan seorang kudus tidak pernah datang tanpa dibarengi dengan datangnya pencobaan yang besar pula. Pastor yang terberkati dari Ars ini bukan pengecualian. Selama sepuluh tahun pelayanannya, ia mengalami banyak tuduhan, kecurigaan, ketidakpercayaan, dan fitnah. Orang-orang yang tidak suka kepadanya mengkritisi aksi-aksinya dan menjadikan ia bahan olok-olok.  Ia bahkan pernah diancam dengan kekerasan. Di antara para pengkritiknya adalah sesama rekan pastor, yang merasa iri dan marah karena banyak umat di paroki mereka berdatangan ke Ars untuk meminta nasehat dan konseling kepada seorang yang pernah mereka berikan label sebagai imam yang tidak berpengalaman dan tidak peduli.  Tentu saja sikap-sikap Pastor Vianney sama sekali tidak memberikan alasan yang dapat membenarkan opini-opini negatif tersebut, karena, dalam kerendahan hatinya, ia beberapa kali menyatakan dirinya seorang yang tidak berguna dan pelayan Tuhan yang tidak layak, sebuah opini yang ia pegang dengan tulus tanpa keraguan.

Banyak umat beriman yang terpengaruh oleh sikap negatif para pemimpin rohani mereka kepada Pastor Vianney, sehingga mereka merasa bebas untuk ikut menghinanya. Beberapa bahkan menulis pesan-pesan yang kasar untuk Pastor Jean dan meninggalkannya di pintu paroki.

Dengan kesabaran yang menyentuh hati, Pastor Vianney menanggung tahun-tahun yang penuh kepahitan itu. Kesungguhan dan kesalehannya tidak luntur barang satu hari pun. Semua pergumulan batinnya itu tidak ditampakkannya ke luar pada saat ia menjalankan tugas-tugas pastoralnya.

Pastor Vianney juga mengalami gangguan yang terus menerus dari Si Jahat. Hampir setiap malam ia mendengar suara ketukan yang terus menerus di pintu rumahnya, namun ketika dicari siapa yang melakukannya, tidak tampak ada seorangpun di luar. Gangguan itu membuatnya tidak bisa beristirahat cukup di malam hari, setelah sepanjang harinya bekerja tak henti. Gangguan itu memang nampaknya dibuat supaya ia tidak cukup segar dan fit untuk melakukan tugas-tugas imamatnya. Serangan Si Jahat itu berlangsung tak kurang dari tiga puluh lima tahun hidupnya. Sungguh merupakan mukjizat bahwa dalam keadaan tersiksa oleh kelelahan fisik dan mental, dan masih ditambah lagi hidup mati raga yang melemahkan tubuhnya, Pastor Jean dikaruniai hidup yang penuh karya indah selama tujuh puluh empat tahun.

Sementara itu, musuh-musuhnya melangkah lebih jauh dalam usaha untuk membahayakan jabatannya. Mereka mengajukan tuduhan palsu kepada uskup yang memimpin Keuskupan Belley, di mana paroki Ars bernaung. Mereka mengatakan bahwa Pastor Vianney tidak layak untuk dipercaya membimbing umat dan membawa jiwa-jiwa kepada Tuhan. Namun sang uskup tidak ingin memberi keputusan tanpa melakukan pemeriksaan. Ia mengirim vikaris jendralnya ke Ars dan memberi perintah kepada Pastor Vianney untuk melaporkan ke yurisdiksi episkopal semua permasalahan yang sulit yang pernah dihadapinya beserta semua saran yang telah ia berikan untuk kasus-kasus itu.  Pastor Vianney menyambut permintaan itu dan segera menyerahkan catatan dari lebih dua ratus kasus. Uskup Devie dari Belley memeriksanya sendiri dan menemukan bahwa keputusan-keputusan Pastor Vianney sangat tepat, kecuali dua kasus yang ia mempunyai opini berbeda. Sejak saat itu ia tidak lagi mengijinkan siapapun mengatakan bahwa Pastor Vianney tidak mampu. Sang uskup berkunjung secara prbadi ke rumah Pastor Vianney di Ars dan menemukan seorang yang saleh dan kudus, sama sekali bukan seperti seorang yang dikatakan berbagai hal yang negatif oleh para musuhnya. Dalam kesempatan sebuah acara resmi, Bapa Uskup menegur para bawahannya sehubungan dengan tuduhan mereka.

Namun, lebih dari segala bentuk perlindungan yang diberikan Bapa Uskup kepadanya, kerendahan hati dan kebaikan Pastor Vianneylah yang akhirnya menyadarkan lawan-lawannya. Dalam beberapa tahun sesudahnya, pastor yang berhati mulia ini tidak lagi mempunyai musuh dari sesama pastor. Demikian juga umat awam tidak lagi menyebarkan tuduhan tak beralasan tentang dia.

Pada bulan November 1847, Pastor Vianney mengalami cobaan lagi. “Rumah Penyelenggaraan Ilahi” yang didirikannya untuk para miskin dan anak-anak tak beribu bapa, diputuskan untuk diambil dari pengelolaannya, karena dianggap bukan merupakan institusi sekolah atau rumah sakit, dan dikelola oleh awam. Dengan sedih hati, Pastor Vianney menyerahkan pengelolaannya kepada Suster-suster St. Yusuf dari Bourg, dan rumah itu diubah menjadi institusi “Sekolah Gratis bagi Para Gadis”. Namun peristiwa ini menjadi titik balik rencana Tuhan yang agung baginya, karena sejak itu seluruh kekuatan fisik dan pikirannya semata didedikasikan kepada usaha pertobatan para pendosa, melalui sakramen pengakuan yang diberikannya kepada umat yang berkunjung ke Ars, yang kian hari kian banyak jumlahnya.

Dalam kurun waktu sesudahnya, Pastor Vianney telah beberapa kali berniat untuk mengundurkan diri dari tugas-tugas imamat yang diembannya di Ars, ia ingin menyepi di sebuah biara untuk menghabiskan sisa hidup miskinnya di hadapan Allah. Tetapi gelombang umat yang memprotes rencananya itu akhirnya membuat Pastor Jean membatalkan keinginannya. Melihat kerinduan umat yang begitu besar, ia menyadari bahwa adalah rencana kudus Tuhan sendiri yang menghendaki dia untuk tetap tinggal dan melanjutkan karya-karya pastoralnya yang amat diharapkan oleh banyak orang, terutama mereka yang merasa kehilangan pegangan dan rindu untuk bersatu kembali dengan Tuhan.

Peziarahan ke Ars

Sepanjang tahun di antara tahun  1825 dan 1830, gelombang peziarahan yang besar terjadi di Ars. Banyak sekali umat  yang datang ingin bertemu dan berkonsultasi serta mengakukan dosa dosa mereka kepada Pastor Jean Vianney.  Begitu banyaknya jumlah orang yang datang sehingga akomodasi perjalanan yang meningkat pesat memerlukan pengaturan khusus di antara Ars dan desa-desa lain di sekitarnya.

Para peziarah berdatangan dari setiap propinsi di Perancis, sebagian datang pula dari Belgia dan Inggris, sebagian lagi dari Amerika. Ketenaran Pastor Vianney menyebar dari mulut ke mulut, terutama dari mereka yang telah mendapat pengalaman pribadi di bawah bimbingan Pastor Vianney.

Dengan perasaan kagum yang makin meningkat, peziarah yang baru datang menyaksikan bagaimana pastor yang rendah hati itu memenangkan jiwa-jiwa. Setiap hari di sepanjang lorong bangku gereja, dua lajur manusia, berjumlah tak kurang dari enam puluh hingga seratus orang, menanti dengan sabar giliran mereka untuk masuk ke dalam sakristi kecil untuk mengakukan dosa mereka kepada Pastor Vianney. Jika ditanya sejak jam berapa mereka sudah antri di sana, kadang jawabannya, “Sejak jam dua dini hari”, atau, “Sejak tengah malam, segera sesudah pastor Jean membuka gereja.” Tak jarang tampak di antara antrian, umat dari kalangan masyarakat terhormat juga menunggu dengan sabar sepanjang malam dan siang, bukan untuk menghadiri suatu pertemuan penting, namun untuk menyerahkan diri mereka dengan rendah hati kepada bimbingan spiritual sang pastor demi kesejahteraan jiwa mereka. Sudut-sudut lain dari gereja juga tampak sama penuhnya. Pemandangan pria dan wanita berdoa dengan khusuk juga berlangsung terus dari jam ke jam, dari hari ke hari, sementara dua-ratusan orang mengantri untuk mengakukan dosa-dosa mereka. Pastor Jean Vianney biasa mendengarkan pengakuan selama enam belas hingga tujuh belas jam setiap harinya, dan kedisiplinan manusia ‘super’ ini berlangsung terus menerus dalam kurun waktu tiga puluh tahun.

Sebagai panutan umat, Pastor Vianney memahami tidak ada pengajaran yang lebih ‘berbicara’ untuk menarik perhatian umat daripada pengajaran yang didasarkan pada peristiwa iman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam nasehat-nasehatnya, ia selalu kembali kepada kebenaran mendasar dari iman untuk menjadi perenungan umatnya. Cinta manusia kepada Tuhan seharusnya merupakan suatu hal yang alamiah bagi manusia sebagaimana seekor burung dan kicauannya. Ia juga selalu mengingatkan akan sukacita yang tak terkatakan yang dialami setiap manusia karena mengalami cinta kasih Allah yang penuh pengurbanan. Berulang-ulang ia juga mengatakan, “Berdoalah bagi pertobatan para pendosa!” Ia menyatakan bahwa intensi doa semacam itu adalah salah satu hal yang paling disenangi oleh Tuhan yang Maha Baik. Tanpa henti, Pastor Jean sendiri berdoa dan bermati raga untuk ujud tersebut. Permohonannya yang tekun itu naik tinggi sampai ke hadirat Allah. Allah yang selama tiga puluh tahun hidup sang Pastor di Ars, dengan gembira mengirimkan pendosa tak berhingga jumlahnya, untuk dapat diperdamaikan kembali dengan Tuhan melalui karya pastoral Pastor Vianney. Banyak umat berlutut di kakinya dengan hati telah siap, karena telah mendengar dari umat lain betapa manis dan mudahnya untuk mengakukan dosa kepada pastor yang kudus itu dan menerima bimbingannya, untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan dengan seluruh hati mereka.

Kadang-kadang orang datang ke Ars hanya sekedar ingin tahu, kadang ingin sekedar melihat wajah Pastor Jean, atau ingin melihat sambil sedikit mengolok-olok apa yang mereka anggap sebagai suatu kerumunan orang-orang yang konyol. Namun, setelah mengamati dari dekat bagaimana karya sang Pastor Jean selama sehari atau dua, mereka yang datang dengan motif-motif itu langsung kehilangan selera untuk meneruskan intensi awalnya, dan tidak lama kemudian mereka tampak telah berada di dalam antrian juga, ikut menunggu bersama yang lain untuk mengaku dosanya.

Seperti St. Vincent Ferrer, Pastor Vianney mendapat karunia dari Tuhan sebuah kemampuan untuk mengetahui dengan jelas apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh seorang pendosa. Hampir setiap hari, orang akan melihatnya tiba-tiba keluar dari sakristi untuk kemudian langsung menghampiri seseorang yang baru saja masuk ke dalam gereja. Dengan wajah ramah namun serius, Pastor Jean menuntun orang itu masuk ke ruang pengakuan. Banyak orang kemudian mengetahui, bahwa tanpa banyak membuang waktu, Pastor Jean akan segera menyebutkan dosa-dosa dan kesalahan orang itu di depannya, sebelum  yang bersangkutan sempat mengatakannya. Pastor Vianney mengingatkannya akan hal-hal yang memalukan yang telah dilakukannya di masa lalu yang mungkin orang itu telah merasa tergoda untuk menyembunyikannya dari siapapun.  Dengan kemampuan dan cara seperti itu, Pastor Vianney menyingkirkan halangan paling besar dan paling akhir yang mungkin menghambat seseorang untuk dapat mengalami rekonsiliasi yang penuh dengan Tuhan.

Suatu hari seorang atheis mengikuti Pastor Jean, yang segera memintanya berlutut. Orang itu berkata, ia sama sekali tidak ingin mengaku dosa, dan bahwa ia sama sekali tidak percaya kepada Tuhan dan hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan dosa. Pastor Jean melihat dalam-dalam ke matanya, dan hal itu ternyata membuat orang tersebut segera menjatuhkan diri untuk berlutut. Pastor Jean lantas mengungkapkan masa lalunya, dengan sangat akurat, sehingga orang itu mengakui dengan heran bahwa apa yang dikatakan pastor itu benar semua. Cahaya iman segera terbangkit dalam jiwa orang ateis itu, yang lalu berseru menangis dengan suara keras, “Tuhan, aku percaya, aku memujiMu, aku mencintaiMu, aku memohon pengampunanMu !” Pastor Jean menyuruhnya pergi dalam damai dengan berkata, “Sahabatku, persiapkan dirimu, Tuhan yang Maha Baik akan segera memanggilmu!” Dan demikianlah yang terjadi, dua tahun kemudian sebuah serangan stroke mengakhiri hidup orang yang telah bertobat itu.

Selain medamaikan kembali para pendosa dengan Allah, Pastor Vianney sering membantu mengarahkan jiwa-jiwa  untuk mengetahui panggilan hidup mereka dan bagaimana mencapainya, sambil memberikan konsultasi yang berharga bagi perkembangan spiritual mereka. Maka tak heran bila para uskup dan para pastor, para pemimpin organisasi religius, para orang tua, para pemuda dan pemudi dalam jumlah besar, semuanya rindu untuk mendapatkan nasehat dari pastor kudus itu. Pastor Jean memberikan nasehatnya secara singkat, karena ia mengingat masih banyak pendosa yang antri yang menunggu untuk didengar pengakuan dosanya.  Banyak peminta nasehat bersaksi, hanya dengan mendengarkan beberapa patah kata awal saja dari cerita mereka, Pastor Jean sudah mampu memberikan nasehat yang relevan dengan permasalahan mereka dengan kecermatan yang mengagumkan. Pada suatu hari seorang pastor menanyakan pendapat Pastor Jean akan suatu masalah teologi yang amat rumit, dan segera pastor itu mendapat jawaban yang amat meyakinkan. Dengan terkesan, ia bertanya di mana Pastor Jean belajar tentang teologi? Dengan gerakan tangannya, yang lebih tampak menyarankan daripada menjawab, Pastor Jean menunjuk dalam keheningan kepada Sang Tuan.

Tidak seperti yang diduga banyak orang, Pastor Jean tidak selalu menasehati orang muda untuk menjadi rohaniwan. Kepada seorang gadis yang sudah hendak dinikahkan dengan pemuda pilihan orangtuanya, di mana sebenarnya gadis itu ingin masuk biara, Pastor Jean merenung sejenak dan berkata, “Anakku terkasih, engkau harus menikah!” . Walau gadis itu telah menyatakan keinginannya masuk biara, ia menuruti nasehat Pastor Jean, dan pernikahannya itu ternyata sangat membahagiakan jiwanya.

Pengalaman umat juga membuktikan, bahwa saran pastor Jean tidak untuk ditunda, apalagi diabaikan. Pengalaman Felix B. dari Coblone, ia ingin masuk ke biara para trapis dan mendapat petunjuk Pastor Jean untuk segera melanjutkan niatnya itu, tetapi Felix menjadi ragu mengingat beratnya kehidupan seorang trapis. Ia mengubah keputusannya dan masuk ke komunitas religius “Christian Brothers”. Ternyata selama enam tahun di dalamnya ia merasa gelisah dan tidak bahagia. Selalu terbayang olehnya pandangan mata ilahi dalam tatapan Pastor Jean yang ketika itu telah wafat. Akhirnya ia mengajukan niatnya untuk mundur dari komunitasnya dan masuk ke biara trapis. Di situ ia menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini dirindukannya.

Mukjizat-mukjizat yang dikerjakan Sang Pastor dari Ars

Kemampuan untuk menyingkapkan dosa-dosa tersembunyi dari para pengaku dosa yang datang kepada Pastor Vianney, menjadi kekuatan pelayanannya dan melahirkan banyak pertobatan. Pastor Jean juga mampu melihat ke depan manakala seseorang akan kembali berdosa di masa depan dan membuatnya kembali ke Ars, yang dibantunya untuk sembuh kembali. Kemampuan yang sama juga dimilikinya untuk melihat meningkatnya kekudusan jiwa seseorang di bawah suatu penderitaan fisik dan kehendak Tuhan bahwa kesembuhan tidak akan terjadi pada orang itu. Juga ia dapat melihat suatu salib yang menunggu seorang peziarah sekembalinya dari Ars, atau melihat dengan mata batin, bahwa suatu kesembuhan tengah terjadi di tempat yang jauh.

Berbagai mukjizat yang telah terjadi disambut Pastor Jean hanya dengan satu alasan, yaitu bahwa semua itu dapat mendukung terjadinya pertobatan banyak pendosa dan keselamatan banyak jiwa untuk bersatu kembali dengan Tuhan. Itulah pencapaian sesungguhnya dari pelayanannya yang penuh pengorbanan diiringi mati raga yang terus menerus demi pertobatan umatnya.

Kehidupan interior sang Pastor Yang Terberkati

Banyak orang bertanya-tanya bagaimana pastor yang telah memberikan banyak sekali waktu dan perhatian bagi keselamatan jiwa begitu banyak orang, masih bisa mempunyai waktu dan tenaga untuk memperhatikan kebutuhan jiwanya sendiri.

Dalam saat-saat luang di mana sebenarnya ia bisa melakukan aktivitas yang bersifat hiburan, Pastor Jean lebih memilih untuk mengerjakan hal-hal yang berguna bagi perkembangan spiritualnya. Hal ini membuat Pastor Jean semakin memperlihatkan kasih dan respek kepada orang lain, tahun demi tahun ia semakin tampak bersinar dalam kerendahan hati, amal kasih, dan pengorbanan. Bagi siapapun yang mendekat padanya, sinar matanya yang jernih memantulkan kesalehan yang tulus yang bersumber dari jiwanya. Ke manapun ia pergi, orang-orang akan mengerumuninya, menarik jubahnya, dan menanyakan berbagai hal kepadanya, termasuk hal-hal yang sangat sederhana, yang tetap ditanggapi Pastor Jean dengan penuh respek. Kebaikannya yang tidak pernah berubah membuatnya dijuluki “Pastor yang baik” sepanjang karirnya sebagai imam. Ia juga sangat menjaga dan menghormati rekan-rekan sesama imam, berusaha agar pekerjaan-pekerjaan yang sulit atau yang tidak menyenangkan tidak sampai ke tangan mereka. Untuk menyatakan kasihnya, ia sering membagikan barang-barang pribadinya kepada mereka termasuk salib, medali, dan relikwi, di mana semua benda itu sebenarnya merupakan benda-benda kesayangannya.

Selama tahun-tahun terakhir menjelang akhir hidupnya, Pastor Jean praktis tidak memiliki apa-apa lagi.  Ia telah menjual segala perabotan, buku-buku, dan berbagai benda miliknya untuk diberikan kepada orang miskin.

Ketika superiornya mulai melarang dia untuk bermati raga terlalu keras demi kesehatannya, ia berusaha menemukan cara lain untuk melakukan mati raga lewat makanannya sehari-hari. Pastor Jean juga menderita suatu penyakit yang membuatnya sering harus mempersingkat homilinya di altar, bahkan tak jarang rasa sakit itu membuatnya pingsan. Jika ditanya mengenai itu, ia hanya menjawab, “Ya, saya hanya sakit sedikit saja”. Padahal dengan tubuh yang sudah begitu lemah karena mati raga, ditambah rasa sakitnya, dan terkurung di dalam sempitnya ruang pengakuan dosa selama enam belas atau tujuh belas jam sehari, tentu penderitaan tubuhnya sama sekali tidak ringan. Waktu untuk beristirahat di malam hari seringkali hanya tersisa satu jam saja, dan waktu yang sangat sedikit itu pun sering tak bisa dinikmatinya dengan baik, karena batuk yang hebat mengguncang tubuhnya tak henti. Dalam semalam ia bisa terbangun empat atau lima kali, berharap bisa meringankan penderitaannya dengan berjalan-jalan ringan. Ketika sudah menjadi sangat lelah akhirnya ia tertidur tetapi terkadang karena sudah waktunya matahari terbit, segera ia bangun lagi untuk bekerja kembali di hari yang baru. Waktu luangnya ia habiskan untuk berdoa. Dalam mengunjungi orang sakit, pikirannya selalu tertuju kepada Tuhan. Namun doa-doanya selalu sangat sederhana. Memang ia memilih untuk senantiasa sederhana dalam segala tindakannya.

Cintanya kepada Tuhan begitu dalam, sehingga tak jarang hatinya terasa tercabik dan air matanya mengalir deras saat mendengarkan berbagai perbuatan dosa berat yang dilakukan orang-orang yang mengaku dosa kepadanya. Ia merasakan betapa sakitnya luka-luka dan hinaan yang diterima Yesus dan betapa cinta-Nya ditolak melalui dosa-dosa yang diperbuat oleh umat-Nya. Jika ia tahu sebelumya bahwa sedemikian beratnya menjadi seorang imam yang harus mendengarkan pengakuan, lebih baik dulu ia pergi menjadi seorang trapis di biara daripada ke seminari.

Betapapun besar dan mengagumkan hasil pekerjaan pelayanannya, Pastor Jean selalu menganggap dirinya tidak mampu untuk menjalankan tugas-tugas imamatnya sebagaimana seharusnya. Tanpa rasa bangga ia menyebut dirinya “jiwa yang miskin”, dan tubuh fisiknya, “mayat yang miskin”, dan “kesengsaraan yang miskin”, sambil berdoa semoga Tuhan masih berkenan memakai segala kemiskinannya itu. Tak diragukan lagi, kerendahan hatinyalah yang membuat Pastor Jean Vianney menjadi seorang kudus. Itulah kunci kekudusannya, karena tanpa kerendahan hati itu, ia tak akan bertahan terhadap penyembahan dan kekaguman ribuan orang yang telah menyaksikan kekudusan hidupnya.

Wafat dan beatifikasi Sang Pastor Yang Terberkati

Di musim panas tahun 1859, sang pastor yang terberkati menampakkan tanda-tanda bahwa seluruh energinya sudah nyaris tidak bersisa lagi. Ia terdengar beberapa kali mengatakan, “Sayang sekali, para pendosa akan mengakhiri hidup pendosa”

Pada Jumat 29 Juli 1859, setelah menghabiskan enam belas hingga tujuh belas jam di ruang pengakuan seperti biasa, ia kembali ke pastoran dalam keadaan sangat lelah. Ia terduduk sambil berkata, “Aku tak dapat berbuat lebih jauh lagi”. Ia segera dibaringkan di tempat tidur. Keesokan paginya sakitnya menjadi begitu parah sehingga dikhawatirkan ia akan segera meninggal. Kesedihan yang mendalam terasa di seluruh pelosok Ars dan di hati seluruh pengunjung. Selama tiga hari, gereja penuh dengan umat, yang berdoa dengan sungguh memohon Tuhan untuk tidak mengambil imam kesayangan mereka. Pastor Jean tidak mengikuti doa bersama umatnya karena merasa bahwa ajalnya telah dekat. Jumat petang ia menerima Sakramen Perminyakan. Ia meneteskan airmata keharuan ketika Viaticum Kudus (Sakramen Ekaristi terakhir sebagai bekal perjalanan pulang ke rumah Bapa) dipersembahkan untuknya dan minyak suci diberikan kepadanya. Untuk terakhir kalinya ia memberkati semua yang hadir beserta seluruh umat parokinya. Hari Rabu pagi ia tersenyum mengenali Bapa Uskup yang hadir di sisi tempat tidurnya. Pada hari Kamis 4 Agustus 1859, pukul dua dini hari, saat rekan-rekannya dan wakilnya, Abbe Monnin, sedang mengucapkan doa bagi orang yang menghadapi ajal dan tengah berkata: “Kiranya para Malaikat kudus Allah datang menjumpainya dan memimpinnya ke dalam kota kudus Yerusalem Surgawi”, jiwa Pastor Jean meninggalkan tubuhnya, menghadap Sang Penciptanya, yang telah ia layani dengan begitu setia sepanjang hidupnya.

Jarang bahwa proses beatifikasi dimulai begitu cepat seperti yang terjadi pada Jean (Yohanes) Baptis Vianney. Tak sampai empat puluh lima tahun semenjak tubuhnya diistirahatkan di bawah altar paroki Ars, Tahta Suci memutuskan beatifikasinya.

Pada tanggal 3 Oktober 1874, Paus Pius IX, setelah meneliti berbagai tulisan dan dokumen biografi yang berhubungan dengan kehidupan Sang Pastor, memutuskan memberikan gelar “Pelayan Tuhan Yang Terberkati” kepada almarhum Pastor JeanVianney. Pada 21 Juni 1896, Paus Leo XIII, memimpin sesi terakhir dari rapat komisi penyelidikan kanonisasi, untuk mengumumkan kelayakan sang pastor yang terberkati itu menjadi seorang santo. Pernyataan final yang ditunggu-tunggu setiap orang diumumkan oleh Kardinal Parocchi. Tanggal 1 Agustus di tahun yang sama, Paus Leo XIII  mengeluarkan dekrit yang menyatakan penghormatan yang diberikan kepada pastor yang rendah hati dari Ars dan penghormatan pribadinya untuk nilai-nilai hidup kudus Sang Pastor.

Tujuh tahun kemudian, di tahun 1903, Paus yang sama memanggil komisi untuk mempertimbangkan berbagai kesaksian dan mukjizat yang terjadi di makam Sang Pastor. Namun rencana ini batal dilakukan karena Paus jatuh sakit dan segera sesudahnya, tanggal 20 Juli di tahun yang sama, Paus Leo XIII wafat dan umat Katolik sedunia kehilangan pemimpin spiritual tertingginya.

Kejadian menarik terjadi pada 4 Agustus 1903. Pada jam yang sama di mana Ars merayakan Misa Kudus peringatan  ke-44 wafatnya Yohanes Baptis Vianney, sebuah upacara besar lain terjadi di Roma. Ialah upacara pelantikan seorang pastor sederhana dari Salzano, (yang kemudian menjadi Kardinal Sarto, patriark dari Venesia), menjadi Paus yang baru, dengan gelar Pius X. Segera pada tanggal 26 Januari 1904, Paus yang baru dilantik ini memimpin sesi penyelidikan kanonisasi Pastor Jean yang pernah direncanakan pendahulunya, Paus Leo XIII, yang wafat sebelum penyelidikan itu dimulai.

Dua buah peristiwa dikemukakan. Yang pertama adalah kesembuhan tiba-tiba yang dialami Adelaide Joy, dan si kecil Leo Roussat. Pada kasus yang kedua, setelah serangan epilepsi yang kuat, di tahun 1862, ia harus digendong ke makam Pastor Jean. Salah satu lengannya tergantung lunglai di sisi tubuhnya, kemampuan bicaranya hilang, dan bernafasnya begitu sulit hingga ia tak mampu menahan cukup air liur dalam mulutnya. Setelah sejenak berdoa di makam sang pastor, ia dibawa pulang. Tangannya yang semula tak dapat bergerak kini bisa digunakan memberikan uang kepada orang miskin, anak itu dapat menggunakan anggota geraknya lagi dan bisa berjalan-jalan. Pada akhir novena, ia kembali bisa berbicara tanpa kesulitan lagi.

Pada Februari 1861, gadis Adelaide, yang mempunyai tumor ganas pada lengannya, telah dinyatakan tak ada harapan lagi oleh para dokter di rumah sakit Lyons. Lalu seorang kerabat yang memiliki secarik kain yang pernah dimiliki oleh Pastor Jean Vianney, meletakkannya di atas lengan yang sakit. Dalam doa, mereka lalu memohon perantaraan doa sang pelayan Tuhan yang terberkati Jean Vianney untuk mengangkat penderitaan gadis itu. Para dokter terheran-heran melihat tumor itu tiba-tiba mengecil dan dalam beberapa jam, dan lengan gadis itu pulih kembali seperti sediakala.

Setelah konsili para kardinal mengumumkan pengakuan Vatikan terhadap mukjizat-mukjizat kesembuhan itu, maka dekrit Paus, tertanggal 21 Februari 1904, menyatakan fakta-fakta tersebut mendukung beatifikasi dari Sang Pastor yang terberkati. Bapa Suci memberikan kesan sukacita pribadinya ketika akhirnya beliau berhasil menempatkan Pastor Jean dalam jajaran para kudus, yang menurutnya, memang telah menjadi teladan yang bersinar juga bagi dirinya sendiri.

DOA
(disadur dari “Doa dan Litani untuk menghormati Yohanes Maria Vianney Yang Terberkati, Pastor dari Ars”)

Mari kita berdoa:
Tuhan yang maha besar dan penuh belas kasih, yang telah membuat Yohanes Maria Yang Terberkati begitu mengagumkan dalam semangat karya pastoralnya dan dalam cintanya yang konstan kepada pertobatan, kami mohon kepadaMu, karuniakanlah rahmat-Mu kepada kami, untuk menang bagi Kristus, demi teladan hidup dan campur tangan-Nya, jiwa-jiwa saudara kami seiman, dan untuk meraih bersama mereka kemuliaan yang kekal. O Yohanes Maria Yang Terberkati, pekerja yang tak ada duanya di lahan yang dipercayakan kepadamu, perolehkanlah untuk Gereja perwujudan dari kerinduan Yesus. Tuaian berlimpah, tapi pekerja sedikit. Mohonkanlah kepada Sang Empunya Tuaian untuk mengirimkan pekerja-pekerja bagi kebun anggur-Nya. O Yohanes Maria Yang Terberkati ! Doakanlah para klerus. Semoga keteladanan dan doamu, melipatgandakan panggilan-panggilan sejati kepada hidup imamat. Semoga Roh Kudus mengaruniakan peniru-peniru teladanmu; kiranya Ia mengaruniai kami para santo ! Melalui Kristus, Tuhan kami. Amin.

Diterjemahkan secara bebas dari sumber:
http://www.storyofasoul.com/resources/vianney.html

14 COMMENTS

  1. Terimakasih untuk share nya, sungguh karya Tuhan yang indah. Kecintaan saya kepada Tuhan semakin bertambah setelah membaca artikel ini.

  2. santo Jean Vianney ( St. Yohanes Maria Vianney ) , Doakan kami… Mohon Doakan kami, aku dan istriku dan anak anakku menjadi Keluarga Katolik. amin

  3. sungguh luar biasa.. sy smpe menangis bacanya.. terharu.. trima kasih Tuhan..puji Tuhan

  4. Thx utk sharenya. . Kalau ada minta tolong masukan santa atw santo yg lainnya juga ya. . Terimakasih. .

  5. Bolehkah dimuat kisah St. Alfonsus Maria de Liguori?

    [dari katolitas: Terima kasih atas usulan Anda. Usulan Anda kami tampung terlebih dahulu, karena keterbatasan waktu dan tenaga. Apakah ada yang bersedia untuk menterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia?]

  6. Sungguh karya Tuhan yang sangat luar biasa…

    Sampe nangis baca nya…
    Setiap hal yang aku baca di situs ini sungguh menguatkan iman ku sebagai katolik dan membuat aku tau bahwa aku sungguh miskin di hadapan Tuhan…

    Terima kasih tim katolisitas

  7. Terima kasih atas sharenya. Enak dibaca. St. Yohanes Maria Vianney adalah santo pelindung kelas kami waktu SMA.

  8. Syaloom katolisitas,

    Kalau bisa pengen juga membaca uraian dari santo benedictus oleh katolisitas. Beliau juga bapa gereja yang besar dan bagus untuk diteladani.

    Salam.

    [dari katolisitas: Suatu saat mungkin kami akan mencoba melakukannya.]

  9. Sungguh, cerita St. Yohanes-Maria Vianney benar-benar sangat menyentuh benak hati saya.

    Semoga kegigihan, semangat, dan cinta kasih Allah yang beliau telah pancarkan melalui karyanya menjadi sebuah inspirasi yang tak terperikan dalam hidup kita sebagai rasul-rasul Kristus pada jaman sekarang ini.

  10. Mohon dibagikan juga mengenai perjalanan St. Faustina..

    terima kasih..

    Tuhan Yesus memberkati..

    ____________________________________________

    JESUS I TRUST IN YOU

    [dari katolisitas: Anda bisa cari di Yesaya tentang St. Faustina. Untuk dapat membuat perjalanan kehidupan santa/o secara mendetail seperti di atas, tidaklah mudah dan memerlukan waktu yang cukup lama. Mungkin suatu saat dapat kami tuliskan.]

  11. Pendapat sy pribadi, “sebenarnya di Jaman modern sekarang ini” kehidupan Tiap-tiap mans bisa menjadi “santa dan santo”. Hanya banyak Tidak terEkspos ke media massa. ( Tolong: jangan disalah mengerti, bhw: sy anti cerita diatas/artikel diatas. Tidak lho ya,sama sekali tidak !). Tapi….kisah kehdpn mans itu memang beragam, artinya: “setiap orang (tanpa pandang Ras,suku,bangsa, agama/keyakinan awal mulanya (mksd: dari non krtisten katolik, bahkan s/d sdh jadi kristen pun (katolik/non katolik/agama apapun) DAPAT TETAP menjadi “INSPIRASI BUAT ORANG2 LAIN”–INTI: INSPIRASI MENJU DAN USH U.TETAP MELAKUKAN KASIH,KEBAJIKAN,PERTOBATAN. Mgp?? krn: sy prb percaya bhw “setiap individu punya Ciri =ciri Khas-Khas, yg “dpt dipilih dr.tiap2 individu u.Menyebarkan kasih, kebajikan—bahkan sekalipun: individu2 tsb (pribadi, dlm hdpnya, baik: dr.masa kecil/anak-anak kecil, s/d tumbuh remaja dan dewasa dan tua, bahkan Jompo), bahkan “berdosa dan berdosa”, Allah sang pencipta langit dan bumi (Alfa dan Omega),tetap dpt “menunjukkan karyaNYA dikeberdosaan Mans, “memang ideal/Dicita-citakan,adlh: individu tanpa dosa”—tapi namanya: “mans ( yg msh hpd didunia/bumi ini dan punya Sifat-sifat kedagingan dan punya rasa u.menikmati kenikmatan,entah: mata,telinga,perkataan,perbuatan (termsk: seks) –berbagai keberdosaan, “Tetap dpt dipakai Tuhan/Allah di sorga”.–jadi cerita-cerita siapapun sesghnya (siapapun mans/individu,Tetap dpt menjadi inspirasi bagi orang lain”.—

    [Dari Katolisitas: Pesan ini digabungkan karena masih satu topik]

    Kisah santo di atas (Artikel di atas), bagus.

    • Shalom Yosephin,

      Sebenarnya memang benar bahwa semua orang dipanggil untuk hidup kudus -yaitu untuk menjadi santo dan santa- dan ini adalah kehendak Allah sebagaimana diajarkan dalam Kitab Suci (lih. 1 Ptr 1:16; Ibr 12:14; 1Tes 4:3); yang diserukan kembali oleh Konsili Vatikan II (lih. Lumen Gentium bab V.) Namun demikian, harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk hidup kudus di zaman sekarang ini, di mana ada banyak sekali godaan yang seolah menarik kita untuk tidak memusatkan hati dan pikiran kita kepada Allah. Oleh karena itu, kisah- kisah hidup orang kudus (para santa santo) sangatlah berguna untuk memberikan kepada kita inspirasi agar kita tidak lekas putus semangat, karena mereka, yang juga sama- sama manusia seperti kita, dapat mengalahkan segala kesulitan dan tantangan pada zamannya, untuk tetap melaksanakan kehendak Tuhan.

      Membaca dan mempelajari kisah- kisah hidup orang kudus seharusnya membuat kita semakin rendah hati, karena mengakui bahwa kita ini, walaupun sudah berusaha, umumnya belum apa- apa jika dibandingkan dengan mereka, dalam hal mengasihi Tuhan dan sesama. Dalam mengasihi Tuhan dan sesama, para orang kudus (para Santa dan Santo) itu umumnya sampai pada tingkat istimewa (heroik) yang rela berkurban, menyerahkan segenap waktu, tenaga, pikiran, perasaan, pendeknya segala yang ada pada diri mereka, tanpa memikirkan kepentingan diri mereka sendiri lagi, untuk mengabdi Tuhan dan sesama. Dengan demikian, mereka sungguh meniru teladan Kristus yang memiliki kasih yang sedemikian sempurna kepada Allah Bapa dan kita manusia. Kita semuapun dipanggil untuk mengasihi seperti ini, dan karena itu kita membutuhkan rahmat Tuhan, sebab jika hanya mengandalkan diri sendiri, sangatlah sulit untuk mengasihi dengan tulus dan murni seperti ini. Oleh karena itu, contoh teladan dari para orang kudus yang telah lebih dahulu berhasil melakukan hukum kasih itu dengan sempurna, sangatlah berguna.

      Jadi memang kisah pengalaman setiap orang dapat memberikan inspirasi kepada orang lain, tetapi derajat kesempurnaan kasih yang dilakukan oleh para Santa dan Santo itu tetaplah merupakan inspirasi yang istimewa bagi kita semua. Dalam keterbatasan mereka, sepanjang hidupnya para santa dan santo itu berjuang untuk bertumbuh dalam kekudusan, umumnya dengan menerapkan kebajikan kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Sesungguhnya kita semuapun dipanggil untuk melakukan hal yang sama, untuk menolak akar dosa yang bersumber pada keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup (lih. 1Yoh 2:16). Melalui teladan para kudus, kita juga belajar bahwa sesungguhnya kekudusan itu pertama-tama diperoleh karena pemberian  Tuhan, yaitu dengan bagaimana mereka menggantungkan hidup mereka kepada rahmat Allah yang diterima melalui sakramen-sakramen Gereja, terutama Ekaristi.

      Semoga Tuhan memberikan rahmat-Nya agar kita dapat terus berjuang untuk bertumbuh dalam kekudusan, mengasihi Tuhan dan sesama dengan lebih baik daripada hari kemarin. Dan jika kita gagal, selekas mungkin kita bangkit untuk memperbaikinya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

  12. Terima kasih tuk kirimannya. Kalo masih ada kisah santo santa yang menguatkan iman atau pengalaman pribadi yang menguatkan iman tolong kirim ke alamat ini ya.. Thank’s

Comments are closed.