Dalam dialog dengan umat non- Katolik, topik tentang Inkuisisi kerap mencuat ke permukaan. Tak jarang, pihak Katolik enggan membicarakannya, karena kurang mengetahui bagaimana menanggapinya. Maka mari kita mencoba melihatnya dengan kacamata yang obyektif, untuk melihat duduk persoalannya.

Tiga macam inkusisi dalam sejarah

Dari definisinya, Inkuisisi/ inquisition berasal dari kata ‘inquire‘ yang artinya menanyakan/ memeriksa dengan seksama. Dalam hal ini yang diperiksa terutama adalah bagaimana sampai terjadi adanya kejahatan akibat ajaran sesat (heresi). Dalam sejarah, tercatat sedikitnya terdapat 3 macam inkuisisi yang terbesar: 1) Inkuisisi yang diadakan tahun 1184 di Perancis selatan, untuk menangani kaum Kataris. Tentang apakah kaum Kataris, dan mengapa sampai pihak Gereja Katolik dan pemerintah sekular menentang mereka, sudah pernah ditulis di sini, silakan klik. 2) Roman Inquisition yang dimulai 1542; 3) Spanish Inquisition yang dimulai tahun 1478, yang diadakan oleh pemerintah Spanyol untuk menyelidiki para conversos yaitu umat Katolik yang tadinya adalah penganut agama Yahudi dan muslim, atau mereka yang berpura-pura menjadi Katolik, namun sebenarnya bukan, demi kepentingan politik dan sosial, yang kemudian secara diam-diam melaksanakan ajaran agama mereka sebelumnya. Maka, selain untuk menghukum mereka yang bersalah, pengadilan/ penyelidikan Inkuisisi juga bermaksud membersihkan nama banyak orang yang tidak bersalah, yang dituduh melakukan heresi/ mengajar ajaran sesat tersebut. Inkuisisi ini diberlakukan bagi umat Katolik sendiri, walaupun bisa terjadi memang sebelumnya menganut agama/ paham lain. Mereka diadili karena  mengajarkan ajaran agamanya/ pahamnya yang terdahulu itu sehingga menimbulkan kekacauan di kalangan umat Katolik, sehingga Gereja Katolik berhak untuk meluruskannya.

Adanya berbagai inkuisisi yang terjadi di dunia dalam abad yang berbeda-beda turut memberikan kontribusi gambaran yang negatif tentang inkuisisi, sebagaimana yang terjadi di India oleh pemerintahan Portugis 1560-1812, dan yang terjadi di Mexico dan Lima di sekitar jangka waktu yang sama.

Kekejaman dalam pelaksanaan inkuisisi?

Dari catatan sejarah yang ditulis oleh kaum fundamentalis Henry C. Lea (1825–1909) dan G.G Coulton (1858–1947) memang kita dapat tercengang akan laporan kekejaman yang terjadi di masa Inkuisisi itu, yang membuat kita sebagai umat Katolik bertanya-tanya mengapa sampai hal-hal itu dapat terjadi. Namun harus kita mengingat juga bahwa tulisan itu dibuat oleh pihak yang sejak awal memang sudah menentang Gereja Katolik. Sebaliknya, umat Katolik juga tidak dapat mengatakan bahwa Inkusisi itu tidak ada atau tidak ada penyimpangan dalam pelaksanaannya. Nampaknya harus diakui bahwa walaupun inkuisisi dilaksanakan oleh pemerintah sekular, namun ada juga keterlibatan anggota-anggota Gereja sebagai pelaksananya, dan dapat terjadi ada penyimpangan dalam prosedurnya; sama seperti pada zaman sekarang, bahwa apapun program pemerintah, yang baik sekalipun, dapat saja dilakukan tidak dengan semestinya. Kristus dan Rasul Paulus sudah memperingatkan akan kemungkinan terjadinya hal ini (lih. Mat 7:15 Kis 20:29). Gereja memang tidak hanya terdiri dari orang-orang suci, namun juga orang-orang berdosa.

Mengapa Gereja Katolik menghukum para heretik/ pengajar sesat?

Harus diakui heresi pada masa itu memang dianggap sebagai perbuatan kriminal yang berat, tidak saja oleh Gereja Katolik, tapi juga oleh gereja-gereja Protestan. (Sesungguhnya bahkan di zaman sekarangpun hal pengajaran sesat oleh sesama umat yang bersangkutan dapat dianggap sebagai perbuatan kriminal, bahkan oleh agama non-Kristen, seperti halnya fatwa yang dikeluarkan oleh Ayatollah Khomeini terhadap Salman Rushdie beberapa tahun yang silam).

Selain itu, Inkuisisi menjatuhkan hukuman juga kepada para penyihir, bukan karena mereka dianggap mengajar ajaran agama sesat, namun karena itu dianggap sebagai tanda ketidakwajaran/ kegilaan (insanity).

Maka sesungguhnya, orang-orang yang dihukum bukanlah orang yang tidak bersalah. Kaum Kataris/ Albigensian bukan “the Bible Christians” sebagaimana diklaim oleh sejumlah orang. Mereka adalah sekte yang mencampurkan ajaran Kristiani dengan Gnosticisme dan Manichaisme, sehingga menentang perkawinan, mengizinkan perzinahan, dan menganjurkan bunuh diri. Tak mengherankan baik Gereja maupun pemerintah sekular menolak ajaran tersebut.

Selanjutnya, pengadilan inkuisisi Spanyol juga mengadili para konvert dari kaum muslim yang dikenal dengan sebutan Moriscos. Mereka memang diadili dengan kejam oleh Lucero di Cordova, namun kemudian, sebagai akibatnya, Lucero sendiri diturunkan dari jabatannya dan dipenjara (1507). ((lih. Catholic New Encyclopedia, Book 7, The Catholic University of America, 1967, reprint 1981, p. 540))

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa pengadilan inkuisisi yang melibatkan Gereja Katolik tidak menjatuhkan hukuman mati kepada para heretik yang mengeraskan hati. Yang dilakukan oleh pengadilan Inkuisisi adalah menyatakan keputusan untuk menyerah kepada pengadilan sekular, jika mereka tidak bertobat/ menyesal dari perbuatan mereka. Selama tugasnya sebagai hakim Inkuisisi, Bernard Gui (1307- 1324), hanya mengirimkan 40 heretik yang mengeraskan hati ke pengadilan sekular. Pengadilan sekular inilah yang kemudian menjatuhkan hukuman kepada mereka, yang dapat berupa penyiksaan ataupun hukuman mati. Hukuman mati ini memang dapat berupa hukuman dibakar, yang dilakukan di hadapan publik. Namun hal ini juga merupakan kekecualian dan jarang terjadi. Di Tolouse (1256) tercatat hanya ada sekali hukuman semacam ini diberlakukan, dan 12 hukuman seumur hidup. ((lih. Ibid., p 539))

Mengapa ada inquisisi?

Jika kita membaca kitab Perjanjian Lama, kita kurang lebih dapat memahami pola pikir orang-orang pada zaman inkuisi itu, yaitu jika kita membaca kitab Ulangan tentang hukuman bagi pelaku kejahatan yang melanggar perjanjian dengan Allah. “Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahmu, dengan melangkahi perjanjian-Nya, dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau kepada matahari atau bulan atau segenap tentara langit, hal yang telah Kularang itu; dan apabila hal itu diberitahukan atau terdengar kepadamu, maka engkau harus memeriksanya baik-baik. Jikalau ternyata benar dan sudah pasti, bahwa kekejian itu dilakukan di antara orang Israel, maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu ke luar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus kaulempari dengan batu sampai mati…” (Ul 17:2-5). Maka di zaman bangsa Israel, juga sudah pernah ada kejadian serupa, di mana diadakan pemeriksaan dengan seksama akan adanya suatu pelanggaran, dan bagaimana yang melanggar tersebut juga berusaha mengajarkan pandangan mereka, dan Tuhan kemudian menunjukkan bagaimana menangani hal tersebut (lih. Ul 13:6-18). Demikianlah kemungkinan para inkuisitor tersebut menyimpulkan bahwa apa yang pernah diberlakukan terhadap bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama dapat pula mereka terapkan demi membasmi kejahatan di antara mereka (Ul 13:5, 17:7, 12). Prinsip ini juga diajarkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 5:12-13). Maka yang diadili dalam pemeriksaan inkuisisi adalah orang-orang yang mengaku sebagai umat Katolik, namun hidupnya dilaporkan tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik, dan mempengaruhi/ mengajarkan ajaran yang sesat tersebut kepada umat yang lain. Bahwa pada akhirnya dalam pelaksanaan pemeriksaan ini terjadi hal-hal yang menyimpang dan kekejaman, itu adalah sesuatu yang patut disesalkan, namun dengan jujur kita patut menerima bahwa maksud awalnya diadakan sebenarnya adalah membasmi kejahatan dan penyimpangan dari ajaran Tuhan sebagaimana dipercayakan kepada Gereja.

Berapa jumlah yang wafat melalui Inkusisi?

Sejujurnya, berapa jumlah tepatnya korban akibat Inkuisisi, tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun kita dapat mengetahui dengan pasti, bahwa klaim 95 juta orang, yang sering disebut-sebut oleh kaum fundamentalis non-Katolik sebagai jumlah korban inkuisisi, jelas terlalu berlebihan, dan tidak masuk akal. Sebab inkuisisi tidak terjadi di Eropa Utara, Eropa Timur, Skandinavia dan Inggris, namun hanya terjadi di kawasan Perancis Selatan, Italia, Spanyol, sebagian kerajaan Romawi. Maka inkuisisi tidak dapat membunuh 95 juta orang sebab jumlah total orang yang hidup di kawasan tersebut saja tidak sampai sebanyak itu.

Studi sejarah yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 4000 ((cf. Will Durrant, The Reformation: A History of European Civilization from Wycliff to Calvin: 1300-1564 (MJF Books, 1985), p. 216)) sampai 5000 orang yang dihukum mati oleh inkuisisi di Spanyol, dan ini terjadi dalam selang waktu sekitar dua setengah abad. Di masa Spanish Inquisition, dalam 30 tahun pemerintahan ratu Isabella, ada sekitar 100,000 orang yang dikirim ke inkuisisi, dan 80,000 orang di antaranya dinyatakan tidak bersalah. 15,000 dinyatakan bersalah, namun setelah mereka menyatakan iman secara publik, maka mereka dibebaskan kembali. Hanya ada sekitar 2,000 orang yang meninggal karena keputusan inkuisisi sepanjang pemerintahan Ratu Isabella, dan 3000 orang kemudian dari tahun 1550 – 1800 (250 tahun). Sedangkan, sebagai perbandingan, dalam perang sipil di Jerman selama dua tahun (1524-1526) antara para petani dan kaum terpelajar, yang dipicu oleh pengajaran Luther tentang ide membuat semua orang sama derajatnya, membuat puluhan ribu petani menyerang para imam, uskup, prajurit, menguasai kota, membuat kekacauan, dan mengakibatkan serangan balik dari pihak penguasa dan pemerintah yang menewaskan sekitar 130,000 petani belum termasuk golongan masyarakat yang lain. Menurut sejarahwan William Manchester, jumlah warga Jerman yang wafat di sekitar waktu konflik tersebut mencapai sekitar 250,000 orang, jika dihitung sejak tahun 1523 sampai 1527. ((Ibid., p. 392)) Juga, hanya dalam waktu 20 hari, Revolusi Perancis (1794), yang dimotori oleh gerakan “Enlightenment”, meng-eksekusi pria dan wanita sebanyak 16,000- 40,000. Jumlah korban ini, jauh lebih banyak daripada korban inkuisisi dalam 30 tahun pemerintahan Ratu Isabella. Demikian juga, pembunuhan 72,000 umat Katolik yang dilakukan oleh Raja Inggris Henry VIII, sehingga jumlah orang yang meninggal selama beberapa tahun pada masa pemerintahan Henry VIII dan anaknya Elizabeth I, jauh melebihi apa yang terjadi pada inkuisisi di Spanyol dan Roma selama 3 abad.

Inkuisisi oleh pihak non- Katolik

Maka yang menginterpretasikan secara harafiah teks dari Kitab Ulangan tersebut pada masa itu, tidak hanya para inkuisitor Katolik, tetapi juga inkuisitor gereja Protestan. Baik Luther maupun Calvin mengakui hak negara untuk menangani heretik. Calvin tidak hanya mengusir mereka dari Geneva, tetapi juga menghukum mati mereka (contohnya Jacques Gouet, yang dipenggal kepalanya tahun 1547, dan Michael Servetus yang dihukum mati dengan dibakar di tahun 1553). Dari Geneva, Calvin mengirimkan utusan kepada England (Inggris) dengan pesan untuk membunuh orang-orang Katolik: “Siapa yang tidak mau membunuh para pengikut Paus, adalah pengkhianat.” Kebijakan ini dikenal tidak hanya oleh orang-orang Inggris yang setia kepada Roma, tetapi juga orang- orang Irlandia, yang hidup dan hak asasinya diambil (sampai 1913), demikian juga tanah mereka. Tahun  1585 parlemen Inggris mengeluarkan dekrit “hukuman mati bagi para warga Inggris yang kembali ke Inggris setelah ditahbiskan menjadi imam Katolik, dan semua orang yang menghubungi mereka.” ((Vittorio Messori, Black Legends of the Church, ch. 6, nr. 36)). Di Inggris dan Irlandia, para reformer itu juga mengadakan inkuisisi dan penghukuman mati, yang diperkirakan juga mencapai ribuan orang Katolik, entah dengan digantung, ditenggelamkan atau dipotong-potong, karena mereka Katolik dan menolak untuk menjadi Protestan. Lebih banyak yang lainnya dipaksa untuk keluar dari tanah air mereka untuk menyelamatkan diri.

Dengan demikian kita melihat bahwa hal inkusisi ini juga dilakukan tidak saja oleh Gereja Katolik tetapi juga oleh gereja Protestan, dan hal penghukuman mati secara masal dan kejam bahkan terjadi lebih parah lagi dalam Perang dunia ke I, ke II, perang/ pertikaian di negara-negara non- Kristen, dan revolusi negara-negara yang tidak ber-Tuhan, seperti di China dan Rusia. Maka inkusisi selayaknya menjadi fakta kelam sejarah seluruh umat manusia, yang seharusnya membuat kita semua berintrospeksi diri, bukannya menuding pihak tertentu sebagai satu-satunya yang bersalah dalam hal ini. Sebab sejujurnya hal kekejaman pembunuhan umat manusia secara massal tidak saja pernah dilakukan oleh oknum-oknum dari kalangan Katolik saja, tetapi juga kalangan Kristen non- Katolik dan bahkan non- Kristen. Oleh sebab itu, sungguh baiklah teladan Paus Yohanes Paulus II, yang dengan kerendahan hati mengakui adanya kesalahan yang dilakukan oleh putera-puteri Gereja, yang tidak menerapkan hukum kasih selama dalam proses inkuisisi ini. Inilah sebabnya Paus Yohanes Paulus II atas nama Gereja Katolik meminta maaf, atas nama mereka, menjelang perayaan tahun Yubelium 2000.

Mari berdoa agar setiap pemimpin agama ataupun pemimpin negara di dunia juga berlaku yang sama, yang terlebih dahulu mengakui kesalahan yang dilakukan juga oleh anggota-anggotanya, dan kemudian bersama-sama sebagai kesatuan umat manusia kita mengusahakan perdamaian dunia di saat ini dan di masa depan.

Sumber:
The Inquisition, Catholic Answers, klik di sini.
Buku-buku seperti disebutkan di catatan kaki.

11 COMMENTS

  1. menurut tim katolisitas, apa saja dosa-dosa gereja sepanjang masa?mengingat gereja memang kudus karena Kepalanya Kudus tapi anggota-anggotanya masih perlu berjuang dalam kekudusan…mohon dijawab dengan jujur dan apa adanya…:)

    [Dari Katolisitas: Nampaknya perlu diketahui bahwa dalam Gereja ada dimensi ilahi dan manusiawi. Dimensi ilahi disebabkan karena Kepala Gereja adalah Kristus yang adalah Allah, sedangkan dimensi manusiawi adalah karena Gereja beranggotakan para manusia yang tak lepas dari segala kelemahan dan dosa. Maka Gereja dari dimensi ilahinya adalah kudus, namun dari dimensi manusiawinya memang masih berjuang untuk hidup kudus. Jika ditanya dosa apa saja yang pernah dilakukan oleh para manusia anggota Gereja, maka itu sama saja menanyakan apakah saja dosa yang dapat diperbuat oleh manusia, sebab manusia anggota Gereja adalah manusia biasa yang tidak kebal terhadap dosa. Namun demikian, jika melihat kepada dimensi ilahi dan sejumlah orang kudus yang secara sempurna mengikuti teladan Kristus, tentu kita dapat mengetahui kebajikan-kebajikan ilahi yang dapat dilakukan oleh manusia, sehingga terbukti bahwa manusia dapat memilih untuk hidup kudus ketimbang terus tinggal dalam keadaan berdosa.
    Sedangkan kalau maksud Anda adalah apakah yang pernah dilakukan oleh sejumlah Paus yang hidupnya tidak sesuai dengan panggilannya sebagai pemimpin Gereja, itu sekilas sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik.]

  2. syalom admin
    Saya Theo yang saat ini masih berumur 14 tahun,saya suka sekali dengan sejarah dan kisah Gereja, tapi saya kadang terusik dengan pertanyaan dari teman lain yg mempertanyakan sejarah kelam gereja yg mungkin masih gagap saya jelaskan.
    Apa itu inkuisisi Gereja, kenapa harus ada inkuisisi sehingga dikatakan sebagai lembaga yg haus darah,tidakkah Yesus mengjarkan kasih? Lalu, Gereja kita menganjurkan kemiskinan terutama bagi para biarawan-biarawati, tetapi kenapa Paus tampaknya bersilau dengan kemakmuran yg sangat? Apa bentuk Gereja hidup miskin dalam abad 20 skrg ini? dan benarkah dulu para paus sangat berkuasa di Eropa dan para raja dan ratu tunduk padanya?Begitu kira2 yg mereka pertanyakan dan Apa penafsiran Gereja Katolik akan Kitab Wahyu? karena yg saya dengar selama ini hanya penafsiran Protestan dan itu yang saya tanyakan.
    terima kasih, Tuhan memberkati!

    • Shalom Theo,

      Selamat datang di Katolisitas. Saya salut dengan Theo, yang walaupun baru berumur 14 tahun, namun punya ketertarikan untuk mengetahui lebih dalam tentang Gereja Katolik. Semoga kami di Katolisitas dapat menjadi sahabat buat Theo dalam perjalanan iman ini. Kita sama-sama saling mendoakan ya?

      Tentang inkuisisi, sudah pernah dibahas di artikel di atas, silakan klik. Silakan Theo membaca terlebih dulu artikel itu, baru kalau ada yang kurang jelas, silakan bertanya. Mohon maaf kalau bahasa yang digunakan di sana bukan bahasa gaul anak muda, semoga tidak menjadi terlalu masalah buat Theo.

      Sedangkan tentang makna kemiskinan dalam kehidupan menggereja, silakan klik di sini. Semangat kemiskinan yang diajarkan dalam Injil mengacu kepada ketidakterikatan akan keinginan terhadap kekayaan, memotong keinginan terhadap kemewahan, terhadap kemuliaan yang sia-sia dan membebaskan diri dari perhatian terhadap barang-barang duniawi- agar kita dapat memusatkan perhatian kita kepada hal-hal yang surgawi, di mana Kristus ada (lih. Kol 3:1). Hal ini secara nyata terlihat dalam kehidupan membiara: kaul kemiskinan menjadi salah satu dari ketiga kaul bagi kaum biarawan/ biarawati: yaitu kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan; yang kalau dilihat adalah kebalikan dari nafsu dunia, yang menurut Rasul Yohanes adalah: keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup (1Yoh 2:16). Kemiskinan, yaitu ketidakterikatan dengan kemewahan dunia, menjadi salah satu hal yang dapat mendorong kita untuk bertumbuh secara rohani. Walaupun kita bukan biarawan/ biarawati, kitapun sesungguhnya juga dipanggil oleh Allah untuk tidak terikat akan hal-hal duniawi yang menawarkan kemewahan materi. Berbagai produk di sekitar kita seolah-olah berteriak-teriak kepada kita agar kita memilikinya, entah melalui iklan, atau lingkungan di sekitar kita yang membuat seolah kita ketinggalan zaman kalau kita tidak ikut-ikutan memilikinya. Nah, kita semua, baik awam maupun biarawan/ biarawati dipanggil untuk tidak terikat dengan segala kemewahan materi/ berbagai produk ini; supaya kita dapat solider dan berbela rasa dengan sesama yang miskin, yang menderita dan yang tersingkir. Dengan kita bermati raga untuk tidak mengikuti arus dunia untuk membeli ini itu yang tidak perlu, supaya kita dapat menyisihkan sejumlah uang untuk menolong sesama yang membutuhkan. Inilah sebetulnya yang dicanangkan oleh KAJ pada tahun ini, yang ditentukan sebagai tahun pelayanan. Bukankah lagu marsnya dinyanyikan hampir setiap minggu dalam setiap perayaan Misa Kudus? Gereja yang memperhatikan kaum yang miskin lemah dan tersingkir, mau hidup sederhana, peduli dan melayani dengan tulus dan suka cita, terutama kepada kaum miskin, itulah Gereja yang menjalani semangat kemiskinan sebagaimana diajarkan oleh Kristus dalam Injil.

      Nah, tentang apakah Paus “tampaknya bersilau dengan kemakmuran yang sangat“, ini tolong Theo sebutkan Paus yang mana. Sebab Paus yang sekarang, Paus Fransiskus, tidak demikian. Memang mungkin ada di zaman dahulu para Paus yang hidupnya nampak tidak sesuai dengan panggilannya sebagai Paus, dan sekilas pernah kami ulas di artikel ini, silakan klik. Dalam hal ini mari kita melihat faktanya, yaitu walaupun Gereja Katolik pernah dipimpin oleh orang-orang yang tidak baik hidupnya, namun Gereja tetap utuh dan tidak bubar. Ini sendiri merupakan bukti yang kuat akan pemenuhan janji Kristus yang akan selalu menyertai Gereja-Nya sampai akhir zaman (lih. Mat 16:18, 28:19-20).

      Di zaman Abad Pertengahan, sejumlah negara- negara di Eropa dipimpin oleh raja/ ratu yang Katolik, sehingga mereka memiliki kedekatan dengan Paus yang adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik di dunia. Kedekatan ini nampak misalnya bahwa Paus yang melantik penobatan mereka sebagai kaisar, namun tentang pemilihannya, tentu bukan urusan Paus. Paus hanya melantiknya saja, dalam kapasitas sebagai pemimpin Gereja; sebab diyakini saat itu bahwa para kaisar harus menerapkan ajaran Gereja dalam tugasnya untuk memimpin negaranya. Bahwa kemudian tidak semua kaisar melaksanakannya dengan sempurna, ini adalah fakta juga, namun hal ini tidak menyangkal bahwa pada mulanya terdapat semacam idealisme ini, yaitu para Raja harus memimpin dengan semangat kasih dan pelayanan, adil dan jujur, sebagaimana ditunjukkan oleh Raja St. Louis IX (1226-1270).

      Bagi Gereja Katolik, Kitab Wahyu, adalah kitab yang sarat dengan simbol dan tanda, yang sebagian di antaranya menggambarkan suatu keadaan yang telah terjadi; walaupun tetap membuka kemungkinan masih dapat digenapi secara sempurna di akhir zaman. Namun karena saratnya kitab dengan simbol-simbol itu, maka memang tidak dengan mudah diinterpretasikan. Beberapa perikop/ ayat yang sudah pernah dibahas sehubungan dengan kitab Wahyu di situs ini adalah:

      Siapa perempuan dalam Wahyu 12?
      Apakah Gereja Katolik adalah “the Whore of Babylon”?
      Apakah Binatang pertama dalam Why 13= Gereja Katolik?
      Tentang Why 20 dan Why 19
      Apa maksud 1000 tahun dalam Why 20:5
      Interpretasi Why 6
      Tentang 666
      Siapakah tujuh gereja di Asia Kecil?

      Mengapa Gereja Katolik tidak mengajarkan kerajaan literal 1000 tahun?
      Satanisme di Gereja Katolik?

      Selanjutnya, kalau Theo masih mempunyai pertanyaan, silakan pertama-tama mengetik topik/ kata kuncinya di fasilitas pencarian di sudut kanan atas homepage, lalu tekan enter. Semoga Theo dapat menemukan beberapa pembahasannya di sana. Kalau belum ada, silakan bertanya lagi ya. Dan doakan supaya kami dapat menjawabnya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. shalom tim katolisitas
    saya pernah membaca buku mengenai sejarah kesehatan mental yang mengatakan bahwa pada akhir abad ke-15, keadaan orang-orang yang sakit mental diperberat dengan keluarnya buku Malleus maleficarum, The Hammer of Witches which destroyeth witches and their heresy as with a twoedged sword, karangan Henry Kraemer dan James Sprenger dari ordo Dominikan. Buku ini terbit pada tahun 1486 dan kemudian dikukuhkan dengan bulla dari Paus Innocentius VIII menjadi buku pegangan inkuisitor selama 200 tahun. Bulla tersebut memberikan kekuasaan kepada inquisitor untuk bertindak sesuai dengan peraturan inkuisisi.Pengadilan-pengadilan gereja memburu orang-orang yang dianggap “kerasukan setan”. Orang-orang yang malang itu kemudian diserahkan kepada para penguasa sipil untuk disiksa atau dihukum mati. Kraemer dan Sprenger mula-mula mendapat perlawanan dari orang-orang dalam gereja dan masyarakat yang menentang cara itu, tetapi dengan segera mendapat dukungan dari orang-orang yang sangat membenci ilmu sihir. Perjuangan mereka berkobar-kobar dan kemudian tersebar ke seluruh Eropa di pusat agama Katholik dan Protestan. Kepercayaan terhadap tukang sihir begitu kuat sehingga penyiksaan terhadap mereka dimulai secara sporadis selama tiga abad berikutnya (di Amerika pemeriksaan pengadilan yang sangat terkenal terhadap ilmu sihir terjadi di Salem, Massachusetts, pada tahun 1962). (Yustinus Semiun,OFM:2006). Saya ingin bertanya mengapa pada penjelasan tim katolisitas di atas, tidak disinggung soal buku dan bulla tersebut?Terima kasih atas penjelasannya.

    • Shalom Petrus,

      Kami tidak menyertakannya karena buku Malleus Maleficarum itu bukan dokumen Gereja, dan Gereja tidak pernah memerintahkan penggunaannya. Adalah kesalahpahaman umum bahwa, Paus Innocentius VIII mengukuhkan buku Malleus Maleficarum dengan Bulla. Paus Innocentius VIII memang mengeluarkan Bulla yang berjudul Summis desiderantes affectibus, yang menunjukkan bahwa saat itu sekitar tahun 1484 terdapat banyak penyesatan yang dilakukan oleh para penyihir (witchcrafts) di Eropa, secara khusus di Austria, Jerman, Perancis, dan sekitarnya. Bulla tersebut memang meneguhkan kuasa yang telah diberikan Paus kepada para hakim inkuisisi untuk mengadili para pengajar sesat dari kalangan manapun, namun tidak secara khusus memberi kuasa ataupun dukungan terhadap pemakaian buku karangan Kramer tersebut. Terjemahan Inggris teks bulla Paus dapat Anda baca di link Wikipedia, dan di sana tidak menyebut apapun sehubungan dengan pengesahan buku Malleus Maleficarum sebagai buku pedoman penanganan para penyihir pada masa inkuisisi. Hanya karena Kramer menempatkan salinan bulla tersebut di pendahuluan bukunya, maka banyak orang menjadi salah paham, seolah Paus menyetujui buku itu, padahal tidak demikian.

      Konsensus umum dari para ahli sejarah adalah Heinrich Kramer membawa bukunya kepada pihak universitas Cologne, memohon dukungan/ pengakuan. Konon ia memperoleh surat persetujuan yang ditandatangai oleh keempat pengajar dari universitas tersebut. Namun surat itu palsu, Universitas Cologne sesungguhnya tidak pernah menyetujui buku itu, malah sebaliknya mengecam penggunaan buku itu, yang digunakan sebagai dasar bagi prosedur hukum yang tidak etis, dan apa yang diuraikan di sana sehubungan dengan demonology, tidak sesuai dengan ajaran Katolik. Penulis buku itu, Heinrich Kramer sendiri diadili oleh pengadilan inkuisisi pada tahun 1490.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • terima kasih atas penjelasannya bu Ingrid. Membaca penjelasan di atas saya jadi sadar bahwa kita harus lebih objektif dalam menilai apa yang kita baca atau dengar karena semua orang mempunyai sudut pandangnya masing-masing. Yang membuat saya bingung adalah karena tulisan mengenai dokumen itu ditulis oleh pastor. Bukankah seorang pastor harus lebih tahu mengenai masalah-masalah tersbut?kenapa sekarang semua cenderung menyalahkan Gereja Katholik?.. Shalom..

        [Dari Katolisitas: Itulah sebabnya, kita semua, baik awam maupun imam dipanggil untuk menjadi lebih kritis dalam menerima informasi.]

  4. Shalom salam sejahtera, terimakasih atas penjelasannya yang sangat membantu perjalanan saya.

    • Tambahan, Apakah kebijakan praktik inkuisisi berasal dari Roma (Bapa Suci) atau Pemerintah Kerajaan sekuler saja ? maaf.Tuhan Yesus memberkati

      • Shalom JNS, 

        Jika Anda tertarik dengan topik Inkuisisi ini, silakan Anda membaca di link ini, silakan klik.

        Sebagaimana telah disebutkan di atas, inkuisisi yang diadakan Gereja, alasannya adalah untuk melindungi Gereja dari pengajaran yang sesat. Maka Paus memang memprakarsai inkuisisi demi melindungi ajaran iman, karena pengaruh ajaran sesat di zaman itu sudah mencapai tahap merusak tatanan kehidupan masyarakat, sehingga pemerintah sekuler-pun mempunyai kepentingan untuk mencegah penyebaran ajaran sesat itu. Di sinilah masuk peran pemerintah sekuler, yang menindaklanjuti keputusan hakim gerejawi, setelah melalui pemeriksaan yang seksama oleh para pakar ajaran iman, terhadap mereka yang terbukti bersalah melakukan penyebaran ajaran sesat tersebut.

        Berikut ini saya kutipkan dari link di atas, tentang karakteristik tribunal inkuisisi:

        “Paus tidak mendirikan Inkuisisi sebagai pengadilan/ tribunal yang terpisah; yang dilakukan Paus adalah menunjuk para hakim yang istimewa dan tetap, yang memutuskan perkara doktrinal atas nama Paus. Di mana mereka duduk, di sana ada Inkuisisi. Harap diketahui, bahwa ciri-ciri Inkuisisi bukanlah prosedurnya yang khusus, bukan juga pemeriksaan secara rahasia dari para saksi, dan juga bukan putusan hukumannya: [sebab] prosedur ini umum terjadi pada semua pengadilan sejak zaman Paus Inocentius III…. [Inkuisisi] juga bukan tentang hukuman penyiksaan yang tidak diperbolehkan di masa berpuluh-puluh tahun dimulainya Inkuisisi, juga bukan berbagai sangsi, hukuman penjara, penyitaan dan hukuman mati, dst., yang mana berbagai hukuman itu sudah umum diberlakukan jauh sebelum ada Inkuisisi. Inkuisitor… adalah hakim yang khusus dan tetap, yang bertindak dalam nama Paus, dan dilengkapi olehnya dengan hak dan kewajiban untuk menindak secara hukum, pelanggaran yang menentang ajaran Iman. Maka, ia harus berpegang kepada ketentuan-ketentuan dan prosedur kanonik dan memutuskan penalti/ hukuman yang umum [pada saat itu].”

        Sejujurnya, kita yang hidup di zaman sekarang, mungkin sulit memahami keadaan pengadilan pada zaman Abad Pertengahan. Namun jika kita dengan jujur membaca sejarah, kita akan mengetahui bahwa pada saat itu memang hukum yang diberlakukan kepada para penjahat/ yang terbukti bersalah, adalah demikian. Jadi aneka hukuman fisik itu bukan prakarsa Gereja, tetapi memang itu adalah hukuman yang yang diterapkan oleh pemerintah sekular pada saat itu. Gereja hanya melangsungkan pengadilan gerejawi dengan maksud menghilangkan pengaruh ajaran sesat yang membahayakan iman, sedangkan pemerintah sekular bermaksud menjaga keamanan karena pengaruh ajaran sesat itu yang membahayakan keadaan masyarakat dan kehidupan bernegara pada saat itu.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. mau nanya nih

    katanya Fransiskus Xaverius saat di Goa pernah meminta dilakukannya inkuisisi di Goa, India walaupun baru dijalanin 8 tahun setelah dia wafat: http://en.wikipedia.org/wiki/Goa_Inquisition

    dan pada inkuisisi di Goa itu terjadi pemaksaan agama serta dilarang mempekerjakan orang Hindu dan Islam dan dilarang beribadah secara terang2an kecuali agama Kristen

    • Shalom Sparrowhawk,

      Sumber di Wikipedia memang mengatakan bahwa Fransiskus Xaverius pernah meminta dilakukannya Inkuisisi di Goa. Namun sejujurnya, saya tidak menemukan sumber lain yang mengatakan demikian. Seandainya informasi ini benar sekalipun, kita tidak dapat menghubungkannya dengan kekerasan/ kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah Portugis yang melaksanakan Inkuisisi di Goa, India, sebab sesungguhnya jika dilaksanakan dengan baik, maksud inkuisisi sebenarnya adalah pemeriksaan seksama atas mereka yang mengadakan penyimpangan terhadap ajaran iman Kristiani dan yang mengajarkan/ menganjurkannya kepada orang lain, agar mereka yang menyimpang ini bertobat dan kembali kepada pengajaran Kristiani yang benar.

      Silakan membaca tentang Inkuisisi, di atas, silakan klik.

      Inkuisisi hanya diberlakukan pada umat Katolik (yang sudah menerima Baptisan), maka tidak benar jika sangsi diberlakukan kepada umat dari kalangan agama lain.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.