Sering kali dalam perayaan Misa, baik di dalam perayaan Misa kategorial, Misa di rumah duka, ataupun Misa di lingkungan, Mazmur Tanggapan digantikan dengan lagu rohani yang tidak ada hubungannya dengan teks Kitab Suci yang dibacakan saat itu. Pertanyaannya adalah apakah hal-hal seperti ini diperbolehkan? Kalau tidak diperbolehkan, apakah alasannya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mengacu kepada ketentuan tentang Liturgi Sabda yang tertulis dalam Pedoman Umum Misale Romawi/ PUMR:

“B Liturgi Sabda

55. Bagian utama Liturgi Sabda terdiri dari bacaan-bacaan Kitab Suci bersama-sama dengan pendarasan Mazmur di antara bacaan-bacaan tersebut. Homili, Syahadat dan Doa Umat mengembangkan dan mengakhiri bagian Misa [Liturgi Sabda] ini….

Bacaan-bacaan Kitab Suci

57. Dalam bacaan-bacaan ini, mimbar Sabda dipersiapkan bagi umat beriman, dan kekayaan Kitab Suci dibukakan kepada mereka. Oleh karena itu, dianjurkan untuk mempertahankan penyusunan bacaan-bacaan Kitab Suci, yang melaluinya dicurahkan terang kesatuan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan sejarah keselamatan. Lagipula, tidak diperbolehkan untuk menggantikan dengan teks-teks non Biblis terhadap bacaan-bacaan Kitab Suci dan Mazmur Tanggapan, yang mengandung Sabda Allah.

61. Setelah bacaan pertama, Mazmur Tanggapan didaraskan, yang menjadi satu kesatuan dengan keseluruhan Liturgi Sabda dan memegang posisi penting secara liturgis dan pastoral, sebab pendarasan Mazmur mendukung permenungan Sabda Tuhan.

Mazmur Tanggapan harus sesuai dengan setiap bacaan dan hendaknya, sebagai ketentuan, diambil dari Lektionari.

Adalah lebih dianjurkan agar Mazmur Tanggapan dinyanyikan, sedikitnya pada bagian tanggapan umat. Oleh karena itu, pemazmur, atau pemimpin Mazmur, menyanyikan ayat-ayat Mazmur dari ambo atau tempat lain yang layak/ sesuai. Seluruh umat tetap duduk dan mendengarkan, tetapi sebagai ketentuan, mengambil bagian dengan menyanyikan tanggapan/ refrein, kecuali ketika Mazmur dinyanyikan langsung tanpa refrein. Adapun agar umat dapat menyanyikan Mazmur Tanggapan dengan lebih siap, teks dari beberapa refrein dan Mazmur telah dipilih dari bermacam masa dalam tahun atau untuk beragam katagori para Santo/Santa. Ini dapat dipergunakan pada bagian teks yang sesuai dengan bacaan ketika Mazmur dinyanyikan. Jika Mazmur tidak dapat dinyanyikan, maka harus dibacakan sedemikian agar sesuai/ cocok untuk mendukung permenungan Sabda Tuhan…..”

Ketentuan PUMR ini mengambil dasar dari ajaran Katekismus:

KGK 1093 Roh Kudus menyelesaikan di dalam tata sakramental apa yang dipralukiskan dalam Perjanjian Lama. Karena Gereja Kristus sudah “dipersiapkan atas cara yang mengagumkan dalam Perjanjian Lama” (LG 2), liturgi Gereja mempertahankan unsur-unsur ibadah Perjanjian Lama sebagai satu bagian hakiki yang tidak dapat diganti dan menerimanya:
– pertama-tama pembacaan Perjanjian Lama;
– doa mazmur;
– dan terutama kenangan akan peristiwa-peristiwa yang membawa keselamatan, dan kenyataan-kenyataan yang telah terpenuhi di dalam misteri Kristus (janji dan perjanjian, eksodus dan paska, kerajaan dan kenisah, pembuangan & kedatangan kembali).

Sebagaimana Kristus mengajarkan penghormatan terhadap Kitab Suci, dengan pembacaan Kitab Perjanjian Lama (kitab-kitab Musa dan kitab para nabi, termasuk doa Mazmur) dan penggenapannya di dalam Dirinya-sebagaimana dinyatakannya kepada dua orang murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus, Luk 24:13-35- maka Gereja juga melakukannya demikian dalam perayaan Ekaristi.

Selanjutnya, Katekismus mengajarkan bahwa kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi itu nyata dalam 4 hal: 1) dalam diri imam (in persona Christi); 2) di dalam Sabda-Nya dalam pembacaan Kitab Suci; 3) di dalam rupa roti dan anggur yang sudah dikonsekrasikan; 4) di dalam umat/Gereja yang berdoa dan bermazmur, atas dasar firman Yesus bahwa di mana ada dua atau tiga orang berkumpul, Ia hadir di tengah-tengah mereka (lih. Mat 18:19):

KGK 1088    “Untuk melaksanakan karya sebesar itu, Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya, terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam kurban misa, baik dalam pribadi pelayan, karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengurbankan Diri di kayu salib, maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya Ia hadir dalam Sakramen-Sakramen sekian rupa, sehingga bila ada orang yang membaptis, Kristus sendirilah yang membaptis. Ia hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja. Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur, karena Ia sendiri berjanji: bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mt 18:20)” (SC 7).

Mengingat bahwa bacaan-bacaan Kitab Suci dan Mazmur Tanggapan adalah Sabda Tuhan yang saling berkaitan, di mana Tuhan Yesus sendiri hadir di dalamnya, maka sesungguhnya, bukan bagian umat untuk mengubah ataupun memisahkan keterkaitan ini dengan lagu pilihan sendiri yang tidak ada kaitannya dengan bacaan Kitab Suci yang sudah ditentukan pada perayaan Ekaristi tersebut. Jadi, tidak pada tempatnya jika kita mengganti Mazmur dengan nyanyian lain, walaupun merupakan lagu rohani. Dalam pendarasan Mazmur, umat menanggapi bacaan Sabda Tuhan, juga dengan doa yang diambil dari Sabda Tuhan, yang umumnya berhubungan juga dengan tema bacaan Kitab Suci yang dibacakan. Mazmur Tanggapan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bacaan-bacaan Kitab Suci lainnya dalam Liturgi Sabda, dan karena itu tidak selayaknya diganti menurut selera umat ataupun komunitas yang menyelenggarakan Misa Kudus. Sebagaimana imam ataupun umat tak sepantasnya mengganti teks dalam Liturgi Ekaristi, demikian juga tak sepantasnya umat  mengganti teks dalam Liturgi Sabda, yang dalam hal ini meniadakan Sabda Allah yang harusnya dibacakan/ dinyanyikan sebagai Mazmur Tanggapan.

Ini juga jelas disebutkan dalam Redemptionis Sacramentum:

“62. Tidak juga diperkenankan meniadakan ataupun menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagi “mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci” (RS 62)

Penggantian Mazmur dengan lagu-lagu lain ini tidak diperbolehkan, apalagi jika sebagai gantinya adalah lagu pop rohani yang tidak mengandung teks Sabda Tuhan. Karena kalau hal-hal ini dilakukan, tanpa disadari hal ini dapat berakibat pada umat, semacam sikap yang menghubungkan perayaan iman dengan ‘apa yang saya sukai’, daripada mengindahkan ‘apa yang tepat dan benar’, menurut kehendak Tuhan. Jika ini yang terjadi, maka sebenarnya terjadi penyimpangan dari hakekat liturgi, yang harusnya merupakan karya bersama antara Kristus sebagai kepala Gereja dan kita sebagai anggota-anggota-Nya; sehingga kita harus mengutamakan kehendak Kristus terlebih dahulu -sebagaimana yang telah dilestarikan selama berabad-abad dalam Gereja- dan tidak mengutamakan selera ataupun perasaan kita sendiri.

Perlu kita ingat kembali bahwa perayaan Ekaristi merupakan karya Kristus sendiri dan Gereja dalam menghadirkan kembali Misteri Paska Kristus: yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Misteri ini adalah peristiwa iman, dan sama sekali bukan tontonan ataupun pertunjukan/ performance, yang dengan mudah dan bebas dapat diubah-ubah sesuai kemauan penyelenggara. Peristiwa iman ini selayaknya dirayakan seturut tradisi Gereja selama berabad-abad, yang dilakukan atas dasar kepercayaan akan kehadiran Yesus secara nyata dalam perayaan Ekaristi, baik dalam keseluruhan liturgi Sabda, maupun dalam keseluruhan liturgi Ekaristi.

Previous articleBeriman Dengan Cerdas, Tangguh, Misioner
Next articleSudahkah aku melihat Yesus?
stefanus-ingrid
Stefanus Tay, MTS dan Ingrid Listiati, MTS adalah pasangan suami istri awam dan telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat. Pengarang buku: Maria, O, Maria

15 COMMENTS

  1. Salam damai katolisitas. Saya ingin mengajukan pertanyaan: Saya pernah mengikuti misa di paroki lain, pada bagian ordinarium “KUDUS” digantikan dengan nyanyian dari Puji Syukur nomor 555 “Kau Kusembah”. Memang pada refren lagu ini ada kata Kudus, kudus, kudus. Tapi pada saat itu saya agak terkejut, karena sepengetahuan saya lagu-lagu ordinarium adalah merupakan bagian yang tetap, termasuk dari isi (konten) kata-katanya.
    Pertanyaan saya: apakah boleh menggantikan salah satu atau keseluruhan ordinarium dengan lagu-lagu yang lain dari Puji Syukur atau Madah Bakti?

    • Shalom Daniel,

      Sambil menunggu jawaban dari Rm. Boli, izinkanlah saya menanggapi pertanyaan Anda. Jika nanti jawaban Romo Boli datang, dan berbeda dengan jawaban saya, silakan Anda mengabaikan jawaban saya, dan memakai jawaban dari Rm Boli, yang memang ahli dalam hal liturgi ini.

      Terhadap pertanyaan: Dapatkah kita mengganti teks Ordinarium? Mungkin ada baiknya kita mengacu kepada apa yang disampaikan oleh dekrit Redemptionis Sacramentum, demikian:

      RS 59   Di sana-sini terjadi bahwa Imam, Diakon atau umat dengan bebas mengubahkan atau menggantikan teks-teks liturgi suci yang harus mereka bawakan. Praktek yang amat tidak baik ini harus dihentikan. Karena dengan berbuat demikian, perayaan Liturgi Suci digoyahkan dan tidak jarang arti asli liturgi dibengkokkan.

      Teks Ordinarium adalah teks liturgi suci yang seharusnya tetap sama pada setiap perayaan Misa- oleh karena itu disebut ‘ordinary‘.

      Nah, maksud pendarasan doa Sanctus/ “Kudus, kudus, kudus… Allah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu…. dst” adalah untuk menggabungkan pujian kita dengan pujian para malaikat di Surga, yang juga melambungkan pujian tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Yes 6:3, dan Why 4:8. St. Klemens dari Roma di tahun 104 telah menyebutkan tentang hal ini, “sebab Kitab Suci berkata …. Kudus, kudus, kudus, Allah segala kuasa; penuhlah semua ciptaan dengan kemuliaan-Nya. Dan kita, dipimpin hati nurani, berkumpul bersama di satu tempat, menyerukan kepada-Nya tak henti, seperti melalui satu mulut, agar kita dapat mengambil bagian dalam janji-Nya yang besar dan mulia…”

      Oleh karena itu pendarasan Sanctus (Kudus, kudus, kudus…) dalam setiap Misa Kudus, tidak saja dimaksudkan untuk menyembah Kristus dalam rupa Hosti kudus seperti dalam lirik PS 555, tetapi juga menggabungkan pujian kita dengan pujian seluruh malaikat di Surga, dan mengingatkan kita akan penggenapan janji Tuhan bagi kita yang percaya, kelak di Surga. Sebab dengan kita menyembah Tuhan Yesus dan menyambut-Nya dalam rupa Hosti kudus, kita digabungkan dengan Kristus dan seluruh isi Surga yang tak putus-putus-Nya menyembah dan memuliakan Dia. Di sinilah salah satunya kita dapat menghayati bahwa dalam setiap perayaan Ekaristi, kita mengambil bagian dalam perjamuan Surgawi di dunia, atau sering disebut dengan istilah “Heaven on earth“. Arti ini yang nampaknya absen/ tidak ada dalam teks lagu PS 555.

      Mengingat bahwa setiap teks liturgi, secara khusus teks Ordinarium itu ada maksudnya, dan artinya begitu indahnya, maka tak mengherankan jika Gereja menganjurkan agar kita tidak mengubahnya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Salam Bu Inggrid,

    Sehubungan dengan topik ini, saya ingin menanyakan beberapa hal sebagai berikut :
    1. Di dalam misa-misa khusus di luar misa hari minggu atau hari raya (misal : misa Jumat pertama, misa pembukaan dan penutupan bulan Maria, misa arwah, dsb), kami mengalami kesulitan untuk memilih teks mazmur yang akan dilagukan. Lebih tepatnya memilih reffrein yang mana, karena menentukan pola lagu untuk ayat-ayat mazmurnya. Akhirnya, dengan pertimbangan kesulitan itu tadi (apalagi mengingat tidak semua paduan suara ‘siap’ untuk itu), maka biasanya kami menyarankan paduan suara untuk memilih lagu dari Puji Syukur dengan tema Sabda (seperti PS 366 contohnya). Apakah itu masih diperbolehkan?
    2. Dalam liturgi perkawinan, biasanya bacaan diambil dari 2 Korintus bab 13 tentang Kasih. Nah, kami sering gunakan lagu antar bacaan yang sama dengan isi bacaan tersebut, yaitu lagu dengan judul Kasih arr. Putut atau arr. Tejo, dimana dinamikanya kalau menurut saya itu adalah lagu pop rohani, tetapi syairnya sangat alkitabiah karena diambilkan dari 2 Kor 13. Tampak aneh memang, karena seolah-olah kita mendengarkan 2 Sabda yang sama, hanya bedanya satunya dibacakan, sedang satunya dinyanyikan. Bagaimana menurut Katolisitas? Apakah seharusnya tetap disiapkan mazmur? Dan juga apakah ada panduan yang sudah bisa kami pakai untuk pemilihan lagu-lagu dalam liturgi perkawinan? Mengingat kami banyak memiliki partitur-partitur lagu dari banyak sumber, tetapi jujur kami tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat memutuskan apakah lagu-lagu tersebut bisa dinyanyikan dalam liturgi perkawinan atau tidak.
    Demikian yang dapat saya tanyakan, dan terima kasih atas jawaban yang nanti diberikan. Tuhan berkati.

    Salam,
    Andreas Yayan

    • Salam Andreas Yayan,

      1. Kesulitan yang dihadapi bisa diatasi dengan memilih teks dan lagu Mazmur yang berisi tema perayaan berdasarkan bacaan pertama. Untuk itu lihat daftar isi (tema) Mazmur dalam buku nyanyian Mazmur Tanggapan. Bila lagunya tidak diketahui (karena agak sulit) tentu perlu dibuat latihan singkat agar dapat dinyanyikan dengan baik. Gereja ingin agar dalam Liturgi Sabda, teks-teks Kitab Suci mendapat prioritas.

      2. Sebaiknya tidak diulang teks yang sama dengan yang ada dalam bacaan pertama. Sekali lagi teks Mazmur jadi prioritas. Ada banyak teks Mazmur tentang kasih setia Allah yang jadi sumber kekuatan bagi manusia untuk saling mengasihi.

      Saling doakan.
      Rm Boli.

  3. selamat malam….
    saya punya pertanyaan nih, sebenarnya bingung mau nanya d artikel yang mana
    jadi mohon d maklumi klo saya bertanya d artikel yang tidak berhubungan…

    langsung aja yah:
    pastor paroki saya sering memutar lagu-lagu rohani dari tape saat umat menyambut komuni, apakah hal itu wajar dan tidak menyalahi aturan?
    soalnya secara pribadi saya lebih menyukai umat atau koor yang mengambil bagian saat komuni.

    mohon penjelasannya

    • Salam Freakk,

      Salam Paskah. Iya kemungkinan yang lebih baik adalah nyanyian umat/koor, lalu hening-tenang atau organist membawakan musik intrumental yang cocok untuk mengiringi komuni.

      Tks dan doa. Gbu.
      Rm Boli

  4. Bu Inggrid yang baik,

    Saya saat ini sedang bingung untuk menegor salah seorang gembala (pastor di paroki kami), karena beliau setiap kali misa, sebelum dan sesudah homili selalu menyanyikan lagu pop rohani dengan memainkan alat musik sendiri (keyboard), dan ujung-ujungnya pasti selalu ditutup dengan tepuk tangan umat.

    Di satu sisi sebagai seksi liturgi paduan suara, saya menekankan koor untuk tidak menyanyikan lagu-lagu rohani, tetapi di sisi lain Romonya memberikan contoh yang salah. Kami dari seksi liturgi sendiri, bingung mau menegornya karena beliau orangnya cukup keras dan mudah tersinggung. Apakah ibu bisa membantu, bagaimana cara yang baik untuk mengingatkan beliau sekaligus tidak membuat beliau tersinggung.

    terima kasih

    • Shalom Henricus Wendy,

      Sejujurnya, sayapun tidak tahu apakah usulan saya ini baik, sebab Anda yang lebih mengenal pastor Paroki Anda, sehingga sesungguhnya lebih mudah bagi Anda untuk menemukan caranya yang cocok. Tetapi bisa saja dicoba, Anda mengajak beliau bicara pada saat yang santai, kalau perlu sambil makan bersama, sehingga suasana tidak kaku. Lalu Anda dapat membicarakan sharing Anda setelah membaca dokumen Gereja yang berjudul: Redemptionis Sacramentum (Sakramen Penebusan); dan buku PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) yang dikeluarkan oleh Komisi Liturgi KWI, diterbitkan oleh Nusa Indah. Silakan Anda memesan terlebih dahulu buku ini dari Toko Buku Obor atau langsung ke toko buku KWI, dan bacalah terlebih dahulu kedua dokumen yang tidak panjang itu. Nah, lalu silakan ceritakan pengalaman Anda setelah membaca dokumen tersebut, yang membantu Anda untuk lebih memahami dan menghargai perayaan Ekaristi, dengan melaksanakan bagian-bagiannya sebagaimana mestinya. Jadi silakan Anda baca terlebih dahulu dokumen itu, dan temukanlah point-point yang perlu menjadi perhatian, entah bagi diri Anda sendiri, maupun bagi paroki Anda.
      Atau, silakan membaca ringkasan/ beberapa point yang sering dilanggar di artikel yang sudah pernah kami tayangkan di situs ini, silakan klik.

      Jika memungkinkan ajaklah Romo bicara hanya empat mata (tak usah ada orang lain yang tahu), supaya tidak ada kesan Anda bermaksud menegur Romo di depan orang lain, melainkan Anda hanya mau mensharingkan saja, apa yang Anda ketahui tentang dokumen Gereja tentang perayaan Ekaristi, yang seharusnya juga menjadi acuan Romo.
      Di atas semua itu, berdoalah terlebih dahulu, semoga Romo juga dapat menerima maksud baik Anda. Jika memungkinkan dalam pertemuan itu, silakan meminta Romo memainkan lagu rohani kesayangannya, dan nyanyikanlah bersama dengan Anda. Semoga dengan demikian suasana menjadi lebih bersahabat.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Shalom Bu Inggrid,

        Terima kasih atas jawabannya :). Sarannya sudah saya laksanakan, tp memang mungkin pertimbangan beliau sedikit berbeda. Beliau mengatakan bahwa beliau termasuk Romo pembaharu, (Neo Pantekostal?), bahwa umat bertepuk tangan tidak perlu dilarang karena itu merupakan luapan hati umat, dan liturgi salah tidak apa2 asal tidak fatal. Beliau mengatakan tidak perlu kaku dengan liturgi, gereja2 di Eropa dan Amerika kehilangan umat karena terlalu kaku dengan tradisi (liturgi), bahwa liturgi berkembang dan kita harus mengakomodasi kemauan umat supaya umat tidak lari ke gereja lain. (Loh…?).

        Beliau juga mengatakan sebentar lagi akan mengadakan Misa OMK yang pasti akan mengundang protes sie Liturgi.

        Mungkinkah pemahaman saya yang salah tentang liturgi? Atau memang saya yang tidak bisa mengikuti trend perubahan di Gereja Katolik, khususnya di KAJ? (Terkait acara The Celebration of Love 2011 tempo hari), dan mungkin juga peringatan Hari Raya Pantekosta di Kemayoran).

        Saya berpikir apa gunanya ada sie Liturgi di Paroki? Karena jerih payah untuk mengajarkan liturgi yang benar, menjadi sia2, karena Gembalanya justru memberikan contoh yang ‘kurang baik’.

        Salam Damai Kristus
        Henricus Wendy K.

        • Salam Henricus,

          Berikut ini tanggapan dari Rm Bosco Da Cunha, O Carm, sekretaris eksekutif KomLit KWI:

          Singkatnya begini: Tepuk tangan spontan setelah tampilan nyanyian itu tidak baik, seperti ungkapan emeritus paus, dengan segala dampaknya. Hal itu juga bisa membuat fokus tim paduan suara bergeser dari yang seharusnya, lalu besok-besok memilih lagu sekedar mencari applause. Dampak psikologisnya kurang baik. Namun demikian, kalau setelah pengumuman Misa lalu imam mengajak umat bertepuk tangan karena koor hari ini telah mempersiapkan diri dan membawakan tugas dengan baik, maka hal itu baik saja, tidak apa-apa, sebagai tanda terima kasih dan dukungan sehat. Tapi tidak setiap hari atau sepanjang hari.

          Kemudian tambahan dari saya:

          Semua usaha ini dalam rangka menuju liturgi yang khidmat, luhur dan suci (bdk. “Liturgiche Instaurationes” no. 1). Liturgi ialah kehadiran Kristus Sang Sabda Allah dan Roti Hidup dari Surga, Sang Putra Allah sendiri dalam kesatuan Allah Tritunggal Mahakudus. Pribadi yang sangat agung dan mulia. Siapapun mestinya gentar bertatapan langsung denganNya. Petrus gemetar tak tahu mesti mengatakan apa di gunung itu ketika ia berhadapan denganNya (Luk 9:33); atau ketika di danau Tiberias (Yoh 21:12), dan merasa tidak pantas di hadapan wajah Yesus sehingga memohonNya pergi (Luk 5:8). Seluruh doa dalam Ekaristi diilhami Injil.

          Jika seorang imam melanggar ketentuan liturgi, maka umat yang mengetahui pelanggaran tersebut perlu dengan kasih memberitahukannya kepada pastor yang bersangkutan. Bisa saja pelanggaran terjadi bukan karena kesengajaan. Jika imam tersebut bersikeras melanggar liturgi, maka umat mengingatkan, namun juga hendaknya memberitahukannya secara tertulis kepada Tim Liturgi atau Komisi Liturgi Keuskupan”.

          Salam,
          RD.Yohanes Dwi Harsanto

        • Yth. Bpk. Henricus Wendy K

          Salah kalau ada yang mengatakan Amerika kehilangan banyak umat, buktinya ada gereja protestan justru dibeli oleh Gereja Katolik di salah satu keuskupan di Amerika, karena jumlah umat yang mengikuti Misa Kudus di gereja lama tidak lagi dapat menampung.

          Tentang Gereja di Eropa yang ditinggalkan oleh umat, perlu diketahui bukan hanya Katolik di Eropa yg mengalami krisis ditinggalkan umat tetapi juga banyak denom Protestan. Bukan karena semata Ekaristi yang membosankan tetapi karena orang tua mereka tidak memberi katekese iman Katolik ke anaknya dan juga karena beredarnya pandangan relativisme dan modernisme. Ingat, bukan karena Ekaristi yg menurut mereka membosankan. Ekaristi justru adalah korbannya.

          Umat Katolik di Indonesia nampaknya sangat kurang di-katekese ttg makna Misa. Kalaupun ada katekese, katekese dilakukan melalui internet, entah facebook atau website2 Katolik.

          Di Amerika saya tahu ada berbagai pilihan Mazmur Tanggapan yang diciptakan oleh berbagai komponis, dan yang terpenting adalah pola Mazmurnya selalu setia dengan ayat-ayat Kitab Suci yang telah ditentukan oleh Gereja Katolik pada misa yang bersangkutan, tidak diganti lagu antar bacaan atau lagu rohani yang tidak sesuai dengan ayat mazmur/kidung dalam Kitab Suci, tersedia mazmur tanggapan yang cocok dinyanyikan untuk semua umur.

          silahkan tonton, petugas paduan suara yang bertugas rata2 orang muda http://www.faithandlifetv.com/videos/last-weeks-mass atau https://www.youtube.com/watch?v=nQ7kifRb9OQ cermati setiap tata gerak liturgi, nyanyian-nyanyian yang dipergunakan. Mereka bertugas menyanyi dengan sangat baik dan bagus, tidak ada tepuk tangan dalam misa.

          Salam,

          Chris

  5. salom bu inggrid

    lagu pujian di dahulukan saat ibadat sabda atau lagu pujian di nyanyikan menggantikan lagu kudus,,,ketika saya tanya saat muspas ,,,jawabnya agar umat jangan bosan,,mohon penjelasan kedudukan lagu dalam liturgi sabda,,,

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik]

  6. Mohon maaf sebelumnya. Saya tergelitik dengan pernyataan: tidak sepantasnya menggantikan mazmur tanggapan yg bukan menurut kehendak Tuhan. Apakah betul Tuhan yg menghendaki atau aturan Katolik yg menghendaki?? Menurut saya Tuhan begitu baik dan terlalu baik untuk tidak mengikat umat dalam aturan yg kaku. Sepanjang itu menyenangkan Hati Tuhan, kenapa tidak boleh mengubah pujian. Sekarang ini di gereja Katolik juga semakin sering terdengar lagu2 “pop rohani” dibawakan. Lagi pula, mungkin pada masa lagu2 standar Katolik tercipta oleh para komposernya, waktu itu juga termasuk “lagu pop rohani”!
    Terima kasih. Gbu

    • Shalom Iwan,

      Sejujurnya, saya juga percaya bahwa Tuhan begitu baik. Justru karena begitu baiknya Tuhan, maka Ia memberikan segala yang terbaik kepada kita, namun seringnya kita yang kurang menyadarinya. Liturgi bukanlah untuk dipandang sebagai suatu aturan yang kaku, namun sebagai suatu perayaan bersama keseluruhan Gereja dalam kesatuan dengan Kristus, untuk memuji dan menyembah Allah Bapa. Oleh karena liturgi adalah “karya” bersama ini, maka memang adalah wajar, jika ada aturannya, ada bagian-bagiannya, yang semuanya ada maknanya. Gereja menerima semuanya ini sebagai salah satu warisan iman, yang diturunkan secara turun temurun, sejak dari zaman para rasul, sepanjang sejarah kehidupan Gereja. Jadi jika kita melaksanakan liturgi sesuai dengan ketentuannya, sesungguhnya merupakan salah satu bentuk perwujudan kasih kita kepada Kristus, yang telah memberikan karunia iman kepada kita, melalui Gereja-Nya.

      Maka sepanjang kita melihat bahwa Gereja tidak terpisah dari Kristus, kita tidak akan mengalami kesulitan untuk menerima bahwa apa yang diajarkan oleh Gereja adalah berasal dari Kristus sendiri, sebab memang Kristus mengajar umat-Nya melalui Gereja. Melalui Gereja-lah kita menerima Kitab Suci, dan keseluruhan ajaran Kristus dan para Rasul dalam Tradisi Suci, termasuk di antaranya adalah ajaran tentang  sakramen-sakramen, dan bagaimana kita dapat menerima rahmat Allah seperti dikehendaki oleh-Nya melalui sakramen-sakramen tersebut.

      Jika mata hati kita sudah dapat melihat bahwa liturgi itu pada dasarnya adalah ‘pemberian’ Allah, maka kita akan terdorong untuk mengusahakan penghayatan yang lebih baik untuk menerimanya, dan bukannya menghendaki agar Tuhan yang menyesuaikan dengan kehendak kita, baik dalam hal susunan liturgi, tata caranya maupun dalam hal pemilihan lagu-lagunya.

      Maka memang tak ada salahnya orang Katolik menyukai lagu-lagu pop rohani, namun tidaklah pada tempatnya untuk menyanyikan lagu-lagu tersebut dalam perayaan liturgi. Sebab liturgi bukanlah hanya sekedar ritual pembacaan doa, teks Kitab Suci dengan selingan lagu-lagu. Dalam liturgi, khususnya perayaan Ekaristi, Kristus sendiri hadir, sebagaimana dahulu Ia hadir dalam perjalanan kedua murid ke Emaus (lih Luk 24:13-35). Sesungguhnya kehadiran Yesus dalam Sabda dan Ekaristi sebagaimana dinyatakan-Nya dalam perjalanan ke Emaus inilah yang menjadi cikal bakal adanya dua macam liturgi dalam perayaan Ekaristi (Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi); yang kemudian dilestarikan secara turun temurun oleh Gereja Katolik. Keberadaan Mazmur yang tak terpisahkan bacaan Kitab Suci dalam liturgi Sabda itu berakar dari pengajaran dan kehendak Tuhan Yesus sendiri, sebagaimana dinyatakan-Nya ketika menampakkan diri di tengah para Rasul sebelum kenaikkan-Nya ke surga, “Ia berkata kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.” (Luk 24:44). Pesan Yesus dan inilah yang dilestarikan oleh Gereja Katolik, yaitu dengan mengenangkan kehadiran-Nya dalam perkataan Sabda-Nya, yang tertulis dalam kitab para nabi dan Mazmur, yang digenapi dalam Injil, yang semuanya itu termasuk di dalam liturgi Sabda.

      Gereja Katolik mengajarkan bahwa dalam perayaan Ekaristi Kristus hadir dalam 4 cara: 1) pembacaan Sabda-Nya; 2) dalam diri imam-Nya; 3) dalam rupa roti dan anggur; 4) dalam jemaat yang berdoa bersama (lih. Katekismus Gereja Katolik 1088). Nah, pembacaan Sabda-Nya di sini adalah termasuk Mazmur Tanggapan yang dibacakan di antara bacaan yang pertama dengan bacaan kedua (atau dalam Misa Harian, di antara bacaan pertama dengan bacaan Injil). Kehadiran Kristus dalam Sabda-Nya inilah yang selayaknya tidak kita “ganggu” dengan penyelipan lagu yang tidak ada kaitannya dengan Sabda yang seharusnya dibaca/ direnungkan dalam perayaan tersebut. Maka meskipun lagu-lagu pop rohani itu baik tetapi tetap tidaklah pada tempatnya lagu tersebut dinyanyikan untuk menggantikan Mazmur. Sebab umumnya lagu-lagu pop rohani menekankan perasaan atau ungkapan hati sang penyanyi kepada Tuhan, namun lagu tersebut tidak mengandung perkataan Sabda Tuhan; sedangkan Mazmur adalah Sabda Tuhan sendiri di mana Allah hadir untuk menyapa umat-Nya. Melalui Mazmur, Allah sendiri mengajar kita bagaimana seharusnya kita mengucap syukur kepada-Nya. Jika kita memahami hal ini, maka kita akan berpikir dua kali untuk menggantikan Mazmur dengan nyanyian pop rohani, dalam konteks perayaan Ekaristi. Tentunya kita tidak ingin menggantinya, jika kita menyadari bahwa sesungguhnya kita tidak berhak mengubah kehendak Kristus sendiri yang ingin dikenang antara lain dengan pembacaan Mazmur. Sebab perayaan liturgi pada hakekatnya adalah doa Kristus dalam kesatuan dengan Gereja-Nya kepada Allah Bapa oleh kuasa Roh Kudus, sehingga yang menjadi dasar cara pelaksanaannya adalah kehendak Kristus, dan bukan kehendak kita sendiri. Maka daripada mengubah Mazmur, kita malah seharusnya berusaha menyanyikan dan menghayatinya dengan sebaik mungkin. Kita hormati ayat-ayat Mazmur itu, dengan membaca dan merenungkannya sebelum mengikuti perayaan Ekaristi. Kita resapkan perkataan Mazmur ini di dalam hati dan kita jadikan pujian yang keluar dari hati kita ke hadirat Tuhan, dan bukan kita kesampingkan begitu saja untuk diganti dengan lagu-lagu lain, seolah mau mengatakan bahwa ayat-ayat Sabda Tuhan itu kurang bermakna atau kurang menyentuh hati jika dibandingkan dengan lagu-lagu rohani pilihan kita sendiri.

      Gereja Katolik mengajarkan bahwa pada dasarnya lagu-lagu liturgis merupakan lagu-lagu yang memang diciptakan khusus untuk kepentingan liturgis, yaitu yang syairnya harus merupakan pernyataan iman. Istilahnya yang dipakai oleh Gereja adalah, “Lex orandi, lex credendi“: apa yang didoakan adalah apa yang diimani. Jadi lagu-lagu liturgis sebenarnya bukan ungkapan perasaan, tetapi ungkapan iman. Umat diingatkan akan apa yang diimaninya pada saat menyanyikan lagu-lagu liturgis. Dengan menyanyikannya, kita merayakan iman kita dan mensyukurinya, bersama dengan seluruh Gereja (Tubuh Kristus), dalam kesatuan dengan Kristus Sang Kepala yang mengajarkannya kepada kita.  Dengan pemahaman ini, kita ketahui bahwa lagu-lagu yang diterima sebagai lagu-lagu liturgis dalam Gereja Katolik, pada prinsipnya bukanlah lagu-lagu pop rohani. Ambil contohnya, misalnya lagu Panis Angelicus, bahkan dari syairnya saja kita ketahui, bukan lagu pop rohani; demikian pula lagu-lagu ordinarium Misa Kudus, tidak dapat dikatagorikan sebagai lagu-lagu pop rohani

      Akhirnya saya mengajak Anda, jika Anda Katolik, untuk sama-sama bertumbuh dalam penghayatan akan makna liturgi dalam Gereja Katolik. Sebab dengan menghayati maknanya, kita akan semakin mengalami besarnya dan dalamnya kasih Kristus yang memang hanya menghendaki segala yang terbaik bagi kita.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  7. Apakah Misa-misa kategorial atau intensi2 khusus (Misa lingkungan, komunitas, kematian, ulang-tahun, pemberkatan rumah, dll) yg TIDAK dilakukan di hari Minggu atau jam/hari yg disetarakan dgn hari Minggu apalagi tidak di Gereja, juga terikat aturan ini?

    [Dari Katolisitas: Semua perayaan Ekaristi sesungguhnya merayakan hal yang sama, yaitu Misteri Paska Kristus yang menjadi puncak karya keselamatan kita. Maka semua penyelenggaraan perayaan Ekaristi di manapun, entah dilakukan di gedung gereja atau bukan, atau dilakukan oleh kelompok kategorial apapun, tetaplah harus memenuhi ketentuan yang berlaku yang ditetapkan oleh Tahta Suci dalam dokumen-dokumen Gereja tentang sakramen dan liturgi, sebagaimana secara khusus tertuang dalam PUMR (Pedoman Umum Missale Romawi) dan yang terakhir ini dalam Instruksi Redemptionis Sacramentum].

Comments are closed.