Pertanyaan:

Bapak/Ibu, saya sangat tertarik dengan jiwa-jiwa di api penyucian dan oleh sebab itu saya memiliki beberapa pertanyaan yang sampai saat ini belum saya temukan jawabannya secara tegas, mudah-mudahan bapak/ibu dapat membantu. Sebab sejujurnya saat ini saya pun masih dalam tahap katekumen.

pertanyaan saya
1. iman katolik mempercayai bahwa jiwa/roh tetap hidup setelah kematian. pertanyaan saya, kita sebagai manusia yang masih hidup, sejauh manakah masih boleh “berkomunikasi” dengan mereka. misalnya di dalam doa bolehkah kita berbicara dengan mereka, bercerita misalnya… bagaimana pandangan iman katolik? apakah itu justru dianggap sebagai hal-hal mistis memanggil roh misalnya?

2. apakah memungkinkan bagi kita tetap merasa dekat/akrab atau punya hubungan batin dengan mereka yang telah meninggal. sejauh mana itu dibenarkan? dan mana batasan yang salah?

3. merasa kangen dengan orang yang sudah meninggal apakah salah? terutama jika pada waktu2 tertentu berkeinginan untuk memanggil namanya dan bercakap-cakap dengan dia. jika salah kenapa? dan jika benar mengapa? yang saya takutkan ketika melakukan itu seperti yg sering orang2 bilang, membuat jiwanya tidak tenang di surga sana.
Ollyvia Hansen

Jawaban:

Shalom Ollyvia Hansen,

1. Bolehkah berkomunikasi dengan jiwa- jiwa yang ada di Api Penyucian?

Jika di sini diartikan komunikasi dua arah, maka jawaban singkatnya, tidak boleh. Yang diperbolehkan dan diajarkan oleh Gereja Katolik adalah agar kita mendoakan jiwa- jiwa di Api Penyucian, dengan mengambil dasar utamanya 2 Mak 12:38-45, dan ajaran Tradisi Suci (lebih lanjut tentang topik ini, klik di sini). Sedangkan hal memohon dukungan doa syafaat dari jiwa- jiwa di Api Penyucian, tidak diajarkan secara definitif oleh Magisterium. Sehingga karena tidak/belum ditentukan, maka sebagai umat beriman, kita dapat memegang pendapat berdasarkan kesaksian pribadi beberapa para orang kudus, dan atas dasar “common sense“.

St. Thomas dalam Summa Theology II-II.q.83,a.11 menolak bahwa jiwa- jiwa di Api Penyucian dapat berdoa bagi kita yang masih hidup di dunia, sebaliknya kita yang harus berdoa untuk mereka. Namun demikian, banyak Teolog lainnya yang berpandangan bahwa jiwa- jiwa di Api Penyucian berdoa untuk kita. St. Bellarminus (De Purgatorio, lib. II, xv,) mengajarkan bahwa karena mereka mempunyai kasih yang lebih besar (daripada kasih kita) kepada Tuhan, karena mereka sungguh dekat dengan Allah, lebih dekat daripada kita, dan karena mereka telah mengetahui bahwa mereka pasti termasuk dalam bilangan yang diselamatkan Allah- maka doa- doa mereka sangat besar kuasanya.

St. Thomas Aquinas memang mengajarkan bahwa jiwa- jiwa di dalam Api Penyucian tidak dapat, dengan kemampuan mereka sendiri, untuk mengetahui doa- doa permohonan kita. Namun St. Alfonsus Liguori mengajarkan, Tuhan dapat membuat doa- doa kita diketahui oleh jiwa- jiwa di Api Penyucian (melalui infused knowledge). Hal ini tidak terjadi secara langsung, sebab mereka belum melihat Allah/ memperoleh ‘beatific vision‘, karena mereka belum sampai di surga.

Dalam bukunya Great Means of Salvation, chap. I, III, 2, St. Alfonsus menyimpulkan, “sehingga jiwa- jiwa di Api Penyucian, karena dikasihi Tuhan dan diteguhkan di dalam rahmat, tidak mempunyai halangan yang mencegah mereka untuk mendoakan kita. Namun Gereja tidak memohon kepada mereka ataupun memohon doa syafaat mereka, karena umumnya mereka tidak mengetahui doa- doa kita. Tetapi kita dapat percaya bahwa Tuhan dapat membuat doa- doa kita diketahui oleh mereka.” St. Alfonsus mengutip tulisan St. Katarina dari Bologna yang mengatakan bahwa jika ia [St. Katarina] mempunyai suatu permohonan dan memohon dukungan doa dari jiwa- jiwa di Api Penyucian, ia akan segera didengarkan.

St. Katarina dari Genoa yang mengalami banyak karunia penglihatan tentang pengalaman di Api Penyucian mengatakan, “di samping kebahagiaan para kudus di surga, tidak ada suka cita yang dapat dibandingkan dengan jiwa- jiwa di Api Penyucian, sebab mereka mengalami komunikasi yang tak terputus dengan Tuhan, dan ini menambahkan suka cita mereka …. Semakin mereka dimurnikan, semakin bertambahnya persatuan mereka dengan Tuhan. Namun demikian, tetap dapat dikatakan bahwa mereka menderita, lebih daripada para martir yang menderita di dunia- karena kerinduan mereka untuk bersatu sepenuhnya dengan Tuhan dalam kesempurnaan surgawi, belum terwujud. Namun demikian, mereka menderita dengan suka cita dan kesabaran. Kedamaian absolut dan penyerahan diri ke dalam kehendak Tuhan tidak mencegah mereka untuk merasakan, pada saat yang sama, rasa sedih karena masih terpisah/ belum sepenuhnya bersatu dengan Allah.”

Dengan pemahaman ini, saya menanggapi pertanyaan anda demikian:

1. Doa kita pertama- tama kita tujukan kepada Tuhan. Namun jika kita mengambil definisi doa dari St. Theresia Kanak- kanak Yesus, bahwa doa adalah pandangan ke surga, maka kita dapat saja memohon dukungan dari para orang kudus-Nya di surga, karena mereka telah bersatu sempurna dengan Tuhan Yesus.

2. Sedangkan perihal jiwa- jiwa di Api Penyucian, yang sudah pasti dapat kita lakukan adalah kita mendoakan mereka, terutama dengan mengajukan ujud Misa Kudus, agar mereka dapat segera bergabung dalam Kerajaan Surga.

3. Namun perihal mohon dukungan doa dari jiwa- jiwa di Api Penyucian, kita harus melihatnya demikian: a) sepanjang kita yakin bahwa orang yang meninggal itu wafat dalam keadaan rahmat (bertobat dan telah menerima sakramen Urapan orang sakit), maka kita dapat berharap bahwa jiwa orang ini sedikitnya berada di Api Penyucian. Maka dalam kondisi ini kita dapat memohon dukungan doa mereka, atau kita dapat memohon kepada Tuhan Yesus agar mereka dapat mengetahui permohonan kita dan turut mendoakan kita. b) Kita hanya dapat memohon hal ini dalam doa- doa pribadi (sebagai devosi pribadi) dan bukan pada doa bersama dalam komunitas. Sedangkan jika doa memohon dukungan doa dari para orang kudus (Santo/a), dapat kita ucapkan bersama dalam komunitas, karena Gereja universal telah mengimaninya bahwa mereka telah berada di surga.

2. Bolehkan punya hubungan batin dengan orang yang sudah meninggal?

Jawabnya boleh saja, jika maksudnya di sini adalah mengenang dan mengingatnya. Namun harap selalu disadari bahwa mereka sudah tidak ada di dunia ini. Doa adalah pertama- tama pandangan ke surga, sehingga fokus utamanya tetap Tuhan. Adanya ikatan kasih antara kita dengan para beriman yang sudah jaya di surga maupun yang masih dimurnikan di Api Penyucian tidak dapat menggeserkan makna utama dari doa kita yang terarah kepada Tuhan. Dengan prinsip ini, perwujudan hubungan batin yang terbaik adalah mengajukan intensi Misa Kudus untuk mendoakan jiwa-jiwa orang- orang yang sudah meninggal. Sebab jika mereka berada di Api Penyucian doa- doa ini akan sangat berguna bagi mereka, dan jika mereka sudah ada di surga (sehingga mereka sudah tidak membutuhkan doa- doa kita lagi), maka Tuhan dapat mengarahkan doa- doa ini kepada jiwa- jiwa lain yang sangat membutuhkannya.

3. Merasa kangen dengan orang yang sudah meninggal, bolehkah?

Jawabnya juga boleh, sejauh kita menyadari bahwa rasa kangen itu tidak mungkin kita penuhi di dunia ini. Orang- orang yang sudah meninggal sudah tidak dapat lagi kembali ke dunia ini, sebab mereka tidak mungkin bangkit dari mati, sampai kebangkitan badan di akhir jaman nanti. Maka kita tidak dapat bercakap- cakap langsung atau berkomunikasi dengan mereka seperti ketika mereka masih hidup di dunia ini. Yang dapat kita lakukan adalah kita menyampaikan rasa kangen kita akan orang yang kita kasihi tersebut kepada Tuhan Yesus. Dan biarlah Tuhan Yesus yang memberi penghiburan kepada kita, dan, jika itu sesuai kehendak-Nya, maka Ia dapat memberitahukan permohonan doa kita kepada jiwa orang yang kita kasihi [baik jika ia masih di Api Penyucian ataupun jika ia sudah berada di surga], agar ia dapat turut mendoakan kita.

Memohon dukungan doa dari jiwa- jiwa orang- orang yang sudah meninggal tidak sama dengan pemanggilan arwah, yang dilarang di kitab- kitab Perjanjian Lama. Yang dilarang di Alkitab adalah meminta informasi ilahi dari jiwa- jiwa yang sudah meninggal. Pada saat Saul memohon kepada arwah Samuel, ia tidak memohon agar Samuel untuk mendoakan dia (sebab jika demikian itu baik dan tidak dilarang), tetapi ia mencari informasi tentang hasil pertempuran yang akan terjadi (semacam ramalan), dan inilah yang dilarang Allah. Karena melalui ramalan, sebenarnya seseorang tidak lagi menghormati Allah sebagai Penyelenggara Ilahi yang mengetahui segala sesuatu dan menghendaki segala yang terbaik terjadi bagi umat-Nya (Selanjutnya tentang topik Samuel dan Saul (1 Sam 28) ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik). Namun pada saat kita memohon dukungan doa dari jiwa- jiwa di dalam Api Penyucian, itu tidak melibatkan pemanggilan arwah ataupun meminta informasi ramalan, melainkan hanya atas dasar kesadaran dan iman bahwa akan kasih Tuhan Yesus mengatasi kematian (lih. Rom 38-39) dan karenanya sebagai kesatuan umat beriman kita dapat saling mendoakan.

Maka, prinsip yang harus kita pegang adalah: pengantaraan Kristus yang satu- satunya itu (1 Tim 2:5) adalah pengantaraan yang melibatkan juga partisipasi anggota- anggota Tubuh-Nya yang lain. Maka jiwa- jiwa yang berada lebih dekat kepada Tuhan daripada kita yang masih berziarah di dunia ini- dapat turut mengambil bagian di dalam Pengantaraan Kristus, untuk menghubungkan kita dengan Allah. Namun pengantaraan mereka tidak berdiri sendiri terlepas dari Kristus, melainkan bergantung pada Kristus. Dengan demikian mereka bukan saingan Kristus, melainkan kawan sekerja Kristus (lih. 1 Kor 3:9).

Jiwa- jiwa yang sudah berada di surga sudah sampai kepada kesempurnaan karena persatuan mereka yang sempurna dengan Tuhan. Di dalam kesempurnaan ini, mereka tidak lagi akan menjadi ‘tidak tenang’, sebab mereka telah bersatu dengan Kristus Sang Sumber Damai dan ketenangan. Namun demikian, karena mereka bersatu penuh dengan Kristus yang masih terus berkarya menyelamatkan manusia, maka mereka akan terus juga mendukung Kristus dengan doa- doa mereka untuk karya penyelamantan-Nya itu.

Mari kita syukuri rahmat kasih Kristus yang mengatasi segalanya, bahkan kematian sekalipun. Sebab kita mengimani bahwa kita semua yang memakan Dia, Sang Roti Hidup dalam Ekaristi, akan memperoleh hidup oleh Dia (Yoh 6:51, 57). Dan kasih dan kehidupan di dalam Kristus inilah yang menjadi dasar persekutuan orang- orang beriman, baik yang masih berziarah di dunia ini, ataupun mereka yang sedang dimurnikan di Api Penyucian, maupun mereka yang telah berjaya di surga.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

47 COMMENTS

  1. hi,,ingin bertanya mustahilkah untuk berdoa bagi jiwa dalam neraka?sebab saya pernah mendengar bahwa st theresa avila juga berdoa untuk mereka sekiranya x silap dgar..

    • Shalom Weldy,

      Sejujurnya saya belum pernah mendengar/ membaca bahwa St. Teresa Avila mendoakan jiwa-jiwa di neraka. Namun seandainya demikian pun: 1) kemungkinan itu atas kemurahan hati dan inisiatifnya sendiri, mengingat pernah dalam suatu pengalaman rohaninya, ia seolah dibawa ke neraka, dan melihat/ mengalami sendiri segala penderitaan di sana, sehingga mungkin saja ada dorongan untuk mendoakan jiwa-jiwa di sana. 2) doa-doa tersebut tidak berpengaruh untuk membawa mereka keluar dari neraka untuk beralih ke Surga, sebab jiwa-jiwa ada di neraka karena keputusan mereka sendiri, yang diizinkan oleh Allah, sebagai sesuatu yang final dan definitif, tidak dapat berubah lagi (lih. KGK 1033, 1035,1037).
      Maka, Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa kita dapat mendoakan jiwa-jiwa dalam neraka agar mereka dapat beralih ke Surga.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati-katolisitas.org

  2. Dear Ibu Ingrid Listiati and team katolisitas.org

    Saya pernah membaca di kitab suci, (maaf saya lupa bab dan ayatnya)pada kitab PL dikatakan perbuatan saul meminta petunjuk agar samuel berbicara melalui tukang pemanggil arwah adalah tindakan tidak benar. Namun di salah satu kitab deuterokanonika ( maaf saya pula ayatnya), samauel berbicara walaupun sudah mati adalah sesuatu yang terpuji.
    Mohon penjelasan

    • Shalom Frans,

      Ya, Tuhan tidak berkenan kepada Saul, karena ia mendatangi seorang perempuan peramal di Endor untuk memanggil arwah Samuel, untuk menanyakan ramalan tentang hasil perang antara Israel dengan Filistin. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik yang merupakan kelanjutan dari tanya jawab di sini, silakan klik dan ini.

      Allah tidak berkenan atas perbuatan Saul, yang mempercayai ramalan, dan dengan demikian ia tidak berserah kepada penyelenggaraan Tuhan. Sebab untuk tujuan memperoleh ramalan-lah Saul meminta perempuan En-Dor itu untuk memanggil arwah Samuel.

      Namun demikian, Samuelnya sendiri tidak melakukan kesalahan terhadap Saul, maupun terhadap Allah. Bahwa melalui perempuan itu, jiwa Samuel menampakkan diri dan memberikan nubuatnya, itu hanya mungkin terjadi atas izin Allah. Kejadian inilah yang ditulis dalam Sir 46:18-20.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Setahu saya, Tuhan Yesus tidak pernah mengajarkan adanya api penyucian setelah kita meninggal secara fisik tetapi kita akan dipisahkan menjadi’ kambing atau domba, ilalang atau gandum dan kekekalan api neraka atau surga, itu saja pilihannya. Tetapi Tuhan memberi pilihan kepada kita untuk mencapai kesucian yang paling tinggi, “kamu harus sempurna seperti Bapa”, “hidup dalam roh dengan menyingkirkan keinginan daging”,”melakukan kehendak Bapa”,”ada perlombaan yang harus dimenangkan”, “ada harga yang harus dibayar”. Jadi Tuhan tidak membatasi kita utk mencapai tropi kemenangan berupa Surgawi yaitu Jerusalem baru dan Dunia baru, semua tergantung respon kita terhadap keselamatan yang sudah ditawarkan, Tuhan Yesus sdh memberikan fasilitas apakah kita mau menggunakankan dan berusaha menjadi manusia sempurna seperti Bapa, Tuhan Yesus adalah role model-nya, selamat berlomba. Tuhan Yesus memberkati.

    • Shalom Randu,

      Kata ‘Api Penyucian’ memang tidak ada dalam Kitab Suci, demikian pula kata ‘Trinitas’ maupun ‘Inkarnasi’. Namun, meskipun begitu, prinsipnya jelas diajarkan dalam Kitab Suci. Hal pemisahan kambing atau domba, dalam Mat 25, itu adalah untuk menggambarkan Pengadilan Umum/ Pengadilan Terakhir di akhir zaman, dan memang dalam Pengadilan Terakhir tersebut, hanya ada dua pilihan. Namun segera setelah manusia mati, ia langsung diadili, itu juga diajarkan dalam Kitab Suci (lih. Ibr 9:27). Oleh karena itu Gereja Katolik mengajarkan adanya dua macam penghakiman, yaitu Pengadilan Khusus (segera setelah kematian) dan Pengadilan Umum (di akhir zaman). Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

      Anda benar bahwa Allah menghendaki kita untuk mencapai kesempurnaan seperti Bapa (Mat 5:48). Nah justru karena inilah, ajaran tentang adanya Api Penyucian menjadi sangat make sense, karena besar kemungkinan orang wafat dalam keadaan belum sepenuhnya sempurna seperti Allah Bapa. Kebanyakan orang yang percaya hanya ada Surga dan neraka, akan sulit untuk menjawab pertanyaan ini: “Jika Anda sendiri wafat malam ini, apakah Anda berani mengklaim bahwa Anda sudah sempurna seperti Bapa sehingga pasti masuk Surga?” Jika orang itu mengklaim bahwa ia sudah sempurna dan tidak berdosa, maka tidak ada kebenaran di dalam dirinya (1 Yoh1:8-10). Namun kalau dikatakan bahwa ia berdosa, artinya belum sempurna, dan pilihannya hanya Surga dan neraka, sedangkan Surga itu hanya untuk orang yang sudah sempurna, maka tidak ada pilihan lain baginya selain neraka. Para Bapa Gereja sudah sejak abad awal sudah mengajarkan bahwa bukan ini yang disebut dengan keadilan Tuhan. Tuhan tidak akan membiarkan orang masuk neraka karena kekurangsempurnaan tersebut, tanpa memperhitungkan iman dan perbuatan baik yang telah dilakukannya selama hidupnya. Namun demikian, Tuhan juga tak dapat memasukkan orang sedemikian ke Surga, karena keadaannya yang kurang sempurna itu, sebab tak ada sesuatupun yang najis dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga (Why 21:27). Nah, Tuhan yang Maha adil tetap mensyaratkan kesempurnaan, dan memang yang masuk Surga hanya mereka yang sudah sempurna. Namun jika kita meninggal dalam keadaan sudah bertobat, beriman, namun belum sempurna dalam kasih, maka Tuhan sendiri akan memurnikan kita sebelum menggabungkan kita dengan-Nya di Surga. Kitapun akan dengan sukarela mengambil jalan pemurnian ini. Inilah yang disebut Api Penyucian. Maka Api Penyucian bukan tempat kesempatan kedua, seolah kita berpikir bahwa tak usah bertobat, nanti di Api Penyucian baru bertobat. Ini pemikiran yang keliru. Sebab yang masuk ke Api Penyucian juga tetap harus orang yang meninggal dalam keadaan sudah bertobat, dalam keadaan rahmat/ bersahabat dengan Allah, hanya saja masih belum sempurna dalam kasih seperti yang dikehendaki Tuhan. Tanpa pertobatan dan tanpa iman, ia tidak dapat masuk Api Penyucian.

      Sebab meskipun kita dapat berjuang dan berharap agar saat kita menemui ajal, Tuhan mendapati kita telah sempurna di dalam kasih, namun pada kenyataannya, tidak banyak, atau bahkan sedikit saja, orang yang didapati Allah sudah sempurna pada saat wafatnya. Kebanyakan orang beriman yang saleh sekalipun, ketika meninggal, masih mempunyai cinta diri (self-love), masih mempunyai dosa-dosa ringan tertentu yang belum diakui di hadapan Tuhan, masih menyimpan kekurangan-kekurangan sebagai manusia, masih belum mempunyai kasih dan kerinduan yang penuh untuk memandang Tuhan, dan karenanya belum siap untuk memandang-Nya di Surga. Nah, mereka ini, menurut Rasul Paulus, akan tetap diselamatkan, tetapi masih harus diuji dari dalam api (1Kor 3:15). Selanjutnya tentang dasar-dasar Kitab Suci tentang Api Penyucian, sekilas sudah pernah diulas di sini, silakan klik.

      Mohon maaf, saya tidak dapat melanjutkan diskusi ini di sini, sebab akan menjadi pengulangan dari apa yang sudah pernah disampaikan di banyak tanya jawab di situs ini. Silakan Anda membaca terlebih dahulu artikel tentang Api Penyucian, dan Tanya Jawab di bawahnya, dan silakan Anda sampaikan argumen yang belum pernah ditanyakan di sana, dan kami akan berusaha menjawabnya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. maaf tim katolisitas, saya tidak tahu mau menaruh pertanyaan ini di mana, saya harap bisa dimengerti:

    di rumah kami pada saat ada acara pesta adat, sering di depan foto orang-orang tua yang telah meninggal, diletakkan makanan. Alasannya untuk memberi makan nenek moyang yang telah meninggal. Lalu setelah meletakkan makanan, kita berdoa di depan foto tersebut, mohon keselamatan dan perlindungan atau bantuan dari nenek moyang untuk kelancaran acara tersebut. Saya ingin bertanya, apakah ini merupakan suatu bentuk inkulturasi atau bagaimana? menurut pandangan gereja Katholik sendiri bagaimana? terima kasih sebelumnya…

    • Shalom Petrus,

      Iman Kristiani tidak mengajarkan bahwa jiwa-jiwa yang sudah meninggal itu akan ‘makan’. Jiwa orang meninggal yang sudah beralih dari dunia ini, sudah tidak lagi bertubuh (tubuhnya tertinggal di kubur), maka sudah tidak dapat makan. Menurut tradisi Yahudi yang disebut dalam kitab Tobit, kebiasaan untuk membawa makanan ke kubur, adalah untuk mengenang orang yang meninggal, namun sesampainya di kubur, makanan itu lalu dibagi-bagikan kepada fakir miskin/ pengelola kubur. Jadi makanan itu tidak untuk digunakan dalam sembahyangan. Tentang hal ini, telah pernah diulas di sini, silakan klik.

      Selanjutnya, tentang topik makanan sembahyangan, silakan membaca artikel ini, silakan klik.

      Beberapa orang kudus, sebagaimana disebutkan di artikel di atas, mempunyai pengalaman bahwa ada kalanya Allah mengizinkan jiwa-jiwa di Api Penyucian juga dapat mengetahui permohonan doa kita dan turut mendoakan kita, namun tentang hal ini tidak secara definitif diajarkan oleh Magisterium Gereja. Yang diajarkan secara definitif oleh Gereja adalah kita yang mendoakan jiwa-jiwa yang ada di Api Penyucian; dan kepada para kudus di Surga, kita boleh meminta dukungan doa syafaat mereka.

      Nah, maka jika ada acara adat tertentu, silakan pertama-tama memohon kepada Allah, dan memohon pula kepada-Nya, jika Ia berkenan, untuk mengizinkan leluhur Anda untuk mendoakan Anda. Selebihnya, jika mau membuat makanan pada hari tersebut untuk mengenangkan jiwa yang meninggal, silakan saja, tetapi tidak untuk didoakan, tetapi untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Dan selanjutnya, silakan mengajukan intensi doa bagi keselamatan jiwa-jiwa leluhur tersebut, dalam perayaan Ekaristi.

      Demikianlah yang lebih sesuai dengan ajaran iman Katolik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Dear Admin

    saya be2rapa kali memintakan intensi misa untuk jiwa2 di api penyucian(bkn nama2 arwah tertentu).reaksi para romo stlh membaca intensi sy pd umumnya kaget bhkn ad yg bertanya knp sy memintakn intensi tsb,sy jwb menolong sesama.pertanyaan sy
    1.knp reaksi para romo kaget dg intensi sy,apkh yg sy lakukan bnr ato tdk soalnya sy jd ragu dg niat sy stlh meliat reaksi para romo
    2.knp saat dibacakan intensi sy dirubah jd api pencucian oleh para romo?mana yg bnr penyucian ato pencucian?
    3.apakah smua romo mpy pengetauan ttg api penyucian?
    terima kasih

    • Shalom Maria,

      1. Kemungkinan Romo kaget karena jarang menerima intensi yang menyebutkan secara eksplisit, untuk mendoakan jiwa-jiwa di Api Penyucian. Tetapi sebenarnya semua intensi untuk mendoakan keselamatan arwah, secara implisit menyatakan bahwa kita mendoakan jiwa-jiwa tersebut yang di Api penyucian, sebab jiwa-jiwa yang sudah di Surga sudah tidak perlu didoakan, sedangkan jiwa-jiwa yang di neraka sudah tidak dapat didoakan agar selamat.

      2. Yang benar Api Penyucian (bukan Pencucian), sebab disana jiwa disucikan bukan dicuci.

      3. Sepanjang pengetahuan saya, semua Romo tahu dan familiar dengan ajaran tentang Api Penyucian. Sebelum menjadi Romo mereka menerima pendidikan Teologi tentang iman Katolik, termasuk tentang Api Penyucian.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • terima kasih dear admin ats jwbnnya

        klo begitu apa yg harus saya tulis dlm intensi saya utk menolong jiwa2 di api penyucian khususnya mereka yg tdk mendpt dukungan doa dr siapapun?

        terima kasih

        [Dari Katolisitas: Silakan Anda tetap menuliskan intensi, “Ujud doa: untuk keselamatan jiwa-jiwa di Api Penyucian, terutama mereka yang tidak mendapatkan dukungan doa dari siapapun.” Akan ada saatnya Romo yang menerimanya akan terbiasa membacakan ujud doa yang baik ini.]

  6. Salam sejahtera ibu Ingrid Listiati.
    menarik untuk dibahas mengenai iman kepercayaan Gereja Katolik tentang jiwa-jiwa di api penyucian. Banyak pendapat di kalangan Gereja, bahkan Para Santo dan Santa punya pendapat dan pengalaman mereka masing-masing.
    Pertanyaan saya; bagaimana menurut bu Inggrid tentang Maria Simma, orang yang….katakanlah mempunyai karunia khusus yg dpt berkomunikasi dua arah dengan jiwa-jiwa di api penyucian tetapi dia tdk melakukan praktek pemanggilan arwah. Dalam bukunya Bebaskan Kami Dari Sini, beliau mengatakan jiwa-jawa malang dapat menolong kita, membimbing kita,memberi pesan kepada kita, bahkan melindungi kita, dll.
    Sebelum menjawabnya saya sarankan Ibu Inggrid membaca buku: WAWANCARA NICKY ELTZ dengan MARIA SIMMA dengan judul BEBASKAN KAMI DARI SINI terbitan MARIAN CENTERE INDONESIA. Buku ini juga saya anjurkan untuk dibaca oleh Ollyvia Hansen, yang mempunyai ketertarikan mengenai jiwa-jiwa di api penyucian.
    Pendapat ibu Inggrid saya tunggu, dan sebelumnya saya ucapkan terima kasih.

    • Shalom Fendy,

      Sekitar 6 tahun yang lalu, saya sudah membaca buku Bebaskan Kami dari Sini, tentang pengalaman Maria Simma dengan jiwa-jiwa di Api Penyucian. Buku itu isinya merupakan sharing pengalaman Maria Simma, dan memang tidak dimaksudkan untuk sebagai buku pengajaran iman yang resmi dari Gereja Katolik. Namun demikian, jika kelak pengalamannya itu dinyatakan oleh otentik, pengalaman itu bukan merupakan pengalaman yang asing bagi Gereja Katolik. Sebab terdapat juga beberapa orang kudus (Santa dan Santo) yang pernah mengalami pengalaman serupa, seperti pengalaman St. Gertrudis, St. Nicholas dari Tolentino, St. Katharina dari Genos, St. Yohanes Massias, dan St. Padre Pio. Mereka mengalami dikunjungi oleh jiwa-jiwa di Api Penyucian yang memohon dukungan doa-doa, agar jiwa mereka dapat beralih ke surga. Dari kesaksian mereka ini, diketahui bahwa doa yang paling efektif untuk mendoakan mereka, adalah intensi/ ujud permohonan dalam Perayaan Ekaristi Kudus.

      Pada dasarnya, yang resmi diajarkan oleh Gereja Katolik adalah bahwa kita dapat mendoakan jiwa-jiwa di Api Penyucian, dan ini jelas disebutkan dalam Katekismus:

      KGK 1032    Ajaran ini juga berdasarkan praktik doa untuk orang yang sudah meninggal tentangnya Kitab Suci sudah mengatakan: “Karena itu [Yudas Makabe] mengadakan kurban penyilihan untuk orang-orang mati, supaya mereka dibebaskan dari dosa-dosanya” (2 Mak 12:45). Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang yang sudah meninggal dunia dan membawakan doa dan terutama kurban Ekaristi (Bdk. DS 856) untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan. Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi, dan karya penitensi demi orang-orang yang sudah meninggal dunia.
      “Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya (Bdk. Ayb 1:5), bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka” (Yohanes Krisostomus, hom. in 1 Cor 41,5).

      Gereja Katolik mengajarkan bahwa jiwa-jiwa para orang kudus di surga dapat turut menolong dengan dukungan doa-doa mereka untuk kita di hadapan Allah. Namun tentang apakah jiwa-jiwa di Api Penyucian dapat menolong ataupun melindungi kita, itu tidak/belum menjadi ajaran definitif Gereja. Beberapa Santa/santo memang mengajarkan memang demikian, atas dasar adanya ikatan kasih persekutuan orang kudus sebagai anggota Gereja yang satu, namun sepanjang pengetahuan saya, hal tersebut tidak diajarkan secara definitif oleh Magisterium Gereja Katolik. Selebihnya tentang ajaran Gereja Katolik, sudah saya sampaikan di artikel di atas kepada Ollyvia Hansen.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

  7. Setelah seorang meninggal dunia, lalu berapa hari lagi orang tersebut berada di di api penyucian untuk menuju ke surga

    [dari katolisitas: Setelah orang meninggal, maka ada tiga kemungkinan: masuk ke Sorga secara langsung, melalui Api Penyucian dan kemudian masuk Sorga, atau ke neraka. Waktu di Api Penyucian bukanlah seperti waktu yang kita kenal.]

  8. mbak Ingrid dan katolistas yg saya kasihi, saya mau tanya ni :
    1. apakah anda percaya bahwa sesudah org meninggal, rohnya baru akan pergi meninggalkan rumah menjelang 40 hari, dan rohnya akan pamit pd keluarga dgn tanda2 yg dinilai tdk masuk akal;
    2. apakah anda percaya bahwa sesuatu benda yd sdh diperuntukkan utk org yg meninggal harus dibawakan bersamanya atau diberikan kepada org lain? Karena kami pernah mengalami sbb: sdr kami yg meninggal dlm kerja, menjelang 40 hari salibnya belum terpasang dan masih ada di bawah kolom tempat tdr, karena kami lupa, dan kami sibuk tugas plg pergi Jkt, pd malam menjelang 40 hari, salib itu berbunyi. Bunyi seperti diketok atau digoyang sehingga berbunyi, sesudah dilihat dgn terang lampu, ada salib yg belum dipasang, jd besok hari barulah dipasang.
    3. apa dasarnya dlm Alkitab, umat Katholik mendoakan keluarga yg meninggal,pd hari2: ke 3,ke 7,ke 40,ke 100,ke seribu? Trims katolisitas.

    • Salam Simon,

      Silakan membaca artikel “Apa yang terjadi setelah kematian” klik ini dan “Mengapa kita mendoakan jiwa orang-orang yang sudah meninggal”, klik di sini
       
      Dengan dasar pada link-link tersebut setiap hari Gereja mendoakan orang yang sudah meninggal dalam perayaan Ekaristi. Maka bukan hanya hari ke-tiga, ke-tujuh, ke-empatpuluh, ke-seratus, setahun, dua tahun, hari ke-seribu saja, namun bahkan Gereja setiap hari mendoakan. Hari-hari tersebut ialah tradisi adat budaya (Jawa dll), bukan tradisi Gereja, namun Gereja bisa memanfaatkannya untuk mendoakan arwah orang beriman yang berpulang. Dalam tradisi Gereja bahkan ialah mendoakan arwah setiap hari. Penjelasan dari seorang praktisi budaya Jawa mengatakan bahwa sebenarnya hal-hal itu merupakan peralihan, atau semacam masa krisis dari keluarga yang ditinggalkan anggotanya yang dikasihi itu. Secara psikologis dapat dipahami bahwa ditinggal mati orang yang dikasihi pasti akan memerlukan waktu, tahap-tahap sampai menjadi tenang. Untuk itu perlu ritual dan bantuan sesama agar meneguhkan keluarga yang ditinggalkan. Mengapa kematiannya diperingati pada hari ke-3, hari ke-7, ke 100, setahun, dua tahun, dan 1000 hari? Itu hanya kesepakatan umum. Kesepakatannya pun berdasarkan perlambangan suasana hati orang yang mau memperingatinya. Sebenarnya bisa saja hari ke-empat, hari ke sepuluh, hari ke seratus lima puluh, hari ke 366, hari ke dua tahun plus sehari, hari ke seribu satu, namun Anda harus bisa menjelaskan makna angka-angka itu. Tiga, tujuh, 100, setahun, dua tahun, 1000 hari menyimbolkan kesungguhan, dan kesepakatan ini memudahkan untuk mempersiapkannya. Tradisi ini oleh Gereja Katolik dipakai begitu saja. Bagi Gereja Katolik yang tradisinya mendoakan arwah orang beriman setiap hari, maka hal ini tinggal melakukannya saja.
      Semoga membantu.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  9. Salam Dalam Kasih Yesus

    Sy ingin bertanya kpd tim katolisitas
    “Bagaimana ajaran Gereja memandang ttg arwah orang yang mati tidak wajar (dibunuh,kecelakaan,dll)? Apakah mereka berbeda dng jiwa’ yg mati scr wajar, apakah mereka harus melewati proses khusus agar dpt spt jiwa” lain nya

    “Apakah sebuah bangunan yg pernah digunakan untuk membantai orang, b’arti rumah tsb sudah terkutuk—sy dgr dr saudara kita Kristen Protestan berkata, “kalo pd sbuah bangunan sudah pernah tertumpah drh maka bgnan tsb sudah tidak mndapat berkat dr Tuhan”.
    *hal itu jg sy lihat di film Amytiville horor (berdasarkan kisah nyata) dmn rumah yg pernah dijadikan tmp pbntaian ketika akan diberkati oleh seorang pastor, pastor tsb m’alami kesulitan dr pr roh jahat yg m’huni rumah tsb….

    “Lalu bgmn tanggapan Gereja Katolik thd film “Rite” apakah kej dlm film tsb bnar tjd,dan Gereja ‘merestui’ film tsb untuk ditonton umat Katolik?

    Trima Kasih
    Berkah Dalem

    • Salam Michael,

      Film “the Rite” tidak mencerminkan upacara seperti dalam rituale eksorsisme dalam buku sakramentalia pengusiran setan. Film tersebut dilebih-lebihkan dalam hal efek suara dan gerakan-gerakan, demi memenuhi kebutuhan penonton akan sensasi. Rituale eksorsisme mensyaratkan ada tim medik, tim psikologi, dan tim doa yang menjadi bagian dari eksorsisme bersama imam eksorsis, sedangkan dalam film “the Rite” tidak tampak tim-tim tersebut, juga alat-alat seperti stola, buku rituale tidak tampak. Tentu saja Gereja tidak bisa merestui ataupun melarang sebuah film, selain memberi keterangan jika ada pertanyaan mengenai film itu dari sisi iman Katolik, seperti apa yang kita lakukan saat ini.

      Bangunan yang pernah dipakai sebagai tempat kejahatan pembunuhan itu sendiri tetap tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang. Yang mempengaruhi ialah ingatan akan kejadian pembunuhannya di tempat itu yang secara prikologis kuat khususnya bagi orang yang mengetahui kejadian itu secara langsung atau diberitahu secara tidak langsung. Bagi orang yang tidak tahu bisa jadi tidak berpengaruh sama sekali. Namun demikian, sebaiknya orang yang mengetahui hal itu meminta imam untuk memberkati bangunan itu agar hati orang itu tenang dan rahmat Tuhan melingkupi tempat itu. Kita tidak boleh mengutuki selain memberkati (Luk 6: 26; Rm 12:14). Bangunan dan apapun yang telah diberkati hendaknya digunakan untuk tujuan kebaikan. Berkat Allah tetap tercurah bagi setiap tempat. Bukan tempatnya yang salah, namun sikap jahat orang yang membunuh sesamanya itulah yang merupakan kejahatan dan dosa berat melanggar perintah Allah, melanggar kasih kepadaNya dan sesama. “Yang tidak mengasihi Tuhan terkutuklah ia” (1 Kor 16:22), jadi yang terkutuk itu ialah yang tidak mengasihi Tuhan oleh karena berbuat jahat pada sesama.

      Setiap jiwa yang meninggalkan dunia dengan sebab “wajar” maupun “tidak wajar” akan mengalami pengadilan khusus secara pribadi oleh Allah sendiri. Poin-nya bukan pada mati “wajar” atau “tidak wajar”, melainkan pada persiapan untuk meninggal. Persiapan sangatlah perlu agar kita bersiap setiap saat. Tuhan Yesus menyatakan agar kita berjaga-jaga dan waspada untuk saat itu (Mat 24:42). Tentu saja persiapan untuk meninggal sebaiknya jangan dilakukan hanya jika sudah di ICU, atau hanya ketika ujung senjata penganiaya sudah di leher kita, namun setiap saat, agar jika pun mati mendadak karena kecelakaan atau serangan jantung, atau bencana alam, tetap siap menyongsong Tuhan. Simeon menyatakan kesiapannya setelah menatang kanak-kanak Yesus (Luk 2:21-36). Maka hendaknya kita orang Katolik selalu “menatang Yesus” dalam diri, terlebih dengan sakramen Ekaristi yang kita terima dan selalu berdoa dalam hati, mengampuni sesama, tidak punya dendam, juga mendoakan sesama kita yang sudah berpulang. Walaupun meninggal dengan cara “wajar” jika tanpa persiapan akan tetap tidak siap juga, misalnya ketika meninggal “wajar” itu belum mengampuni orang lain. Mari bayangkan diri kita sendiri ketika beberapa detik lagi kita menghadapi ajal.

      Untuk mereka yang sudah berpulang baik secara “wajar” maupun “tidak wajar”, “sudah siap” maupun “belum siap” Gereja tetap mendoakan mereka dalam setiap Ekaristi (Doa Syukur Agung) dan pada Hari Raya Peringatan Arwah Kaum Beriman tanggal 2 November.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

      • Salam, Rm. Yohanes

        Sehubungan mengenai tema Katolik dalam film-film, saya juga ingin menanyakan mengenai film “The Priest” yang beredar akhir-akhir ini. Film tersebut memang tergolong film science fiction. Akan tetapi, nuansa dan tema yang diambil sangat kental dengan nuansa Katolik. Selain itu, film tersebut menggaungkan motto,”To go against church is to go against God”. Motto ini dipatahkan melalui pemberontakan yang dilakukan oleh pemeran utama dalam alur cerita.

        Secara refleks, saya mengasosiasikan hal tersebut sebagai upaya untuk menggaungkan gerakan Reformasi yang menolak otoritas Gereja. Apakah ada sedikit tanggapan dari Gereja untuk film ini? Jika tidak ada, apakah ada semacam “bedah film” dan respons dari teolog, pastor, atau siapapun yang dapat merepresentasikan sikap dan masukan untuk penonton yang majemuk? Terima kasih.

        Pacem,
        Ioannes

        • Salam Ioannes,

          Lumen Gentium 14 menyatakan dengan tegas bahwa Gereja perlu untuk keselamatan dan Allah melalui Kristus-lah yang menghendakinya. Jelas bahwa secara teologis ada hal yang mendasar. Namun penanggung-penanggungjawab penyelenggaraan Gereja ialah manusia berdosa yang dipanggil untuk mewartakan Injil dalam dan melalui Gereja. Sebagai pendosa yang dipanggil untuk menjadi kudus, mereka pun harus senantiasa mawas diri demi pelaksanaan panggilan secara benar. Maka, film-film yang bertema semacam itu saya rasa bagus sebagai pintu masuk bagi topik diskusi mengenai peran Gereja dalam masyarakat. Bagus jika Anda memelopori diskusi mulai di kelompok / komunitas di paroki Anda.

          Salam
          Yohanes Dwi Harsanto Pr

      • Salam Dalam Kasih Yesus,

        Trima kasih kpd tim katolisitas dan Rm.Santo yg tlah mjwb ptanyaan sy, shingga smakin mnumbuhkan iman Katolik sy

        Berkah Dalem

  10. ytk pengurus Katolisitas,

    Apakah kelak kita bisa bertemu lagi dengan keluarga kita yang yang telah mendahului kita. Karena beberapa kesaksian menceritakan bahwa saat seseorang menjelang kematiannya, dijemput oleh keluarga terdekatnya.

    Terima kasih atas penjelasannya.

    [dari katolisitas: Tentu saja, semua anggota keluarga yang bersama-sama ada di Sorga dapat bertemu lagi di dalam Sorga dengan kebahagiaan yang penuh.]

    • Salam Thomas,

      Ajaran iman kita menyatakan bahwa harapan kita adalah bersatu dengan Allah dan di dalam Dia kita bersatu kembali dengan saudara-saudara yang sudah berpulang. Dalam Ekaristi setiap kali didoakan Doa Syukur Agung hal itu jelas sekali. Maka, kerinduan dan harapan itu merupakan kenyataan iman kita. Bisa saja hubungan rohani yang erat dengan leluhur yang sudah berpulang dan kerinduan imani itu membuat orang yang akan berpulang merasa berjumpa mereka secara subjektif.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  11. mohon bantuannya tim Katolisitas.

    apakah mungkin seseorang bisa berkomunikasi dengan jiwa seorang yang telah meninggal dan telah diselamatkan (dari api penyucian) alias telah bersama Kristus di surga? Dan orang bisa berkomunikasi dengannya?
    terimakasih banyak tim Katolisitas,
    Tuhan memberkati.

    • Salam Asmin,

      Mengapa tidak? Komunikasi dengan mereka itu selalu terjadi dalam roh, yaitu doa dan relasi batin sebagai Gereja. Dalam syahadat para rasul, kita mempercayai “persekutuan para kudus”. Persekutuan para kudus ialah persekutuan orang-orang yang sudah dibaptis, dan persekutuan dalam hal-hal kudus (sakramen-sakramen khususnya Ekaristi, doa-doa). Persekutuan para kudus itulah Gereja, yang meliputi orang yang dibaptis yang masih di dunia maupun yang sudah di surga. Penampakan-penampakan Bunda Maria kepada beberapa orang beriman menunjukkan bahwa komunikasi dalam persekutuan para kudus itu fakta iman dan sangat mungkin terjadi. Doa Syukur Agung selalu merupakan ruang komunikasi bagi mereka yg sudah mulia di surga, dan itulah komunikasi iman. Karena keterbatasan kita jasmani kita sebagai makhluk jasmani-rohani, kita seolah terhalang oleh kejasmanian ini. Namun kita berkomunikasi dalam roh dan kebenaran, dalam doa-doa dan perkara rohani lainnya yaitu sakramen-sakramen Gereja. Saya kira komunikasi kita bisa sebagai lembaga dengan lembaga (Gereja yang masih di dunia yang berdoa dengan Gereja Surgawi yang mendoakan kita dan memuji Allah), bisa pula pribadi ke pribadi (pribadi orang yang sudah mulia di surga dan pribadi orang yang masih hidup di dunia), namun isi komunikasi itu selalu dalam rangka menekankan kembali keselamatan kekal dalam Allah Tritunggal Mahakudus dan pesan pewartaan keselamatan universal. Isi komunikasi dalam roh itu bukan hal-hal yang remeh temeh. Kita bisa lihat dari fakta penampakan Bunda Maria yang selalu menekankan iman.
      Dan, bukanlah Ekaristi itu sendiri ialah komunikasi sakramental dengan Kristus? Bukanlah jika kita berkomuni, berkomunio, bersatu dalam komunikasi dengan Kristus yang mulia di surga, sebagai satu tubuh? Tubuh Kristus yang tampak di dunia ini ialah kita Gereja, bersatu dalam Tubuh Kristus di Surga dalam komuni (persatuan tubuh sakramental Kristus dengan tubuh kita), kita menjadi satu tubuh mistik Kristus, satu korps (corpus Christi) baik di dunia maupun di surga. Itulah hakikat Gereja, “communio sanctorum”, persekutuan para kudus.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  12. Shalom Katolisitas,
    Ada teman yang bisa berkomunikasi dengan arwah yang terlantar, dan mereka (melalui juru bicara) meminta untuk disempurnakan wafatnya karena meninggal dalam perang (mereka jumlahnya ribuan). Bagaimana pandangan Gereja tentang ini? Seperti juga kisah Sr. M. Simma?
    Malam itu kami doakan bersama-sama dan esok paginya kami tanyakan kembali, ternyata memang 2000an jiwa yang telah meninggal sempurna. Maaf sayapun tak tahu maksudnya sempurna, tapi mungkin jiwanya sudah tenang.
    Mohon tanggapannya.

    [dari Katolisitas, pertanyaan senada berikut digabungkan di sini: Shalom Katolisitas, bagaimana pandangan Gereja bila ada orang yang ditemui oleh jiwa-2/arwah terlantar yang minta didoakan / disempurnakan wafatnya, misal meninggal karena perang?. Apakah bisa diterima sebagai suatu karunia? Terima kasih atas penjelasannya.]

    • Salam Maria,

      Bagaimanapun Gereja Katolik tetap mendoakan mereka, baik diminta maupun tidak. Setiap kali perayaan Ekaristi, dalam Doa Syukur Agung, selalu ada waktu untuk mendoakan mereka, arwah para orang beriman maupun semua orang lain yang hanya Tuhan yang tahu iman mereka. Karena itu, apa yang Anda lakukan untuk mendoakan para arwah itu tidak bertentangan dengan kebenaran iman Gereja.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  13. Saya pernah berpuasa Senin-Kamis, dengan ujub untuk keberhasilan studi anak2, dan ternyata berhasil dengan baik dan sekarang sudah bekerja semua. Nah sekarang saya sudah memulai lagi puasa Senin-Kamis dengan ujub : mohon pengampunan bagi arwah para leluhur, saudara, orang tua, orang2 yang telah berbuat baik kepada kami dan semua kaum beriman yang sudah meninggal dunia. Karena pengertian saya orang yang telah meninggal adalah sudah berhenti di situ, tidak bisa berbuat apa2 apalagi berdoa, oleh karena itu saya memohonkan pengampunan bagi mereka, pertanyaan : 1) bolehkah ? dan 2) apakah tidak bertentangan dengan ajaran gereja Katolik ? Mohon penjelasan, terima kasih.

    [Dari Katolisitas: Ya, sebagai umat Katolik kita dapat dan bahkan diajarkan untuk mendoakan jiwa orang- orang yang sudah meninggal. Silakan anda membaca artikel ini untuk mengetahui dasarnya, silakan klik. Jadi anda dapat melakukan doa puasa untuk ujud ini, namun yang terbaik dan dianjurkan oleh Gereja adalah mengajukan ujud mendoakan arwah tersebut sebagai intensi Misa Kudus.]

  14. mohon alamat lengkap dan no telp suster yang banyak orang menyebutnya eyang sari yang berada di klaten.
    kalau boleh beliau pernah menjadi biarawati di gereja mana? saya mohon alamat lengkap / no telp dan nama gereja nya.Terima kasih banyak bagi yang dapat membantu saya TUHAN YESUS memberkati amin

  15. Shalom,

    Sebagai umat Katolik, kita sudah terbiasa mendoakan orang yang sudah meninggal. Seorang pendeta dari Protestan mengatakan bahwa mendoakan orang yang sudah meninggal adalah suatu kesia-siaan, dia berkata bahwa itu urusan Tuhan dan bukan urusan kita yang masih hidup. Dia juga berkata di Alkitab tidak ada ayat yang mengajak untuk mendoakan orang yang meninggal. Dia juga mengajarkan bahwa kebaktian untuk mengenang orang yang telah meninggal itu kesia-siaan, dan yang boleh itu kebaktian yang bertujuan menghibur keluarga yang ditinggalkan. Yang ingin saya tanyakan :

    1. Apa landasan yang kita (sbg orang Katolik) pakai untuk mendoakan orang yang telah meninggal?Jika ada tertulis di Alkitab bisakah ibu menunjukan ayatnya?
    2. Apakah hanya orang2 yang kita yakin meninggal dalam keadaan rahmat Tuhan saja yang bisa kita doakan?
    3. Apakah sebagai umat Katolik, kita boleh mengadakan misa 7hr,40hr untuk orang yang telah meninggal?

    Terima kasih atas perhatiannya.

    • Shalom Tere,

      1. Tentang topik: Mengapa kita mendoakan jiwa- jiwa orang yang sudah meninggal? sudah pernah dibahas di sini, silakan klik, silakan membaca dasar ayat- ayatnya di sana.

      Dalam suratnya kepada Timotius, Rasul Paulus mengatakan bahwa ia mendoakan Onesiforus yang sudah meninggal, dan ini pernah dibahas di sini, silakan klik.

      Silakan juga membaca beberapa artikel terkait tentang hal ini:

      Bersyukurlah ada Api Penyucian
      Apakah jemaat perdana percaya akan persekutuan para kudus?
      Benarkah kita tak bisa mohon para kudus untuk mendoakan kita?

      2. Apakah yang dapat didoakan adalah mereka yang meninggal dalam kondisi rahmat?

      Secara teoritis, ya. Sebab mereka yang meninggal dalam keadaan berdosa berat dan tidak bertobat (ini disebut sebagai di luar kondisi rahmat) telah memilih neraka sebagai tujuan akhirnya; dan jiwa- jiwa yang di neraka sudah tidak dapat didoakan agar dapat beralih ke surga.

      Namun masalahnya di sini, kita tidak dapat tahu dengan persis, apakah seseorang pada saat wafatnya benar- benar dalam di luar kondisi rahmat atau sudah sempat bertobat sesaat sebelum ajalnya, sehingga dapat dikatakan sebagai berada di dalam kondisi rahmat Allah. Oleh karena itu, tidak ada salahnya, jika kita mendoakan semua orang yang telah meninggal.

      3. Tentang Misa 7 hari atau 40 hari untuk mendoakan jiwa orang yang sudah meninggal.

      Ya, hal ini boleh dilakukan. Dasarnya adalah kita dapat berdoa kapan saja, dan akibat Misa Kudus tetap sama baik dilakukan 7 hari atau 10 hari atau 40 hari atau 1000 hari. Peringatan hari- hari tersebut lebih berguna untuk mengingatkan para anggota keluarga, dan agar intensi yang diajukan dihayati sebagai ungkapan kasih anggota keluarga kepada orang yang sudah meninggal tersebut.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org.

  16. Dear Bu Ingrid,

    melanjutkan kiriman saya sebelumnya yg belum dapat reply dari Ibu, berikut ada yang terlupa ditanyakan :

    Apa bedanya kalau kita memberikan intensi Misa/ ujup di misa umum (misa hari Minggu) atau Misa jum’at pertama untuk kebahagiaan arwah dengan kita khusus mempersembahkan kurban Ekaristi bagi arwah tsb.

    Apakah ‘efek’ nya sama bagi arwah yg kita doakan, maksud saya apakah pengampunan dosa utk arwah tsb. yg satu sebagian saja dan yg lainnya pengampunan penuh lalu dapat menikmati kesatuannya dengan Allah ? atau ada penjelasan lainnya ?

    Mohon pencerahannya, terima kasih banyak untuk waktunya bu.

    salam,
    vero

    • Shalom Vero,
      Tidak ada bedanya dari segi ‘efek’ antara mengajukan intensi/ ujud (bukan ujup) Misa Kudus pada hari Minggu, Misa Jumat Pertama, atau Misa yang dikhususkan untuk arwah seseorang, jika intensi misa adalah untuk mendoakan arwah orang tersebut. Perayaan Ekaristi adalah perayaan kurban Kristus, sehingga efeknya akan sama, tidak memandang kapan diadakannya ataupun tempatnya.
      Namun memang sering pihak keluarga mengadakan misa khusus untuk mendoakan arwah anggota keluarganya yang sudah meninggal, misalnya pada menjelang penguburan, setelah seminggu atau 40 hari. Hal ini tentu baik, sebab merupakan tanda kasih dari pihak keluarga kepada orang yang meninggal tersebut. Namun dari segi efek Misa Kudusnya, sesungguhnya sama saja, sebab yang dirayakan di setiap Misa Kudus adalah Hal yang sama, yaitu Misteri Paska Kristus: yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Surga. Kurban permohonan/ intensi kita hanya digabungkan dengan kurban utama tersebut; dan oleh karena kuasa pengorbanan Kristus, maka permohonan kita dapat naik ke hadirat Tuhan dan membawa ‘efek’ keselamatan bagi kita yang mendoakan dan mereka yang kita doakan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Hmm, saya mau tanya, MAAf jika kurang tepat,

        apakah ibu percaya bahwa arwah orang yang meninggal bisa pulang ke rumah.. maksud saya misalnya pada hari2 tertentu, arwah tsb bisa pulang/mengunjungi rumahnya dan keluarganya?? Bahkan ada yang terbawa mimpi dan bilang bahwa di dalam mimpi itu mereka melihat arwah orang tersebut mamakai baju yang bagus dan arwah itu sudah tenang di alam sana.. (mungkin sudah masuk surga karena orang itu semasa hidupnya memang terkenal baik) hmm apakah ibu percaya hal demikian dan apakah bertentangan dengan Katolik sendiri??

        Karena adat Tionghua di daerah saya (non Katolik) mempercayai demikian.
        Jika boleh saya ingin mendapat jawaban dari ajaran Katolik plus pendapat ibu sendiri, karena kalau hanya diberikan dari ajaran gereja saya susah saya pahami tata bahasanya.. MOHON MAAF merepotkan, trims.

  17. Dear Ibu Inggrid,

    dari jawaban utk pertanyaan ibu Ollyvia, ada yg masih mengganjal dihati saya, sekitar 3 bulan lalu saya kehilangan seorang sahabat terbaik saya (wanita)karena kecelakaan, kejadiannya sungguh mendadak dan membuat saya sampai sekarang bagaikan mimpi dan masih selalu sgt sedih dan setiap bangun tidur, setiap hari selalu teringat akan temanku ini.

    selama 40 hari sejak meninggalnya,sy tiap hari menyalakan lilin, mendoakan doa koronka, berdoa pada Yesus dan juga berbicara pada sahabat saya itu apapun yg ingin saya utarakan dihati, memang saya merasa mengalami perjalanan batin dgnnya, beberapa kali sy bisa mendengar dia berbicara dalam hati saya, kalimat yg pendek, pernah sy saat berdoa dan menangis sy bisa mendengar dia berkata : ‘loe jgn sedih’, lain hari sy dengar dia katakan ‘gw udah senang, loe jgn sedih’ dan saya pernah katakan padanya, sy tidak akan lagi berdoa khusus spt ini setelah 40 harinya, tp sy tetap akan kirim doa untuk dia dan menjelang berakhirnya 40 hari untuk terakhir kalinya sy dengar suaranya adalah ‘thank you ver’.
    Kalimat2 pendek yg sy dengar lwt batin saya dan tidak setiap hari

    Temanku itu semasa hidupnya selalu membawa didompetnya medali wasiat bentuk lempeng yg ditempel diatas kertas biru kecil dan dilaminating, menjelang 40 harinya, entah mengapa saya selalu terpikir akan medali itu (mungkin dia menginginkan medali itu dihadiahkan kepada saya) dan akhirnya saya mintakan kpd keluarganya dan saya pegang sekarang ini.
    Diatas sy memberikan contoh agar ibu Inggrid bisa juga membayangkan situasi saya.

    sekarang tiap hari seblm pergi kerja/keluar rumah dgn memegang medali itu saya berbicara pada temanku itu : ‘doakan agar hari ini diberkati Tuhan dan bisa menjadi saluran berkat juga bagi orang lain,’ lalu sy bacakan doa pendek di lembaran kecil medali itu tertulis ‘Maria yg semula jadi tak bercela, doakanlah kami yg berlindung kepadamu’ begitu jg saat pulang kerja (dari luar), sy sambil memegang medali itu sy berbicara dgn dia mengucapkan : sudah pulang dan thank you krn sdh menemani saya dengan doa2nya dan sy bacakan lagi doa kepada bunda Maria itu.

    bu Inggrid, apakah saya salah bahkan berdosa? dan saya juga sering ngomong aja sama temanku itu apa yg ingin saya bicarakan dan memang tidak mengharapkan respon apapun dari dia, kadang bisa juga sambil menangis, hanya karena kangen atau entah apa namanya, karena kami selama 10 tahun dulunya selalu kemana2 bersama berdua, sy tau dia dan dia juga sangat tau saya. bu Inggrid tentu bisa merasakan rasa kehilangan saya bukan….??

    saat sy berbicara dengannya, kadang juga saya bicara pada Yesus, jadi bisa selang seling gitu…

    lebih kurang kondisinya seperti itu walau kalau dicerita lengkapnya cukup banyak yg menurut saya ‘keajaiban2’ perjalanan batin saya dgn sahabatku ini.

    Mohon petunjuk bu Inggrid, apakah saya sdh salah dgn berperilaku spt itu, saya tetap berdoa pada Tuhan, Tritunggal Mahakudus, hanya ada momen tertentu sy ceritaan sama sahabatku.

    Terima kasih banyak untuk responnya.

    salam,
    vero

    • Shalom Vero,

      Saya terkesan dengan sharing anda, betapa besar kasih yang anda tunjukkan kepada sahabat anda itu! Terlepas dari apakah suara yang anda dengar itu benar adalah dari dia atau dari batin anda sendiri, perbuatan anda mendoakan jiwa sahabat anda yang telah meninggal adalah sesuatu yang baik dan dianjurkan oleh Gereja Katolik. Gereja Katolik mengajarkan bahwa ikatan kasih antara kita sesama umat beriman tidak terputus oleh maut, dan karenanya memang kita dapat mendoakan jiwa saudara/i kita yang telah meninggal. Memohon dukungan doa dari jiwa- jiwa para kudus di Surga sudah dilakukan oleh jemaat perdana, (silakan klik), dan itu diajarkan juga oleh St. Thomas Aquinas, silakan klik. Namun hal memohon dukungan doa dari jiwa- jiwa yang di Api Penyucian, itu tidak secara definitif diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik. [St. Katarina dari Genoa, pernah menuliskan berdasarkan penglihatan pribadinya, bahwa kita boleh memohon dukungan doa dari mereka yang masih dimurnikan di Api Penyucian, namun ini bukan pengajaran definitif dari Magisterium].

      Nah, memang di sini yang menjadi masalah adalah, anda tidak dapat tahu dengan pasti, apakah sahabat anda telah beralih dari Api Penyucian dan sudah berada di Surga. Jika ia sudah berada di surga, maka anda dapat memohon dukungan doa darinya dan ia juga dapat mendukung doa- doa anda. Namun jika belum, maka harus diakui bahwa ada banyak pandangan mengenai hal ini. St. Bellarminus mengajarkan bahwa seseorang yang dimurnikan di Api Penyucian memiliki kasih yang besar karena mereka begitu dekat dengan Allah, sehingga mereka dapat mendoakan kita. St. Alfonsus Liguori juga berpandangan demikian, yaitu bahwa jika Allah mengizinkan maka jiwa- jiwa yang di Api Penyucian dapat mengetahui apa yang kita doakan dan mengijinkan mereka mendoakan kita. Sedangkan St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa dengan kemampuan mereka sendiri, jiwa- jiwa tersebut tidak dapat mengetahui doa- doa permohonan kita. Maka dengan demikian, kita dapat menarik kesimpulan bahwa jiwa- jiwa di Api Penyucian demikian pula, jiwa- jiwa yang di Surga, hanya dapat mengetahui doa permohonan kita jika Tuhan mengijinkan hal itu untuk diketahui oleh mereka.

      Dengan pengertian ini, saya menanggapi pertanyaan anda: Silakan anda menujukan doa anda tetap kepada Allah Bapa, dengan Pengantaraan Yesus Kristus. Namun pada saat anda menempatkan diri anda dalam hadirat Allah, anda dapat membayangkan bahwa Yesus Kristus itu juga dikelilingi oleh para kudus-Nya, yaitu semua anggota Tubuh-Nya. Salah satu dari anggota Tubuh tersebut adalah sahabat anda. Maka, katakan kepada Tuhan Yesus, permohonan anda, dan mohonlah kepada-Nya agar permohonan tersebut dapat diketahui oleh sahabat anda itu, agar ia dapat mendukung anda dalam doa- doanya. Jadi prinsipnya, janganlah mengadakan pembicaraan terlepas dari konteks Kristus sebagai Sang Kepala, namun berdoalah selalu dalam kesatuan dengan Kristus. Sebab sesungguhnya hanya dengan kesatuan dengan Kristus yang telah bangkit, kita dapat memanggil Allah dengan sebutan “Bapa Kami”, dan kita dapat memiliki kesatuan kasih dengan saudara- saudari kita yang tak terputus oleh maut.

      Demikian penjelasan saya, semoga berguna.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  18. 1.Komunikasi dua arah dengan orang yang sudah meninggal bukan hanya tidak boleh tetapi juga tidak mungkin .Namun, praktek jelangkung memungkinkannya. Gimana menjelaskan fenomena tersebut?

    2.Masalahnya: apa makna komunikasi doa kita kepada Santa Maria dan orang kudus lainnya yang de facto sudah meninggal?
    Memang dalam hal ini, komunikasi umat katolik kepada mereka bersifat satu arah. Misalnya sewaktu mengucap doa Salam Maria, kita berbicara kepada Maria, tetapi kita tidak pernah mendengarkan suara atau pun bisikan dari Bunda Maria.

    3.Bagi sesama orang beriman lain khususnya teman-teman Protestan, pemahaman dan praktek cara berdoa orang katolik, terkesan jelimet sekali. Bukankah berdoa langsung kepada Bapa di surga menjadi lebih afdol? Mengapa gereja tetap “ngotot’ mengajarkan orang katolik alternatif cara berdoa yang begitu sulit berhubungan langsung dengan Bapa di surga padahal terdapat cara doa terbaik yang bersifat langsung?

    • Shalom Herman Jay,

      1. Praktek pemanggilan arwah dilarang Allah, tetapi memang di Kitab Suci hal pemanggilan arwah juga terjadi, seperti dalam kasus raja Saul memanggil arwah Samuel pada saat ia mengunjungi seorang wanita pemanggil arwah di En-dor (1 Sam 28). Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Agaknya Tuhan dapat mengizinkan hal- hal demikian terjadi, demi memberi pelajaran kepada orang- orang yang melakukannya, karena tak dapat dipungkiri bahwa ada banyak resiko buruk yang dapat diterima oleh mereka yang terlibat dalam tindakan itu.

      2. Apa makna kita memohon dukungan doa dari para orang kudus?

      Maknanya adalah kita dapat mengalami manfaat adanya ikatan kasih persekutuan antara semua anggota Tubuh Kristus. Kita dapat memperoleh dukungan doa dari mereka yang jelas- jelas sudah bersatu dengan Yesus, sehingga doa mereka besar kuasanya.

      3. Praktek memohon dukungan doa dari orang kudus njelimet? Berdoa langsung lebih afdol? Mengapa Gereja Katolik mengajarkan cara berdoa yang begitu sulit padahal terdapat cara doa yang bersifat langsung?

      Sebenarnya yang mengatakan njelimet itu mereka, karena mereka tidak setuju. Bagi umat Katolik yang menjalaninya, hal ini sama sekali tidak njelimet, sebab kita meyakini bahwa pengantaraan mereka mendukung Pengantaraan Kristus, dan tidak terpisah darinya.

      Doa bagi umat Katolik adalah ‘pandangan ke surga’ (menurut definisi St. Teresia Kanak- kanak Yesus’ dan karenanya, di dalam doa kita mengalami hadirat Allah yang dikelilingi oleh para kudus-Nya. Silakan membaca terlebih lanjut tentang makna Pengantaraan Kristus yang sifatnya inklusif, yaitu melibatkan anggota- anggota Tubuh-Nya, silakan klik di sini. Doa yang sedemikian, sudah terbukti sangat berkuasa, dan ini dapat kita lihat melalui kesaksian/ tulisan dari banyak para orang kudus, Santa/ Santo, yang mendapat pertolongan dan mukjizat Tuhan melalui dukungan doa Bunda Maria, ataupun doa Santa/Santo pendahulu mereka. Gereja mencatat bahwa cara berdoa sedemikian merupakan cara berdoa yang sudah diterapkan sejak jemaat awal, dan terbukti berguna bagi pertumbuhan iman umatnya, oleh sebab itu Gereja mengajarkannya.

      Maka pertanyaannya sesungguhnya terbalik: jika ada cara berdoa yang lebih berkuasa, karena melibatkan para kudus yang sudah dibenarkan Tuhan- sehingga dukungan doa mereka besar kuasanya, mengapa kita menolak cara ini, dan memilih untuk berdoa sendiri, tanpa melibatkan mereka?

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  19. Dear Ibu Inggrid,

    Bu Inggrid…saya agak sedikit bingung melihat ayat² di 2 Makabe diatas, anak buah Yudas yang meninggal itu kan orang² kafir ( ditandakan dengan ditemukannya jimat dibalik jubah mereka ) bukannya dosa menghujat Roh Kudus itu sudah pasti masuk neraka, bukan di Api Penyucian ? kok masih bisa di buatkan korban bakaran untuk diampuni dosa²nya ya ?

    mohon maaf apabila sudah pernah dibahas.

    Terima kasih,
    JMJLU
    CaesarAndra

    • Shalom Caesandra,

      Orang- orang yang wafat dalam kisah Yudas Makabe (2 Mak 12:38-45) bukanlah orang kafir. Mereka adalah sesama orang Yahudi, namun sayangnya mereka menyimpan dalam jubah mereka jimat- jimat berhala dari kota Yamnia. Artinya mereka telah melanggar hukum Taurat, dengan mengikuti kebiasaan orang- orang kafir dan tidak mengindahkan perintah Allah. Hal ini disebutkan dalam ayat 39-40, demikian:

      “Pada hari berikutnya waktu hal itu menjadi perlu pergilah anak buah Yudas untuk membawa pulang jenazah orang- orang yang gugur dengan maksud untuk bersama dengan kaum kerabat mereka mengubumikan jenazah- jenazah itu di pekuburan nenek moyang. Astaga, pada tiap- tiap orang yang mati itu mereka temukan di bawah jubahnya sebuah jimat dari berhala- berhala kota Yamnia. Dan ini dilarang bagi orang- orang Yahudi oleh hukum Taurat. Maka jelaslah bagi semua orang mengapa orang- orang itu gugur.”

      Maka dari ayat- ayat itu kita ketahui bahwa jenazah orang- orang itu adalah sesama orang Yahudi juga, sebab anak buah Yudas itu bermaksud untuk mengajak para kerabat mereka untuk bersama- sama menguburkan jenazah- jenazah itu di pekuburan nenek moyang. Jika mereka yang meninggal adalah orang bukan Yahudi, maka anak buah Yudas tidak akan melakukan hal ini. Justru karena orang- orang yang meninggal itu orang Yahudi, maka anak buah Yudas itu terkejut (Astaga!, demikian kata ayat itu), karena mereka menemukan adanya jimat berhala kota Yamnia di jubah orang- orang yang meninggal itu. Padahal perbuatan ini dilarang oleh hukum Taurat (lih. Ul 7:25). Allah melarang orang Yahudi untuk menyimpan patung- patung ataupun jimat dari bangsa yang mereka kalahkan. Perintah Allah ini dilanggar oleh orang- orang itu, dan karena itu, mereka tewas.

      Selanjutnya Kitab Suci berkata, “Merekapun [anak buah Yudas] lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya. …. Kemudian dikumpulkannyalah [oleh Yudas] uang di tengah- tengah pasukan. Lebih kurang dua ribu dirham perak dikirimkannya ke Yerusalem untuk mempersembahkan korban penghapus dosa. Ini sungguh suatu perbuatan yang sangat baik dan tepat, oleh karena Yudas memikirkan kebangkitan…. Dari sebab itu maka disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka.” (2 Mak 12: 42-45)

      Ayat- ayat ini merupakan salah satu ayat yang menjadi dasar mengapa Gereja Katolik mengajarkan bahwa kita yang masih hidup dapat mendoakan jiwa- jiwa orang- orang yang sudah meninggal, terutama dengan mengajukan ujud Misa Kudus.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  20. dear andriyanto, terimakasih buat tambahan komennya :) dan juga informasi tentang suster, Eyang Sari. apakah beliau berdevosi untuk jiwa-jiwa di api penyucian? kelihatannya ada meng-suggest dia karena beliau punya pengalaman yang kaya dalam bidang ini.hehehe.

    • Ya, beliau mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian. Seluruh hidupnya hanya dipergunakan untuk berdoa dan matiraga. Beliau mampu melihat arwah yang masih dalam pengembaraan dan yang telah memasuki alam Tuhan. Itulah pentingnya mendoakan orang/saudara kita yang telah meninggal. Beliau tidak dapat meramal, namun selalu mau membantu dengan doa-doanya dalam mengatasi masalah dalam hidup. Saya sendiri pernah dibantu oleh beliau.

    • Ada buku kesaksian Maria Simma judulnya “Rahasia Jiwa-Jiwa di APi Penyucian” terbitan Marian Center Indonesia jakarta. Selama 50 tahun Maria Simma mendapat kunjungan jiwa-jiwa yg mohon didoakan. Demikainlah informasi semoga membantu. Salam: Isa Inigo.

  21. Bapak/Ibu, saya sangat tertarik dengan jiwa-jiwa di api penyucianm dan oleh sebab itu saya memiliki beberapa pertanyaan yang sampai saat ini belum saya temukan jawabannya secara tegas, mudah-mudahan bapak/ibu dapat membantu. Sebab sejujurnya saat ini saya pun masih dalam tahap katekumen.

    pertanyaan saya
    1. iman katolik mempercayai bahwa jiwa/roh tetap hidup setelah kematian. pertanyaan saya, kita sebagai manusia yang masih hidup, sejauh manakah masih boleh “berkomunikasi” dengan mereka. misalnya di dalam doa bolehkah kita berbicara dengan mereka, bercerita misalnya… bagaimana pandangan iman katolik? apakah itu justru dianggap sebagai hal-hal mistis memanggil roh misalnya?

    2. apakah memungkinkan bagi kita tetap merasa dekat/akrab atau punya hubungan batin dengan mereka yang telah meninggal. sejauh mana itu dibenarkan? dan mana batasan yang salah?

    3. merasa kangen dengan orang yang sudah meninggal apakah salah? terutama jika pada waktu2 tertentu berkeinginan untuk memanggil namanya dan bercakap-cakap dengan dia. jika salah kenapa? dan jika benar mengapa? yang saya takutkan ketika melakukan itu seperti yg sering orang2 bilang, membuat jiwanya tidak tenang di surga sana.

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

    • Dear Ollyvia

      Untuk dapat dekat atau mengetahui jiwa-jiwa di api pencucian diperlukan suatu jiwa yang bersih dan kepasrahan total kepada Tuhan. Hanya orang tertentu yang bisa seperti itu. misalnya beberapa pastur, beberapa suster atau santa-santa yang telah diakui Gereja karena kesuciannya. Menurut saya, jiwa kita yang masih terlibat emosi dan nafsu tidak akan bisa berkomunikasi dengan orang yang telah meninggal dunia. Karena alam Tuhan adalah alam kesucian. jadi jika kita dapat berkomunikasi dengan orang yang telah meninggal dunia dalam keadaan jiwa kita yang masih terlibat emosi dan nafsu, saya sarankan hati-hati. dengan jiwa kita yang masih terlibat emosi dan nafsu sebaiknya jangan memikirkan untuk berkomunikasi dengan orang yang telah meninggal dunia. Doakanlah saja. Doa kita jauh lebih bermanfaat daripada mendengar atau mengetahui keadaan orang-orang yang telah meninggal dunia.Dari penjelasan ibu Ingrid komunikasi 2 arah dilarang. saya sangat setuju. Jika kita merasa dekat atau akrab hal itu adalah mereka yang telah meninggal dunia sangat menginginkan doa-doa dari kita. Namun hal ini tidak menutup untuk mengetahui keberadaan mereka melalui orang yang benar dan suci. HANYA MENGETAHUI SAJA. Tidak lebih. Jika ada waktu berkunjunglah ke Klaten. Disana ada seorang suster yang telah pensiun. berumur 114 tahun. yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Orang disekitar memanggil dia Eyang Sari.

      Salam damai dalam Tuhan

      • Dear Pak Andriyanto

        Terima kasih atas informasinya mengenai Eyang Sari dari Klaten. Maaf, karena saya agak terlambat mengetahuinya, bolehkan saya bertanya apakah Beliau saat ini masih dapat kita temui?

        Terima kasih dan salam damai
        Yanuar

Comments are closed.