Menikah atau hidup selibat untuk Kerajaan Allah?
Mungkin pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang harusnya direnungkan oleh para muda- mudi Katolik. Jaman sekarang, kita melihat dalam keadaan masyarakat, di mana terdapat kebebasan mass media dan gaya hidup yang bahkan seolah menganggap perkawinan yang tak terceraikan adalah sesuatu yang sukar, apalagi kehidupan selibat, yang dipandang lebih lagi sangat mustahil. Namun sebenarnya, tidaklah demikian jika kita berpegang pada pengajaran Rasul Paulus. Jaman dahulu situasi di Korintus mirip dengan kondisi kita sekarang, maka kitapun bisa belajar banyak dari pengajaran Rasul Paulus ini.
Dalam 1 Kor 7:1-40, Rasul Paulus mengajarkan tentang perkawinan dan kehidupan selibat. Pengajaran ini penting, terutama jika kita memahami kondisi jemaat di Korintus saat itu. Kota Korintus merupakan kota transit dan kota pelabuhan. Dengan kondisi ini maka kota tersebut mempunyai tingkat ke-asusilaan/ immorality yang tinggi. Di tengah lingkungan pagan yang sedemikian, maka kemungkinan ada beberapa jemaat di Korintus yang menanyakan kepada rasul Paulus, tentang bagaimana menyikapinya, apakah jadi sebaiknya semua orang Kristen harus hidup selibat, atau apakah perkawinan itu merupakan hal yang buruk. Maka bab tujuh ini menandai dimulainya bagian kedua dari surat pertama Rasul Paulus kepada umat di Korintus . Konteksnya adalah surat ini kemungkinan merupakan jawaban dari Rasul Paulus akan pertanyaan tersebut.
Dalam jawabannya ini Rasul Paulus mengajarkan tentang:
1. ay. 1-16 Perkawinan dan sifatnya yang tak terceraikan
2. ay. 17-24 Rasul Paulus menjelaskan bahwa menjadi murid Kristus tidak mutlak harus mengubah status hidup (misal: dari menikah menjadi selibat) ataupun mengubah keadaan eksternal. Maka perikop ini tidak mengajarkan secara keseluruhan konsep perkawinan Kristiani, sebab untuk melihat pengajaran yang lebih lengkap tentang perkawinan, kita harus membaca juga Ef 5: 22-33, di mana persatuan dan kasih suami istri dilambangkan dengan persatuan dan kasih Kristus kepada jemaat/ Gereja-Nya.
3. ay. 25-38 Kehidupan selibat yang dipandang sebagai sesuatu yang lebih tinggi karena menjadi tanda pengabdian dan kasih tanpa syarat kepada Tuhan dan sesama.
4. ay. 39- 40 Kehidupan menjanda yang dapat dijadikan kesempatan untuk melayani Tuhan dengan lebih penuh.
Berikut ini saya sampaikan uraian yang mengambil sumber utama dari Commentary yang ada di The Navarre Bible, The Letters of St. Paul:
7:1-9 Rasul Paulus mengajarkan bahwa Perkawinan adalah sesuatu yang baik. Di sini dan di ayat 25-35, Raul Paulus ingin mengatakan bahwa bukan hanya kehidupan selibat yang dapat dilakukan oleh umat Kristiani. Maka ia menyatakan dua hal yang mendasar yaitu memang kehidupan selibat berada di tingkat yang lebih tinggi dari perkawinan, tetapi perkawinan adalah sesuatu yang baik dan kudus bagi mereka yang terpanggil untuk itu.
Dalam hal ini, Rasul Paulus melihat bahwa kehidupan perkawinan dan selibat itu harus dilihat berdampingan. Pengajaran ini dilanjutkan oleh St. Yohanes Krisostomus dengan indahnya, “Barangsiapa yang mengecam perkawinan, ia juga membuang kemuliaan yang ada pada kehidupan selibat; sedangkan barangsiapa yang memuliakan perkawinan, maka ia juga membuat kehidupan selibat menjadi menarik dan bersinar. Sesuatu yang kelihatannya baik hanya ketika dibandingkan dengan sesuatu yang buruk, tidaklah sungguh-sungguh berharga; tetapi ketika hal itu lebih besar daripada hal-hal yang dihargai oleh semua orang, maka memang hal itu baik di tingkat yang sangat tinggi.” (St. Yohanes Krisostomus, De virginitate, 10, 1)
Jadi Rasul Paulus menjawab di sini bahwa adalah baik untuk hidup selibat, namun untuk itu seseorang memerlukan rahmat yang istimewa dari Tuhan (ay.7). Mengingat keadaan moral di Korintus yang sangat aktif dipengaruhi oleh ketidakmurnian sehingga dapat meningkatkan banyak godaan (ay. 2, 5, 9), maka lebih baik bagi mereka yang tidak mempunyai karunia untuk hidup selibat untuk menikah. Namun demikian tentu ia tidak bermaksud mengajarkan bahwa tujuan utama perkawinan adalah untuk membebaskan diri dari godaan. Sebab makna Perkawinan malah sangat luhur karena kasih suami istri menjadi gambaran akan kasih Yesus kepada Gereja-Nya (lih. Ef 5:22-33). Di sini Rasul Paulus hanya menganjurkan agar bagi yang terpanggil untuk hidup selibat, namun bagi yang tidak terpanggil/ yang tidak mempunyai karunia untuk hidup selibat, agar tidak hidup selibat dan karenanya menanggung resiko tidak dapat mengatasi godaan tersebut.
7:3-6 Rasul Paulus mengajarkan bahwa kehidupan selibat bukan untuk semua orang. Jika untuk kondisi khusus suami dan istri hendak bertarak/ tidak berhubungan suami istri (perfect continence), mereka harus melakukannya atas kesepakatan bersama, dan hanya untuk sementara waktu, agar tidak memasukkan diri sendiri ke dalam godaan setan yang tidak perlu. Juga Rasul Paulus mengajarkan agar suami dan istri bukanlah pemilik dari tubuhnya sendiri, suami memiliki hak atas tubuh istri dan demikian pula sebaliknya.
7:7 Rasul Paulus sendiri hidup selibat. Ia menginginkan orang lainpun seperti dia, sehingga dapat mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Namun ia juga mengakui bahwa hidup selibat merupakan karunia istimewa dari Allah, seperti yang diajarkan Kristus (lih. Mat 19:11-12). Ini adalah tanggapan terhadap kasih yang telah dinyatakan oleh Yesus secara tak terbatas. Dan Rasul Paulus secara pribadi telah mengalaminya [dalam perjalanan ke Damsyik]. Rahmat dengan kekuatan ilahi meningkatkan kerinduan bagi orang-orang tertentu untuk mengasihi Allah dengan total, eksklusif, tetap dan selama-lamanya. Maka keinginan bebas untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah dengan hidup selibat selalu dianggap Gereja sebagai sesuatu yang menandai dan mendorong kasih (lih. Lumen Gentium / LG 42). Kehidupan selibat adalah bukti kasih tanpa syarat, dan mendorong kepada kasih yang terbuka kepada semua orang (Paus Paulus VI, Sacerdotalis caelibatus).
Maka ketika Rasul Paulus mengatakan “setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas”, artinya bahwa perkawinan juga merupakan karunia dari Tuhan (lih. LG 11). “Perkawinan adalah jalan ilahi di dunia…. Maksud perkawinan adalah untuk membantu pasangan menguduskan mereka sendiri dan orang lain. Untuk alasan ini mereka menerima rahmat istimewa di dalam sakramen Perkawinan. Mereka yang terpanggil untuk menikah akan, dengan rahmat Tuhan, menemukan di dalam kondisi mereka setiap hal yang mereka perlukan untuk hidup kudus dan untuk lebih mengikuti jejak Kristus setiap hari dan untuk menuntun semua yang hidup bersama mereka kepada Tuhan.” ((St. Josemaria Escriva, Conversations, 91))
7:10-11 Maka kehidupan selibat bagi Rasul Paulus bukan merupakan perintah, tetapi berupa anjuran. Sedangkan tentang perkawinan yang tak terceraikan itu merupakan perintah Tuhan, seperti yang telah diajarkan oleh Yesus (lih. Mat 19:6); dan suami ataupun istri tak dapat menceraikannya (Mat 5: 31-32; 19:3-23; Mk 10:12). Perkawinan yang tak terceraikan ini berakar dari kasih yang memberikan diri secara total dari pasangan suami istri, demi kebaikan anak-anak mereka. Maka perkawinan yang tak terceraikan ini menemukan kebenaran puncaknya di dalam rencana Allah yang menghendaki agar perkawinan yang tak terceraikan ini merupakan sebuah buah, tanda dan syarat dari kasih setia absolut yang Allah tujukan kepada manusia dan yang Yesus tujukan kepada Gereja…. ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 20))
7:12-16 Setelah mengajarkan tentang perkawinan yang tak terceraikan, Rasul Paulus menjelaskan tentang kasus yang umum ditemukan saat itu, yaitu perkawinan antar dua orang pagan, yang kemudian salah satunya menjadi Kristen. Dalam dunia pagan memang hukum memperbolehkan perceraian. Menurut tradisi Yahudi, jika seseorang pagan menjadi Yahudi, maka ia disunat dan harus mengikuti hukum Taurat Musa, termasuk menghindari hubungan sosial dengan orang non-Yahudi (karena akan menjadi najis), sehingga ikatan perkawinan sebelumnya dengan orang non-Yahudi itu harus diceraikan.
Namun demikian, Rasul Paulus tidak memberikan solusi ini. Menurut Rasul Paulus, ikatan perkawinan tetap berlaku, sebab hukum kenajisan tidak berlaku/ telah diperbaharui oleh Kristus. Hanya saja jika pihak yang pagan tidak mau hidup dalam perdamaian, maka pihak yang sudah dibaptis dapat berpisah dengannya dan menikah kembali.
Maka dalam hal ini ada tiga hal penting yang harus diketahui:
1) Yesus Kristus tidak pernah bicara tentang hal ini; sehingga ini memang pengajaran dari Rasul Paulus. Maka ia bukan hendak membatalkan pengajaran Yesus tentang perkawinan yang tak terceraikan. Yang dilakukannya adalah, dengan inspirasi Roh Kudus, ia mengajarkan secara umum untuk menyikapi suatu kasus khusus.
2) Jika seorang pagan dibaptis, maka ia menguduskan anggota keluarga lainnya (suami/ istrinya dan anak-anak) (ay. 13-14). Maka pertobatannya bukan malah ‘merusak’ keutuhan keluarga, tetapi malah sesuatu yang membawa kebaikan bagi seluruh keluarga. Pembaptisan bukan sesuatu yang mengakibatkan perceraian, tetapi malah memperkuat dan menguduskan keluarga.
3) Hanya jika pasangan yang tetap tidak percaya (tetap pagan) mengganggu kehidupan keluarga atau tidak memperbolehkan pasangan yang Kristen tersebut untuk hidup sesuai dengan imannya, maka mereka boleh berpisah dan ia yang Kristen tersebut boleh menikah kembali.
Maka Gereja Katolik mengikuti solusi yang diajarkan oleh Rasul Paulus dan umum disebut sebagai “Pauline privilege” (lihat KHK kann. 1143-1147)
Namun ada catatan yang sangat penting di sini, bahwa, kondisi yang disebutkan oleh Rasul Paulus ini bukan kondisi pernikahan di mana salah satu pihaknya sudah Katolik, -yang menikah dengan pihak non- Katolik (kawin campur atau kawin beda agama). Pada kasus- kasus ini, Gereja Katolik mensyaratkan adanya komitmen dari pihak non- Katolik dan jika ini dilakukan maka pernikahan tetap sah dan tak terceraikan (lihat KHK kann. 1124- 1128).
7:17-24 Rasul Paulus mengajarkan bahwa pertobatan tidak perlu diikuti dengan perubahan total status hidup, “hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya” (lih. ay. 17, 20,24). Contoh yang diberikan misalnya soal sunat lahiriah dan hamba/ pekerja. (ay. 18-22). Jadi yang dipentingkan di sini adalah pertobatan rohaniah, dan bahwa kondisi sehari-hari, entah pekerjaan, keluarga, hubungan sosial, dst sekarang membantu kita untuk menuju kekudusan. Kehidupan kita harus mempunyai dimensi baru, sebab kita menyadari bahwa Tuhan membimbing kita untuk melakukan tugas-tugas yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita.
7:19 Penekanan bahwa yang lebih penting adalah menaati perintah Tuhan, maka dengan demikian, sunat atau tidak bersunat tidak lagi menjadi penting, hanya “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6; lih. Gal 6:15).
7:21-23 Pada jaman Rasul Paulus, memang perbudakan masih ada, tetapi Rasul Paulus berkali-kali mengajarkan bahwa sebenarnya setiap manusia mempunyai martabat yang sama di hadapan Allah (lih. Gal 3:28-29 dan Filemon). Sesudahnya ketika ajaran Kristiani masuk ke dalam sendi-sendi kemasyarakatan, maka perbudakan dihapuskan.
Bagaimana seseorang dapat hidup merdeka, pada saat ia masih hidup sebagai pelayan? Maka jawabannya, menurut St. Yohanes Krisostomus adalah ketika ia dapat hidup merdeka/ bebas dari nafsu dan pikiran yang tidak sehat. ((lihat St. Yohanes Krisostomus, Hom., on 1 Cor, 19, ad loc.))
Sedangkan yang benar adalah kita semua hidup sebagai pelayan Tuhan, dengan melihat kepada teladan Yesus sendiri (lih. 1 Kor 20:28) Maka jika kita melayani sesama demi kasih kita kepada Tuhan, itu adalah sesuatu yang sangat mulia. “Kita hidup memang harus melayani, suka atau tidak suka, sebab itulah yang dilakukan oleh kita manusia. Maka tiada yang lebih baik dari pada menyadari akan Kasih yang menjadikan kita pelayan Tuhan…. Dengan demikian kita mengerjakan segala sesuatu di dunia dengan sungguh-sungguh seperti orang-orang yang lain, namun dengan kedamaian di dalam hati kita. Kita bersuka cita dan selalu tenang di dalam menghadapi sesuatu, sebab kita tidak menaruh kepercayaan kepada hal yang sementara, tetapi pada hal yang tetap selamanya.” ((St. Josemaria Escriva, Friends of God, p.35))
7:25-35 Rasul Paulus menjelaskan keistimewaan kehidupan selibat dibandingkan dengan perkawinan. Magisterium Gereja Katolik juga mengajarkan demikian (lih. Trent, De Sacrum matrimonio, ca. 10; Pius XII, Sacra virginitas,11)). Rasul Paulus memang mengatakan bahwa untuk ajaran berikut ia tidak menerima perintah Allah namun hanya menganjurkan kehidupan selibat, dengan motivasi utama, yaitu kasih kepada Allah. “Ini adalah tujuan utama dan alasan utama bagi selibat Kristiani- untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada hal-hal surgawi, memberikan kepada hal-hal itu segenap perhatian dan kasih, memikirkan Dia senantiasa, dan mengkonsekrasikan diri kepada Tuhan sepenuhnya, tubuh dan jiwa. ((Pius XII, Sacra virginitas, 5))
Kehidupan selibat ini akan menuju kepada kehidupan yang penuh dan produktif sebab akan membuat seseorang dapat mengasihi sesama dengan lebih penuh dan mengabdikan diri kepada mereka dengan lebih total. Juga kehidupan selibat mengacu pada dimensi kehidupan di akhir jaman: tanda kebahagiaan surgawi (lih. Vatikan II, Perfectae caritatis, 12) dan mengacu pada kehidupan para kudus di surga.
Namun, meskipun selibat adalah tingkat yang lebih tinggi, perkawinan bukanlah sesuatu yang buruk. Mereka yang menikah tidak melakukan sesuatu yang salah (ay. 28), dan tidak perlu seseorang yang sudah menikah untuk hidup selibat (ay. 3-5) atau bercerai (ay. 27). “Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah tidak hanya tidak berlawanan dengan martabat perkawinan, namun mensyaratkan dan meneguhkannya. Perkawinan dan kehidupan selibat adalah dua hal yang melambangkan dan mempraktekkan satu misteri perjanjian Allah dengan umat-Nya. Ketika perkawinan tidak dijunjung tinggi, maka kehidupan selibat tidak dapat eksis; ketika seksualitas manusia tidak dinilai sebagai sesuatu yang berharga yang diberikan oleh Sang Pencipta, maka pengorbanannya demi Kerajaan Allah menjadi kehilangan artinya.” ((Yohanes Paulus II, Familiaris Cansortio, 16))
7:28 “kesusahan badani” Ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan perkawinan. Hubungan suami istri dalam perkawinan di mana terjadi persatuan yang intim dan murni adalah suatu yang agung dan terhormat:….ini merupakan tindakan pemberian diri yang memperkaya pasangan dengan suka cita dan ucapan syukur. ((Lihat Vatican II, Gaudium et Spes, 49)).
7:33 “perkara duniawi”: menunjukkan bahwa mereka yang menikah tidak dapat mengabaikan kebutuhan- kebutuhan material dalam keluarga. Bahkan suami (kepala keluarga) tidak dapat menyenangkan Tuhan jika ia tidak memenuhi kebutuhan keluarganya. “Adalah suatu kesalahan jika mereka [suami dan istri] tidak memasukkan kehidupan keluarga bagi perkembangan rohani mereka. Kesatuan perkawinan, pendidikan anak dan usaha memenuhi kebutuhan keluaraga…. dan hubungan- hubungan dengan orang lain dalam komunitas- semua ini adalah keadaan umum manusiawi yang harus dikuduskan oleh pasangan suami istri. ((St. Josemaria Escriva, Christ is Pasiing by, 23)) Maka tidak benarlah jika seseorang terlalu aktif mengikuti kegiatan kerasulan awam, sampai menelantarkan keluarga dan kebutuhan keluarganya sendiri.
7:29-31 St. Paul mengingatkan pada kita bahwa hidup ini singkat (lih. Rom 13:11-14; 2 Pet 3:8; 1 Yoh 2:15-17) agar kita dapat menggunakan sebaik-baiknya dari waktu yang ada untuk melayani Tuhan. Maka kita harus tidak terikat pada hal-hal duniawi, supaya kita tidak diperbudak oleh apapun dan siapapun (lih. 1 Kor 7:23; Lumen Gentium 42), tetapi selalu mempunyai pandangan ke arah kehidupan kekal.
7:35 Ayat ini dimaksudkan oleh Rasul Paulus untuk menunjukka bahwa orang-orang yang tdiak menikah mempunyai kesiap-sediaan yang lebih untuk melayani Tuhan.
7:36-38 Terdapat dua teori untuk menjelaskan ayat-ayat ini: 1) Rasul Paulus mengacu kepada kebiasaan saat itu di mana seorang Kristen dapat menerima seorang perawan Kristen di rumahnya untuk mencegah keluarga perempuan itu yang masih pagan untuk memaksanya menikah. 2) Rasul Paulus menujukan ajaran ini kepada para bapa atau bapa angkat yang menurut kebiasaan saat itu mempunyai kuasa untuk memutuskan apakah anak perempuannya akan menikah atau tidak. Dalam hal ini, “baiklah mereka kawin”/ let them marry sebenarnya harus diterjemahkan sebagai “he can decide that she marry.”
Walaupun penyampaian dalam paragraf ini sepertinya tidak jelas, namun maksud utama Rasul Paulus tetap jelas, yaitu, bahwa perkawinan adalah baik dan kudus, tetapi tak seorang-pun wajib untuk menikah; mereka yang dengan panggilan ilahi -“ia yang mempunyai keyakinan ini di dalam hatinya”- dipanggil untuk hidup selibat melakukan hal yang lebih baik (lih. ay. 38).
7:39-40 Mengikuti Rasul Paulus, Gereja selalu mengajarkan bahwa ikatan perkawinan hanya dapat dipisahkan oleh kematian salah satu dari pasangan, dan ia yang masih hidup dapat menikah lagi. Namun menurut anjuran Rasul Paulus, lebih baik bagi yang masih hidup itu untuk tetap tidak menikah, dan melayani Tuhan, jika itu kehendak Tuhan.
Kesimpulan
Melihat pentingnya makna kedua panggilan hidup ini, memang sebaiknya para pemuda/i Katolik merenungkannya sebelum membuat keputusan. Baik perkawinan maupun hidup selibat merupakan jalan yang dapat menuntun seseorang kepada kekudusan, namun perlu direnungkan secara khusus dalam kondisi kita masing-masing, “Apa kehendak Tuhan bagiku?” “Dengan cara apa aku dapat memuliakan Tuhan dengan lebih baik?” Dan jika kita sudah ‘terlanjur’ memilih jalan dan status hidup kita, kita tak perlu resah, karena setiap jalan dan keadaan kita, tetap dapat membawa kita kepada kekudusan, asalkan kita hidup sesuai dengan perintah-perintah-Nya, terutama perintah kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama.
Saya mau bertanya tentang saran dari Rasul Paulus tentang hidup selibat. Apakah hidup selibat disini diarahkan untuk hidup membiara atau hidup selibat sebagai rasul awam?
Shalom Steven,
Prinsip dari 1 Kor 7 adalah untuk memberikan nasihat bahwa setiap orang dipanggil dalam kapasitas yang berbeda-beda sesuai dengan cara hidup dan kekhasannya masing-masing. Rasul Paulus menuliskan, “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu.” (1Kor 7:7) Seseorang dapat saja menikah atau hidup selibat. Namun, keduanya harus semakin memuliakan Allah.
Rasul Paulus memang memberikan nasihat ada orang yang dipanggil untuk selibat. Tidak dijelaskan apakah yang dipanggil selibat untuk membiara atau sebagai rasul awam. Namun, keduanya adalah sama baiknya. Karena hal ini adalah keputusan yang besar, maka alangkah baiknya kalau orang yang mau mempertimbangkan hal ini harus memikirkannya dengan sungguh-sungguh, dengan cara melakukan proses discernment dan juga mempunyai pembimbing rohani. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom..
Saya sedang kalut sekali akhir2 ini. Sebenarnya saya punya keinginan sejak belia untuk hidup membiara selepas SMA, namun saat ini usia saya telah mencapai 22 tahun. Lagipula orang tua saya tidak menghendaki saya untuk hidup selibat, mungkin karena takut saya gagal membiara dan sendirian di masa tua. Pada masa itu hingga sekarang saya telah membina hubungan dengan lelaki muslim selama 8 tahun. Dulu saya cukup sreg dengan dia tapi akhir2 ini banyak hal dari dia yang membuat saya jadi takut dan ragu untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Walau begitu, keluarganya sudah setuju dengan saya dan merencanakan pernikahan kami. Apa yang harus saya lakukan, saya sedih sekali, saya meminta pada Tuhan agar datang seseorang yang baik bagi saya setidaknya beri petunjuk apakah saya harus menikah atau tidak. Tapi keinginan membiara apakah masih mungkin bagi saya, mungkin sudah tidak karena sudah tidak murni kesannya hanya jadi pelampiasan saja, walau tidak demikian. Di manakah Tuhan saat ini kenapa Tuhan biarkan saya pada lelaki yang melangkahi iman dan Tuhan saya. Ada perasaan sakit hati ketika pacar saya merendahkan iman dan Tuhan saya. Sudah berani begitu sekarang, apalagi kelak. Bukan itu saja, yang seiman dengan saya juga tak begitu baik untuk saya. Rasanya saat ini jodoh saya sedang dikaburkan. Saya tidak melihat ada yang benar2 bisa diandalkan. Padahal saya tidak juga menuntut sesuatu yang aneh2 dari lelaki. Apakah manusia memang diciptakan berpasang2an? apakah salah dan rendah jika manusia memilih untuk tidak menikah? itu kesan yang diungkapkan pacar saya.
Shalom Josia,
Panggilan untuk masuk biara pada dasarnya adalah suatu anugerah. Maka layaknya anugerah, sikap yang tepat adalah diterima dan ditanggapi dengan ucapan syukur, bukan dengan rasa terpaksa. Sebab dengan masuk biara dan hidup selibat untuk Kerajaan Allah, seseorang diarahkan untuk secara suka rela memberikan dirinya sepenuh-penuhnya untuk Allah, sebagai tanggapan atas anugerah kasih yang telah ia terima terlebih dahulu dari Allah. Jika sebelum membuat keputusan itu ia merasa terpaksa, maka kemungkinan besar ia tidak terpanggil untuk hidup selibat untuk Kerajaan Allah, sebab bagi yang sungguh terpanggil, ia akan dengan sukarela dan bahkan dengan suka cita menyerahkan keseluruhan dirinya untuk Tuhan. Sebab bahkan ia berpikir, bahwa jika ia menikahpun, ia tidak akan dapat bahagia, sebab keseluruhan kasihnya sudah diberikan kepada Tuhan. Hidup selibat untuk Kerajaan Allah adalah sesuatu yang ‘alangkah baik’, -jika kita meminjam perkataan dari Rasul Paulus (lih. 1Kor7:7). Karena mereka yang melakukannya, telah hidup sebagaimana di Surga kelak kita semua akan hidup, yaitu tidak kawin dan dikawinkan, melainkan hidup seperti malaikat (lih. Mat 22:30; Mrk 12:25), sepenuhnya bersatu dengan Allah. Mereka yang tidak mengimani Kristus dan juga tidak mengimani ajaran Kristus, akan sulit menerima ajaran ini. Namun bagi kita yang mengimani Kristus dan mengimani Sabda-Nya, kita dapat menerima bahwa memang ada orang-orang tertentu yang membuat dirinya tidak kawin -menurut Sabda Yesus- “karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga” (Mat 19:12). Mereka telah diberi pengertian, pengharapan dan keinginan yang kuat untuk mengalami persatuan yang penuh dengan Allah itu, bahkan sejak dalam kehidupan mereka di dunia ini. Tentu ini bukan sesuatu yang rendah, namun sebaliknya, adalah sesuatu yang luhur dan mulia!
Nah sekarang tentang kasus Anda. Agaknya, dari surat Anda, nampak sekilas bahwa Andapun sebenarnya tidak begitu sreg dengan keputusan menikah dengan seseorang yang tidak seiman dengan Anda. Jika Anda tetap mengikutinya, maka terdapat kemungkinan Anda menyesali keputusan Anda di kemudian hari, karena Anda sebenarnya telah mengetahui ada yang tidak pas di hati Anda, yaitu ketika pasangan Anda ‘melangkahi iman dan Tuhan Anda’. [Saya meminjam kata-kata Anda].
Maka, silakan menemui pastor paroki Anda atau pembimbing rohani Anda, yang kepadanya Anda rutin mengaku dosa, dan sampaikan kepadanya pergumulan Anda ini. Mohonlah bimbingan darinya, dan dengarkanlah nasehatnya. Atau, jika saya boleh mengusulkan, Anda perlu mengikuti retret pribadi untuk memeriksa batin dan hati nurani Anda, tentang apakah jalan hidup yang akan Anda tempuh. Yang pertama perlu Anda temukan dari dalam hati Anda adalah apakah Anda memutuskan untuk menikah atau hidup selibat untuk Kerajaan Allah. Janganlah terlalu cepat menyalahkan Tuhan seolah Tuhan tidak mengirimkan jodoh yang seiman kepada Anda. Adakah Anda bergaul dalam komunitas gerejawi di paroki/ keuskupan Anda? Jika tidak, ya mungkin saja agak sulit bagi Anda untuk menemukan kenalan yang seiman dengan Anda. Atau kalau dorongan untuk masuk biara semakin kuat, silakan mencari bimbingan rohani dari pastor Anda, dan silakan mencari tahu tentang ordo mana yang kemungkinan menjawab kerinduan batin Anda. Apapun jalan yang Anda pilih, ketahuilah bahwa keduanya dapat menuntun Anda kepada kekudusan, asalkan Anda mau terus bekerjasama dengan rahmat Tuhan dan melakukan kehendak dan perintah-Nya.
Mungkin saat-saat inilah Anda perlu berdoa dengan lebih sungguh, entah dengan Novena, atau dengan mengikuti Perayaan Ekaristi setiap hari. Mohonlah pimpinan Tuhan untuk membuat keputusan yang sangat penting ini, yang akan menentukan kehidupan Anda selanjutnya. Namun percayalah bahwa Tuhan tidak meninggalkan Anda, sebab Ia sungguh mengasihi Anda. Jika Anda mengandalkan Dia, Ia akan menyatakan kehendak-Nya kepada Anda dan memampukan Anda untuk menanggapi-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam pak Stef/Ibu Ingrid,
Saya masih kurang mengerti beberapa hal, mohon bantuannya untuk menerangkan:
1) Pada 1 Kor 7:7, apakah karunia/rahmat istimewa yang dimaksud rasul Paulus ini adalah karunia yang sama dikatakan oleh Yesus pada Mat 19:11?
2) Apakah karunia ini diberikan pada orang-orang tertentu yang jumlahnya terbatas, atau bisa diberikan pada hampir semua orang? Apakah semua orang yang saat ini hidup selibat, bisa kita katakan bahwa mereka semua mempunyai karunia ini?
3) Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita telah memperoleh karunia ini? Jika kita merasa tidak yakin memiliki karunia ini, apakah berarti sebaiknya kita menikah?
Pada artikel di atas bagian penjelasan ayat 7:1-9,
“…Mengingat keadaan moral di Korintus yang sangat aktif dipengaruhi oleh ketidakmurnian sehingga dapat meningkatkan banyak godaan (ay. 2, 5, 9), maka lebih baik bagi mereka yang tidak mempunyai karunia untuk hidup selibat untuk menikah. Namun …. Di sini Rasul Paulus hanya menganjurkan agar bagi yang terpanggil untuk hidup selibat, namun bagi yang tidak terpanggil/ yang tidak mempunyai karunia untuk hidup selibat, agar tidak hidup selibat dan karenanya menanggung resiko tidak dapat mengatasi godaan tersebut.”
Bagaimana kita bisa cukup yakin kita bisa menguasai diri / mengatasi godaan yang ada atau tidak?
4) Bagaimana jika misalnya seseorang yakin dalam hatinya dan menetapkan untuk selibat, namun setelah bertahun-tahun berikutnya menyadari bahwa sebenarnya dia tidak mampu untuk hidup selibat / tidak mampu hidup sendiri mengatasi godaan2, sedangkan usianya sudah tidak muda lagi sehingga peluang untuk memperoleh pasangan nyaris tidak ada?
5) Agak keluar dari pembahasan, saya ingin mengetahui bagaimana kebanyakan orang yang selibat, khususnya selibat awam, pada saat usia mereka lanjut dan tidak memiliki anak untuk merawat mereka di hari tua? Kalau mau jujur, sulit sekali untuk mengharapkan bantuan dan perhatian dari keluarga yang bukan anak kandung.
Mohon bantuan penjelasannya pak Stef/Ibu Inggrid. Terima kasih.
Shalom Budi,
1. Ya, karunia hidup selibat (tidak kawin) untuk memusatkan perhatian kepada perkara Tuhan sebagaimana disebutkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Kor 7:7-8, 32-35, adalah mengacu kepada hidup selibat oleh karena Kerajaan Surga, yang disebutkan oleh Kristus pada Mat 19:12.
2. Karunia hidup selibat untuk Kerajaan Allah tidak diberikan kepada semua orang, namun kepada orang-orang tertentu menurut kehendak-Nya. Tidak semua orang yang saat ini hidup selibat dapat dikatakan memiliki karunia ini, namun mereka dapat memintanya kepada Tuhan dan Tuhan dapat mengabulkannya. Tentang karunia hidup selibat yang akan diberikan oleh Allah Bapa kepada para imam yang meminta kepada-Nya dengan rendah hati dan sungguh-sungguh, Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, Sacerdotalis Caelibatus mengatakan:
44. Holy virginity is a very special gift. Nevertheless, the whole present-day Church, solemnly and universally represented by the pastors responsible for her welfare ….manifested her absolute faith “in the Holy Spirit that the grace of leading a celibate life, so desirable in the priesthood of the New Testament, will be readily granted by God the Father if those who by ordination share the priesthood of Christ humbly and earnestly ask it together with the whole Church.” (Decree on the Priestly Ministry and Life, no. 16: AAS 58 (1966), 1015-16 [TPS XI, 462].)
3. Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita memperoleh karunia selibat? Pertama-tama tentu dengan sungguh-sungguh membawa hal ini dalam doa-doa kita, terutama melalui retret khusus yang dikenal dengan retret Panggilan, untuk meneliti batin tentang apakah kita terpanggil untuk membaktikan diri kepada Tuhan dengan hidup selibat, atau tidak. Dalam perjalanan sampai kepada keputusan tersebut, hal panggilan hidup selibat untuk Kerajaan Allah juga harus diuji dan diterima oleh pihak otoritas dalam Gereja yang bertanggungjawab dalam pelayanan ini (lih. Sacerdotalis Caelibatus 15).
Seringkali, menurut kesaksian para imam/ para biarawan/biarawati, keyakinan akan panggilan ini sesungguhnya bertumbuh seiring dengan waktu. Semakin panggilan itu diikuti dengan sungguh, semakin rahmat Allah ditambahkan sehingga hidup selibat tidak dirasakan sebagai beban, tetapi sebagai pemberian sukarela kepada Allah yang dilakukan dengan sukacita yang keluar dari sebuah pilihan yang dibuat demi kasih kepada Kristus (lih. Sacerdotalis Caelibatus 72). Sebab melalui hidup selibat untuk Kerajaan Allah, seseorang dapat dengan lebih sempurna mengikuti teladan Kristus, yang selama hidup-Nya di dunia menjalani kehidupan selibat, dan dengan demikian mempunyai perhatian dan kasih yang sempurna kepada Allah Bapa dan umat manusia (lih. Sacerdotalis Caelibatus 21). Seorang imam akan menerima kekuatan dan suka cita yang baru saat ia memperdalam motivasinya dan keyakinannya bahwa ia telah memilih bagian yang lebih baik, melalui doa dan meditasi (lih. Sacerdotalis Caelibatus 74).
Sebaliknya, jika dalam ketulusan hati kita memeriksa diri, selalu timbul dorongan untuk hidup menikah dan membentuk keluarga, maka kemungkinan memang hidup selibat bukan panggilan hidup kita. Namun jika kita memilih untuk menikah, motivasi utama bukanlah untuk menyalurkan keinginan daging, tetapi untuk memberikan diri sepenuhnya kepada pasangan hidup kita. Dengan demikian, kitapun mengikuti teladan Kristus mengasihi, sebab hubungan kasih suami istri mengambil teladannya dari kasih Kristus kepada Gereja.
Bagaimana kita bisa cukup yakin kita bisa menguasai diri/ mengatasi godaan? Jika kita mengandalkan Tuhan dan janji-Nya kepada kita bahwa segala perkara dapat kita tanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepada kita (lih Flp 4:13), maka kita dapat yakin bahwa jika kita berjuang sungguh-sungguh di dalam rahmat-Nya, maka Tuhan akan memampukan kita untuk menguasai diri dan menolak godaan.
4. Bagaimana jika seseorang yakin untuk hidup selibat di masa mudanya, namun ternyata bertahun-tahun kemudian meragukannya/ menyadari bahwa itu bukan panggilannya? Tentu jawabnya tergantung dari kasusnya. Perlu diingat di sini bahwa keputusan untuk hidup selibat dan terutama selibat untuk Kerajaan Allah, adalah keputusan yang dibuat atas kehendak bebas dan bukan paksaan dari siapapun. Dan setiap keputusan itu memiliki konsekuensinya masing-masing. Dalam keadaan hidup selibat ini nampaknya ada dua keadaan:
1) Jika seorang pernah berpikir untuk hidup selibat di masa mudanya, namun ia tidak terikat kaul selibat sebagai imam/ biarawan/biarawati, maka jika bertahun-tahun kemudian ingin menikah, ia dapat melakukannya, tentu jika ia bertemu dengan seseorang yang dapat mengasihi dan dikasihinya; dan menerimanya apa adanya. Jika kemudian dalam keadaan usia yang telah lanjut ia sulit menemukan pasangan, ini adalah sebuah konsekuensi yang perlu dihadapi dengan hati lapang, sambil terus berserah kepada penyelenggaraan Tuhan. Orang tersebut perlu melibatkan diri dalam komunitas gerejawi dan dalam pergaulan di lingkungan yang baik, sehingga membuka kemungkinan untuk bertemu dengan seseorang yang dapat menjadi pasangan hidupnya.
2) Jika seseorang telah mempunyai kaul untuk hidup selibat (hidup sebagai imam/ rohaniwan/ rohaniwati) maka ia tidak dengan mudah dapat mengubah keputusannya, sebab ia terikat oleh kaul yang telah dibuatnya sendiri dengan kehendak bebasnya. Dalam kasus-kasus pelanggaran yang sangat berat dapat diberi dispensasi oleh pihak otoritas Gereja, namun tentu setelah melalui pemeriksaan yang seksama. Dalam memberikan dispensasi ini Gereja selalu bertindak dengan hati yang berat (with heartfelt regret) terutama pada kasus-kasus di mana terjadi krisis iman, kelemahan moral, kegagalan bertanggung jawab dan menjadi skandal bagi umat beriman (lih Sacerdotalis Caelibatus 84-88).
5. Bagaimana keadaan masa depan kaum selibat awam? Sejujurnya tergantung dari masing-masing orang. Memang menurut perhitungan manusia mungkin sulit mengharapkan bantuan dari pihak keluarga besar, namun mari jangan mengabaikan juga campur tangan Tuhan. Yang terpenting, jika orang itu hidup dalam kemurahan hati dan ketulusan baik kepada Tuhan dan sesamanya, murah hati untuk selalu memberikan pertolongan dan tumpangan kepada sesama, semasa ia masih aktif bekerja, percayalah bahwa di saat ini maupun di masa tuanya, iapun akan menerima kemurahan baik dari Tuhan maupun sesamanya, sebagaimana dijanjikan oleh Tuhan sendiri dalam Mat 5:7.
Sungguh, apapun pilihan yang kita putuskan dalam hidup ini pasti mempunyai konsekuensinya. Namun jika dijalani bersama Tuhan, menurut perintah-perintah-Nya dan kehendak-Nya, pasti Tuhan akan memelihara dengan cara-Nya sendiri yang melampaui pemikiran kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih banyak, Bu Ingrid untuk penjelasan di atas yang sangat membantu pemahaman saya. Saya sendiri masih berusaha untuk belajar mengenai ajaran katolik yang lengkap.
Saya ingin bertanya mengenai hal lain. Bagaimana jika seorang muda katolik (khususnya perempuan) yang karena dituntut/disuruh orangtuanya supaya lekas menikah, atau juga karena malu jika diperbincangkan masyarakat sekitar jika tidak kunjung menikah (yang umumnya dicap “tidak laku” dan disindir2), akhirnya kurang cermat atau agak ceroboh dalam memilih pasangan, atau dengan sekenanya menyanggupi saat dipertunangkan oleh orangtua meskipun pasangannya/tunangannya ada kelemahan2 sifat yang serius (seperti kurang menghargai orang lain, sombong, menganggap derajat perempuan lebih rendah, dll) atau tidak seiman, akhirnya dalam pernikahan banyak terjadi konflik yang serius, pasangannya sering menyakiti, tidak mengasihi sehingga dia tidak jarang sakit hati dan membenci pasangannya?
Apakah sikapnya yang kurang cermat dalam menentukan pilihan hidup bisa dikatakan sebagai suatu dosa? mengingat adanya tuntutan orangtua yang kuat dan resiko cemoohan sekitar jika usia telah tidak muda lagi namun tidak kunjung menikah.
Karena kenyataannya tidak sedikit orang muda – laki-laki maupun perempuan – yang mulai sekenanya saja dalam memilih pasangan jika usia sudah mulai tua.
Mohon pendapat dari bu Ingrid mengenai hal ini. Terima kasih sebelumnya.
Sesungguhnya tidak ada keharusan bagi setiap orang untuk menikah, seolah kalau tidak menikah ia berbuat dosa. Sebab kita ketahui bahwa ada orang-orang tertentu yang memilih untuk hidup tidak menikah (selibat) untuk Kerajaan Allah, seperti para imam dan biarawan/ biarawati, dan cara hidup sedemikian diajarkan oleh Kristus (lih. Mat 19:12), dan bahkan dipilih-Nya sendiri. Demikian pula, ada sejumlah orang yang memilih untuk tidak menikah, walaupun juga tidak masuk seminari/ biara, dan dengan demikian memiliki waktu yang lebih penuh untuk berkarya baik dalam masyarakat maupun Gereja.
Adalah suatu kenyataan yang memprihatinkan memang, jika seseorang menikah bukan karena keinginannya sendiri, tetapi karena takut dicap ‘tidak laku’ oleh keluarga dan masyarakat sekitarnya. Ini adalah kesalahan yang terlalu mahal untuk ‘dibayar’ akibatnya, jika ia menjadi asal pilih saja, tanpa sungguh mengenal dan mengasihi pasangannya itu. Jika ia mengetahui bahwa pernikahan adalah suatu yang baik dan sakral di hadapan Tuhan, namun ia melakukannya seolah hanya asal-an saja, maka ia sudah berdosa di hadapan Tuhan. Sebab dikatakan bahwa “jika seseorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak 4:17).
Namun bukannya tidak mungkin, dari fakta bahwa akhirnya pasangan tersebut toh menikah dan menerima sakramen perkawinan, Tuhan tetap dapat berkarya untuk memampukan pasangan tersebut, jika keduanya bekerjasama dengan rahmat Tuhan, untuk membuat perkawinan mereka berhasil. Di sinilah penting kesediaan dari kedua belah pihak untuk bertobat dan kemudian bersama melihat bahwa tiada yang mustahil bagi Tuhan, asalkan mereka mau mengandalkan Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
shalom..
saya umat katolik dari Malaysia..
saya ingin tahu yang mana satu betul mengenai firman Tuhan pada Kor 7:36-38 “36.Inilah nasihat pada pasangan yg sudah bertunang,tetapi mengambil keputusan untuk tidak berkahwin.Jika lelaki itu merasa tidak bertindak dengan sepatutnya terhadap tunangnya dan jika dia tidak dapat menahan nafsunya,serta merasa harus berkahwin dengan gadis itu,hendaklah dia melakukan apa yang dikehendakinya.Dia tidak berdosa,jika mereka berkahwin.Tetapi jika seorang lelaki,tanpa paksaan sesiapa pun, mengambil keputusan untuk tidak berkahwin dengan tunangnya,dan jika dia dapat mengawal nafsunya dengan baik serta tahu akan apa yang hendak dilakukan,maka lebih baik dia tidak berkahwin dengan tunangnya.Dengan demikian orang yang berkahwin melakukan perbuatan yang baik.Tetapi orang yang tidak berkahwin melakukan perbuatan yg lebih baik”. Kitab suci ini diterjemahkan oleh The Bible Society of Malaysia.Kalau saya tidak salah, ayat ini sedikit berbeza pada kitab yg digunakan umat katolik.Dalam kitab katolik tiada ayat “Bertunang” dan kitab ini digunakan oleh kristian SIB(sidang injil borneo)dimana kebanyakan penganutnya di Negeri Sabah Malaysia.Mereka juga percaya pada Tuhan Yesus tp tidak percaya pada tritunggal.Saya dapat kitab ini dari teman saya,jd saya gunakan saja sebab saya fikir sama saja dengan kitab katolik tetapi setelah baca dan dibandingkan dengan kitab katolik ada berlainan sedikit.Maafkan saya sekiranya tersalah memberi pandangan,saya cuma ingin tahu.terima kasih..
Shalom Nani,
Teks ayat tersebut menurut Vulgate (dalam versi Douay Rheims, terjemahan bahasa Inggris) adalah:
“But if any man think that he seemeth dishonoured with regard to his virgin, for that she is above the age, and it must so be: let him do what he will. He sinneth not if she marry. For he that hath determined, being steadfast in his heart, having no necessity, but having power of his own will: and hath judged this in his heart, to keep his virgin, doth well. Therefore both he that giveth his virgin in marriage doth well: and he that giveth her not doth better.” (1 Cor 7:36-38)
Dalam terjemahan bahasa Indonesia (LAI):
“Tetapi jikalau seorang menyangka, bahwa ia tidak berlaku wajar terhadap gadisnya, jika gadisnya itu telah bertambah tua dan ia benar-benar merasa, bahwa mereka harus kawin, baiklah mereka kawin, kalau ia menghendakinya. Hal itu bukan dosa. Tetapi kalau ada seorang, yang tidak dipaksa untuk berbuat demikian, benar-benar yakin dalam hatinya dan benar-benar menguasai kemauannya, telah mengambil keputusan untuk tidak kawin dengan gadisnya, ia berbuat baik. Jadi orang yang kawin dengan gadisnya berbuat baik, dan orang yang tidak kawin dengan gadisnya berbuat lebih baik.”
Demikianlah keterangan tentang ayat-ayat tersebut menurut The Navarre Bible:
Terdapat dua macam teori sehubungan dengan 1 Kor 7:36-38. Yang pertama, Rasul Paulus mengacu kepada kebiasaan pada Gereja awal, di mana seorang pria Kristen dapat menerima perempuan muda Kristen di dalam rumahnya, untuk menjaga keperawanannya dan melindunginya dari paksaan keluarganya yang pagan untuk menikah. Kita mengetahui kebiasaan ini dari dokumen-dokumen di abad ke-2 dan ke-3….
Teori yang kedua, adalah Rasul Paulus mengingatkan kepada para ayah/ guardian (ayah angkat) yang, menurut kebiasaan pada saat itu, harus membuat keputusan akhir apakah anak gadisnya itu menikah atau tidak menikah. Dalam kasus ini, terjemahan yang lebih tepat adalah, “Biarlah ia [sang ayah/ ayah angkat] berbuat apa yang dikehendakinya. Ia [sang ayah/ ayah angkat] tidak berdosa jika ia [anak gadisnya] menikah ….. (let him do what he will. He sinneth not if she marry….)” Maka maksudnya bukan “baiklah mereka kawin”, tetapi bahwa sang ayah/ ayah angkat itu dapat memutuskan agar anak gadisnya itu menikah.
Walaupun tidak dapat dipastikan keadaan seperti apakah yang sedang dibicarakan oleh Rasul Paulus di sini, namun maksud dari Rasul Paulus jelas adalah bahwa perkawinan adalah sesuatu yang baik dan kudus, namun tak seorangpun wajib untuk menikah. Ia yang “telah mengambil keputusan untuk selibat/ tidak kawin/ he that hath determined, being steadfast in his heart… to keep his virgin,” [yang menjaga keperawanan anak gadisnya], bahkan melakukan hal yang lebih baik.
Maka nampaknya, terjemahan LAI lebih mengacu kepada teori yang pertama. Namun demikian terjemahan SIB (Sidang Injil Borneo) nampaknya tidak sesuai dengan terjemahan LAI, maupun terjemahan Vulgata, karena pada terjemahan SIB terdapat penambahan frasa kalimat, “Inilah nasihat pada pasangan yang sudah bertunang, tetapi mengambil keputusan untuk tidak berkahwin….” yang tidak ada di teks aslinya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam.
Bagaimana dgn seseorang yg memang memiliki orientasi seksual yg salah, sehingga tentu saja utk hidup kudus, dia tdk akan mgkn melalui jalan pernikahan, kecuali jika dipaksakan atau dia berhasil sembuh dan kembali normal atas pertolongan Tuhan. Nah, apakah seseorang spti layak tidak utk jg hidup selibat melayani Tuhan? Dari segi motivasi memang inilah awalnya, namun bkn satu2nya.
Dan mgkn bsa dijelaskan orang yg hidup selibat apakah hrs slalu jd biarawan/biarawati atau org2 yg spti Romo, suster, dsb? Kalau hnya mjd awam saja dlm profesi pd umumnya spti dokter, pengacara, guru, dsb bisa tdak?
Dan apa saja yg bisa atau harus dilakukan sebagai orang2 yg selibat?
Dan pertnyaan tambahan sy: apakah mgkn bhwa terlahir dgn kecenderungan homoseksual itu adalah suatu takdir yg mgkn memang ditentukan Tuhan mjd slh satu cara memanggil org tsb hidup sepenuhnya bagiNya (selibat) sehingga mjd salah 1 dasar pertimbangan bahwa yg diinginkan Tuhan bagi hidupnya adalah selibat.
krn sy melihat di sekitar kita di zaman ini (entah di zaman2 dlu, krn sy jg tdak pernah tahu ada pengikut Tuhan yg homo) memang byk org2 spti itu yg mgkn tdk kita ketahui tp ternyata jg spti itu krn memakai topeng, sehingga seharusnya pasti lah ada maksud di balik terlahirnya org2 itu.
Terima kasih atas kesediaannya menjawab demi membantu memutuskan jalan hidup. Maaf jika topiknya mjd tercampur dgn topik ttg kaum terbuang spti homoseksual.
Salam. Tuhan Yesus mengasihi kita semua. amin
Salam Jericho,
Dalam “Instruction Concerning the Criteria for the Discernment of Vocations with regard to Persons with Homosexual Tendencies in view of their Admission to the Seminary and to Holy Orders”, silakan klik di sini, homoseksual aktif tidak diizinkan hidup dalam kondisi sebagai calon imam. Tentu saja kecenderungan ini pun menyulitkan dia untuk menjadi biarawan dan biarawati. Jika mereka pasif, tentu saja mungkin. Namun bagaimanapun menurut pengalaman Gereja, saudara/i yang homoseks “pasif” ini pun susah dijamin tetap pasif sampai mati dibandingkan dengan yang heteroseksual, lebih-lebih jika lingkungan terdiri dari gender yang sama. Karena itu, Gereja melalui Sri Paus Benediktus XVI menegaskan larangan seminari menerima kaum homoseksual masuk.
Bagi saudara-saudari homoseksual, selibat awam sangat mungkin. Mereka tetap menjadi awam dengan profesi masing-masing namun tidak menikah demi Kerajaan Allah. Mereka membentuk komunitas yang berkumpul secara berkala untuk membuat rekoleksi bersama, dan menyumbangkan dharma bakti pelayanan bagi Gereja, namun bisa pula tanpa berkomunitas secara khusus dengan sesama selibat awam. Kita yakin bahwa rencana Tuhan yang Mahatinggi dan Mahaadil tetap indah bagi semua. Refleksi ini sejajar dengan refleksi mengenai adanya penderitaan dan ketidaksempurnaan di dunia ciptaan-Nya seperti telah pernah dibahas di bagian lain website ini misalnya di artikel “Mengapa Tuhan membiarkan penderitaan”, klik di sini
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Saya minta penjelasan tentang munculnya hidup membiara / hidup bakti? Terima kasih
Salam Yuri,
Kutipan dari Wikipedia berikut semoga membantu walau secara sangat umum. “Monastisisme dalam kekristenan memiliki pelbagai bentuk kehidupan religius guna menanggapi panggilan Yesus dari Nazaret untuk mengikutiNya. Monastisisme Kristiani mulai tumbuh sejak permulaan sejarah Gereja, mengikuti teladan-teladan dan gagasan-gagasan dari Kitab Suci, termasuk yang tercantum dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, meskipun kitab tersebut tidak mewajibkannya dijalani dalam institusi tertentu. Monastisisme Kristiani ditata menurut peraturan rohani (misalnya Peraturan Santo Basilius, Peraturan Santo Benediktus) dan, di masa kini, hukum Gereja.
Monastisisme Kristiani merupakan suatu jalan hidup rohani (yang juga disebut “jalan penyempurnaan”) yang disambut sebagai sebuah panggilan Allah dari keinginan untuk beroleh kehidupan kekal dalam hadirat-Nya. Pada Khotbah di Bukit dalam sabda-sabda bahagiaNya (jalan hidup yang benar menurut hukum Allah), Yesus menyampaikan kepada khalayak ramai yang mendengarkan khotbahNya untuk menjadi “Sempurna sama seperti Bapamu di Surga adalah sempurna” (Mat. 5:48). Tatkala berbicara kepada para pengikutNya, Yesus menyampaikan pula sebuah undangan untuk hidup selibat bagi orang-orang “yang kepadanya telah diberikan karunia” (Mat. 19:10-12); dan ketika ditanya apa lagi yang perlu selain menaati hukum Taurat agar dapat “masuk ke dalam kehidupan kekal”, Dia menganjurkan mereka untuk menjual segala harta benda duniawi yang mereka miliki lalu membagi-bagikan hasil penjualannya kepada orang-orang miskin kemudian mengikuti Dia, “jikalau engkau ingin menjadi sempurna” (Mat. 19:16-22 = Mrk. 10:17-22 = Luk. 18:18-23.)
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru terdapat bukti mengenai kehidupan monastik Kristiani, seperti pelayanan yang dilaksanakan oleh para janda dan para perawan. Pada akhirnya, pertama-tama di Syria dan kemudian di Mesir, umat Kristiani mulai merasa terpanggil juga untuk menjalani kehidupan monastik eremitik (dengan semangat “Padang Gurun” dari Perjanjian Lama guna mencapai pembaharuan rohani dan kembali kepada Allah). Santo Antonius Agung disebut-sebut oleh Athanasius sebagai salah seorang “Rahib Pertapa” awal. Mulai di Mesir, kehidupan monastik menumbuhkan monastisisme senobitik sebagaimana yang terutama dikenal di Barat. Khususnya di Timur Tengah monastisisme eremitik tetap menjadi pola monastisisme yang paling umum sampai surutnya kekristenan Syria pada akhir Abad Pertengahan.
Akan tetapi tidak semua orang cocok dengan kehidupan terpencil, dan muncul banyak laporan mengenai adanya pertapa-pertapa yang mengalami gangguan mental. Jelas dibutuhkan bentuk-bentuk bimbingan rohani yang terorganisir; dan sekitar tahun 318 Santo Pakhomius mulai mengorganisir para pengikutnya dalam apa yang nantinya menjadi biara senobitik Kristiani yang pertama. Tak lama kemudian, lembaga-lembaga serupa didirikan pula di seluruh padang gurun Mesir serta seluruh kawasan Timur Kekaisaran Romawi. Biara-biara Timur yang termasyhur meliputi:
Biara Santo Antonius, yang merupakan biara Kristiani tertua di dunia.
Mar Awgin mendirikan sebuah biara di Gunung Izla di Nisibis, Mesopotamia (~350), dan dari biara ini tradisi senobitik tersebar ke seluruh Mesopotamia, Persia, Armenia, Georgia, dan bahkan sampai ke India dan Tiongkok.
Santo Sabbas Yang Disucikan mengorganisir para biarawan di padang gurun Yudea ke dalam sebuah biara dekat Betlehem (483), dan biara ini dianggap sebagai induk semua biara Gereja-Gereja Ortodoks Timur
Biara Santa Katerina, Gunung Sinai didirikan antara tahun 527 dan 565 di padang gurun Sinai atas perintah Kaisar Yustinianus I.
Di Barat, perkembangan terpenting terjadi tatkala peraturan-peraturan bagi komunitas-komunitas monastik ditulis, Peraturan Santo Basilius dianggap merupakan yang pertama. Tanggal persis ditulisnya Peraturan Sang Guru masih problematis; namun peraturan tersebut dianggap mendahului Peraturan Santo Benediktus yang disusun oleh Benediktus dari Nursia bagi biaranya di Monte Cassino, Italia (± 529), dan biara-biara lain yang telah didirikannya. Peraturan Santo Benediktus menjadi peraturan yang paling umum dipergunakan selama Abad Pertengahan dan masih tetap dipergunakan sekarang ini. Peraturan Augustinian , karena keringkasannya, telah diadopsi oleh berbagai komunitas, terutama oleh para Kanon Reguler.
Sekitar abad ke-12, ordo Fransiskan, Karmelit, Dominikan, dan Augustinian memutuskan untuk hidup dalam biara-biara perkotaan di tengah-tengah umat ketimbang di pertapaan-pertapaan terpencil.
Kini wujud-wujud monastisisme kristiani, yang banyak di antaranya bersifat ekumenis, berkembang di tempat-tempat seperti Komunitas Monastik Bose di Italia, Persaudaraan Monastik Yerusalem di seluruh Eropa, dan Komunitas Taizé di Perancis, serta gerakan Neomonastisisme yang terutama bersifat protestan injili di Amerika.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Monastisisme#Monastisisme_Kristiani
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Saya dalam poses pembatalan pernikahan, karena mantan suami kembali ke agamanya terdahulu dan akan menceraikan saya jika saya tidak mengikutinya, dan itu telah terjadi, secara sipi/negara kami telah bercerai. Saat ini saya mempunyai anak usia 2 tahun, apa dengan keadaan seperti ini saya bisa hidup selibat tapi dengan membawa anak? saya hanya ingin hidup bisa lebih berati dengan melayani… trimakasih
Shalom Indah,
Sejujurnya, melayani tidak harus dengan kehidupan selibat, walaupun memang seseorang yang memilih untuk hidup selibat demi Kerajaan Allah, mempunyai kesempatan dan keadaan yang lebih leluasa untuk melayani Tuhan. Dalam kondisi Anda, yaitu yang telah mempunyai anak usia 2 tahun, maka tanggung jawab Anda yang terbesar di hadapan Tuhan adalah untuk membesarkan dan memelihara anak Anda tersebut, agar dapat bertumbuh menjadi anak yang baik dan berkenan di hadapan Allah. Oleh karena itu, meskipun Anda memperoleh izin pembatalan perkawinan sekalipun, maka Anda tidak dapat mengabaikan tanggungjawab Anda untuk membesarkan dan mendidik anak Anda tersebut. Namun demikian, kehidupan selibat tetap dapat Anda lakukan sendiri, tanpa harus memasuki biara. Anda dapat mencurahkan perhatian Anda sepenuhnya untuk mendidik anak Anda, melibatkan diri di dalam kegiatan-kegiatan gerejawi di paroki Anda dan menerima sakramen-sakramen Gereja, dan dengan demikian Anda dapat turut memberikan diri Anda dalam kehidupan Gereja.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
selibat merupakan suatu komitmen bukan merupakan suatu pelampiasan karena sudah sakit hati dengan pasangan kita, oleh karna itu ada baiknya kita menenangkan diri sejenak dan mengetahui bahwa hidup selibat bukan merupakan pelarian kita.
[Dari Katolisitas: Ya, pandangan ini benar]
Salam Damai Kristus,
Saya mau bertanya perihal hidup Panggilan yang membedakan antara hidup berkeluarga dan Selibat secara teologisnya itu apa. Bagaimana hubungannya dengan karya Kristus sendiri dalam campur tanganNya.
Kalau boleh saya minta saran berbagai sumber bacaan sabda Perjanjian Lama dan Baru yang berkaitan dengan Perkawinan atau hidup berkeluarga. Terima kasih
[dari katolisitas: silakan melihat artikel di atas – silakan klik]
Syalom, saya ada pertanyaan:
– apakah salah jika kita menyukai org yg ternyata telah memilih selibat awam?
– apakah dosa jika saya mohon pd Tuhan agar org itu (yg selibat awam itu) mencintai saya dan saya berharap mukjizat dr Tuhan utk itu?
– apakah jika kita sdh memilih utk selibat awam, lalu keluar, kita berdosa?
Thanks sblmnya, mbak, Romo.
God bless u..
Salam Princess,
Mohon rahmat Tuhan selalu baik, karena akhirnya tergantung Tuhan mau berikan atau tidak. Beliau Mahatahu, pasti mengetahui apa yang terbaik untuk Anda dan dia.
Namun setelah berdoa, saran saya Anda utarakan saja isi hati Anda padanya terus terang. Selanjutnya, nantikan saja bagaimana sikapnya. Di situlah terjadi tuntunan Allah sendiri melalui dialog di antara Anda dan dia. Anda bisa tanyakan informasi mengenai selibat awam itu dan mengetahui sikapnya terhadap isi hati Anda.
Tentu saja selibat yang diniati sendiri lain dari selibat imamat dan biarawan kanonik. Namun bagaimanapun, harus dihargai selibat awam-nya itu jika ia tetap mau melanjutkannya. Semoga segera ada kejelasan.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto, Pr
Trima kasih jawabannya Rm…
Saya blom berani mengatakan langsung begitu,Rm..
Kemaren2 kami dijodoh2kan begitu ama teman2, lalu dia blg dia gak suka dijodohkan krn punya pengalaman buruk… Juga namanya cinta gak bisa dipaksa…
Dan dia mulai merasa saya menyukainya, n dia mengatakan kalo saat ini dia msh menjalankan selibat awamnya.
Dan dia saat ini menganggap saya hanya sebagai sahabat seiman saja..
Saya juga belum pernah mengalami ini sebelumnya, Romo.
Ntah kenapa saya yakin sekali n merasa cocok dgn dia.
Saya rasa saya jauh bisa dekat ama Tuhan kalo dgn dia…
Apa salah jika saya masih mohon pd Tuhan utk membuka jalan??
Bahkan saat ini saya menjalani novena dan puasa utk itu, apa itu salah ya Romo?
Salam Princess,
Tidak salah. Silahkan lanjutkan. Namun harus dengan keterbukaan pula bahwa Tuhan memiliki kuasa mutlak atas permohonan kita. Jika Tuhan mengabulkan atau tidak mengabulkan, Anda pasti tahu tanda-tandanya. Misalnya: tanda-tanda itu muncul dari reaksi dia, reaksi hati Anda sendiri, dan reaksi teman-teman serta keluarga dan masyarakat. Semoga segera jelas dalam doa-doa dan membuat komunikasi yang baik dengan dia.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Baik…
Trima kasih banyak Romo… ^^
Tuhan memberkati selalu..
Dear Katolisitas.org,
saya masih bingung dengan pertanyaan “apakah seseorang perlu menikah atau tidak.” Dan saya lihat cukup banyak orang-orang lajang juga bergumul dengan masalah tersebut. Bisakah Katolisitas memberikan panduan bagaimana seseorang dapat lebih mengenali panggilannya untuk memilih: hidup menikah atau tidak ? Saya sendiri sudah mencoba cari referensi kemana2, termasuk meng-google nya, hehehe….nampaknya di Gereja juga hal tsb kurang mendapatkan perhatian. Saya sempat bergabung dengan beberapa komunitas dan masih tetap blank untuk pertanyaan tsb. Malahan banyak rekan2 yang memberi masukan bahwa sebaiknya orang tidak menikah. Saya sempat juga bergabung dengan salah satu komunitas single di daerah saya, juga di Young Adult Ministry yang saya baca2 infonya di internet, dalam program2nya tidak membahas soal mencari pasangan hidup.
Terima kasih dan salam :-)
Poppy L.A.
[dari Katolisitas: Silahkan membaca artikel kami di atas, yang berjudul “Menikah atau Selibat? (1 Kor 7:1-40)”, silahkan klik. Semoga pertanyaan Anda terjawab]
katolisitas yth,
[….dari Katolisitas: kami edit]. Saya ingin bertanya, apakah seorang pastor yang pernah melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita, masih boleh menjadi pastor dan menerimakan sakramen? Bila diberi hukuman, biasanya hukuman seperti apa? Terima kasih katolisitas…
Imelda Yth
Walaupun tentu tidak seharusnya terjadi, namun pastor yang pernah melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita masih dapat menjadi pastor dan menerimakan sakramen. Mengapa? Karena sakramen imamat adalah suatu tanda -materai ilahi yang tak akan terhapuskan. Sedangkan dosa karena hubungan seksual masalah privat/ pribadi antara dia [sang pastor] dengan wanita itu dan Tuhan, serta dosa adalah urusan forum internal. Hukuman tentu ada, yaitu paling tidak suspensi apalagi kalau mengakibatkan penderitaan bagi si korban.
salam
Rm Wanta
Shalom,
Apakah hidup selibat itu maksudnya harus di biara atau boleh sebagai selibat awam, tidak terikat kaul tetapi tidak menikah? Bolehkah kita tidak menikah tetapi tidak masuk biara?
Terima Kasih,
Shalom, Monica
Shalom Monica,
Menurut pengetahuan saya, hidup selibat tidak harus di biara. Ada banyak orang yang hidup selibat di luar biara, entah karena pilihan sendiri ataukah karena keadaannya. Mereka tidak terikat kaul, namun mereka tetap dapat mempersembahkan hidup mereka kepada Tuhan sesuai dengan jalan panggilan hidup mereka. Saya pernah mendengar komunitas sedemikian di Jakarta, namanya kalau tidak salah adalah komunitas Putri Sion.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ibu saya ingin bertanya, apa jika ada seseorang sering datang ke panti jompo untuk membelikan makanan dan menemani serta merawat para orang jompo, ke panti asuhan dan yayasan pendidikan anak cacat untuk ikut membantu, yang intinya mencoba mempraktekkan ajaran kasih Yesus terhadap itu termasuk dalam hidup selibat?? Sebab jujur saya sering melakukannya, saya ingin hidup saya bermakna, saya bahkan pernah berpikir untuk menjadi biarawan tetapi orang tua saya tidak mengijinkan.
Jadi saya putuskan untuk melakukan hal di atas saja sesuai kata hati saya, saya ingin bisa seperti mother Teressa yang bisa mengasihi orang2 tanpa pandang bulu, saya hanya ingin hidup saya bermakna, apa mungkin saya bisa “hidup selibat” dengan mengabdikan diri saya untuk merawat orang2 jompo di panti jompo yang kebetulan milik Gereja Katolik juga di daerah saya ?
mohon pencerahannya agar saya mengerti tentang hidup selibat.. :)
Shalom Stefanus,
Pengertian hidup selibat adalah tidak menikah. Nah jika seseorang memang terpanggil untuk tidak menikah dan membaktikan hidup seluruhnya untuk Tuhan, maka memang jalan yang umum dikenal adalah bergabung dengan suatu komunitas hidup religius (biara). Namun demikian tentu saja tetap dapat dilakukan jika seseorang ingin hidup selibat, namun tidak masuk biara.
Selanjutnya perlu diketahui juga bahwa hidup mempraktekkan ajaran kasih Yesus, seperti datang ke panti jompo atau yayasan anak cacat, juga tetap dapat dilakukan, meskipun anda memilih untuk hidup berkeluarga. Sebab hidup berkeluarga, jika dilakukan dengan sungguh- sungguh sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Gereja (dengan mempraktekkan ajaran kasih), juga dapat menghantar setiap anggota keluarga kepada kekudusan. Silakan anda membaca tentang panggilan hidup berkeluarga menurut ajaran Gereja Katolik, silakan klik. Maka makna hidup tidak hanya dapat dialami oleh orang- orang yang hidup selibat, tetapi juga oleh orang- orang yang memilih untuk hidup berkeluarga. Hanya saja, memang secara obyektif kita melihat bahwa mereka yang memilih untuk hidup selibat bagi Kerajaan Allah dengan mempersembahkan hidup mereka seluruhnya untuk Tuhan, mereka secara lebih khusus menggambarkan realita persatuan dengan Tuhan seperti yang kelak akan kita alami dalam kehidupan kekal, yaitu: tidak ada orang yang kawin atau dikawinkan, tetapi seluruh keberadaan kita sudah dipenuhi oleh Allah itu sendiri (lih. Luk 20:35).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
terimakasih ibu atas sarannya,, saya harap semoga perbuatan saya dapat berkenan kepada Allah sekalipun saya tidak masuk dalam komunitas Biara..
Trims Ibu,, sukses dalam pelayanannya,, ^^
Shalom, Bu Ingrid,
Maaf. Link yang saya buka tidak dapat menampilkan jawaban dari Ibu. Mohon diulang.
Saya memikirkan beberapa hal mengenai pekerjaan manusia. Lalu, jika kita bandingkan dengan perintah Kristus bahwa dengan meninggalkan segalanya dan mengikut Dia adalah salah satu syarat masuk ke dalam kehidupan yang kekal. Apakah jika demikian halnya, itu berarti jika kita melakukan pekerjaan yang bersifat “duniawi”, atau dengan kata lain tidak menjadi rohaniwan atau religius seperti suster/bruder/romo kita belum dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga?
>
> Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak menerima Tahbisan Suci tetapi tidak hendak menikah berlawanan dengan ajaran Gereja Katolik? Dalam arti, jika tidak menikah maka kita harus sepenuhnya pula, tidak setengah-setengah, maka kita perlu menerima Tahbisan Suci? Atau boleh tidak menikah walaupun tidak menerima Tahbisan Suci?
>
> Kemudian yang terakhir, bagaimana dengan perkumpulan seperti PRK (Penebar Ragi Kristus) yang terdiri dari wanita yang tidak menikah, berkaul seperti suster, tetapi boleh mencari nafkah dan menyumbangkan dedikasinya bagi masyarakat? Adakah dokumen Gereja Katolik yang mengatur hal tersebut secara eksplisit?
Terima Kasih.
Shalom,
Monica
Shalom Monica,
Mohon memberitahu saya link jawaban saya yang mana yang tidak dapat dibuka?
1. Perintah “meninggalkan segala sesuatu” untuk mengikuti Yesus memang dapat diartikan secara harafiah maupun simbolis. Jika diartikan harafiah, memang dapat diartikan meninggalkan segalanya (segala harta milik dan keluarga mereka) untuk mengikuti Kristus seperti para rasul. Para biarawan dan biarawati sepanjang sejarah Gereja Katolik juga mengikuti jejak mereka. Namun dapat juga “meninggalkan segala sesuatu” ini diartikan secara simbolis, di mana diartikan tidak ada keterikatan dengan hal- hal duniawi untuk mengikuti Kristus. Ketidakterikatan dengan dunia bukan berarti tidak bekerja ataupun mencari rejeki; melainkan tidak membuat diri dikendalikan oleh pekerjaan tersebut.
2. Maka memang tidak semua orang harus menjadi ditahbiskan menjadi biarawan atau menjadi biarawati untuk mengikuti Kristus. Orang yang memilih untuk tidak menikah, namun tidak masuk biara, juga tetap dapat melaksanakan panggilan hidup mereka untuk hidup kudus yaitu menerapkan kesempurnaan cinta kasih, dan dengan demikian memuliakan Tuhan.
Dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium, diajarkan bahwa semua orang dari semua golongan (baik religius maupun awam, menikah atau tidak menikah) dipanggil untuk hidup kudus:
“Maka dalam Gereja semua anggota, entah termasuk Hirarki entah digembalakan olehnya [kaum awam], dipanggil untuk kesucian, menurut amanat rasul: “Sebab inilah kehendak Allah: pengudusanmu” (1Tes 4:3; lih. Ef 1:4). Adapun kesucian gereja itu tiada hentinya tampil dan harus nampak pada buah-buah rahmat, yang dihasilkan oleh Roh dalam kaum beriman. Kekudusan itu dengan aneka cara terungkapkan pada masing-masing orang, yang dalam corak hidupnya menuju kesempurnaan cinta kasih dengan memberi teladan baik kepada sesama. Secara khas pula nampak dalam penghayatan nasehat-nasehat, yang lazim disebut “nasehat Injil”. Penghayatan nasehat-nasehat itu atas dorongan Roh Kudus ditempuh oleh orang banyak kristiani, entah secara perorangan, entah dalam corak atau status hidup yang disahkan oleh Gereja, serta menyajikan dan harus menyajikan di dunia ini kesaksian dan teladan yang ulung tentang kesucian itu. (Lumen Gentium 39)
“Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Dengan kesucian itu juga dalam masyarakat di dunia ini cara hidup di masyarakat dunia menjadi lebih manusiawi…..” (Lumen Gentium 40)
“Hendaklah para imam, serupa dengan para Uskup yang mempunyai mereka sebagai mahkota rohaniPara suami-isteri dan orang tua kristiani wajib, menurut cara hidup mereka, dengan cinta yang setia seumur hidup saling mendukung dalam rahmat, dan meresapkan ajaran kristiani maupun keutamaan-keutamaan Injil dihati keturunan, yang penuh kasih mereka terima dari Allah. Sebab dengan demikian mereka memberi teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua orang, memberi contoh kepada persaudaraan kasih, dan menjadi saksi serta pendukung kesuburan Buda Gereja. Mereka menjadi tanda pun sekaligus ikut serta dalam cinta kasih Kristus terhadap Mempelai-Nya, sehingga Ia menyerahkan diri untuknya. Teladan serupa disajikan dengan cara lain oleh para janda dan mereka yang tidak menikah, yang juga dapat menyumbang banyak sekali bagi kesucian dan kegiatan Gereja…. (Lumen Gentium 41)
3. Sepanjang pengetahuan saya, komunitas awam yang tidak menikah yang didirikan sebagai institut sekular seperti PRK (Penebar Ragi Kristus) didirikan tanpa afiliasi dengan Roma/ Vatikan, sehingga Vatikan tidak mempunyai dokumen khusus untuk mengaturnya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom,
1. Apakah kemurnian menjadi syarat mutlak/ utama untuk menjadi calon imam? Kemurnian yang saya maksud ialah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah? Apakah masa lalu (kehidupan seksual) seorang calon imam juga dinilai/ berpengaruh ? Bagaimana jika seseorang yang sekarang sudah bertobat total / metanoia ? Kan St Agustinus juga bisa menjadi orang kudus; sementara kita semua dalam proses menuju kekudusan itu. Kalau tidak diberi kesempatan gimana ? Walau saya baca di atas, utk mencapai kekudusan tidak mesti dengan memilih jalan hidup berselibat utk mjd biarawan/wati ?
2. Apakah seorang duda/ janda yg selibater (sdh tdk terikat hubungan perkawinan karena ditinggal mati pasangannya) bisa menjadi biarawan/wati ? Dengan asumsi usia mereka msh memungkinkan untuk ikut seleksi dan berkarya di kemudian hari .
Terima kasih atas atensinya .
Adi yth
1. Kemurnian adalah salah satu kewajiban sebagai calon imam. Mengapa jika seseorang pernah menikah tidak layak untuk menjadi imam (irregularitas dalam hukum kanonik). Maka wajib dia orang yang murni selibat sehingga tidak mengganggu perjalanan imamatnya. Seorang yang telah melakukan hubungan intim dengan orang yang bukan pasangannya yang sah adalah dosa sekaligus menjadi halangan dalam panggilan. Jadi secara umum dan pada dasarnya hubungan seksual merupakan halangan panggilan.
Jika ada seseorang yang hidup dalam dosa seks bebas, hidup bersama dan lain- lain, lalu ingin menjadi imam, tentu pihak kongregasi/ diocesan harus hati hati kalau mau menerimanya. Sebab tantangannya adalah untuk memastikan apakah orang tersebut sudah sungguh bertobat, sudah meninggalkan kehidupan masa lalunya dan sungguh sudah hidup baru di dalam Kristus. Sebab jangan sampai kemudian masih tersimpan dorongan yang belum habis dan masih bisa muncul ketika sudah diterima menjadi calon imam dan malah juga sesudah tahbisan. Maka logis jika diharuskan memilih, pihak kongregasi lebih condong kepada calon imam yang normal, masih polos bersih dibandingkan calon yang pernah punya pengalaman tidak baik dan perlu penanganan khusus.
Hanya rahmat ilahi yang dapat menobatkan seseorang, seperti yang terjadi pada St. Agustinus. Konteks jaman sekarang tidak sama, dengan adanya kondisi masyarakat yang lebih kompleks. Maka perlu penelitian medis dan psikis kesehatan calon agar apa yang pernah dilakukannya tidak menghalangi kehidupan imamatnya. Maka pada prinsipnya, hubungan seksual adalah halangan untuk menjadi imam. Namun jika orang tersebut sudah sungguh bertobat dan hal ini dinyatakan oleh pembimbing rohaninya, maka kemungkinan ia dapat ditahbiskan menjadi imam; apalagi jika didukung oleh kesaksian orang banyak tentang pertobatannya. Bagi saya perlu waktu dan dilihat secara serius. Persoalan bukan bisa atau tidak, atau boleh atau tidak; tetapi secara prinsip hal tersebut menjadi halangan. Dalam konteks dan situasi luar biasa (extraordinary) bisa ditabiskan dan diterima. Namun untuk zaman sekarang dengan adanya circullar letter kongregasi iman maka hal ini perlu diwaspadai.
2. Seorang janda untuk menjadi biarawati sangat langka dan belum pernah saya ketahui. Namun bisa terjadi karena ada banyak hal yang perlu dicermati seperti hubungannya dengan anak, keluarga, harta benda, dll. Apakah penerimaan itu tidak bertentangan dengan regula tarekat/ordo yang menerima dan sebagainya. Bisa jadi seorang duda atau janda bisa menjadi pertapa tapi tidak biarawan/i yang aktif dalam pastoral, tergantung sekali lagi pada aturan masing-masing tarekatnya.
salam
Rm wanta
mcm mana seorang ingin tahu dia dipanggil oleh Tuhan?
bagai mana mahu jadi yang terbaik di mata Tuhan?
kenapa setiap orang ada perasa cinta kepada seorang wanita?
[Dari Katolisitas: Pertanyaan serupa sudah pernah dijawab di atas ini, silakan klik. Silakan anda membaca terlebih dahulu artikel di atas dan tanya jawab yang menyertainya. Adalah wajar jika seseorang pria mencintai wanita, hanya memang perlu dibedakan apakah cinta itu hanya sebagai sahabat ataukah cinta yang memanggilnya sampai ke jenjang perkawinan. Untuk ini memang diperlukan permenungan, dan baik jika yang bersangkutan mengikuti retret pribadi.]
wah…tulisannya sangat bagus…
tetapi saya ingin menayakan lebih spesifik lagi: gimana selibat dan perkwainan itu menurut Paus Yohanes Paulus II,,,, yang terangkum dalam teologi tubuhnya??? bisa bantu kan??? soalnya aq sdg butuh bangat… salam ….
Shalom Albert,
Silakan anda membaca terjemahan buku Theology of the Body ke dalam bahasa Indonesia yang disusun oleh Rm Deshi Ramadhani, dan saya dengar buku ini sudah beredar di Jakarta. Silakan anda mencarinya di toko- toko buku di kota anda. Mohon maaf karena keterbatasan waktu, kami belum sempat membahasnya di situs ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
ok deh… aq sih dah baca bku rm deshi itu..dan buku teologi tubuh bhs inggrisnya jga dah aq pnya plus dgn commentarnya….. aq hanya mau berbagi az n nambah pengtahuna… aq sdg nyusun skripsi ttg hal itu… ok… thx atas sarannya…
Trimakasih bu Ingrid, atas jawabanya saya puas atas jawabanya,
1. jadi apa yang harus saya pahami mengenai makna seks dalam pernikahan?
2. bagaimana cara menemukan pasangan yang sesuai dengan kehendak Tuhan?
3. “Menjadi satu daging” di kitab kejadian 2:24 dan di Injil matius 19:5 apa ya maksudnya?
4. Jadi motivasi apa yang harus saya tanamkan jika saya memutuskan untuk menikah?
5. Saya binggung bu Ingrid, saya resah jika saya memutuskan untuk menikah, saya melihat banyak di televisi orang bercerai, KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), perselingkuhan, PIL, WIL, waduh kok banyak bgt ya godaannya, kira2 apa ya yang menjadi penyebab keretakan dalam rumah tangga, sehingga kok banyak orang berselingkuh? saya menta bantuannya…
trimakasih bu Ingrid..
GBU
Shalom Ario,
1. Jadi apa yang harus saya pahami mengenai makna seks dalam pernikahan?
Sekali lagi saya ingin menganjurkan anda membaca buku "Theology of the Body" yang merupakan pengajaran dari Paus Yohanes Paulus II tentang makna seksualitas, tidak hanya dalam kaitannya dengan perkawinan, tetapi juga dalam kehidupan manusia seluruhnya.Silakan anda membaca juga artikel di situs ini tentang Indah dan dalamnya makna Sakramen Perkawinan Katolik, silakan klik.
Intinya perbedaan seksual dan kesatuannya dalam perkawinan adalah sesuatu yang merupakan gambaran tentang perbedaan, kesatuan, dan kesuburan (distinction, unity, and fruitfulness) yang terdapat di dalam Allah Trinitas. Persatuan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan adalah persatuan kasih antara dua pribadi yang berbeda, dan ini membuka kemungkinan terhadap kehadiran seorang ciptaan yang baru. Tentu penggambaran ini adalah sangat terbatas sekali untuk menggambarkan Allah, karena Allah tidak mempunyai jenis kelamin seperti manusia, dan Allah tidak kawin atau dikawinkan. Tetapi sifat kesatuan dari dua Pribadi-Nya itulah yang ingin digambarkan oleh Allah, dengan menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan; sebab persatuan ini menghadirkan buah kasih dalam pribadi yang ketiga, seperti halnya persatuan kasih antara Bapa dan Putera menghembuskan Roh Kudus.
Juga, menurut Paus Yohanes Paulus II, persekutuan antara laki-laki dengan perempuan yang sudah ada sejak awal mula merupakan gambaran samar-samar akan persekutuan Kristus dengan Gereja-Nya (lih Ef 5:22-32). Inilah sebabnya Allah menciptakan kita sebagai mahluk yang berjenis kelamin yang menginginkan persekutuan, supaya kita merindukan persekutuan dengan Kristus, dengan menghayati dan mempersiapkan diri sebagai Mempelai Kristus yang abadi, yaitu sebagai anggota Gereja-Nya.
2. Bagaimana cara menemukan pasangan yang sesuai dengan kehendak Tuhan?
Pertama-tama bawalah dia di dalam doa anda setiap hari. Mohonlah kepada Tuhan petunjuk untuk menemukan jodoh anda itu. Kedua, karena anda menginginkan jodoh yang dari orang yang seiman, maka libatkanlah diri anda pada pergaulan orang-orang muda yang seiman. Ketiga, pusatkanlah perhatian anda pertama-tama untuk berteman dahulu, jangan langsung bertujuan ‘mencari jodoh’, sebab itu beresiko malah anda tidak dapat mengenal calon jodoh anda dengan baik. Ke-empat, setelah anda berteman, utarakanlah pandangan-pandangan anda/ nilai-nilai yang anda pandang penting di dalam hidup ini. Ajaklah ke gereja/ berdoa bersama. Jangan ragu untuk bersikap jujur dan apa adanya. Di sinilah anda akan mengetahui teman mana yang dapat mengasihi dan menerima anda sebagai pasangan hidup. Ke-lima, jika kelihatannya anda sudah cocok, (berdoalah semoga iapun demikian, sebab jika tidak, biar bagaimanapun hubungannya tidak bisa jalan), temuilah orang tuanya dan binalah hubungan yang penuh hormat dengan orang tua calon istri anda itu, semoga andapun mendapat restu dari mereka.
3. “Menjadi satu daging” di kitab kejadian 2:24 dan di Injil matius 19:5 apa ya maksudnya?
Menurut Paus Yohanes Paulus dalam Thelogy of the Body "menjadi satu: original unity" mengacu bahwa laki-laki dan perempuan mengambil bagian dalam kemanusiaan yang sama, dan bahwa mereka kemudian menjadi "satu daging." Maka laki-laki dan perempuan pertama-tama adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan (brother and sister) di dalam kemanusiaannya sebelum mereka menjadi suami istri. Dalam kesatuan ini maka dikatakan manusia diciptakan sebagai "double unity", yaitu laki-laki dan perempuan, yang artinya, dua dalam satu kesatuan, atau satu di dalam perbedaan. Maka di dalam perbedaan ini yang membentuk kesatuan, penciptaan manusia ini dikatakan ‘lengkap’.
Maka "satu daging" di sini mengacu juga pada kenyataan bahwa bagi Adam (suami) seharusnya, Hawa (istri) adalah "his second self"/ separuhnya yang lain atau istilah puitisnya belahan jiwa. Maka dalam arti terbatas, manusia menjadi gambaran kesatuan Allah sendiri, di mana jelas dikatakan dalam doa Yesus, "supaya mereka menjadi satu…. seperti Kita adalah satu" (Yoh 17:21-22). Maka di sini, manusia diciptakan menurut gambaran Allah dinyatakan oleh manusia dalam keadaan persekutuannya, yaitu laki-laki dan perempuan yang dipersatukan Allah menjadi satu dalam perkawinan, untuk menggambarkan (tentu dengan sangat terbatas) persatuan antara Allah Bapa dan Allah Putera. Dikatakan gambaran terbatas di sini karena pada Allah tidak ada jenis kelamin, dan kesatuan dalam Pribadi Allah bukan karena perkawinan.
Karena agungnya makna kesatuan yang ingin digambarkan, kita mengetahui bahwa makna ‘satu daging’ di sini tidak dimaksudkan hanya kesatuan jasmani, melainkan: kesatuan jasmani merupakan tanda dan janji akan kesatuan rohani. Maka sebetulnya setiap kali suami dan istri melakukan hubungan badan, maka yang dilakukan adalah memperbaharui janji kesetiaan perkawinan mereka satu sama lain, yang mengikat kesatuan rohani mereka sebagai pasangan yang sudah dipersatukan oleh Allah. Maka jika tiap- tiap pasangan memahami kedalaman makna hubungan seksual antara suami dengan istri, mestinya mereka tidak berpaling kepada orang ketiga (PIL/ WIL).
4. Jadi motivasi apa yang harus saya tanamkan jika saya memutuskan untuk menikah?
Motivasinya adalah:
1) anda mau memberikan diri anda seutuhnya kepada pasangan anda seumur hidup, setia kepadanya dalam keadaan sehat dan sakit, untung dan malang.
2) anda mau menerima anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan kepada anda dan mendidik mereka supaya merekapun mengenal dan mengasihi Tuhan.
3) dengan melaksanakan tugas sebagai suami dan ayah yang baik yang mengasihi istri dan anak-anak tanpa syarat, anda mau mengambil bagian dalam menjadi gambaran kasih Allah kepada umat-Nya. Dan sebagai suami yang mengasihi, menguduskan dan rela berkorban bagi istri anda, maka anda mau mengambil bagian dalam menjadi gambaran akan kasih Kristus kepada Gereja-Nya.
4) anda mau membawa seluruh keluarga anda, termasuk anda sendiri ke dalam surga.
5. Saya resah jika saya memutuskan untuk menikah, saya melihat banyak di televisi orang bercerai, KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), perselingkuhan, PIL, WIL, waduh kok banyak bgt ya godaannya, kira2 apa ya yang menjadi penyebab keretakan dalam rumah tangga, sehingga kok banyak orang berselingkuh?
Ya, benar, terdapat banyak hal yang menyebabkan keretakan dalam rumah tangga. Namun jangan kuatir, asalkan anda melandaskan perkawinan pada iman dan kasih anda kepada Tuhan, maka anda akan dimampukan oleh-Nya untuk menjalaninya dengan setia sampai akhir. Demikian, beberapa tips yang bisa saya tuliskan untuk anda:
1) Berdoalah bersama-sama dengan pasangan anda, pagi dan malam hari. Sertai juga dengan membaca Alkitab bersama, dan merenungkannya. Jika anda nanti mempunyai anak- anak, berdoalah dengan anak-anak minimal sekali sehari. Biasakan untuk membina hubungan yang dekat dengan Tuhan, karena Ia-lah yang dapat menolong anda dalam mengalahkan godaan apapun di dalam perkawinan anda.
2) Usahakan komunikasi yang terbuka antara anda, istri dan anak-anak, selalu usahakan di dalam kasih dan kelembutan.
3) Jika istri anda marah atau sedang emosi, jangan membalas, jangan pergi ke luar rumah/ mencari pelarian. Tenangkan diri anda, ajaklah ia berbicara pada kesempatan lain, saat emosi sudah turun.
4) Lakukan tugas anda sebagai kepala keluarga dengan baik, rajin bekerja, demi memberi nafkah kepada istri dan anak-anak.
5) Lakukanlah peran anda sebagai ‘imam dalam keluarga’. Didiklah anak-anak di dalam iman Katolik. Ke gereja bersama- sama sebagai keluarga. Sekolahkan anak-anak di sekolah Katolik, dan ajarilah mereka Alkitab dan kisah para santa dan santo. Kalau anda sadar bahwa anda belum cukup mengenal iman anda, mulaikah dari sekarang untuk mempelajari dan mendalaminya. Karena anda tidak mungkin dapat membagikannya kepada keluarga anda kelak, kalau anda sendiri tidak memahaminya!
6) Libatkanlah diri anda di dalam mengurus anak-anak dan rumah tangga, jangan menyerahkan semuanya kepada istri, apalagi hanya kepada pembantu rumah tangga. Dengan keterlibatan anda, maka anda terhindar dari sikap acuh terhadap keluarga dan rumah tangga anda. Dengan demikian, anda membangun relasi antara anda, istri dan anak-anak.
7) Jangan menggunakan alat kontrasepsi, sebab itu sedikit demi sedikit akan menjadikan anda dikendalikan oleh hasrat seksual anda, dan bukannya anda yang menguasai/ mengendalikannya. Juga dengan alat kontrasepsi, istri lama kelamaan dapat merasa dijadikan sebagai ‘obyek’ keinginan anda, dan bukannya sebagai mitra yang anda kasihi. Jika sampai anda berdua harus mengatur kelahiran karena alasan yang legitim, terapkanlah KB Alamiah.
8) Jangan menonton BF, membaca buku/ situs porno, dst. Sebab jika ini dilakukan efeknya akan buruk bagi hubungan anda, karena anda dapat berfantasi yang tidak semestinya. Bahkan efeknya akan tinggal di pikiran anda, sampai anda terpengaruh di bawah sadar anda, sehingga anda mudah tertarik oleh godaan seksual dari orang yang bukan istri anda.
9) Bertumbuhlah di dalam iman bersama keluarga-keluarga Katolik yang lain di paroki, mengikuti komunitas keluarga Katolik, dst.
10) Luangkanlah waktu untuk berkumpul/ bersantai bersama dengan istri dan anak-anak anda, di mana anda bisa bercanda tawa dan berbagi cerita dengan mereka.
Demikian yang dapat saya sampaikan untuk menanggapi pertanyaan anda. Jangan terlalu resah melihat kenyataan dunia yang memang mengancam keutuhan keluarga. "Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak" (Mzm 37:5). Sepanjang anda telah berserah kepada Tuhan, dan melakukan bagian yang dapat anda lakukan, maka percayalah, selanjutnya Tuhan akan membuka jalannya bagi anda untuk mendatangkan yang terbaik bagi anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
syalom,,,
mau tanya tentang matius 5:32 – “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.”,,,,,, apakah klw isteri kita berzinah kita boleh menceraikannya,,, karena disitu dikatakan setiap org yg mnceraikan isterinya “kecuali” karena zinah…… apakah kata “kecuali dlm ayat tsb brmaksud sprti itu..???
Shalom Lian,
Untuk hal ini, Gereja Katolik mengacu kepada interpretasi yang diajarkan oleh St. Clemens dari Alexandria (150-216), yang mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal. (lihat, St. Clemens of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.442) Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu). Jika anda belum membaca, silakan membaca artikel Indah dan dalamnya makna Sakramen Perkawinan Katolik, silakan klik.
Ayat itu adalah untuk menjelaskan kondisi saat itu- pada jaman Yesus- bahwa terdapat orang yang bercerai dan kawin lagi padahal istri yang terdahulu belum meninggal. Maka Yesus mengajarkan bahwa yang harus diceraikan adalah istri dalam perkawinan kedua, agar suami dapat kembali kepada istri dalam perkawinan pertama. Maka perceraian perkawinan yang kedua inilah yang menjadi perkecualian, sedangkan perceraian pada kondisi selain perkecualian itu tetaplah dilarang, apalagi perkawinan dengan seseorang yang walaupun telah bercerai namun masih mempunyai ikatan perkawinan dengan pasangan yang terdahulu.
Demikian agar dipahami maksudnya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Trimakasih bu Ingrid atas jawabannya yang sangat menolong saya, saya mau bertanya lagi:
1. jadi saya tidak salah ya jika saya memutuskan untuk menikah, walaupun saya tahu bahwa kehendak Tuhan yang terbaik adalah mejadi selibat (Imam), karena menurut saya Imam lebih tinggi / lebih mulia, benar demikian?
2. Apakah hidup menikah tidak bisa mencapai kesucian hidup?
3 Apakah jika menikah saya akan berdosa percabulan? mengingat saya sering jatuh pada dosa ini, seorang diri, apakah dengan menikah saya akan terbebas dari dosa ini ataukah justru malah makin parah?
4Apakah menikah lebih tepatnya (seks) dapat menjadi penghambat saya mencapai kesucian / kekudusan dan kemurnian hidup? atau lebih tepatnya apakah seks dapat menjadi penghalang bagi saya untuk mencapai persatuan dengan Allah?
5 Apakah seks dapat menjadi ilah berhala bagi saya ketika saya menikah?
6. Apakah cinta akan istri akan menjadi penghalang untuk saya lebih mencintai Allah atau untuk lebih bersatu dengan Allah? Maaf banyak yang saya tanyakan, atas bantuannya trimakasih!
7. Apakah masturbasi itu dosa?
8. Apakah masturbasi dan pornografi akan membuat orang yang melakukannya menjadi tidak setia terhadap pasangannya?
sekian, terimakasih!
Tuhan memberkati!
GBU
Shalom Ario,
1. Jika setelah melalui doa dan permenungan, anda merasa bahwa anda lebih terpanggil untuk hidup berkeluarga, maka tentu anda tidak bersalah jika memutuskan untuk menikah. Namun saya berharap, bahwa keputusan ini didorong oleh motivasi anda untuk memuliakan Tuhan dengan lebih baik di dalam kehidupan berkeluarga dengan saling menguduskan [antara suami dan istri dan anak-anak], dan bukannya terutama untuk melepaskan dorongan seksual. Alangkah baiknya jika anda membaca buku “Theology of the Body” yang berisi khotbah Paus Yohanes Paulus II tentang keluhuran makna tubuh kita. Saya dengar buku ini telah diterjemahkan oleh Rm Deshi Ramadhani, S.J., Lihatlah Tubuh-Ku.
2. Setiap panggilan hidup, baik selibat ataupun menikah, tetap dapat menjadikan seseorang untuk hidup kudus. Khusus mengenai pasangan suami istri dan orang tua, Lumen Gentium (Konsili Vatikan II tentang Gereja) mengajarkan:
“Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Dengan kesucian itu juga dalam masyarakat di dunia in cara hidup menjadi lebih manusiawi….” (Lumen Gentium 40)
“Para suami-isteri dan orang tua kristiani wajib, menurut cara hidup mereka, dengan cinta yang setia seumur hidup saling mendukung dalam rahmat, dan meresapkan ajaran kristiani maupun keutamaan-keutamaan Injil di hati keturunan mereka, yang penuh kasih mereka terima dari Allah. Sebab dengan demikian mereka memberi teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua orang, memberi contoh kepada persaudaraan kasih, dan menjadi saksi serta pendukung kesuburan Bunda Gereja. Mereka menjadi tanda pun sekaligus ikut serta dalam cinta kasih Kristus terhadap Mempelai-Nya, sehingga Ia menyerahkan diri untuknya….” (Lumen Gentium 41)
3. Sebenarnya tujuan utama pernikahan adalah agar suami dan istri dapat saling memberikan diri dengan seutuhnya tanpa syarat seumur hidup, dan untuk mendidik dan membesarkan anak-anak yang Tuhan percayakan kepada mereka. Maka jika pasangan menikah, namun tidak mempunyai kedua motivasi di atas, maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa keduanya memasuki jenjang perkawinan dengan motivasi yang keliru. Terutama, jika maksud utama hanya untuk melepaskan dorongan seksual. Tak bisa dipungkiri, dewasa ini banyak terjadi kecenderungan ke arah ini, di mana pasangan tidak lagi mengindahkan kehendak Tuhan dalam membina perkawinan, tetapi mengikuti dorongan jasmani, sampai meletakkan kepuasan jasmani di atas hukum Tuhan. Maka akibatnya, banyak perkawinan yang kandas, atau salah satu pihak (atau bisa juga keduanya) jatuh ke dalam dosa percabulan, selingkuh, dst.
Jika anda mengetahui bahwa anda mempunyai kecenderungan dosa seksual dengan diri anda sendiri (masturbasi), sebaiknya anda memang berusaha untuk mengatasinya terlebih dahulu sekarang. Karena meskipun anda menikah, kecenderungan masturbasi tetaplah akan ada. Soal apakah lebih parah atau tidak, itu tergantung anda sendiri juga. Silakan anda membaca di sini, silakan klik, dan jika masih ada pertanyaan, silakan bertanya di sana.
4. Seks diciptakan Allah untuk maksud yang agung dan mulia; yaitu untuk menyatakan kasih yang total antara suami dan istri dan untuk memungkinkan manusia mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Maka jika digunakan dengan semestinya sesuai dengan kehendak Allah, maka seksualitas tidaklah menghambat kesucian hidup. Yang menghambat adalah jika aktivitas seksual dianggap sebagai akhir dari segalanya, tanpa memperhitungkan kehendak Allah. Misalnya, dengan tujuan mencapai semata kepuasan seksual, maka pasangan memakai alat kontrasepsi, menjalani sterilisasi, dst, dan sesungguhnya tanpa disadari ini malah melemahkan kasih yang murni antara suami istri, karena terdapat kecenderungan untuk membatasi kasih hanya kepada memuaskan hasrat jasmani, tanpa mempedulikan akibatnya. Selanjutnya, silakan membaca artikel: Humanae Vitae itu benar, silakan klik.
Padahal jika seksualitas ini dihayati dan hubungan suami istri dilakukan seturut kehendak Tuhan, maka sesungguhnya, suami dan istri dapat lebih menghayati akan kasih Allah; sebab hubungan kasih suami istri tesebut dikehendaki Allah sebagai gambaran kasih-Nya kepada umat-Nya, gambaran kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Jika anda belum membaca, silakan anda membaca artikel Indahnya Makna Perkawinan Katolik, silakan klik.
5. Jika anda menempatkan kepuasan seksual di atas segalanya, memang dapat dikatakan bahwa anda menjadikan seks sebagai allah lain di hadapan Allah. Maka, sebaiknya anda meletakkan segala sesuatunya sesuai dengan proporsinya. Keluarga yang menomorsatukan Allah, selalu berdoa bersama, membaca dan merenungkan Alkitab bersama, dan melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Maka silakan anda memeriksa kehidupan anda, atau rencana anda dalam perkawinan anda nantinya. Jika anda tetap menomorsatukan Allah dalam relasi anda dengan istri anda, termasuk dalam hal seksualitas, maka anda akan melihat bahwa bukan kepuasan anda yang menjadi tujuan utama. Anda akan belajar untuk menguasai diri anda, termasuk dalam mengalahkan dorongan seksual, ataupun dorongan dosa yang lain. Dan ini sangat baik bagi pertumbuhan rohani anda menuju kekudusan, dan kasih antara anda dan istri anda dimurnikan.
6. Cinta anda kepada istri tidak menghalangi anda mengasihi Allah, jika anda tetap menempatkan Allah yang utama dalam kehidupan perkawinan anda (lih. point 5). Fokus kepada Allah akan mempengaruhi sikap anda dalam mengepalai rumah tangga anda, dan dengan melakukan ini anda akan dimampukan untuk semakin menghayati kasih Allah. Jika anda menikah, anda dipanggil untuk menjadi ‘imam dalam keluarga’ yang mengarahkan seluruh anggota keluarga anda kepada Allah.
Anda sendiri harus menjadi cerminan dari kasih Allah itu. Artinya, Allah menghendaki anda mengasihi istri anda seperti mengasihi tubuh anda sendiri, menyerahkan hidup anda baginya, seperti Kristus menyerahkan hidup-Nya bagi Gereja-Nya (lih Ef 5: 25-28). Maka anda, seperti teladan Kristus, harus rela berkorban demi istri, memperhatikan dan memeliharanya, seperti anda merawat tubuh anda sendiri. Perintah ini tidak sederhana, terutama jika istri anda sakit, atau kemudian anda menemukan ketidak cocokkan di sana sini. Ini merupakan salah satu konsekuensi perkawinan, namun percayalah jika anda menjalaninya bersama Allah, maka Tuhan sendiri akan menambahkan kasih di antara anda. Dan keputusan anda untuk terus mengasihi istri tanpa syarat ini, adalah bukti kasih anda kepada Allah yang telah mempersatukan anda berdua. Dengan kesetiaan kasih anda kepada istri yang tanpa syarat, dan seumur hidup inilah, anda dikuduskan.
7. Masturbasi itu dosa. Silakan membaca artikel ini, silakan klik.
8. Apabila seseorang melakukan masturbasi dan pornografi, apalagi sampai ketagihan, maka ini lama- kelamaan juga membahayakan rumah tangganya. Karena perbuatan tersebut mau tidak mau akan mencemari hubungan kasih yang tulus antara suami istri. Sehingga jika karena satu dan lain hal salah satu pasangan tidak dapat melakukan hubungan, maka pasangan yang lain dapat terdorong untuk tidak setia kepada janji perkawinan, karena besarnya dorongan yang terbentuk dalam bawah sadarnya akibat terlalu seringnya menonton/ berfantasi seksual. Silakan juga menyimak tanya jawab di sini, silakan klik.
Demikian yang dapat saya tuliskan untuk menanggapi pertanyaan anda, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
romo, menaggapi pertanyaan saya kemarin tentang orang yang menerima sakramen pernikahan kemudian menerimakan sakramen imamat, saya pernah baca di warta MSC disitu di jelaskan bahwa untuk mendaftar menjadi romo diperbolehkan seseorang yang sudah menikah, dan waktu kemaren saya konsultasi dengan seorang imam Jesuit ternyata di negara barat (eropa) diperbolehkan orang yang sudah menikah kemudian istrinya meninggal, kemudian ia menerima sakramen imamat (menjadi imam) bagaimana romo menanggapi pertanyaan saya itu?
terimakasih
Ario Yth
Sekali lagi untuk ritus Latin semua kandidat imam wajib selibater jadi belum menikah tentunya. Sedangkan ritus timur untuk menjadi imam boleh dari seorang laki-laki yang pernah menikah. Jelas. Di Eropa-pun kalau itu ritus latin-roma tidak diperkenankan calon imam yang ditahbiskan dari yang sudah berkeluarga kecuali dia pernah menjadi imam Anglican kemudian masuk ke Gereja Katolik Roma.
salam
Wanta. Pr
Saya mau bertanya :
1. Bagaimana sih caranya mengetahui dan mencari kehendak Tuhan untuk hidup saya, apakah saya menikah atau hidup selibat?
2. “Terjadilah kehendak-Mu” apakah kehendak Tuhan selaras dengan keinginan kita, jika tidak apakah kehendak Tuhan selalu akan terlaksana?
4. Apakah yang dimaksud dengan wanita adalah “penolong yang sepadan” bagi bu Ingrid yang telah menikah?
5. Apa yang dimaksud dengan pngkbh 3:9-12, apakah lebih baik untuk menikah dari pada selibat?
terimakasih,
Tuhan memberkati!
Shalom Ario,
1. Bagaimana mengetahui dan mencari kehendak Tuhan, apakah saya menikah atau selibat? Jika anda ingin mengetahuinya, saya mengusulkan anda mengikuti retret pribadi sebelum memutuskan hal ini. Ini memang adalah salah satu keputusan yang paling penting dalam hidup anda, dan yang mengarahkan hidup anda selanjutnya. Pada dasarnya, yang anda lakukan adalah anda kembali ke dalam hati anda, dan membawa kedua panggilan ini ke hadapan Tuhan yang hadir di dalam hati anda. Jika anda membawanya terus menerus setiap hari di dalam doa, saya rasa Tuhan akan menyatakannya dengan cara yang dapat anda ketahui. Silakan anda terbuka dan bertanya, baik kepada orang- orang yang sudah menikah, maupun juga kepada para imam (dapat juga berkunjung ke tempat Romo Wanta, dkk.), agar anda dapat mempertimbangkan, apakah kiranya panggilan hidup yang lebih cocok dengan pribadi anda.
2. Apalah kehendak Tuhan selaras dengan keinginan kita? Bisa ya, bisa tidak. Kalau anda bicara tentang keinginan jasmani, maka seringkali memang tidak cocok. Pergumulan akan kehendak kita sebagai manusia dan kehendak Allah juga terjadi dalam pribadi Yesus pada saat berdoa di taman Getsemani (lih. Mat 26:39; Mrk 14:36; Luk 22:42). Namun tidak seperti kita yang sering mendahulukan keinginan diri sendiri, Kristus mendahulukan kehendak Allah Bapa. Ia telah mengetahui sejak awal mula, bahwa memang maksud kedatangan-Nya ke dunia adalah untuk mati di kayu salib untuk menyelamatkan manusia. Walaupun kodrat-Nya sebagai manusia melihat hal ini sebagai sesuatu yang sangat berat, namun pada akhirnya Yesus menyerahkan kehendak-Nya untuk menaati kehendak Bapa, dan dengan kerelaan hati menyerahkan diri-Nya untuk disalibkan (Yoh 10:15,18; Yoh 15:13). Persatuan yang sempurna antara kodrat Allah dan manusia dalam diri Yesus menyebabkan Dia dengan kehendak bebas-Nya sebagai manusia menginginkan terlaksananya kehendak Allah Bapa.
Hal inipun terjadi pada kita manusia. Jika kita dekat dengan Allah (berakar dalam doa dan Sabda Tuhan), maka kita menjadi lebih peka akan apa yang menjadi kehendak-Nya dalam hidup kita, dan kita berusaha untuk melaksanakannya. Namun jika kita lebih mengindahkan perasaan dan kehendak kita sendiri, maka bisa jadi, kehendak Tuhan tidak terlaksana. Jika pilihan menyangkut hal baik dan buruk, maka jika kita mengindahkan keinginan sendiri yang jahat, maka dalam hal ini kita jatuh dalam dosa. Namun masalahnya adalah jika kita memilih antara dua hal yang baik (dalam hal ini selibat atau menikah). Maka yang menjadi tolok ukurnya adalah, menurut St. Ignatius dari Loyola, adalah pilihan mana olehnya anda dapat lebih memuliakan nama Tuhan? Hal ini memang hanya anda sendiri yang dapat menjawabnya.
3. Istri adalah "penolong yang sepadan" bagi suaminya menurut saya adalah 1) istri menolong dan mendukung suaminya tanpa maksud untuk menjadi lebih berkuasa daripada suaminya 2) menolong untuk menjadikan suami menjadi lebih berkembang sebagai pribadi, 3) menolong dalam arti bekerja sama 4) menolong pada saat yang diperlukan: bukannya menolong sampai suami tidak bisa berdiri sendiri 5) menolong terutama pada saat suami berada dalam kesusahan baik jasmani maupun rohani.
4. Kitab Pengkotbah 3:9-12 adalah bagian dari perikop yang mengatakan "Segala sesuatu ada waktunya". Keseluruhan perikop ingin menyampaikan bahwa Tuhan mempunyai rencana yang indah pada akhirnya dan karena Allah Maha Tahu, Ia telah emngetahui segalanya sejak semula. Namun manusia dengan keterbatasannya hanya melihat sepotong-sepotong saja. Dan karena melihatnya hanya sepotong, maka manusia cenderung melihat apa yang terlihat mata, apa yang dapat dirasakan dan dialami di dalam hidup di dunia. Maka, ayat 12 yang mengatakan, "Aku tahu bahwa untuk mereka [manusia] tak ada yang lebih daripada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka…." bukanlah untuk diinterpretasikan bahwa hidup menikah lebih baik dari hidup selibat. Karena kata "Aku" di sini mau menceritakan pendapat si penulis Kitab, tentang manusia yang umumnya memang mencari kesenangan duniawi. Ayat ini sebaiknya dihubungkan juga dengan ayat sebelumnya yang tertulis dalam kitab Pengkhotbah, yaitu, "Segala sesuatu adalah sia-sia" (Pgkh 1:2). Maka apa yang kelihatannya menarik di mata manusia sesungguhnya sia-sia, dalam arti semua akan berakhir. Semua ada waktunya (Pgkh 3:1). Kitab ini justru ingin mengajarkan pada kita untuk mempunyai keseimbangan di dalam memandang kehidupan; tidak sampai bekerja berlelah-lelah tanpa istirahat (ay. 9-10) sampai tidak melihat hal-hal yang lain di dalam hidup, tidak dapat melihat pekerjaan Allah. Namun apapun kejadiannya, Allah akan membuat segala sesuatunya indah pada waktunya (ay. 11), dan mendatangkan kebaikan bagi kita, jika kita mengasihi Tuhan (lih. Rom 8:28).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
saya mau bertanya tapi lebih jauh kepada romo sih kalo bisa
1.Apakah alasan dasar romo memutuskan untuk hidup selibat / tidak menikah?
2.Apakah keputusan untuk hidup selibat itu diambil ats tindakkan yang sadar, bebas tanpa paksaan?
3.Apakah didalam gereja Katolik diperbolehkan seseorang yang sudah menerima sakramen pernikahan dapat menerima sakramen imamat?
4.Apakah keputusan untuk menikah harus diambil dengan sikap hati yang benar seperti yang di tulis dalam kitab Tobit dan sara, yaitu tanpa hawa nafsu?
Aku mau kasi masukan aja:
menurutku perkawinan itu sesuatu yang indah, mulia, berharga, dan terhormat. dimana itu sebuah ungkapan cinta kasih Allah yang nyata diwujudnyatakan lewat pasangan yang ia nikahi. seperti di kisahkan dalam kitab Kidung Agung memang kitab paling suci seperti banyak di katakan para rabbi Yahudi, sehingga seseorang tidak boleh sembarangan menafsirkannya..namuan kebanyakannya orang sering menfsirkanya dengan keliru untuk mencari pembenaran diri…
Pernikahan yang sejati adalah pernikahan yang tidak terceraikan, seperti dikumandangkan pada kitab kejadian “hawa diciptakan dari tulang rusuk adam” sehingga pasangan yang sejati ya hanya satu…
disinilah kita harus mengikuti tuntunan Tuhan dalam menemukan pasangan hidup kita yang sejati…seperti Tuhan membimbing Tobia menemukan istrinya lewat tuntunan Malaikat Rafael, disini kita pun harus memperhatikan tuntunan malakat pelindung kita masing-masing dalam menemukan pasangan hidup kita yang telah Tuhan tetapkan untuk masing-masing kita mempunyai pasangannya satu-satu.
memang hidup selibat adalah keputusan yang daiambil secara sadar, dan bebas…
kebanyakan dari kita terpengaruh oleh keadaan situasi dunia sekarang yang menyalah gunakan pacaran secara sembarangan, sehingga makna pacaran yang esensial yaitu untuk menemukan pasangan hidup yang sejati menuju pernikahan yang kudus jadi berantakan, dan menjadi keruh oleh hawa nafsu, dan kepentingan diri sendiri, dan egoisme pribadi..
Aku menyarankan bagi Anda yang ingin menapaki ke jenjang pernikahan untuk baca deh buku nya rm Deshi Rahmadani “lihatlah tubuhku..”
disitu ditulis seks bukalah sesuatu yang tabu bagi gereja Katolik dan sembarangan, orang yang tidak mengerti dan memahaminya pasti salah memperlakukan seks itu, orang yang tidak mengenali yang indah dan yang mulia tidak mungkin dapat menghargai yang indah yang mulia itu, yang Tuhan sediakan untuk kita manusia ciptaanNya..
sekian GBU..
Ario Yth
Pertanyaanmu sepen padahati nurani setiap orang yang terpanggil dan pasti dengan sikap hati yang benar tidak didasarkan pada nafsu atau emosi belaka.
rti ujian komprehensif/pendadaran calon imam yang akan ditahbiskan menjadi imam. Itu kesan pertama, dan jawaban saya tidak bisa mewakili teman2 Imam karena sangat subyektif menyangkut motivasi panggilan. Baik kalau anda datang ke Pastoran Unio Indonesia Jalan Kramat VII/10 Jakarta Pusat disana anda bisa menemui pelbagai macam ragam rama dan saya untuk pertanyaan anda. Maka saya jawab nomor 3 dan 4: Nomor 3 dapat terjadi khususnya Katolik ritus Timur para imam ada yang telah menikah kemudian menjadi imam, ritus Latin Roma tidak diperkenankan Selibat merupakan syarat pokok dalam undang-undang Gereja dan karunia Ilahi untuk tahbisan imamat.
Nomor 4: keputusan menikah atau tahbisan dengan hidup selibat adalah keputusan sadar dan bertanggungjawab didasarka
salam
Rm Wanta
tolong…… saya seorang katholik dr kcil, kedua oran gtua jg katholik. saya sdg mjalani hubg dg pria muslim, kami sdh 3tahun bsama, tentu sj kelg sy tdk ada yg mengetahui. kami bniat mnikah.. halangan km hny satu yaitu pbedaan agama. sy pnah mengucap bhw sy bsedia mengalah n pindah mjd muslim.. tp hati kcil sy kadang msh blm bs mnerima.. apa ada solusi untuk masalah yg sdg sy hadapi? apa tanggapan katholik.. jk sy jd pindah agama? tolong saya. tlg kirim jawaban ke email sy jg. tq
Shalom Angela,
Pertanyaan anda serupa dengan yang pernah masuk kepada redaksi situs ini. Pada dasarnya jika saya boleh menyarankan, anda jangan terlalu cepat memutuskan pindah agama. Sungguh, keputusan yang tergesa-gesa tersebut nanti dapat menimbulkan penyesalan seumur hidup, sebab anda memilih untuk meninggalkan Kristus demi mengejar keinginan sendiri. Tentu itu dapat menyedihkan hati Tuhan. Maka saya mengusulkan agar anda mempertimbangkan keputusan anda dengan sungguh-sungguh. Mungkin ini adalah kesempatan yang Tuhan berikan pada anda untuk membuktikan kasih anda kepada Tuhan yang terlebih dahulu mengasihi anda. Mungkin ada baiknya anda mempelajari iman Katolik anda, sehingga anda dapat melihat keindahannya, dan kepentingannya demi menghantar anda kepada keselamatan kekal, sehingga anda tidak dengan mudah meninggalkannya,
1) Perkawinan di KUA dimana salah satu pihak beragama Katolik tidak valid (tidak sah kanonik) karena hukumnya setiap orang Katolik terikat pada hukum Gereja (bdk kan. 11). Maka perkawinan di KUA sah sipil tetapi pihak Katolik telah melakukan pemurtadan karena pasti harus mengucapkan credonya kaum muslim. Dia berdosa karena murtad. Maka jika dia sadar di kemudian hari akan perbuatannya bisa disembuhkan/divalidasi dengan mengucapkan janji perkawinan secara kanonik (pembaruan kesepakatan bdk. kan 1156). Itulah dasar hukumnya.
Kan. 11 – Yang terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi ialah orang yang dibaptis di dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan yang menggunakan akal-budinya dengan cukup, dan jika dalam hukum dengan jelas tidak ditentukan lain, telah berumur genap tujuh tahun.
Kan. 1156 – § 1. Untuk konvalidasi perkawinan yang tidak sah karena suatu halangan yang bersifat menggagalkan, dituntut bahwa halangan itu telah berhenti atau diberikan dispensasi dari padanya, serta diperbarui kesepakatan nikah, sekurang-kurangnya oleh pihak yang sadar akan adanya halangan.
§ 2. Pembaruan kesepakatan itu dituntut oleh hukum gerejawi demi sahnya konvalidasi itu, juga jika pada mulanya kedua pihak telah menyatakan kesepakatannya dan tidak menariknya kembali kemudian.
2) Maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan:
Apa konsekwensi seorang katolik menikah dengan seorang islam dan melaksanakan pernikahan di KUA, apakah ada hukuman atau sangsi untuk seorang katolik? Apakah nama baptis yang dipakai akan hilang? Apakah dia jg masih/boleh mendapat komuni? Apakah dapat pernikahan tersebut di terima oleh Gereja?
Jawab:
Sebenarnya, istilahnya bukan hukuman, tetapi lebih kepada konsekuesi atas pilihan orang itu sendiri. Dengan menikah di KUA, maka ia memilih untuk meninggalkan imannya, dengan memeluk agama Islam (karena dengan mengucapkan credo/ syahadat agama Islam, maka ia menjadi Muslim).
Namun demikian, sesungguhnya tanda di jiwa yang diterimanya pada waktu sakramen Baptis tidak pernah hilang. Maka sebenarnya ia masih dapat memakai nama baptisnya, hanya saja kebanyakan orang tidak melakukan ini, jika sudah memutuskan menjadi Muslim.
Karena telah menjadi Muslim dan meninggalkan iman Katolik, maka ia tidak diperbolehkan untuk menyambut komuni, karena komuni bermakna persatuan dengan Kristus dan Tubuh-Nya yaitu Gereja Katolik. Lagipula perkawinan yang diberkati di KUA tidak sah/ valid menurut hukum Gereja, sehingga di hadapan Tuhan, sesungguhnya ia melanggar perintah Tuhan (perintah ke-6 dari Sepuluh Perintah Allah).
Maka perkawinan yang dilangsungkan di KUA tidak dapat dianggap sah kanonik oleh Gereja.
3) Apa yang harus ditempuh jika terpaksa dilakukan kawin campur/ beda agama, namun agar sah menurut hukum Gereja?
Pertama-tama konsultasikan dengan pastor paroki, agar dapat diperoleh dispensasi, namun perkawinan harus diberkati menurut ketentuan hukum kanonik Gereja Katolik. Pihak yang Katolik harus berjanji untuk secara sekuat tenaga agar semua anaknya dapat dibaptis dan dididik secara Katolik, dan pihak yang non-Katolik diberitahukan akan janji dan kewajiban pasangannya yang Katolik. Lalu keduanya harus mengetahui ciri-ciri hakiki Perkawinan, yaitu monogami, tak terceraikan dan terbuka bagi kelahiran anak-anak. Berikut ini adalah dasarnya menurut Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik:
Kan. 1127 – § 1. Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 1108;
§ 2. Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.
§ 3. Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.
Kan. 1108 – § 1. Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi.
Kan. 1125 – Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
2) mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
3) kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
Demikian yang sementara dapat saya sampaikan kepada anda, semoga berguna. Jika masih ada pertanyaan silakan bertanya kembali.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
mencari pasangan hidup memang harus seiman, itu harus dan wajib kalo tidak lebih baik selibat krn kalo kita keluar dari iman kita kpd Kristus itu berarti tdk ada keselamatan didlam hidup ini, terus buat apa hidup ini , dimana didunia adalah sementara tapi disurga kita hidup kekal. Kalo tidak di surga ya pasti di neraka yng kekal…mengerikan sekali.
Saya dulu juga pernah hampir hidup dgn org muslim krn saya pikir keselamatan bukan hanya dari Kristus tp bisa dari agama mana saja. Tetapi puji Tuhan , Yesus tidak rela shg ada saja halangan yg membuat saya tidak bisa melepaskan Kristus. Akhirnya saya diberi hikmat : seharusnya kamu punya komunitas di gereja , persekutuan, selgrup atau teman bermain shg bisa saling menguatkan, saling berbagi , sharing iman dan kamu pasti menemukan pasanganmu di situ . Benar juga ya , selama ini saya hanya ke gereja seminggu sekali kadang2 bolos, tiap hari saya bergaul dgn teman bukan seiman krn saya org jawa dgn saudara2 dan teman2 org bukan seiman semua shg pikiran & hati saya terkontaminasi dgn cara berpikir mereka. Saya akhirnya memutuskan masuk di persekutuan doa & bekerja di perusahaan milik anak Tuhan , Yesus memang baik , Dia mengirimkan seseorg utk memaksa saya & mengajak saya utk aktif pelayanan & saya banyak menerima ajaran2 firman Tuhan yng membuat saya makin melekat kpd Kristus. Saya berdoa minta pasangan krn waktu itu umur sdh 31 th. Saya minta Tuhan yng pilihkan bukan saya yg milih. 3 th kmdn lewat seorg hamba Tuhan saya dinubuatkan : bahwa sebenarnya Tuhan sudah siapkan tapi selama ini engkau tidak siap bahkan takut kl tidak bisa memelihara & menghidupi istri & anak2mu kelak, krn itu persiapkan hatimu krn awal thn Tuhan sudah berikan pasangan hidupmu & jika Tuhan berkenan pd akhir tahun engkau akan menikah dgnnya. Amin Tuhan kataku dalam hati, dan saya mulai mencari siapa dia , waktu itu th 2002 dan bln september aku kenalan dgn seorg wanita , singkat cerita aku nembak tp ia menjawab tidak krn kamu bukan tipe saya. Sakit hatiku ditolak shg aku berpikir mana Tuhan jodohku. Dia ingatkan itu krn kamu milih sendiri. Saya dr dulu ingin sekali ke Gua Maria , ada apa kok Maria aja sampai dibuatin gua, isinya apa. Tgl 1 jan 2003 akhirnya saya berangkat dengan teman ke Gua Maria dgn teman saya , dan malamnya saya ditelpon teman saya perempuan katanya ada yng mau kenalan mau nggak tapi org katolik , jawab saya ya. Kami akhirnya kenalan, kira2 bln. Feb saya diingatkan Tuhan : tahu nggak kamu saya beri kerinduan utk datang ke Gua Maria itu krn jodohmu memang org katolik, ingatkah kamu ketika kamu didoakan jodoh yg Kusediakan bagimu kuberikan pd awal tahun. Saya kaget, benar Tuhan ; akhirnya saya beritahukan kpd calon tp tidak yakin krn ia harus dpt juga dari Tuhan sendiri bukan dari kata saya. Maka kami putuskan untuk doa puasa 2x seminggu & tiap jam 10 malam doa bersama di tempat masing2. Akhirnya Tuhan juga membuat tanda untuknya bahwa benar saya adl jodohnya dan bl. Oktober 2003 kami menikah & sekarang kami sdh dikaruniai 2 org anak . Saya pindah dari kristen ke katolik. Itu semua adl anugerah, Tuhan yg pilihkan pasti Tuhan yg berkati.
Shalom Budi,
Terima kasih atas sharing pengalaman hidup anda. Saya ikut bersyukur kepada Tuhan, bahwa akhirnya anda menemukan jodoh sesuai dengan kehendak-Nya. Saya juga turut bersyukur bahwa hal itu anda peroleh atas keterlibatan Bunda Maria, sebab terjadinya kok ya melalui ziarah ke gua Maria itu. Saya percaya bahwa sampai sekarangpun Bunda Maria tetap menyertai anda, istri dan anak-anak anda dengan doa- doanya. Memang atas latar belakang anda, mungkin anda ‘sulit’ membayangkan Bunda Maria yang berdoa bagi setiap umat Kristiani. Namun sesungguhnya dengan pengalaman anda yang cukup unik itu, rasanya tak sulit untuk menerima kenyataan bahwa Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Rom 8:28). Dan, ‘segala sesuatu’ itu antara lain adalah dengan ziarah anda ke gua Maria tgl 1 Jan 2003, yang mendatangkan bagi anda rahmat memperoleh jodoh yang dari Tuhan. Sebagai orang beriman, kita memang tidak melihat sesuatu yang baik sebagai “kebetulan” tetapi sebagai rahmat Tuhan, untuk tujuan yang baik bagi kita. Semoga anda terus mengalami kasih dan berkat Tuhan melalui perantaraan doa Bunda Maria. Dan semoga anda suatu saat nanti juga siap untuk menerima Bunda Maria di dalam rumah hati anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Aku mau ngasi masukan aja pernikahan yang seiman saja sulit apa lagi kalo beda iman, Tuhan telah menempatkan kita masing-masing di iman yang kita percayai maka pastinya Tuhan tidaklah bodoh dengan menempatkan pasang hidup kita di jalur yang berbeda iman dengan kita, semoga angela mengerti itu, maaf….
bahakan sepalipun aku orang katolik dari kecil, mama ku kristen, papa ku katolik, aku tidak percaya kalo pasanggan hidupku diberiman kristen,apalagi berbeda kepercayaan dengan ku..aku sangat yakin pasanganku beriman sama dengan ku yaitu iman katolik… sebab kitab Tobia tentang perkawinan yang dari Tuhan tidak ada di alkitab nya orang kristen, pastilah pasangan yang seiman dengan aku lah yang dapat memahami iman ku…dan yang pasti yang seimanlah yang berasal dari Tuhan..
[Dari Admin Katolisitas: komentar ini digabungkan]
Jadi benar / tidak kalau saya menfsirkan bahwa Tuhan menempatkan pasangan atau jodoh kita di iman yang sama dengan kita, jadi kalalu saya katolik dari bayi jadi pasangan saya juga pastinya seorang wanita yang beriman katolik?
dan benar atau tidak kalau saya menafsirkan adam diciptakan terlebih dahulu dari hawa maka pasangan saya seharusnya lebih muda dari saya?
Shalom Ario,
1.Gereja Katolik tidak mengajarkan adanya ‘takdir’ yang artinya seolah-olah Tuhan sudah menentukan segala sesuatunya, dan manusia hanya menjadi ‘boneka’ untuk menjalaninya. Tuhan menghargai segala kehendak bebas dan keputusan manusia, walaupun Ia dengan segala kemaha-tahu- an-Nya, telah mengetahui sejak awal mula tentang bagaimana kehidupan kita. Namun Tuhan tidak pernah memaksakan kehendak-Nya kepada kita. Selanjutnya tentang takdir dan nasib ini, silakan anda membaca di sini, silakan klik.
Maka, menjawab pertanyaan anda, memang Tuhan membimbing kita masing-masing, jika kita melibatkan Dia, pada saat kita memilih pasangan hidup kita masing-masing, namun Ia tidak ‘memaksakannya’ kepada kita. Dengan demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa kalau saya Katolik, pasti pasangan hidup saya juga Katolik. Memang kalau anda mempunyai kecenderungan memilih pasangan hidup yang Katolik, itu sesuatu yang baik sekali, dan tentu jika anda bawa terus di dalam doa, dan anda bergaul dengan sesama saudara/ i seiman, maka besar kemungkinan anda dapat menemukan pasangan yang Katolik seperti yang anda inginkan. Namun mungkin ada banyak orang yang karena situasi yang tertentu, atau bahkan karena tidak memikirkannya secara serius atau tidak membawa perihal pasangan hidup yang satu iman ini di dalam doa, maka akhirnya mereka mendapatkan pasangan yang tidak seiman. Hal ini memang diakui akan menjadi lebih sulit (seperti kata anda, satu agama saja sudah sulit, apalagi beda), terutama dalam hal mengajarkan iman kepada anak-anak, dan tentang banyaknya keputusan lain yang harusnya diambil atas dasar iman. Untuk ini perihal kawin campur- beda gereja, atau beda agama inilah maka Gereja Katolik tetap mengizinkan asalkan dibuat perjanjian terlebih dahulu, agar pihak yang Katolik tetap dapat menjalankan ibadah dan kewajibannya sebagai umat Katolik, dan dengan sekuat tenaga mendidik anak-anak secara Katolik. Jika ini disetujui, maka Gereja Katolik mengizinkan perkawinan tersebut, meskipun tidak dari satu agama/ satu Gereja.
2. Memang di dalam Alkitab yang diciptakan adalah Adam terlebih dahulu baru kemudian Hawa, namun sebenarnya itu bukan menjadi dasar keharusan bahwa mempelai laki-laki harus lebih tua dari mempelai wanita. Yang terlebih penting adalah bukan keadaan harafiahnya bahwa Hawa lebih muda dari Adam, tetapi arti rohaniahnya, yaitu Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang artinya untuk menjadi "penolong yang sepadan" bagi Adam (Kej 1:18). Jadi kedudukan Hawa tidak di atas -untuk mengepalai Adam-, ataupun di bawah Adam -untuk di-injak-injak-, namun sepadan- untuk dikasihi oleh Adam dan mengasihi Adam. Selanjutnya, Alkitab mengajarkan bahwa hubungan suami istri ini malah seharusnya menjadi gambaran akan hubungan Kristus dengan Gereja-Nya (lih. Ef 5:22-33). Artinya suami harus mengasihi istrinya seperti mengasihi tubuhnya sendiri (ay.28), mengasuh dan merawatnya (ay.29), bahkan menyerahkan diri-nya bagi istrinya (ay. 25). Demikian juga, istri harus mengasihi suaminya dan tunduk kepada suaminya (ay.22).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shalom,
Kalau seseorang itu dipanggil untuk hidup selibat, tetapi dengan kebebasannya ia memilih untuk menolak panggilan itu. Apakah itu dosa? Apa yang harus ia lakukan kalau ia merasa tidak kuat mengatasi godaan?
Terima kasih.
Setiawan
Shalom Setiawan,
Sebenarnya pertanyaan anda kurang jelas di sini, sebab "dipanggil untuk hidup selibat" ini, apakah artinya ia sudah menjadi imam, lalu kemudian tidak tahan hidup selibat, lantas keluar; atau orang itu belum menjadi imam, dan baru ‘merasa’ terpanggil menjadi imam? Sebab untuk kedua kasus itu jawabannya berbeda.
1. Jika orang itu sudah menjalani panggilan untuk menjadi imam, sehingga praktis dia sudah hidup selibat, namun kemudian ia memilih untuk menolak kehidupan selibatnya, maka ia berdosa. Namun menurut derajatnya, terdapat dua kemungkinan:
– jika ia dengan hati nurani memilih untuk meninggalkan hidup selibatnya, tanpa melakukan dosa ketidakmurnian (misal perzinahan, dst) dan kemudian ia mendapat ijin dari superior dan dari Vatikan, maka sesungguhnya dosa/ kesalahannya adalah dengan tidak bekerjasama dengan rahmat Allah yang sudah diterimanya melalui Sakramen Tahbisan Suci, yang seharusnya cukup untuk membuatnya setia dalam panggilan imamatnya.
– jika ia memilih untuk meninggalkan hidup selibatnya karena telah terlanjur melakukan perbuatan dosa (zinah, dst) maka ia berdosa sangat berat karena selain tidak setia dengan panggilan hidunya sebagai imam, ia melakukan perbuatan zinah dan menjadi batu sandungan bagi orang lain.
2. Jika orang itu belum menjadi imam, namun baru ‘merasa terpanggil sebagai imam’, namun ia memilih untuk tidak menjadi imam, maka kesalahannya lebih ringan dibandingkan dengan jika ia sudah menjadi imam. Sebab biar bagaimanapun, Tuhan memanggil, namun tidak pernah memaksa. Ia selalu melibatkan kehendak bebas manusia. Maka jika sebenarnya dorongan menjadi imam sangat kuat, namun ditolak; maka mungkin di sini letak kesalahannya adalah pada ketakutan mengatasi godaan yang lebih besar daripada keinginan untuk menanggapi panggilan Tuhan itu.
St. Padre Pio pernah mengatakan bahwa dosa itu seumpama anjing galak yang dirantai di tiang. Jadi kalau kita tidak dekat-dekat tiang dan anjing itu, kita tidak akan jatuh. Tetapi kalau kita sedikit bermain-main dan mendekati anjing galak itu, maka kita bisa kena gigitan anjing- yang artinya kita jatuh dalam dosa. Maka pelajaran yang bisa diambil pertama-tama adalah: jangan mendekati godaan itu, atau jangan menurutinya. Carilah perbuatan dan kesibukan yang dapat mengalihkan perhatian anda ke arah yang lebih baik. Hindari pergaulan yang dapat menyeret anda ke dalam dosa. Hindari situasi melamun, menyendiri atau apapun yang menyeret anda kepada godaan itu. Carilah rekan-rekan yang dapat membangun iman anda. Isilah waktu dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, entah dengan berdoa, membaca dan merenungkan Kitab Suci, atau kesibukan lain yang berguna untuk rohani anda. Bertumbuhlah dalam doa dan sakramen, terutama Ekaristi dan Sakramen Tobat. Ikutilah Misa harian, jika memungkinkan. Pergilah mengaku dosa sedikitnya sebulan sekali, dan carilah seorang pembimbing rohani. Semoga dengan bantuan rahmat Tuhan anda dapat kuat mengatasi godaan itu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Terima kasih Mba Ingrid,
Yang saya maksudkan ialah yang kedua. Merasa terpanggil sebagai imam, namun belum menjadi imam. Yang saya maksud juga dengan menolak panggilan itu ialah memilih untuk menikah yang sepengetahuan saya sama kudusnya dengan imamat. Apakah setelah menikah Tuhan tetap akan terus menerus menghantui dengan panggilan? Atau bisakah orang tersebut menjadi diakon permanen sebagai jawaban atas panggilan Tuhan untuk menjadi imam?
Terima kasih atas pengajarannya.
Shalom Setiawan,
Kalau boleh saya menganjurkan, sebaiknya anda (atau seorang yang sedang merenungkan jalan panggilan hidup) mengikuti retret pribadi, dengan seorang pembimbing rohani, untuk membuat discerment untuk keputusan penting ini dalam hidup anda. Memang kehidupan pernikahan adalah sesuatu yang baik dan sangat luhur, namun, secara objektif kita harus melihat bahwa memang kehidupan selibat untuk Kerajaan Allah adalah sesuatu yang lebih sempurna daripada hidup pernikahan, dalam hal mewujudkan kasih yang tanpa syarat kepada Tuhan dan sesama, seperti yang telah dijabarkan dalam artikel di atas. Maka yang terpenting adalah melihat apakah anda benar-benar terpanggil untuk kehidupan imamat itu, sebab jika benar-benar Tuhan memanggil anda maka, kuasa-Nya akan benar-benar nyata, sehingga anda tidak ragu lagi, dan akan berani melangkah bersama Tuhan untuk mengatasi godaan tersebut. Namun jika dalam proses discerment itu anda dikuasai oleh rasa ragu dan takut, maka ada kemungkinan bahwa imamat memang bukan jalan yang Tuhan inginkan bagi anda. Dan memang benar, anda tidak melakukan kesalahan jika anda memilih hidup menikah, dan jangan pula merasa bersalah jika kemudian anda menikah. Tuhan tidak pernah memaksa, dan panggilan-Nya memang untuk diterima dengan sukarela.
Tambahan lagi sebenarnya, walaupun anda memutuskan untuk menikah, motivasi utamanya adalah bukan supaya anda dapat seolah-olah ‘menyalurkan’ kebutuhan jasmani anda/ menuruti ‘godaan’ itu. Sebab hal itu juga bukan motivasi yang baik untuk perkawinan. Jika anda terpanggil untuk menikah, motivasi anda seharusnya adalah untuk 1) memberikan diri anda sepenuhnya kepada pasangan anda, dan 2) untuk mendidik anak-anak yang akan Tuhan percayakan kepada anda, agar mereka mengenal dan mengasihi Tuhan. Jika bukan kedua hal ini yang menjadi motivasi anda, maka dalam kehidupan perkawinan anda, nanti juga anda akan menghadapi masalah yang tidak kalah besar dengan masalah yang akan dihadapi jika anda menjadi imam. Sebab hidup setia kepada satu orang seumur hidup, dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit, itu juga bukan hal yang mudah, jika anda tidak dengan sungguh- sungguh menghayati makna perkawinan itu. Silakan anda membaca artikel Indah dan dalamnya Perkawinan Katolik, silakan klik.
Pada dasarnya, setiap kita, baik yang menjadi imam maupun yang menikah, tetap dipanggil terhadap kekudusan dan mengatasi godaan Iblis dalam bentuk apapun, dan mungkin konteksnya dalam hal ini dalam hal kemurnian. Kita dipanggil juga untuk hidup setia melaksanakan iman kita, yang dilukiskan secara nyata dengan menjalani panggilan hidup kita (sebagai imam atau awam) dengan baik dan setia. Saya menganjurkan, jika memungkinkan, bacalah juga buku Theology of the Body, karangan Paus Yohanes Paulus II, yang sudah diterjemahkan oleh Rm Deshi Ramadhani S.J. Semoga anda dapat melihat indahnya makna panggilan hidup perkawinan dan kehidupan selibat untuk Kerajaan Allah yang saling mendukung, sebagaimana direncanakan Allah. Dan anda dapat menilik ke dalam diri anda sendiri, jalan mana yang Tuhan inginkan bagi anda yang sesuai juga dengan kehendak bebas anda.
Mengenai diakon permanen memang dapat merupakan pilihan jika keuskupan setempat membutuhkan. Di Amerika ini, permanent diaconate, sudah lebih dikenal dan lebih umum, namun, kelihatannya di Indonesia, diakon permanen belum umum. Silakan anda menanyakan kepada keuskupan di mana anda tinggal tentang kemungkinan tersebut di atas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Mba Ingrid,
Terima kasih atas pengajarannya yang jelas dan tegas.
Tuhan memberkati.
Salam, Setiawan
Salam damai Pak Augustinus,
Tulisan Pope John Paul II’s THEOLOGY OF THE BODY, sudah di terjemahkan oleh Rm.Deshi Ramadhani, SJ dan diterbitkan oleh penerbit Kanisius. Buku ini bisa di beli di toku buku Gereja Katedral Jakarta atau bisa pesan langsung ke penerbit Kanisius secara online. Buku ini termasuk best seller. Berikut saya beri linknya untuk membeli buku tersebut. http://www.kanisiusmedia.com/prod_best.php
Menurut saya buku ini wajib dibaca oleh semua kalangan. Tulisan yang sangat revolusioner.
Tuhan Berkati
Deasy
Shalom Bu Inggrid,
Karena bahasa Inggris saya agak terbatas, apabila berkenan saya ingin mendapatkan ulasan tentang tulisan dari :
Pope John Paul II’s THEOLOGY OF THE BODY.
This publication @ 2003 Resurrection Publications.
P.O. Box 21357. Cheyenne, WY 82003-7026
http://www.theologyofthebody.net
Banyak terima – kasih saya haturkan.
Tuhan Yesus memberkati.
Shalom Augustinus,
Saya memang pernah merencanakan untuk mengulasnya di situs ini, tetapi karena memang sampai sekarang belum terlaksana. Sebenarnya topik ini sangat menarik, dan jika dibahas memang tidak cukup hanya dalam satu atau dua artikel, karena memang sangat panjang dan dalam maknanya. Namun kabar baiknya adalah saya mendengar bahwa topik ini sudah diterjemahkan oleh R. Deshi Ramadhani SJ, dan malah beberapa kali sudah diadakan seminarnya di Jakarta. Saya malah mendengar tgl 7 November ini akan diadakan juga seminar “Theology of the Body” ini di paroki Stella Maris Jakarta. Silakan anda mencari keterangan lebih lanjut ke Bp. Usman 0815 1155 66 55.
Mungkin suatu saat nanti di situs ini akan kami bahas tentang Theology of the Body ini, mohon doa ya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shalom Bu Inggrid,
Thanks banget atas infonya, nanti saya akan kontak ke P Usman.
Sepengetahuan saya “Theology of The Body ” ada 129 session yg diberikan oleh Paus John Paul II dlm audisi tiap Rabu, agar pembahasan nya bisa lebih mendalam tiap sessi mungkin bisa dibahas tersendiri (hanya saran aja Bu).
Doa saya menyertai pelayanan Ibu dgn team.
Gbu,
Augustinus
Syalom, katolisitas
Saya ada pertanyaan di 1 Korintus 7 : 1- 40
Apa maksud ayat-ayat tersebut dan dalam konteks apa ? .-
Terima kasih
Adnilem.Sg
[Dari Admin Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Comments are closed.