Pertanyaan:
hallo tay & Ingrid,
ada yang ingin saya ceritakan dan tanyakan,karna ini selalu menganggu pikiranku,saya lahir dari keluarga yang bukan katolik.keluarga menganut aliran kepercayaan.dikeluarga hanya nenek saya yang katolik (mama dari papa).nenek saya sudah meninggal.biasanya sehari sebelum imlek keluarga mengadakan sembahyangan di rumah.cara sembahyang yaitu dengan meletakkan sebuah meja di teras rumah,dan diatas meja tersedia bermacam macam makanan,dan sembahyang dengan menggunakan hio.cara sembahyang tersebut sama juga ketika sembahyang dimakam.karna nenek saya katolik maka dimejanya diletakkan lilin putih.setelah sembahyang selesai,makanan yang dipakai untuk sembahyang dimakan juga oleh keluarga.setelah saya dibaptis menjadi katolik,saya selalu menghindar ketika disuruh sembahyang,dan saya pun jijik dengan makanan yang dipakai untuk sembahyang.yang ingin saya tanyakan:
1.apakah benar cara sembahyang tersebut menurut katolik?
2.apakah boleh kita yang sudah menjadi katolik memakan makanan yang
dipakai untuk sembahyang?(kata teman saya yang kristen boleh2 aja)
saya tunggu penjelasannya,terima kasih..
Salam, Nie
Jawaban:
Shalom Nie dan Paulus,
Untuk menjawab pertanyaan mengenai tanggapan terhadap cara sembahyang kepada leluhur dan boleh atau tidaknya makan makanan yang telah ‘disembahyangi’ menurut adat kepercayaan Tionghoa, saya mengacu kepada pengajaran dalam Kitab Suci, yaitu:
- 1 Kor 8: 1-13
Di perikop ini Rasul Paulus mengajarkan kembali bahwa “tidak ada Allah lain daripada Allah yang esa” (ay. 4), jadi Allah kita mengatasi segalanya. Oleh karena itu, kita hanya menyembah dan berdoa kepada Allah, sebab “bagi kita hanya ada satu Allah saja…. yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (ay.6). Maka kita sebagai orang Katolik tidak berdoa menyembah kepada leluhur. Namun bukan berarti kita tidak mengenang dan memperingati leluhur, sebab kita boleh atau bahkan harus berdoa bagi mereka yang sudah meninggal, untuk mendoakan jiwa mereka, agar Tuhan berkenan mengampuni dan membawa mereka ke dalam kebahagiaan surgawi. Selanjutnya mengenai hal ini, klik di sini.
Jadi dalam hal ini, kita percaya bahwa Tuhan kita mengatasi segala sesuatu, dan segala yang ‘disembahyangi’ bukan kepada Tuhan kita, sesungguhnya tidak akan mendatangkan pengaruh apapun kepada kita. Rasul Paulus mengatakan, “Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan” (ay.8). Namun pengetahuan yang demikian jangan sampai membuat kita sombong, melainkan kita harus menunjukkannya dengan kasih (lihat ay.1-3). Maksudnya adalah kita harus bijaksana dalam menyikapi mengenai masalah ini.
Rasul Paulus mengingatkan, “jagalah supaya kebebasanmu ini jangan sampai menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah. Karena apabila orang melihat engkau yang mempunyai ‘pengetahuan’, sedang duduk makan di dalam kuil berhala, bukankah orang yang yang lemah hati nuraninya itu dikuatkan untuk makan daging persembahan berhala?” (ay. 9-10) Sebab jika demikian kita menjadi ‘batu sandungan’ bagi orang itu, mereka menjadi ‘binasa’ karena pengetahuan kita, dan dengan demikian kita berdosa terhadap Kristus (lihat ay. 11-12). Maka Rasul Paulus mengatakan, “Karena itu apabila makanan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku untuk selama-lamanya tidak mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku.” (ay. 13) - 1 Kor 10: 18-33
Rasul Paulus mengajarkan agar umat tidak mempersembahkan apapun kepada roh-roh jahat (ay. 20-22). Walaupun demikian, umat dapat makan daging yang dijual di pasar yang kemungkinan berasal dari persembahan di kuil [tentu asal tidak ikut mempersembahkan kurban di kuil] karena pada dasarnya bumi dan segala isinya adalah milik Tuhan (ay. 25-26). Jadi jika umat disuguhi makanan oleh orang yang tidak percaya, tidak perlu menyelidiki asal usul makanan tesebut, namun jika diberi tahu kalau itu makanan sembahyangan, sedapat mungkin dihindari, bukan karena ia berdosa jika memakannya [karena dikatakan, segala sesuatu diperbolehkan, tetapi bukan segala sesuatu membangun, dalam ay. 23], tetapi karena jangan sampai umat menjadi batu sandungan bagi orang lain (ay. 28-29, 32). - Rom 14:13-17
Rasul Paulus kembali mengingatkan agar jangan kita menghakimi dan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Rasul Paulus berkata bahwa di dalam Yesus “tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis. Sebab jika engkau menyakiti hati saudaramu oleh karena sesuatu yang engkau makan, maka engkau tidak hidup lagi menurut tuntutan kasih. Janganlah engkau membinasakan saudaramu oleh karena makananmu, karena Kritus telah mati untuk dia…. Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.”
Jadi misalnya, kita tidak sepantasnya makan babi di depan mata saudara kita yang beragama muslim. Atau, jangan sampai kita makan makanan yang habis ‘disembahyangi’, jika di situ ada orang yang dapat berpikir, “Oo, jika demikian orang Katolik setuju dengan cara sembahyangan leluhur macam ini.” Padahal kita semua tahu bahwa kita sebagai orang Katolik tidak ber-’sembahyang’ dengan cara demikian. Jika demikian situasi yang dihadapi oleh Nie, maka sikap Nie sudah benar, bahwa supaya tidak menjadi batu sandungan, lebih baik tidak usah memakan makanan sembahyangan itu. Namun sebaliknya, jika karena tidak makan malah menyebabkan pertengkaran di dalam keluarga sehingga ini juga menjadi ‘batu sandungan’ dalam bentuk yang lain, maka tidak ada salahnya makan makanan tersebut. - Mat 15:11, 18-19
Akhirnya, kita melihat kepada apa yang diajarkan Yesus sendiri tentang hal ini. Yesus mengatakan, “…bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang…. Apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.”
Bukankah memang demikian halnya? Ada orang-orang yang ribut mengatakan jangan makan ini atau itu, sebab itu najis; namun sesungguhnya di lain hal mereka gagal berbuat kasih dengan ucapan perkataan negatif yang keluar dari mulut mereka. Hal ini dapat juga terjadi pada kita semua. Maka Alkitab mengingatkan kita, supaya jangan sampai kita menajiskan diri dengan perkataan yang keluar dari mulut kita; di samping bahwa kita perlu dengan bijaksana mengatur apa yang masuk ke dalam mulut kita (agar tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain dan tentu agar itu berguna bagi kesehatan kita). Selanjutnya, kita harus berhati-hati dengan ucapan kita, sebab itulah yang menjadi cerminan isi hati kita.
Namun demikian, perlu kita ingat bahwa biar bagaimanapun, kita harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, karena demikianlah yang menjadi ajaran para rasul (Kis 15: 29). Demikianlah jawaban saya, semoga dapat berguna buat kita semua.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati –https://katolisitas.org
syalom tim katolisitas
Saya mohon penjelasan maksud dari kitab Tobit 4: 17
Terima kasih
[Dari Katolisitas: Silakan membaca jawaban ini, silakan klik, dan silakan pula membaca penjelasan tentang topik Perihal Makanan Sembahyangan di atas ini, silakan klik]
Yth. Tim Katolisitas
Saya mau tanya bagaimana intrepretasi dari Tobit 4:17 yang berbunyi:
Sajikanlah dengan berlimpah-limpah
makanan di atas kubur orang benar, tetapi
jangan kauberikan kepada orang-orang
berdosa.
Terima Kasih
Shalom Arief,
Tob 4:17, “Sajikanlah dengan berlimpah-limpah makanan di atas kubur orang benar, tetapi jangan kauberikan kepada orang-orang berdosa.”
Berikut ini penjelasan yang saya peroleh dari A Catholic Comemntary on Holy Scripture, Dom Orchard OSB, ed.:
“Penguburan, lihat Barukh 6:26; Sir 7:33 dan 30:18. Orang- orang Yahudi mengikuti kebiasaan ini yang umum dilakukan oleh bangsa- bangsa non- Yahudi, namun untuk maksud yang berbeda. Bangsa- bangsa non Yahudi memandang bahwa jiwa- jiwa orang mati itu yang akan makan persembahan; namun orang- orang Yahudi dan setelah itu orang- orang Kristen, melakukannya untuk memberi makan fakir miskin, sehingga mereka dapat turut mendoakan orang yang meninggal. Pesta perayaan ini sering disalahgunakan, dan karena itu dilarang oleh St. Ambrosius, yang atas otoritasnya, St. Monika taat. (St. Agustinus, Confessions vi. 3)…. Orang benar, [adalah] orang yang meninggal di dalam persahabatan dengan Tuhan …. sedangkan untuk orang- orang yang berdosa/ jahat [yang terhukum di neraka], doa dan perbuatan belas kasih tidak ada gunanya…. Perbuatan belas kasih termasuk juga perbuatan baik yang ditujukan kepada mereka yang sudah meninggal.”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ibu Inggrid terima kasih atas referensi artikel ini, kebetulan saya juga berada dalam kasus ini. Saya dulunya sebelum jadi Katolik saya punya banyak cerita yang ingin saya share kepada ibu jika ibu berkenan mendengarkan. Maaf juga jika pertanyaan saya agak aneh dan melenceng. Namun sungguh saya ingin mendapat pengajaran dari ibu yang memang sudah sangat mendalami iman Katolik.
Dulu nenek saya seorang yang taat sembahyang kepada Dewi Kwan Im. Waktu itu di kampung beliau ajaran agama Katolik/Kristen belum ada. Jadi di sana hampir tiap rumah memiliki semacam meja sembahyang untuk Dewi Kwan Im. Nenek saya percaya bahwa Dewi Kwan Im itu baik yang menjaga rumah dan keluarga nenek saya, itu terbukti karena di rumahnya kami tidak pernah merasa adanya gangguan mahluk halus dan merasa tenang. Padahal saat itu di sana masih banyak hutan dan memang banyak mahluk halus yang menampakkan diri dan mengganggu orang-orang di sana.
Menurut pendapat ibu benarkah perbuatan nenek saya sembayang pada Kwan Im? Jika memang benar, apakah benar pemikiran saya bahwa Tuhan Allah itu Maha baik dan banyak utusan-Nya datang ke dunia untuk membantu umat manusia? (Karena saat itu nenek saya tidak tahu apa itu ajaran Yesus dan agamaNya. Beliau cuma tahu bahwa Tuhan itu ada). Namun jika nenek saya memang salah dalam sembahyangnya, artinya hampir semua penduduk di kampung itu juga salah dan berdosa karena bukan berdoa kepada Tuhan, tetapi lewat Kwan Im?
[Dari Katolisitas: Komentar ini digabungkan karena masih satu topik]
Maaf, dalam hal ini nenek saya juga sembahyang menggunakan hio/dupa. Dan adat istiadatnya pun hampir sama dengan pertanyaan nie.
Mohon jawaban dari ibu untuk kasus saya agar saya dapat mengerti dari sudut pandang Katolik.. mohon maaf jika banyak salah kata. Terimakasih. Jbu
Shalom Stefanus,
Terhadap agama- agama non- Kristen, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian:
KGK 843 Gereja mengakui bahwa agama-agama lain pun mencari Allah, walaupun baru “dalam bayang-bayang dan gambaran”. Ia memang belum dikenal oleh mereka, namun toh sudah dekat, karena Ia memberi kepada semua orang kehidupan, napas, dan segala sesuatu, dan Ia menghendaki agar semua manusia diselamatkan. Dengan demikian Gereja memandang segala sesuatu yang baik dan benar yang terdapat pada mereka sebagai “persiapan Injil dan sebagai karunia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan.” (Lumen Gentium 16) Bdk. NA 2; EN 53.
Dalam kasus yang anda sampaikan itu, memang terlihat bagaimana orang- orang yang belum mengenal Kristus dan Gereja-Nya, mewujudkan pengakuan mereka untuk menyembah Allah dengan cara yang berbeda. Gereja melihat bahwa kesadaran untuk menyembah Sang Pencipta (yaitu Pribadi yang Maha Kuasa yang mengatasi manusia), adalah suatu awal yang baik yang dapat menghantar seseorang kepada Kristus. Namun demikian, sembahyang kepada dewi Kwan Im tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, karena menurut ajaran iman Kristiani penyembahan hanya dapat diberikan kepada Allah.
Dalam salah satu siaran TV EWTN, Mother Angelica pernah mengajarkan kurang lebih demikian: agaknya dalam hal iman, yang berlaku adalah ketentuan dalam Luk 12:48, “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.” Maka terhadap mereka yang bukan karena kesalahannya tidak sampai mengenal Tuhan Yesus dan Gereja-Nya (misalnya karena tak tersentuh dengan pemberitaan misi, dan tak pernah mendengar tentang Kristus sama sekali karena tak ada yang memberitahukannya), Tuhan juga tidak menuntut mereka untuk harus mengenal Kristus dan menjadi Katolik. Ini jelas disebutkan dalam dokumen Konsili Vatikan II, tentang Gereja, “Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apapun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, Gereja pandang sebagai persiapan Injil, dan sebagai kurnia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan.” (Lumen Gentium, 16)
Maka di sini kondisinya jelas, yaitu rahmat keselamatan dapat menjangkau juga orang- orang yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Kristus dan Gereja-Nya, asalkan mereka tulus mencari Allah, dan melakukan perbuatan kasih yang nyata sesuai dengan tuntunan suara hatinya. Sedangkan jika sebenarnya orang itu sudah mengetahui tentang Kristus dan Gereja-Nya, namun mengeraskan hati untuk menolaknya, maka Gereja Katolik dalam Lumen Gentium 14 mengajarkan, “…andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.” [Namun tentu untuk parameter ‘benar-benar tahu’ itu hanya Tuhan yang tahu].
Lalu tentang tradisi menghormati orang tua yang sudah meninggal. Gereja Katolik mengajarkan bahwa kasih kepada orang tua maupun kerabat lainnya tidak terbatas hanya pada saat mereka masih hidup. Kita masih dapat mendoakan jiwa mereka setelah mereka meninggal dunia, seperti yang diajarkan juga dalam 2 Mak 12:38-45. Cara mendoakan yang diajarkan oleh Gereja adalah dengan mengajukan ujud Misa Kudus untuk mendoakan keselamatan jiwa mereka. Selanjutnya tentang hal penghormatan arwah leluhur secara tradisi Cina yang dapat diterima oleh Gereja Katolik, silakan klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
trims ibu ,, saya puas dengan jawaban anda..
Tuhan memberkati.. ^^
[Dari Katolisitas: Pesan ini disatukan karena masih satu topik]
Shaloom,, jika saya boleh menambahkan,, memang benar yang di ajarkan gereja. pembakaran uang untuk jenazah itu memang tidak ada kaitannya dengan Arwah yang meninggal apa itu mereka mendapat uang kita atau tidak,, karena setahu saya,, itu merupakan tradisi semata,, warga tionghua pun sebenarnya tahu bahwa TIDAK mungkin uang bakaran tersebut akan di dapat oleh yang meninggal,, namun mereka hanya melaksanakan tradisi saja dari Cina saja..
Maaf jika saya salah namun keluarga saya yang tiong hua non katolik pun berkata demikian..
[Dari Katolisitas: Walaupun hanya tradisi saja, dan diketahui bahwa uang-uangan itu tidak ada pengaruhnya terhadap orang yang meninggal; namun tindakan pembakaran uang tersebut secara obyektif berkonotasi tahayul, seolah- olah mau membekali orang yang meninggal dengan ‘kekayaan’ duniawi. Oleh karena itu, Gereja Katolik tidak memperbolehkan dilakukannya hal sedemikian dalam penghormatan arwah leluhur yang dilakukan oleh umat Katolik.]
hallo tay & Ingrid,
ada yang ingin saya ceritakan dan tanyakan,karna ini selalu menganggu pikiranku,saya lahir dari keluarga yang bukan katolik.keluarga menganut aliran kepercayaan.dikeluarga hanya nenek saya yang katolik (mama dari papa).nenek saya sudah meninggal.biasanya sehari sebelum imlek keluarga mengadakan sembahyangan di rumah.cara sembahyang yaitu dengan meletakkan sebuah meja di teras rumah,dan diatas meja tersedia bermacam macam makanan,dan sembahyang dengan menggunakan hio.cara sembahyang tersebut sama juga ketika sembahyang dimakam.karna nenek saya katolik maka dimejanya diletakkan lilin putih.setelah sembahyang selesai,makanan yang dipakai untuk sembahyang dimakan juga oleh keluarga.setelah saya dibaptis menjadi katolik,saya selalu menghindar ketika disuruh sembahyang,dan saya pun jijik dengan makanan yang dipakai untuk sembahyang.yang ingin saya tanyakan:
1.apakah benar cara sembahyang tersebut menurut katolik?
2.apakah boleh kita yang sudah menjadi katolik memakan makanan yang
dipakai untuk sembahyang?(kata teman saya yang kristen boleh2 aja)
saya tunggu penjelasannya,terima kasih..
Shalom Nie dan Paulus,
[Dari Admin: Pertanyaan anda sudah dijawab di atas, silakan klik]
Shalom,
Dear nie dan http://www.katolisitas.org
Pertanyaan nie ini sangat bagus dan saya rasa bukan hanya nie saja, saya sendiri juga demikian dan masih banyak saudara-saudara kita terutama dari suku tionghoa yang demikian juga.-
Ok, ini sedikit pendapat saya (yang mungkin salah) untuk kita share bersama disitus ini, semoga mendapatkan jalan keluarnya.-
1.apakah benar cara sembahyang tersebut menurut katolik?
Kalau kata sembahyang tersebut jelas secara pribadi saya tidak setuju karna yang boleh kita sembah hanya Tuhan Jesus Kristus.-
Bunda Maria saja tidak kita sembah tapi devosi.-
Nah…disini saya pernah bertanya kepada kawan-kawan yang akrab yang non kristen/katolik…,sebenarnya maksud mereka bukan menyembah tetapi memperingati(co ki)..dan karena kata pai(sembahyang) sudah kebablasan(kebiasaan) jadi sulit dihilangkan.-
kalau untuk memperingati(co ki)….itukan wajar karna leluhur mereka ya.. harus dihormati dan dikenang sampai ke cucu2,cicit2 dstnya.-
kenapa saya yakin akan perkataan mereka ?
Saya pernah membuat pertanyaan2 kepada mereka sbb :
a)apa anda percaya Tuhan itu ada ?……jawabannya : ada dan percaya.-
b)Tuhan itu ada berapa ?…………….jawabannya : satu
c)kata sembah itu dalam bahasa tionghoa(khususnya hokkian)apa ? dan jawabannya……………………………….: pai
d)Yang boleh kita sembah(pai) siapa ?…jawabannya : Tuhan saja
e)Nah…apakah sekarang kamu sembah(pai) terhadap leluhur kamu ini benar?..dan disini baru dia bilang bahwasanya dia bukan pai(sembah) akan tetapi co Ki(memperingati)…..woow..terbuktikan!!
f)tadi kamu bilang ada Tuhan dan Tuhan itu satu, apakah kamu tahu siapa Tuhan kamu ?………………….jawabannya : tidak tahu dan mereka balik bertanya kepada saya….jadi apakah kamu tahu Tuhan kamu itu siapa ? jawab saya : ya…Tuhan saya adalah Jesus Kristus.-
g)ok….soal tersedia bermacam-macam makanan itu menurut mereka adalah untuk mengenangkan makanan kesukaan leluhur mereka sewaktu masih hidup dan mereka peringati dengan suka cita bersama-sama dengan cucu,cicit dan family sekalian.-(memang disini ada mereka tambahkan beberapa jenis nama makanan yang mengandung arti baik seperti huatkue dll )
h)soal mempergunakan hio sudah tradisi seperti kita orang katolik mempergunakan lilin, bunga dstnya
2)apakah boleh kita yang sudah menjadi katolik memakan makanan yang dipakai untuk sembahyang?
Disini kata sembahyang seharusnya memperingati leluhur.-
menurut saya….sebatas bukan untuk persembahan…tetapi hanya untuk memperingati..ya, boleh-boleh saja asal makanan untuk memperingati tsb ada ditutupi dengan plastik sehingga tidak masuk kotoran atau abu hio tsb.-dan sebelum makan sesuai ajaran katolik..ya saya berdoa dulu dalam hati(ya..Tuhan, kuduskan makanan ini dstnya)
Demikianlah sedikit komentar saya,mohon dimaafkan jika salah karna hal ini menurut akal budi saya sendiri,dan saya tidak boleh hanya mengandalkan akal budi saja tetapi harus bersandar kepada Tuhan Jesus Kristus.-
1 Kor 14 : 15 jadi, apakah yang harus kubuat? aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku.-
Amsal 3 : 5 Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.
Amsal 3 : 6 Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.
Tuhan memberkati kita semua
To :Nie,
Tentang makanan yang dilarang,
1 Timotius 4:1 Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan
4:2 oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka.
4:3 Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran.
Apakah makanan yang sudah dilarang, boleh kita makan hanya dengan pengucapan syukur?
Keluarga saya juga masih sembahyang kuburan, jelas2 diajarkan, bahwa makanan yang ditaroh di meja persembahan adalah untuk dimakan oleh yang meninggal! bukan sekedar untuk memperingati. Sedangkan kita tahu, bahwa arwah orang meninggal tidak berkeliaran di bumi. kalau tidak nunggu di Hades(alam maut) ya di Firdaus. jadi yang makan bukan leluhur kita, tapi setan yang menyamar. Apakah kita mau makan makanan sisa roh jahat? Serem banget kan? Kita mau ikutin tradisi nenek moyang atau menuruti Allah? Kita mau menyenangkan hati manusia atau menyenangkan Allah? Daniel aja tidak takut pada Raja, sampai dilempar ke kandang singa, demi menuruti apa kata Tuhan.
Ini sedikit renungan buat Nie, dan yang masih bingung soal makanan bekas sembahyangan yang diperhalus jadi makanan bekas memperingati. apapun itu. Bukan melawan/memberontak secara kasar/sombong ke orangtua kita, tapi kita juga bisa kasi pengertian/penjelasan dengan kasih, bahwa itu dilarang sama Tuhan
Semoga berguna buat kita semua.
Tuhan memberkati,
Anna
Shalom Anna, Nie dan Paulus,
Pertama-tama terima kasih kepada Anna yang sudah menuliskan pendapatnya tentang ‘makanan yang dilarang’ ini. Memang masalah ini sering dipertanyakan sehingga kita semua ingin tahu kebenaran tentang bagaimana menyikapinya. Maka, saya ingin memperjelas apa yang sudah saya tulis mengenai ‘makanan sembahyangan’ pada jawaban surat Nie terdahulu:
1) Kita sebagai orang Katolik percaya, Tuhan mengatasi segalanya, dan hanya Dialah yang berkuasa menjawab doa-doa kita. Maka doa/ sembahyangan yang tidak ditujukan kepada Allah, ataupun hanya dibacakan kepada makanan itu, sesungguhnya tidak membawa pengaruh apapun kepada makanan itu (Apel itu ya tetep apel, sate ya tetep sate). Kita melihat contoh yang jelas pada saat Nabi Elia dan para nabi palsu penyembah Baal sama-sama berdoa untuk mendatangkan api dari langit. Doa para nabi palsu kepada Baal itu tidak menghasilkan apa-apa, sedangkan doa Nabi Elia kepada Allah langsung dijawab, dan Allah mendatangkan api dari langit untuk membakar kurban bakaran (Lihat 1 Raja-raja 18: 20-39). Maka dari sini kita percaya, bahwa hanya doa yang ditujukan pada Allah yang menghasilkan sesuatu; sedang doa yang ditujukan kepada makanan itu tidak akan membawa hasil apa-apa.
Namun demikian, saya pribadi setuju dengan pendapat Anna bahwa sebaiknya memang kita tidak memakan ‘makanan sembahyangan’ tersebut. Alasannya bukan karena ‘serem’, karena memakan bekas roh jahat, tetapi karena tidak mau menjadi batu sandungan bagi orang yang melihat kita makan makanan tersebut. Sebab memang inilah yang umumnya terjadi, jika kita makan itu, maka orang dapat berpikir bahwa orang Katolik setuju dengan cara sembahyangan yang demikian. Dan itu tentu saja tidak benar, maka sebaiknya kita hindari. Kedua, kita menghindari makan makanan tersebut, apalagi makan dan ikut dalam acara sembahyangan tersebut, karena tidak sesuai dengan iman kita. Ini adalah pengajaran para rasul (Kis 15: 29) dan Rasul Paulus yang harus kita ikuti (1 Kor 8:13).
Namun jika ada kondisi ekstrim, misalnya dengan tidak makan makanan itu, Nie dikucilkan keluarga, tidak dianggap sebagai anak, karena dianggap tidak berbakti, maka tidak ada salahnya untuk makan makanan tersebut, dengan alasan yang sudah saya sebutkan di atas. Saran saya dalam hal ini: Jika Nie ada dalam situasi yang sulit ini, maka sedapat mungkin jangan memakan makanan tersebut di muka umum, dan tidak dalam upacara sembahyangan. Makanlah hanya di depan orang tua yang meminta Nie memakannya. Dan sebelum makan, jelaskanlah kepadanya alasan kenapa Nie memakannya, yaitu karena Nie percaya, bahwa tidak terjadi pengaruh apa-apa di dalam makanan itu dan karena itu Nie makan hanya dengan maksud kasih kepada orang tua, dan bukan karena setuju dengan cara bersembahyang semacam demikian. Dengan demikian Nie tidak melanggar perintah Allah, bahkan mengambil kesempatan tersebut untuk memperkenalkan orang tua tersebut dengan Allah yang mengatasi segala sesuatu, dan Allah yang Maha Kasih.
2) Jadi konteks ‘makan makanan sembahyangan’ ini tidak sama dengan konteks Nabi Daniel, yang demi tidak mau menyembah Raja sebagai Tuhan, sampai ia rela dibuang ke kandang singa. Sebab jika kita disuruh untuk menyembah leluhur sebagai Tuhan, maka kitapun harus bersikap seperti Nabi Daniel: kita menolak cara ini, apapun resikonya. Namun hal makan makanan sembahyangan tersebut bukan berarti kita menyembah leluhur. Maka jika kita tetap menyembah Allah saja dan memakai kesempatan ini untuk menjelaskan iman kita kepada mereka yang belum mengenal Kristus, maka konteks yang ada berbeda sama sekali dengan yang dihadapi oleh Nabi Daniel. Kita malah memperkenalkan kepada mereka akan Allah yang mengatasi segala sesuatu.
3) Pada awal kitab Nabi Daniel (dan juga sebetulnya pada kitab 2 Makabe 7:1-41) diceritakan bahwa mereka sungguh menolak pada saat dipaksa makan babi, karena pada saat itu Wahyu Allah yang mereka kenal melarang mereka makan babi, yang dianggap haram. Maka Daniel tidak makan babi, dan bahkan ibu dan ketujuh anaknya dihukum mati karena mereka tidak mau melanggar perintah ini. Namun kita mengetahui bahwa Wahyu Perjanjian Lama ini diperbaharui di dalam Perjanjian Baru oleh Kristus. Dalam Kisah Para Rasul, Allah mewahyukan kepada Rasul Petrus tentang makanan yang dilarang ini, dengan memberinya penglihatan. Allah berkata, "Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram" (Kis 10:15).
4) Mengenai ayat-ayat yang dikutip Anna: 1 Tim 4:1-3, itu adalah ayat-ayat yang memang sangat baik untuk mengingatkan kita agar berpegang pada ajaran yang benar dan tidak mengikuti ajaran sesat. Konteks ayat-ayat ini adalah untuk menentang ajaran Gnosticism yang pada waktu itu berkembang pada abad-abad awal. Para Gnostics membenci tubuh, dan menganggap tubuh dan segala sesuatu yang berupa materi (termasuk makanan) adalah dosa. Sehingga perkawinan yang dianggap sebagai cara ‘mendatangkan tubuh/ bayi’ yang baru, dianggap sebagai perbuatan dosa. Maka para Gnostics ‘membenci’ perkawinan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan ajaran Kristus, karena perkawinan malah dijadikan oleh Kristus sebagai lambang kasihNya kepada Gereja-Nya (Ef 5:22-32). Rasul Paulus juga mengingatkan bahwa makanan diciptakan Allah sebagai sesuatu yang netral, yang kita makan dengan disertai dengan ucapan syukur. Hal ini sesuai dengan ajaran Yesus, bahwa makanan itu sendiri tidak mengandung dosa, sebab dosa itu hanya timbul dari hati manusia. Apa yang masuk ke dalam mulut tidak menajiskan kita, melainkan apa yang keluar dari mulut kita itu yang menajiskan kita (lihat Mat 15:18-19).
Jadi puasa ataupun pantang yang diajarkan oleh Gereja Katolik bukan didasari atas pengajaran bahwa makanan ini atau itu mengandung dosa, tetapi untuk maksud belajar berkurban, pengendalian diri, dan untuk pertumbuhan spiritual.
5) Maka untuk menyikapi hal makanan sembahyangan ini kita melihat ajaran Kitab Suci yang mempunyai konteks yang hampir sama dengan kondisi Nie. Kebetulan di Kitab Suci, kondisi sedemikian dihadapi oleh Rasul Paulus sendiri, saat ia berkeliling menyebarkan kebenaran Injil. Di Korintus dan Roma, misalnya, banyak orang pagan/ kafir pada waktu itu mempersembahkan makanan kepada para dewa-dewa. Maka jemaat awal mempertanyakan, boleh tidaknya mereka makan makanan yang habis dipersembahkan kepada para dewa tersebut, yang kadang dijual di pasar. Untuk menjawab masalah inilah Rasul Paulus berkata agar jangan sampai kita menjadi batu sandungan bagi orang lain. Rasul Paulus berkata, lebih baik ia tidak usah makan daging (yang sudah disembahyangi itu) supaya tidak menjadi batu sandungan, walaupun ia mengetahui bahwa Allah yang mengatasi segala sesuatu tidak menjadikan perubahan apapun pada makanan itu. Makan atau tidak makan makanan itu tidak mendatangkan keuntungan ataupun kerugian (lihat 1 Kor 8:1-13).
Demikianlah tambahan keterangan dari saya. Semoga ini memperjelas jawaban saya terdahulu dan bukan malah menambah kebingungan. Untuk Anna, saya rasa, lebih baik kita menyerahkan kepada Nie dan Paulus untuk membawa semua penjelasan ini di dalam doa mereka. Saya percaya, Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran akan menyatakan sendiri di dalam hati Nie dan Paulus, akan penjelasan yang benar dan lengkap. Saya berharap Anna dapat mengerti akan alasan yang diberikan oleh Gereja Katolik dalam hal ini, yang sesungguhnya berdasarkan Alkitab.
Semoga Tuhan memberkati Anna juga.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Shalom Ing,Nie & Paulus.
Terima kasih atas penjelasan Ing perihal makan makanan persembahan. Dalam hal menghindari pertengkaran dengan orangtua saya setuju kita menghadapinya dengan kasih. tapi bukan kompromi. karena kalau menurut saya, sekali kita kompromi kita akan semakin dalam masuk ke dalam dilema antara lebih menuruti Orangtua atau Tuhan.
Contoh, teman dekat saya, dari yang menuruti disuruh makan makanan persembahan, sampai akhirnya disuruh Mamanya minum air Hu ( kertas mantera cina yang dibakar, lalu diaduk ke dalam air) yang katanya untuk melindungi teman saya ini. Memang tujuan Mamanya baik, “untuk melindungi anaknya” dengan kepercayaannya sendiri. Akhirnya teman saya minum air Hu tersebut demi menyenangkan hati Mamanya.
Disini kita lihat, kalau kita kompromi terhadap orangtua hal-hal yang demikian, nantinya orangtua melihat kita tidak ada bedanya dengan yang Non-Katolik/Non-Kristen. Sikap hidup kita juga adalah kesaksian hidup sebagai pengikut Kristus buat lingkungan dimana kita berada.
Harusnya kita bukan kompromi dengan mengikuti semua keinginan orangtua kita. Tapi kalau itu ada sangkut pautnya dengan iman kita, baiknya kita kasi pengertian, lama-lama orangtua kita pasti bisa mengerti.
Maaf, saya bukan mau bikin bingung saudara Nie & Paulus.
Saya juga tidak bilang bahwa pendapat saya yang paling benar. Ini karena saya peduli dan mau berbagi cerita dan pendapat.
Saya ingat waktu saya mulai ajak teman-teman yang non-Kristen ke Gereja Katolik, pas pulang Misa mereka melihat Romonya merokok di depan Gereja, mereka tanya saya “Na, kok Pastornya merokok sih?” Waduh! saya bingung jawabnya saat itu…
Itulah makanya kalau saya berpendapat, kalau kita terlalu banyak kompromi, kita bisa bingung sendiri nantinya.
Marilah kita semua Ing,Nie,Paulus sama-sama saling mendoakan agar dibukakan jalan oleh Tuhan, mana yang terbaik.
Tuhan memberkati.
Shalom Anna, Nie and Paulus,
Memang untuk menerapkan segala ajaran Tuhan diperlukan kebijaksanaan (prudence). Dan kebijaksanaan tidak sama dengan kompromi. Sebab dalam soal makanan persembahan/ sembahyangan kita tetap dapat menyikapinya dengan bijak, dan sesuai dengan Alkitab, tanpa harus berkompromi. Namun mengenai minum air Hu (kertas mantera), itu sudah bertentangan dengan hukum Allah, dan karenanya kita sebagai orang Katolik menolak minum air Hu ini, dengan dua alasan: 1) tidak sesuai dengan akal sehat; 2) melanggar perintah Allah yang pertama.
1) Minum air Hu tidak sesuai dengan akal sehat (reason); karena orang normal tidak minum air abu, atau dengan kata lain, air abu sebenarnya bukan minuman/ makanan yang layak.
2) Minum air Hu melanggar perintah Tuhan yang pertama, karena Hu di sini sudah tergolong jimat yang dipercayai untuk ‘melindungi seseorang’. Hal ini tidak benar, dan jika kita minum artinya kita percaya dengan kekuatan lain di luar Allah. Sebab kita sebagai orang Katolik percaya, hanya Tuhan saja yang sanggup melindungi kita. Kalau kita berpikir ada kekuatan lain yang sama-sama dapat ‘melindungi’ seperti Allah, maka hal ini bertentangan dengan perintah Allah yang pertama: "Akulah Tuhan Allahmu …… Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku"(Kel 20: 2-3).
Saya pernah punya pengalaman tersendiri mengenai hal ini. Sewaktu saya tinggal di Philippines, saya menemani sahabat saya dalam proses melahirkan anaknya yang pertama. Mama teman saya ini berpesan agar jika ia mengalami sakit menjelang melahirkan, dia harus minum air abu Hu, agar proses kelahiran lancar dan anaknya dapat lahir normal. Maka teman saya membawa air Hu ini ke rumah sakit dan siap untuk diminum jika diperlukan. Teman saya ini belum dibaptis, tetapi ia sudah sering ikut kebaktian ataupun ke misa di gereja. Maka saya menganjurkan padanya agar tidak mimun air abu, jika sungguh mau mengikuti Kristus. Teman saya bergumul pada saat itu, mau ikut Kristus atau ikut kepercayaan mamanya. Saya mendampinginya di dalam kesakitannya (yang secara total hampir memakan waktu 24 jam), dan saya berdoa di sampingnya, memohon belas kasihan Tuhan. Puji Tuhan, anaknya lahir sehat dan normal. Saya bersyukur, bahwa sahabat saya itu tidak jadi minum air Hu, dan melalui hal ini kami sama-sama dikuatkan bahwa kuasa Tuhan lebih besar dari semua. Bahwa teman saya ini mengalami kesakitan sedemikian menjelang melahirkan, memang mungkin sudah menjadi rencana Tuhan, untuk mengajarkan kepadanya makna penderitaan yang mengantar kepada sebuah kemenangan.
Mengenai soal merokok, sudah pernah dibahas juga di situs ini, silakan melihat jawaban ini (silakan klik). Dari jawaban itu dijabarkan dasar ajaran Gereja Katolik perihal merokok. Dalam hal ini, kuncinya adalah penguasaan diri (temperance). Jika kita melihat orang merokok, kita tidak tahu apakah ia pecandu merokok atau hanya sesekali. Jika levelnya sudah kecanduan, itu sudah berdosa, dan ini berlaku untuk semua makanan, seperti kecanduan coklat, kecanduan makan di restoran, kecanduan makan indomie, dst, yang jika dilakukan di luar batas kewajaran maka akan berdampak negatif terhadap kesehatan. Namun demikian, saya pribadi tidak menganjurkan siapapun untuk merokok, karena faktor kelemahan fisik manusia, yang rentan terhadap resiko ketagihan.
Semoga uraian di atas dapat melengkapi penjelasan saya pada jawaban mengenai makanan sembahyangan. Mari bersama kita mohon rahmat kebijaksanaan dan pengendalian diri dari Tuhan agar dapat melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan baik, sehingga kita dapat menjadi saksi yang hidup akan kebenaran Injil dan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Shalom Ingrid, Paulus, Anna,
Terima kasih banyak untuk jawaban,penjelasan ataupun masukan dari semuanya, atas pertanyaan saya yang kemarin.
sekarang pikiran saya lebih terbuka.memang seharusnya kita sebagai pengikut Kristus harus berpegang teguh pada ajaranNya, berdasarkan Kitab suci yang merupakan sabdaNya dan melaksanakan perintah perintahNya dengan benar didalam hidup kita sehari hari.semoga rahmat Tuhan senantiasa menyertai kita,membuka hati dan pikiran kita, sehingga kita dapat hidup sesuai dengan yang dikehendakinya.Terima kasih semuanya.Tuhan memberkati…
Comments are closed.