Hidup itu seperti ping-pong,” kata si romo pengakuan dengan tenang setelah mendengar pengakuan dosaku. Aku agak kaget dan bingung dengan analogi si romo sehingga bertanya,“Maksudnya, Mo?” Beliau lalu menjelaskan bahwa hidup pertobatan tidak lepas dari perjuangan melawan godaan dan cobaan. Seringkali, manusia memandang kedua hal ini dengan tatapan ngeri atau benci, seolah berharap tatapan mereka bisa mengusir jauh-jauh kedua hal ini. Wajarlah. Siapa juga yang mau mendapat cobaan atau godaan?

Terus, si romo menganjurkan agar aku mengubah sudut pandangku. “Main ping-pong itu butuh lawan. Bayangkan kalau kamu main ping-pong, tapi nggak ada lawannya. Nggak seru kan? Begitu juga hidup. Cobaan dan godaan itu ibarat lawan tanding kita main ping-pong.” Aku mengangguk-angguk sambil membayangkan permainan ping-pong. Pas sekali analogi ping-pong si romo. Olahraga ini baru aku pelajari ketika berada dalam biara ini. Ternyata, lumayan seru juga ya. Sebelumnya, paling aku cuma jadi penonton setia. Kalau hidup seperti ping-pong, berarti aku harus menerima setiap cobaan dan godaan sebagai “partner” bermain “ping-pong hidup” ini. Belajar menikmati pergumulan akibat cobaan dan godaan yang datang.

Kemudian, aku bertanya,”Lah, Romo, masak kita menikmati godaan? Dosa terus dong?” “Yo ndak to, Nak”, jawabnya cepat. “Kan waktu kamu main ping-pong, kamu selalu berjuang menjadi lebih baik dan menikmati perjuanganmu itu. Kamu menikmati proses berjuang melatih diri sekaligus mengalahkan lawan. Kalau main cuma untuk asal pukul dan nggak jadi lebih pinter, buat apa main ping-pong?” Aku manggut-manggut lagi, tanda mengerti. “Bener juga ya, Mo.

Tapi, beliau mengingatkanku untuk tetap percaya dan berusaha. “Seringkali, ketika kita belum mampu mengalahkan satu lawan, kita frustasi. Lalu, kita putus asa dan merasa kita nggak mungkin bisa pinter main ping-pong. Akhirnya, kita berhenti main sama sekali karena merasa telah gagal.” Aku kaget (lagi), tertusuk kata-kata beliau. Memang, aku sering putus asa dan merasa tidak mungkin mampu menjadi orang kudus. Ternyata, aku harus tetap percaya dan berusaha. Ia sendiri yang memintaku untuk menjadi sempurna seperti Bapa-Nya (Mat 5.48). Ia pasti menyertai aku dalam perjalanan pertobatan ini.

Ketika satu lawan berhasil dikalahkan”, lanjut si romo,”akan ada lawan lain lagi yang lebih tangguh.” Aku mendengarkan sambil membayangkan perkembangan permainanku sendiri. Awalnya, mengembalikan bola aja aku nggak bisa. Lalu, perlahan aku mulai belajar servis, mengarahkan bola, hingga belajar smash. Nggak terasa, sekarang aku bisa. Paling nggak, aku tidak malu-maluin amat. Begitu pula, aku akan semakin kudus dan kudus berkat rahmat Allah, yang memurnikan aku melalui cobaan dan godaan yang datang dan pergi. “Yang penting, kamu tetap sabar dan menikmati proses. Nggak ada yang instan. Tuhan nggak pakai cara instan, termasuk ketika menebus kita. Dia sampai menderita begitu payah. Wong, mie instan aja tetep musti dimasak dulu,” si romo menutup penjelasannya dengan senyum lebar.

Aku harus banyak berlatih ping-pong kehidupan ini. Jelas, aku tidak mungkin menghilangkan partner-partnerku. Keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Cobaan datang untuk menguji kesetiaanku, sedangkan godaan datang dari Setan untuk menjatuhkan dan menjauhkan aku dari Allah. Tapi, keduanya diizinkan Allah untuk memurnikan aku. Aku ini hanya pemintal gulali yang tidak berpengalaman main ping-pong. Semoga Tuhan sudi mengajarku bermain ping-pong kehidupan.

Aku begitu tak berdaya untuk memanjat tebing terjal tangga kesempurnaan. Namun, dalam Kitab Suci, aku menemukan ayat-ayat Kebijaksanaan Abadi yang mengatakan : ‘Siapa yang tak berpengalaman, singgahlah kemari…’” – St. Therese Lisieux.