1. Penjelasan yang dikutip dari the Navarre Bible:

Di perikop ini Rasul Paulus mengajarkan agar para wanita memakai penutup kepala pada saat mengikuti ibadah. Hal ini adalah tradisi yang berlangsung pada jaman itu, yang menjadi ekspresi dari ungkapan hati. Di sini dapat disimpulkan bahwa pakaian yang terlihat dari luar menjadi penting karena mencerminkan disposisi hati/ sikap batin.

Rasul Paulus memberikan alasan teologis tentang pemakaian tudung kepala wanita adalah karena “kepala setiap perempuan adalah laki-laki, kepala setiap laki-laki adalah Kristus, kepala Kristus adalah Allah.” (lih. 1 Kor 11:3). Saat mengatakan hal ini, Rasul Paulus tidak bermaksud merendahkan martabat wanita, sebab para wanita mempunyai persamaan hak dengan kaum pria dan sama-sama dipanggil untuk hidup kudus, namun para wanita mempunyai misi yang khusus. Semua orang, baik perempuan maupun laki- laki dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala, dan melalui Kristus kepada Allah Bapa. Dasar ini ditegaskan kembali yaitu pada ayat 11-12, “…. dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki- laki dan laki- laki tanpa perempuan” sebab keduanya berasal dari Allah. Ini sesuai dengan yang diajarkannya juga dalam Gal 3:28. Jadi yang disampaikan di sini adalah adanya urutan/ struktur kebersamaan yang mengarahkan semua orang untuk dibangun ke arah persatuan dengan Kristus.

2. Ketentuan CDF tentang hal penutup kepala wanita

Magisterium Gereja Katolik, melalui pernyataan CDF (Kongregasi Doktrin Iman) yang berjudul Inter Insigniores, tertanggal 15 Oktober 1976, antara lain menyatakan bahwa ketentuan pemakaian kerudung pada wanita dalam ibadah, tidak lagi menjadi ketentuan normatif. Dokumen tersebut menyatakan demikian:

Another objection is based upon the transitory character that one claims to see today in some of the prescriptions of Saint Paul concerning women, and upon the difficulties that some aspects of his teaching raise in this regard. But it must be noted that these ordinances, probably inspired by the customs of the period, concern scarcely more than disciplinary practices of minor importance, such as the obligation imposed upon women to wear a veil on their head (1 Cor 11:2-16); such requirements no longer have a normative value….

3. Hal penutup kepala wanita dalam praktek ibadah umat Katolik

Berikut ini adalah tulisan tentang hal penutup kepala yang kami sarikan dari artikel karangan Colin B. Donovan, STL dari situs EWTN (Eternal World Television Network), silakan klik, sebagai berikut:

a. Memang pada KHK 1917 kan. 1262, 2 dikatakan bahwa pria dalam ibadah tidak perlu memakai tutup kepala, kecuali keadaan- keadaan khusus yang menentukan sebaliknya, dan perempuan harus mengenakan tutup kepala dan berpakaian sopan, terutama ketika mereka mendekati altar Tuhan.

b. Ketika KHK 1983 dipromulgasikan, kanon ini tidak dinyatakan kembali. Kanon 6, 1 (KHK 1983) menyatakan bahwa jika suatu kanon tidak dimasukkan dalam KHK yang baru ini, artinya sudah tidak diberlakukan lagi.

Dengan demikian, kewajiban kanonik bagi para wanita untuk memakai tutup kepala tidak lagi diharuskan.

4. Tinjauan Moral:

Meskipun demikian, ada pertanyaan, apakah ada kewajiban moral bagi para wanita untuk memakai tutup kepala, meskipun sudah tidak disyaratkan oleh KHK, mengingat hal itu disebutkan dalam 1 Kor 11:3-16?

Di sini yang harus diingat adalah tentu kewajiban moral untuk berpakaian sopan sesuai dengan keadaan (dalam hal ini, pada saat ibadah untuk menerima Komuni kudus) tidak pernah diabaikan. Namun hal kesopanan dalam berpakaian dapat bervariasi dari tempat ke tempat dan waktu ke waktu. St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kesopanan/ kebersahajaan berkaitan dengan empat hal tingkah laku:

1. Pergerakan pikiran menuju kesempurnaan, dan hal ini diatur oleh kerendahan hati.
2. Keinginan akan benda- benda yang berkaitan dengan pengetahuan, dan ini diatur oleh kerajinan/ kesungguhan hati, lawannya dari asal ingin tahu.
3. Pergerakan badan dan tingkah laku, yang mensyaratkan dilakukannya dengan semestinya dan dengan sejujurnya…
4. Penampilan luar, contoh dalam berpakaian dan sejenisnya. ((ST II-II, q.160, a.2))

Cara berpakaian, tingkah laku, dst. adalah tanda dari seseorang dan ini dipengaruhi oleh konteks budaya di mana orang itu tinggal… Kristianitas dapat menyesuaikan diri terhadap budaya dalam hal- hal tertentu, kecuali jika itu melibatkan dosa (cara berpakaian yang mengakibatkan godaan bagi jenis kelamin yang lain). Kesopanan/ kesederhanaan dalam berpakaian dan bertingkah laku merupakan tanda luar yang menunjukkan sikap batin.

Maka hal cara berpakaian (pria menggunakan peci bundar atau wanita dengan tudung pada masa Rasul Paulus) pada dasarnya adalah penerapan cara berpakaian yang sopan sesuai dengan tradisi/ kebiasaan pada saat itu… Maka hanya Magisterium yang berkompeten untuk menentukan kebiasaan- kebiasaan mana yang dapat dilaksanakan dengan sah, dan kebiasaan tertentu yang mana, yang dapat ditinggalkan, sementara hukum ilahi dipertahankan. Kita akan selalu aman pada saat mengikuti ajaran Gereja, daripada menuruti pertimbangan sendiri, sebab apa yang ditentukan/ diikat oleh Gereja, “akan terikat di surga, dan apa yang dilepaskan oleh Gereja akan terlepas di surga” (lih. Mat 16:13-18).

5. Makna tutup kepala: tanda “ketaatan” kepada pemimpin

Maka pemakaian tutup kepala bukan merupakan kewajiban moral, namun merupakan tanda ketaatan kepada pemimpin.

a. Arti kata ketaatan kepada pemimpin artinya adalah diarahkan dengan cara yang teratur kepada tujuan tertentu, di bawah pengarahan orang lain. Seorang pekerja taat kepada sang supervisor, supervisor kepada manajer, manajer kepada pemilik, sehingga perusahaan dapat berjalan mulus untuk mencapai tujuannya. Demikian halnya pada kehidupan menggereja.

1 Kor 11:3 …. Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah.
1 Kor 11:8-12 Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya…. dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.”

Dalam perkawinan Kristiani, suami adalah kepala istri, seperti halnya Kristus adalah kepala Gereja (lih. Ef 4:22-33)…Rasul Paulus mengingatkan hal penciptaan pria dan wanita, dan menyatakan bahwa wanita dibentuk dari pria, bukan sebaliknya. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan dalam Katekese kitab Kejadian, bahwa perkawinan bukan saja hanya sebuah sakramen Kristiani, tetapi juga sakramen kodrati tentang Persekutuan Pribadi dalam Trinitas. Ini mengajarkan kepada kita bahwa kesetaraan pribadi dalam sebuah persekutuan tidak menghancurkan tingkatan/ hirarkinya. Dalam kodrat ilahi, Allah Bapa adalah Kepalanya, dalam Gereja, Kristus adalah Kepalanya, dan dalam perkawinan, suami adalah kepalanya. Memang dalam keteraturan Kristiani, kasih menjadi motif pendorong bagi semua hubungan…

b. Mungkin pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Gereja melepaskan suatu praktek yang menandai keteraturan urutan hubungan kasih tersebut? Ada beberapa alasan yang saya pandang memungkinkan:

1. Hilangnya pentingnya makna tanda tersebut. Tanda- tanda adalah kekhususan suatu budaya. Suatu tanda, cara berpakaian, ekspresi menyampaikan arti yang dipahami oleh orang- orang pada budaya tertentu. Ketika budaya tidak lagi melihat pentingnya suatu tanda tertentu, maka tanda tersebut kehilangan makna, kecuali bagi mereka yang tetap mempertahankan pemahaman tersebut. … Gereja harus mengajarkan makna tanda sakramental. …Maka ketika pemakaian tudung itu sudah kehilangan makna, hal itu bisa tidak dipraktekkan lagi.

2. Konflik arti. Suatu tanda, meskipun artinya tetap berlaku, namun dapat memberikan arti yang menjadi penghalang bagi orang- orang pada budaya tertentu…. Dalam kasus penutup kepala ini, walau artinya tetap valid, namun dapat dengan mudah disalah artikan sebagai ketundukan semena- mena sang istri kepada suaminya, atau bahkan semua wanita kepada semua pria. Dalam dunia modern di mana persamaan martabat antara pria dan wanita sebagai pribadi- pribadi yang setara ditekankan, maka alasan ini merupakan alasan yang perlu dipertimbangkan. Kita tidak dapat menghalangi jiwa-jiwa untuk datang pada Yesus … Kanon terakhir dalam KHK mengingatkan kita bahwa keselamatan jiwa- jiwa merupakan hukum yang tertinggi dari Gereja (salus animarum suprema lex).

3. Teologi liturgis. Salah satu dari antara kebenaran- kebenaran doktrin yang dinyatakan dalam Misa adalah kodrat hirarki Gereja. Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus terdiri dari Kristus Sang Kepala dan mereka yang telah dibaptis dalam Kristus, sebagai anggota- anggota-Nya. Perbedaan tingkatan yang terlihat di dalam liturgi, antara imamat jabatan dan imamat bersama (pada umat) adalah tanda sakramental dari Kristus Sang Kepala dan anggota- anggota-Nya. Dalam liturgi dan keteraturan sakramental, kecuali bahwa mereka yang mewakili/ menghadirkan Kristus Sang Kepala harus laki- laki, pembedaan antara jenis kelamin tidaklah penting. Di dalam Pembaptisan “tidak ada laki- laki atau perempuan” (Gal 3:28). Oleh karena itu, dalam kehidupan Gereja tidak mensyaratkan pembedaan jenis kelamin; laki- laki dan perempuan berpartisipasi setara dalam Gereja sebagai orang- orang yang sudah dibaptis.

6. (Yang terpenting): Pribadi yang saleh

Meskipun jelas bahwa tidak ada kewajiban kanonik maupun moral bagi para wanita untuk mengenakan tutup kepala di gereja, para wanita tetap bebas untuk melakukannya sebagai ungkapan devosi pribadi. Mereka harus melihatnya sebagai tanda ketaatan/ tunduk kepada Tuhan… Mereka yang mengenakan tudung dan mereka yang tidak mengenakannya, tidak perlu menghakimi satu sama lain, tetapi membiarkan setiap wanita untuk memutuskannya karena jelas hal ini tidak menjadi kewajiban.

43 COMMENTS

  1. syaloom admin. terima kasih untuk ijin gabung, btw saya penah melihat gambar ada seorang wanita katolik memegang rosario tetapi menggunakan kerudung. dan beada didalam gereja mohon penjelasan tentang kerudung itu
    terima kasih Tuhan Memberkati

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca terlebih dahulu artikel di atas, silakan klik]

  2. Shalom katolisitas,
    Mohon penjelasan Katekese tentang Mantilla pada saat pembaptisan ?
    Terima kasih

    [Dari Katolisitas: Mantilla menurut pemahaman umum adalah istilah yang berarti ‘sebuah kain ringan atau syal sutra yang dipakai menutupi kepala dan bahu, oleh para wanita di Spanyol dan Amerika Latin.’ Maka nampaknya mantilla tidak terkait langsung dengan makna Baptisan. Tentang makna matilla/ kerudung wanita, silakan membaca artikel di atas, silakan klik].

  3. Shalom bapak/ibu Tay,

    Walau mungkin agak sedikit OOT, namun saya ingin menanyakan tentang 1 Korintus 11, khususnya pada ayat 14 ; “Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah kehinaan bagi laki-laki, jika ia berambut panjang,”

    Bagaimana kita bisa memahami ayat ini. Konon, Yesus sendiri berambut panjang (entah itu karya seni atau gambar-gambar di katakombe atau di kain kafan turin).

    Terima kasih sebelumnya. Berkah dalem.

    [dari katolisitas: Silakan melihat jawaban ini – silakan klik]

  4. https://www.facebook.com/photo.php?fbid=577048372329444&set=a.381990218501928.91063.381631208537829&type=1&theater

    “Bagi para perempuan yang berdoa dan bernubuat tak berkerudung dan dengan kepala mereka yang telanjang.

    Pada intinya seorang wanita membutuhkan penutup kepala selain rambutnya yang panjang (1 Kor 11:15) adalah pernyataan berikut: “‘Dan jika rambut diberikan kepadanya untuk menutupi,’ aku katakan kepadamu, ‘mengapa dia membutuhkan untuk menambahkan penutup lain? ‘

    Karena bukanlah secara alamiah saja, tetapi juga dengan kemauan sendiri agar mungkin memiliki bagian dalam ketaatan. Untuk itulah kamu harus ditutupi oleh alam sendiri oleh karena mengantisipasi berlakunya hukum ini. Dan sekarang, saya berdoa, dan kamu juga harus ambil bagian, supaya engkau tidak tampak untuk menumbangkan hukum yang sangat alamiah ini, agar bukti ketidak-sopanan kamu ini, tidak hanya menjadi pukulan bagi kami, tetapi bagi alam ini juga “.

    Oleh karena itu hijab adalah tanda ketaatan dan otoritas. Untuk menimbulkan kesadaran bagi perempuan untuk melihat ke bawah dan menjadi rendah hati serta menjaga seluruh kebajikan yang ada padanya. Kebajikan dan kehormatan yang telah diatur adalah untuk tinggal selalu di dalam ketaatan.”

    ✥ St. Yohanes Krisostomos, Homily XXVI, On the veiling of women ✥

    mohon tanggapan anda dalam menanggapi homili yang diberikan kepada Santo Yohanes Krisostomos?

    thanks

    • Shalom Krisna,

      Dalam homilinya tentang 1Kor 11:15 ini, St. Yohanes Krisostomus menjelaskan pengajaran Rasul Paulus tentang penutup kepala/ kerudung wanita, yang merupakan sesuai dengan kebiasaan yang umum berlaku di tempat itu (Korintus). Berikut ini kutipan yang saya terjemahkan dari beberapa kalimat sebelum teks yang Anda kutip itu:

      “Praktek yang selalu diterapkannya [oleh Rasul Paulus] untuk menyatakan sesuatu, umumnya mengadopsi alasan-alasan yang diambilnya juga di tempat tersebut, [agar] membawa dirinya sendiri menjadi bagian dari kebiasaan umum itu, dan sungguh membuat malu mereka yang menunggu untuk diajar olehnya mengenai hal-hal ini, yang bahkan dapat mereka pelajari melalui praktek sehari-hari…. “setiap laki-laki yang berdoa dengan kepala ditutupi menghina kepalanya”, dan juga, “tetapi jika adalah penghinaan bagi perempuan bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka hendaknya ia memakai kerudung….” (diterjemahkan dari Works of St. John Chrysostom, Homily XXVI on 1Cor 11:15, quoted from Nicene and Post-Nicene Fathers, First Series, Book 12, p. 153-154)

      Dari penjelasan di atas, St. Yohanes Krisostomus sendiri menyatakan bahwa Rasul Paulus umumnya mengambil alasan-alasan yang berlaku di suatu tempat untuk mengajarkan sesuatu, jika itu menyangkut kebiasaan tertentu, seperti halnya tentang kerudung wanita ini. Itulah sebabnya Magisterium Gereja Katolik, melalui pernyataan CDF (Kongregasi Doktrin Iman) yang berjudul Inter Insigniores, tertanggal 15 Oktober 1976, antara lain menyatakan bahwa ketentuan pemakaian kerudung pada wanita dalam ibadah, tidak lagi menjadi ketentuan normatif. Dokumen tersebut menyatakan demikian:

      Another objection is based upon the transitory character that one claims to see today in some of the prescriptions of Saint Paul concerning women, and upon the difficulties that some aspects of his teaching raise in this regard. But it must be noted that these ordinances, probably inspired by the customs of the period, concern scarcely more than disciplinary practices of minor importance, such as the obligation imposed upon women to wear a veil on their head (1 Cor 11:2-16); such requirements no longer have a normative value….

      Dalam hal ini umat Katolik berpegang kepada ketentuan dari Magisterium Gereja, dalam menginterpretasikan teks kitab Suci dan tulisan Bapa Gereja. Para Bapa Gereja dapat saja menuliskan sesuatu ajaran ataupun penjelasan akan teks Kitab Suci, namun pada akhirnya interpretasi yang benar ditentukan oleh Magisterium Gereja, yang telah diberi kuasa mengajar oleh Kristus sendiri (lih. Mat 16:18-19) dan oleh karena itu dijamin kebenarannya. Dengan cara inilah Gereja memperoleh pengertian yang benar dan kontekstual terhadap suatu ajaran dalam Kitab Suci.

      Namun demikian, tentang hal kerudung wanita, walau tidak dijadikan sebagai hal yang normatif ataupun keharusan, kebiasaan memakai kerudung pada saat ibadah merupakan sesuatu yang tetap dapat dilakukan dan tidak dilarang. Namun perlu juga disadari bahwa kerudung wanita tidak dapat dijadikan ukuran bahwa yang memakainya pasti lebih kudus hidupnya, ataupun lebih khusuk doanya. Dalam hal ini, adalah lebih baik untuk meneliti sikap batin masing-masing. Bagi para wanita yang ingin mengenakan kerudung saat ibadah, silakan dilakukan, itu baik. Namun bagi wanita yang tidak mengenakannya juga tidak perlu merasa bersalah, sebab hal itu tidak merupakan keharusan. Yang terlebih esensial adalah mengarahkan hati sepenuhnya kepada Tuhan yang hadir dalam perayaan-perayaan liturgis itu. Dengan penghayatan ini, para wanita (dan pria) selayaknya berpakaian yang sopan dan bersikap yang sesuai, sebagai cerminan sikap penghormatan kepada Tuhan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Shalom Katolisitas,

    Saya ingin bertanya..
    Apakah makna/tujuan para Biarawati memakai tudung kepala,adakah ianya sebagai syarat/kemestian atau sekadar budaya pemakaian?

    Mohon penjelasan..Terima Kasih

    • Shalom Matthews,

      Seorang Bapa Gereja, yaitu Tertullian (160), sudah menuliskan tentang kebiasaan pemakaian tudung kepala pada para wanita yang tidak menikah demi Kerajaan Allah. Makna tudung ini sepertinya serupa dengan tudung para wanita yang telah menikah, yang menjaga (preserve) kecantikan mereka hanya untuk suami mereka. Demikianlah tudung ini menjadi salah satu lambang bagi para wanita ini yang memberikan hidup mereka seutuhnya untuk Tuhan, untuk melayani Dia dengan hidup doa dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kasih kepada sesama. Awalnya mereka tetap hidup bersama keluarga mereka, dan baru pada akhir abad ke-3 berdirilah komunitas-komunitas biara para wanita ini demi pelayanan umat di Gereja.

      Berikut ini adalah keterangan yang kami sarikan dari New Catholic Encyclopedia, The Catholic University of America, volume XIV, 1967, p. 590:

      Kerudung religius, (veil) yang sama dengan velum dalam bahasa Latin, dalam penggunaan gerejawi (ecclesial usage), mengacu kepada kerudung yang digunakan pada para wanita religius. Umumnya berwarna putih (digunakan oleh para novis) dan hitam (pada para biarawati yang telah melakukan kaul). Ada banyak makna penggunaan kerudung ini, tetapi yang utamanya adalah sebagai lambang ikatan perkawinan/ persatuan mereka dengan Kristus. Pada kerudung hitam, juga memberikan makna keterpisahan mereka dari dunia.

      Di sana disebutkan bahwa pemakaian kerudung pada wanita-wanita religius adalah merupakan penggunaan gerejawi (ecclesial usage) yang mempunyai makna simbolis tertentu. Maka pemakaian kerudung ini memang bukan merupakan hukum mutlak dari Allah, namun berhubungan dengan kebiasaan gerejawi, yang memang mempunyai makna yang mendalam, sehingga sampai sekarang masih dipertahankan oleh banyak kongregasi biarawati di seluruh dunia, meskipun ada juga sejumlah kongregasi yang tidak mensyaratkannya, seperti beberapa kongregasi di Amerika, atau di Indonesia, yaitu beberapa suster Alma, yang bergerak dalam pelayanan masyarakat miskin.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. Selamat Sore,
    Saya ingin bertanya, menurut kitab Korintus perikop tentang Hiasan Kepala, bahwa para wanita pada zaman itu dihimbau oleh St. Paulus menggunakan penutup kepala …
    dan kalau saya liat-liat zaman dahulu, semua wanita mengenakan kerudung ( Santa Maria, Maria Magdalena, etc ) dan wanita yang tidak mengenakan kerudung konon dianggap wanita bayaran ( maaf kalau agak kasar )
    mengapa sekarang sepertinya hal itu hilang dari ajaran kita , apakah karena modernisasi, globalisasi, dan lain sebagainya ?

    [Dari Katolisitas: Tentang topik ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Gereja berhak menentukan disiplin ataupun tata cara ibadahnya, dengan tetap menjunjung tinggi inti ajaran iman. Mari menghormati keputusan Gereja, jika sekarang hal penutup kepala tidak lagi menjadi suatu keharusan, mengingat yang terpenting dalam penghormatan terhadap misteri iman yang dirayakan dalam liturgi adalah disposisi batin yang baik. Namun demikian, tetap disyaratkan hal kesopanan dalam hal berpakaian (KGK 1387) untuk menerima sakramen dengan layak.].

  7. Selamat malam.
    Damai Sejahtera bagi kita semua.
    Saya mau bertanya, didalam Alkitab menuliskan bahwa setiap wanita harus memakai penutup kepala waktu berdoa.Lantas mengapa wanita-wanita di Indonesia khususnya tidak menggunakan penutup kepala atau mantila saat ke Gereja?
    Terima kasih.

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca terlebih dahulu artikel di atas, silakan klik]

    • Terima kasih. Saya sudah membacanya. Namun saya mau bertanya.Mana yang paling diutamakan dan dipercayai sebagai sumber iman Katolik?Alkitab atau KHK? Di artikel tersebut juga menyebutkan bahwa : “Cara berpakaian, tingkah laku, dst. adalah tanda dari seseorang dan ini dipengaruhi oleh konteks budaya di mana orang itu tinggal… Kristianitas dapat menyesuaikan diri terhadap budaya dalam hal- hal tertentu, kecuali jika itu melibatkan dosa (cara berpakaian yang mengakibatkan godaan bagi jenis kelamin yang lain). Kesopanan/ kesederhanaan dalam berpakaian dan bertingkah laku merupakan tanda luar yang menunjukkan sikap batin.

      Maka hal cara berpakaian (pria menggunakan peci bundar atau wanita dengan tudung pada masa Rasul Paulus) pada dasarnya adalah penerapan cara berpakaian yang sopan sesuai dengan tradisi/ kebiasaan pada saat itu… Maka hanya Magisterium yang berkompeten untuk menentukan kebiasaan- kebiasaan mana yang dapat dilaksanakan dengan sah, dan kebiasaan tertentu yang mana, yang dapat ditinggalkan, sementara hukum ilahi dipertahankan. Kita akan selalu aman pada saat mengikuti ajaran Gereja, daripada menuruti pertimbangan sendiri, sebab apa yang ditentukan/ diikat oleh Gereja, “akan terikat di surga, dan apa yang dilepaskan oleh Gereja akan terlepas di surga” (lih. Mat 16:13-18).”
      Lantas, melihat kondisi dan keadaan berpakaian saat ini di Indonesia harus dikatakan sebagai mengikuti budaya?

      • Shalom Markus,

        Kalau Anda bertanya tentang sumber iman Katolik, maka jawabannya adalah: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Penjelasannya, silakan melihat link ini – silakan klik. Walaupun Kitab Suci menjadi salah satu pegangan iman, namun prinsip-prinsip yang diberikan tidaklah disertai dengan peraturan-peraturan detail. Peraturan-peraturan detail ini ada di dalam Kitab Hukum Kanonik. Sebagai contoh, Yesus memberikan perintah bahwa tidak ada perceraian, karena apa yang telah disatukan oleh Allah tidak dapat diceraikan manusia. Namun, apakah dalam kasus seseorang tertipu, memanipulasi istri, kebohongan status lajang padahal telah mempunyai beberapa istri, dll., maka perkawinannya tetap dianggap sah dan tidak terceraikan? Nah, prinsip-prinsip untuk menyelesaikan hal ini dapat dilihat di Kitab Hukum Kanonik (KHK). Dengan kata lain, apa yang kita percaya diwujudkan dengan peraturan yang lebih mendetail dalam KHK.

        Hal tentang cara berpakaian memang tidak diatur di dalam Kitab Hukum Kanonik 1983. Dalam menghadiri Misa, yang terpenting adalah berpakaian yang sopan, sama seperti ketika seseorang menghadap orang yang penting. Dengan demikian, pemakaian rok mini, baju dan kaus ketat, celana pendek, sandal jepit, tidak mencerminkan kesopanan ketika menghadiri Misa Kudus. Kalau ada wanita yang menggunakan penutup kepala saat mengikuti Misa tentu saja tidak dilarang.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        stef – katolisitas.org

  8. salam

    mw menambahkan di sini, knp grj2 di Indonesia tdk mencantumkn peraturan2 yg ditempelkn di dpn grj ttg berpakaian yg sopan saat di grj ato dlm wilayah grj sj krn yg sy ketahui di Vatikan jg ada peraturan2 spti tsb saat berada dlm wilayah grj spti tdk blh memperlihatkn belahan dada, rok tdk blh diatas lutut dll, pdhl org2 disna termasuk org2 yg bebas dlm berpakaian tp dituntut sopan saat di grj. Klo Vatikan sbg pusat agama Katolik tegas dlm menerapkan peraturan sopan dlm berpakaian, knp grj2 di Indonesia mlh sprtinya bebas pdhl Indonesia terkenal sbg negara yg sopan dlm berpakaian. Klo perlu sumber dari Katekismus dicantumkan jd biar umat Katolik tdk menganggap hal ini mengada2 khususnya org mudanya. Klo kt umat Katolik pnya peraturan tp tdk diterapkan untuk apa fungsi peraturan tsb dibuat. Jgn hanya menurut kesadaran pribadi msg2 tp kt tunjukkan klo kt umat beragama yg tau dn bs menghormati Junjungan(Tuhan)nya. Jgn lg kt dianggap sbg umat yg sk mengumbar aurat. Terima kasih

    • Shalom Honey,
      Terima kasih atas masukan Anda. Semoga masukan ini dapat ditindaklanjuti oleh mereka yang menjadi pemerhati liturgi di tanah air. Saya sendiri sudah menyampaikan masukan ini secara informal kepada beberapa orang yang tergabung dalam tim liturgi di paroki/ keuskupan, semoga dapat menjadi perhatian.
      Tentang berpakaian sopan, diajarkan dalam Katekismus dan sekilas pernah dibahas di sini, silakan klik.

      Katekismus juga sesungguhnya mensyaratkan cara bersikap dan berpakaian yang layak untuk menerima sakramen Ekaristi, sebagaimana disebutkan di sini:

      KGK 1387 Supaya mempersiapkan diri secara wajar untuk menerima Sakramen ini, umat beriman perlu memperhatikan pantang (Bdk. KHK, kan. 919) yang diwajibkan Gereja. Di dalam sikap (gerak-gerik, pakaian) akan terungkap penghormatan, kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus menjadi tamu kita.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  9. Shalom, beberapa waktu yang lalu saya membaca pernyataan demikian di sebuah website:

    Saya seorang wanita Kristen Pantekosta di Tomohon-Manado. Sudah sejak 3 tahun yang lalu Gembala Sidang kami mengajarkan kami para wanita untuk berkerudung ketika beribadah di gereja dan setiap kali berdoa di mana pun juga. Dan sudah 1 tahun terakhir ini kami diajarkan untuk berkerudung juga ke mana pun kami pergi, bukan hanya saat beribadah di gereja dan ketika berdoa saja, tentu juga selaras dengan gaya berpakaian yang selalu sopan dan tertutup (mungkin sekilas tampak seperti muslimah, tapi yang sebenarnya adalah sejarah membuktikan, bahwa wanita muslimlah yang mencontoh gaya berkerudung dan berpakaian wanita Kristiani jaman nabi-nabi dan para rasul).

    Women should cover her head as sign of authority on her head. Untuk menunjukkan kesederhanaan, kerendahan hati, kesopanan dan penundukan diri terhadap suaminya, dan untuk membuktikan martabatnya.
    Wanita harus bertudung kepala di tempat umum, yaitu memiliki tanda “WIBAWA oleh karena para malaikat” di kepalanya (1 KOR 11:10)

    The veil meant that she was to be respected and honored as a woman, without a veil she had no dignity, because they were in effect flaunting themselves publicly and shamefully.
    Thus, the veil served as a sign of the VALUE and GLORY of womanhood as GOD created her.

    The principle behind the wearing of veils is still needed today (bukan hanya di jaman Rasul Paulus!)until Maranatha.

    Seorang wanita Kristiani sudah seharusnyalah berpakaian dengan cara yang sopan dan TIDAK sembarangan dengan pakaian yang terhormat dan yang bermartabat, yang membuatnya bebas pergi ke mana pun dengan aman dan sangat dihormati sebagai terang dunia bercahaya di hadapan semua orang.
    Apabila bertudung kepala, berpakaian dengan sederhana dan sopan serta dengan pantas guna kemuliaan TUHAN kita, seorang wanita mempertinggi tingkat martabat dan nilai diri yang telah dikaruniakan TUHAN kepadanya.

    Shalom to all women. YAHWEH Elohim bless you :)

    Saya ingin bertanya, jadi apakah kita semua sebenarnya harus memakai kerudung seperti wanita muslim?

    • Shalom Monica,

      Sebagai wanita memang sudah seharusnya memakai pakaian yang sopan dan pantas, sehingga menonjolkan kesederhanaan (modesty). Dengan demikian, citranya sebagai seorang wanita yang sebenarnya dapat lebih menonjol. Namun, Gereja tidak pernah mengatur bahwa seorang wanita harus memakai penutup kepala. Kalau memang mereka mengartikan 1Kor 11:10 secara literal, maka bagaimana mereka mengartikan 1 Kor 14:34 “Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat.”?

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

      • Hi Stef,

        Jawaban anda tidak beda nya dengan “Cherry Picking”. Ini merupakan kelemahan dalam pemahaman ayat jika anda boleh memilah milah satu buku setebal alkitab tsb sebagian ditafsirkan secara literal, dan sebagian lainnya tidak.

        maka dengan demikian, kebenaran akan suatu pemahaman ayat akan berubah ubah.

        satu satu nya yg bisa dipakai menjadi filter adalah ucapan Buddha. “Jangan percaya pada siapapun, termasuk jangan percaya kepadaku. Kecuali hal itu adalah hal yg masuk akal”

        dan itu pun harus didukung oleh pemahaman dan wawasan yg luas sang penanya.

        [dari katolisitas: silakan melihat bagaimana menginterpretasikan Kitab Suci di sini – silakan klik]

  10. saya dulunya termasuk gol wanita spti itu, berpakaian sedikit terbuka untuk menarik lawan jenis ato sekadar untuk jd perhatian sekitar tp stlh mengetahui klo di KS kt dituntut berpakaian sopan, tdk bermewah2,sy berubah 360 derajat, serba tertutup walaupun tdk pke kerudung. Stlh sy renungkan kembali cara berpakaian sy dl mlh merugikn sy sendiri krn membuat sy dianggap wanita tdk baik dn pikiran sy tdk fokus kpd Tuhan krn msh terikat dg dunia yaitu penampilan luar sy. Untunglah Tuhan menyadarkan sy ttg cinta yg sia2 kpd keduniawian bahkan skrg jika meliht org yg berpakaian terbuka ato yg serba glamor cm bs prihatin pdhl dulunya psti iri. Smoga mrk yg msh terikat dg dunia yaitu yg lbh memperhatikan penampilan luar diingatkan oleh Tuhan untuk lbh menempatkan Tuhan dlm segala hal dlm hidup mrk

  11. Salam damai kristus
    – sangat di sayangkan mengapa peraturan yg sangat bagus (KHK 1917 kan. 1262, 2) ditiadakan ?
    – Dan mengenai pakaian yg sopan dalam beribadah mengapa tdk ditetapkan (sperti sekolah / sopan menurut org berbeda-beda jadi harus di tentukan oleh Gereja atau seperti saudara kita yg muslim lihatlah betapa sopan& berkharismanya mereka saat hendak beribadah)
    – (maaf) atau Gereja takut ditinggalkan umatnya bila peraturannya terlalu ketat (walaupun jelas tertulis di Alkitab mengenai itu (1 Kor 11:3-15)
    terimakasih

    • Shalom Honey,

      Hal ketentuan untuk berpakaian sopan diajarkan dalam Katekismus, hanya saja tidak disebutkan bahwa berpakaian sopan itu sama dengan memakai tutup kepala, terutama saat ibadah. Maka hal memakai tutup kepala atau tidak, itu disesuaikan dengan kultur/ budaya setempat, sebab Gereja menghormati kultur/ budaya-budaya yang beragam di dunia ini. Jika Anda menganggap bahwa adalah baik untuk memakai tutup kepala di saat ibadah, silakan dilakukan, Gereja Katolik tidak melarangnya. Bahwa hal itu tidak disyaratkan lagi dalam KHK 1983, disebabkan bukan karena Gereja takut ditinggalkan, tetapi karena memang Gereja melihat bahwa hal mendetail tentang cara berpakaian bukanlah merupakan hukum ilahi, namun merupakan tradisi/ kebiasaan tertentu. Maka yang dipertahankan oleh Gereja adalah bahwa yang terpenting adalah esensinya yaitu seseorang tetap harus berpakaian dan bertingkah laku sopan, sebab hal itu merupakan cerminan sikap batin. Dalam hal cara pakaian, yang terpenting adalah berpakaian sedemikian agar tidak mengakibatkan godaan bagi jenis kelamin yang lain. Inilah yang merupakan interpretasi yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik tentang ayat 1Kor 11:3-15. Maka sebagai umat Katolik, mari kita menerima ajaran ini dengan sikap ketaatan dan keterbukaan hati, sebab maksudnya juga baik dan luhur: yaitu Gereja tidak menentukan suatu standar yang sifatnya lahiriah semata untuk disamaratakan dan diterapkan oleh semua kultur dan budaya; melainkan Gereja menentukan suatu prinsip yang lebih esensial, yaitu pentingnya menjaga kesopanan, dalam sikap dan berpakaian demi menghormati pribadi manusia. Agar jangan sampai misalnya, dalam ibadah nampaknya sopan, tetapi di luar ibadah, sikapnya tidak mencerminkan kesopanan dan penghormatan terhadap martabat manusia. Hal esensial itulah (yaitu nilai-nilai kesopanan) yang lebih penting, walau perwujudannya tidak mesti sama di seluruh dunia.

      Dalam Katekismus, ketentuan tentang modesty (kesopanan, termasuk dalam berpakaian) itu disebutkan sebagai berikut:

      KGK 2521    Kemurnian menuntut sikap yang sopan. Ini adalah bagian hakiki dari pengekangan diri. Sikap yang sopan memelihara hal-hal pribadi manusia. Ia menolak membuka apa yang harus disembunyikan. Ia diarahkan kepada kemurnian yang perasaan halusnya ia nyatakan. Ia mengatur pandangan dan gerakan sesuai dengan martabat manusia dan hubungan di antara mereka.

      KGK 2522    Sikap sopan melindungi rahasia pribadi dan cinta kasihnya. Ia mengundang untuk bersabar dan mengekang diri dalam hubungan cinta kasih; ia menuntut, bahwa prasyarat-prasyarat untuk ikatan definitif dan penyerahan timbal balik dari suami dan isteri dipenuhi. Dalam sikap sopan itu termasuk pula kerendahan hati. Ia [kesopanan] mempengaruhi pemilihan busana. Ia [kesopanan] berdiam diri dan bersikap hati-hati ketika ada bahaya yang nyata akan sikap ingin tahu yang tidak sehat. Ia [kesopanan] menjaga keintiman [privacy] orang lain.

      KGK 2523    Ada sifat sopan dalam perasaan dan terhadap badan. Ia umpamanya protes terhadap penyalahgunaan tubuh manusia yang “voyeuristik” dalam iklan tertentu atau terhadap tuntutan media-media tertentu, yang melangkah terlampau jauh dalam menampilkan bagian-bagian yang sangat intim. Sikap sopan menggerakkan satu tata hidup, yang berlawanan dengan paksaan mode dan desakan dari ideologi yang berlaku.

      KGK 2524    Bentuk ungkapan sikap sopan ini berbeda dari kultur ke kultur. Tetapi di mana-mana terkandung gagasan mengenai martabat rohani yang khas untuk manusia. Ia tumbuh melalui tumbuhnya kesadaran pribadi. Mendidik anak-anak dan kaum remaja dalam sikap sopan ini berarti membangkitkan hormat terhadap pribadi manusia.

      KGK 2533    Kemurnian hati menuntut sikap yang sopan, yang terdiri dari kesabaran, kerendahan hati, dan perasaan halus. Sikap yang sopan melindungi keintiman seseorang.

      Semoga dapat diterima.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Salam damai Kristus
        terima kasih atas tanggapan sebelumnya

        “Gereja menentukan suatu prinsip yang lebih esensial, yaitu pentingnya menjaga kesopanan, dalam sikap dan berpakaian demi menghormati pribadi manusia. Agar jangan sampai misalnya, dalam ibadah nampaknya sopan, tetapi di luar ibadah, sikapnya tidak mencerminkan kesopanan dan penghormatan terhadap martabat manusia. Hal esensial itulah (yaitu nilai-nilai kesopanan) yang lebih penting, walau perwujudannya tidak mesti sama di seluruh dunia”.

        Sebelumnya saya ingin bertanya arti sikap dan berpakaian yg SOPAN saat mengikuti Ekaristi Suci (Misa)? tolog disebutkan dgn rinci misalnya (wanita) Boleh memakai Rok mini, celana ketat tipis/Laging, Baju dgn belahan dada/punggung rendah, baju tanpa lengan, (pria) Bercelana pendek , memakai sandal, (umat) BerBlackberry ria saat Misa.

        Karena Hal tersebut diatas sering (Banyak) kita jumpai saat kita mengikuti Misa (ekaristi kudus) di Gereja
        Kalau Gereja(kita umat Katolik) tdk mau membatasi tentang sikap dan berpakaian SOPAN di(sekitar) Gereja, maka jangankan untuk menghormati pribadi manusia, menghormati Tuhan Jesus Kristus yg hadir dalam Misa (Ekaristi Kudus) saja banyak umat TIDAK mau ( coba anda lihat dan perhatikan cara bersikap dan berpakaian umat Katolik di/sekitar Gereja)

        Hal prinsip Bersikap dan berpakaian sopan di Gereja tidak bisa kita serahkan kpd pribadi umat masing2, karena umat katolik terdiri dari banyak budaya/pendidikan/etnis yg cara berpikirnya berbeda-beda maka akan lahir bersikap dan berpakaian sopan menurut pribadi masing2 yg tentunya tidak kita inginkan (contoh” menurut gue rok mini/hot pant yg gue pake sopan kok, jadi gak apa2 di pake ke Gereja”)

        “dalam ibadah nampaknya sopan, tetapi di luar ibadah, sikapnya tidak mencerminkan kesopanan dan penghormatan terhadap martabat manusia”
        Pemikiran diatas adalah pemikiran yg (maaf)picik, seharusnya kita berpikir ” Dalam Ibadah saja sudah TIDAK sopan apalagi kalau di luar ibadah” (Penghormatan terhadap Tuhan Jesus saja TIDAK MAU, apalagi terhadap martabat manusia)

        Memang budaya dan nilai kesopanan di dunia berbeda-beda ,tetapi yg kita bahas di sini umat Katolik di Indonesia khususnya di Jakarta seharusnya masing-masing Keuskupan/Paroki mengeluarkan aturan yg sesuai dgn Norma kesopanan yg berlaku di tempat itu.{ paling tidak di setiap pintu masuk(disekitar) Gereja di beri spanduk/panflet berupa anjuran apa/pakaian yg Boleh/Tidak di lakukan/dipakai di dalam/sekitar Gereja.
        Karena saya melihat sekarang ini banyak umat Katolik(tdk semuanya) ke Gereja bersikap dan berpakaian seenaknya tanpa menghiraukan kehadiran Jesus Kristus pada saat Misa .

        1 Timotius 2:9 Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal,

        terima kasih ‘GBU

        • Shalom Honey,

          Secara prinsip, tidak ada dokumen yang mengatur secara persis bagaimana berpakaian sopan, karena setiap daerah atau negara mempunyai perbedaan budaya. Di Irian jaya, mungkin dengan cara pakaian mereka, kita menyebutnya tidak sopan, namun di daerah mereka, itulah cara berpakaian yang layak sebagai wujud dari sikap menghormati. Dengan demikian, parameter dari berpakaian sopan adalah pakaian yang menunjukkan sikap hormat, karena kita akan bertemu dengan Raja dari segala raja, yaitu Kristus sendiri. Jadi, kita dapat memikirkan, kalau orang tua atau murid akan menghadap kepala sekolah, menghadap pejabat, menghadap presiden, maka pakaian apa yang dikenakan? Dengan prinsip ini, maka memang tidak sepatutnya, kalau seorang perempuan memakai rok mini, pakaian terbuka, dandan yang berlebihan. Sebaliknya, tidaklah sepatutnya kalau seorang pria ke gereja hanya dengan mengenakan celana pendek dan sandal jepit – kecuali dia tidak mempunyai celana panjang yang layak dan sepatu yang layak. Di Vatikan dan gereja-gereja di Eropa cukup ‘strict‘ dengan peraturan ini. Walaupun orang telah mengantri berjam-jam untuk masuk ke Basilika St. Petrus di Vatikan, namun kalau dia memakai rok mini dan pakaian yang terbuka, maka mereka tidak diperbolehkan masuk.

          Mungkin sudah saatnya para pastor juga mulai mengingatkan tentang berpakaian yang sopan di dalam gereja. Cara yang mungkin baik adalah dengan menyediakan selendang / syal yang dipinjamkan kepada umat yang memakai pakaian kurang pantas dan setelah misa dapat mengembalikan lagi ke panitia yang bertugas. Dengan cara ini, maka lama-kelamaan umat akan semakin menyadari pentingnya untuk berpakaian yang baik, sebagai wujud penghormatan kita kepada Kristus dan agar kita juga tidak mengganggu yang lain. Kalau mau, anda juga dapat membuat usulan kepada pastor di paroki anda. 

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – katolisitas.org

          • Salam damai Kristus
            Terima kasih Pak Stefanus Tay atas tanggapan sebelumnya

            “Di Vatikan dan gereja-gereja di Eropa cukup ‘strict‘ dengan peraturan ini. Walaupun orang telah mengantri berjam-jam untuk masuk ke Basilika St. Petrus di Vatikan, namun kalau dia memakai rok mini dan pakaian yang terbuka, maka mereka tidak diperbolehkan masuk.”

            Mengapa tidak seluruh Gereja Katolik memberlakukan aturan seperti di Vatikan? Bukankah Hirarki Gereja Katolik (yg Satu) dari Vatikan? (maaf) atau Gereja Katolik takut ditinggalkan umatnya bila peraturannya terlalu ketat.
            (kecuali di daerah tertinggal (Papua merupakan daerah tertinggal, mereka pun tdk ingin berpakaian seadanya mengikuti Ekaristi, tetapi karena keadaan & ketidak mampuan mereka untuk memiliki pakaian yg layak yg memaksa mereka berpakaian seadanya. Lain halnya di kota-kota besar seperti di Jakarta, di sini umat “Katolik” dengan SENGAJA berpakaian TIDAK LAYAK mengikuti Ekaristi Kudus.

            Maksud saya menulis di sini agar pihak Katolisitas.org (yg beranggotakan org2 pandai yg mengerti banyak mengenai kerohanian serta para Romo yg mempunyai akses langsung ke Keuskupan atau mungkin yg sering memberikan ceramah pada seminar-seminar) tidak hanya menyarankan secara normatif di dalam Websites saja’ tetapi mengajak & menyadarkan umat Katolik yg tdk tahu bersikap/berpakaian sopan dengan cara mengangkat masalah ini sebagai headlines atau seminar-seminar di paroki-paroki (khususnya Jakarta), karena ini tanggung jawab seluruh umat Katolik dan saya melihat web Katolisitas.org ini yg paling banyak dikunjungi umat Katolik ‘jadi melalui web ini saya berharap umat bisa diberi pengertian untuk bersikap/pakaian sopan terlebih saat mengikuti Ekaristi Kudus.
            Saya beberapa kali mengirimi email ke sekertariat paroki yg umatnya bersikap/berpakaian tdk sopan dlm mengikuti Ekaristi (kadang saya mengikuti Ekaristi di paroki berbeda dikarenakan keperluan di daerah tersebut di sekitar Jakarta) tetapi tdk ada tanggapan atau perubahan atau paling tdk di pasang pamflet/anjuran di sekitar Gereja mengenai bagaimana bersikap/berpakaian yg sopan di/sekitar Gereja.
            Saya bukannya kurang kerjaan mengurusi cara umat Katolik bersikap/berpakaian tetapi justru karena “mereka” menyebut dirinya umat Katolik tetapi bersikap/berpakaian seenaknya dalam mengikuti Ekaristi Kudus tetapi dibiarkan & tdk ditegur oleh pihak Gereja (Paroki) saya jadi malu mengaku sebagai umat Katolik (dulu di Paroki tempat saya dibaptis, sebelum Misa Romo selalu berdiri di depan Gereja& akan menegur/ menyuruh umat pulang kalau kedapatan berpakaian tdk sopan masuk Gereja (mudah2an masih begitu).
            Coba pak Stef bayangkan 50/100 tahun kedepan bagaimana sikap/cara berpakaian umat Katolik kalau hal ini kita diamkan .
            Memang sebagian org akan menganggap kita kuno/tdk modis tetapi ingat Iman itu memang KUNO & tdk modis DIA tdk berubah walaupun sdh 2000 thn lebih. Janganlah kita merubah Iman kita karena tuntutan zaman
            Tuhan Jesus Memberkati

          • Saya setuju dengan pandangan bahwa kita harus menyesuaikan hati dengan siapa yang kita hadapi, forum yang kita hadiri, acara yang kita alami, dan hal itu terungkap dalam pakaian yang kita kenakan. “Salah Kostum” bila kita ke pantai memakai baju pesta. “Salah kostum” pula jika kita mau menyambut Tuhan dalam perayaan ekaristi di Gereja dengan pakaian rekreasi. Kasus “Salah Kostum” seperti ini jika menjadi habitus atau kebiasaan, akan memuat mentalitas memerosotkan yang ideal menjadi semaunya sendiri.
            Nanti bisa pula segala hal dimerosotkan sesuai keinginannya sendiri, tak hanya pakaian, bisa pula hukum dan peraturan bahkan sikap hormat terhadap Sang Kehidupan.

            Tugas kita mengingatkan terus menerus. Bisa dengan tulisan di gereja, melalui media paroki, maupun internet ini, kita selalu mengingatkan.
            Membangkitkan rasa malu jika melanggar etiket berpakaian di gereja perlu penyadaran terus menerus Beberapa umat yang peduli akan hal ini pun telah melakukan upaya yang nyata. Contohnya, ibu Anne Avantie di kota Semarang, merancang busana khusus yang baik untuk mengikuti ekaristi. Dalam buku “Kumpulan Tulisan Anne Avantie, Saat-Saat Penuh Kasih”, yg diterbitkan oleh Majalah Inspirasi, Semarang 2009, hlm 3-10, ditampilkan contoh busana yang pantas dan tidak pantas di rumah Tuhan, beserta gambar-gambarnya.

            Saya setuju jika di kota besar seperti Jakarta, gambar-gambar itu dipajang di tempat dan media yang tepat agar merasuki kesadaran orang. Mirip dengan menyadarkan orang memakai helm, dengan gambar di mana-mana, akhirnya orang lambat laun sadar.

            Salam
            Yohanes Dwi Harsanto Pr

          • salam damai Kristus
            terimakasih Romo atas tanggapan sebelumnya

            “Tugas kita mengingatkan terus menerus. Bisa dengan tulisan di gereja, melalui media paroki, maupun internet ini, kita selalu mengingatkan”.
            jangan hanya mengingatkan,karena mereka yg di ingatkan akan lupa kembali(yg paling penting) dari pihak Gereja sendiri(keuskupan) memberikan aturan tata cara berpakaian/bersikap yg sopan dalam mengikuti Ekaristi ( seperti seragam sekolah yg di tentukan sekolah bila siswa tdk mengikuti di suruh pulang).

            saya tdk bermaksud mengatakan kita ke Gereja mengenakan seragam tetapi KETENTUAN di dalam berpakaian itu sendiri yg (harusnya) ditentukan oleh Gereja Misalnya(wanita) TIDAK Boleh memakai Rok mini, celana ketat tipis/Laging, Baju dgn belahan dada/punggung rendah, baju tanpa lengan, (pria)TIDAK BOLEH Bercelana pendek , memakai sandal, (umat)TIDAK BOLeH BerBlackberry ria/Menggunakan HP saat Misa.
            Maaf Romo saya tdk bermaksud mengatur tetapi kenyataannya MEMANG kita tdk cukup hanya mengingatkan tetapi Gereja hrs MENEGUR umat Katolik dewasa ini karena kalau tidak, coba Romo bayangkan bagaimana 50/100 tahun kemudian (umat Katolik)bersikap/berpakaian dlm mengikuti Ekaristi bila sekarang Gereja Tidak Mau bertindak ?

            Salam

          • Shalom Honey,
            Sejujurnya, saya dapat memahami kepedulian Anda, dan apa yang Anda usulkan sesungguhnya baik. Semoga para Romo dan mungkin juga mereka yang juga prihatin akan masalah ini (misalnya mereka yang ada di seksi liturgi ataupun dewan paroki) yang membaca situs ini, dapat menjadikan usulan Anda sebagai masukan. Hal mengingatkan itu memang perlu, tetapi sesungguhnya juga mungkin baik jika disampaikan, setidak-tidaknya dalam semacam papan pengumuman, tentang sikap dan busana yang pantas dalam mengikuti perayaan Ekaristi. Hal ini pernah saya lihat juga diterapkan di beberapa gedung gereja Katolik di Vatikan, dan beberapa negara Eropa lainnya.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Salam damai Kristus

            Terimakasih kpd bu Ingrid & seluruh Staff Katolisitas.org karena pelayanannya kpd umat melalui web ini.
            Maksud saya (sekali lagi) menulis (ini) di sini agar pihak Katolisitas.org [yg beranggotakan org2 pandai yg mengerti banyak mengenai kerohanian serta para romo yg (mungkin) mempunyai akses langsung ke Keuskupan atau mungkin yg sering memberikan ceramah pada seminar-seminar] tidak hanya menyarankan secara normatif di dalam websites saja’ tetapi mengajak & menyadarkan umat Katolik yg tdk tahu bersikap/berpakaian sopan dengan cara mengangkat masalah ini sebagai headlines atau seminar-seminar di paroki-paroki (khususnya Jakarta).
            Minggu tgl 11 Maret 2012 saya ber-Ekaristi di Paroki Regina Caeli PIK, dan yg kita takutkan sbg umat Katolik terjadi, terlihat di dalam Gereja umat (beberapa wanita dewasa) dgn santainya mengenakan hotpant (celana pendek sekali) mengikuti Ekaristi Kudus, saya tdk bisa membayangkan umat Katolik nantinya(50/100 thn mendatang) jika hal-hal demikian dibiarkan. (Tgl 22-02-2012 diadakan seminar di Regina Caeli dgn pemandu dari Katolisita.org), kiranya hal tentang bersikap & berpakaian sopan (yg sering sy ulas) ini dapat langsung disampaikan kpd kepala/dewan/umat paroki Regina Caeli (ma’af bukan menghakimi) tetapi coba perhatikan cara bersikap & berpakaian beberapa ‘oknum’ umat paroki Regina Caeli. Sy sdh pernah mengirim email (tentang bersikap&berpakaina sopan ) tetapi tdk ada tanggapan, mungkin pihak paroki RC menganggap hanya suara 1 org Katolik yg ketinggalan zaman, maka dgn ini sy mohon pihak Katolisitas.org (kalau mau) untuk menyampaikan hal ini yg mudah-mudahan didengar pihak Paroki RC, karena ini tanggung jawab seluruh umat Katolik dan saya berharap masalah ini (bersikap&berpakaian sopan) terlebih saat mengikuti Ekaristi Kudus, jangan kita anggap masalah kecil, dan harus terus menerus kita ingatkan (lebih bagus lagi setiap Misa diumumkan pd saat pengumuman penutup/pembuka) karena bila tidak diingatkan, akan menyebabkan regenerasi umat Katolik yg ‘semau gue’ dlm bersikap & berpakaian kala mengikuti Ekaristi Kudus.
            [Memang tanggung jawab seluruh umat Katolik, tetapi tidak semua umat bisa/mempunyai kesempatan/sarana untuk menyampaikan hal-hal baik (yg kadang tdk di sukai) secara langsung kepada seluruh umat terlebih kpd pihak (hirarki) yg lebih tinggi].

            Tuhan Yesus memberkati

          • Shalom Honey,

            Terima kasih atas keprihatinan Anda soal cara berpakaian yang layak dan sopan untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Percayalah bahwa hal itu merupakan keprihatinan semua orang yang berkehendak membangun penghayatan iman yang lebih baik di dalam jemaat/ Gereja.

            Hal keprihatinan Anda sudah saya sampaikan kepada seksi Liturgi dari Paroki Regina Caeli. Mari kita doakan agar menjadi perhatian bagi para pengurus di Paroki tersebut, dan ada langkah konkret yang dilakukan, seperti memasang semacam poster yang menjelaskan secara visual tentang cara berpakaian mana yang baik dan tidak baik untuk mengikuti Misa, demikian juga larangan untuk makan dan minum serta berBBM/sms ataupun menggunakan alat komunikasi/ telpon di gereja.

            Kami juga akan mengingat akan topik tersebut, dan jika memang ada kesempatan, seperti halnya seminar pada hari Minggu ini di Pontianak, akan kami sampaikan kepada umat. Mohon dukungan doa Anda agar maksud baik kita ini dapat menjadi perhatian umat.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • tambahan…

            maaf romo, (kebanyakan) org memakai helm bukan karena sadar melihat gambar/peringatan, tetapi karena TAKUT ditangkap/sangsi oleh Polisi,(Kebanyakan) umat Katolik juga tidak akan SADAR (dalam hal bersikap/berpakaian sopan saat mengikuti Ekaristi) hanya dengan melihat gambar peringatan saja, tetapi harus diatur oleh Gereja. Sama dgn analogi memakai helm lama kelamaan nanti umat Katolik akan lebih baik dalam bersikap/berpakaian saat Ekaristi.
            Salam

  12. Shallom…
    apa maknanya sabda Allah mengenai “Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat w dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. x 11:6 Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya” ( 1 Kor 11:5-6). Apakah maksud “tudung” itu sendiri?

    ^_^ thanks…

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas terlebih dahulu, silakan klik karena sudah sekilas dibahas di sana.]

  13. Berangkat dari pengertian bila misa / ekaristi adalah perayaan pesta surgawi di dunia bukan perayaan duniawi saja yang berarti memang kita seharusnya, selayaknya dan sepantasnya memakai pakaian yang sopan, karena kita menghadiri pesta surgawi.
    Masalahnya adalah setiap individu bisa menafsirkan pakaian yang sopan itu menurut diri mereka sendiri bila memang tidak ada aturan khusus umat berpakaian menghadiri misa. Ada yang merasa sudah cukup sopan bila menghadiri perayaan misa / ekaristi dengan celana pendek, memakai sandal jepit, kaus tanpa lengan yang pria, sedangkan yang wanita disamping ada yang bercelana pendek atau tiga perempat, ada yang memakai rok sudah mini menerawang pula bahkan menjadi pelayan misa (koor / organis) pula.
    Sungguh memprihatinkan sebenarnya bila ini terjadi terus menerus di Gereja kita tericinta ini bahwa kita disamping harus layak dan pantas hati kita secara rohani saat merayakan misa itu, namun juga secara phisik kita harus berpakaian layak dan sopan. Siapa yang salah ? Apakah saat katekumen hal – hal seperti ini tidak diajarkan ya ? Maaf saya sudah cukup lama dibaptis dan sekarang saya sudah cukup tua jadi banyak yang lupa tapi seingatnya saya hal – hal seperti ini tidak diajarkan.
    Bagaimana cara memperbaikinya, agar hal tersebut bisa berubah, bukankah sebenarnya kitab suci juga sudah mengajarkan bahwa bila kita merayakan perayaan Tuhan adalah dengan mengenakan pakaian terbaik yang kita miliki. Kalau tidak salah mengenai seorang janda ke bait suci mengenakan pakaian terbaik satu – satunya.
    Mohon pencerahan dari romo atau pengasuh. Tuhan Yesus memberkati kita semua !

    • Petrus,

      Saya setuju bahwa dalam menyambut Kristus pada Perayaan Ekaristi, orang Katolik harus bersiap diri dan hormat. Salah satu wujud rasa hormat ialah berpakaian yang sepadan dengan keagungan misteri iman yang ia rayakan itu. Saya juga setuju bahwa hal ini disinggung dalam pelajaran bagi calon baptis dewasa, calon penerima komuni pertama, calon penerima sakramen krisma. Untuk calon penerima sakramen perkawinan tak perlu disinggung karena khusus untuk misa pemberkatan sakramen perkawinan pengantin dan keluarganya berpakaian lebih dari pantas.

      Secara sosial, kita memakai common sense, bahwa aneka profesi menuntut pakaian tertentu. Aneka peristiwa penting juga menuntut pakaian khusus. Berbagai kegiatan pun ada pakaiannya masing-masing. Pakaian untu rektreasi tentu lain dari pakaian untuk pesta dan lain pula dari pakaian berkebun dan memasak atau resepsi kenegaraan dan ibadah. Pakaian ibadah kita hendaknya sederhana namun pantas, tidak berlebihan, tidak pula asal-asalan seadanya. Pendek kata, tidak membuat jidat orang berkerut atau mata membelalak melihat gaya kita berpakaian. Lebih bagus lagi jika pakaian atau aksen pakaian yang kita pakai mengindahkan warna liturgi hari itu. Bukankah gaya dan jenis pakaian juga merupakan cara menghargai sesama dan diri sendiri?

      Salam
      Y. Dwi Harsanto Pr

      • Terima kasih romo atas pencerahannya ! Terus terang saat misa, sangat risi melihat kondisi demikian dan hanya bisa mendoakan semoga di lain waktu saudara – saudariku itu menyadari bahwa mereka hadir dalam pesta surgawi sehingga sebagai undangan Tuhan mereka bisa memakai pakaian yang pantas.

  14. apakah benar dulu Gereja Katholik pernah mengeluarkan hukum kanon ttg pemakaian kerudung ( mantilla atau chapel veil) pada saat misa kudus?
    kl tak salah thn 1917 Kanon 1262 sprti di http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?t=7460&sid=9123e2b2c48e78f5801945e3694346ba
    GBU

    [Dari Katolisitas: Ya, seperti sudah tertulis di atas: (berikut ini kutipannya):
    a. Memang pada KHK 1917 kan. 1262, 2 dikatakan bahwa pria dalam ibadah tidak perlu memakai tutup kepala, kecuali keadaan- keadaan khusus yang menentukan sebaliknya, dan perempuan harus mengenakan tutup kepala dan berpakaian sopan, terutama ketika mereka mendekati altar Tuhan.

    b. Ketika KHK 1983 dipromulgasikan, kanon tersebut tidak dinyatakan kembali. Kanon 6, 1 (KHK 1983) menyatakan bahwa jika suatu kanon tidak dimasukkan dalam KHK yang baru ini, artinya sudah tidak diberlakukan lagi.

    Dengan demikian, kewajiban kanonik bagi para wanita untuk memakai tutup kepala tidak lagi diharuskan.]

  15. Shalom Bu Ingrid,

    Masih mengenai soal ular. Saya masih bertanya-tanya, kenapa Mengapa Tuhan menggunakan ular untuk menjelaskan hal yang positif padahal ular sangat indentik dengan Iblis? Kok kelihatannya tidak konsisten dan membingungkan? Bukankah si ular itu sudah dikutuk oleh Tuhan ketika berhasil memperdaya Hawa dan Adam? Lalu kenapa bisa dipakai lagi oleh Nabi Musa dengan tongkatnya, dsbnya? Mohon pencerahan. Terima kasih. JBU.

    Salam,

    Simon

    • Shalom Simon,

      Perlu kita sadari bersama, bahwa yang namanya perumpamaan pasti tidak dengan sempurna menyampaikan makna yang ingin disampaikan. Ada hal- hal tertentu yang secara terbatas menyampaikan sifat/ arti utama, namun tidak bisa semuanya diartikan serupa. Contohnya ketika Yesus mengatakan bahwa Ia adalah pintu (Yoh 10:9), maka kita ketahui bahwa maknanya adalah Ia adalah seorang yang harus dilewati untuk sampai kepada keselamatan. Tetapi tentu Yesus serupa dengan papan kayu yang mempunyai knob (pegangan) dan kunci.

      Sama dengan perumpamaan ular tembaga yang ditinggikan oleh Musa, menjadi tanda/ gambaran salib Kristus. Ular tidak berbisa yang terbuat dari tembaga yang dipandang dengan iman, dapat menyembuhkan luka-luka yang berbisa karena pagutan ular (lih. Bil 21:9). Yesus Penyelamat kita yang tidak berdosa, mengambil rupa manusia dengan tubuh yang serupa dengan tubuh manusia lain yang berdosa, namun Ia menyembuhkan semua luka- luka dosa yang beracun dan selanjutnya memberikan kehidupan yang kekal.

      Maka perumpamaan ular tembaga yang ditinggikan di tiang Musa dengan Kristus yang ditinggikan di kayu salib bukan untuk disamakan artinya secara persis. Perumpamaan itu hanya ingin menyampaikan adanya perbandingan makna dalam hal- hal tertentu, seperti telah saya sebutkan di atas.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Shalom Bu Ingrid,
        Terima kasih atas jawabannya.
        Kalau tentang perumpamaan dengan kata-2 atau benda seperti pintu atau lainnya saya bisa pahami/mengerti bahwa perumpamaan tsb pasti tidak sempurna. Cuma yang menjadi rancu bagi saya adalah Binatang Ular (bandingkan dengan Domba atau Merpati). Kedua hewan ini selalu berkonotasi Positif. Coba kalau digambar/umpamakan bahwa Domba atau merpati pada satu waktu dipakai untuk menjelaskan hal-hal yang positif dan diwaktu yang lain dipakai juga untuk menjelaskan hal-hal yang negatif, kan bisa jadi bingung?
        Sama halnya dengan ular ini. Ular yang diceritakan di Alkitab itu ular benaran kan? Termasuk tongkat Nabi Musa yang bisa merubah menjadi ular bukan sekedar “perumpamaan” bukan? Apalagi sampai dibuatkan ular tembaga. Bahkan Yesus pernah menegur orang-2 dengan mengatakan mereka “keturunan ular beludak” (kalau gak salah) yang berkonotasi negatif. Hal ini yang membuat saya bingung karena kelihatannya hal yang positif dan negatif menyatu dalam satu mahluk yang namanya ‘Ular’. Maaf kalau komentar dan pertanyaan saya agak bias. Karena saya tidak paham maka saya bertanya. Terima kasih sekali lagi. JBU.

        Simon

        • Shalom Simon,

          1. Ular dalam Alkitab: sekedar perumpamaan?

          Yang saya maksud dengan perumpamaaan adalah bahwa Tuhan Yesus mengambil kisah ular tembaga yang ditinggikan Musa tersebut dan membandingkannya dengan Diri-Nya yang ditinggikan di tiang salib (Yoh 3:14). Sebab Tuhan Yesus tentu bukanlah ular tembaga, sehingga gambaran itu merupakan metafor atau perumpamaan di mana ada makna yang berkaitan antara keduanya.

          Sedangkan kejadian bangsa Israel dipagut ular dan menerima kesembuhan dengan memandang patung ular tembaga yang ditinggikan oleh Musa, itu adalah kisah nyata dan bukan perumpamaan.

          2. Mengapa Yesus menggunakan lambang ular?

          Ya, terus terang ini suatu misteri. Namun kalau menurut penjelasan yang saya ketahui adalah sebab Tuhan Yesus ingin menyampaikan adanya ‘kemiripan’ maknanya sebagai berikut:

          Bangsa Israel yang dipagut ular berbisa memperoleh kesembuhan dengan memandang patung ular tedung (ular yang tidak berbisa) yang ditinggikan di tiang (lih. Bil 21:8-9); sedangkan umat manusia yang berdosa, memperoleh kesembuhan/ pengampunan dosanya, dengan percaya kepada Kristus yang tidak berdosa, yang ditinggikan di kayu salib. Mengapa ular? Ular merupakan lambang Iblis/ dosa. Nah, tubuh manusia juga sering dikaitkan dengan kelemahan daging/ dosa. Tuhan Yesus yang adalah Allah, rela mengambil rupa tubuh manusia, yang sering dihubungkan dengan kedagingan/ dosa, walaupun Ia sendiri tidak berdosa. Maka sama seperti ular tedung yang tidak berbisa itu dapat menjadi sarana Allah menyembuhkan manusia yang digigit ular berbisa, maka Kristus yang tidak berdosa itu juga menjadi jalan bagi Allah untuk menyembuhkan manusia dari dosa. Sebab salib Kristus itu memang adalah tanda kasih Tuhan, tetapi juga suatu bukti kekejaman dosa dan akibatnya yang begitu tragis kepada Yesus Sang Penebus kita, Allah yang rela mengambil rupa seorang hamba, yang disiksa sampai mati karena menanggung dosa semua umat manusia.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  16. Terima kasih Katolisitas.
    Itu amat membantu saya dalam mendalami iman saya.
    Boleh menanyakan hal lain di lain waktu? Dan boleh membritakan situs ini ke umum?

    Trims.

    [Dari Katolisitas: Ya, silakan bertanya, hanya mohon kesabarannya jika tidak langsung dibalas. Silakan juga memberitakan situs ini kepada saudara/ teman- teman anda, jika memang anda pandang berguna]

    • Terima kasih juga katolisitas, hal yang selama ini yang membuat saya penasaran akhirnya terjawab. dulu waktu saya di jepang sangat heran melihat suasana dalam gereja, sewaktu perayaan ekaristi para wanita semua memakai kain kerudung. Setelah beberapa waktu saya juga pergi ke korea dan saya masih menemukan hal yang sama. jadi memang ini budaya mereka….

      Tetapi justru yang menyedih di budaya kita orang Indonesia apabila kegereja cendrung menonjolkan kemewahan dalam berpakaian, dan yang sangat menyedihkan lagi memakai pakaian yang kurang pantas dan kurang enak di pandang mata, sehingga mengganggu konsentrasi dalah beribadah.

      Salam Terima kasih

      Mike

      • Shalom Mike,
        Ya, adalah suatu realita yang menyedihkan jika ada umat Katolik tidak berpakaian yang pantas untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa penampilan luar merupakan cerminan sikap batin. Maka jika kita sungguh menghayati bahwa kita menyambut Kristus sendiri di dalam Ekaristi, selayaknyalah kita bersikap sopan di gereja, berpakaian rapi dan tidak berlebihan. Kita harus menghayatinya sebagai perjumpaan kita dengan Tuhan; maka dengan berpakaian apakah kita adakan datang ke hadapan-Nya? Jika kita mempunyai sikap batin seperti ini, maka kita tidak akan memakai pakaian sekenanya ke gereja, seperti memakai celana pendek dan sandal jepit (apalagi jika kenyataannya kita mempunyai banyak pakaian yang lebih layak pakai), baju tanpa lengan/ ‘spaghetti line‘/ tank top bagi wanita, atau baju yang lebih menyerupai (maaf) baju renang/ ke pantai dan baju jogging, daripada baju untuk menyambut Tuhan. Silakan bandingkan pakaian yang kita pakai ke kantor/ bekerja, apakah lebih baik/ sopan daripada pakaian untuk ke gereja? Jika demikian, berarti prioritas kita sebenarnya sudah bergeser. Jika kita berpakaian rapi ke tempat kerja atau jika kita diundang ke istana negara untuk bertemu bapak presiden, tentu seharusnya kita berpakaian lebih pantas untuk menghadap Tuhan dalam Misa Kudus. Mari, kita mulai dari diri kita sendiri untuk bersikap hormat dan berpakaian rapi ke gereja, sebagai ungkapan sikap batin dan penghayatan iman kita akan makna Ekaristi yang akan kita sambut. Selanjutnya tentang topik mempersiapkan diri menyambut Ekaristi, silakan klik di sini.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- Katolisitas.org

  17. Syalom Katolisitas.
    Langsung saja pertanyaan saya
    1. Apa makna perikop berikut?
    1Kor11:3-15
    Luk16:1-13
    Apakah berarti literal atau simbolis?
    2. Apakah lambang ular selalu berhubungan dengan iblis?

    Trims.

    [Dari Katolisitas: pertanyaan ini telah dijawab di atas, silakan klik.

    B. Luk 16:1-13

    Silakan anda membaca di sini, silakan klik, untuk penjelasannya Luk 16:1-9, tentang perikop bendahara yang tidak jujur.

    C. Apakah lambang ular selalu berhubungan dengan Iblis?

    Tidak, tergantung konteksnya. Memang di kitab Kejadian, Iblis mengambil rupa sebagai ular yang memperdaya Adam dan Hawa: oleh tipu dayanya, maka umat manusia jatuh dalam dosa. Atau Yohanes Pembaptis menyebut orang- orang Farisi dan Saduki sebagai keturunan ular beludak (Mat 3:7, Luk 3:7) karena tipu daya mereka, yang mengajarkan banyak hal namun tidak melakukannya. Atau ular yang menjadi gambaran dari Iblis yang juga disebutkan dalam kitab Wahyu (Why 12:9; 20:2) Namun ada kalanya ular juga dipakai untuk menjelaskan suatu hal yang positif. Nabi Musa diperintahkan oleh Allah untuk membuat patung ular tedung dari tembaga dan meninggikannya di sebuah tiang, untuk mendatangkan kesembuhan bagi bangsa Israel yang dipagut ular, karena mereka bersungut- sungut di padang gurun (lih. Kel 21:4-9). Tuhan Yesus sendiri menggunakan kisah ular yang ditinggikan di padang gurun tersebut sebagai perbandingan dengan Diri-Nya yang juga harus ditinggikan, agar setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal (lih. Yoh 3:14). Bukannya tidak mungkin, bahwa lambang kedokteran IDI juga mengambil inspirasi dari kisah kitab Keluaran ini. Selanjutnya Yesus juga mengajarkan, “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mat 10:16). Di sini Yesus memuji kecerdikan ular; dan artinya sebagai murid Kristus, selain tulus hati kita juga harus cerdik, untuk mengusahakan segala cara untuk mewartakan kasih Tuhan. ]

Comments are closed.