Sumber gambar: http://fssp.com/press/wp-content/uploads/2014/10/Christ-the-King-Gallego-1492.jpg

[Hari Raya Kristus Raja: Dan 7:13-14; Mzm 93:1-5; Why 1:5-8; Yoh 18:33-37]

Belakangan ini ramai diberitakan rupa-rupa kejahatan manusia yang membuat kita terpana. Penembakan oleh para teroris, pembunuhan dengan penganiayaan yang kejam, korupsi para elit, penyimpangan seksual yang dilegalkan, … dan seterusnya, seolah berlomba-lomba meyakinkan kita akan betapa ‘rusaknya’ dunia. Nampaknya hal-hal tersebut telah menjadi bagian dari dunia, terutama di abad-abad belakangan ini. Itulah sebabnya Paus Pius XI menuliskan surat ensikliknya Quas Primas di tahun 1925, saat pertama kalinya ia menetapkan Perayaan Kristus Raja untuk menutup kalender liturgi Gereja. Di awal suratnya, Paus mengatakan, “…. bermacam kejahatan di dunia berhubungan dengan kenyataan bahwa kebanyakan orang telah menolak atau mengesampingkan Yesus Kristus dan hukum-Nya yang kudus dari kehidupan mereka; sehingga Ia dan hukum-Nya tidak mendapat tempat, baik di kehidupan pribadi maupun politik. Dan kami katakan lebih lanjut, bahwa sepanjang orang-orang secara pribadi atau sebagai negara menolak untuk tunduk kepada ketentuan Penyelamat kita, tak akan ada kemungkinan penuh harap yang sesungguhnya untuk damai sejahtera yang bertahan lama di antara bangsa-bangsa….” (Quas Primas 1). Dengan peringatan Hari Raya Kristus Raja yang dirayakan setiap tahun di ujung akhir kalender liturgi, kita diingatkan akan kemuliaan Kristus yang menjadi tujuan akhir kehidupan kita sebagai umat beriman. Dan bahwa kita pun dapat mengambil bagian dalam kemuliaan-Nya itu, jika kita mau membiarkan diri kita dipimpin olehNya dan menaati perintah-perintah-Nya semasa kita hidup di dunia.

Tidak menjadi soal bahwa perayaan Kristus Raja baru dimasukkan dalam kalender liturgi di tahun 1925, tepat 16 abad setelah Konsili Nicea di tahun 325. Sebab perayaan tersebut hanya meneguhkan kembali Syahadat Nicea, bahwa Kristus adalah Putra Allah yang tunggal, sehakikat dengan Allah Bapa, dan bahwa “kerajaan-Nya takkan berakhir.” Selain itu, sebutan Kristus sebagai Raja bukanlah ajaran baru. Kitab Suci tak pernah kekurangan ayat dalam menyatakan bahwa Kristus adalah Raja. Kitab-kitab para nabi Perjanjian Lama menubuatkannya (Bil 24:19, Yes 9:6-7; Yer 23:5, Dan 2:44; 7:13-14; Za 9:9), dan kitab Mazmur menggambarkannya (Mzm 2; Mzm 45; Mzm 72). Kitab Perjanjian Baru bahkan dengan lebih jelas menyatakannya. Malaikat Tuhan yang memberi kabar gembira kepada Bunda Maria telah mengatakannya (lih. Luk 1:32-33). Dan Tuhan Yesus sendiri memberitahukan tentang hal tersebut dalam perikop tentang Penghakiman terakhir (Mat 25:31-40); dalam jawaban-Nya kepada Pilatus (Yoh 18:37); dalam pesan terakhir-Nya kepada para murid-Nya sebelum Ia naik ke Surga (Mat 28:18).

Apakah artinya menjadikan Kristus sebagai Raja dalam kehidupan kita? Demikianlah penjelasan Paus Pius XI, “Ia [Kristus] harus memerintah di pikiran kita, yang semestinya setuju dengan kepatuhan sempurna dan kepercayaan yang teguh kepada kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dan kepada ajaran-ajaran Kristus. Ia harus memerintah di kehendak kita, yang semestinya menaati hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Allah. Ia harus memerintah di hati kita, yang harus membuang keinginan-keinginan kodrati dan mengasihi Allah di atas segalanya, dan berpaut kepada-Nya saja. Ia harus memerintah di tubuh kita dan anggota-anggotanya, yang harus melayani sebagai alat bagi pengudusan jiwa kita dari dalam—atau meminjam perkataan Rasul Paulus—sebagai ‘senjata-senjata kebenaran’ (Rm 6:13)” (Quas Primas, 33). Sejujurnya, tak mudah menjadikan Kristus sebagai Raja di dalam diri dan hidup kita sepenuhnya. Karena kita mempunyai kecenderungan untuk menjadi raja di dalam diri sendiri. Kenyataannya, lebih mudah memikirkan kepentingan dan kehendak sendiri daripada kepentingan dan kehendak Kristus. Atau lebih tepatnya, adalah suatu perjuangan sampai kita dapat selalu menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak Kristus. Aku jadi bertanya kepada diriku sendiri, seberapa sering aku mengingat Kristus dalam keseharianku, menyapa dan menghormati-Nya dan berjuang untuk menyenangkan hati-Nya dengan perkataan dan perbuatanku? Di Hari Raya Kristus Raja ini, Gereja mengingatkan kita untuk menerapkan dalam hidup sehari-hari, bahwa Kristus adalah sungguh Tuhan dan Raja kita. Gereja bahkan memberikan indulgensi penuh kepada umat yang pada hari ini mendaraskan secara publik, doa Iesu dulcissime, Redemptor, tentu jika syarat-syarat lainnya terpenuhi (menerima sakramen Ekaristi, berdoa bagi intensi Bapa Paus,  mengaku dosa dalam sakramen Tobat, dan tidak mempunyai keterikatan terhadap dosa bahkan dosa ringan sekalipun). Semoga dengan mendaraskan doa ini, kitapun turut berusaha mewujudkannya.

Mari bersama-sama kita mendaraskan doa Iesu dulcissime Redemptor:

“Yesus yang mahabaik, Penebus umat manusia,
pandanglah kami yang tersungkur di hadapan-Mu.
Kami adalah milik-Mu, dan kami berharap
untuk terus menjadi milik-Mu.
Tetapi untuk lebih teguh bersatu denganMu,
lihatlah kepada setiap kami yang hari ini menyerahkan diri
kepada Hati-Mu yang Mahakudus.
Memang banyak orang belum mengenal Engkau;
banyak juga yang dengan merendahkan perintah-perintah-Mu,
telah menolak Engkau.
Yesus yang sangat berbelas kasih, kasihanilah mereka semua,
dan tariklah mereka kepada Hati Kudus-Mu.
Jadilah Raja, ya Tuhan,
tidak hanya bagi umat beriman
yang tidak pernah meninggalkan Engkau,
tetapi juga bagi anak-anak yang hilang,
yang telah meninggalkan Engkau;
tolonglah agar mereka dapat secepatnya kembali
ke rumah Bapa mereka,
jika tidak, mereka mati karena kemalangan dan kelaparan.
Jadilah Raja bagi mereka
yang terperdaya oleh pendapat-pendapat yang salah,
atau mereka yang karena perselisihan menjauhkan diri,
dan panggillah mereka kembali
kepada pelabuhan kebenaran dan kesatuan iman,
sehingga segera mereka menjadi satu kawanan
dengan satu Gembala.
Berilah, ya Tuhan, kepada Gereja-Mu,
jaminan kemerdekaan dan terbebas dari bahaya;
berilah keteraturan yang damai kepada semua bangsa;
buatlah dunia bergema dari kutub ke kutub
dengan satu seruan, pujian kepada Hati Ilahi
yang mengerjakan keselamatan kami:
Kemuliaan dan hormat bagiNya selamanya. Amin.”

[Diterjemahkan dari Manual of Indulgences, p. 44, doa Iesu dulcissime, Redemptor.]