Pengantar dari Editor:

Bila Tuhan memanggil anak-Nya untuk menjadi pekerja-Nya, Ia dapat menggunakan berbagai sarana dari yang sederhana hingga yang besar, untuk menggerakkan hati anak-anak pilihan-Nya hingga mereka membulatkan tekad menjalani hidup untuk berkarya di kebun anggur-Nya. Bagi Diakon Budi, benih-benih panggilan Tuhan itu muncul secara unik namun nyata sejak masa kecilnya, yang tak pernah lepas dari pembinaan iman yang setia oleh kedua orangtuanya, hingga turut menumbuhkan kecintaannya kepada Tuhan dan Gereja-Nya. Cinta itu berbuahkan ketetapan hati untuk mengikuti panggilan Tuhan. Berbagai peristiwa dalam keseharian dipakai Tuhan untuk menyatakan penyertaanNya yang setia sepanjang perjalanan studi panggilannya sejak dari awal masuk seminari menengah. Dan sebagaimana Tuhan akan senantiasa menuntaskan apa yang telah Ia awali, sentuhan-sentuhan kecil itu terus memberinya kekuatan, hingga karyanya saat ini dalam masa diakonat di Gereja Regina Caeli, Jakarta. Terima kasih Diakon Budi atas sharing refleksi panggilan ini. Semoga turut menjadi kekuatan bagi kaum muda untuk menetapkan langkah-langkah pasti dalam menanggapi panggilan Tuhan, yang selalu menyertai dan memimpin hingga akhir. Mari kita juga turut berdoa kepada Bapa agar Diakon Budi dapat menyelesaikan masa diakonatnya dalam penyertaan Tuhan hingga hari pentahbisannya nanti sebagai imam, dan kiranya hidupnya boleh terus memberikan kesaksian akan karya kasih Tuhan yang nyata di dalam dunia, seperti yang ia rindukan dalam perutusannya kelak sebagai seorang imam.

Aku ingin berkisah tentang perjalanan panggilanku. Sebelumnya, perkenankanlah aku memperkenalkan diriku. Namaku Yohanes Budiyanto. Asalku dari desa Watuagung, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Gunung Sugih, Lampung Tengah. Di desa itu, aku dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1979, dari pasangan: Agustinus Kasimin dan Anselma Marsinah, sebagai anak ke-enam dari sepuluh bersaudara. Masa kanak-kanak, sebagai anak desa, aku sudah diajari oleh orangtua untuk bekerja keras: menanam padi di sawah, menanam kakao di ladang, memberi makan babi-babi dan ikan-ikan. Selain diajari bekerja, aku juga diajari oleh orangtua untuk tekun berdoa. Orangtua selalu mengajakku menghadiri perayaan Ekaristi, doa lingkungan, dan kegiatan-kegiatan gerejani. Inilah benih iman yang ditaburkan oleh orangtuaku.

Bukan pengalaman luar biasa tetapi…

Keinginanku menjadi romo bukan melalui pengalaman luar biasa, seperti pengalaman Saulus (Kis 9 : 1-9), tetapi melalui pengalaman biasa. Dalam kisah ini, aku akan mengisahkan beberapa pengalaman biasa yang membuat aku ingin menjadi romo. Pada saat perarakan Misa kudus, aku melihat pakaian romo (kasula) yang berbeda dengan pakaian petugas liturgi lainnya. Bagiku pakaian romo itu menarik sekali. Dan bila dipakai menampakkan kemegahan dan keagungan yang luar biasa. Pengalaman biasa lainnya, selesai Misa kudus, romo langsung berdiri di pintu depan gereja. Ia menyapa, menyalami, dan memberkati umat sambil berkata: “Berkah Dalem”. Sebagai anak-anak kecil, tindakan romo ini mengesankanku, sehingga terlintas dalam pikiranku: “Aku mau menjadi saluran berkat bagi banyak orang”.

Pengalaman biasa lainnya, ketika aku mengikuti doa di lingkungan. Aku selalu mendengar anak seminari senantiasa disebut namanya dalam doa di lingkungan. Hal ini membuat aku juga ingin disebut namaku dalam doa di lingkungan. Agar namaku selalu disebut dalam doa, maka aku mesti masuk seminari. Dan ternyata benar, ketika aku akan mengikuti ujian saringan masuk seminari menegah, namaku disebut dalam doa, wah senangnya bukan main. Harapanku akhirnya terpenuhi.

Meniti panggilan di Palembang

Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama di Fransiskus Xaverius Kalirejo, Lampung Tengah, aku mulai meniti panggilanku di Seminari Menengah St. Paulus, Palembang, pada tahun 1996-2000. Di seminari ini pula, aku merefleksikan secara serius arah panggilan hidupku. Aku terus melakukan discernment dan bertanya: “Apakah Tuhan sungguh memanggilku? Ataukah aku yang memanggilkan diri?” Di dalam refleksiku, aku menemukan sebuah jawaban bahwa Tuhan sungguh memanggilku. Kesungguhan bahwa Tuhan yang memanggilku membuat aku semakin yakin bahwa Tuhan akan senantiasa menyertai dan membimbing perjalanan panggilanku. Karena itu, aku tidak perlu takut, tidak perlu cemas dan khawatir akan perjalanan panggilan dan tujuan hidupku. Sebaliknya sikap yang mesti aku tumbuhkembangkan adalah sikap terbuka, pasrah, dan percaya kepada penyelenggaraan ilahi.

Terpikat karya pelayanan Pater Damian, SS.CC

Tahun 2000, aku menyelesaikan sekolah di Seminari Menengah St. Paulus Palembang. Aku melamar ke Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria (SS.CC) dan diterima sebagai postulant SSCC. Aku menjalani masa pendidikan sebagai postulant SSCC selama kurang lebih satu setengah tahun di kota Bandung. Pada masa tersebut, aku mempelajari dan mendalami banyak hal, di antaranya: hidup doa, hidup komunitas, sejarah kongregasi, live-in di pabrik selama sepuluh hari dan di panti asuhan selama satu bulan dan lain sebagainya. Semua yang aku pelajari tersebut memperkaya hidup dan menjadi bekal bagi perjalanan panggilanku.

Aku memilih Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria (SS.CC). Karena aku tertarik dengan karya pelayanan Pater Damian De Veuster, SS.CC, pahlawan orang kusta. Ia menjadi pahlawan orang kusta, bukan karena ia memerangi penyakit kusta, melainkan karena ia mengangkat martabat orang-orang kusta, orang-orang yang dianggap “sampah masyarakat” dan melayani mereka secara total sampai akhirnya iapun meninggal dunia sebagai seorang penderita kusta. Pengorbanannya ini, merupakan bukti dari kasihnya yang tulus kepada orang-orang kusta yang dilayaninya; sebab memang Pater Damian mengidentikkan dirinya dengan orang-orang kusta, katanya: “We are lepers”. Pater Damian bisa melakukan semua itu bukan karena kekuatannya semata, melainkan karena kekuatan Kristus yang tinggal di dalam dirinya. Semua itu dilakukan Pater Damian bukan demi popularitas dan kemuliaan dirinya, melainkan demi kemuliaan Allah. Inilah api yang menyulutkan dan mengobarkan semangat dalam diriku untuk meneruskan perjalanan panggilan ke tahap selanjutnya.

Tahun 2002-2003, aku menjalani masa novisiat di Manila selama satu tahun. Di novisiat, aku mendalami spiritualitas kongregasi dan kehidupan rohani yang menjadi dasar bangunan hidup religiusku. Tepatnya pada tanggal 10 Mei 2003, aku mengucapkan kaul pertama untuk tiga tahun. Dan setiap tiga tahun, aku harus memperbaharuinya. Setelah pengucapan kaul pertama, aku kembali ke Bandung.

Tahun-tahun untuk belajar…

Tahun 2003-2007, aku belajar di Universitas Parahyangan, Bandung. Di universitas ini, aku belajar filsafat dan teologi. Pembelajaran mata kuliah tersebut tidaklah menggoncangkan imanku dan tidak pula membuat aku menjadi ateis, sebaliknya pembelajaran itu semakin meneguhkan imanku kepada Kristus. Aku semakin mencintai Kristus dan menempatkan Kristus sebagai pusat dari hidup panggilanku.

Tahun 2007-2008, aku menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Damian, Batam. Di paroki tersebut, aku belajar mengenal situasi umat, belajar mengenal karya-karya parokial, dan belajar menjadi seorang gembala yang baik, sebagaimana Yesus, yang adalah gembala yang baik (lih. Yoh 10). Pengalaman selama TOP sungguh memperkaya dan meneguhkan perjalanan panggilanku. Hal ini aku yakini sebagai bekal bagi karya pelayanan yang kelak akan dipercayakan kepadaku.

Tahun 2008-2011, aku melanjutkan pembelajaranku di kota pelajar, Yogyakarta. Di Yogyakarta, aku harus menyelesaikan program BA dan program imamat. Di antara kedua program itu, pada tanggal 9 Agustus 2011, aku mengucapkan kaul kekal, yaitu: janji setia seumur hidup di Paroki St. Mikael, Bandung. Adapun isi janjiku itu: “Aku mau hidup dan mati dalam Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria”. Dengan mengucapkan janji tersebut, aku menjadi anggota resmi Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria. Dan beberapa bulan kemudian, pada tanggal 28 Januari 2012, aku ditahbiskan menjadi diakon oleh Bapak Uskup Yohanes Pujasumarta, Pr di Kapel St Paulus, Kentungan, Yogyakarta. Rahmat tahbisan diakon yang baru saja aku terima semakin menyadarkan dan menegaskan identitasku bahwa aku ini hanyalah seorang pelayan. Pelayan yang datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani (Bdk. Mat 20 : 28). Spiritualitas pelayanan inilah yang ingin aku kembangkan dari hari ke hari.

Perutusan yang baru…

Pada hari setelah pentahbisan diakon, Pater provinsial mengumumkan secara resmi tugas perutusanku yang baru. Aku ditugaskan di Paroki Regina Caeli, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Di Paroki inilah, aku menjalani masa diakonat, masa persiapan tahbisan imam. Pada masa diakonat ini, aku memberanikan diri masuk ke aneka pelayanan yang ada di paroki. Banyak rahmat yang kuperoleh dari pengalaman perjumpaan dengan umat Allah. Pengalaman tersebut meneguhkan panggilan dan pelayananku. Aku bersyukur boleh mengalami semua itu. Dan semua itu, aku yakini sebagai tanda kemurahan hati Allah. Kemurahan hati Allah inilah yang menggerakkan dan menjiwai aku untuk berbuat yang sama: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6 : 36). Karena itu, harapanku setelah aku ditahbiskan imam, aku ingin menjadi pelayan yang murah hati bagi seluruh umat Allah. Aku yakin dan percaya bahwa harapanku itu akan menjadi kenyataan, jika aku membuka diri kepada Tuhan. Sebab Tuhan pernah berjanji bahwa Ia menyertai senantiasa sampai akhir zaman (Mat 28 : 20).

Secuil pengalaman di perutusan baru

Pengalaman mengesankan kualami ketika aku mengadakan kunjungan ke Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk bersama ibu-ibu Legio Maria Ratu Surgawi, Pantai Indah Kapuk. Ketika aku mengunjungi pasien dari satu bangsal ke bangsal lain, kebiasaan yang aku lakukan adalah menyapa mereka: “Apakah bisa tidur semalam? Apakah sudah makan pagi hari ini? Bagaimana kabar hari ini? Apakah mau menerima Komuni? Dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu, aku melihat mereka merasa senang dan bahagia sekali. Dan kadang saking senangnya, mereka ada yang mau bercerita dan bersharing. Namun ada pula, yang hanya menjawab seperlunya saja.

Pengalamanku yang takkan pernah kulupakan adalah pengalaman mengunjungi seorang pasien anak yang baru berumur 9 tahun dan menderita kanker darah (leukemia). Ia menderita sakit kanker darah selama delapan bulan. Ia tampak menderita sekali. Kepalanya besar tanpa rambut, namun tubuh dan kakinya makin hari makin mengecil. Ia kelihatan kurus sekali, tinggal kulit pembalut tulang. Melihat dia pertama kali, aku merasa sedih dan kasihan. Aku bertanya dalam batin: “Apakah yang dapat aku perbuat untuk membantu anak ini? Aku bingung menjawab pertanyaanku sendiri. Di dalam kebingunganku, aku sadar bahwa aku tak memiliki materi untuknya, tetapi aku memiliki waktu untuk ada bersama dan berdoa bersama dia pula. Itulah yang aku miliki dan bisa aku berikan kepadanya.

Aku mendatangi dan menyapa dengan namanya: “Chelsi, bagaimana kabarnya?” Sembari tersenyum, ia menjawab: “Aku baik-baik aja”. Apakah bisa tidur? Ia mengatakan bahwa ia bisa tidur nyenyak semalam, sehingga pagi kelihatan segar. Setelah bercakap-cakap dengannya, aku bertanya kepada Chelsi: “Apakah Chelsi mau terima Komuni?” Ia langsung mengatakan: mau terima Komuni. Ia bahkan mengatakan: “Yesuslah yang menguatkanku dan mendampingiku selama ini”. Aku kaget sekaligus kagum dengan perkataan Chelsi itu, karena jawaban itu keluar dari mulut seorang anak kecil yang sesungguhnya sangat menderita. Chelsi, di tengah-tengah penderitaannya yang sangat karena mengalami penyakit yang terminal, bisa mengatakan bahwa Yesuslah kekuatannya. Ini sungguh luar biasa! Perkataannya ini mengungkapkan kepasrahan dan penyerahan dirinya secara total kepada Allah, Sang pemilik kehidupan. Pengalaman itu mengajakku untuk melihat kembali kepasrahan dan penyerahan diriku kepada Tuhan selama ini. Pengalaman ini pula yang mengobarkan semangat dalam diriku untuk terus berpasrah dan berserah kepada penyelenggaraan ilahi.

Harapan keluargaku….

Di bagian akhir dari kisah perjalanan panggilanku, aku ingin merumuskan beberapa harapan keluarga, setelah aku menerima rahmat tahbisan imam. Pertama, aku menjadi imam yang saleh, agar dapat menghantar dan membawa umat untuk semakin dekat, semakin terarah dan semakin mencintai Allah sang sumber kehidupan. Kedua, aku menjadi imam yang setia, yang peka terhadap kebutuhan umat, serta dekat dengan umatnya, sehingga umat dapat merasakan kehadiran Allah dalam diri imam-Nya. Ketiga, aku menjadi imam yang meneladan semangat hidup Sang Gembala yang baik di dalam setiap pelayanan: “Bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”. Keempat, aku menjadi yang murah hati dan rendah hati dalam pelayanan kepada umat Allah. Tuhan memberkati…Berkah Dalem

Allah yang telah memulai karya baik ini,
maka Allah pula yang akan menyelesaikannya…..

 

Oleh Diakon Budi, SS.CC
Jakarta

Epilog

Mengenal SSCC

Nama lengkap”Congregatio Sacrorum Cordium Jesu et Mariae, necnon Adorationis Perpetuae Sanctissimi Sacramenti Altaris “disingkat SS.CC, atau dalam bahasa Indonesia “Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria dan Sembah Sujud Kekal kepada Sakramen Maha Kudus” Pada masa awal dikenal dengan nama PICPUS yang merupakan nama jalan di kota Paris di mana biara pertama didirikan.

Sejarah berdirinya SSCC

Secara resmi kongregasi in berdiri tanggal 24 Desember 1800, bertepatan dengan saat di mana kedua pendiri, yakni Pater Pierre Coudrin dan Sr. Henriette Aymer mengucapkan kaul kekal di sebuah kapel kecil di rue des Hautes Treilles, kota Poitiers, Perancis.

Awal berdirinya Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Tersuci Maria ini bermula dari perkumpulan Hati Kudus Yesus dikepalai oleh Susana Geoffroy. Perkumpulan ini beranggotakan empat orang yang dibentuk pada tahun 1792. Sejumlah aturan harian dan program kerja di luar rumah pun ditetapkan antara lain berdoa di hadapan Tabernakel, mengajar agama bagi remaja yang terlantar, menolong orang sakit, membantu para imam atau rohaniwan lain yang dikejar-kejar, mempersiapkan orang yang menghadapi kematian dan sebagainya. Konteks umum yang dialami pada waktu itu adalah revolusi Prancis yang berdampak langsung bagi kehidupan iman umat dan Gereja. Dalam situasi yang demikian, seakan kehadiran perkumpulan Hati Kudus ini menjadi sangat penting dalam menghidupi iman umat dan Gereja.

Perkumpulan itu berganti nama menjadi Serikat Hati Yesus Yang Mahakudus. Anggotanya semakin bertambah sehingga kemudian terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu anggota ‘dalam’ dan ada pula anggota ‘luar’. Anggota kelompok ‘dalam’ hidup sebagai biarawati dalam sebuah komunitas dengan aturan tertentu namun tanpa kaul-kaul. Para anggota luar tetap tinggal bersama anggota keluarganya namun setia mengikuti aturan Serikat, yakni Sembah Sujud di depan Sakramen Mahakudus dan mengikuti kegiatan pendalaman iman lainnya. Dalam perkembangan lebih lanjut, ditetapkan enam orang imam yang disebut Dewan Imam, yang diserahi tugas untuk memelihara kehidupan rohani para anggota Serikat tersebut. Pater Coudrin termasuk dalam anggota Dewan Imam dan berpengaruh besar dalam perkembangan serikat tersebut di kemudian hari.

Pada sebuah kesempatan, ketika Pater Coudrin sedang memberikan kotbah di Gereja, ada seorang gadis bangsawan Perancis yang begitu tersentuh dengan kotbah Pater Coudrin. Lantas gadis yang bernama Henriette Aymer de la Chevalerie ini mendekati Pater Coudrin untuk bergabung dalam Serikat yang dipimpinnya itu. Henriette muda pernah dipenjara karena terbukti menyembunyikan seorang imam di rumahnya dari pengejaran tentara revolusi. Ternyata kehidupan di penjara telah mengubah hidup Henriette. Setelah bebas dari penjara, ia menarik diri dari keramaian dunia dan bergabung dengan Serikat di bawah bimbingan Pater Coudrin. Dalam suatu kesempatan Adorasi, Pater Coudrin mengalami suatu pengalaman rohani yang mendalam. Dalam pengalaman khusyuk tersebut, ia melihat sekelompok pemuda dan pemudi yang berjubah putih sedang berbaris. Di saat bersamaan ia bercita-cita untuk membuka komunitas baru dari Serikat yang dibimbingnya tersebut. Lantas tahun 1797, Pater Coudrin mendirikan komunitas baru. Sejumlah anggota ikut bergabung dalam komunitas baru tersebut dengan menamakan diri sebagai “Rubiah”. Pada tahun yang sama, kelompok Rubiah yang diasuh oleh Pater Coudrin dan Sr. Henriette memisahkan diri dari paguyuban (komunitas Serikat) terdahulu dan tinggal di Rue des Hautes Trelles, Poitiers. Nama rumah itu Grand Maison, yang selanjutnya menjadi tempat lahirnya Kongregasi SS.CC.

Pada saat-saat awal ini, Pater Coudrin juga mencari calon-calon pria yang cocok untuk menjadi anggota SS.CC. Pada mulanya ia mendapatkan dua calon muda, kemudian menyusul banyak calon lain. Demikianlah kongregasi baru ini mulai berjalan, sampai tiba 24 Desember 1800, Pater Pierre Coudrin dan Sr. Henriette Aymer Chevaleri mengikrarkan diri dalam Kaul Kekal di sebuah kapela kecil di Hautes Treilles, kota Poitiers, Perancis dan Uskup Poitiers merestuinya. Pater Coudrin kemudian memulai dengan komunitas para pater dan bruder SS.CC dan Sr Henriette memulai komunitas para suster SS.CC. Kongregasi SS.CC terwujud dalam tiga cabang yaitu, cabang putra (imam dan bruder SS.CC), cabang putri (suster SS.CC), dan cabang awam. Meskipun berada dalam tiga cabang tetapi tetap berlandaskan spiritualitas dan semangat hidup yang sama. Kongregasi SS.CC terus berkembang dan Paus Pius VII meresmikannya dalam bula “Pastor Aeternus” tertanggal 17 November 1817.

Spiritualitas dan karya

Spiritualitas yang mendasari hidup dan karya Kongregasi SS.CC secara ringkas dapat dirumuskan sebagai berikut: Cinta dan Bakti kepada Hati Yesus yang Maha Kudus dan Hati Maria yang tersuci. Maka yang menjadi bentuk pembawaan diri sebagai anggota adalah “Merenungkan, Menghayati dan Mewartakan kasih Allah kepada sesama sebagaimana nampak dalam Hati Yesus dan tersuci Maria”. Perutusan anggota adalah mencintai dan membaktikan seluruh hidupnya kepada Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria dengan melayani sesama, manusia masa kini untuk membangun bersama suatu dunia yang bernafaskan kasih Allah.
Untuk mewujudkan spiritualitas ini, para anggota menjalankan hidup dan karya pelayanan yang diatur berdasarkan empat masa hidup Yesus, sebagai berikut:

1. Mengikuti Masa Kanak-kanak Yesus diwujudkan terutama dalam dunia pendidikan, yaitu mendidik anak-anak terlantar, membina para calon biarawan (imam) dan biarawati, membina kaum muda/pelajar dan sebagainya.
2. Mengikuti Masa Tersembunyi Yesus di Nasaret, setiap anggota selalu melakukan kontemplasi dan sembah sujud di hadapan Sakramen Maha Kudus. Panggilan setiap anggota adalah untuk selalu melakukan Adorasi Silih setiap hari.
3. Mengikuti Masa Karya Yesus di muka umum, para anggota menjalankan kerasulan aktif di mana saja mereka diutus.
4. Mengikuti Masa Sengsara Yesus, setiap anggota kongregasi untuk selalu menjalankan mati raga dan pengorbanan diri sukarela setiap hari. Ini terungkap dalam doa khusus harian “Hati Kudus Yesus dengan perantaraan Hati Tersuci Maria, kami mempersembahkan kepadaMu doa, karya, mati raga dan seluruh korban hari ini untuk memulihkan dosa kami dan untuk segala ujud yang untukNya Engkau mengurbankan DiriMu senantiasa atas altar kami”.

Saat ini Kongregasi SS.CC berkarya di 40 negara dan hadir di Indonesia sejak tahun 1924. Saat ini sedang berkarya di Keuskupan Pangkalpinang (Batam dan Pangkalpinang), Keuskupan Bandung, dan Keuskupan Agung Jakarta. Kami berkarya di bidang pastoral parokial dan pastoral kategorial: pendidikan kaum muda, keluarga, pelayanan sosial, panggilan hidup membiara dan kaum pekerja (buruh). Untuk cabang imam, anggota SS.CC Indonesia sudah mengutus beberapa misionarisnya di beberapa negara, yaitu: Jepang, French-Polynesia, Hawaii, Singapura, Filipina dan Belgia.

Diakon Budi, SS.CC
Jakarta

11 COMMENTS

  1. selamat ya. semoga karya anda selalu menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar anda. tapi jangan lupa berkaryalah bagi umat di daerah asal anda

  2. “I Try Not Become A Man Of Success But Rather To Become A Man Of Value, Significance, Quality & Inspiration In Life.God Has Not Called Me To Be Successful But He Has Called Me To Be Faithful. If I Die Tomorrow.I’d Be Alright..Because I Believe..That After I’m Gone..The Spirit Carries On.” “What I do you cannot do and what you do, I cannot do. But we can all do small things, with great love, and together we can do something wonderful”. SELAMAT DIAKON BUDI.SS.CC, SEMOGA RETRET TABISAN IMAM BERJALAN DENGAN LANCAR. GBU

  3. Syallom Diakon Budi,
    Apa kabar?
    Slmt berkarya dg semangat Hati Kudus Yesus dan Hati Tersuci Maria.
    Dan smg bs menjd imam spt yg diharapkan….
    Salam dr Jogja….
    Berkah Dalem.

    • Tuhan Yesus pernah bersabda kepada salah seorang muridNya Yohanes ” Aku ciptakan agama Hukum Kasih yang Kuberinama Katolik”….. Ini yang disampaikan kepadaku, saat aku dijamahNya. Sangat disayangkan, Dia tidak mengijinkan aku menjadi pelayan Tuhan, tetapi cukup menjadi Kepala Keluarga saja, gara-gara aku belum dibersihkan. Ternyata untuk menjadi pelayannYa benar-benar dari orang terpilih, dengan persyaratan ( menurut Tuhan Yesus sendiri) antara lain bercinta sekali, menikah sekali, dan berpasangan sekali. Berbahagialah mrreka yang terplih menjadi anak Allah, karena ia salah satu pengisi kerajaan Allah.

      • Shalom Bambang Nugroho,
        Setiap orang memang dapat mempunyai pengalaman rohani yang berbeda-beda, pada saat ia mengalami jamahan Tuhan. Namun demikian, dalam pengalaman rohani tersebut, kita selayaknya tidak terlalu cepat berkesimpulan bahwa “Tuhan Yesus atau Roh Kudus langsung berkata kepadaku”….. sebab sesungguhnya hal tersebut memerlukan proses discernment lebih lanjut, apakah benar suara itu dari Tuhan atau bukan. Sebab dalam pengalaman rohani kemungkinannya selalu ada tiga, yaitu memang sungguh dari Tuhan, dari diri sendiri atau bahkan dari si Jahat. Untuk membeda-bedakan roh (discernment) ini diperlukan karunia dari Roh Kudus, dan sikap yang diperlukan untuk dapat memperolehnya adalah sikap kerendahan hati, yang menjadi dasar dan pondasi kehidupan rohani. Pentingnya kerendahan hati dalam spiritualitas Katolik, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
        Bagi umat Katolik, tolok ukur untuk memeriksa, apakah suatu ajaran yang diterima dalam suatu pengalaman rohani itu sifatnya otentik atau tidak (berasal dari Allah atau bukan), adalah apakah hal itu sesuai atau tidak dengan ajaran Magisterium Gereja Katolik, yang pasti telah mempertimbangkan ajarannya atas dasar Kitab Suci dan Tradisi Suci para rasul.
        Nah, sebelum membahas mengenai persyaratan pelayan Tuhan, maka perlu didefinisikan dahulu di sini apakah itu ‘pelayan Tuhan’. Sebab jika yang dimaksud adalah imam, maka yang dapat menjadi imam memang adalah orang yang telah memutuskan untuk hidup selibat (tidak menikah) untuk Kerajaan Allah (lih. Mat 19:12; 1Kor 7:32-33); namun demikian orang yang sudah menikah juga tetap dapat melayani Tuhan dalam kapasitasnya masing-masing, yaitu dengan menjadi kepala keluarga dan suami yang baik. Sebab baik kehidupan selibat maupun menikah keduanya dapat menghantar seseorang menuju kekudusan, walaupun caranya berbeda. Silakan membaca artikel tentang makna perkawinan Katolik, silakan klik; Kemurnian di dalam Perkawinan Katolik, silakan klik; ulasan tentang seruan Familiaris Consortio, silakan klik. Di sana disebutkan apakah yang dikehendaki oleh Tuhan dari seorang suami dalam perkawinan Katolik. Maka jika seseorang melakukan panggilannya sebagai seorang suami sesuai dengan kehendak Tuhan, maka ia sesungguhnya telah melakukan pelayanan, di dalam keluarganya, maupun di dalam Gereja, dan masyarakat.
        Saya tidak tahu apa maksud Anda mengatakan, “Dia tidak mengijinkan aku menjadi pelayan Tuhan, tetapi cukup menjadi Kepala Keluarga saja, gara-gara aku belum dibersihkan.” Jika Anda sudah dibaptis, dan lalu Anda jatuh ke dalam dosa berat, maka yang harus Anda lakukan adalah mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa, dan menjalankan penitensinya. Jika Anda sungguh telah bertobat dan tidak lagi melakukan dosa tersebut, maka rahmat pengampunan Allah telah membersihkan Anda. Lain halnya, jika karena sesuatu hal, Anda tidak atau belum dapat meninggalkan dosa tertentu yang dapat menjadi batu sandungan bagi umat lainnya, maka penghalang tersebut memang ada dari pihak Anda. Jika demikian memang bijaksana, jika Anda memilih untuk tidak tampil sebagai pelayan Tuhan di hadapan umum, sampai Anda telah benar-benar dapat meninggalkan dosa yang dapat menjadi batu sandungan terhadap umat yang lain. Namun keadaan ini tidak menghalangi Anda untuk dapat setia melayani Tuhan di dalam keluarga dan di dalam komunitas gerejawi.
        Namun apapun yang terjadi, janganlah berputus asa, sebab setiap orang mempunyai jalannya sendiri untuk bertumbuh dalam kekudusan. Asalkan mata hati Anda tertuju kepada Yesus, dan terus memohon belas kasihan-Nya, maka Ia akan memampukan Anda untuk meninggalkan kehidupan Anda yang lama (beserta dengan segala dosanya) untuk memasuki kehidupan baru bersama Kristus dan bertumbuh secara rohani di dalam Dia yang mengasihi Anda.
        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. Proviciat untuk Diakon Budi…

    Diakon Budi… sosok yang baik, ramah, dan sangat membantu selama bertugas di Regina Caeli.
    Kita umat RC sangat terbantu dengan adanya Diakon Budi di Paroki kita.
    Semoga Diakon Budi dapat menjadi imam yang baik seperti yang dicita-citakan.

    Sekali lagi proviciat buat Diakon Budi…
    Tuhan Yesus Memberkati
    Bunda Maria Melindungi…
    Amien..

  5. halooo kawan…
    selamat atas tahbisan diakonnya
    makin mantap dalam panggilan dan pelayanan ya
    salam sejahtera
    mari kita saling mendoakan
    saya masih pastoral di paroki sukasari bogor..
    siapa yang masih bertahan?

  6. Shalom Diakon Budi,
    Biasanya di Indonesia jadi Diakon sementara cuma 6 bulan jadi kira – kira 12 Juli 2012 [dari katolisitas: Beliau akan ditahbiskan menjadi seorang imam tanggal 15 Juni 2012] nanti Anda akan ditahbiskan jadi imam. Saya doakan Anda tetap setia menjadi alter Christi bagi kami semua anak-anakmu dalam Kristus Yesus.

    Ad Maiorem Dei Gloriam,
    Edwin

  7. proficiat atas tahbisan diakon nya……,n dalam peristiwa sederhana itulah Tuhan memperkembangkan hati kita tuk mengalirkan kasih dari Hati Kudus Yesus dan Maria kepada sesama…….. proficiat…….

Comments are closed.