“Mulai dari mana dulu ya,” pikirku sambil termangu-mangu di hadapan tumpukan berpuluh-puluh kardus yang bederet di hadapan kami, berisi berbagai perabotan rumah tangga, pakaian, peralatan dapur, dan seribu satu barang-barang kami. Semuanya sudah selesai diturunkan dari truk kontainer dan diletakkan di rumah baru kami oleh para petugas pengangkut barang. Kini giliran kami membukanya satu per satu dan menatanya kembali sesuai fungsi dan tempatnya masing-masing. Walaupun sudah enam kali aku mengikuti suami berpindah domisili di lima negara yang berbeda, kegiatan mengepak barang dan kemudian membongkarnya lagi di tempat yang baru untuk ditata kembali tidak pernah menjadi pekerjaan yang ringan dan sederhana.
‘Mulai dari mana dulu ya’ menjadi pertanyaan yang sama yang muncul dalam diriku ketika masa Prapaska tiba. Rasanya begitu banyak hal dalam diri yang harus dibereskan dan diluruskan. Atau, jangan-jangan justru aku berpuas diri dengan kondisi batin dan kelakuanku selama ini dan menganggap segala sesuatunya baik-baik saja? “Tuhan”, bisikku dalam hati, “Terangilah aku agar tampak jelas bagi kesadaran jiwaku, pelanggaran-pelanggaranku, serta aneka keiginanku yang tidak teratur, yang selama ini dengan sengaja maupun tidak, telah kubiarkan menguasaiku, sehingga aku tidak lagi berjalan seirama denganMu. Jika diibaratkan pohon, buah-buahku mungkin tidak lagi manis, tetapi hambar, atau bahkan masam, menyusahkan orang-orang di sekitarku yang seharusnya kukasihi dan kulayani segenap hati, atau menghambat tumbuhnya kerajaan-Mu, sebagaimana teladan dan tugas perutusan dariMu Tuhan”
Teladan penyelamatan Kristus bagi keselamatan dunia dan seisinya ini diawali dengan kerendahan hati-Nya untuk mengosongkan diri-Nya, Raja segala raja semesta alam, untuk menjadi sama seperti manusia ciptaan-Nya yang lemah dan serba terbatas ini. Bahkan di akhir tugas suci dari Bapa yang dipikulNya dengan setia, Tuhan Yesus merelakan segalanya direnggut daripadaNya: kehormatan, nama baik, harga diri, martabat, kekuatan fisiknya, hingga nyawa-Nya. Demi aku, Ia tidak menyayangkan apapun dan tidak menahan satu hal pun dari keberadaan-Nya sebagai manusia, semua diserahkanNya dengan penuh cinta, supaya aku selamat. Melalui Firman-Nya, Tuhan menunjukkan, supaya aku mampu menerima cinta sebesar itu, yaitu sebesar kurban penebusan yang telah dicurahkanNya sehabis-habisnya dengan kerelaan yang penuh, agaknya aku harus mulai dengan latihan pengosongan diri dan kerendahan hati.
Awal kejatuhan manusia ke dalam dosa yang terjadi pada Adam dan Hawa ditandai dengan kesombongan. “…lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian,” pikir Hawa (lih.Kej 3: 4-6). Ingin menjadi seperti Allah, namun terlepas dari Allah, mau menentukan sendiri hal yang baik dan benar. Itulah motivasi yang mendasari dosa pertama. Kesombongan bahwa aku bisa mengontrol segala sesuatu dan bisa meraih apa yang kurencanakan dengan kekuatanku sendiri, pergi dari kehendak-Nya, melepaskan diri dari ketaatan padaNya. Padahal kasih pemeliharaan Allah tidak pernah lepas dari pengajaran dan peringatan, dengan tujuan supaya manusia bahagia sepenuhnya dalam kebebasan yang bertanggungjawab.
Faktor penghambat utama yang membuat kaum Farisi tidak mampu mengenali dan tidak mau mengakui Kristus Sang Mesias, juga adalah kesombongan. Dan kurasa masih panjang daftar buah-buah dosa kesombongan. Pertengkaran, kemalasan, gosip, ketidakharmonisan dalam keluarga, korupsi, penipuan, komunikasi yang macet antara sesama anggota pelayanan, kekerasan fisik dan kekerasan verbal, acuh tak acuh kepada derita sesama, ketidakpedulian kepada tatanan hidup bersama atau kepada pelanggaran hak-hak kemanusiaan, apakah akar dari semuanya itu kalau bukan kesombongan? Merasa paling tahu, paling penting, paling baik, paling harus dihargai, sedangkan bagaimana dengan orang lain dan kepentingannya? Yah maaf saja, itu nomer dua, atau nomer ke-sekian. Kesombongan juga memicuku untuk menginginkan kenikmatan duniawi secara berlebihan, kalau perlu dengan cara-cara yang mengorbankan kepentingan sesama atau alam sekitarku. Kesombongan akhirnya membuatku tak lagi bisa melihat Kristus yang melihat padaku dengan tatapan penuh kasih sayang dari atas kayu salib di mana Ia sedang sangat menderita. Kristus telah menyerahkan segalanya, supaya aku menemukan jalan kerendahan hati yang sudah lebih dulu Ia tempuh, dan mengikutiNya dalam kemuliaan.
Kerendahan hati adalah obat penawar kesombongan yang telah menjerumuskan manusia ke dalam dosa. Dari kerendahan hati lahirlah ketaatan, seperti teladan Bunda Maria dan para Kudus. Dari kerendahan hati meluaplah rasa syukur dalam segala perkara, karena mengakui dan mempercayai bahwa Tuhan terus berkarya mendatangkan kebaikan lewat suka maupun duka hidup ini (bdk. Rm 8:28). Dari kerendahan hati mengalirlah kasih dan kepedulian bagi sesama yang membutuhkan uluran kasih kita, tak hanya dana tetapi juga waktu, sapaan kasih, dan perhatian. Dari kerendahan hati, aku belajar tidak menyela pembicaraan orang-orang terdekatku, belajar menerima kritik dan saran yang tidak mengenakkan, belajar melayani tanpa mengharapkan pujian dan penghargaan, belajar membantu sekalipun yang dibantu tidak berterimakasih, belajar menahan diri bila tersinggung oleh kelakuan sesama, belajar mengampuni serta tetap mengasihi dan bahkan mendoakan sesama yang sudah melukaiku, belajar tidak ingin dihormati dan menjadi terkenal agar nama Tuhan saja yang dimuliakan, belajar mengekang keinginan fisik supaya lapar fisikku diubah menjadi lapar akan kasih dan hikmat Tuhan, belajar menomorduakan diri demi memberi kesempatan orang lain untuk maju dan berkembang, belajar bersukacita dengan keberhasilan orang lain dan berprihatin bersama kesedihan orang lain, belajar mendengarkan saat orang lain berbicara, belajar tidak membantah dan ngeyel ketika orang lain memberi masukan, belajar menerima perlakuaan yang tidak adil dari sesama, belajar tidak membela diri ketika orang lain memberikan penilaian yang negatif agar aku belajar terus dari kekuranganku, belajar hidup sederhana dan tidak membeli benda-benda secara berlebihan, belajar melakukan tugas dan pekerjaan yang tidak disukai dengan rela, belajar menerima celaan karena sudah berusaha menegur sesama yang berdosa, bahkan belajar rela dicap ‘sok suci’ demi tegaknya kebaikan. Beratkah semua itu? Sangat. Ya jalan salib-Nya memang sungguh berat. Namun Kristus sudah menang, Ia selalu membantu kita di sepanjang jalan penyangkalan diri ini. Mungkin langkah besar yang berat itu bisa kumulai dengan langkah awal yang sederhana dengan menahan diri tidak makan makanan yang kusukai serta tidak melakukan hal-hal yang kusenangi di masa puasa dan pantang ini.
Oleh kesombongan, manusia jatuh ke dalam dosa untuk pertama kalinya. Dan lewat lawan dari kesombongan, yaitu kerendahan hati, manusia menemukan jalan kembali kepada keselamatan, yang telah dirintis oleh Kristus Penebus, Sang Raja kerendahan hati. Semoga dengan terus belajar dalam semangat kerendahan hati, pengorbanan Kristus yang menyerahkan segala yang ada padaNya hingga wafat supaya aku hidup, tidak menjadi sia-sia, melainkan menghasilkan buah pertobatan yang nyata yang memampukanku terus mengikutiNya dalam kasih, dan agar daya keselamatan Tuhan juga bekerja pada diri sesamaku sehingga sesamaku pun dapat sampai kepadaNya.