Sumber gambar: http://bryananthony.org/2013/09/18/the-cruciality-of-preaching-in-the-apostolic-view/

[Hari Minggu Biasa ke-V: Ayb 7:1-4,6-7; Mzm 147:1-6; 1Kor 9:16-19, 22-23; Mrk 1:29-39].

Peduli pada sesama, itulah wujud syukur… kar’na tiada syukur, tanpa peduli…” Demikian sepenggal lirik lagu Tahun Syukur, yang mulai akrab di telinga kita, umat Keuskupan Agung Jakarta. Namun hari ini Rasul Paulus mengingatkan kita satu hal yang tiada terpisahkan dari “peduli pada sesama” sebagai wujud syukur, yaitu: mewartakan Injil. Sebab jika kita sungguh peduli pada sesama, kita tidak akan hanya peduli pada kebutuhan jasmani mereka untuk hidup di dunia ini, tetapi juga kebutuhan rohani mereka untuk hidup yang kekal. Sebab sesungguhnya setiap manusia merindukan Kasih Ilahi, dan hanya Tuhanlah yang dapat memenuhi kerinduan ini. Itulah sebabnya, setelah Rasul Paulus mengalami kasih Tuhan Yesus yang luar biasa yang mengubah hidupnya, ia menjadi begitu bersemangat untuk membagikan pengalamannya itu kepada sesamanya. Ada luapan rasa syukur yang membuatnya seolah ingin membalas “hutang” kasihnya kepada Tuhan, dengan memberitahukan kepada semua orang akan kasih Allah yang tiada terukur yang telah diterimanya di dalam Yesus Kristus. Betapa ia menghendaki agar semua orang, seperti dirinya, menemukan Kristus di dalam Injil! Maka dengan hati berkobar, Rasul Paulus berseru, “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil!” (1Kor 9:16)

Pertanyaannya adalah, apakah hati kita juga berkobar seperti Rasul Paulus, untuk mewartakan Injil—Kabar Sukacita Kristus? Atau pertanyaan yang mestinya lebih dulu ditanyakan adalah, apakah kita sudah berjumpa dengan Kristus dalam Injil, sehingga kita dapat mewartakannya? Sebab kita tak dapat membagikan kepada orang lain, apa yang kita sendiri tidak punya. Injil mengungkapkan kepada kita, Allah adalah Kebenaran dan Kasih, yang dirindukan oleh umat manusia. Oleh Baptisan, kita sesungguhnya telah memperoleh Kebenaran yang menyelamatkan itu, dan Kasih, yang memuaskan kehausan jiwa kita. Sebab oleh Baptisan, Allah menjadikan kita sebagai tempat kediaman-Nya sendiri. Namun mengapa kita “belum berkobar” seperti Rasul Paulus?

Dalam surat ensikliknya yang pertama, Lumen Fidei, Paus Fransiskus menghubungkan Kebenaran dengan pengalaman perjumpaan dengan Kristus. “Kebenaran yang diungkapkan iman kepada kita adalah sebuah kebenaran yang berpusat pada sebuah perjumpaan dengan Kristus, pada permenungan akan hidup-Nya dan pada kesadaran akan kehadiran-Nya…” (LF 30). Sedangkan iman itu sendiri, kata Paus, “lahir ketika kita menerima cinta kasih Allah yang begitu besar yang mengubah kita dari dalam” (LF 26), sehingga kita melihat realita kehidupan dengan mata yang baru. Maka di sini, Paus Fransiskus menekankan pentingnya pengalaman perjumpaan kita dengan Kristus dan pengalaman kita menerima cinta kasih Allah. Bagaimanakah caranya? Dalam salah satu homilinya, Paus Fransiskus mengajak umat untuk menerima Sabda Tuhan setiap hari dengan dua cara sederhana. Pertama, dengan mendengarkan homili dari imam dan merenungkannya. Kedua, Paus mengatakan dengan selorohnya yang khas, “Apakah aku dapat—perhatikan pertanyaan ini— apakah aku dapat membeli kitab Injil yang kecil, yang murah, eh? Dan menaruhnya di kantongku, di tas-ku, dan mengeluarkannya ketika aku dapat, sepanjang hari, untuk membaca satu perikopnya, dan menemukan Yesus di sana?” (Homili, Santa Marta, 1/9/2014). Sepertinya ini adalah hal kecil dan sederhana, tapi mungkin kita belum melaksanakannya. Yaitu membaca dan merenungkan Injil di tengah-tengah kesibukan kita sehari-hari. Mungkin kita lebih sering melihat HP, daripada membaca/ merenungkan Injil. O ya, meskipun kita mempunyai aplikasi Kitab Suci di HP kita, tapi berapa sering kita membacanya? Jangan-jangan kita lebih sering membaca Facebook daripada Holybook [Kitab Suci]. Padahal Kristus rindu untuk menjumpai dan menyapa kita lewat sabda-Nya dalam Kitab Suci. Ia rindu mengingatkan kita bahwa Ia hadir, dalam sabda-Nya, dalam sakramen-Nya, dalam diri kita, dalam sesama kita dan bahkan dalam penderitaan kita. Jika kita mampu menangkap kehadiran Tuhan Yesus yang begitu mengasihi kita senantiasa di dalam hidup kita, tentu ini akan mengubah kita! Kita akan semakin jatuh cinta pada sabda-Nya, dan rindu menerima sakramen-Nya, sebab Ia ada di sana. Kita akan mempunyai motivasi yang kuat untuk peduli pada sesama, sebab Ia ada dalam diri mereka. Kita akan berjuang menjaga kemurnian tubuh kita, sebab Ia tinggal di sana. Dan kita akan menerima penderitaan kita dengan penyerahan diri, sebab melaluinya Ia membentuk kita menjadi semakin serupa dengan-Nya. Sebab tak ada sesuatupun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus. “O Tuhan, jika kuingat betapa besar kasih-Mu kepadaku, apakah yang bisa kubalas kepada-Mu? Mari, kobarkanlah hatiku, seperti dahulu Engkau mengobarkan hati para murid-Mu, supaya akupun rindu untuk mengasihi Engkau, dan membagikan kasih-Mu dan Kabar Sukacita-Mu kepada sesamaku.”

Inti dari pewartaan Injil adalah untuk mengatakan kepada semua orang, “Tuhan Yesus mengasihimu.” Semua orang dipanggil untuk menjadi kudus…. Jangan lewatkan kesempatan itu.” (Mother Angelica, pendiri stasiun TV Katolik terbesar di dunia, EWTN- Eternal Word Television Network)