Pertanyaan:
Salam Kasih
Mohon penjelasannya tentang ‘Sumorrum Pontificum’ dan ‘Novus Ordo’ hubungannya dengan Konsili Vatikan 2 ….?
Apa sih tanggapan sebenarnya dari Kardinal Julius di Indonesia ? pengaruh dari keputusan Kardinal Yulius untuk Gereja Katolik di Indonesia ?
terima kasih untuk jawabannya
Yulius Arie
Jawaban:
Shalom Yulius Arie,
Berikut ini adalah jawaban dari Romo Boli, Romo Wanta, dan tambahan dari Ingrid:
Dari Romo Boli:
Sumorum Pontificum memberi kemungkinan untuk merayakan misa dengan pola Misa Pius V (1570). Novus Ordo adalah hasil dari ide pembaruan Konsili Vatikan II yang menghendaki agar misa lebih sederhana tetapi agung, dengan memasukkan kembali unsur-unsur yang penting tetapi telah hilang dalam peredaran zaman, dan menghilangkan unsur-unsur yang agak berlebihan. Dan Paus Benedictus XVI memandang Novus Ordo tidak dengan sendirinya menghilangkan misa dengan pola Pius V. Karena itu diberi kemungkinan untuk merayakan misa dengan Ordo Pius V. Kardinal Yulius sebagai pemimpin Keuskupan Agung Jakarta memandang misa dengan pola Misa Pius V belum dapat dirayakan di wilayah Keuskupan Agung Jkt, karena syarat-syarat yang dituntut untuk misa seperti itu sulit dipenuhi semuanya di wilayah Keuskupan Agung Jkt. Dalam hal ini uskup-uskup lain di seluruh Indonesia mempunyai otonomi masing-masing untuk menentukan kebijaksanaan dalam hal ini.
P.Bernardus Boli.
Dari Romo Wanta:
Yulius Yth
Summorum Pontificum adalah surat apostolik motu proprio dari Paus Benediktus XVI sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Isinya tentang kepedulian dari Paus Benediktus XVI yang terus menerus untuk menjamin bahwa Gereja Kristus mempersembahkan suatu perayaan yang kaya kepada Allah Mahamulia untuk memuji dan memuliakan nama-Nya dan demi kebaikan seluruh Gereja Kudus-Nya. Maka di tiap keuskupan diperkenankan misale romawi yang dipromulgasikan oleh St Pius V dan dikeluarkan oleh Beato Yohanes XXIII, selain misale romawi yang disahkan oleh Paus Paulus VI tahun 1970. Novus ordo adalah ordo yang baru hubungannya dengan Konsili Vatikan II adalah sangat erat di mana semangat dari Konsili Vatikan II adalah pembaruan aggiornamento dan tetap memelihara kekayaan liturgi Gereja. Tanggapan Kardinal sama seperti yang disampaikan Paus bahwa lex orandi (tata doa) yang kaya dan anggun itu tidak boleh mengarahkan kepada perpecahan dalam lex credendi (tata iman) dalam Gereja. Kardinal sebagai uskup memiliki kewenangan hanya di dalam teritorial Gereja partikular (KAJ).
salam,
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Yulius Arie,
Berikut ini yang dapat saya sampaikan sebagai tambahan dari apa yang disampaikan oleh Rm. Boli dan Rm. Wanta:
1. Jika anda ingin mengetahui isi teks Summorum Pontificum (dalam bahasa Inggris), silakan klik di sini
2. Dari isi surat tersebut, pada article 1, diketahui bahwa memang Tata cara liturgis yang dipakai dalam Misa Kudus di Gereja Katolik (Latin rite) adalah tata cara yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI, yang dikenal dengan Novus Ordo. Tata cara Novus Ordo inilah yang memungkinkan diadakannya Misa Kudus dengan bahasa setempat, sehingga harapannya dapat lebih dihayati oleh umat di manapun di seluruh dunia. Ini sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II, seperti yang disampaikan dalam Sacrosanctum Concilium 36.
Namun demikian, Konsili Vatikan tidak bermaksud menghapuskan tatacara dalam bahasa Latin, dan ini juga jelas disebutkan dalam Sacrosanctum Concilium tersebut. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa setelah Konsili Vatikan II, di keuskupan- keuskupan tertentu, tetap dapat diadakan Misa dengan tata cara yang dipromulgasikan oleh Paus Yohanes XXIII yang terberkati (pada tahun 1962, seperti yang diajarkan oleh Paus Pius V- 1570), -yang dikenal dengan Tridentine Mass (Missa Tridendina).
3. Namun ketentuan untuk diadakan Misa Tridentina tersebut adalah: harus ada terlebih dahulu komunitas yang stabil yang menghendaki tatacara tersebut, dan hal ini harus dibicarakan terlebih dahulu dengan pastor paroki, dan dalam bimbingan Uskup, agar tidak terjadi perpecahan yang membahayakan kesatuan Gereja. Mari kita baca article 5:
Maka pada akhirnya, pihak uskuplah yang bertanggungjawab untuk menyikapi hal ini, sebab Kan 392 berbunyi:
§ 1 Karena harus melindungi kesatuan seluruh Gereja, maka Uskup wajib memajukan disiplin umum untuk seluruh Gereja dan karenanya wajib mendesakkan pelaksanaan semua undang-undang gerejawi.
§ 2 Hendaknya ia menjaga agar penyalahgunaan jangan menyusup ke dalam disiplin gerejawi, terutama mengenai pelayanan sabda, perayaan sakramen-sakramen dan sakramentali, penghormatan terhadap Allah dan para Kudus, dan juga pengelolaan harta-benda.
Jadi jika Misa Tridentina sekarang belum umum diadakan di Jakarta ataupun di Indonesia, maka kemungkinan (menurut pandangan saya) para uskup di Indonesia belum melihat adanya: 1) komunitas yang cukup stabil yang menginginkan diadakannya Misa Tridentina ini. 2) Belum adanya kesiapan untuk melaksanakannya, karena hal ini mensyaratkan diadakannya pembinaan yang cukup, entah di pihak imamnya (yang harus menguasai tata cara Latin dan segala detail pelaksanaannya) ataupun di pihak umatnya; agar jangan sampai terjadi perpecahan yang tidak diinginkan.
Sewaktu bermukim di Amerika, saya beberapa kali mengikuti komunitas Misa Tridentina, sehingga kurang lebih saya melihat dinamika yang terjadi di sana. Memang harus diakui, bahwa tanpa persiapan pembekalan yang cukup bagi umat, maka resikonya adalah ada pihak- pihak tertentu yang dapat menganggap bahwa tatacara Tridentina adalah yang terbaik, sampai ‘merendahkan’ tata cara Novus Ordo, dan Konsili Vatikan II. Pandangan ini tentu tidak benar, sebab kedua tata cara tersebut sah dan tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, hanya Bapa Paus sudah memutuskan Novus Ordo sebagai tatacara yang dipilih, sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II.
Jadi, sebagai umat awam, saya mengajak agar kita semua memahami inti yang ingin disampaikan oleh Motu Proprio Summorum Pontificum. Sebab jika Bapa Uskup telah menilai adanya kesiapan baik dari pihak imam maupun umat (dengan persyaratan seperti yang disebutkan di atas) maka, suatu hari dapat saja Misa Tridentina dapat diperbolehkan/ diadakan di Indonesia. Namun jika sekarang hal itu belum terwujud, maka itu bukan karena hal politik atau keengganan dari pihak Bapa Uskup, tetapi karena keadaan yang belum memungkinkan. Sebab pengadaan tatacara Tridentina tersebut, tidak hanya meliputi Misa Mingguan saja, namun juga ada banyak hal lain yang harus diperhatikan, termasuk juga tatacara pemberian sakramen- sakramen lainnya (ini dapat terjadi setiap hari dalam kehidupan rohani umat di paroki). Hal ini yang mungkin belum umum diketahui oleh umat di Indonesia sekarang ini. Umumnya di Amerika ataupun di negara Barat lainnya, bahasa Latin sudah menjadi bahasa kedua bagi mereka, ataupun doa- doa berbahasa Latin sudah menjadi bagian dari kehidupan rohani mereka sehari- hari, sehingga sedikit banyak mereka yang terlibat aktif dalam Misa Tridentina, dan dapat lebih menghayati Misa tersebut.
Di lain pihak, kita harus melihat dengan jujur bahwa tatacara Novus Ordo saja, yang dengan bahasa Indonesia, belum sepenuhnya dipahami maknanya oleh umat, apalagi yang berbahasa Latin. Ini adalah tantangan kita semua sebagai umat Katolik, yaitu untuk semakin menghayati iman kita, sehingga tatacara Novus Ordo/ Tridentina tidaklah terlalu berpengaruh bagi kehidupan rohani kita.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam dalam Kristus,
1. Pertanyaan saya juga berkisar tentang penjelasan perihal perpecahan dan unity di atas. Setelah saya membaca dokumen Summorum Pontificum dari link yang diberikan, bukankah yang dikatakan Paus Benediktus adalah bahwa kedua jenis ritual, baik misa dari Yohanes XXIII ataupun Paulus VI adalah sama ‘Lex orandi’ nya, yang tidak akan menimbulkan perpecahan ‘lex credendi’?
Dari artikel 1 Summorum Pontificum: “Roman Missal promulgated .. by Bl. John XXIII is .. of that same ‘Lex orandi,'” “These two expressions of the Church’s Lex orandi will in no any way lead to a division in the Church’s ‘Lex credendi'”
2. Dan saya juga memiliki pertanyaan dari penjelasan ibu Inggrid: “[[suatu hari dapat saja Misa Tridentina dapat diperbolehkan/ diadakan di Indonesia]]”.
Dengan Summorum Pontificum ini bukankan semua Pastor yang sudah memiliki faculty untuk merayakan misa dan sakramen dalam suatu keuskupan, otamatis berhak memilih misa mana yang ingin ia rayakan, entah dari buku 1962 ataupun 2002, karena mereka adalah satu ritual seperti saya kutip dari point [1] di atas. Jadi tidak memerlukan izin terpisah. KWI sendiri saya lihat mengatakan hal yang kurang lebih serupa: http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=4263
Semoga Kasih Kristus selalu beserta Ibu Inggrid dan keluarga besar katolisitas. Terima kasih untuk pencerahan-pencerahannya yang sangat berguna untuk perkembangan iman Katolik saya dan para pembaca lainnya.
Yustinus K
Shalom Yustinus,
1. Benar pengertian anda, bahwa seharusnya seperti disampaikan oleh Paus Benediktus XVI, adanya cara misa Yohanes XXIII dan Paulus VI tidak menimbulkan perpecahan ‘lex credendi‘. Tetapi harus diakui bahwa pada prakteknya, jika umat tidak terlebih dahulu dipersiapkan dan dibekali dengan pengetahuan yang benar, hal ini dapat menimbulkan bermacam pertanyaan, prasangka, ataupun tuduhan seolah merendahkan cara Novus Ordo yang sekarang diterapkan. Tentu ini tidak benar, namun hal ini yang saya amati terjadi di sekitar komunitas saya ketika saya bermukim di Amerika, di mana kedua cara tersebut sudah diterapkan. Walaupun keadaan ini hanya menyangkut oknum- oknum tertentu, dan bukan menyangkut kedua komunitas Latin dan Novus Ordo secara umum.
2. Benar bahwa pada Summorum Pontificum dan pada link Mirifica yang anda sertakan, dikatakan bahwa sedapat mungkin Imam memenuhi keinginan umat jika memang ada kelompok umat yang meminta untuk diadakannya Misa berbahasa Latin.
Namun, saya juga ingin mengutip pernyataan dalam Summorum Pontificum sebagai berikut:
Art. 5. § 1 In parishes, where there is a stable group of faithful who adhere to the earlier liturgical tradition, the pastor should willingly accept their requests to celebrate the Mass according to the rite of the Roman Missal published in 1962, and ensure that the welfare of these faithful harmonises with the ordinary pastoral care of the parish, under the guidance of the bishop in accordance with canon 392, avoiding discord and favouring the unity of the whole Church.
Terjemahannya:
Art. 5 § 1 Di dalam paroki- paroki, di mana terdapat kelompok umat beriman yang stabil yang melekat kepada tradisi liturgis di masa lalu, imam harus dengan penuh keinginan menerima permohonan permohonan- permohonan untuk merayakan Misa sesuai dengan ritus Roman Missal yang diterbitkan tahun 1962, dan menjamin bahwa kesejahteraaan dari para umat beriman ini sejalan/ harmonis dengan pembimbingan pastoral yang umum dari paroki tersebut, di bawah bimbingan Uskup sesuai dengan Kanon 392, untuk menghindari perselisihan dan mendukung kesatuan keseluruhan Gereja.
Kan. 392
§ 1 Karena harus melindungi kesatuan seluruh Gereja, maka Uskup wajib memajukan disiplin umum untuk seluruh Gereja dan karenanya wajib mendesakkan pelaksanaan semua undang-undang gerejawi.
§ 2 Hendaknya ia menjaga agar penyalahgunaan jangan menyusup ke dalam disiplin gerejawi, terutama mengenai pelayanan sabda, perayaan sakramen-sakramen dan sakramentali, penghormatan terhadap Allah dan para Kudus, dan juga pengelolaan harta-benda.
Atas pernyataan Art. 5 § 1 itulah, maka memang tetap diperlukan peran Uskup, walau memang tidak disebutkan secara detail dalam dokumen tersebut, bagaimanakah secara riil bimbingan Uskup ini. Mungkin Romo Boli dapat menjelaskan lebih baik dalam hal ini, namun intinya, dokumen tersebut membuka kemungkinan diadakannya Misa Latin, jika memang ada kelompok umat yang stabil yang menginginkannya. Jika demikian halnya, imam sedapat mungkin mengabulkannya, di bawah bimbingan Uskup, demi menjaga kesatuan Gereja.
Maka perihal izin terpisah dari Uskup memang tidak secara eksplisit dituliskan di sini, namun jika kita baca menurut logika kalimatnya, maka minimal Uskup harus mengetahui terlebih dahulu akan adanya kebutuhan tersebut pada suatu paroki, agar beliau dapat memberi bimbingan kepada komunitas tersebut, demi menjaga kesatuan Gereja.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Kasih
Terima Kasih atas jawabannya..
pertanyaan lagi …
Apakah ini berarti hasil dari Vatikan II, terutama mengenai tatacara liturgi dan misa hanya menyangkut wilayah keuskupan atau pastoral saja, bukan termasuk pengajaran Paus yang tidak dapat salah dalam hal iman dan moral sehingga Vatikan II dapat berubah sewaktu – waktu atau dibatalkan?
terus terang aku tidak mengerti karena ada pihak – pihak dari denominasi agama tertentu menjadikan ini sebagai alasan bahwa Gereja Katolik telah meninggalkan Tradisi Suci, dari Paus – Paus terdahulu karena penetapan Vatikan II sehingga Paus – Paus yang sekarang merupakan ‘AntiPope’,
Terima kasih
Shalom Yulius Arie,
Tata cara liturgi bukanlah pengajaran definitif tentang iman dan moral [yang bersifat infallible] itu sendiri, melainkan refleksi ajaran tentang iman dan moral tersebut. Maka terdapat kemungkinan terjadi perubahan, adaptasi ataupun penyesuaian tata liturgi, tanpa mengubah doktrin yang mendasarinya. Misalnya, setelah Konsili Vatikan II, tata cara liturgi perayaan Ekaristi memakai tata cara yang dipromulgasikan oleh Bapa Paus Paulus VI, yang kemudian dikenal dengan Novus Ordo. Tata cara ini, walau berbeda dengan tata cara Old Latin Mass sebelumnya, namun tata cara Novus Ordo ini tidak mengubah doktrin yang mendasarinya, misalnya: tetap berpegang kepada Dogma Transubstansiasi (perubahan substance dari roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, melalui Sabda Allah dalam doa konsekrasi yang diucapkan oleh imam yang tertahbis); Dogma kehadiran Yesus (Tubuh, Darah, Jiwa dan ke- Allahan-Nya) yang benar- benar nyata (“truly, really and substantially“) dalam spesies roti dan anggur setelah konsekrasi, dan bahwa perayaan Misa Kudus adalah perayaan kurban Kristus yang satu- satunya itu yang dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus, namun dengan cara yang berbeda, untuk menghadirkan kembali buah- buah keselamatan kepada umat manusia.
Maka penyesuaian tata cara Misa Novus Ordo tersebut tidak mengubah sedikitpun dogma yang mendasarinya, melainkan hanya mengadakan perubahan dalam hal penggunaan bahasa setempat, dan penyesuaian- penyesuaian lain dengan maksud untuk membawa umat agar dapat lebih berpartisipasi aktif dalam liturgi, dapat lebih memahami maknanya (karena paham dengan artinya), melibatkan/ merangkul keberagaman budaya di seluruh dunia dalam konteks liturgi dan membuat tata cara liturgi menjadi lebih sederhana namun tetap khidmat. Konsili Vatikan II sendiri tidak pernah menyatakan bahwa tata cara Old Latin Mass (Tridentina) tidak berlaku lagi. Sebaliknya, malah dalam Sacrosanctum Concilium (Konstitusi tentang Liturgi Suci) 36 -sub judul tentang bahasa Liturgi- dikatakan, “(1) Penggunaan bahasa latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus lain, meskipun ketentuan-ketentuan hukum khusus tetap berlaku.”
Dengan demikian, jika Paus Benediktus mengeluarkan Motu Proprio, Sumorrum Pontificum yang mendukung diadakannya tata cara Tridentina di samping tetap memberlakukan Novus Ordo, maka itu tidak menyalahi keputusan Konsili Vatikan II, apalagi mengubah doktrin/ Dogma Gereja. Paus Benediktus XVI tidak mengubah Dogma Gereja, ataupun meninggalkan Tradisi Suci, dan karena itu ia bukan “Anti-pope” seperti yang dituduhkan.
Mari kita sebagai umat Katolik tidak lekas terpengaruh oleh tuduhan- tuduhan dari pihak- pihak non- Katolik yang umumnya tidak mengetahui dengan sungguh apa yang menjadi ajaran Gereja Katolik, sehingga sering mereka salah paham. Bapa Paus tidak mungkin mengubah dogma yang sudah ditetapkan secara definitif oleh para pendahulunya. Justru karena inilah kita dapat melihat konsistensi ajaran Gereja Katolik sepanjang 2000 tahun ini, dan kita patut bersyukur karenanya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Ada sebuah pertanyaan yang belum saya mengerti, yaitu pada kalimat berikut;
[[[Tanggapan Kardinal sama seperti yang disampaikan Paus bahwa lex orandi (tata doa) yang kaya dan anggun itu tidak boleh mengarahkan kepada perpecahan dalam lex credendi (tata iman) dalam Gereja. ]]]
Dalam statement Rm.Wanta,tertuliskan perihal “perpecahan” dalam lex credendi (tata iman), bisakah dijelaskan lebih lanjut akan apa yang dimaksudkan dengan “perpecahan” ini? Dalam penjelasan Sri Paus Benedictus XVI, beliau malah menyebutkan istilah “Hermeneutic of Continuity” dan juga oleh Kardinal Antonio Cannizares sebagai Prefek Konggregasi Ibadat Ilahi, bagaimana menjelaskan hal ini?
Salam dan doaku
Albert P
Albert Yth.
Maksud dan arti perpecahan dalam iman adalah ketidakutuhan perayaan iman katolik yang bercirikan satu (unitas). Kita bicara ritus latin, jika berbicara tentang iman Katolik maka dasar dan esensinya adalah satu kepercayaan yang diungkapkan dalam iman yang dirayakan dalam liturgi yang sama (bukan berbeda-beda). Contoh: DSA I,II,III,IV adalah doa syukur agung kanon yang ditetapkan dan wajib ada dalam TPE yang digunakan di setiap konferensi negara- negara di dunia. Tidak boleh ada TPE ganda (pilihan/tandingan) dalam perayaan iman Katolik, maka TPE Indonesia harus mendapat recognisi dari kongregasi ibadat suci karena perayaan iman tidak boleh ada perpecahan (sudah lebih 20 tahun baru mendapat recognisi). Hermeneutic of continuity (definisi tekstual) adalah penafsiran yang berkelanjutan. Penafsiran terhadap iman tapi bicara liturgi itu lain karena perayaan iman (lex credendi) maka sifatnya baku, permanen.
salam
Rm Wanta
Salam Kasih
Mohon penjelasannya tentang ‘Sumorrum Pontificum’ dan ‘Novus Ordo’ hubungannya dengan Konsili Vatikan 2 ….?
Apa sih tanggapan sebenarnya dari Kardinal Julius di Indonesia ? pengaruh dari keputusan Kardinal Yulius untuk Gereja Katolik di Indonesia ?
terima kasih untuk jawabannya
Yulius Arie
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini dan jawabannya telah ditayangkan di atas, silakan klik]
“harus ada terlebih dahulu komunitas yang stabil yang menghendaki tatacara tersebut,”
di Indonesia saya melihat seperti telor atau ayam dahulu. Maksut saya, komunitas yang stabil itu dapat bertumbuh jika diberi kesempatan tumbuh, Sedangkan jika tidak ada komunitas, atau jika ada komunitas yang tidak stabil, tidak bisa menyelenggarakan TLM. Jadi bagaimana ini? Komunitas memerlukan TLM, sedangkkan TLM tidak bisa diselenggarakan tanpa komunitas yang stabil. Bolak-balik ya muter2 di situ saja. Jadi kapan mulainya?
Lihat saja komunitas TLM di Bandung dapat bertumbuh, karena di beri tempat, waktu, dan terutama kesempatan. Jika dibandingkan di Jakarta yang masih terus bergerilya karena tidak memiliki kesempatan, dengan alasan karena syarat-syarat yang dituntut untuk misa seperti itu sulit dipenuhi semuanya di wilayah Keuskupan Agung Jkt. Bagaimana mau menumbuhkan komunitas yang stabil?
Aan Yth
Kewenangan memberikan komunitas TLM ada pada Bapak Uskup KAJ untuk wilayah Jakarta. Katolisitas tidak memiliki kewenangan bagaimana menumbuhkan komunitas itu agar bisa stabil. Silakan anda berkumpul dan bertemu dengan Bapak Uskup saya percaya akan diterima dan sampaikan kerinduan anda. Bisa juga bertemu dengan kami tim katolisitas, di KWI jika anda hendak bertanya diskusi ttg Liturgi.
salam
Rm Wanta
Comments are closed.