Hal pembunuhan massal kaum Huguenot (kaum Calvinis di Perancis) yang terjadi di Paris tanggal 24 Agustus 1572 (pada hari raya St. Bartolomeus) dan minggu-minggu berikutnya memang menjadi perdebatan dalam topik sejarah Gereja. Perdebatan itu menyangkut praduga bahwa pembunuhan massal itu sudah direncanakan sebelumnya oleh pihak Kerajaan Perancis, dan kedua, bahwa ada keterlibatan Tahta Suci Roma dalam hal ini [sebagaimana dituduhkan oleh sebagian umat Protestan]. Kunci untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya, adalah mengetahui adanya hubungan antara gagalnya rencana pembunuhan Admiral Coligny, pemimpin kaum Calvinis, pada tanggal 22 Agustus -dan baru akhirnya terlaksana malam hari antara tanggal 23-24 Agustus- dengan kejadian pembunuhan massal kaum Huguenot. Selengkapnya tentang kisah ini, silakan klik di link ini.
Dewasa ini pandangan umum di Perancis adalah bahwa pihak Kerajaan terpaksa membunuh Coligny dan para pengikutnya, karena alasan untuk membela diri. Jumlah korban di Paris diperkirakan sekitar 2000 orang, sedangkan di propinsi-propinsi lainnya jumlah bervariasi antara 2000 sampai 100,000 orang. Namun di buku “Martyrologe des Huguenots” yang diterbitkan di tahun 1581, disebut bahwa korban berjumlah 15,138 orang, namun hanya 786 orang yang meninggal dunia.
Jika kita membaca kisah sejarah seputar peristiwa ini, memang terdapat banyak teori, tetapi sesungguhnya masuk akal jika disimpulkan demikian:
1) Keputusan Kerajaan Perancis tentang pembunuhan massal ini adalah bukan hasil konflik religius, bahkan sesungguhnya tidak dipicu oleh motif religius sama sekali. Kejadian itu adalah murni peristiwa politik yang menentang suatu fraksi yang mengganggu kerajaan.
2) Peristiwa pembunuhan massal itu sendiri tidak direncanakan; bahwa sampai tanggal 22 Agustus, Ratu Catherine hanya telah mempertimbangkan kemungkinan untuk menyingkirkan Coligny. Namun serangan terhadap Coligny diartikan oleh pihak Protestan sebagai pernyataan perang, dan karena ada ancaman balas dendam, maka Ratu Catherine memaksa puteranya Raja Charles IX yang dalam keadaan terombang-ambing, untuk memutuskan menyetujui rencana pembunuhan massal itu.
Maka dapat dilihat di sini bahwa kejadian itu tidak ada hubungannya dengan Tahta Suci. Paus tidak turut campur dalam rencana pembunuhan massal tersebut. Paus Pius V yang memperoleh laporan tentang adanya perang/ kekacauan di Perancis, menganggap bahwa Huguenot merupakan partai di Perancis yang memecah belah kerajaan Perancis justru dalam keadaan yang mensyaratkan kekuatan persatuan untuk mengalahkan serangan bangsa Turki. Maka yang diinginkan Paus adalah diakhirinya kekacauan masyarakat di Perancis, dan tercapainya keadaan politik dan religius. Namun demikian, Paus tidak menghendaki dihalalkannya segala cara untuk mencapai hal tersebut. Itulah sebabnya sejak lima tahun sebelum kejadian pembunuhan massal di hari raya St. Bartolomeus itu, Paus menentang cara yang tidak jujur dalam rencana Ratu Catherine untuk menyingkirkan Coligny.
Bukti lain ketidaktahuan pihak kepausan akan rencana pembunuhan massal tersebut adalah tulisan Salviati, kerabat Ratu Catherine yang menjabat sebagai nuncio/ perwakilan Paus di Paris pada saat itu. Walaupun Salviati adalah kerabat Ratu Catherine dan bahwa ia sungguh mengamati keadaan di negeri itu dari dekat, namun semua dokumen membuktikan, sebagaimana dikatakan oleh Soldan, ahli sejarah Protestan, bahwa kejadian di tanggal 24 Agustus terjadi tanpa pengaruh Paus (Roma). Bahkan kejadian pembunuhan massal sama sekali tidak diramalkan oleh Salviati. Ia menulis demikian kepada Paus tentang kejadian ini sehari setelah kejadian: “Saya tidak percaya bahwa begitu banyak orang akan mati kalau Admiral Coligny telah wafat ketika serdadu menembaknya …. Saya tidak percaya sepersepuluhpun dari apa yang sekarang saya lihat di hadapan mataku.”
Tanggal 2 September 1572, berita tentang kejadian di Perancis itu sampai kepada Paus Gregorius XIII di Roma. Paus menerima laporan dari Kardinal de Bourbon bahwa Admiral (Coligny) dan pengikutnya dibunuh, karena mereka merencanakan persekongkolan untuk membunuh Raja Perancis (Charles IX). Surat Raja Charles IX kepada Ratu Elizabeth di Inggris mengatakan tentang bahaya persekongkolan terselubung yang direncanakan atas dirinya, “Coligny dan pengikutnya sudah siap untuk memperlakukan kami dengan cara yang sama dengan cara yang telah kami lakukan terhadap mereka.” Itulah sebabnya diadakan doa dan prosesi ucapan syukur kepada Tuhan yang dirayakan setiap tanggal 24 Agustus di Perancis, bahwa akhirnya rencana persekongkolan untuk membunuh Raja berhasil terungkap, dan kaum pemberontak berhasil ditumpas. Mendengar hal itu, Paus mengutus Kardinal Orsini untuk menemui Raja Charles IX untuk memberi selamat bahwa ia terluput dari bencana tersebut. Namun kegembiraan Paus tak berlangsung lama, sebab beberapa waktu kemudian ia diberitahu tentang banyaknya kekejaman yang terjadi berkaitan dengan peristiwa pembunuhan massal di Perancis tersebut, dan Paus menjadi sangat marah. Di bulan Oktober 1572 saat Kardinal Lorraine ingin menghadapkan Maurevel, yang telah menembak Coligny, kepada Paus, Paus menolak untuk menerima dia, dengan mengatakan, “Ia sorang pembunuh.”
Kecaman Paus V tentang intrik-intrik melawan Coligny dan penolakan Paus Gregorius XIII untuk menemui Maurevel sang pembunuh, menunjukkan ketidakterlibatan kepausan dalam peristiwa yang mengenaskan tersebut. Yang diinginkan Paus adalah keadaan damai dan kesatuan religius, dan dalam keadaan apapun juga, tujuan akhir tidak menghalalkan segala cara. Mengenai ucapan selamat yang disampaikan Paus Gregorius XIII berkenaan dengan kejadian pembunuhan massal tersebut; hanya dapat dipahami dengan benar dengan mengasumsikan bahwa pihak Tahta Suci, seperti halnya para pemimpin negara-negara Eropa lainnya dan juga banyak orang Perancis sendiri, percaya akan adanya persekongkolan kaum Huguenot yang ingin menumbangkan Kerajaan Perancis, dan bahwa kemudian hukuman yang setimpal telah selesai diberikan.
Agaknya dalam mempelajari sejarah kita harus mempunyai sikap yang lebih obyektif. Sebab kita sering mendengar tuduhan-tuduhan bahwa seolah Tahta Suci (Paus) berperan dalam pembunuhan umat Protestan, padahal fakta sejarah menuliskan keadaan yang sebaliknya, yaitu umat Katoliklah yang banyak dibunuh oleh kaum Protestan. Fr Alphonsus Maria Duran dalam bukunya, “Why Apologize for the Spanish Inquisition?” menulis:
Menurut Raphael Molisend, seorang sejarahwan Protestan, Raja Henry VIII membunuh 72,000 umat Katolik. Anak perempuannya Elizabeth I, dalam beberapa tahun saja, juga atas nama Kristianitas yang sudah direformasi, dan karena itu telah dimurnikan, menyebabkan jatuhnya lebih banyak korban, jauh melebihi apa yang terjadi pada inkuisisi di Spanyol dan Roma selama 3 abad (331 tahun). Dari Geneva, Calvin mengirimkan utusan kepada England (Inggris) dengan pesan untuk membunuh orang-orang Katolik: “Siapa yang tidak mau membunuh para pengikut Paus, adalah pengkhianat.” Kebijakan ini dikenal tidak hanya oleh orang-orang Inggris yang setia kepada Roma, tetapi juga orang- orang Irlandia, yang hidup dan hak asasinya diambil (sampai 1913), demikian juga tanah mereka. Tahun 1585 parlemen Inggris mengeluarkan dekrit “hukuman mati bagi para warga Inggris yang kembali ke Inggris setelah ditahbiskan menjadi imam Katolik, dan semua orang yang menghubungi mereka.” (Black Legends of the Church by Vittorio Messori, ch. 6, nr. 36)
Jadi nampaknya, sudah saatnya kita melihat fakta sejarah dengan lebih obyektif. Sebab dengan sikap terbuka dalam membaca sejarah, kita dapat melihat bahwa kelemahan faktor manusialah yang membuat adanya pertentangan sesama saudara pengikut Kristus di masa yang lalu, dan sungguh kelemahan ini ada di kedua belah pihak. Karena itu baiklah sikap yang diambil oleh Paus Yohanes Paulus II ketika di tahun 1980-1996 beliau atas nama Gereja Katolik meminta maaf atas adanya kesalahan yang diperbuat oleh putera puteri Gereja di masa yang lampau. Walaupun kalau kita melihat kepada faktanya, seharusnya selayaknya pula, mereka yang telah menganiaya putera- puteri Gereja Katolik juga meminta maaf atas perbuatannya. Namun tidaklah mungkin untuk mensyaratkan hal itu sekarang, sebab yang menganiaya Gereja Katolik saat itu juga sudah meninggal dunia, dan tidak ada pihak otoritas gereja Protestan yang dapat mewakili gerejanya untuk berbicara meminta maaf atas nama mereka itu. Jadi biarlah kita biarkan fakta sejarah berlalu untuk mengajar kita, agar jangan sampai terjadi lagi pertentangan seperti pada masa lalu; dan sudah saatnya sebagai sesama pengikut Kristus kita lebih mengusahakan persatuan dan bukannya saling menyalahkan. Mari kita mengikuti teladan Paus Yohanes Paulus II, yang tidak menunggu/ mensyaratkan orang yang bersalah kepada kita untuk meminta maaf terlebih dulu, baru kita meminta maaf, namun kita mau dengan kerendahan hati meminta maaf, mengakui kesalahan di pihak kita, demi tercapainya hubungan yang lebih baik dengan sesama.
Katolisitas up Ytk. Kak Ingrid.
Celinne menerima ini dari mereka yang sungguh tidak berniat baik terhadap ajaran Gereja Katolik, sudah Celinne cari sumber tulisannya dan juga pelurusannya, namun menyesal belum ketemu.
Mohon kebijaksanaan kak Ingrid untuk membantu menjelaskannya kepada Celinne.
Terima kasih.
https://it-it.facebook.com/gerejakatolik/posts/10151889023139638
Shalom Celinne,
Pertama-tama, harus diakui bahwa ada cukup banyak informasi yang tersedia di internet yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Maka penting bagi kita untuk menjadi selektif dalam menerima informasi yang ada. Salah satu prinsip untuk menilai apakah suatu informasi dapat dipercaya adalah: sumber tulisan yang jelas, dan dikeluarkan oleh pihak yang ahli/kompeten dalam topik yang sedang dibahas, dan jika perlu didukung oleh bukti-bukti.
Nah, tulisan di link yang Anda kutip itu, adalah terjemahan dari seorang yang konon bernama Darryl Eberhardt, yang konon mengutip ringkasan dari seorang Baron Perancis bernama DePonnat. Nah coba Anda mencari di google nama-nama itu, dan Anda tidak menemukan apapun yang dapat mendukung kredibilitas tulisannya. Keduanya bukan ahli sejarah, dan bukan pula jurnalis yang dikenal. Di sana juga tidak disertakan sumber/ referensi tulisannya. Maka sejujurnya, kita tidak dapat mempercayai tulisan-tulisan macam ini. Tulisan-tulisan macam ini memang relatif banyak ditemukan di internet, dan karena itu kita perlu menyikapinya dengan bijaksana, agar kita tidak lekas terpengaruh, dan sebaliknya malah menjadi semakin terdorong untuk mencari tahu fakta yang sebenarnya.
Beberapa topik yang tertulis di sana, sudah pernah dibahas di situs Katolisitas. Silakan Anda mencari di fasilitas pencarian di sisi kanan atas homepage dengan mengetik kata kunci yang ingin Anda ketahui, lalu enter.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
salam
dlm sejarah kita mengenal pembantaian Hari St.Bartholomew yaitu pembantaian oleh massa Katolik Roma baik ditujukan kepd Huguenot(Calvinis Prancis).dikabarkn Paus pd waktu itu membiarkn kejadian tsb krn Paus tdk menyetujui pernikahan seorang putri dg pangeran beragama protestan Calvinis.hal ini yg membuat saudara protestan menilai Gereja Katolik diktator.kmd saat homili misa kamis putih romo memutar film yg didlmnya terdpt setan yg mencobai Yesus,diperlihatkn disitu Gereja menghukum mati bnyk org yg dituduh penyihir tnpa bukti walaupun sebenarnya tdk bersalah,romo tsb menambahkn klo Gereja berkuasa pd wkt tsb dn hal tsb merupakan kesalahan Gereja.bagaimana kebenaran ttg penyihir2 tsb?apa Gereja mmg bersalah?klo Gereja salah ato prnh salah kt romo tsb berarti Yesus mengajarkn kekerasan?kan Gereja adl Tubuh Yesus.
terima kasih
Shalom Maria,
Pertama-tama, menurut Redemptionis Sacramentum, homili dalam Perayaan Ekaristi merupakan kesempatan untuk menjelaskan “misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta patokan hidup Kristiani, bertitik tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci [yang baru saja dibacakan]; serta teks-teks liturgi….” (RS 67) sehingga nampaknya bukan saat yang tepat untuk mengadakan pemutaran film.
Lalu tentang sejarah pembunuhan massal di hari St. Bartolomeus, silakan membaca di artikel di atas, silakan klik. Tidak benar jika dikatakan Paus terlibat di dalam kejadian itu. Para ahli sejarah yang dengan jujur memeriksa dan membaca bukti- bukti dokumen/ surat-surat yang ada sehubungan dengan kejadian itu akan dapat melihat bahwa peristiwa itu terjadi murni sebagai faktor politik dan tidak bermotif religius. Tentang pernikahan puteri dari Ratu Catherine (yaitu Margareth dari Valois) dengan Henry dari Navarre sering dihubungkan dengan kejadian ini, namun sebenarnya tidaklah berhubungan.
Lalu tentang film di mana Gereja menghukum mati banyak penyihir. Kemungkinan yang dimaksud di sini adalah adanya masa inkuisisi, dan tentang hal itu sudah pernah dibahas di sini (lihat point 2), silakan klik. Sedangkan para penyihir itu ataupun mereka yang pada saat itu ditangkap sehubungan dengan ajaran-ajaran sesat yang mereka ajarkan saat itu, dan juga kemungkinan berkaitan dengan aliran Albigenses, dan tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Bahwa dilakukannya kekerasan pada saat itu, tentulah tak terbayangkan pada masa sekarang ini. Namun untuk menilainya secara obyektif kita perlu menempatkan diri kita pada keadaan pada saat itu, di mana peradaban masa itu mentolerir adanya hukuman sedemikian untuk menegakkan keadilan. Adanya hukuman macam itu bukan produk ajaran Gereja, tetapi produk peradaban masyarakat dunia (dalam konteks ini, di Eropa) pada saat itu. Kini setelah peradaban manusia berkembang dan nilai- nilai martabat dan hak-hak asasi manusia dihormati di manapun, tentu saja hukuman yang berlaku di Abad Pertengahan menjadi tidak relevan. Maka jika dikatakan salah, adalah adanya kesalahan oknum putera-putera Gereja, jika mereka terlibat dalam pemberian sangsi hukuman yang kejam tersebut, apalagi jika tidak ditemukan cukup bukti. Tetapi tentang yang terakhir ini juga masih perlu dibuktikan, sebab menurut statistik dalam Inkuisisi di Spanyol, “Di dalam 30 tahun kejayaan Ratu Isabella, sekitar 100,000 orang diperiksa oleh pihak Inkuisisi. Lebih dari 80,000 orang ditemukan tidak bersalah…., sebanyak 15,000 ditemukan bersalah, tetapi setelah pernyataan iman secara publik, mereka dibebaskan. Hanya sekitar 2,000 orang yang dihukum mati. (Bandingkan dengan keadaan Revolusi Perancis di tahun 1794, yang diakibatkan oleh gerakan reformasi/ Penerangan (Enlightenment) lebih banyak orang yang dihukum mati di dalam 20 hari daripada di zaman Inkuisisi Ratu Isabella selama 20 tahun).” (Fr. Alphonsus Maria Duran, “Why Apologize for the Spanish Inquisition?“)
Jadi tidak benar bahwa Yesus pernah mengajarkan kekerasan. Ajaran Yesus adalah agar kita mengasihi, dan bahkan mengasihi musuh dan berdoa bagi orang yang menganiaya kita (lih. Mat 5:44), namun untuk membuat ajaran ini meresap dalam peradaban manusia nampaknya memerlukan waktu berabad-abad, dan bahkan masih perlu diperjuangkan sampai sekarang. Gereja Katolikpun tidak mengajarkan kekerasan, dan jika sampai terjadi kekerasan di masa lalu, itu bukan ajaran dari Gereja, namun merupakan suatu keadaan yang terjadi karena kelemahan manusia. Untuk itulah Paus Yohanes Paulus II pernah meminta maaf, dan selayaknya kita hargai kerendahan hati Bapa Paus yang mewakili kita umat Katolik untuk mengakui kesalahan di masa lalu, memohon belas kasihan Tuhan, agar dimampukan untuk semakin dapat mengasihi di masa mendatang, sehingga turut menyumbangkan perubahan yang baik di dalam pertumbuhan peradaban umat manusia di dunia.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
salam
terima kasih atas jawabannya, saya juga kurang nyaman dengan pemutaran film tersebut. Saya nilai kualitas film maupun kualitas aktingnya tidak bagus seperti Passion of The Christ, terlebih juga karena saya menilai hal tersebut tdk pd tempatnya. Saya juga berdoa dlm hati mohon ampunan dan belas kasih Yesus yang jd pusat/inti dari perayaan tersebut apabila saya maupun umat pd waktu itu telah memperlakukan Yesus dengan tidak hormat dengan memutar film di dlm gereja. Apalagi banyak anak2 maupun para muda yang menonton film tersebut menyimak dengan serius film tersebut maupun penjelasan sang romo yang mengatakan kalau film tersebut menggambarkan kejadian pd waktu itu dan meminta kami untuk merenungkan peristiwa pd saat kebangkitan maupun wafat Yesus. Ada juga anak2 yang saya lihat ngeri dan menutup wajah mereka saat pembunuhan orang2 yang dianggap penyihir maupun penggambaran perang2 di dunia. Belum lagi dengan sound sistemnya yang sangat keras. Bukannya membantu saya merenungkan sengsara Yesus malah saya berasa di bioskop.
Comments are closed.