Pertanyaan:

saya seorang kristiani, saya ingin tanya, mengapa di katolik masih ada patung2 dalam rupa manusia ataupun Allah?padahal kan di alkitab disebutkan “jangan membuat bagimu patung dalam bentuk apapun, apalagi dalam bentuk rupa ALLAH””karena Allah kita adalah Allah yang cemburu”, apalagi berdoa di depan patung dan tradisi mengarak-arak patung, karena Yesus tidak suka itu, karena Yesus ada di dalam hati kita tak perlu lagi dibuat patung.
Lalu mengapa katolik menyembah Maria?yang kita tahu bahwa maria adalah manusia biasa dan juga manusia berdosa sama seperti kita, dan Yesus berkata bahwa hanya pada Dia saja ada kebenaran dan kekekalan, dan jangan menyembah siapapun selain Tuhan.Bukan berarti saya mengejek, saya pun tetap menghormati Maria sebagai Ibu Yesus, tapi ingat hanya dalam Yesus saja kita berdoa.
Lalu mengapa harus ada pengakuan dosa di depan rohaniawan gerjawi?padahal pengakuan dosa merupakan pengakuan yang seharusnya tidak harus di suru, tetapi dengan hati.Karena saya pernah sekolah di sekolah katolik, murid katolik sering ada pengakuan dosa, tetapi setelah kembali dari kapel, mereka berkata-kata kasar lagi, dan mencontek, bahkan mereka mengaku kepada saya bahwa mereka berat dan malu mengakui kesalahan mereka kepada manusia.Hanya pada Yesus sajalah seharusnya kita datang secara pribadi dan hati yang tak terpaksa, karena Ia hanya memaafkan orang yang datang kepadaNya dengan spenuh hati tanpa paksaan.
Terima kasih.Yesus memberkati

NB:tanpa mengurangi rasa hormat, saya harap katolik dan protestan dapat bersatu, tanpa adanya perpecahan.karena kita satu dalam Kristus.

Jawaban:

Shalom Chong,

Ya benar, saya juga setuju dengan Chong, bahwa selayaknya sebagai sesama murid Kristus kita saling mengasihi dan menghormati. Oleh sebab itulah maka kami berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masuk dengan semangat kasih, untuk menjelaskan apa yang kami ketahui tentang ajaran Gereja Katolik. Harapannya, agar penjelasan kami dapat menanggapi kesalahpahaman yang ada, sehingga tercapai saling pengertian di antara kita.

1) Tentang mengapa ada patung di gereja Katolik.
Pertanyaan ini sudah pernah saya jawab dalam artikel Orang Katolik tidak menyembah patung, silakan klik. Gereja Katolik memang melihat ayat Kel 20: 3-5 sebagai satu kesatuan, yaitu, agar kita tidak mempunyai allah lain di hadapan Allah, dan tidak membuat patung yang menyerupai apapun untuk disembah sebagai allah. Namun Gereja Katolik tidak melarang pembuatan patung/ penggunaan patung untuk ibadah, karena Tuhan sendiri tidak melarangnya. Di Alkitab kita ketahui Allah berfirman kepada Nabi Musa dan menyuruh orang Israel membuat patung malaikat, yaitu dua kerub (‘cherubim’/ angels) yang menjadi bagian dari tabut perjanjian Allah (lih. Kel 25:1, 18-20). Perintah serupa juga diberikan kepada Salomo (lih. Taw 28:18-19). Lalu Allah juga menyuruh Nabi Musa untuk membuat patung ular tembaga untuk menjadi alat yang mendatangkan kesembuhan jasmani bagi umat Israel (lih. Bil 21:8), dan hal ini menjadi gambaran akan salib Tuhan Yesus di PB yang mendatangkan kesembuhan rohani (penebusan dosa) bagi manusia (Yoh 3:14).

Pada PL memang penggambaran Allah dilarang, namun kemudian setelah PB, peraturan tentang ‘penggambaran Tuhan’ ini diubah oleh Allah sendiri. Sebab dalam PB, Allah mengutus Putera-Nya, Yesus, yang adalah gambaran Allah yang hidup. Yesus adalah “gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” (Kol 1:15).

Maka, jika di gereja Katolik ada patung-patung, itu bukan karena orang Katolik menyembah patung. Patung itu hanya merupakan gambaran saja, alat bantu bagi umat untuk memusatkan hati dan pikiran kepada Tuhan Yesus yang digambarkannya. Atau jika itu patung Maria atau orang kudus, agar umat dapat menyadari bahwa umat berada dalam persekutuan seluruh umat beriman, termasuk mereka yang sudah mendahului kita di surga.

Atau, jika ada upacara arak-arakan patung, itu bukan ditujukan untuk menyembah patungnya sebagai allah. Sebab jika demikian, maka kita menyembah berhala, dan sungguh benar, Tuhan pasti tidak senang (Ini jelas kita lihat misalnya pada kisah Kel 32). Tetapi arak-arakan di dalam Gereja Katolik itu hanya merupakan ungkapan kasih dan doa penyembahan kepada Allah yang dilakukan bersama-sama dan dinyatakan secara publik. Ini sama seperti pada waktu Perjanjian Lama, di mana orang Israel mengarak tabut perjanjian, dan bahkan Raja Daud menari-nari dalam pujian kepada Tuhan mengiringi tabut perjanjian itu (lih. 2 Sam 6; 1 Taw 13:8). Tentu bentuk ibadah yang semacam ini bukan menyembah berhala, karena definisi berhala adalah “mempunyai allah lain di hadapan Allah” (Kel 20:3), atau menempatkan benda ciptaan sebagai tuhan. Sedangkan dalam kasus Daud dan ibadah umat Katolik, itu tidak demikian. Tidak ada yang lain yang disembah di sana kecuali Tuhan saja. Penghormatan umat kepada orang kudus, juga sebenarnya terarah kepada Tuhan yang telah menciptakan mereka; sebagai ucapan syukur atas kebaikan-Nya menciptakan orang-orang yang dapat kita jadikan teladan untuk hidup kudus dalam kasih.

Maka kesimpulannya menurut Gereja Katolik adalah: Allah tidak melarang pembuatan patung, asalkan tidak untuk disembah, dan apalagi malah membantu orang untuk lebih dekat kepada Allah. Sejarah dan fakta sendiri mengatakan kita membutuhkan gambar dan patung untuk membawa seseorang mengenal Allah, dan ini terbukti dengan digunakannya gambar-gambar (boneka/ patung) untuk menjelaskan kepada anak-anak tentang Allah misalnya di sekolah minggu/ bina iman. Jika Allah melarang sama sekali orang untuk membuat patung, tentu seharusnya Ia sendiri tidak menyuruh umat-Nya membuat patung, dan dari Alkitab, kita melihat tidak demikian halnya. Maka yang terpenting adalah jangan membuat patung untuk disembah sebagai allah.

2) Tentang mengapa orang Katolik ‘menyembah’ Maria.
Ini adalah pernyataan yang sangat keliru. Orang Katolik tidak menyembah Maria, melainkan hanya menghormatinya sebagai ibu rohani kita seturut teladan Yesus yang telah terlebih dahulu menghormatinya. Silakan membaca artikel ini, silakan klik, dan artikel ini, silakan klik, untuk mengetahui dasar-dasar Gereja Katolik menghormati Bunda Maria sebagai ibu Tuhan Yesus dan ibu Gereja.

Sama seperti umat Kristen lainnya, umat Katolik juga berdoa kepada Allah Bapa, melalui Kristus dan oleh Roh Kudus. Orang Katolik tidak pernah berdoa dalam nama Maria. Tidak ada doa yang seperti itu. Namun kita dapat memohon Bunda Maria untuk mendoakan kita, sama seperti kita memohon saudara-saudari kita seiman untuk mendoakan kita. Ini dimungkinkan karena kita percaya akan adanya persekutuan para orang kudus, dan persekutuan ini tidak terputus oleh kematian, sebab kematian tidak bisa memisahkan kita dari kasih Kristus (Rom 8:38-39). Doa penghormatan kepada Bunda Maria dan memohon agar ia mendoakan umat beriman diucapkan dalam doa ‘Salam Maria’.

Umat Katolik menghormati Bunda Maria secara khusus karena perannya yang istimewa dalam rencana keselamatan Allah, yaitu sebagai ibu Yesus, Putera Allah sendiri. Karena perannya yang sangat istimewa itu, Gereja Katolik mengajarkan bahwa Bunda Maria dibebaskan dari dosa sejak dalam kandungan dan selama hidupnya tidak berdosa, karena kepenuhan rahmat Allah di dalam dirinya, dan rahmat ini diberikan oleh Kristus. Silakan klik di sini, untuk mengetahui dasar pengajaran Gereja Katolik dalam hal ini.

3) Tentang mengapa dalam Sakramen Pengakuan Dosa/ Tobat.
Sebenarnya orang Katolik mengaku dosanya di hadapan imam karena demikianlah yang sesungguhnya yang menjadi kehendak Yesus bagi kita untuk mengaku dosa. Benar bahwa Yesus tidak memaksa bahwa kita untuk harus mengaku dosa, maka memang tidak seharusnya seseorang terpaksa mengaku dosa. Namun, jika seseorang sungguh mengasihi Yesus, maka akan ada dorongan di dalam hati-Nya untuk mengaku dosa, karena mengetahui bahwa dosa-lah yang memisahkannya dengan Kristus. Pertobatan yang tulus semacam ini akan mengubah seseorang menjadi lebih baik dan lebih kudus. Jika seseorang sungguh-sungguh menghayati makna sakramen Pengakuan Dosa dan melakukannya secara teratur, maka akan ada banyak yang diperolehnya untuk pertumbuhan imannya. Silakan klik di sini untuk membaca dasar-dasar Kitab Suci dan pengajaran para Bapa Gereja yang mendasari ajaran Gereja Katolik tentang sakramen Pengakuan Dosa, dan mengapa kita perlu mengaku dosa di hadapan imam.

Pengalaman anda semasa kecil waktu di sekolah, di mana anak-anak seolah diwajibkan mengaku dosa, bukan menjadi patokan ideal untuk melihat manfaat Sakramen Pengakuan dosa. Ada kemungkinan, anak-anak pada saat itu belum terlalu memahami dan menghayati sakramen tersebut, sehingga tidak mempunyai sikap batin yang benar dalam menerima sakramen Tobat tersebut. Namun kita dapat melihat manfaat Sakramen Tobat tadi pada orang-orang yang melakukannya dengan sikap batin yang baik. Ini dapat secara jelas dilihat dalam diri para orang kudus, seperti Ibu Teresa dari Kalkuta, Padre Pio, Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI. Mereka mengaku dosa dalam sakramen Tobat (di hadapan imam) minimal satu minggu sekali. Dan lihatlah bagaimana kudusnya hidup mereka, dan bagaimana bukti iman dan perbuatan kasih mereka melimpah dalam karya pelayanan mereka!

Demikianlah yang dapat saya tuliskan untuk masukan bagi anda. Saya tidak memaksakan pandangan saya, namun hanya menyampaikan apa yang saya ketahui tentang ajaran Gereja Katolik mengenai hal yang anda tanyakan. Ya, marilah kita selalu mengingat, walaupun kita mungkin berbeda, namun kita mempunyai lebih banyak persamaan karena kita sama-sama percaya dan mengimani Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat kita.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

25 COMMENTS

  1. Dear Katolisitas,

    Setiap orang katolik pasti memiliki benda-benda rohani, seperti rosario, salib, Kitab Suci, patung, dll. Dan seperti biasanya benda-benda rohani itu diberkati sebelum digunakan.

    Namun tetap harus diakui bahwa benda-benda rohani itu tidaklah abadi. Suatu saat pasti akan rusak, entah karena termakan usia ataupun karena kelalaian manusia (misalnya, patung tersenggol dan patah/retak; atau rosario yang putus). Sebagai benda yang rusak, tentulah tidak akan dipakai lagi. Akan tetapi memperlakukannya sebagai sampah pun tak tega; tapi membiarkannya menumpuk di rumah juga terasa tak elok.

    Nah, bagaimana sikap kita? Apa yang dapat saya lakukan terhadap benda-benda rohani yang sudah rusak? Mungkin katolisitas mempunyai cara memusnahkan benda-benda rohani itu tanpa menimbulkan perasaan bersalah.

    Sekian dan terima kasih.

    • Shalom Brian,

      Izinkan saya meringkas jawaban dari Fr. Saunders di link Catholic culture, klik di sini.

      Prinsip dasarnya adalah, jika benda-benda rohani yang sudah diberkati ini rusak, maka cara yang layak untuk membuangnya adalah dengan dibakar atau dikuburkan. Sebab menurut Kitab Hukum Kanonik, benda-benda religius yang telah diberkati ini adalah untuk didedikasikan bagi penghormatan kepada Tuhan, sehingga harus diperlakukan dengan hormat dan tidak digunakan untuk kepentingan profan lainnya yang tidak layak (lih. KHK, Kan. 1171).

      Di sekitar tahun 1800-an, Kongregasi Suci untuk Ritus dan Tahta suci (sekarang dikenal dengan nama Kongregasi Suci untuk Sakramen dan Penyembahan ilahi) dan Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman, mengeluarkan ketentuan yang beragam untuk urusan ini. Contohnya: Piala/ sibori (yang dipakai untuk tempat tubuh dan darah Kristus) yang sudah tidak digunakan lagi, tidak untuk dijual, tetapi untuk digunakan untuk fungsi sakral lainnya atau untuk dilelehkan. Pakaian imam/ pakaian pelayan liturgi, taplak altar atau kain linen yang digunakan dalam kurban Ekaristi dihancurkan (dengan dibakar, dan abunya dibuang di tanah). Air suci yang terkena kotoran/ polusi ataupun kelebihan air suci dibuang di tanah. Daun palma dibakar, dan abunya dibagikan sebagai tanda pertobatan di hari Rabu Abu, atau sisanya dikembalikan ke tanah. Rosario yang putus/ rusak, atau patung religius yang sudah rusak, umumnya dikuburkan. Di atas semua itu, idea dasarnya adalah, apa yang sudah pernah didedikasikan kepada Allah, harus dikembalikan kepada Allah. Tidak sepantasnya kita membuang begitu saja, apa yang sudah pernah didedikasikan kepada Tuhan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Terima kasih banyak atas infonya. Saya minta izin untuk mengkopi jawaban Ibu untuk saya sebarkan melalui berita paroki saya.
        Salam!

        [Dari Katolisitas: silakan, jika memang dianggap membantu.]

  2. Dear Katolisitas,

    Empat hari yang lalu saya membaca riwayat hidup Santo Alfonsus Toribio dalam buku “Orang Kudus Sepanjang Tahun” terbitan Obor (hlm 142-144). Ada beberapa hal dari kisah itu yang agak membingungkan saya. Karena itu saya mau tanya ke katolisitas.org.

    1. Santo Alfonsus Toribio adalah uskup. Awalnya dia awam, namun bisa langsung diangkat menjadi uskup. Padahal, untuk menjadi uskup orang itu harus jadi imam dulu. Nah, sejak kapan pengangkatan uskup dalam Gereja Katolik itu baru dimulai dari imam?

    2. Ada juga imam-imam yang mempunyai banyak istri (hlm 143). Kalau sekarang imam punyai istri 1 saja, pasti sudah keluar. Nah, sejak kapan ada aturan imam tidak boleh punya istri?

    Sekian dan terima kasih.

    • Shalom Brian,

      1. Menurut keterangan New Advent Encyclopedia, St. Alfonsus Toribio (1538-1606) memang awalnya adalah seorang ahli/ profesor hukum di Universitas Salamanca. Oleh karena latar belakang pendidikannya dan kebajikannya, maka ia ditunjuk menjadi inkuisitor agung di Spanyol oleh Raja Filipus II, dan akhirnya diangkat menjadi Uskup Agung di Peru. Namun sebelum diangkat menjadi Uskup Agung, ia menerima tahbisan suci tahun 1578 dan dua tahun kemudian dia diangkat menjadi uskup. Maka nampaknya tidak benar bahwa St. Alfonsus dalam keadaannya sebagai awam, langsung dapat diangkat menjadi Uskup agung, sebab sebelumnya ia menerima tahbisan suci sebagai imam dan dua tahun kemudian menjadi Uskup, baru kemudian menjadi Uskup Agung. Riwayat hidup selanjutnya, silakan Anda membaca di link tersebut, klik di sini.

      2. Hal kehidupan selibat bagi para imam telah diterapkan sejak abad-abad awal. Bahwa di abad pertama, memang imam dapat diambil dari mereka yang sudah menikah, dapat dimengerti karena pada saat mereka percaya kepada Yesus, mereka sudah menikah. Hal ini yang nampaknya terjadi pada Rasul Petrus, walaupun kemudian catatan para Bapa Gereja menuliskan bahwa kemudian Rasul Petrus hidup sebagai saudara dengan istrinya.

      Peter and Philip fathered children, and Philip gave his daughters in marriage. Furthermore, Paul did not hesitate to mention his ‘companion’ in one of his epistles…He says in his epistle, ‘Do I not have the right to take along a sister-wife, as do the other apostles?’ [1Cor 9:5] However the other apostles, in harmony with their particular ministry, devoted themselves to preaching without any distraction. Their spouses went with them, not as wives, but as sisters, in order to minister to housewives” (St. Clement of Alexandria, Ante-Nicene Fathers 2:390-391 E)

      “St. Petrus dan Filipus mempunyai anak-anak, dan anak-anak perempuan Filipus-pun menikah. Selanjutnya, Paulus tak ragu menyebut ‘temannya’ dalam salah satu suratnya. Ia mengatakan, “Tidakkah kami mempunyai hak untuk membawa seorang isteri Kristen, dalam perjalanan kami, seperti yang dilakukan rasul-rasul lain dan saudara-saudara Tuhan dan Kefas?” (1Kor 9:5). Namun demikian, para rasul yang lain, sejalan dengan pelayanan mereka yang khusus, membaktikan diri mereka kepada khotbah pengajaran tanpa gangguan. Pasangan mereka pergi menyertai mereka, tidak sebagai istri, tetapi sebagai saudara perempuan, agar dapat melayani para istri/ ibu rumah tangga.” (Klemens dari Aleksandria, Ante-Nicene Fathers 2:390-391 E)

      Tentang hal mengapa imam tidak menikah, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

      Terus terang saya belum pernah membaca buku yang Anda sebutkan. Namun silakan dibaca kembali konteks kalimat tersebut. Sebab sepanjang pengetahuan saya, jika sekalipun ada di abad awal imam/ penatua ada yang menikah, namun mereka tetap harus hanya mempunyai satu istri. Ini jelas tertulis dalam Tit 1:6. Maka jika sampai ada imam di zaman abad awal tersebut, yang mempunyai lebih dari dua istri, itu adalah pelanggaran, dan bukan keadaan yang diperbolehkan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Terima kasih atas informasinya. Buku yang saya baca adalah karya Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM. Judul bukunya: Orang Kudus Sepanjang Tahun (cetakan IX). Penerbitnya: Jakarta, Obor. Mungkin benar apa yang Ibu Ingrid katakan bahwa saya harus membaca kembali konteks kalimat tersebut. Atau memang saya yang bodoh. Apalagi sumber yang Ibu tawarkan berbahasa Inggris. Bahasa Indonesia saja saya sudah salah membaca konteksnya, apalagi bahasa asing.
        Mungkin ada baiknya saya kutip kalimatnya sehingga Ibu Ingrid bisa menjelaskan konteks kalimatnya kepada saya.
        “Kisah tentang pengangkatannya sebagai Uskup Agung kota Lima, Peru, sungguh menarik. Kehidupan imamatnya tidak menarik hatinya selama ia giat dalam dinas kenegaraan dan kegiatan duniawi lainnya. Tetapi Tuhan mempunyai rencana khusus atas dirinya di luar kehendaknya sendiri. Sepeninggal Uskup Agung Lima pada tahun 1580, tahkta keuskupan mengalami kekosongan. Suasana kota menjadi semakin buruk terutama di kalangan angkatan bersenjata. Hal ini sungguh memalukan Raja Philips II yang saleh dan taat agama. Jalan keluar untuk mengatasi masalah ini ialah memilih seorang uskup agung yang berwibawa, saleh, jujur, pintar dan berpengaruh di masyarakat terutama di kalngan pembesar dan angkatan bersenjata.
        Orang yang cocok untuk jabatan uskup agung ini ialah Alfonsus Toribio. Semula penunjukkan atas dirinya sebagai uskup agung ditolak dengan keras mengingat statusnya sebagai seorang awam. Namun atas desakan raja dan seluruh rakyat, Alfonsus Toribio tergerak juga untuk menerima penunjukkan itu. Ia sadar bahwa penunjukkan itu adalah kehendak Allah.
        Ia lalu ditahbiskan menjadi uskup agung pada tahun 1581. Dari Spanyol, ia berlayar ke Peru, sebuah negari yang bergunung-gunung di pantai lautan Pasifik….” (hlm. 143).

        Dari uraian di atas, saya tidak menemukan kalau St. Alfonsus pernah ditahbiskan menjadi imam. Karena itulah saya bertanya “sejak kapan pengangkatan uskup dalam Gereja Katolik itu baru dimulai dari imam?” mengingat saat ini yang menjadi uskup haruslah terlebih dahuku jadi imam.

        Berikut ini kutipan lain. “Ia lalu ditahbiskan menjadi uskup agung pada tahun 1581. Dari Spanyol, ia berlayar ke Peru, sebuah negari yang bergunung-gunung di pantai lautan Pasifik. Tindakan pertama yang ditempuhnya ialah mengunjungi semua wilayah paroki dalam keuskupannya hingga ke pelosok-pelosok. Kadang-kadang ia berjalan kaki, menuruni gunung dan bukit guna menyaksikan kehidupan umatnya.
        Ia melihat banyak hal selama kunjungan-kunjungannya. Orang-orang Spanyol terutama tentara-tentara dikenal berwatak bejat. Orang Indian dikenal bodoh; sedangkan imam-imamnya malas dan mempunyai banyak istri. Semua hal ini menggerakkan dia untuk segera mengadakan pembaharuan total dalam keuskupannya….” (hlm. 143).

        Dari sinilah muncul pertanyaan saya yang kedua. Soal imam yang tidak boleh menikah, saya sudah paham.

        Sekian dan terima kasih

        • Shalom Brian,

          Agaknya sumber penerjemahan dari buku itu, yang mungkin kurang lengkap menjabarkan kisah perjalanan rohani St. Alfonsus. Sebab memang tadinya ia adalah seorang awam, seorang ahli/ profesor hukum di Universitas Salamanca. Namun karena pendidikannya dan kebajikannya, maka ia ditunjuk menjadi inkuisitor agung di Spanyol oleh Raja Filipus II. Kemungkinan pada saat itu keahliannya dalam bidang teologi dan hukum Gereja telah dapat diterima oleh Uskup [hal ini tidak secara eksplisit dikisahkan di dalam biografi St. Alfonsus], sehingga ia dapat ditahbiskan sebagai imam di tahun 1578, sebelum akhirnya diangkat menjadi Uskup Agung di Peru di tahun 1580.

          Sedangkan tentang imam-imam yang malas dan mempunyai banyak istri, itu adalah imam-imam orang Indian (kemungkinan suku Inca yang hidup di Peru pada saat itu) yang mempunyai ritual-ritual sendiri. Jadi imam-imam yang dibicarakan di sini bukan imam-imam Katolik tetapi imam-imam suku Indian. Maka St. Alfonsus berikhtiar untuk mengadakan pembaharuan di keuskupannya agar kebiasaan-kebiasaan lokal ini tidak mempengaruhi kehidupan umat Katolik di sana.

          Semoga memperjelas.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. saya mau tanya, saya membeli sebuah patung salib yang ada corpus Yesus, tangan kanan Yesus menunjukkan angka 5, sedangkan tangan kiri menunjukkan angka 2

    apa maksud dari patung tersebut?
    terima kasih

    [dari katolisitas: Kami tidak tahu kalau ada makna simbolisme dari tangan Yesus di patung salib, kecuali adalah untuk ekspresi dari si pemahat. Kalau mau dihubungkan sih bisa-bisa saja, seperti: 5 adalah mewakili lima luka Yesus, dan 2 mewakili Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Namun, apakah tangan-tangan tersebut dimaksudkan untuk menyatakan suatu simbol, kami tidak tahu.]

  4. Shalom,
    Jadi,simbol adalah sebuah kata,objek,barang atau benda,tindakan,peristiwa yang mewakili,menggambarkan,mengisyaratkan,menandakan atau menyampaikan sesuatu yang lebih besar,lebih tinggi,lebih luhur daripada objek yang melambangkannya….
    Beberapa contoh simbol :
    Kata- haleluya,shalom
    Objek- yerusalem,sion,pohon anggur
    barang- salib,patung bunda maria/yesus,rosario,jubah pendeta,minyak urapan,roti dan anggur perjamuan.
    Tindakan – menutup mata dan melipat tangan,mengangkat tangan untuk memberkati,berlutut,pelayanan sakramen
    peristiwa – Natal dan paskah

    Dewasa ini ada kecendrungan dalam masyarakat untuk mengagung-agungkan simbol keagamaan dengan berbagai tujuan. Seorang yang mengenakan simbol keagamaan tertentu melambangkan tingginya kualitas imannya. Akibatnya,orang itu lebih melihat simbol tersebut dan melupakan apa yang disimbolkannya. Simbol itu dianggap sebagai keniscayaan bahkan menjadi berhala. Sikap ini sangat berbahaya sebab dengan menomorsatukan simbol berarti kita menomorduakan Tuhan.
    Padahal,simbol-simbol agama hanya memiliki makna sejauh simbol tersebut dipahami sesuai dengan tujuannya. Simbol tidak berkaitan dengan kualitas seseorang. Simbol tidak menjamin keselamatan seseorang,sebanyak apa pun simbil yang digunakannya. Penggunaan simbol dapat memicu kecongkakan seseorang karena menganggap dirinya memiliki kadar iman yang lebih tinggi daripada orang lain. Oleh karena itu,kita harus bijaksana dengan penggunaan simbol-simbol keagamaan agar tidak terjadi penyimpangan arti.

    Demikianlah tulisan diatas adalah kutipan dari buku pendidikan agama kristen yang digunakan di sekolah saya.

    Di salahsatu sub-bab pelajaran ini menjelaskan ajaran ttg “pluralisme dan simbolisme”. Setelah membaca artikel ibu inggrid tentang patung dan jawaban atas pertanyaan diatas,saya mendapat suatu pengertian kenapa katolik menggunkan patung-patung. Namun saya tidak mengerti dasar-dasar mengapa katolik menggunakan simbol lainnya(tanda salib dll). Dalam pelajaran ini juga berkata secara tersirat bahwa dalam agama katolik ada kesalahan karena menggunakan simbol-simbol ini. Tolong bantu saya untuk menjelaskan tentang hal ini karena menurut saya ada kesalahan dalam anggapan dan penjelasan dari buku ini,tapi saya tidak dapat menjelaskannya. Saya adalah seorang katolik,namun saya bersekolah di sekolah kristen. Selama belajar disini,banyak sekali pelajaran agama atau pertanyaan dari teman-teman yang membuat saya bingung oleh karena itu sudah sejak lama saya membaca artikel di katolisitas ini untuk memperkaya iman katolik saya. Hal lain juga karena di sekolah saya banyak sekali siswa katolik yang sama sekali tidak mengerti tentang imannya sehingga kebanyakan dari kami yang menerima saja penjelasan teologi protestan padahal itu tidak sesuai dengan ajaran gereja katolik(seperti predestinasi,dll).

    Oleh karena itu mohon penjelasan dari ibu inggrid dan bpk stefanus tentang simbolisme ini dan bagaimana sikap saya seharusnya disekolah,saya juga mohon penjelasan dan tanggapan atas kutipan diatas,dan penjelasan bagaimana sejarahnya sehingga kristen mulai menentang simbolisme?

    Terima kasih,

    • Shalom Andry,

      Gereja Katolik tidak menggunakan simbol jika tidak ada kaitannya dengan iman dan untuk membangun iman. Maka simbolisme dalam Gereja Katolik bukan untuk menunjukkan kualitas seseorang ataupun untuk menjamin keselamatan seseorang, seperti yang dituliskan dalam kutipan di atas.

      Saya bersyukur anda telah memahami mengapa Gereja Katolik memperbolehkan digunakannya patung atau lukisan sebagai alat bantu untuk mengajar umat, atau berdoa/ beribadah. Lalu mengenai simbol lainnya misalnya tanda salib, itu juga sudah berakar lama dalam tradisi Gereja Katolik, dan kita melihatnya dari tulisan para Bapa Gereja sejak abad awal. Gereja Protestan menolak membuat tanda salib, karena mereka hanya berpegang pada prinsip “Sola Scriptura” (Kitab Suci saja) sehingga apa yang tidak tertulis di Kitab Suci, tidak mereka terima, sebab mereka anggap sebagai tradisi manusia. Namun ini sebenarnya juga tidak benar juga, sebab prinsip “Sola Scriptura” sendiri tidak disebutkan di manapun di dalam Kitab Suci. Dalam hal ini, mereka juga membuat tradisi mereka sendiri. Lagipula, mereka juga tak bisa dikatakan menolak simbolisme secara total, sebab biar bagaimanapun juga mereka tetap memakai tanda salib di gereja-gereja mereka dan di Alkitab mereka.

      Sedangkan praktek membuat tanda salib dalam Gereja Katolik itu jelas berakar dari Alkitab,
      “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.” (2 Kor 4:10). Hal ini tidak mengherankan sebab ‘salib Kristus’ merupakan bukti yang sangat penting akan kasih dan pengorbanan Tuhan Yesus, yang olehnya kita diselamatkan. Salib merupakan sesuatu yang terpenting yang terjadi antara kelahiran Yesus dan Kebangkitan-Nya, dan tak ada kebangkitan tanpa salib Kristus itu. Kenyataan inilah yang kita amin-i setiap kali kita membuat tanda salib.

      Tak mengherankan, bahwa para Bapa Gereja meneruskan tradisi para rasul mengajarkan umat untuk membuat tanda salib. Contohnya saja dari: (silakan membaca selengkapnya di link ini, silakan klik)

      1. Tertulian (abad 2), “Di dalam perjalananmu dan pergerakanmu…. di setiap pekerjaanmu, tandailah dahimu dengan tanda salib.”

      2. St. Athanasius (293-373) menentang heresi Arianism mengajarkan, “dengan tanda salib, semua kuasa gelap dipatahkan, berhala ditinggalkan, dan semua kesenangan badani berhenti, ketika mata iman melihat dari dunia ke Surga.”

      3. St. Basil (330-379) mengajarkan bahwa tanda salib merupakan tradisi yang diajarkan oleh para rasul, “yang mengajarkan untuk menandai dengan tanda salib, mereka yang menaruh harapan di dalam nama Tuhan.”

      4. St. Cyril dari Yerusalem (313-386), “Janganlah kita malu untuk mengakui Yesus yang tersalib. Biarkan salib, sebagai meterai kita, dibuat dengan berani oleh jari-jari kita di atas kening, dan pada semua kesempatan, di atas makanan yang kita makan dan minuman yang kita minum, pada saat kita datang atau pergi, sebelum tidur pada saat berbaring dan pada saat bangun tidur, pada saat kita ditengah jalan atau pada saat kita duduk diam.”

      5. St. Yohanes Krisostomus (347-407) yang mengatakan, “Tandailah dirimu dengan salib, renungkanlah maksud dari salib, dan padamkan kemarahanmu dan segala nafsumu. Pikirkanlah harga yang sudah dibayar bagimu.”

      Bahkan Martin Luther sendiri mengajarkan dalam buku Catechism 1529, kepada para pengikutnya, demikian,

      In the morning, when you rise from bed, sign yourself with the holy cross and say, ‘In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit. Amen.’…At night, when you go to bed, sign yourself with the holy cross and say, ‘In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit. Amen.

      Maka umat Kristen yang tidak mau membuat tanda salib, sebenarnya memutuskan diri terhadap akar tradisi mereka sendiri. Jika pendiri Protestantism sendiri menganjurkan umatnya membuat tanda salib, namun mengapa sekarang umat Protestan tidak melakukannya? Mungkin jawabnya adalah karena “Sola Scriptura” itu tadi, penolakan mereka terhadap tradisi para rasul dan Bapa Gereja, dan bahwa interpretasi pribadi memegang tempat terakhir dalam mengartikan segala sesuatu.

      Bagi kita umat Katolik, kita memegang tradisi para rasul dan para Bapa Gereja, yang kita yakini mengajarkan segala sesuatu sesuai dengan kehendak Tuhan Yesus dan dengan inspirasi Roh Kudus. Kita justru bukannya mempertentangkannya dengan pengertian ataupun selera kita sendiri, namun berusaha meresapkan/ menghayati ajaran tersebut. Dan sangatlah indah maknanya, jika tanda salib itu dilakukan sesuai dengan maksud dan maknanya! Hal ini tidak saja berlaku untuk tanda salib, tetapi dengan simbolisme yang lain misalnya dengan simbol air untuk Pembaptisan, atau minyak suci untuk Pengurapan orang sakit. Sedangkan untuk Ekaristi, malah itu bukan simbol, karena Tuhan Yesus melalui konsekrasi telah mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya sendiri. Untuk topik ini sudah dibahas dengan panjang lebar juga di situs ini, silakan anda membacanya di rubrik artikel- artikel Sakramen.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

      • Terima kasih bu Inggrid atas penjelasannya…
        Mudah2an ini bisa menjadi pegangan saya terus terutama dalam menghayati makana simbol-simbol yang ada dalam gereja…

      • mohon maaf, diskusi yg menarik sekali dan kalo boleh saya ingin menyampaikan pendapat saya, kalo salah silahkan dikoreksi.
        bahwa penyembahan kepada Tuhan melalui objek patung banyak ditemui dalam semua agama budhaya seperti Hindu atau Budha. Bahwa Hindu membuat patung kresna yg kemudian dipuja dan disembah pada hakekatnya menyembah Kresna yg dipercaya sebagai reinkarnasi Sang Hyang Widhi. bagaimana rupa sang hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa)?? maka orang Hindu tidak ada yg tahu.
        Maka tentu saja membuat patung Yesus dengan tujuan menyembah Yesus yg dipercaya sebagai reinkarnasi Allah adalah sama dengan ajaran agama lain. bagaimana rupa Allah?? maka tidak ada satupun orang yg tahu. Agama Hindu tidak mengenal pelarangan penyembahan kepada berhala, sedangkan kristen mengenal pelarangan penyembahan atau membuat patung berhala. lalu apa itu arti sebenarnya dari berhala?? karena kalu diartikan kepada Tuhan Yg lain maka bisa dikatakan bahwa semua agama mengajarkan penyembahan kepada Tuhan Yg MAha Esa walau dengan nama yg berbeda, sedangkan dalam agama lain tidak ada pelarangan untuk menyembah Tuhan yg lain karena hakekatnya Tuhan memang cuma satu. lalu kenapa Kristen melarangnya, padahal semuamengakui bahwa Tuhan adalah memang cuma satu walau mungkin dengan nama yg berbeda seperti Yhw, Elohim, Allah, Sang Hyang Widhi, dll

        • Shalom Hamba Tuhan,

          1. Dalam Kitab Keluaran, Allah melalui Nabi Musa memerintahkan kepada umat-Nya, untuk hanya menyembah Tuhan saja, dan tidak membuat patung untuk disembah sebagai allah (lihat Kel 20:3-5). Maka perintah inipun tetap dipegang oleh Gereja Katolik, bahwa kami memang tidak menyembah patung/ gambar apapun sebagai allah. Perlu kita ketahui bahwa pada saat Musa menerima perintah Allah tersebut, Allah belum mewahyukan diri-Nya di dalam Kristus Putera-Nya yang menjelma menjadi manusia. Maka memang pada saat itu penggambaran Allah dalam rupa apa saja merupakan hal yang dilarang oleh Allah. Namun pada saat Allah sendiri mengutus Yesus Kristus, untuk menjadi gambaran Allah yang tidak kelihatan (Kol 1:15) maka Allah sendiri memperbaharui perintah-Nya ini. Maka sejak itu manusia dapat melihat gambaran Allah, dengan kasih-Nya yang besar yang rela wafat bagi manusia untuk menebus dosa manusia. Maka adanya patung-patung di gereja Katolik sebenarnya merupakan alat bantu agar umat dapat memusatkan hati dan pikiran kepada Allah, yang telah mengutus Kristus Putera-Nya. Silakan anda membaca artikel Orang Katolik tidak menyembah patung, silakan klik.

          2. “Berhala” artinya adalah penyembahan kepada ciptaan (dapat merupakan barang atau seseorang) yang seharusnya diberikan kepada Pencipta (Allah). Dengan kata lain, “menempatkan” sesuatu/ seseorang di tempat Allah. Jaman dahulu, di mana hidup manusia sepenuhnya tergantung oleh alam, maka kita melihat kecenderungan manusia menyembah kekuatan alam, seperti matahari, hujan, tanah, dst, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk patung-patung yang mereka sembah sebagai allah. Jaman sekarang keadaannya sudah berbeda, namun tetaplah perintah “jangan menyembah berhala” masih sangat relevan. Karena manusia jaman sekarang juga mempunyai kecenderungan yang sama dengan orang-orang di jaman dahulu, yaitu menempatkan sesuatu yang bukan Tuhan menjadi yang terutama di dalam hidup, seperti uang, kekuasaan, nafsu seksual, televisi, dst. Maka saya percaya, dengan pengertian ini, sesungguhnya semua agama yang menyembah Tuhan yang satu, sebenarnya juga pasti melarang “berhala” walaupun mungkin tidak persis sama dengan yang diberikan Allah melalui Nabi Musa.

          3. Ya, kami umat Katolik juga menyembah Tuhan yang satu. Kami percaya bahwa Tuhan yang satu ini mempunyai tiga Pribadi (Bapa, Putera dan Roh Kudus, silakan membaca di artikel Trinitas: satu Allah dengan Tiga Pribadi, silakan klik). Ketika genap waktunya, oleh kuasa Roh Kudus, Allah Bapa telah mengutus Putera-Nya, Kristus, untuk menjelma menjadi manusia. Hal ini tidak terjadi pada Kresna, atau tokoh-tokoh lain, karena hanya Kristus sajalah yang dinubuatkan oleh para nabi (lihat artikel: Kristus Tuhan yang dinubuatkan oleh para nabi, silakan klik), dan yang selama hidup-Nya membuktikan bahwa Dia adalah Allah (lihat artikel: Kristus yang kita imani= Yesus menurut sejarah, silakan klik di sini), terutama dengan kebangkitan-Nya dari kematian, dan yang sekarang terus bekerja melalui Gereja Katolik yang terus bertahan dari awal mula sampai akhir zaman nanti.

          Saya menyadari bahwa mungkin anda tidak memiliki iman yang sama dengan kami, namun karena anda bertanya kepada kami di situs ini, yang adalah situs Katolik, maka kami menyampaikan apa yang menjadi iman kami, berdasarkan wahyu ilahi yang dinyatakan oleh Allah sendiri.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  5. mohon dikoreksi kalau salah….
    secara umum saya melihat ajaran Protestan menolak segala sesuatu yang sifatnya lahiriah… seolah-olah iman itu terpisah dari kehidupan real sehari2(iman menjadi suatu dunia lain tersendiri yang indah…).contohnya: Perjamuan Tuhan ditolak mereka dengan tidak mengakui Roti dan Anggur adalah Tubuh dan Darah Tuhan yang berarti Tuhan sendiri, tidak perlu pengakuan dosa dengan romo , sakramen2 tanda kehadiran Tuhan yang nyata di tengah2 umatnya apalagi…sudah pasti ditolak…dan lain sebagainya….dengan berbagai2 alasan yang dianggap tidak bisa diterima dengan nalar dan akal budi mereka dalam menerjemahkan Alkitab.

    Pendapat saya:
    Tidak ingatkah kita , ALLAH sendiri menjelma menjadi manusia(=inkarnasi)? dalam bentuk tanda yang kelihatan?Buat apa? bisakah dengan kasihNya Allah lagsung saja menyelamatkan manusia? Bisa saja kan?kenapa musti jadi manusia dulu?Waktu Musa di padang gurun Allah menghadirkan tanda ular tembaga untuk menyembuhkan umatNya, Tabut perjanjian yang kelihatan oleh mata, Manna yang turun, nabi2 Nya yang menjadi tandaNya, dan lain sebagainya, sampai mencapai puncakNya yaitu PutraNya sendiri menjadi tanda keselamatan bagi semua orang.

    Manusia dengan segala keterbatasan akal budinya suka menuntut penjelasan2 yang memuaskan keingintahuan dan otak mereka. Disini kita ingat Tomas rasul. Menolak suatu ajaran lahiriah yang baik(termasuk disini adalah pengakuan dosa dengan wakil Tuhan yang kelihatan mata=romo/pastor) dan sudah diajarkan oleh gereja hanya karena tidak sesuai dengan akal budi, sama nilainya dengan menolak Allah menjadi manusia, Maria mengandung dari Roh Kudus,dsb… akhirnya hanya menyisakan satu pertanyaan yang tidak terjawab: Bagaimana bisa?Jawabannya silahkan kita sendiri yang menjawab…tentunya dengan jujur kita mengakui …itulah Allah kita yang tidak terselami oleh akal budi manusia.

    Di Denmark (pusat protestan) saya dengar banyak orang menjadi atheis karena menurut saya mereka hanya menerima segala sesuatu yang bisa diterima secara akal budi….(rasionalist). Jangan sampai kita menjadi bagian dari kaum rasionalist tersebut…

    GBU

    • Shalom Johanes,

      Walaupun kelihatannya ajaran Protestan menolak segala sesuatu yang lahiriah atau berhubungan dengan "matter"/ materia, saya rasa kita tidak bisa langsung mencap bahwa bagi mereka iman terpisah dari kehidupan sehari- hari. Bahwa mereka mengartikan Perjamuan Kudus berbeda dengan umat Katolik, itu memang benar. Sebab mereka yang mengikuti ajaran Martin Luther tidak mempercayai doktrin "Transubtansiasi" yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Ia tidak percaya bahwa hakekat roti dan anggur itu diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, melainkan itu tetap roti dan anggur namun Yesus ‘masuk’ ke dalamnya. Jadi memang terdapat penghayatan yang berbeda dalam hal Perjamuan Kudus itu, yang selanjutnya dapat anda baca di sini, silakan klik. Sedangkan ada juga gereja Protestan lainnya (seperti yang dipelopori oleh Calvin dan Zwingli) yang bahkan menganggap roti dan anggur hanyalah lambang saja, dan bukan sungguh-sungguh diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus.

      Maka ada benarnya jika kita melihat di dalam sejarah Gereja, bahwa alasan penolakan gereja Protestan terhadap doktrin "Transubstansiasi" tersebut juga dilatarbelakangi oleh penolakan gerakan rasionalisme dan liberalisme yang berkembang menjelang abad ke 16 dan seterusnya. Gerakan ‘rasionalisasi dan liberalisasi tersebut dasar filosofi yang justru dapat membantu menjelaskan hal Transubstansiasi tersebut. Gerakan ini terus berkembang menjadi modernisme di abad ke 19 yang dikecam oleh Bapa Pius X, yang disebut sebagai "synthesis of all heresy" karena memang di dalam Modernisme ini yang dipentingkan adalah pertimbangan pribadi (private judgement) yang mengatasi segalanya. Dengan pola pikir subyektif semacam ini orang dapat saja mendapat pembenaran diri bahkan untuk tidak percaya kepada Tuhan. Di sinilah, masuknya faham atheisme.

      Sebenarnya jika kita mau melihat ke belakang, kita seharusnya dapat melihat bahwa Kebenaran sesungguhnya bersifat obyektif, dan Kebenaran yang sejati harus datang dari Tuhan. Begitu manusia ingin menentukan sendiri kebenaran itu, maka terulang kembali lah kisah seperti Adam dan Hawa saat memakan buah pohon pengetahuan hal baik dan buruk. Saat manusia ingin menjadi ‘tuhan’ dan menentukan sendiri hal yang baik dan buruk tanpa memperhitungkan kehendak Tuhan, ia malah binasa. Semoga Tuhan membimbing kita semua untuk dengan rendah hati menerima apa yang sudah diwahyukan Allah dan yang dijaga kemurniannya di dalam Gereja Katolik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  6. Shalom !

    Pernyataan pak Stef :

    Terima kasih atas tanggapannya bahwa kita seharusnya mengaku dosa kepada Yesus secara langsung. Umat Katolik bukannya dilarang untuk mengaku dosa secara langsung kepada Yesus. Bahkan pada waktu kita berdosa, maka seharusnya umat Katolik harus berdoa dan memohon ampun kepada Yesus.

    Pernyataan pak Stef :

    Kalau memang benar kita “harus” mengakukan dosa secara langsung kepada Yesus tanpa melalui Sakramen Tobat, mengapa Yesus mengatakan “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” Siapakah “kamu” yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas?

    Pertanyaan :

    1. Satu sisi bapak menyatakan :

    kita seharusnya mengaku dosa kepada Yesus secara langsung. Umat Katolik bukannya dilarang untuk mengaku dosa secara langsung kepada Yesus. Bahkan pada waktu kita berdosa, maka seharusnya umat Katolik harus berdoa dan memohon ampun kepada Yesus.

    Disisi lain bapak meragukan pernyataan bapak sendiri :

    Kalau memang benar kita “harus” mengakukan dosa secara langsung kepada Yesus tanpa melalui Sakramen Tobat, mengapa Yesus mengatakan “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” Siapakah “kamu” yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas?

    Kenapa pernyataannya berbeda ? Disatu sisi menyatakan “seharusnya” berdoa dan meminta ampun kepada Yesus. Disisi lain bapak meragukan pernyataan bapak sendiri sebelumnya: ” kalau memang benar kita “harus” mengakukan dosa secara langsung kepada Yesus. Maksudnya ?

    Kalau orang percaya harus datang langsung kepada Penebusnya salah atau benar ? Memang seharusnya begitu kan ?

    Pertanyaan :

    2. 21. Maka kata Yesus sekali lagi: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku,
    demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. 22. Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi
    mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. 23. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya
    diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:21-23).

    Kalau memang benar kita “harus” mengakukan dosa secara langsung kepada Yesus tanpa melalui Sakramen Tobat, mengapa Yesus mengatakan “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” Siapakah “kamu” yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas?

    Menurut Bapak, “siapakah kamu” yang dimaksud ayat tersebut ? Paus atau pastor gitu ?

    Mohon penjelasan !

    God with you

    • Shalom Anton,

      Terima kasih atas tanggapannya tentang pengakuan dosa. Saya ingin memperjelas pernyataan yang saya telah saya berikan sebelumnnya.

      1) Saya mengatakan "Umat Katolik bukannya dilarang untuk mengaku dosa secara langsung kepada Yesus. Bahkan pada waktu kita berdosa, maka seharusnya umat Katolik harus berdoa dan memohon ampun kepada Yesus." Namun, kalau kita mengutip kalimat dari seseorang, kita harus melihat konteksnya dalam satu paragraf dan juga argumentasi secara keseluruhan. Mari kita melihat pernyataan yang telah saya tulis sebelumnya, dalam satu paragraf "Umat Katolik bukannya dilarang untuk mengaku dosa secara langsung kepada Yesus. Bahkan pada waktu kita berdosa, maka seharusnya umat Katolik harus berdoa dan memohon ampun kepada Yesus. Namun, Yesus sendiri yang memberikan Sakramen Pengampunan Dosa kepada umat-Nya, sehingga umat-Nya dapat bertumbuh di dalam kekudusan. Oleh karena itu, pertobatan pribadi yang dialaminya harus dimanifestasikan dalam Sakramen Tobat."

      Bayangkan kalau umat Katolik berbuat dosa. Kalau dia menyadari bahwa dia telah menyakiti Tuhan dan sesama, reaksi pertama adalah memohon ampun kepada Yesus. Ini dapat dilakukan pada waktu kejadian itu terjadi, atau pada waktu pemeriksaan batin sebelum tidur. Oleh karena itu saya mengatakan bahwa umat Katolik memang mengaku dosa secara langsung kepada Yesus. Namun, penyesalan ini tidak hanya berhenti di situ, namun diteruskan dengan niatan untuk mengaku dosa di dalam Sakramen Pengampunan Dosa. Hal ini ditegaskan di dalam Katekismus Gereja Katolik:

      "Kristus telah menciptakan Sakramen Pengakuan untuk anggota-anggota Gereja-Nya yang berdosa, terutama untuk mereka yang sesudah Pembaptisan jatuh ke dalam dosa berat dan dengan demikian kehilangan rahmat Pembaptisan dan melukai persekutuan Gereja. Sakramen Pengakuan memberi kepada mereka kemungkinan baru, supaya bertobat dan mendapat kembali rahmat pembenaran Bapa-bapa Gereja menggambarkan Sakramen ini sebagai "papan penyelamatan kedua sesudah kecelakaan kapal yakni kehilangan rahmat" (Tertulianus, paen. 4,2) (Bdk. Konsili Trente: DS 1542.)." (KGK, 1446).

      2) Dengan penjelasan di atas, tidak ada kontradiksi antara mengaku dosa secara langsung kepada Yesus dan mengaku dosa dalam Sakramen Pengampunan Dosa. Umat Katolik yang telah dibaptis, yang mengaku dosa secara langsung kepada Yesus tanpa mengaku dosa lewat Sakramen Pengampunan Dosa adalah salah dan sebenarnya membahayakan keselamatannya. Kesalahan orang itu bukan karena ia mengaku dosa secara langsung kepada Yesus, namun karena ia tidak mematuhi apa yang diperintahkan oleh Kristus sendiri yang mengatakan "21) Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” 22)Dan sesudah berkata demikian, Ia menghembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. 23)Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada." (Yoh 20:21-23). Silakan membaca keterangan lebih lanjut tentang hal ini di artikel pengakuan dosa 2 – silakan klik, dimana saya menjabarkan:

      a) Yesus memberikan pengutusan kepada para murid untuk meneruskan karya keselamatan Allah (ayat 21). Untuk apakah Yesus datang ke dunia ini? Dia datang untuk menjadi perantara antara Allah dan manusia dengan cara: mewartakan kabar gembira (lih. Luk 4:16-21), menjadi Pengantara untuk menyelamatkan semua orang (Ibr 7:25), dengan kuasa-Nya sebagai Raja dari segala raja (Why 19:16). Dan secara khusus tugas perantaraan tersebut dipenuhi dengan cara membebaskan manusia dari belenggu dosa dengan pengampunan dosa (1 Pet 2:21-25; Mrk 2:5-10).[3]

      b) Namun karya keselamatan ini tidak dapat dijalankan oleh manusia tanpa karya Roh Kudus. Oleh karena itu, Yesus menghembuskan Roh-Nya kepada para murid, sehingga mereka diberi kemampuan untuk menjalankan misi yang dipercayakan oleh Yesus (ayat 22). Dan ini juga merupakan antisipasi untuk hari Pentakosta.

      c) Dan lebih lanjut, Yesus memberikan penugasan dan otoritas yang begitu penting kepada para murid, yaitu otoritas untuk mengampuni dosa. Memang hanya Tuhan yang mempunyai hak untuk mengampuni dosa manusia. Namun Yesus sendiri yang memberikan kekuasaan ini kepada para murid. Kalau ditanya, apakah para murid mempunyai kemampuan untuk mengampuni dosa? Tidak. Namun ini adalah perintah dari Yesus sendiri. Yesus memberikan Roh KudusNya kepada para murid dan memberi kuasa kepada mereka untuk mengampuni dosa untuk menguduskan umatNya sampai akhir jaman. Jadi di ayat ini, Yesus, Sang Imam Agung memberikan mandat kepada para murid untuk meneruskan misi keselamatan di dunia ini dengan otoritas untuk mengampuni dosa dalam nama Kristus. Ayat ini juga mengingatkan kita tentang pengakuan Rasul Petrus akan ke-Allahan Yesus Kristus di Kaisarea Filipi, sehingga Yesus memberikan kunci kerajaan surga kepada Rasul Petrus (Mat 16:16-19).

      3) Jadi, kalau ditanya siapakah "kamu" yang dimaksud di ayay Yoh 20:23, maka jawabannya adalah a) Paus, sebagai penerus rasul Petrus, b) para uskup sebagai penerus para rasul, c) dan para imam tertahbis, yang diberikan kuasa oleh para uskup melalui tahbisan imamat.

      Semoga uraian di atas dapat memberikan keterangan yang lebih jelas dalam hubungannya antara pengakuan dosa secara langsung dan secara sakramental.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

  7. saya seorang kristiani, saya ingin tanya, mengapa di katolik masih ada patung2 dalam rupa manusia ataupun Allah?padahal kan di alkitab disebutkan “jangan membuat bagimu patung dalam bentuk apapun, apalagi dalam bentuk rupa ALLAH””karena Allah kita adalah Allah yang cemburu”, apalagi berdoa di depan patung dan tradisi mengarak-arak patung, karena Yesus tidak suka itu, karena Yesus ada di dalam hati kita tak perlu lagi dibuat patung.
    Lalu mengapa katolik menyembah Maria?yang kita tahu bahwa maria adalah manusia biasa dan juga manusia berdosa sama seperti kita, dan Yesus berkata bahwa hanya pada Dia saja ada kebenaran dan kekekalan, dan jangan menyembah siapapun selain Tuhan.Bukan berarti saya mengejek, saya pun tetap menghormati Maria sebagai Ibu Yesus, tapi ingat hanya dalam Yesus saja kita berdoa.
    Lalu mengapa harus ada pengakuan dosa di depan rohaniawan gerjawi?padahal pengakuan dosa merupakan pengakuan yang seharusnya tidak harus di suru, tetapi dengan hati.Karena saya pernah sekolah di sekolah katolik, murid katolik sering ada pengakuan dosa, tetapi setelah kembali dari kapel, mereka berkata-kata kasar lagi, dan mencontek, bahkan mereka mengaku kepada saya bahwa mereka berat dan malu mengakui kesalahan mereka kepada manusia.Hanya pada Yesus sajalah seharusnya kita datang secara pribadi dan hati yang tak terpaksa, karena Ia hanya memaafkan orang yang datang kepadaNya dengan spenuh hati tanpa paksaan.
    Terima kasih.Yesus memberkati

    NB:tanpa mengurangi rasa hormat, saya harap katolik dan protestan dapat bersatu, tanpa adanya perpecahan.karena kita satu dalam Kristus.
    [Dari Admin Katolisitas: pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

    • Saya ingin menanggapi Chong mengenai mengapa harus ada pengakuan dosa dihadapan rohaniawan?
      menurut saya hal tersebut adalah sesuatu yang sangat membantu bagi jemaat. Kadang sulit sekali bagi kita untuk mengaku dihadapan Tuhan. Kadang, kita mengaku kepada Tuhan namun hanya setengah hati, karena kita tidak berhadapan muka dengan Tuhan.
      Coba kita renungkan, saat kita berhadapan dengan rohaniawan, kita tidak akan berani berbuat hal yang buruk, mengaku dosa juga sulit. Namun saat sendirian tidak ada orang yang melihat dan sadar bahwa Tuhan melihat kita, kita justru melakukan dosa. Justru yang terjadi adalah sebaliknya kan?
      Terkadang melalui sikap kita, kita lebih menghormati Tuhan daripada manusia. Nah, dengan adanya pengakuan dosa dihadapan rohaniawan, kenapa kita tidak mengaggapnya sebagai suatu jalan bantuan, supaya kita bisa bersungguh2. Seandainya ada orang yang mengaku dosa didepan rohaniawan kemudian mengucapkan kata2 kasar setelah itu, atau berlaku dosa lagi,itu adalah tanggung jawab dia sendiri.
      Rohaniawan, menurut saya, mereka adalah orang yang menyerahkan dirinya bagi jemaatnya untuk berperan sebagai jembatan antara manusia dan Tuhan. Saya yakin, seorang pemimpin katolik tidak akan berhenti begitu saja setelah mendengar pegakuan dosa, namun dia akan selalu berdoa untuk orang yang mengaku dosa tersebut.
      Saya seorang protestan saat ini, saya tidak tahu banyak tentang katolik, mohon maaf jika ada hal yang tidak berkenan dalam pendapat saya.

      • Shalom Danny dan Chong,

        Terima kasih atas masukannya tentang mengapa orang harus mengaku dosa kepada seorang pastor. Yang dikemukakan oleh Danny ada benarnya, karena pengakuan dosa kepada seorang pastor lebih memacu kita untuk dapat menghindari dosa yang sama dan pada saat yang bersamaan kita mendapatkan nasehat yang berguna bagi kehidupan spiritual kita.

        Namun, yang lebih penting dari alasan yang telah disebutkan di atas mengapa Sakramen Tobat menjadi salah satu dari tujuh sakramen di dalam Gereja katolik adalah: 1) Tuhan sendiri yang memerintahkannya, 2) Dan perintah ini dapat terlihat di dalam Alkitab, tradisi Gereja – seperti terlihat dari pendapat para Bapa Gereja dan juga dari Magisterium Gereja. 3) kita belajar untuk menjadi rendah hati, 4) Karena Tuhan yang memerintahkan untuk mengaku dosa melalui pastor, maka orang yang menjalankan perintah ini akan mendapatkan berkat-berkat yang mengalir dari Sakramen Tobat ini, 5) Sakramen Tobat ini adalah sebagai sarana bagi umat Allah untuk hidup dalam kekudusan, sehingga dapat mengantar umat Allah kepada keselamatan.
        Pembahasan tentang Sakramen Tobat dapat dilihat dalam rangkaian artikel ini: (bagian 1, 2, 3, 4)

        Mari kita bersama-sama mensyukuri akan kebijaksanaan Tuhan dan kasih Tuhan yang dimanifestasikan lewat Sakramen Tobat ini. Terpujilah Tuhan yang maha adil dan berbelas kasih pada umat-Nya.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        stef – http://www.katolisitas.org

    • Yesus berkata : Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu (Mat 11 ; 28)

      Yesus berkata : Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yoh 14 ; 6)

      Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus (I Tim 2 : 5)

      Yesus sudah begitu baik membuka diriNya untuk kita orang berdosa untuk langsung datang kepadaNya.
      Hanya Yesus satu-satunya yang telah menebus kita orang berdosa dengan penderitaanNya di kayu salib.
      Jangan datang kepada yang lain ! Datanglah kepada Yesus saja. Dialah satu-satunya penyelamat kita para pendosa.

      God Bless

      • Shalom Anton,
        Semua ayat yang anda tuliskan sungguh juga merupakan pegangan bagi umat Katolik. Memang sungguh Tuhan Yesus adalah jalan, kebenaran dan hidup yang menghantar kita kepada Bapa (Yoh 14:6), dan bahwa Pengantaraan Yesus adalah Pengantaraan yang esa (1 Tim 2:5). Namun dalam hal Pengantaraan yang esa ini, terdapat perbedaan interpretasi, antara gereja Protestan dan Gereja Katolik. Gereja Protestan mengajarkan Pengantaraan Yesus yang eksklusif (Yesus saja), sedangkan Gereja Katolik mengajarkan bahwa Pengantaraan ini melibatkan anggota Tubuh-Nya yang lain, walaupun pengantaraan anggota-anggota Tubuh ini hanya bisa terjadi karena Pengantaraan Kristus sebagai Kepala-Nya.
        Mungkin ada baiknya anda membaca tanya jawab di sini, silakan klik, dan di sini, silakan klik, untuk lebih mengetahui apa dasarnya Gereja Katolik mengajarkan demikian. Pada prinsipnya, Gereja Katolik mengajarkan adanya persekutuan Orang Kudus yang tak terpisahkan oleh maut, sehingga sebagai kesatuan jemaat Kristus kita bisa saling mendoakan, atau dalam hal ini memohon agar para kudus di surga mendoakan kita. Namun tentu ini bukan untuk dipertentangkan dengan Pengantaraan Kristus, namun malahan untuk dilihat sebagai kesatuan dengan Pengantaraan Kristus. Inilah yang diajarkan oleh Gereja sejak jaman para rasul, dan inilah yang tetap diajarkan oleh Gereja Katolik sampai sekarang. Jika anda tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal persekutuan para orang kudus ini, silakan klik di sini.
        Ya, benar, saya juga setuju, mari kita datang kepada Yesus. Dalam hadirat-Nya kita dapat melihat kemuliaan-Nya bersama dengan para malaikat dan para orang kudus-Nya yang semua bersatu padu mendoakan kita yang masih berziarah di dunia ini.
        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

      • Shalom Anton,

        Terima kasih atas tanggapannya bahwa kita seharusnya mengaku dosa kepada Yesus secara langsung. Umat Katolik bukannya dilarang untuk mengaku dosa secara langsung kepada Yesus. Bahkan pada waktu kita berdosa, maka seharusnya umat Katolik harus berdoa dan memohon ampun kepada Yesus. Namun, Yesus sendiri yang memberikan Sakramen Pengampunan Dosa kepada umat-Nya, sehingga umat-Nya dapat bertumbuh di dalam kekudusan. Oleh karena itu, pertobatan pribadi yang dialaminya harus dimanifestasikan dalam Sakramen Tobat. 

        Saya menyetujui semua ayat-ayat yang Anton sebutkan (Mt 11:28; Yoh 14:6; 1 Tim 2:5). Namun ada beberapa ayat yang lain, yang Anton juga pasti tahu, seperti:

        "21. Maka kata Yesus sekali lagi: "Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. 22. Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: "Terimalah Roh Kudus. 23. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada." (Yoh 20:21-23).

        Kalau memang benar kita "harus" mengakukan dosa secara langsung kepada Yesus tanpa melalui Sakramen Tobat, mengapa Yesus mengatakan "Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada." Siapakah "kamu" yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas?

        Dan masih begitu banyak ayat yang lain, yang mendukung adanya pengajaran tentang Sakramen Pengampunan Dosa. Untuk penjelasan lebih lengkap, silakan membaca beberapa artikel tentang Pengakuan Dosa (bagian 1, 2, 3, 4), terutama di bagian 2 (silakan klik).

        Lebih lanjut, saya ingin mengutip apa yang dikatakan oleh Martin Luther sendiri:

        a) Dalam bukunya “Small Catechism” di bagian pengakuan dosa atau “Confession”, Luther mengatakan bahwa pengakuan dosa terdiri dari dua bagian: (1) kita mengakukan dosa kita, (2) kita menerima absolusi, atau pengampunan dosa, dari pemberi pengakuan dosa atau “confessor”, seperti menerimanya dari Tuhan sendiri.[6]

        b) Luther juga mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan seseorang mengambil pengakuan dosa pribadi darinya, dan dia tidak akan menyerahkan harta yang tak ternilai, karena dia tahu akan kekuataan yang didapatkan dari pengakuan dosa. …. Biarlah setiap orang datang dan mengakukan dosanya kepada yang lain secara rahasia, dan menerima apa yang dia katakan seperti Tuhan sendiri yang berbicara melalui mulut orang tersebut. [7]

        Saya menyarankan agar Anton dapat membaca beberapa link yang saya sebutkan di atas. Dan kalau setelah membaca beberapa artikel tersebut Anton masih mempunyai beberapa keberatan tentang Sakramen Pengampunan Dosa, silakan untuk menyampaikannya lagi dan kita dapat mendiskusikannya lebih jauh.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        stef – http://www.katolisitas.org

Comments are closed.