[Hari Minggu Adven III: Yes 61:1-2,10-11; Luk 1:46-54: 1Tes 5:16-24; Yoh 1:6-8,19-28]
“Wow, Romonya pake baju pink!” begitu gumamku dalam hati. Aku ingat, demikianlah reaksi spontanku sekian tahun yang lalu, saat pertama kalinya aku menjadi “ngeh” akan perayaan Minggu Gaudete, hari ini. Memasuki minggu ketiga masa Adven, memang warna pink digunakan sebagai warna liturgi, untuk menandai sukacita bahwa kita telah sampai di pertengahan masa penantian ini. Hari kelahiran Tuhan Yesus, Juru Selamat kita, telah semakin dekat. Bersama seluruh Gereja, kita serukan Antifon Pembuka, “Bersukacitalah selalu dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan, bersukacitalah! Sebab Tuhan sudah dekat!”
Bersukacitalah. Itulah pesan sabda Tuhan pada hari ini. Nabi Yesaya mengingatkan kepada kita, bahwa kalau kita memiliki Roh Tuhan dalam diri kita, maka kita akan dapat mewartakan kabar baik tentang Dia (lih. Yes 61:1). Betapa cocoknya pesan ini dengan apa yang disampaikan oleh Paus Fransiskus tentang suka cita Injil: “Suka cita Injil mengisi hati dan hidup semua orang yang berjumpa dengan Yesus. Mereka yang menerima tawaran keselamatan-Nya dibebaskan dari dosa, dukacita, kekosongan hati dan kesepian. Dengan Kristus, sukacita terus menerus lahir secara baru.” (Evangelii Gaudium, 1). Maka tak mengherankan bahwa secara khusus di masa Adven ini Gereja mengajak kita untuk bertobat, agar kita dapat dibebaskan dari dosa yang memisahkan kita dari Tuhan sehingga mengakibatkan dukacita dan kekosongan hati. Dengan bertobat, kita dapat kembali bersukacita, karena Roh Tuhan kembali tinggal di dalam diri kita dan memperbaharui kita. Maka seperti Nabi Yesaya, kita pun akan dapat bersukaria di dalam Tuhan, dan jiwa kita bersorak-sorai karena-Nya. Demikianlah Tuhan akan menumbuhkan kebenaran dan puji-pujian (lih. Yes 61:10-11), karena rahmat pengampunan-Nya menjadikan kita orang-orang yang dibenarkan dan dimampukan untuk memuji-muji Dia tanpa pamrih.
Mazmur hari ini yang diambil dari Nyanyian Pujian Maria, mengajarkan kepada kita agar kita dapat memuji Tuhan dengan hati yang tulus. Tidak pakai prinsip “ada udang di balik batu”, atau memuji Tuhan untuk maksud agar permohonan kita dikabulkan. Bukan. Kita memuji Tuhan karena memang ingin memuji kebaikan-Nya, karena Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepada kita. Di salah satu homilinya tahun lalu, Paus Fransiskus pernah berkata dengan jenaka, kurang lebih demikian, “Wajah cemberut tidak dapat mewartakan Yesus…. Bagaimana kita mewartakan Injil kalau kita murung?… Tanpa sukacita, kita tidak bisa menjadi bebas, kita menjadi budak dari penderitaan- penderitaan kita. Kita tidak bisa memajukan Injil dengan perilaku yang penuh kesedihan… Seringkali orang-orang Kristen berperilaku seolah-olah mereka sedang pergi ke sebuah prosesi pemakaman daripada memuji Allah, bukan? Padahal sukacita berasal dari pujian, seperti halnya pujian Maria kepada Allah… Dan bagaimana kita memuji Allah? Kita memuji-Nya dengan ungkapan yang keluar dari hati kita, “secara sukarela, seperti anugerah yang Dia berikan ini adalah sukarela…” Ini mendorong kita kepada sebuah pemeriksaan batin yang jujur: bagaimana kita berdoa kepada Allah, dengan sukarela atau terpaksa? Paus Fransiskus kembali bertanya, “Kalian yang hadir di Misa, apakah kalian memuji Allah atau apakah kalian hanya mengajukan permohonan kepada Allah…? Apakah kalian memuji Allah?…. Jika kalian tidak memuji Allah, kalian tidak akan pernah tahu rasa tanpa pamrih, dari menghabiskan waktu untuk memuji Allah. Misa [akan terasa] panjang dan lama! Tetapi jika kalian datang dengan sikap sukacita, sikap memuji Allah ini, Misa itu indah! Inilah yang akan terjadi dalam kekekalan: memberikan pujian kepada Allah! Dan itu tidak akan membosankan: ini indah! Sukacita ini membuat kita bebas.” (Homili, 31 Mei 2013)
Betapa pesan Paus ini menjadi sangat pas untuk kita renungkan di hari Minggu Gaudete ‘Sukacita’ ini. Marilah kita, bersama Bunda Maria, memuji Tuhan dan bersukacita karena Allah, Juruselamat kita! (Luk 1:46-47) Kita perlu memohon rahmat Tuhan, agar Ia memampukan kita untuk senantiasa bersukacita, berdoa dan mengucap syukur (1Tes 5:16-17). Kita pun perlu belajar dari Bunda Maria, agar kita dapat memuji Tuhan bukan karena pamrih, namun karena cinta. Didorong rasa cinta kepada Allah, semoga kita dapat selalu datang kepada-Nya dengan hati bersyukur dan memuji Dia atas segala kebaikan-Nya. Semoga dengan demikian, kita dapat menjadi saksi Kristus dan mewartakan Dia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yohanes Pembaptis: Ia telah mempersiapkan jalan bagi Tuhan, dan memperoleh kepenuhan sukacita (lih. Yoh 1:7,23; 3:29).
Mengikuti anjuran Paus Fransiskus, marilah kita berdoa, “Bunda Maria, doakanlah kami agar Putera-Mu Yesus berkenan memberikan rahmat sukacita kepada kami. Semoga dengan demikian, kami dapat memuji Tuhan dengan doa pujian yang tanpa pamrih. Karena Dia, Sang Juru Selamat yang kami nantikan, layak menerima pujian, selalu dan selamanya.”