Pengantar dari Editor:

Kehangatan cinta kasih Tuhan, belas kasihan, dan penyelenggaraan-Nya bagi Gereja-Nya melalui Bapa Suci Paus Fransiskus, hamba-Nya yang diurapiNya, selama ini telah kian meneguhkan perjalanan iman dan kasih kita semua sebagai umat beriman. Tentu merupakan pengalaman yang amat indah dan tak terlupakan, jika kita berkesempatan berjumpa secara langsung dan berinteraksi secara khusus dengan Bapa Suci yang rendah hati dan sangat dekat dengan umatnya ini. Yosepha Nadia Nicole berbagi dengan kita semua, saat-saat indah tak terlupakan itu, yang dihayatinya sebagai tak lain sesungguhnya merupakan pesan cinta kasih dan penyertaan setia Sang Gembala Utama, Kristus Tuhan kita itu sendiri, kepada setiap dari kita, anak-anak yang amat dikasihi-Nya. Terima kasih untuk sharing indahnya, Nadia Nicole.

Tuhan, semoga suatu saat saya boleh pergi ke Korea, dengan uang saya sendiri, mendatangi tempat syuting Winter Sonata yang indah itu”,- Doa seorang anak di ulang tahunnya yang ke-12.

Itulah doa masa kecil saya. Sekarang saya benar-benar percaya bahwa Tuhan tidak tidur. Menjadi salah satu dari 77 Delegasi Indonesia dalam acara 6th Asian Youth Day (AYD) di Daejon-Korea yang dilaksanakan selama tanggal 13-18 Agustus 2014 kemarin adalah sesuatu yang di luar mimpi saya, saya akan pergi ke Korea bukan sekedar jalan–jalan saja, melainkan menjadi duta anak muda Katolik Indonesia membawa misi Gereja! Sungguh, ini melebihi apa yang saya bayangkan.

Indonesia mendapat kesempatan untuk mengisi penyambutan Papa Francesco. Awalnya tidak terbersit sedikitpun untuk masuk dalam tim pemusik untuk acara penyambutan Papa Fransiskus. Namun karena melihat kurangnya orang, spontan saja saya menawarkan diri untuk memainkan musik rebana, jadilah saya satu-satunya perempuan di tengah-tengah tim musik Indonesia. Saya tidak menyangka bahwa pikiran spontan saya ini yang membawa saya ke dalam satu pengalaman yang tak terlupakan seumur hidup saya.

Konsekuensi menjadi pengisi acara adalah ekstra latihan dan meninggalkan beberapa sesi saat AYD. Puncak iman kami diuji saat General Rehearsal (GR). Malam itu kami harus meninggalkan camp lebih awal untuk GR di “Solmoe Shrine” yang lokasinya 2 jam dari camp kami, tempat di mana Papa Fransiskus akan bertemu dengan anak muda se-Asia. Semua peralatan yang sudah kami bawa dari Indonesia, kami persiapkan semua di sana. Tifa, sape, rebana, calung, momonglipu, gambang, dan alat musik tradisional yang lain kami boyong semua untuk tampilan yang terbaik. Setelah melalui pengecekan keamanan yang berlapis lapis, akhirnya semua alat dan perlengkapan kami bisa lolos.

Ternyata tantangan terbesar kami tidak di sana, tapi pada penampilan kami. Kebijakan panitia memutuskan beberapa hal yang membuat kami down. Di antaranya kami tidak bisa live performance, dan kemungkinan besar durasi penampilan kami harus dikurangi, karena alasan teknis. Itu artinya, alat-alat musik tradisional yang kami bawa belum tentu bisa tampil di panggung. Membayangkan pengorbanan teman-teman yang membawanya dari Indonesia, pengorbanan saat hunting alat-alat tersebut, dana yang harus dikeluarkan yang tidak sedikit, bila berakhir begini, sia sia rasanya! Belum lagi koreografi tarian yang sudah jadi harus diubah kembali. Fisik dan mental beberapa di antara kami hancur, tetesan air mata di mana-mana, ada yang langsung drop sakit. Melihat pemandangan seperti ini membuat hati saya miris. Terbersitlah salah satu lirik lagu yang menegarkan hati saya “Buluh yang terkulai, takkan dipatahkanNya, Dia kan jadikan indah, sungguh lebih berharga..”. Sungguh hanya Tuhan yang bisa kami andalkan saat itu, penyerahan diri kepada yang Empunya kehidupan.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Semangat pertemuan dengan Papa Francesco semakin membara. Persiapan kami pun akhirnya selesai, koreografi baru sudah dikuasai para penari. Hari itu, kami siap menampilkan yang terbaik. Kami datang beberapa saat lebih awal untuk persiapan dan menempati posisi masing-masing. Penari di belakang panggung dan para pemusik beserta alat tradisional kami di kiri panggung, masih dalam daerah karpet merah Papa Francesco.

Atmosfer tiba tiba berubah ketika gambar Papa Francesco muncul dalam TV besar di dalam Solmoe Shrine, beliau sudah sangat dekat dengan kami, hanya beberapa meter di luar sana! Dan beberapa menit lagi kami akan melihat beliau secara langsung! Gemuruh suara anak muda Katolik Asia memenuhi Solmoe Shrine, tidak kalah dengan teriakan saat konser musik artis papan atas. Jantung saya mulai berdegup kencang, yang awalnya biasa saja, saat ini perut mulai melilit dan nervous. Ditambah lagi saat tim koor mulai menyanyikan lagu “ Francesscooo…. Francesscoo..”, not-not minor yang mengguncangkan jiwa, menandakan Papa sudah sangat dekat!

Papa masuk tanpa kendaraan! Saya melihatnya dari layar besar di atas kami, tanpa rasa takut berjalan di karpet merah tersenyum pada ribuan anak muda yang mengarahkan smartphone mereka kepada Papa. Beberapa bodyguard mengelilingi beliau, namun Papa tetap dengan ramah menyapa semua teman-teman muda Asia. Semakin dekat, Papa melangkah ke arah panggung. Hatiku berdegup kencang “Akankah Papa melihat kami? Akankah Papa tersenyum pada kami?” Belum sempat semua itu terjawab, aku tak sanggup menahan diri dan berteriak dengan suara nyaring “ Papa Francescoooo…..! Papaaaaaa….!!! ”. Para bodyguard sudah berada di hadapan kami, membuka jalan ke kiri untuk Papa dapat melihat kami, dan Papa mengayunkan tangannya untuk kami – 12 orang pemusik – boleh datang padanya, satu per satu.

Mungkin karena terlihat sedikit emosional, kira-kira pada jarak 3 meter salah satu bodyguard menghentikan langkah saya dan salah satu teman saya untuk mendekati Papa. Saat itu hati kecil saya berkata “sudah cukup Tuhan, sedekat ini saja aku sudah sangat bersyukur”. Namun Papa mengayunkan tangannya seperti isyarat “kemarilah..” , dan akhirnya bodyguard mempersilakan kami mendekati Papa.

Segeralah saya berlari seperti anak kecil yang bertemu dengan seorang ayah. Saya berlutut dan segera mencium tangannya. Saat itu saya tidak bisa berfikir apa-apa selain rasa syukur yang mendalam, ketika menengadah ke atas, saya melihat Papa tersenyum. Matanya yang bulat, dan senyumnya yang tulus, disertai sinar panggung kuning kemerah-merahan yang menyinari bagian belakang Papa, membuat momen itu seperti sebuah mimpi. Saya tidak sedang bermimpi! Saya mencium tangan Papa Francesco! Wakil Yesus di dunia ini! Benar benar 5 detik dalam hidup saya yang tidak bisa terlupakan. Dengan berluapan rasa haru, dan senyum gembira, saya kembali ke tempat duduk, tak dapat terbendung air mata kebahagiaan yang tulus tercurah dari dalam hati. Belum selesai kami terharu, bodyguard yang sempat menghentikan saya dan teman saya, mendekati kami dan memberikan kami sesuatu, yang setelahnya saya tahu kalau itu adalah sebuah rosario dari Vatikan. “Siapakah aku ini Tuhan ??!!, hingga Engkau mencintaiku sebesar ini.. “.

Hari itu, tanggal 15 Agustus 2014, merupakan hari ulang tahun alm. Papa Agustinus Agus Setiawan yang ke-65 kalau beliau masih hidup. Saya yakin Papa sudah beristirahat dengan tenang di Rumah Bapa. Dan, hari itu juga saya boleh bertemu, dan mencium tangan Papa Francesco sebagai satu figur bapa yang baik di dunia ini. Itu merupakan suatu pesan dari Tuhan bahwa Dia tidak akan pernah meninggalkan saya. Terima kasih karena penyertaan-Mu ya Tuhan, terima kasih atas anugerah iman yang telah Engkau berikan kepadaku, terimakasih untuk kesempatan bertemu secara langsung dengan wakil-Mu di dunia ini di usiaku yang ke-25 ini. Semoga aku boleh membagikan kehangatan yang telah Engkau beri ini kepada saudara-saudaraku di luar sana. Pemberian dengan tulus dan seutuhnya. Amien.

Yosepha Nadia Nicole