[Berikut ini adalah artikel tentang Liturgi, yang ditulis berdasarkan atas korespondensi/ diskusi dengan Rm. Boli Ujan SVD, seorang pakar Liturgi di tanah air, dan salah satu pembimbing situs katolisitas.org. Apa yang tertulis di sini telah disetujui oleh beliau].
Arti liturgi
Liturgi (leitourgia) pada awalnya berarti “karya publik”. Dalam sejarah perkembangan Gereja, liturgi diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya keselamatan Allah. Di dalam liturgi, Kristus melanjutkan karya Keselamatan di dalam, dengan dan melalui Gereja-Nya. ((lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1069)) Dalam kitab Perjanjian Baru, yaitu Surat kepada Jemaat di Ibrani, kata leitourgia dan leitourgein disebut 3 kali (lih. Ibr 8:6; 9:21; 10:11) yang mengacu kepada pelayanan imamat Kristus.
Maka, liturgi merupakan wujud pelaksanaan tugas Kristus sebagai Imam Agung, di mana Kristus menjadi Pengantara satu-satunya antara manusia kepada Allah Bapa, dengan mengorbankan diri-Nya sekali untuk selama-lamanya (lih. Ibr 9:12; 1 Tim 2:5). Korban Kristus yang satu-satunya inilah yang dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus, dalam perayaan Ekaristi. Dengan demikian, liturgi merupakan penyembahan Kristus kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus, dan dalam melakukan penyembahan ini, Kristus melibatkan TubuhNya, yaitu Gereja. Karena itu, liturgi merupakan karya bersama antara Kristus-Sang Kepala, dan Gereja yang adalah Tubuh Kristus, ((lih. Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concillium 7)) sehingga tidak ada kegiatan Gereja yang lebih tinggi nilainya daripada liturgi karena di dalam liturgi terwujudlah persatuan yang begitu erat antara Kristus dengan Gereja sebagai ‘Mempelai’-Nya dan Tubuh-Nya sendiri. ((lih. KGK 1070, SC 7))
Jadi definisi liturgi, menurut Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi Suci, Mediator Dei, menjabarkan definisi liturgi sebagai berikut:
“Liturgi adalah ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus kita sebagai Kepala Gereja kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang dilakukan oleh komunitas umat beriman kepada Pendirinya [Kristus], dan melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya, liturgi adalah ibadat penyembahan yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus secara keseluruhan, yaitu Kepala dan anggota-anggotanya.” ((Paus Pius XII, Mediator Dei 20))
atau menurut Rm. Emanuel Martasudjita, Pr, “Liturgi adalah perayaan misteri karya keselamatan Allah di dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.” ((Rm. Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi, Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), p.22))
Partisipasi aktif dan sadar
Karena liturgi merupakan perayaan karya keselamatan yang dilakukan oleh Kristus dalam kesatuan dengan Gereja-Nya, maka kita yang adalah anggota- anggota-Nya harus turut mengambil bagian secara aktif di dalam liturgi. Mengapa? Karena liturgi dimaksudkan sebagai karya Kristus dengan melibatkan kita anggota- anggota-Nya, yaitu karya keselamatan Allah yang diperoleh melalui Misteri Paska Kristus, yaitu: wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke surga. Kita disatukan dalam Misteri Paska Kristus ini, dengan membawa persembahan hidup kita ke hadapan Allah, dan dengan inilah kita menjalankan martabat Pembaptisan kita sebagai umat pilihan Allah.
Redemptionis Sacramentum (RS) 36 Perayaan Misa, sebagai karya Kristus serta Gereja, merupakan pusat seluruh hidup Kristiani, baik untuk Gereja universal maupun untuk Gereja partikular, dan juga untuk tiap-tiap orang beriman, yang terlibat di dalamnya “pada cara-cara yang berbeda-beda sesuai dengan keanekaragaman jenjang, pelayanan dan partisipasi nyata.” Dengan cara ini umat Kristiani, “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, milik Allah sendiri”, menunjukkan jenjang-jenjangnya menurut susunan hirarki yang rapih. “Adapun imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda hakekatnya dan bukan hanya tingkatannya, saling terarahkan. Sebab keduanya dengan cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.”
RS 37 Maka itu partisipasi kaum beriman awam dalam Ekaristi dan dalam perayaan-perayaan gerejawi lain, tidak boleh merupakan suatu kehadiran melulu, apalagi suatu kehadiran pasif, sebaliknya harus sungguh dipandang sebagai suatu ungkapan iman dan kesadaran akan martabat pembaptisan.
Partisipasi secara aktif dan sadar ini terlihat dari keikutsertaan umat dalam aklamasi-aklamasi yang diserukan oleh umat, jawaban-jawaban tertentu, lagu-lagu mazmur dan kidung, gerak-gerik penghormatan, menjaga keheningan yang suci pada saat-saat tertentu, dan adanya rubrik-rubrik untuk peranan umat. Di samping itu peluang partisipasi umat dapat diwujudkan dalam pemilihan lagu-lagu, doa-doa, pembacaan teks Kitab Suci, dan dekorasi gereja. Keikutsertaan umat ini tujuannya adalah untuk semakin meningkatkan penghayatan akan sabda Allah dan misteri Paska Kristus yang sedang dirayakan (lih. RS 39). Namun demikian, di atas semua itu, partisipasi aktif dan sadar ini menyangkut sikap batin, yang semakin menghayati dan mengagumi makna perayaan Ekaristi:
RS 40 Akan tetapi, meskipun perayaan liturgis menuntut partisipasi aktif semua orang beriman, belum tentu berarti bahwa setiap orang harus melakukan kegiatan konkrit lain di samping tindakan dan gerak-gerik umum, seakan-akan setiap orang wajib melakukan satu tugas khusus dalam perayaan Ekaristi. Sebaliknya, melalui instruksi katekis harus diusahakan dengan tekun untuk memperbaiki pendapat-pendapat serta praktek-praktek yang dangkal itu, yang selama beberapa tahun terakhir ini sering terjadi. Katekese yang benar akan menanam kembali dalam hati seluruh orang Kristiani kekaguman akan mulianya serta agungnya misteri iman, yakni Ekaristi…. seluruh hidup Kristiani yang mendapat kekuatan daripadanya dan sekaligus tertuju kepadanya….
Tentang sikap batin ini, Redemptionis Sacramentum mengajarkan:
“Maka, haruslah menjadi jelas buat semua, bahwa Tuhan tidak dapat dihormati dengan layak kecuali pikiran dan hati diarahkan kepada-Nya…. (RS 26) Oleh karena itu, ….. semua umat harus sadar bahwa untuk mengambil bagian di dalam kurban Ekaristi adalah tugas dan martabat mereka yang utama. Dan maka bahwa bukan dengan cara yang pasif dan asal-asalan/malas, melantur dan melamun, tetapi dengan cara penuh perhatian dan konsentrasi, mereka dapat dipersatukan dengan se-erat mungkin dengan Sang Imam Agung, sesuai dengan perkataan Rasul Paulus, “Hendaklah kamu menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp 2:5) Dan bersama dengan Dia dan melalui Dia hendaklah mereka membuat persembahan, dan di dalam kesatuan dengan Dia, biarlah mereka mempersembahkan diri mereka sendiri (RS 80). “….menaruh pikiran yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” mensyaratkan bahwa semua orang Kristen harus mempunyai, sedapat mungkin secara manusiawi, sikap batin yang sama dengan yang telah terdapat pada Sang Penebus ilahi ketika Ia mempersembahkan Diri-Nya sebagai korban. Artinya mereka harus mempunyai sikap kerendahan hati, memberikan penyembahan, hormat, pujian dan syukur kepada Tuhan yang Maha tinggi dan maha besar. Selanjutnya, artinya mereka harus mengambil sikap seperti halnya sebagai kurban, [yaitu] bahwa mereka menyangkal diri mereka sendiri sebagaimana diperintahkan di dalam Injil, bahwa mereka dengan sukarela dan dengan kehendak sendiri melakukan pertobatan dan tiap-tiap orang membenci dosa-dosanya dan membayar denda dosanya. Dengan kata lain mereka harus mengalami kematian mistik dengan Kristus di kayu salib, sehingga kita dapat menerapkan kepada diri kita sendiri perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan Kristus” (Gal 2:19) (RS, 81)
“…. Jelaslah penting bahwa ritus kurban persembahan yang diucapkan secara kodrati, menandai penyembahan yang ada di dalam hati. Kini kurban Hukum yang Baru menandai bahwa penyembahan tertinggi di mana Sang Kepala yang mempersembahkan diri-Nya, yaitu Kristus, dan di dalam kesatuan dengan Dia dan melalui Dia, semua anggota Tubuh Mistik-Nya memberi kepada Tuhan penghormatan dan sembah sujud yang layak bagi-Nya. (RS 93)…. Agar persembahan di mana umat beriman mempersembahkan Kurban ilahi di dalam kurban ini kepada Bapa Surgawi memperoleh hasil yang penuh, adalah penting bahwa orang-orang menambahkan…. persembahan diri mereka sendiri sebagai kurban (RS 98). Maka semua bagian liturgi, akan menghasilkan di dalam hati kita keserupaan dengan Sang Penebus ilahi melalui misteri salib, menurut perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan Kristus. Aku hidup namun bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:19-20) Jadi kita menjadi kurban…. bersama dengan Kristus, untuk semakin memuliakan Bapa yang kekal.” (RS 102)
Penyesuaian liturgi bertujuan untuk meningkatkan peran serta para peraya secara aktif
Liturgi, sebagai karya Gereja (karya Kristus dan anggota-anggota-Nya) mengalami perkembangan dan penyesuaian; dan hal ini kita lihat dalam sejarah Gereja. Sebab bagaimanapun, liturgi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Gereja, dan karena itu segala bentuk penyesuaiannya harus semakin mendorong partisipasi umat di dalamnya dan mengarahkan umat kepada peningkatan penghayatan akan maknanya yang luhur.
Romo Boli Ujan SVD, seorang pakar liturgi di tanah air dan salah seorang narasumber di situs ini, pernah menulis di artikel tentang Penyesuaian dan Inkulturasi liturgi, silakan klik, demikian:
“Arah penyesuaian liturgi dari pihak para peraya sekaligus mengingatkan kita akan tujuan dari penyesuaian liturgi yaitu agar para peraya dapat dengan mudah dan jelas serta aktif mengambil bagian dalam perayaan. Dengan demikian kita lebih mampu memahami tindakan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya. …. Liturgi adalah perayaan pertemuan antara Allah dengan manusia dan antara anggota persekutuan satu sama lain yang disatukan dalam Allah. Kehadiran Allah dalam liturgi ini merupakan hal pokok yang tidak dapat digantikan oleh yang lain. Inilah yang membuat keseluruhan suasana perayaan menjadi kudus dan berbeda dengan suasana profan…..
[Namun] Sering penyesuaian liturgi dipandang sebagai kegiatan satu arah saja yaitu upaya dari pihak Allah dan para petugas khusus untuk membuat liturgi itu menjadi relevan dan sesuai dengan para peraya. Padahal liturgi merupakan pertemuan antara Allah dan manusia, dalamnya terjadi dialog bukan monolog. Liturgi sebagai karya Allah ditanggapi oleh para peraya. Maka penyesuaian dari pihak Allah dan para petugas khusus dalam liturgi perlu ditanggapi oleh semua peraya. Dalam liturgi manusia harus berusaha menyesuaikan diri dengan Allah serta rencana-rencana-Nya, dan menyesuaikan diri dengan pedoman-pedoman liturgi terutama pedoman umum mengenai hal-hal pokok dan penting yang dipandang sebagai unsur pembentuk liturgi. Arah penyesuaian terakhir sering kurang mendapat perhatian dalam pembicaraan mengenai pokok ini, sebab yang lebih diutamakan dalam diskusi dan proses penyesuaian liturgi adalah segala upaya membuat liturgi itu sesuai atau cocok untuk para peraya. Kalau demikian penyesuaian liturgi menjadi pincang.”
Beberapa Pelanggaran Liturgi dalam Perayaan Ekaristi
Setelah kita mengetahui pengertian tentang liturgi, mari kita lihat bersama adanya pelanggaran-pelanggaran yang umum terjadi di dalam liturgi Perayaan Ekaristi, yang biasanya didasari oleh kekurangpahaman ataupun ketidakseimbangan dialog antara pihak Allah dan pihak peraya. Dewasa ini, ada kecenderungan untuk terlalu mengikuti kehendak para peraya, sampai mengesampingkan apa yang sebenarnya menjadi hal prinsip yang menjadi kehendak Allah, atau yang selayaknya diberikan kepada Allah sebagai ungkapan penghargaan kita akan Misteri Paska yang kita rayakan dalam liturgi. Kekurangpahaman ataupun ketimpangan penyesuaian dalam liturgi ini melahirkan banyak pelanggaran-pelanggaran, dan berikut ini adalah beberapa contohnya:
Pelanggaran sehubungan dengan persiapan batin sebelum mengikuti Misa Kudus:
1. Tidak berpuasa sedikitnya sejam sebelum menerima Komuni
Seharusnya:
KHK Kan. 919
§ 1 Yang akan menerima Ekaristi Mahakudus hendaknya berpantang dari segala macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya satu jam sebelum komuni, terkecuali air semata-mata dan obat-obatan.
Maksud puasa sebelum Komuni tentu adalah untuk semakin menyadarkan kita bahwa yang akan kita santap dalam Ekaristi adalah bukan makanan biasa, namun adalah Tuhan sendiri: yaitu Kristus Sang Roti Hidup, yang dapat membawa kita kepada kehidupan kekal (lih. Yoh 6:56-57)
2. Menggunakan pakaian yang tidak/ kurang sopan ke gereja, datang terlambat, ngobrol, berBBM/ SMS di gereja, makan dan minum di dalam gereja, terutama anak- anak, anggota koor yang minum sebelum/ sesudah bertugas, umat saat menunggu dimulainya perayaan Ekaristi.
Seharusnya:
KGK 1387 ….Di dalam sikap (gerak-gerik, pakaian) akan terungkap penghormatan, kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus menjadi tamu kita. (CCC 1387 …. Bodily demeanor (gestures, clothing) ought to convey the respect, solemnity, and joy of this moment when Christ becomes our guest)
Sudah sewajarnya dan sepantasnya jika kita memberikan penghormatan kepada Allah yang kita jumpai di dalam liturgi. Jika sikap seenaknya tidak kita lakukan jika kita sedang bertemu bapak Presiden, maka selayaknya kita tidak bersikap demikian kepada Tuhan yang kita jumpai di gereja.
3. Tidak memeriksa batin, namun tetap menyambut Komuni meskipun dalam keadaan berdosa berat
Seharusnya:
RS 81 Kebiasaan sejak dahulu kala menunjukkan bahwa setiap orang harus memeriksa batinnya dengan mendalam, dan bahwa setiap orang yang sadar telah melakukan dosa berat tidak boleh menyambut Tubuh Tuhan kalau tidak terlebih dahulu menerima Sakramen Tobat, kecuali jika ada alasan berat dan tidak tersedia kemungkinan untuk mengaku dosa; dalam hal itu ia harus ingat bahwa ia harus membuat doa tobat sempurna, dan dalam doa ini dengan sendirinya tercantum maksud untuk mengaku dosa secepat mungkin (lih. KGK 1385, KHK Kan 916, Ecclesia de Eucharistia, 36)
Dosa berat memisahkan kita dari Kristus, dan karena itu untuk bersatu dengan-Nya kita harus meninggalkan dosa tersebut, dan mengakukannya di dalam sakramen Tobat. Contoh dosa berat ini misalnya jika hidup dalam perkawinan yang tidak sah menurut hukum Gereja Katolik, atau hidup dalam perzinahan/ percabulan, atau dalam keadaan kecanduan obat-obatan, dst. Kekecualian akan “adanya alasan berat dan tidak tersedia kemungkinan mengaku dosa”, contohnya adalah bahaya maut, atau jika tinggal di daerah terpencil di mana Komuni dibagikan oleh seorang asisten imam dalam waktu sekian minggu sekali.
Pelanggaran dalam bagian- bagian Misa Kudus:
1. Mazmur Tanggapan digantikan dengan lagu rohani lainnya
Seharusnya:
Redemptoris Sacramentum (RS) 62 “Tidak juga diperkenankan meniadakan atau menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagi “mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi Sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci.” (lih. juga PUMR 57)
Katekismus mengajarkan bahwa kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi nyata dalam: 1) diri imamnya; 2) secara khusus dalam rupa roti dan anggur; 3) dalam sabda Allah (bacaan-bacaan Kitab Suci); 4) dalam jemaat yang berkumpul (lih. KGK 1088). Nah sabda Allah yang dimaksud di sini adalah bacaan di dalam Liturgi Sabda, dan ini termasuk bacaan Mazmur pada hari itu.
Selanjutnya tentang pembahasan topik ini, klik di sini.
2. Ordinarium digantikan dengan lagu- lagu lain dengan teks yang berbeda, yang tidak sama dengan yang sudah disahkan KWI.
RS 59 Di sana-sini terjadi bahwa Imam, Diakon atau umat dengan bebas mengubahkan atau menggantikan teks-teks liturgi suci yang harus mereka bawakan. Praktek yang amat tidak baik ini harus dihentikan. Karena dengan berbuat demikian, perayaan Liturgi Suci digoyahkan dan tidak jarang arti asli liturgi dibengkokkan.
Seharusnya:
PUMR 393 Perlu diperhatikan pentingnya nyanyian dalam Misa sebagai bagian utuh dari liturgi. Konferensi Uskuplah yang berwenang mengesahkan lagu-lagu yang serasi, khususnya untuk teks-teks Ordinarium, jawaban dan aklamasi umat, dan untuk ritus-ritus khusus yang diselenggarakan dalam kurun tahun liturgi….
Rumusan Ordinarium merupakan pernyataan iman Gereja yang sifatnya baku, sehingga tidak selayaknya diubah-ubah atas kehendak pribadi.
3. Kurangnya saat hening.
Seharusnya:
PUMR 45 Beberapa kali dalam Misa hendaknya diadakan saat hening. Saat hening juga merupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda menurut makna bagian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat umat mawas diri, dan sesudah ajakan untuk doa pembuka umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang didengar. Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati.
Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.
PUMR 56 Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari. Selama Liturgi Sabda, sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung pada besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapkan sabda Allah, dengan dukungan Roh Kudus, dan untuk menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.
4. Diizinkannya seorang awam untuk berkhotbah/ memberikan kesaksian di dalam homili (misalnya untuk mengisi homili Minggu Panggilan, homili di misa requiem, ataupun kesempatan khusus lainnya).
Seharusnya:
RS 64 Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari liturgi itu “pada umumnya dibawakan oleh Imam perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam….”
RS 66 Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh ada kekecualian untuk orang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun.
RS 74 Jika dipandang perlu bahwa kepada umat yang berkumpul di dalam gereja, diberi instruksi atau kesaksian tentang hidup Kristiani oleh seorang awam, maka sepatutnya hal ini dibuat di luar Misa. Akan tetapi jika ada alasan kuat, maka dapat diizinkan bahwa suatu instruksi atau kesaksian yang demikian disampaikan setelah Doa sesudah Komuni. Namun hal ini tidak boleh menjadi kebiasaan. Selain itu, instruksi atau kesaksian itu tidak boleh bercorak seperti sebuah homili, dan tidak boleh homili dibatalkan karena ada acara dimaksud.
RS 67 Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh berdasarkan misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta patokan hidup Kristiani, bertitik tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang bagian umum (Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dala Misa ataupun suatu perayaan gerejawi lain…..
5. Pemberian Salam Damai yang dilakukan terlalu meriah dan panjang, sampai imam turun dari panti imam.
Seharusnya:
RS 71 Perlu mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, untuk saling menyampaikan salam damai menjelang Komuni. Sesuai dengan tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimaksudkan sebagai rekonsiliasi atau pengampunan dosa, melainkan mau menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus. Segi rekonsiliasi antara umat yang hadir lebih diungkapkan dalam upacara tobat pada awal Misa, khususnya dalam rumus pertama.
RS 72 “Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang pantas.” “Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu….”
Salam Damai perlu dipertahankan, hanya hal dinyanyikan atau tidak, itu tidak secara eksplisit dinyatakan di dalam dokumen Gereja. Bagi yang memilih untuk menyanyikannya, dasarnya karena menganggap bahwa nyanyian itu merupakan cara menyampaikan damai. Sedangkan yang tidak menyanyikannya, kemungkinan menganggap bahwa hal dinyanyikannya Salam Damai tidak eksplisit disyaratkan dalam dokumen Gereja, dan karena jika dinyanyikan malah dapat mengganggu pusat perhatian saat itu yang seharusnya difokuskan kepada Kristus. Jika kelak ingin diseragamkan, maka pihak KWI-lah yang berwenang untuk menentukan apakah Salam Damai ini akan dinyanyikan atau tidak dinyanyikan.
Pelanggaran dalam hal penerimaan Komuni:
1. Umat mencelupkan sendiri Hosti ke dalam piala anggur.
Seharusnya:
RS 94 Umat tidak diizinkan mengambil sendiri– apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus.
RS 104 Umat yang menyambut, tidak diberi izin untuk mencelupkan sendiri hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia menerima hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya…..
PUMR 160 Umat tidak diperkenankan mengambil sendiri roti kudus atau piala, apalagi saling memberikannya antar mereka. Umat menyambut entah sambil berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan ketentuan Konferensi Uskup…
Pada hakekatnya Komuni adalah sesuatu yang “diberikan” oleh Kristus: “Terimalah dan makanlah inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi-Mu…. Terimalah dan minumlah, inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu….”. Jadi bukan sesuatu yang dapat diambil sendiri.
2. Pengantin saling menerimakan Komuni.
Seharusnya, tidak boleh:
RS 94 Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga penyimpangan di mana kedua mempelai saling menerimakan Komuni dalam misa perkawinan.
Ekaristi kudus adalah kurban Kristus, dan diberikan oleh Kristus (melalui imam ataupun petugas pembagi Komuni tak lazim yang diberi tugas tersebut), sehingga bukan untuk saling diterimakan oleh umat sendiri.
3. Umat yang menerima Komuni dengan tangan, tidak melakukan sikap penghormatan sebelum menerimanya.
Seharusnya:
PUMR 160 ….Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat yang serasi, sebagaimana ditentukan dalam kaidah- kaidah mengenai komuni.
Adalah baik jika sesaat sebelum menyambut Komuni umat menundukkan kepala, tanda penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir di dalamnya.
4. Patena sudah jarang digunakan.
Seharusnya:
RS 93 Patena Komuni untuk umat hendaknya dipertahankan, demi menghindarkan bahaya jatuhnya hosti kudus atau pecahannya.
5. Umat tidak menjawab “Amin” pada perkataan Romo, “Tubuh Kristus” sebelum menerima hosti.
Seharusnya:
PUMR 287 Kalau komuni dua rupa dilaksanakan dengan mencelupkan hosti ke dalam anggur, tiap penyambut, sambil memegang patena di bawah dagu, menghadap imam yang memegang piala. Di samping imam berdiri pelayan yang memegang bejana kudus berisi hosti. Imam mengambil hosti, mencelupkan sebagian ke dalam piala, memperlihatkannya kepada penyambut sambil berkata: Tubuh dan Darah Kristus. Penyambut menjawab: Amin, lalu menerima hosti dengan mulut, dan kemudian kembali ke tempat duduk.
6. Petugas Pembagi Komuni Tak Lazim (atau dikenal umat dengan istilah pro-diakon) membagi Komuni, Pastor malah duduk.
Seharusnya:
RS 154 Seperti sudah dinyatakan, “pelayan yang selaku pribadi Kristus dapat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah Imam yang ditahbiskan secara sah” (lih. KHK Kan 900, 1) Karena itu, istilah “pelayan Ekaristi: hanya dapat diterapkan pada seorang Imam. Di samping itu, berdasarkan pentahbisan suci, pelayan-pelayan yang lazim untuk memberi komuni adalah Uskup, Imam dan Diakon….
RS 151 Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan tak lazim dalam perayaan liturgi. Permohonan akan bantuan yang demikian bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan, karena kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat…..
RS 152 Jabatan- jabatan yang semata- mata pelengkap ini jangan dipergunakan untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh para Imam demikian rupa…..
RS 157 ….Tidak dapat dibenarkan kebiasaan para Imam yang, walaupun hadir pada perayaan itu, tidak membagi komuni dan menyerahkan tugas ini kepada orang-orang awam.
Pelanggaran dalam hal musik liturgis:
1. Dinyanyikannya lagu-lagu pop rohani dalam perayaan Ekaristi
Seharusnya:
Tra le Sollecitudini 1 Musik liturgis (sacred music)… mengambil bagian dalam ruang lingkup umum liturgi, yaitu kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pengajaran umat beriman. Musik liturgis memberi kontribusi kepada keindahan dan keagungan upacara gerejawi, dan karena tujuan prinsipnya adalah untuk melingkupi teks liturgis dengan melodi yang cocok demi pemahaman umat beriman, tujuan utamanya adalah untuk menambahkan dayaguna-nya kepada teks, agar melaluinya umat dapat lebih terdorong kepada devosi dan lebih baik diarahkan kepada penerimaan buah-buah rahmat yang dihasilkan oleh perayaan misteri-misteri yang paling kudus tersebut.
Tra le Sollecitudini 2 Karena itu musik liturgis (sacred music) … harus kudus, dan harus tidak memasukkan segala bentuk profanitas, tidak hanya di dalam musik itu sendiri, tetapi juga di dalam cara pembawaannya oleh mereka yang memainkannya.
Tra le Sollecitudini 5 Gereja telah selalu mengakui dan menyukai kemajuan dalam hal seni, dan menerima bagi pelayanan agama semua yang baik dan indah yang ditemukan oleh para pakar yang ada sepanjang sejarah — namun demikian, selalu sesuai dengan kaidah- kaidah liturgi. Karena itu musik modern juga diterima Gereja, sebab musik tersebut menyelesaikan komposisi dengan keistimewaan, keagungan dan kedalaman, sehingga bukannya tak layak bagi fungsi-fungsi liturgis. Namun karena musik modern telah timbul kebanyakan untuk melayani penggunaan profan, maka perhatian yang khusus harus diberikan sehubungan dengan itu, agar komposisi musik dengan gaya modern yang diterima oleh Gereja tidak mengandung apapun yang profan, menjadi bebas dari sisa-sisa motif yang diangkat dari teater, dan tidak disusun bahkan di dalam bentuk- bentuk teatrikal seperti cara menyusun lagu- lagu profan.
Harus dibedakan bahwa untuk lagu-lagu liturgis, lagu bukan hanya sebagai ungkapan perasaan tetapi ungkapan iman (lex orandi lex credendi).
2. Adanya tari- tarian yang menyerupai pertunjukan/ performance diadakan dalam perayaan Ekaristi, kemudian diikuti dengan tepuk tangan umat.
Seharusnya:
RS 78 … Perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik.
Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi 17 …. Di kalangan sejumlah suku, nyanyian secara naluriah terkait dengan tepuk tangan, gerak tubuh secara ritmis, dan bahkan tarian. Ini semua adalah bentuk lahiriah dari gejolak batin dan merupakan bagian dari tradisi suku ….Jelas, itu hendaknya menjadi ungkapan tulus doa jemaat dan tidak sekedar menjadi tontonan…
Paus Benediktus XVI dalam The Spirit of the Liturgy (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 198: “Adalah suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi “menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin ditarikan oleh grop dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut pandang profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan. Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius. Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai bentuk gelitik religius.”
Kardinal Arinze menjelaskannya demikian: bahwa pada budaya- budaya tertentu (yaitu di Afrika dan Asia), tarian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cara penyembahan, namun gerakan ini adalah ‘graceful movement‘ untuk menunjukkan suka cita dan penghormatan, dan bukan ‘performance‘. Dalam budaya ini, gerakan tersebut dapat diadakan dalam prosesi perayaan Ekaristi, namun bukan sebagai pertunjukan. Sedangkan di tempat- tempat lain di mana tarian tidak menjadi bagian dari penyembahan/ penghormatan (seperti di Eropa dan Amerika) maka memasukkan tarian ke dalam perayaan Ekaristi menjadi tidak relevan. Untuk mendengarkan penjelasan Kardinal Arinze tentang hal ini, silakan klik.
3. Band masuk gereja dan digunakan sebagai alat musik liturgi.
Seharusnya:
Tra le Sollecitudini 19 Penggunaan alat musik piano tidak diperkenankan di gereja, sebagaimana juga alat musik yang ribut atau berkesan tidak serius (frivolous), seperti drum, cymbals, bells dan sejenisnya.
Tra le Sollecitudini 20 Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan organ.
Maka diperlukan izin khusus untuk menggunakan alat-alat musik lain, terutama jika alat tersebut dapat memberikan efek ribut/ keras, dan berkesan profan/ tidak serius.
Beberapa Pertanyaan tentang Liturgi:
1. Mengenai musik liturgi, apa seharusnya alat musik yang digunakan? Bolehkah menggunakan organ dengan tambahan suara alat musik lain?
Bila mengacu kepada Sacrosanctum Concilium 120, alat musik yang sebaiknya digunakan adalah organ pipa. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan penggunaan alat musik lain, sepanjang disetujui oleh pihak otoritas Gereja, dan asalkan sesuai untuk digunakan dalam musik sakral.
SC 120 “Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke surga. Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.”
Paus Pius XII mengeluarkan dokumen tentang Musik Liturgis yang berjudul Musicae Sacrae (MS), dan secara khusus menyebutkan tentang hal ini demikian:
MS 59 “Selain organ, alat-alat musik lain dapat digunakan untuk memberikan bantuan besar dalam mencapai maksud yang tinggi dari musik liturgi, asalkan mereka tidak memainkan apapun yang profan, yang berisik atau hingar bingar dan tidak bertentangan dengan pelayanan sakral atau martabat tempat kudus. Di antara alat-alat musik ini, biola dan alat-alat musik lainnya yang menggunakan cekungan (bow) adalah baik sebab ketika dimainkan sendiri atau dengan alat musik senar lainnya, alat- alat musik ini mengekspresikan perasaan suka cita dan dukacita dalam jiwa dengan kekuatan yang tak dapat dilukiskan…”
Sedangkan tentang hal alat musik ini, Rm. Bosco da Cunha dari Komisi Liturgi KWI mengatakan:
“KWI masih dalam proses berusaha mengaktualisasi dokumen Sacrosanctum Concilium Konsili Vatikan II; KWI tidak gegabah. Usaha penelitian dan percobaan alat musik tradisional aneka suku bangsa sudah mulai dengan “Pusat Musik Liturgi” Yogyakarta dipimpin Romo Karl Edmund Prier SJ sejak 1980an namun masih berlangsung”.
Beliau menyarankan bagi yang berminat mengetahui lebih lanjut untuk mengunjungi PML Yogyakarta di Jl. Abubakar Ali Kotabaru Yogyakarta untuk mengetahui studio dan showroom karya-karya musik liturgi inkulturatif.
2. Bila dikaitkan dengan adaptasi-adaptasi yang muncul di Sacrosanctum Concilium, bagaimana batasan-batasannya agar tidak mengontradiksi dokumen-dokumen Gereja lainnya (dalam hal penentuan musik liturgi)?
Musicae Sacrae 60 “Sebab jika musik itu tidak profan atau bertentangan dengan kesakralan tempat dan fungsi dan tidak berasal dari keinginan untuk mencapai efek-efek yang luar biasa dan tidak lazim, maka gereja-gereja kita harus menerimanya, sebab mereka dapat menyumbangkan dalam cara yang tidak kecil terhadap keagungan upacara-upacara sakral, dapat mengangkat pikiran kepada hal-hal yang lebih tinggi dan dapat menumbuhkan devosi yang sejati dari jiwa.” (lih. MD 193)
Maka, nampaknya yang perlu dijadikan patokan adalah prinsipnya, yaitu:
1) Tidak memasukkan unsur profanitas dalam musik liturgis;
2) Musik itu tidak menghasilkan efek suara yang luar biasa dan tak lazim
3) Musik itu dapat membantu mengangkat pikiran kepada hal- hal yang lebih tinggi:
Apakah membantu ke-empat hal ini: penyembahan (worship/ adoration), syukur (thanksgiving), pertobatan (contrition), permohonan (supplication).
4) Menggunakan musik-musik yang sudah mendapat persetujuan dari otoritas Gereja (ada Nihil Obstat dan Imprimatur);
5) Mengacu kepada ketentuan yang sudah pernah secara eksplisit ditentukan oleh otoritas Gereja.
3. Bolehkah choir (koor) terdiri dari perempuan?
Walaupun di dokumen yang dikeluarkan oleh Paus Pius X, Tra le Sollecitudini 13,14 (1903) dikatakan bahwa untuk koor anggotanya harus laki-laki- mungkin karena hal ini merupakan tradisi Gereja sejak zaman dulu; namun ketentuan ini kemudian diperbaharui di dokumen berikutnya tentang Musik Liturgi yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII, Musicae Sacrae, demikian:
MS 74 Ketika tidak mungkin diperoleh sekolah paduan suara (Scholae Cantorum) atau di mana tidak ada cukup anak laki-laki untuk koor, diperbolehkan bahwa “kelompok pria dan wanita atau anak-anak perempuan, yang ditempatkan di luar tempat kudus (sanctuary) yang terpisah untuk penggunaan kelompok ini secara khusus, dapat menyanyikan teks-teks liturgi pada saat Misa Agung, sepanjang para pria dipisahkan dari para wanita dan anak- anak perempuan dan segala yang tidak pantas dihindari….
4. Perlukah kita ikut membungkuk setiap saat seorang imam membungkuk dalam Perayaan Ekaristi?
Tidak perlu. Yang ditulis dalam Tata Perayaan Ekaristi adalah, umat membungkuk pada waktu Ritus Pembuka ketika Imam dan Pelayan lain menghormati Altar, dan pada sesudah kata-kata Konsekrasi atas roti dan anggur, ketika Imam berlutut; dan pada saat Credo (syahadat) yaitu pada perkataan, “[Yesus Kristus] yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria”.
5. Bolehkah imam menambah hanya beberapa kata atau bagian dalam sebuah Perayaan Ekaristi?
Jika ada titik-titik (….) boleh disebutkan nama orang yang didoakan (doa bagi orang yang masih hidup maupun orang yang sudah meninggal) seperti dalam Doa Syukur Agung pertama.
RS 51 ….”Tidak ada toleransi terhadap imam-imam yang merasa berhak menyusun Doa Syukur Agungnya sendiri” atau mengubahkan teks-teks yang sudah disahkan oleh Gereja atau memperkenalkan teks-teks lain, yang telah dikarang oleh pribadi-pribadi tertentu.
6. Bagaimana seharusnya kostum pelayan altar? Apakah betul pelayan altar putri seharusnya mengenakan alba dan mengapa?
Apakah wanita ideal untuk menjadi pelayan altar walaupun diperbolehkan?
PUMR 339 Akolit, lektor dan pelayan awam lain boleh mengenakan alba atau busana lain yang disahkan oleh Konferensi Uskup untuk wilayah gerejawi yang bersangkutan.
RS 47 Sangat dianjurkan untuk mempertahankan kebiasaan yang luhur yakni pelayanan altar oleh anak laki-laki atau pemuda, biasanya disebut pelayan Misa, suatu tugas yang dilaksanakannya seturut cara akolit. Hendaknya mereka diberi katekese tentang fungsi mereka sesuai dengan daya tangkap mereka. Perlu diingat bahwa berabad-abad lamanya dari amat banyak anak seperti ini telah muncul banyak pelayan tertahbis….. Anak perempuan atau ibu-ibu boleh diterima untuk melayani altar, sesuai dengan kebijakan Uskup diocesan dan dengan memperhatikan norma-norma yang sudah ditetapkan.
7. Apakah inkulturasi liturgi memperbolehkan penggunaan berbagai macam alat musik di luar organ pipa?
Hal ini dimungkinkan. Pimpinan Gereja yang mengambil keputusan untuk menggunakan alat- alat musik lain, hendaknya dalam proses adaptasi- inkulturasi membuat penelitian untuk mengetahui apakah alat musik tersebut digunakan dalam ibadat religius menurut budaya setempat dan sungguh membantu umat beriman mengangkat hati kepada Tuhan untuk memuji dan menyembahnya? Bisa saja alat musik yang sama digunakan baik dalam upacara keagamaan dan dalam perayaan profan, tetapi harus diperhatikan perbedaan dalam cara menggunakannya. Ada nada dan melodi yang khas dalam upacara keagamaan dan dalam acara profan. Seperti pada alat tifa dalam budaya orang Papua Selatan, ada bunyi dan cara memukul yang khas dalam ibadat religius, yang berbeda dengan bunyi dan cara memukul tifa tersebut jika digunakan untuk kegiatan- kegiatan yang profan saja.
PUMR 393 …. Demikian pula, Konferensi Uskuplah yang berwenang memutuskan gaya musik, melodi, dan alat musik yang boleh digunakan dalam ibadat ilahi; semua itu sejauh serasi, atau dapat diserasikan dengan penggunaannya yang bersifat kudus.
Kesimpulan: Mengapa perlu memperhatikan norma-norma Liturgi dan menghindari penyelewengannya?
Adalah penting kita ketahui bersama, bahwa “Norma-norma liturgi Ekaristi dimaksudkan untuk mengungkapkan dan melindungi misteri Ekaristi dan juga menjelaskan bahwa Gerejalah yang merayakan sakramen dan pengorbanan yang agung. Sebagaimana yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II, “Norma-norma ini adalah ungkapan konkret dari kodrat gerejawi otentik mengenai Ekaristi; inilah maknanya yang terdalam. Liturgi tak pernah menjadi milik perorangan, baik dari selebran maupun komunitas, tempat misteri-misteri dirayakan.” ((Ecclesia de Eucharistia, 52)) Ini berarti bahwa “… para imam yang merayakan Misa dengan setia seturut norma-norma liturgi, dan komunitas-komunitas yang mengikuti norma-norma itu, dengan tenang namun lantang memperagakan kasih mereka terhadap Gereja. ((Ibid., lih. Redemptoris Sacramentum, Lampiran, 2))
Adanya penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam liturgi seringkali berhubungan dengan salah persepsi tentang makna ‘kebebasan’; dan hal ini tidak menuju kepada pembaharuan sejati yang diharapkan oleh Konsili Vatikan II. Karena penyimpangan ini dapat mengakibatkan merosotnya/ hubungan yang perlu antara hukum doa dengan hukum iman, yaitu bahwa doa harus merupakan ungkapan iman (lex orandi, lex credendi).
Akhirnya, marilah kita berpartisipasi secara aktif dan sadar setiap kali kita mengikuti perayaan liturgi, dan juga dengan memperhatikan dan melaksanakan ketentuan- ketentuannya, sebagai tanda bukti bahwa kita mengasihi Kristus dan Gereja-Nya.
Salam kasih, Romo/Pak Stef/Bu Ingrid/Tim Katolisitas,
Saya ingin bertanya lagi, mengenai persembahan dalam misa. Praktik yang terjadi seperti ini:
1. Bahan-bahan persembahan diantar oleh 3 orang: 1 orang membawa kedua ampul berisi air dan anggur, 1 orang membawa sibori berisi hosti kecil, 1 orang lagi membawa piala dengan purificatorium, patena, hosti besar, dan korporal.
2. Bahan-bahan persembahan diantar oleh 2 orang: 1 orang membawa kedua ampul berisi air dan anggur, 1 orang lagi membawa sibori berisi hosti kecil. Kalau begini, hosti besar tidak dibawa dalam perarakan persembahan. Mungkin menghindari membawa kain-kain itu (purificatorium dll.) sebagai bahan persembahan.
3. Bahan-bahan persembahan diantar oleh 2 orang: 1 orang membawa kedua ampul berisi air dan anggur, 1 orang lagi membawa patena yang di atasnya ada hosti besar. Hosti untuk umat nantinya diambil dari tabernakel.
Dari ketiga praktik tersebut, manakah yang tepat? Atau apakah ketiganya kurang tepat? Jika demikian, bagaimana seharusnya?
Lalu, di PUMR dikatakan bahwa pada saat persembahan diterima juga uang. Namun, bolehkah jika uang/kolekte umat tidak diantar pada saat ini? Biasanya pertimbangannya adalah waktu sebab jika menunggu kolekte selesai terkumpul, lalu dimasukkan ke dalam kotak, baru dibawa dalam perarakan bersama bahan persembahan utama: roti dan anggur, butuh waktu lebih lama. Jika diperbolehkan kolekte umat tidak dibawa pada waktu ini, kapankah waktunya yang paling tepat untuk mengantar kolekte ini? Saya melihat ada yang mengantarkannya pada waktu Bapa Kami (kok sedang doa membawa persembahan?), ada juga diantarkannya pada waktu pengumuman atau selesai pengumuman (kok seperti terkesan persembahan umat tidak dianggap?). Mohon pencerahannya. Terima kasih banyak. Teriring doa…
Shalom Lidwina,
Mohon maaf atas keterlambatan jawaban kami. Berikut ini adalah jawaban dari Rm. Bosco da Cunha, Sekretaris Komisi Liturgi KWI:
“Cara 2 masih lebih baik. Piala, hosti besar dan kain piala tidak diarak, tetapi sudah diletakkan di meja kredens sebelum Misa. Yang diarak hanya sibori dan Anggur serta air.
Idealnya, komuni kudus dibagikan dari Tubuh Kristus yang dikonsekrasikan di altar saat itu; bukan diambil dari tabernakel. Kolekte harus dihantar sebelum konsekrasi dan diletakkan di dekat altar sepanjang perayaan.”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih,
Romo Boli/Pak Stef/Bu Ingrid, saya punya beberapa pertanyaan lagi:
1. Tepatkah jika dalam misa digunakan alat musik lain selain organ, misalnya biola, gitar, atau angklung?
2. Di satu paroki terjadi praktik ini: Pada minggu terakhir dalam setiap bulan, dalam misa hari Minggu dilakukan pembaharuan janji perkawinan para pasangan suami istri dari paroki tersebut yang berulang tahun perkawinan dalam bulan yang bersangkutan, ada doa-doa dari para pasutri dan juga imam, juga bahkan ada pemberkatan ulang cincin perkawinan. Sekedar info: semua proses itu dilakukan setelah homili. Tepatkah praktik tersebut?
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini digabungkan]
3. Bagaimana kalau dalam misa anak-anak dinyanyikan lagu-lagu dengan tepuk tangan dan gerak tangan/kaki (tubuh). Di paroki kami, biasanya ketika hari anak misioner (penampakan Tuhan) dirayakan misa seperti itu. Misa itu adalah misa hari minggu. Mohon tanggapannya. Terima kasih banyak!
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini digabungkan]
4. Ini memang sudah kadaluwarsa karena sudah lewat, namun saya ingin kejelasannya. Soal ekaristi pada tanggal 1 dan 2 November kemarin. Untuk perayaan ekaristi pada Sabtu sore/malam Minggu (jam 6 sore), dirayakan HR Semua Orang Kudus, ataukah harus dirayakan Peringatan Arwah Semua Orang Beriman karena tanggal 2 jatuh pada hari Minggu?
5. Mengenai misa dalam bahasa Inggris (biasanya diadakan di kalangan pelajar/mahasiswa atau mudika). Baikkah hal itu dilakukan? Apakah sebuah misa itu sebaiknya diadakan dalam bahasa yang bisa dimengerti? (Bagaimana dengan bahasa Latin?) Apakah tetap lebih baik diadakan misa berbahasa Inggris itu meskipun umat yang ikut misa (sekalipun pelajar atau mahasiswa) tidak mengerti bahasanya? Kadang-kadang dalam misa umat (umum) dinyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris…, bahkan si penyanyi (anggota koor) tidak mengerti bahasanya, termasuk juga sebagian besar umat yang hadir; bagaimanakah itu?
Demikian, sementara itu dulu. Mohon sekali tanggapannya. Terima kasih banyak. Teriring doa….
Shalom Lidwina,
Berikut ini adalah jawaban yang kami peroleh dari Rm. Bosco da Cunha O.Carm dari KWI:
1). Selain alat musik organ boleh memakai alat musik yang lain asal mendukung “sakral, hikmat, luhur”. Lihat Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium n. 120 :…Akan tetapi, dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang seperti disebut dalam pasal 22:2,37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat, asal sesuai dan dapat disesuaikan dengan fungsi kudusnya, cocok dengan keanggunan gedung gereja, dan benar-benar membantu memantapkan Ibadat kaum beriman.
2). Hal itu boleh dilakukan. Lihat buku: Tata Perayaan Perkawinan, Lampiran II , hlm. 186. Misa Ulang Tahun Perkawinan.
Dalam bahasa Inggrisnya, garis besar tentang hal itu dapat dibaca di link ini, silakan klik.
3). Secara prinsip dalam Misa yang dikhususkan bagi anak-anak, maka anak-anak didorong untuk berpartisipasi aktif, tidak saja dengan lagu-lagu, tetapi juga sebagai lektris, pemazmur, pembaca doa umat, mengantar persembahan, dst.
Maka, adaptasi tentang jenis-jenis lagu liturgi dapat dilakukan, sepanjang tetap memperhatikan sifat kesakaralan yang tetap harus dijaga. Seandainya diinginkan ada tepuk tangan, semua dilakukan dalam rangka memuji Tuhan dan bukan untuk menciptakan kesan membuat pertunjukan.
Silakan membaca ketentuan tentang Misa yang dikhususkan untuk anak-anak, di link ini, silakan klik.
4). Boleh saja, pilih, sebab dua-duanya tingkatannya Hari Raya.
5). Hendaknya perayaan Ekaristi diadakan dengan memakai bahasa Indonesia, demi penghayatan iman, ritus dan doa-doa yang lebih utuh, dan dimengerti oleh semua umat yang hadir. Liturgi bukan tempat uji coba bahasa asing.
(oleh: Rm Bosco da Cunha O.Carm)
Namun dapat terjadi di paroki tertentu, pastor paroki mengizinkan kelompok komunitas tertentu mengadakan perayaan Ekaristi yang dikhususkan untuk kelompok mereka dengan tujuan melayani kelompok kategorial tertentu yang karena keadaan tertentu malah lebih dapat menghayati jika perayaan Ekaristi dilakukan dengan bahasa mereka, seperti beberapa komunitas yang merayakan Misa dalam bahasa Mandarin, bahasa Inggris (untuk para guru/ murid yang bersekolah di sekolah internasional), dst, dan beberapa komunitas yang merayakan Misa dalam bahasa daerah.
Untuk Misa bahasa Latin (atau mungkin lebih dikenal dengan ritus Tridentin), memang sesungguhnya tidak dilarang, namun jika suatu keuskupan tertentu belum mengizinkannya secara terbuka, kemungkinan karena belum dipandang adanya komunitas yang stabil untuk mendukungnya, dan belum cukup diadakan pelatihan umat dalam bahasa Latin. Silakan membaca lebih lanjut tentang hal ini di artikel ini, silakan klik. Sebab biar bagaimanapun, prinsip dasar prinsip perayaan liturgi harus diwujudkan: bahwa liturgi bukan untuk dipandang sebagai suatu ‘tontonan’ yang sakral, namun harus dipahami artinya sehingga dapat dihayati oleh umat yang merayakannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih, Romo Boli,
Terima kasih banyak atas kesabaran Romo menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, juga terima kasih untuk seluruh tim katolisitas. Saya masih mau bertanya lagi. Mengenai penyebutan nama paus dalam Doa Syukur Agung. Memang ini bukan “wilayah” saya, namun saya sangat ingin tahu. Praktik yang terjadi dalam misa-misa di paroki kami, nama paus yang disebut adalah begini: Paus Fransiskus dan Paus Emeritus Benediktus XVI. Benarkah demikian? Bukankah kita memiliki hanya satu paus? Masihkah Benediktus XVI paus? Apakah beliau itu sekarang, kardinal ya? Mohon penjelasannya ….. Terima kasih!
Shalom Lidwina Irene,
Jika mengacu kepada penjelasan Sekretariat Kongregasi Penyembahan Ilahi, maka jawabnya ialah, seharusnya nama Paus Emeritus Benediktus XVI tidak disebutkan di sana, sebagaimana Uskup Emeritus juga tidak perlu disebutkan di sana. Sebab dalam Doa Syukur Agung itu, yang disebutkan adalah nama Paus dan Uskup yang sedang mengemban tugas pada saat itu (bukan yang sudah pensiun). Sebab Uskup dan Paus yang sudah pensiun itu, walaupun masih mempunyai martabat episkopal, namun tidak lagi menjadi tanda yang mengekspresikan atau menjadi penanggungjawab bagi persekutuan Gereja-gereja lokal maupun universal.
Silakan membaca selanjutnya dalam penjelasan di link ini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth Katolisitas.org
Mengenai bahan persembahan (hosti yg berada di sibori-sibori dalam jumlah banyak yang belum dikonsekrir) apakah diperbolehkan ditaruh di meja altar sejak awal misa?
Terima kasih.
Chris.
Salam Chris,
Alangkah baiknya kalau diletakkan di meja kredens. Kalau tak ada meja kredens boleh di atas altar.
Salam dn doa
Gbu.
Rm Boli
Salam kasih,
Sambil menunggu pertanyaan-pertanyaan saya ditanggapi (saya sangat maklum kalau lama), saya ingin bertanya lagi. Sebenarnya bolehkah misa pada suatu hari tertentu dipindahkan perayaannya ke hari lain? Begini kasusnya: komunitas (di tempat lain istilah yang digunakan adalah lingkungan) kami merayakan pesta pelindungnya pada tanggal 1 Juni (peringatan wajib St. Yustinus Martir). Karena 1 Juni 2014 adalah hari Minggu dan pada hari itu tidak boleh ada misa di komunitas, maka dirayakan pada hari Selasa tanggal 3 Juni 2014 (tidak hari Senin karena pastor mempunyai kesibukan lain). Nah, ketika hendak mempersiapkan misa pada hari Rabu itu, saya kesulitan. Apakah menggunakan bacaan dan mazmur tanggapan yang dari tanggal 1 Juni (Pw St. Yustinus Martir) atau yang dari tanggal 3 Juni (kebetulan juga Pw St. Karolus Lwanga, dkk Martir)? Ketika saya tanyakan ke pastor yang mempersembahkan misa hari itu, jawabannya: terserah. Jadi, sesungguhnya harus bagaimana?
Seandainya terjadi, tanggal 1 itu bukan hari Minggu melainkan hari biasa, namun karena sesuatu dan lain hal, perayaannya tidak bisa dilaksanakan pada tanggal itu melainkan beberapa hari setelahnya, bagaimana?
Mohon pencerahannya. Terima kasih banyak. Tuhan memberkati pelayanan Romo/Bapak/Ibu.
Salam Lidwina Irene,
Sebaiknya dipindahkan ke hari Senin atau hari Sabtu pagi atau hari biasa lain terdekat tanggal 1 Juni. Sebaiknya tidak dipilih hari peringatan wajib atau hari pesta apalagi Hari Raya.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli
Salam kasih,
Memang pertanyaan saya sebelum ini belum dijawab, namun saya ingin mengajukan pertanyaan lain. Mengenai pemilihan lagu untuk persembahan dan komuni. Bagaimana sebaiknya, apakah memang harus tentang persembahan dan tentang komuni? Bolehkah pada saat persembahan atau komuni itu dinyanyikan lagu-lagu lain yang tidak tentang persembahan dan komuni, namun berkaitan dengan bacaan atau tema perayaannya. Misalnya pada HR Kenaikan Yesus ke Surga dinyanyikan lagu-lagu tentang misteri itu, pada perayaan-perayaan Maria dinyanyikan lagu-lagu Maria, pada misa perkawinan dinyanyikan lagu-lagu tentang cinta kasih?
Sekian dulu, terima kasih atas tanggapannya, pak/bu/romo.
Salam Lidwina Irene,
Sebaiknya lagu-lagu yang berkaitan dengan persembahan dan komuni.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli
Salam kasih, bu/pak/romo,
Terima kasih sekali lagi untuk jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya sebelum ini.
Saya masih memiliki beberapa pertanyaan:
1. Sebenarnya bagaimana sikap umat seharusnya ketika konsekrasi, tepatnya ketika tubuh dan darah Kristus diangkat oleh imam? Ada ketidaksamaan penjelasan di TPE Umat, di bagian petunjuk (di halaman awal) dikatakan: umat menyembah, sedangkan di bagian DSA-nya: umat memandang.
2. Pada perayaan Kamis Putih kemarin di paroki kami, pada misa I tidak ada perarakan Sakramen Mahakudus (baru diadakan pada misa II yang lebih malam), lalu justru Romo mengadakan salve dengan Tubuh Kristus ditahtakan di monstrans, imam mengajak umat berdoa dari PS No. 204, 206, 207. Benarkah demikian? Bukankah justru seharusnya kita “meng-adore” Yesus yang hadir dalam diri kita yang kita terima saat komuni? Tidakkah seharusnya imam keluar dalam diam jika memang tidak ada perarakan Sakramen Mahakudus?
3. Bagaimana dengan evangeliarium waktu upacara Jumat Agung? Jika ditahtakan di altar, atau diarak lebih dulu lalu diletakkan di altar setelah prosesi masuk, bukankah altar harus kosong? Apakah evangeliarium tidak perlu saja? Begitu juga waktu Minggu Palma, toh evangeliarium tidak dipakai karena dibacakan passio oleh 3 orang umat, jadi malah sekedar hiasan.
4. Apakah tuguran itu? Dari doa-doa yang dibuat oleh romo kami, sepertinya isinya berisi adorasi, sama sekali bukan doa jaga, tidak ada kata-kata tentang sengsara dan kematian Yesus.
Sekian dulu, Romo. Terima kasih banyak atas tanggapannya.
Salam Lidwina,
1. Petunjuk di awal dan dalam TPE sesudah kata-kata konsekrasi itu dipadukan dengan urutan sikap umat sebagai berikut: memandang Tubuh dan Darah Kristus ketika dihunjukkan oleh imam (= spiritualitas memandang penuh perhatian-konsentrasi dan hormat), lalu tunduk-menyembah penuh hormat ketika imam berlutut (= spiritualitas sembah sujud kepada Allah yang Maha Agung).
2. Hendaknya tidak dirayakan Misa Kenangan Perjamuan Malam 2 kali di tempat (gereja/kapela) yang sama malam itu, tetapi kalau amat perlu bisa dibuat misa di dua tempat berbeda pada malam itu, agar ritus pengosongan altar dapat dibuat tanpa ada gangguan.
3. Kalau tempat memungkinkan, Evangeliarium bisa dipakai oleh diakon/konselebran/imam pemimpin untuk membawakan-memaklumkan kata-kata Yesus, dan dua pembawa lain menggunakan teks lain. Evangeliarium bisa diletakkan di atar.
4. Tuguran adalah berjaga sambil merenungkan misteri penderitaan dan kematian Yesus, dan tak ada masalah kalau ada juga doa-doa lain yang berkaitan dengan misteri itu.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli
Salam kasih,
Maaf Romo Boli, saya masih belum sepenuhnya jelas. Mengenai sikap saat konsekrasi itu. Jadi persisnya, saat imam mengangkat roti yang adalah tubuh Kristus dan piala yang berisi anggur yang adalah darah Kristus, umat memandang, baru tunduk menyembah ketika imam berlutut setelah meletakkannya di altar? Apakah demikian? Jika benar demikian, berarti sama dengan di TPE umat bagian DSA. Mohon dikoreksi.
Lalu hal kedua, saya ingin bertanya tentang penyalaan lilin di altar. Ada seorang imam yang mengatakan bahwa lilin di altar baru dinyalakan ketika memasuki liturgi ekaristi, jadi selama ritus pembuka dan liturgi sabda, lilin di altar tidak dinyalakan. Benarkah demikian?
Lalu untuk tim katolisitas: saya pernah bertanya soal kapan penyalaan lilin imam dan lilin umat saat Upacara Cahaya Malam Paskah, juga kapan lampu gereja dinyalakan. Pertanyaan ini saya tulis di buku tamu. Di mana ya dipindahkannya? Terima kasih atas tanggapannya, Romo, juga untuk seluruh tim katolisitas. Tuhan memberkati.
Shalom Lidwina,
1. Ya. Pada saat konsekrasi, saat imam mengangkat hosti yang diubah menjadi Tubuh Kristus, umat memandang ke arah hosti tersebut, dan kemudian tunduk menyembah ketika imam berlutut. Demikian pula pada saat imam mengangkat piala anggur yang diubah menjadi Darah Kristus, umat memandang kepada piala tersebut, lalu tunduk menyembah ketika imam berlutut.
2. Tentang penyalaan lilin di altar, jika mengacu kepada PUMR, maka lilin-lilin tersebut dinyalakan sebelum perayaan Ekaristi tersebut dimulai.
“Hal-hal yang harus disiapkan:
PUMR 117 Altar harus ditutup sekurang-kurangnya satu helai kain altar berwarna putih. Pada altar atau di dekatnya dipasang sekurang-kurangnya dua lilin bernyala; tetapi boleh juga empat bahkan enam, khususnya pada hari Minggu dan hari raya wajib. Bila uskup diocesan memimpin Misa di keuskupannya, dipasang tujuh lilin…. “
3. Pertanyaan Anda tentang penyalaan saat Upacara Cahaya pada saat misa Malam Paska, telah kami tanggapi di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Saya mau menjawab no 2,
Kalau menurut pedoman dari Surat Edaran tentang ‘Perayaan Paskah dan Persiapannya, dikeluarkan oleh Kongregasi Kepausan untuk Ibadat Ilahi, Roma, 16 Januari 1988.
Tidak diizinkan menggunakan monstrans. Sakramen harus berada dalam tabernakel altar persinggahan, atau dalam pixis/sibori.
Hari Kamis Putih sebenarnya kita mengadakan penghormatan kepada Sakramen Mahakudus yang akan dipindah tempatkan maka yang pas memang sibori. Kalau ada sibori berukuran besar lebih bagus. Ada paroki yg menggunakan sibori berukuran sangat besar, maksudnya supaya dapat menampung seluruh Hosti (termasuk yg akan dibagikan pada Komuni Jumat Agung) , sekali pindah semua bisa masuk dalam satu sibori (selama prosesi pemindahan Sakramen Mahakudus, tidak ada lagi sibori-sibori berisi Hosti yang berada di meja altar).
Shalom Chris dan Lidwina,
Ya, yang disampaikan oleh Chris benar. Sebab menurut ketentuan dari Congregation for Divine Worship (Kongregasi Kepausan untuk Ibadat Ilahi), Roma, 16 Januari 1988:
55. The Blessed Sacrament should be reserved in a closed tabernacle or pyx. Under no circumstances may it be exposed in a monstrance.
The place where the tabernacle or pyx is situated must not be made to resemble a tomb, and the expression “tomb” is to be avoided. The chapel of repose is not prepared so as to represent the “Lord’s burial” but for the custody of the eucharistic bread that will be distributed in Communion on Good Friday.
Salam kasih dalam Kristus TUhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih,
Adakah link untuk mendownload PUMR? Terima kasih, tim Katolisitas.
[Dari Katolisitas: Kami tidak mengetahui link yang menyediakan teks PUMR. Apakah ada pembaca yang mengetahuinya?]
kalo untuk donlot, saya kurang tahu, tapi yang bisa diakses online silahkan ke: http://www.imankatolik.or.id/kvii.php?d=PUMR&q=1-10 , semoga bermanfaat
berikut saya berikan link untuk PUMR berformat pdf :
____ http://edoqs.com/download/e6eeeee4cba38b74fa5cc89a4e02c69c ____
Dan juga beberapa dokumen yang patut untuk di baca2. :
Katekismus Gereja Katolik :
____ http://www.stmikael-gombong.net/index.php?option=com_phocadownload&view=category&download=6%3Akatekismus-gereja-katolik-id&id=1%3Aajaran-gereja&Itemid=81 ____
Kompendium Katekiskus Gereja Katolik :
____ http://www.vatican.va/archive/compendium_ccc/documents/archive_compendium-ccc_id.pdf ____
Kitab Hukum Kanonik :
____ http://bonaventura-pulomas.org/yahoo_site_admin/assets/docs/Kitab_Hukum_Kanonik_2006.228202009.pdf ____
Dokumen Konsili Vatikan II :
____ http://www.stmikael-gombong.net/index.php?option=com_phocadownload&view=category&download=1%3Adokumen-konsili-vatikan-ii&id=1%3Aajaran-gereja&Itemid=81 ____
semoga bermanfaat.
Terima kasih banyak, Fransiskus Tri. Tuhan memberkati.
Terima kasih, Romo. Namun saya masih mau bertanya lagi.Mudah-mudahan Romo tidak bosan melayani pertanyaan-pertanyaan saya. Kali ini soal doa Salam Maria, Kemuliaan, dst. dalam perayaan ekaristi. Apakah tepat jika kita mendoakan Salam Maria (3x misalnya) pada waktu setelah nyanyian komuni dan sebelum doa sesudah komuni, dengan ujub tertentu atau pun tanpa ujub tertentu seakan-akan ingin mengisi kekosongan saat itu? Pernah terjadi justru imam yang mengajak berdoa itu (tidak dengan ujub apa pun) setelah koor menyanyikan lagu komuni, sementara imamnya sendiri sedang beres-beres di altar (untuk piala dll.). Bukankah memang baik jika hening sesudah menerima komuni? Bagaimana menurut Romo? Terima kasih atas tanggapannya. Tuhan memberkati.
Salam Lidwina,
benar, lebih baik kalau setelah koor menyanyikan lagu komuni, semua hening untuk merasakan dan mengalami hadirnya Tuhan dalam diri. Kita perlu sadari pentingnya saat hening pada kesempatan ini untuk lebih meresapi kesatuan yang erat mesra dengan Tuhan Yesus (komunio).
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Terima kasih lagi atas tanggapan Romo. Saya masih mau bertanya lagi. Kali ini soal perarakan masuk. Bagaimana aturannya, apakah tidak boleh ada misdinar yang membawakan lilin bernyala? Selama ini di paroki kami, jika perarakan masuk panjang (melalui pintu depan gereja), dalam perarakan itu ada misdinar yang membawa lilin bernyala (2 buah). Terakhir saya mendengar dari misdinar bahwa mereka sudah diberi tahu oleh pelatihnya bahwa tidak ada lagi misdinar yang membawa lilin bernyal. Memang hal ini baru disampaikan oleh koster, bukan romo paroki langsung. Yang benar bagaimana? Terima kasih. Tuhan memberkati.
Salam Lidwina,
menurut tradisi, dalam perarakan masuk meriah (pada Hari Minggu dan Hari Raya), lilin bernyala dibawa oleh dua misdinar yang mengapiti pembawa salib. Lihat Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) no 119-120 dan 188. Jadi pada Misa harian atau votif biasa, dengan perarakan masuk yang sederhana, tidak ada misdinar pembawa salib dan tidak ada juga misdinar pembawa lilin bernyala yang mengapiti pembawa salib.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Berkah Dalem,
Pada Ibadat Jumat Agung tahun 2013, salah seorang Pastor membuat kebijakan bahwa pada saat ” Penciuman Salib ” hanya SATU SALIB yang boleh dihormati/dicium, karena kalau beberapa Salib itu sudah melanggar tatanan Liturgi yang ada . Pertanyaan saya sebagi orang awam :
1. Kenapa di Vatikan, salib yang dicium lebih dari 100 Salib ?
2. Kenapa di Gereja lain juga sama tidak satu(1) Salib yang dicium ?
3. Apakah ada aturan baku dari Bapa Uskup ?
Mohon penjelasan karena beberapa Umat sudah mulai resah dan menanyakan kepada saya. Terima kasih.
Wolf.haryo Yudhanto.
Salam,
Berikut ini adalah tanggapan tentang rubrik penghormatan salib pada perayaan Jumat Agung, sebagaimana disampaikan oleh Rm. Bosco da Cunha, Komisi Liturgi KWI :
Terdapat dua pilihan sehubungan dengan penghormatan Salib:
1. Hanya digunakan satu salib/crucifix untuk penghormatan salib
2. Kalau jumlah umat terlalu banyak dan tidak memungkinkan bagi semua umat menghormati satu crucifix itu secara perorangan/ bergiliran, maka penghormatan dilakukan secara serentak bersama-sama, dengan Romo mengangkat salib di depan altar lalu umat menyembah salib dalam keheningan.
Silakan dipilih, alternatif yang pertama atau kedua, dengan mempertimbangkan aspek pastoral.
Ketentuan ini dikutip dari Missale Romanum, “Rubrics for Good Friday” (GF) sebagaimana tertulis di situs USCCB, klik di sini:
The personal adoration of the cross is an important feature in this celebration and every effort should be made to achieve it. The rubrics remind us that “only one cross” should be used for adoration. If the numbers are so great that all can not come forward, the priest, after some of the clergy and faithful have adored the cross, can take the cross and stand in the center before the altar. In a few words he invites the people to adore the Cross. He then elevates the cross higher for a brief period of time while the faithful adore it in silence (GF, no. 19). Pastorally, it should be kept in mind that when a sufficiently large cross is used even a large community can reverence it in due time. The foot of the cross as well as the right and left arm can be approached and venerated. Coordination with ushers and planning the flow of people beforehand can allow for this part of the liturgy to be celebrated with decorum and devotion.
Salam
RD. Y. Dwi Harsanto
Salam damai dalam kasih Kristus untuk tim katolisitas dan Rm. Boli,
Bagaimana sesungguhnya sikap liturgis yang tepat bagi para anggota koor dalam ekaristi. Apakah berdiri, dengan alasan bisa menyanyi dengan baik, atau mengikuti sikap liturgis umat (berdiri, berlutut, dan duduk sesuai dengan masing-masing bagian dalam perayaan ekaristi seperti ada dalam TPE)? Terima kasih atas jawabannya. Tuhan memberkati.
Salam Lidwina,
ya, dari segi teknik menyanyi, katanya jauh lebih mudah menyanyi dalam sikap berdiri. Oleh karena itu sikap koor dalam Ekaristi sebaiknya berdiri. Demi menghindarkan kesan menghalangi peraya lain, maka baiklah dicari tempat untuk anggota koor dalam gedung gereja yang sesuai agar tidak terlalu mengganggu peraya lain bila mereka membawakan nyanyian dalam sikap berdiri, sementara peraya lain harus duduk atau berlutut bersama.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli
Salam Romo,
Masih soal sikap anggota koor ketika membawakan nyanyian dalam misa. Apakah hal ini ada diatur di dalam PUMR? Jika tidak, saya dan teman-teman dalam tim liturgi paroki kami tetap mengambil sikap untuk membiasakan anggota koor mengikuti sikap liturgis umat lain, yakni berdiri, berlutut, dan duduk juga ketika bernyanyi. Sungguh amat mengganggu jika anggota koor berdiri terus setiap kali membawakan nyanyian, sekalipun sudah di tempat khusus – kecuali di balkon. Pengalaman saya pribadi sebagai anggota koor, tidak masalah kok bernyanyi dengan sikap duduk atau berlutut, tidak harus berdiri pun tetap bisa bernyanyi dengan baik. Justru sikap itu membantu penghayatan terhadap lagu yang dinyanyikan. Terima kasih atas tanggapan Romo. Tuhan memberkati.
Salam Lidwina,
ya, memang tidak ditulis dalam PUMR bahwa anggota koor harus berdiri setiap kali membawakan lagu. Kalau mereka bisa bernyanyi dengan sama baik juga dalam sikap duduk atau berlutut, saya setuju kalau anggota koor bersikap seperti umat yang lain setiap kali mereka menyanyi.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Salam kasih Romo Boli,
Kali ini saya ingin bertanya soal aturan untuk lagu antarbacaan sesudah bacaan I. Untuk misa-misa perkawinan atau misa-misa di komunitas/lingkungan, bagaimana aturannya? Kalau harus menggunakan mazmur tanggapan, bagaimana memilih mazmur yang tepat? Terima kasih. Tuhan memberkati.
Shalom Lidwina,
Sambil menunggu jawaban dari Romo Boli, izinkan saya menanggapi. Jika nanti jawaban Romo Boli berbeda dengan yang saya sampaikan, silakan memegang jawaban Romo Boli, yang lebih ahli dalam hal ini.
Sebenarnya, demikianlah ketentuannya tentang Mazmur Tanggapan, menurut PUMR:
61. Sesudah bacaan pertama menyusul mazmur tanggapan yang merupakan unsur pokok dalam Liturgi Sabda. Mazmur Tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas sabda Allah.
Mazmur tanggapan hendaknya diambil sesuai dengan bacaan yang bersangkutan dan biasanya diambil dari Buku Bacaan Misa (Lectionarium).
Dianjurkan bahwa mazmur tanggapan dilagukan, sekurang-kurangnya bagian ulangan yang dibawakan oleh umat. Pemazmur melagukan ayat-ayat mazmur dari mimbar atau tempat lain yang cocok. Seluruh jemaat tetap duduk dan mendengarkan; dan sesuai ketentuan, umat ambil bagian dengan melagukan ulangan, kecuali kalau seluruh mazmur dilagukan sebagai satu nyanyian utuh tanpa ulangan. Akan tetapi, untuk memudahkan umat berpartisipasi dalam mazmur tanggapan, disediakan juga sejumlah mazmur dengan ulangan yang dapat dipakai pada masa liturgi atau pesta orang kudus. Bila dilagukan, mazmur tersebut dapat dipergunakan sebagai pengganti teks yang tersedia dalam buku Bacaan Misa (Lectionarium). Kalau tidak dilagukan, hendaknya mazmur tanggapan didaraskan sedemikian rupa sehingga membantu permenungan sabda Allah…. “
Dengan demikian, memang ketentuan umumnya adalah Mazmur Tanggapan hendaknya dipilih sesuai dengan bacaan-bacaan Kitab Suci yang bersangkutan (dari Bacaan Pertama dan Bacaan Injil). Untuk Misa pemberkatan perkawinan dapat dipilih misalnya:
1. Mzm 33:5, 12, 18, 20-21,22: Bumi penuh dengan kasih setia Tuhan
(atau ulangan: bisa diambil dari PS 837, Tuhan rajaku, agunglah nama-Mu).
2. Mzm 34:2-3, 4-5, 6-7, 8-9: Aku hendak memuji Tuhan pada segala waktu
(atau ulangan: bisa diambil dari PS 829, Aku hendak memuji).
3. Mzm 103: 1-2, 8, 13, 17-18: Pujilah Tuhan hai jiwaku
(atau ulangan: bisa diambil dari PS 835, Puji jiwaku, nama Tuhan).
4. Mzm 112: 1-2, 3-4, 5-7, 7-8, 9: Berbahagialah orang yang takut akan Tuhan
(atau ulangan: bisa diambil dari PS 833, Kita memuji Allah, atau 847 Tuhan penjaga).
5. Mzm 128: 1-2, 3, 4-5: Berbahagialah setiap orang yang takut akan Tuhan
(atau ulangan: bisa diambil dari PS 839, Aku mengasihi Tuhan, atau 846, Tuhan memberkati umat-Nya)
6. Mzm 145:8-9, 10, 15, 17-18: Aku hendak mengagungkan Engkau, ya Allahku
(atau ulangan: bisa diambil dari PS 834, Nama Tuhan hendak kuwartakan)
7. Mzm 148:1-2, 3-4, 9-10, 11-12, 13-14: Pujilah Tuhan di Sorga
(atau ulangan: bisa diambil dari PS 832: Betapa megah nama-Mu)
Sedangkan untuk nada pada ayat-ayatnya, dapat mengikuti panduan nada pada buku Mazmur Tanggapan (warna merah, yang dikeluarkan Komisi Liturgi KWI). Silakan Anda meminta bantuan kepada para petugas yang biasa menyanyikan Mazmur di perayaan Ekaristi, sehingga dapat dipersiapkan sebelumnya, baik teks maupun nada-nadanya. Atau kemungkinan lain, silakan menyanyikan lagu dengan syair yang menyatakan kata-kata Mazmur, namun bukan lagu lain, dengan syair yang bukan dari Sabda Tuhan, sebab pada hakekatnya Mazmur Tanggapan masih termasuk dalam rangkaian Liturgi Sabda, sehingga juga menyampaikan Sabda Tuhan.
Prinsip yang sama berlaku juga pada Misa di komunitas ataupun di lingkungan. Jika tidak ada perayaan khusus, maka yang dibacakan adalah Mazmur pada hari itu menurut penanggalan Liturgi. Untuk lagu ulangan/ refrennya, silakan dipilih dari PS no 801-869, lalu disiapkan nada pada ayat-ayatnya menurut panduan dari buku Mazmur Tanggapan itu. Jika karena satu dan lain hal, Mazmur Tanggapan tidak dapat dinyanyikan, maka silakan dibacakan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Kasih Kristus
Untuk romo dn tim katolisitas
D paroki sy akir” ini terjadi bbrp permasalahan m’enai tata liturgi dsb nya,yg
1.Panti imam ada 2(d atas altar d bgn lg panti imam-sperti panggung tmp romo duduk)jd klo mau konsekrasi romo berjalan dlu menuju meja altar-hal itu sudah d tentang dn mmg melanggar tata liturgis(mnrt rm pmbantu)namun pastor paroki ttp pada pendirian nya,bgmn hal ini mnrt pandangan romo dn tim katolisitas?
2.Pada perayaan misa imlek nanti akan d + kan prosesi tarian pd waktu romo masuk ke gereja,m’gunakan prosesi tarian” cina,apa hal itu d perkenan kan?dan bagaimana seharus nya
Trima kasi
Berkah Dalem
Shalom Michael,
1. Sejujurnya saya kurang paham akan apa yang Anda sampaikan karena Anda menulis dengan bahasa singkatan, dan informasi yang Anda tulis kurang jelas dan lengkap. Mengapa Anda sebutkan ada dua panti imam? Sebab panti imam adalah daerah di mana ditempatkan altar dan ambo. Apakah jika Anda mengatakan ada dua panti imam maka artinya ada dua altar dan dua ambo? Sebab jika demikian, memang itu adalah pelanggaran. Tetapi kalau maksudnya adalah ada satu panti imam (satu altar dan satu ambo), tetapi di daerah panti imam itu ada perbedaan level/ ketinggian untuk tempat duduk imam, maka itu belum tentu pelanggaran, sebab harus dilihat dahulu, apakah kursi imam, meja altar, ambo dan tabernakel telah diletakkan sesuai dengan ketentuan.
2. Pada dasarnya jika yang dilakukan itu prosesi, itu masih dapat dibenarkan. Silakan membaca lebih lanjut di artikel ini, silakan klik. Namun jika itu untuk prosesi, maka jelas itu bukan tarian untuk pertunjukan, dan juga gerakannya-pun harus menunjukkan sikap penghormatan kepada Allah, saat menghantar barisan menuju altar. Selanjutnya, perlu dilihat agar simbol-simbol yang digunakan tidak mengambil simbol yang tidak sesuai dengan citarasa Kristiani.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Katolisitas
Trima kasi bu Inggrid atas penjelasannya, dan maaf karna bahasa saya yang sedikit amburadul dengan singkatan”nya membuat anda bingung
1. Atas penjelasan bu Inggrid di gereja saya seperti yang bu Inggrid tulis, 1 meja Altar 3 ambo malah, kemarin saya ikut beresin gua natal, dan sembari mengamati, jadi d samping meja altar ada 2 ambo trus d belakang meja tepat adalah tabernakel dan d samping tabernakel ada panggung kecil untuk kursi romo + 1 ambo lagi untuk romo kadang berhomili di tempat itu, demikian saya jelaskan
2.Untuk tarian bagaimana semisal kita dari OMK mendapat tugas untuk membuat tarian pada saat ibadat eukemene bersama dengan para umat Kristen non Katolik yang Jumat 24 Januari besok akan beribadat di Gereja kami, apa hal itu diperkenankan?
Trima kasi
Berkah Dalem
Shalom Michael,
1. Sebagaimana telah dijelaskan di artikel di atas, ketentuannya adalah satu Ambo dan satu meja Altar sesuai dengan adanya dua macam liturgi dalam perayaan Ekaristi, yaitu liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi. Tempat komentator/ pengantar tidak setara dengan Ambo. Maka sebaiknya tidak ditempatkan di panti imam. Namun, baik juga kalau tempat komentator diletakkan sedemikian, sehingga dapat dilihat oleh umat. Sedangkan tempat untuk menaruh buku Misa untuk kursi imam, itu memang ada, dapat didesain sedemikian rupa, sehingga tidak terkesan seadanya tetapi juga tidak sama dengan desain Ambo. Ambo adalah tempat dibacakannya Sabda Tuhan (bacaan pertama, Mazmur, bacaan kedua- jika ada- bacaan Injil dan homili) dalam liturgi Sabda, termasuk doa umat (atau, doa umat juga dapat dibacakan di tempat lain asalkan cukup terlihat oleh umat).
2. Romo Boli mengatakan bahwa sebaiknya pelaksanaan ibadat ekumene dilaksanakan di aula dan bukan di dalam gereja. Mohon maaf atas keterlambatan jawaban ini, sebab terdapat gangguan koneksi internet dengan Romo Boli di Ledalero, NTT.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam tim Katolisitas
Trima kasi bu Inggrid dn Rm Boli atas jwbannya,semoga ke depan saya bisa memberi masukan untuk gereja saya agar lebih baik lagi
Untuk ibadat Ekumene sudah terlanjur diselenggarakan di gereja kami oleh pastor kepala paroki, mungkin tahun depan bisa dijadikan masukan untuk saran yang romo berikan…
Sy tunggu jawaban romo ato tim katolisitas mengenai visualisasi bolehkah dilaksanakan pada saat ibadat Jumat Agung?
Trima Kasi
Berkah Dalem
[dari moderator: pertanyaan di bawah ini kami gabungkan karena menanyakan hal yang sama:]
Salam Katolisitas
Trima kasi skali lagi untuk penjelasannya bu inggrid…
Nah kali ini saya ingin mengajukan pertanyaan sekitar balada (visualisasi) kisah sengsara Yesus, bagaimana kalo visualisasi tersebut disisipkan di tengah Misa pada Jumat Agung? Bolehkan? Klo boleh apa harus di awal sbelum Misa? Mohon penjelasannya, karena sebentar lagi OMK kami akan segera membentuk panitia kecil untuk visualisasi
Berkah Dalem
Salam Michael,
mengenai pertanyaan tentang drama kisah sengsara Yesus Kristus dalam perayaan Jumat Agung, sebaiknya tidak dibuat dalam Perayaan Kenangan Sengsara dan Kematian Yesus Kristus karena ada pemakluman yang agung dari kisah sengsara Tuhan kita Yesus Kristus yang biasanya dinyanyikan oleh tiga orang. Drama itu sebaiknya dibuat pada pagi-siang hari atau menjelang Perayaan Kenangan Sengsara dan Kematian Yesus Kristus.
Salam dan doa. Gbu
Rm Boli
Salam Kasih Kristus
Trima kasi romo Boli atas penjelasannya, sekarang sy dn OMK di gereja saya smakin mantab melaksanakan visualisasi pd jumat pagi, mohon doa romo smoga visualisasi yang akan kami rencanakan dn laksanakan pd Jumat Agung nanti berjalan lancar (‾ʃƪ‾)
Romo saya mau tanya juga, soal misa imlek, bagaimana tata liturginya? Apa seperti misa harian atau ada liturgi khususnya, lalu apa umat katolik keturunan tionghoa di perkenankan berdoa menggunakan hio atau yung-sua ketika berdoa untuk leluhur (sy menggunakannya tapi tata cara doanya sy persembahkan hio tsb untuk Tuhan Yesus, bolehkah?)
Demikian romo, trima kasi banyak
Berkah Dalem
[Dari Katolisitas: Setiap perayaan Ekaristi, pada dasarnya adalah perayaan Ekaristi yang sama. Imlek bukan perayaan liturgis Gereja, sehingga perayaan Ekaristi pada hari itu mengacu pada perayaan Ekaristi harian biasa, kecuali jika Imlek bertepatan dengan hari Minggu, maka mengikuti perayaan Ekaristi dan bacaan-bacaan pada hari Minggu itu. Silakan membaca terlebih dahulu artikel ini, silakan klik. Sedangkan tentang bolehkah berdoa dengan memegang hio, silakan membaca tanya jawab serupa di sini, silakan klik]
Salam Katolisitas
Saya mau bertanya mengenai sikap dan posisi liturgi umat pada saat doa pembuka, doa penutup dan berkat dr romo?
Lalu apa perbedaan makna misa ekaristi harian dan mingguan?
Trima Kasi
Berkah Dalem
Shalom Michael,
Menurut PUMR:
“43. Umat hendaknya berdiri:
a. dari awal nyanyian pembuka atau selama perarakan masuk menuju altar sampai dengan doa pembuka selesai;
b. pada waktu melagukan bait pengantar Injil (dengan atau tanpa alleluia);
c. pada waktu Injil dimaklumkan;
d. selama syahadat;
e. selama doa umat;
f. dari ajaran Berdoalah, Saudara…., sebelum doa persiapan persembahan sampai akhir perayaan Ekaristi, kecuali pada saat-saat yang disebut di bawah ini:
Umat hendaknya duduk:
a. selama bacaan-bacaan sebelum Injil dan selama Mazmur Tanggapan;
b. selama homili
c. selama persiapan persembahan
d. selama saat hening sesudah Komuni
Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengizinkan, entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmat pada saat imam berlutut sesudah konsekrasi.
Akan tetapi, sesuai dengan ketentuan hukum, Konferensi Uskup boleh menyerasikan tata gerak dan sikap tubuh dalam Tata Perayaan Ekaristi, dengan ciri khas dan tradisi sehat bangsa setempat. Namun, hendaknya Konferensi Uskup menjamin penyerasian itu selaras dengan makna dan ciri khas bagian perayaan Ekaristi yang bersangkutan. Kalau umat sudah terbiasa berlutut sejak sesudah Kudus sampai dengan akhir Doa Syukur Agung, kebiasaan ini seyogyanya dipertahankan.
Demi keseragaman tata gerak dan sikap tubuh selama perayaan, umat hendaknya mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh diakon, pelayan awam, atau imam, selaras dengan petunjuk buku-buku liturgis.”
Dengan ketentuan di atas, maka sikap umat yang ditentukan oleh PUMR pada saat doa pembuka oleh imam dan doa penutup dan berkat, adalah umat berdiri. Sikap ini adalah sikap liturgis umat secara bersama-sama saat Misa dimulai dan diakhiri. Namun sebelum Misa dimulai dan sesudah Misa diakhiri, sikap doa umat secara pribadi tidak ditentukan (maka dapat dilakukan dengan berlutut ataupun duduk, asal dengan sikap hormat).
Selanjutnya, silakan membaca artikel ini, silakan klik, yang membahas Macam-macam istilah Misa, termasuk misa hari Minggu dan Harian.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih,
Saya ingin bertanya Bu atau Romo, bagaimana mendaraskan mazmur (madah pujian setelah komuni)? Di TPE, tidak ada “kemuliaan” pada akhir mazmur, sementara pendarasan mazmur (seperti dalam ibadat harian) biasanya diakhiri dengan “kemuliaan”. Terima kasih.
Salam Lidwina,
boleh ditambah “kemuliaan” pada akhir tiap mazmur.
Doa dan Gbu.
Rm Boli.
Terima kasih, Romo.
Shalom team Katolisitas dan Romo
Apakah bisa dimasukin ke dalam satu artikel tentang Tata Perayaan Ekaristi yang benar dan arti dari masing2 bagian dalam Perayaan Ekaristi agar kita dapat memahami dan mengerti setiap bagian dari Perayaan Ekaristi
Salam Kasih dalam Kristus Tuhan
[Dari Katolisitas: Artikel tentang Ekaristi sudah cukup banyak diulas di situs ini. Silakan gunakan fasilitas pencarian, ketik kata kunci Ekaristi atau kurban Ekaristi, lalu enter. Pembahasan khusus tentang TPE, setiap bagian-bagian perayaan Ekaristi memang belum secara detail diulas. Silakan Anda membaca buku karangan Scott Hahn, the Lamb Supper, yang juga mengulas tentang hal ini. Mungkin suatu saat kami dapat mengulasnya juga, mohon kesabarannya. Namun sekilas ulasan untuk mempersiapkan diri menerima Ekaristi, silakan klik di sini.]
Terima kasih atas referensi bukunya
Salam damai dalam Kristus Tuhan
Dear Katolisitas dan para Romo,
Saya kaget baca yg ini:
MS 74 Ketika tidak mungkin diperoleh sekolah paduan suara (Scholae Cantorum) atau di mana tidak ada cukup anak laki-laki untuk koor, diperbolehkan bahwa “kelompok pria dan wanita atau anak-anak perempuan, yang ditempatkan di luar tempat kudus (sanctuary) yang terpisah untuk penggunaan kelompok ini secara khusus, dapat menyanyikan teks-teks liturgi pada saat Misa Agung, sepanjang para pria dipisahkan dari para wanita dan anak- anak perempuan dan segala yang tidak pantas dihindari….
Apakah tempat duduk umat dalam missa juga harus dipisahkan seperti Islam dan yahudi? Ada blok cewek, ada blok cowok. Mohon dijelaskan.
Terima kasih.
Benni.
Shalom Kilbenni,
Saya mengacu kepada penjelasan di situs ini, silakan klik.
Paus Pius X tidak bermaksud menunjukkan sikap diskriminasi dalam hal koor ini; namun ketentuan tersebut berasal dari pandangan umum saat itu menurut gerakan Cecilian, bahwa koor menunjukkan golongan klerikus di dalam liturgi, dan karena itu harus menunjukkan semirip mungkin dengan apa yang menjadi ciri-ciri kaum kerik. Gerakan Cecilian ini meyakini bahwa para penyanyi hendaknya laki-laki, karena panggilan imamat terbatas hanya kepada laki-laki… Kaum Cecilian berharap untuk meningkatkan peran musik ini menjadi bagian dari struktur liturgi dan bukan hanya sebagai elemen tambahan saja. Untuk mendukung ide ini maka mereka menghubungkan ide klerikal dengan koor ini…
Acuan kepada kaum klerikus inilah yang juga berpengaruh kepada ketentuan pakaian anggota koor (memakai alba, seperti halnya petugas liturgi lainnya). Vatikan sendiri yang mempertahankan koornya yang hanya terdiri dari kaum pria dan anak-anak laki-laki, juga mencerminkan tradisi yang sudah lama berlangsung, yang tidak berkaitan dengan norma-norma doktrinal. Paus XII kemudian memperbolehkan para wanita untuk menjadi anggota koor, namun aturan ini tidak banyak mengubah praktek di Vatikan, yang sampai sekarang masih secara umum mempertahankan koor dengan anggota pria.
Agaknya ketentuan yang Anda tanyakan itu berhubungan dengan kebiasaan koor pada waktu itu, yang diharapkan merefleksikan sikap kaum klerik, sehingga dituliskan ketentuan sedemikian. Adapun ketentuan ini hanya berlaku untuk kelompok koor, untuk alasan tersebut di atas, dan tidak berlaku untuk umat secara umum. Gereja mengajarkan agar keluarga sebagai Gereja rumah tangga (ecclesia domestica) mengikuti perayaan Ekaristi bersama-sama, sebagai kesempatan untuk suami dan istri memperbaharui/ meneguhkan janji perkawinan dan komitmen untuk membesarkan dan mendidik anak-anak secara Katolik, dan dengan demikian mengisyaratkan kebersamaan dalam mengikuti perayaan Ekaristi, tanpa pemisahan, bagi tiap-tiap keluarga.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Katolisitas
ada yang ingin saya tanyakan kembali dalam hal Liturgi Perayaan Ekaristi
Apakah pada saat Doa Bapa Kami, prodiakon di perbolehkan naik ke panti iman sambil bergandengan tangan di belakang Romo / Pastur ? adakah ketentuan dari Otoritas Gereja Katolik mengenai hal ini ? Karena hal ini, jujur sangat mengganggu pandangan saya pada saat menyanyikan dan berdoa Doa Bapa Kami
Amoro Misericordioso
Shalom Win,
Ketentuannya sesungguhnya disebutkan dalam PUMR 162:
162. Imam-imam lain yang kebetulan hadir dalam perayaan Ekaristi dapat membantu melayani komuni umat. Kalau imam-imam seperti itu tidak ada, padahal jumlah umat yang menyambut besar sekali, imam dapat memanggil pelayan komuni tak lazim untuk membantu:…..
Pelayan-pelayan seperti ini hendaknya tidak menghampiri altar sebelum imam menyambut Tubuh dan Darah Tuhan. Mereka selalu menerima dari tangan imam bejana kudus yang berisi Tubuh atau Darah Kristus untuk dibagikan kepada umat beriman.
Jadi memang sebenarnya bukan pada saat doa Bapa Kami mereka boleh naik ke altar.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid,
bagaimana kalau hal tersebut tetap terjadi? dan seolah Romo membiarkan saja karena sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu kala, malah dahulu prodiakon duduk di sebelah kanan dan kiri Romo pada saat misa di panti imam dan semenjak Romo baru menjabat jadi Pastur Kepala Paroki, kebiasaan prodiakon duduk di sebelah kanan dan kiri Romo di tiadakan, tapi tetap pada saat Doa Bapa Kami, prodiakon nya naik lagi ke altar..
Salam kasih dalam Kristus
Shalom Erwin,
Patokannya sesungguhnya tetap adalah PUMR 162.
Demikianlah tanggapan Romo Boli, ketika saya mengirimkan pertanyaan lanjutan Anda ini kepadanya:
PUMR 162, bisa ditafsirkan demikian: para pelayan komuni tak lazim maju pada saat atau sesudah imam menyantap Ttubuh dan Darah Kristus. Kalau mereka maju pada saat Komuni imam, gerakan mereka bisa menghilangkan saat khusuk Komuni imam, kalau sesudah Komuni imam keheningan Komuni imam terjamin tetapi butuh kesabaran dari umat dan imam. Bagi saya paling ideal kemungkinan kedua itu, sesudah Komuni imam untuk turut memberi contoh pentingnya kekhusukan mengalami anugerah Komuni. Kalau pedoman ini kurang diperhatikan oleh imam perlu disampaikan agar diperbaiki. Semoga ditemukan jalan untuk menyampaikannya juga kepada imam “yang kurang sabar”.
Doa dan Gbu.
Rm Boli.
Nampaknya dibutuhkan kesabaran dan juga kerendahan hati untuk bersama-sama menerapkan ketentuan liturgi dalam perayaan Ekaristi. Adapun ketentuan-ketentuan liturgi dimaksudkan untuk membantu kita agar semakin khusuk merayakan Ekaristi dan menghayatinya. Maka diperlukan juga keterbukaan dari pihak kita, baik umat maupun imam untuk menerima dan melaksanakan ketentuan tersebut, sebagaimana telah ditetapkan oleh pihak Vatikan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam dalam kasih Kristus,
Ada sebuah pengalaman yang terasa ganjil bagi saya, sering dilakukan oleh seorang Romo setiap perayaan Ekaristi yaitu diabaikannya doa sebelum Doa Syukur Agung. Yang saya maksud adalah ajakan Imam: “Berdoalah saudara-saudari supaya persembahanku dan persembahanmu berkenan kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa. Umat :Semoga persembahan ini diterima …dst”
Apakah juga termasuk pelanggaran?
Terima kasih.
Salam Remigio,
Ajakan imam pada kesempatan ini dan tanggapan umat dalam bentuk doa bersama sebelum imam merangkumnya dalam doa pemimpin, sebenarnya meembentuk satu kesatuan Doa Persiapan Persembahan, yang memiliki kekhasan sebagai doa pemimpin dibandingkan dengan Doa Pembuka dan Doa Sesudah Komuni. Dalam doa pemimpin lainnya, ajakan imam: “Marilah berdoa… ” lebih singkat dan tidak ditanggapai secara lantang oleh umat tetapi dengan berdiam diri dan berdoa dalam hati lalu dirangkum oleh pemimpin dalam doa yang diucapkan secara lantang seorang diri sebagai pemimpin. Tidak bagus kalau kekhasan Doa Persiapan Persembahan ini dihilangkan begitu saja oleh imam karena kemauan sendiri.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Terima kasih Romo atas penjelasannya.
Walaupun sebelum ini saya agak kurang bersetuju dengan isu nie…
tapi setelah mengkaji blog awak terutamanya pos nie..
saya semakin yakin… idea awak ada benarnya… terima kasih…
Selamat sore Pastor,
Di paroki saya di saat Perayaan Ekaristi seringkali terjadi hal2 yang bertentangan dengan seperti yang pastor terangkan dalam jawaban2 pastor terdahulu seperti di waktu penerimaan Hosti, awam dipersilakan mengambil dan mencelupkan hosti tersebut ke dalam piala berisi anggur, tepuk tangan yang meriah dll.
Meskipun ada seorang bapak yang dengan gigih (sampai2 dianggap meng-ada2) selalu mengeritik tindakan2 tersebut melalui media FB dll, tetapi sepertinya romo2 di paroki saya cuek saja. Pertanyaan saya : Harus ke mana melaporkan kejadiaan2 ” aneh ” tsb ???
Terima kasih.
Billy
Salam Billy,
Perlu kesabaran dalam upaya membuat perbaikan. Perlu bertanya mengapa perbaikan tidak segera dilaksanakan. Perhatikan cara menyampaikan usul saran perbaikan. Bisa saja maksud baik dan luhur dari usul-saran perbaikan kita tidak tercapai, bahkan dicuekin, karena cara penyampaian kita menimbulkan reaksi kontra. Bila dialog dalam suasana persaudaraan dengan penanggungjawab liturgi (termasuk imam) tidak membawa hasil, barulah disampaikan kepada pimpinan Gereja setempat bila pelanggaran itu menyangkut hal/unsur penting.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Pastor Boli Ujan atau Ibu Ingrid Listiati,
Di gerejaku tabernakel letaknya di samping mimbar altar namun masih di bagian panti imam, di antara altar dan ambo. Bila awam hendak naik panti imam (setahu saya di luar Indonesia, awam tidak pernah naik panti imam, lha wong namanya saja sudah panti imam), penghormatan apakah ditujukan kepada altar/selebran atau terarah ke tabernakel. Mana yang tepat dengan berlutut atau dengan menundukkan kepala saja? Terima kasih. Salam, hendra.
[pertanyaan ini kami gabungkan karena sama:]
Submitted on 2013/07/22 at 8:56 pm
Pastor Boli dalam kasih Kristus,
Mana yang benar menurut tata cara liturgi, bila hendak naik panti imam oleh awam (di luar Indonesia, saya tidak pernah melihat awam naik panti imam)? Berlutut mengarahkan diri kepada altar/pastor selebran, atau mengarahkan diri ke tabernakel. Di gereja parokiku tabernakel terletak agak disamping kiri, Terima kasih pastor atas penjelasannya.
salam,
hendra
Shalom Hendra,
Sementara menunggu jawaban dari Rm Boli, izinkan saya menanggapi pertanyaan Anda.
Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) tidak melarang penempatan mimbar Sabda (ambo) di Panti Imam (sanctuary), tempat di mana altar diletakkan. PUMR memang menjabarkan bahwa baik altar dan ambo menjadi pusat perhatian, namun keduanya tidak sama ataupun bersaing:
299. …. Altar hendaknya dibangun pada tempat yang sungguh-sungguh menjadi pusat perhatian, sehingga perhatian seluruh umat beriman dengan sendirinya terarah ke sana….
309. Keagungan Sabda Allah menuntut agar dalam gereja ada tempat yang serasi untuk pewartaan Sabda, yang dengan sendirinya menjadi pusat perhatian umat selama Liturgi Sabda…. …. hendaknya mimbar itu ditempatkan sedemikian rupa, sehingga pembaca dapat dilihat dan didengar dengan mudah oleh umat beriman.
Mimbar adalah tempat untuk membawakan bacaa-bacaan dan mazmur tanggapan serta Pujian Paskah. Untuk menjaga keagungan mimbar, hendaknya hanya pelayan sabda yang melaksanakan tugas di sana.
Maka walau sama-sama disebut sebagai ‘pusat perhatian’ namun ambo disebutkan menjadi pusat perhatian selama Liturgi Sabda, sedangkan altar dikatakan ‘sungguh-sungguh menjadi pusat perhatian’ tanpa tambahan keterangan, sehingga mengisyaratkan bahwa ia menjadi pusat perhatian secara umum dalam keseluruhan perayaan Ekaristi. Itulah sebabnya, sering altar diposisikan di pusat/ di tengah Panti Imam, bahkan direncanakan dengan posisi ketinggian lantai yang sedikit lebih tinggi dari ketinggian lantai ambo.
Nah memang idealnya pembacaan Kitab Suci dilakukan oleh Lektor yang dilantik, tetapi kalau lektor itu tidak ada, maka pembacaan Kitab Suci dapat dilakukan oleh awam yang secara khusus diberi tugas untuk itu. PUMR mengatakan:
59. Menurut tradisi, pembacaan [Kitab Suci] bukanlah tugas pemimpin perayaan, melainkan tugas pelayan yang terkait. Oleh karena itu, bacaan-bacaan hendaknya dibawakan oleh lektor, sedangkan Injil dimaklumkan oleh diakon atau imam lain yang tidak memimpin perayaan. Akan tetapi kalau tidak ada diakon atau imam lain, maka Injil dimaklumkan oleh imam selebran sendiri….
101. Kalau lektor yang dilantik tidak hadir, umat awam lainnya dapat diberi tugas memaklumkan bacaan-bacaan dari Alkitab. Mereka harus sungguh terampil dan disiapkan secara cermat untuk melaksanakan tugas ini….
Dengan ketentuan ini maka dimungkinkan kaum awam diberi tugas untuk membaca Sabda/ Kitab Suci pada perayaan Ekaristi, dan karena pembacaan Sabda tersebut dilakukan di ambo. Oleh kerena itu diperbolehkan, kaum awam yang memang bertugas, untuk naik ke panti imam agar dapat membaca di ambo.
Selanjutnya, mari mengacu kepada penjelasan Fr. Edward McNamara, profesor Liturgi di universitas Regina Apostolorum, Roma (selengkapnya klik di link ini):
Monsignor (sekarang Uskup) Peter Elliot menjabarkan tentang penghormatan yang dilakukan oleh pembaca/ lektor….: “Pembaca/ Lektor (datang ke Panti Imam) dan membuat kebiasaan penghormatan; yang pertama, menghormat dengan khidmat terarah ke altar …, dan menghormat kepada imam selebran, sebelum menuju ke ambo…”.
Maka di sini disebutkan dua jenis penghormatan: yaitu 1) terarah ke altar (dan tabernakel) dan 2) terarah ke imam selebran. Nah penghormatan ke arah altar (dan tabernakel) dapat dilakukan dengan berlutut, ataupun dengan membungkukkan badan; sedangkan penghormatan kepada imam selebran dilakukan dengan menundukkan kepala.
Ketentuan tentang penghormatan dengan berlutut dan membungkuk, disebut dalam PUMR demikian:
274. Berlutut, yakni tata gerak yang dilakukan dengan menekuk lutut kanan sampai menyentuh lantai, merupakan tanda sembah sujud. Oleh karena itu, berlutut dikhususkan untuk menghormati sakramen Mahakudus dan Salib Suci yang digunakan dalam Liturgi Jumat Agung mengenang Sengsara Tuhan. Salib ini dihormati dengan berlutut mulai dari penghormatan meriah dalam Liturgi Jumat Agung sampai sebelum memasuki Misa Malam Paskah…..
Kalau di panti imam ada tabernakel dengan sakramen Mahakudus di dalamnya, maka imam, diakon dan pelayan-pelayan lain selalu berlutut pada saat mereka tiba di depan altar dan pada saat akan meninggalkan panti imam. Tetapi dalam Misa sendiri mereka tidak perlu berlutut….
275. Di samping berlutut, ada juga tata gerak membungkuk dan menundukkan kepala…
a. menundukkan kepala dilakukan waktu mengucapkan nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama Santo/ Santa yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.
b. membungkukkan badan atau membungkuki dengan khidmat dilakukan waktu: 1) menghormati altar 2) sebelum [imam] memaklumkan Injil, waktu mengucapkan doa Sucikanlah hati dan budiku, ya Allah…. 3) dalam syahadat, waktu mengucapkan kata-kata, Ia yang dikandung dari Roh Kudus …dan menjadi manusia; 4) dalam persiapan persembahan, waktu [imam] mengucapkan doa “Dengan rendah hati dan tulus… 5) dalam Kanon Romawi [DSA 1] pada kata-kata Allah yang mahakuasa, utuslah malaikat-Mu …. Membungkuk juga dilakukan oleh diakon waktu minta berkat kepada imam sebelum mewartakan Injil. Kecuali itu, imam juga membungkuk sedikit waktu mengucapkan kata-kata Tuhan pada saat konsekrasi: “Terimalah ….”
Demikian tanggapan kami, semoga menjawab pertanyaan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Hendra,
saya menambahkan saja, selama perayaan Ekaristi, kalau awam naik panti imam, hendaknya di depan altar tunduk ke altar/imam. Kalau waktu masuk gereja untuk memulai perayaan Ekaristi dan waktu meninggalkan panti imam setelah selesai Ekaristi, penghormatan di depan altar dilaksanakan dengan berlutut karena ada tabernakel di panti imam.
Tks, salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Dear katolisitas and Rm. Boli,
Di sebuah gereja paroki, ketika misa ada misdinar membawa salib. Setelah sampai di depan, salib dibawa ke ruang samping panti imam. Di paroki lain, salib dipacang persis di samping altar. Akhirnya, ada 3 salib: salib utama di dinding yang menghadap umat, salib altar yang menghadap imam, dan salib misdinar yang menghadap umat.
Pertanyaan saya, bagaimana sebenarnya ketentuan yang resmi? Terus terang, saya sedikit terganggu kalau salib yang dibawa misdinar diletakkan di samping altar. Mohon pencerahan!
Salam
Salam Brian,
Perasaan terganggu dari Brian dapat saya pahami, karena bila sudah ada salib di altar, tak perlu lagi salib perarakan ditempatkan di dekat/samping altar, tetapi dibawa ke tempat lain di luar panti imam, maka kebiasaan di gereja paroki pertama yang Brian sebut itu lebih baik. Bila tidak ada salib altar (yang mengarah ke imam) maka salib perarakan dapat ditempatkan di samping altar dalam posisi sedemikian agar dapat dengan mudah dipandang imam karena bagi umat sudah ada salib utama menghadap mmereka (biasanya imam tidak dapat memandang salib utama itu selama ia menghadap umat). Namun bila tidak ada salib utama di belakang dan di atas altar maka salib perarakan itu ditempatkan di dekat altar dalam posisi sedemikian agar dapat dilihat baik oleh umat maupun imam (agak menyamping posisinya), jadi berfungsi ganda menggantikan salib utama dan salib altar.
Dalam PUMR 122, 350 ditulis sbb:
122: Kalau dalam perarakan ini dibawa salib, maka salib itu dipajang di dekat altar sehingga berfungsi sebagai salib altar, dan hanya salib itulah yang harus digunakan; kalau ada salib lain, lebih baik salib perarakan ini dipajang di tempat lain (di luar panti imam).
350: Di samping itu, barang-barang yang langsung terkait dengan altar dan perayaan Ekaristi, misalnya salib altar dan salib perarakan, hendaknya sungguh diperhatikan.
Semoga dengan ini menjadi lebih jelas. Tks dan doa. Gbu.
Rm Boli.
terima kasih Romo pencerahannya, banyak paroki yang mengalami seperti itu, ada tiga salib, salib utama, salib di meja altar dan salib yang diarak misdinar dan ditempatkan pada posisi persis di samping meja altar.
Salam dalam kasih Kristus,
Terima kasih atas jawabannya. Memang maksud posisi dari tempat yang agak naik sedikit tinggi itu letaknya 2 sampai 3 meter membelakangi meja altar. Di tempat tersebut tersedia 3 kursi, 1 kursi di tengah untuk imam, sementara 2 kursi lainnya untuk ajuda/misdinar. Dari tempat itu imam membuka Perayaan Ekaristi dengan tanda salib sampai doa pembuka sambil berdiri. Bagian ibadah sabda: dari bacaan pertama imam duduk di tempat itu. Setelah bacaan Injil (jika tidak ada diakon) imam menuju ambo untuk membaca Injil sampai kotbah. Setelah itu imam kembali ke tempat semula dan mengajak umat untuk ucapkan credo dan doa umat. Saat persembahan imam menuju altar untuk ibadah korban dan seterusnya. Setelah selesai pengaturan altar imam kembali ke tempat itu untuk doa penutup sampai berkat dan kembali ke sakristi. Sebagai tambahan, tabernakel berada di samping dekat altar. Terima kasih, berka dalem katolisitas.org
Kursi imam
Shalom Dhidie,
Jika benar maksud Anda bahwa kursi imam di gereja Anda diletakkan di depan altar dan sehingga posisi kursi-kursi imam tersebut membelakangi altar, maka memang sepertinya tata letaknya tidak terlalu ideal, jika kita berpegang kepada PUMR.
PUMR menyebutkan ketentuan tentang kursi imam, demikian:
PUMR 310 Kursi imam selebran harus melambangkan kedudukan imam sebagai pemimpin jemaat dan mengungkapkan tugasnya sebagai pemimpin doa. Oleh karena itu, tempat yang paling sesuai untuk kursi imam selebran ialah berhadapan dengan umat dan berada di ujung panti imam, kecuali kalau tata bangun gereja atau sebab lain tidak mengizinkannya; misalnya saja kalau dengan demikian jarak antara umat dan imam terlalu jauh, sehingga mempersulit komunikasi; atau kalau tabernakel dibangun di belakang altar persis di garis belakang panti imam. Kursi imam selebran sama sekali tidak menyerupai tahta….
Sedangkan untuk letak tabernakel, Ekshortasi Apostolik yang dikeluarkan oleh Paus Benediktus XVI, Sacramentum Caritatis:
69. …. Penempatan yang benar dari tabernakel akan memberikan kontribusi bagi pengenalan akan kehadiran Kristus yang nyata di dalam Sakramen Mahakudus. Karena itu, tempat di mana Ekaristi disimpan, ditandai oleh lampu tempat kudus, harus mudah terlihat dari siapapun yang memasuki gereja. Maka menjadi penting untuk diperhatikan dalam arsitektur bangunan: di gereja-gereja yang tidak mempunyai kapel Sakramen Mahakudus, dan ketika altar tinggi [high altar pada gereja-gereja tua] dengan tabernakelnya masih di sana, adalah layak untuk tetap menggunakan struktur ini untuk penyimpanan dan adorasi Ekaristi, asalkan jangan menempatkan kursi imam selebran di depannya. Di gereja-gereja baru, adalah baik untuk menempatkan kapel Sakramen Mahakudus dekat dengan panti imam; ketika ini tidak memungkinkan, adalah lebih baik (preferable) untuk menempatkan tabernakel di panti imam, di tempat yang cukup ditinggikan, pada bagian tengah/ as di bagian ujung pengakhiran gereja, atau ditempat lain yang sama-sama menyolok/ mudah terlihat. Perhatian kepada pertimbangan-pertimbangan ini akan memberikan kontribusi martabat kepada tabernakel yang harus selalu diperhatikan dari sudut pandang artistik…..”
Berpegang atas ketentuan ini, pada gereja-gereja yang tidak mempunyai kapel Sakramen Mahakudus, tabernakel diletakkan di area panti imam. Jika memungkinkan, tabernakel diletakkan di tengah/ as gedung, dengan posisi tabernakel ditinggikan, agar jika kursi imam diletakkan di depannya, maka tidak menutupi tabernakel. Posisi kursi imam harus sedemikian sehingga berhadapan dengan umat, memudahkan komunikasi dengan umat. Memang tidak dilarang jika posisi tabernakel diletakkan di sisi samping, agar tidak terhalang kursi imam, namun kalau melihat dari dokumen Gereja, tetap yang lebih ideal (preferable) adalah lokasi tabernakel di tengah, dengan level yang ditinggikan sedemikian, sehingga mudah dilihat dari segala arah, dan tidak tertutupi oleh imam yang mempersembahkan Ekaristi kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Dhidie,
Berdasarkan PUMR no 310, “yang paling sesuai untuk kursi imam selebran ialah berhadapan dengan umat dan berada pada ujung panti imam, kecuali kalau tata bangun gereja atau suatu sebab lain tidak mengizinkannya; … Kursi imam selebran sama sekali tidak boleh menyerupai takhta”. Bdk Instruksi Pelaksana 1, Inter Oecumenici, no 92. Bisa dinilai apakah yang terjadi itu sesuai dengan pedoman.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Shalom,
Saya ingin menanyakan, bolehkah ke dua tangan kita terbuka waktu menyanyikan lagu Bapa Kami? Saya pernah dengar katanya tdk diperbolehkan, yg boleh mealakukan hanya romo, tp kenyataannya di gereja katolik yg di pontianak, semua umat waktu menyanyikan lagu Bapa Kami tangannya terbuka, terima kasih..
Shalom Wandy,
Yang tertulis dalam PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) tentang sikap doa imam selebran pada saat mendoakan Bapa Kami, yaitu demikian:
PUMR 237 Kemudian, sambil mengatupkan tangan, selebran utama mengajak umat membawakan doa Bapa Kami; sesudah itu, sambil merentangkan tangan ia melambungkan Bapa Kami bersama para konselebran, yang juga merentangkan tangan, dan bersama umat.
Ketentuan PUMR di atas tidak menyebutkan secara eksplisit tentang bagaimanakah ketentuan sikap umat pada saat mendoakan Bapa Kami (kecuali tentu, berdiri). Maka apa yang tidak dirumuskan secara eksplisit, mari, tidak usahlah kita jadikan sebagai rumusan keharusan. Maka boleh saja, jika umat mau bergandengan tangan, atau menadahkan tangan, atau mengatupkan tangan, namun tidak diperkenankan jika suatu postur tertentu diharuskan (prescribed), ditambahkan ke dalam teks liturgi (seperti penyebutan “…. Marilah kita saling bergandengan tangan…..” dst, ini tidak diperkenankan). Demikianlah kurang lebih jawaban Kardinal Arinze, mewakili Kongregasi tentang Liturgi (CDW) dari Vatikan, tentang sikap umat pada saat mendoakan Bapa Kami. Silakan mendengarkan jawaban beliau, di video klip ini, silakan klik, tepatnya di menit 6.47.
Namun walaupun tidak ada ketentuan tertulis di sini, dan dengan demikian umat dapat memilih sikap doa yang kondusif baginya, namun adalah baik jika dipahami bahwa posisi merentangkan tangan yang dilakukan oleh imam selebran itu, salah satu maksudnya adalah melambangkan peran in persona Christi yang dilakukan oleh imam dalam perayaan Ekaristi. Itulah sebabnya ketentuan postur diakon -yang diatur oleh rubrik- tidak memperbolehkan diakon untuk merentangkan tangan pada saat doa Bapa Kami (lih. Instruction on Collaboration, 1997, 6 § 2). Oleh karena itu, memang ada baiknya, jika mengingat hal ini, umat juga tidak merentangkan tangan pada saat doa Bapa Kami di Misa Kudus, agar mendukung makna simbolisme sikap imam dalam perayaan Ekaristi tersebut, agar semakin kita sadari bahwa kita sebagai umat menyatukan doa kita sebagai Gereja dalam kesatuan dengan imam yang berperan sebagai Kristus Sang Kepala, kepada Allah Bapa. Tentu di luar perayaan Ekaristi, sikap doa apapun diperbolehkan asalkan dilakukan dengan hormat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih dalam Yesus Kristus,
Saya ingin menanyakan, ada beberapa gedung gereja yang panti imamnya, selain tentu memiliki altar untuk kurban misa, tetapi ada juga tempat yang agak naik sedikit, membelakangi altar, yang sering dipergunakan mulai dari Tanda salib sampai doa umat, sedangkan ibadat korban imam menuju altar, dan kembali ke tempat semula sesudah komuni sampai berkat penutup. Apakah ini dibenarkan secara liturgi? Terima kasih katolisitas.
Shalom Dhidie,
Menurut ketentuan liturgis memang di Panti Imam terdapat dua meja, yaitu ambo (Meja Sabda Allah) dan altar (Meja Ekaristi), ini menggambarkan adanya dua liturgi dalam perayaan Ekaristi, yaitu Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi.
Tentang meja Sabda/ Mimbar ketentuannya menurut PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) adalah:
309. Keagungan Sabda Allah menuntut agar dalam gereja ada tempat yang serasi untuk pewartaan sabda, yang dengan sendirinya menjadi pusat perhatian umat selama Liturgi Sabda.
Sebaiknya tempat pewartaan sabda itu berupa mimbar (ambo) yang tetap, bukannya ‘standar’ yang dapat dipindah-pindahkan. Sesuai dengan bentuk dan ruang gereja masing-masing, hendaknya mimbar itu ditempatkan sedemikian rupa, sehingga pembaca dapat dilihat dan didengar dengan mudah oleh umat beriman.
Mimbar adalah tempat untuk membawakan bacaan-bacaan dan mazmur tanggapan serta Pujian Paskah. Juga homili dan doa umat dapat dibawakan dari mimbar. Untuk menjaga keagungan mimbar, hendaknya hanya pelayan sabda yang melaksanakan tugas di sana.
Seyogyanya sebelum digunakan untuk keperluan liturgi, mimbar baru diberkati menurut tata tacara yang diuraikan dalam buku Rituale Romanum.
Sekilas dari penuturan Anda, saya berkesan bahwa tempat yang naik sedikit yang Anda sebutkan itu, yang digunakan sejak awal Misa (Tanda salib) sampai doa umat, adalah ambo. Namun, saya tidak paham dengan maksud Anda yang mengatakan bahwa ambo tersebut ditempatkan membelakangi altar. Umumnya ambo memang ditempatkan di sisi altar (bisa di sisi kiri atau kanan) dan posisinya bisa sedikit lebih maju dari altar, tetapi tidak persis di depan altar, sehingga membelakangi altar. Mungkin Anda mempunyai fotonya, jika benar ambo ini diletakkan persis di depan altar? Umumnya memang altar ditempatkan sedemikian sehingga tidak terhalang oleh apapun, sehingga umat dapat dengan segera melihat altar, demikian juga dengan tabernakel.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih sdr Dhidie Poluan,
Sebagaimana yang saudara jelaskan, sepertinya hal itu sama dengan di Gereja Paroki kami (NSW-Australia). Tempat yang agak “naik sedikit” yang membelakangi altar itu terdapat kursi imam. Menurut pengamatan saya, posisi tempat itu serasi dari sudut padang dimana umat duduk karena antara lain:
•Saat imam duduk, maka posisi tubuhnya akan terlihat dalam ketinggian yang serasi dengan meja altar, seolah-olah imam duduk tepat di belakang meja perjamuan walau sesunguhnya ada jarak ca.2-3 m antara altar dan kursi imam. Dan wajah imam juga akan terlihat jelas oleh umat yang duduk krn tidak terhalang oleh tingginya altar.
•Saat imam berdiri dan harus membaca teks, maka posisi si assistant imam yang berarti lebih rendah sedikit itu dan berada sedikit kesamping depan imam, mengakat ke atas bukunya sambil menundukan kepala, akan terlihat serasi krn imam akan dapat membaca dengan posisi yang baik dan wajah imam tidak terhalang buku maupun ketinggian tubuh si assistant imam.
Demikian sekilas yang dapat saya mengerti.
Peace and Best Wishes
Anastasia Rafaela
Shalom Anastasia dan Dhidie,
Nampaknya perlu diperjelas di sini, apakah tempat yang naik sedikit itu: 1) “membelakangi” altar (artinya terletak di depan altar), atau 2) terletak “di belakang” meja altar?
Sebab kalau menurut uraian Anda, Anastasia, saya berkesan bahwa tempat yang naik sedikit terletak di belakang altar dan bukan membelakangi altar, sebab Anda mengatakan, “… Saat imam duduk, maka posisi tubuhnya akan terlihat dalam ketinggian yang serasi dengan meja altar, seolah-olah imam duduk tepat di belakang meja perjamuan…. ”
Posisi yang sedikit naik tersebut, boleh saja. Yang penting ada dua meja (mimbar) di Panti imam, yaitu mimbar Sabda (ambo) dan mimbar Ekaristi (altar).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kembali Bu Ingrid dan sdr Dhidie,
Sebelumnya mohon maaf atas kekeliruan saya dalam menggunakan kata “membelakangi” secara tidak tepat hingga justru menjadi kontra.
Kondisi yang saya maksudkan di sini adalah adanya 3 level area, yaitu
Level 1: terdapat bangku-bangku umat.
Level 2: terdapat mimbar Sabda (ambo) dan mimbar Ekaristi (altar).
Level 3: dengan area yg tidak luas terdapat kursi imam.
Yang artinya ialah antara level 1 & 2 terdapat anak tangga memanjang yang terletak di sekitar depan altar dan ambo, dan antara level 2 & 3 juga terdapat anak tangga yang berjarak ca. 2-3 meter di belakang meja altar.
Berdasarkan pengamatan saya sepertinya jumlah dan tingginya anak tangga serta posisi anak tangga itu berada sudah dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan baik dan benar. Demikian pula seperti halnya tata penataan kaca-kaca yang mengijinkankan sinar matahari masuk ke dalam gedung gereja yang menghasilkan kilauan pantulan cahaya secara alami dari Tabernakel sehingga terlihat sangat indah dan mempesona.
Semoga hal ini dapat memperjelas.
Peace and Best Wishes
Anastasia Rafaela
Sekali lagi saya ingin bertanya……
Begini, saya dan beberapa teman terlibat diskusi di media sosial dengan penggiat Karismatik asal Semarang…dalam diskusi tersebut disinggung pula misa. Saya beri beberapa copas komentar yang bersangkutan ttg misa (copas)
==
hmm…. saya beri gambaran spt ini,
– tepuk tangan hanya dilakukan pada lagu sebelum Misa dimulai. Biasanya untuk membangun suasana
– setelah masuk dalam Misa, tidak ada tepuk tangan
– tari tarian hanyalah tempat untuk memberikan ruang bagi anak2 muda, terutama wanita, untuk meyalurkan bakatnya, dalam memuji dan menyembah Tuhan
– lagu2 di luar, hmmm… sudah saya katakan, ordinarium pasti, dan tidak pernah diganti. paling lagu2 “luar” ada di lagu pembukaan, lagu komuni, lagu persahabatan, dan lagu penutup
Dan semuanya itu, sepersetujuan Romo nya. Jika anda menemukan yang berbeda, anda boleh protes kok
===
lalu dikritisi oleh seorang teman sbb:(copas)
==
– tepuk tangan hanya dilakukan pada lagu sebelum Misa dimulai. Biasanya untuk membangun suasana —> membangun suasana apa?
– setelah masuk dalam Misa, tidak ada tepuk tangan –> meski ada Tabernakel di dalam Gereja tetap bertepuk tangan?
– tari tarian hanyalah tempat untuk memberikan ruang bagi anak2 muda, terutama wanita, untuk meyalurkan bakatnya, dalam memuji dan menyembah Tuhan –> seperti apa bentuk tari-tariannya? Lagu pengiring tari-tariannya lagu apa?
– lagu2 di luar, hmmm… sudah saya katakan, ordinarium pasti, dan tidak pernah diganti. paling lagu2 “luar” ada di lagu pembukaan, lagu komuni, lagu persahabatan, dan lagu penutup –> saya pernah ikut Misa yang diselenggarakan karismatik dengan ordinarium yang tidak terdapat di Puji Syukur / Madah Bakti. Kata-katanya begini: Tuhan ampunilah segala dosaku… dll. Ordinarium tersebut diambil dari manakah?
–> paling lagu2 “luar” itu maksudnya lagu2 Protestan yang jelas2 menolak mengakui kepemimpinan Paus? Benar begitu Pak ?
–> apakah Anda tahu perbedaan lagu liturgis, non liturgis dan lagu profan?
Dan semuanya itu, sepersetujuan Romo nya. Jika anda menemukan yang berbeda, anda boleh protes kok –> apakah Romo tersebut benar2 tahu lalu menyetujui penggunaan lagu2 Protestan dalam sebuah Misa? >>
=====
Lalu Sang penggiat Karismatik dan pengajar KEP di Semarang itu berkata :
===
– yang dibangun adalah kesiapan hati untuk bertemu dengan Tuhan Yesus dalam ekaristi
– kecuali saya salah, sepertinya tidak ada larangan untuk bertepuk tangan dalam Gereja, kecuali saat Misa berlangsung.
Jika Romo mengajak umat utk bertepuk tangan memuji koor yang bagus, apakah salah bila umat bertepuk tangan memuji Tuhan dalam pujian? Dan ini dilakukan sebelum Misa mulai
– bentuk tariannya? banyak, body worship, pokok nya tarian yg jauh dari sekularisme, ini pun jika anda mengerti
– anda pernah ikut misa dengan ordinarium yg tidak ada di Ps, sudah di cek di Madah Bakti? wkwkwkwkwk… just kiddding, mereka hampir mirip. Mungkin yang anda hadiri, itu PDKK yang salah kaprah, tapi jika Romo menyetujuinya, ya gpp to? Siapa sih kita, dibandingkan Romo? pengeteahuan kita ttg liturgi tidak lebih dari Romo kok.
– lagu2 Protestan yg tidak mengakui Paus. Lha itu bukajn urusan saya, mau mengakui atau tidak, terserah mereka, hahahaaha…
Tidak semua lagu mereka jelek lho…. Ada juga yang bagus, Karismatik pun kritis, memperhatikan setiap lagu2 pop rohani yang ada. toh mereka juga bikin lagu2 yang diambil dari KS juga kan? Jika memang lagu tsb dapat membangun umat kita, ya apa salahnya?
– beda lagu liturgis non liturgis saya tahu, lagu profan masih tahu tahu engga
– Sekali lagi, Romo jauh lebih mengetahui liturgi daripada kita. Misa karismatik tidak serumit yang anda bayangkan. Ordinarium tetap menggunakan ordinarium yang baku. Kalo ada yg berbeda, sebelum anda me -judge itu sesat, tanyakanlah lebih dahulu, terutama pada Romo yg memimpin
======
Saya pribadi berkomentar : copas:
===
bentuk tariannya? banyak, body worship, pokok nya tarian yg jauh dari sekularisme, ini pun jika anda mengerti ===> coba cek di sini : http://www.youtube.com/watch?v=vHWsmHG80vo …setahu saya dilarang…..
====
Saya memberi video penjelasan Cardinal Arinze ttg liturgical dancing.
Sang penggiat Katismatik lalu berkomentar: (copas)
====
betul, memang dilarang, makanya hanya dalam misa komunitas dan misa perkawinan saja biasanya ada
Saya juga tidak menyarankan bila Misa tersebut melibatkan banyak umat yang belum mengenal karismatik
====
Karena ada pertentangan antara penjelasan Cardinal Arinze…dan komentar sang penggiat Karismatik itu…lalu ada teman lain yang bertanya: (copas)
====
Bukannya kalau dilarang berarti berlaku pada setiap Misa..?
====
Yang penggiat Karismatik itu berkata : (copas)
===
Saya pernah nanya pada Rm. Purwa Msf, seminari kentungan, jawaban beliau adalah spt itu
===
Yang menjadi pertanyaan saya :
1) Apa benar adaaturan Congregation for Divine Worship and the Discipline of the Sacraments (CDW)…hingga ada pembedaan misa…ada misa “biasa” , “misa” karismatik,…”misa” perkawinan dan sebagainya ? karena setahu saya…misa ya misa……spt kata Cardinal Arinze.
2) Apakah ordinarium bisa ubah atas persetujuan Pastor…sehingga pada “misa” karismatik/perkawinan bisa memasukan unsur2 profan, spt tarian, lagu rohani non-liturgis ??
Terima kasih atas tanggapannya.
Shalom J A Lebert,
Komentar yang Anda copy-paste itu sudah pernah dibahas di beberapa artikel di situs ini. Mohon maaf saya tidak dapat membahas ulang lagi di sini. Silakan masuk ke artikel terkait (mohon gunakan fasilitas pencarian di sudut kanan atas homepage katolisitas untuk menemukan artikelnya, ketik kata kuncinya, lalu enter). Jika memang ada hal baru yang ingin ditanyakan, silakan meninggalkan pesan di bawah artikel terkait.
Sekarang tentang tanggapan saya atas pertanyaan Anda:
1. Anda benar, sesungguhnya hanya ada satu Misa (Perayaan Ekaristi), harusnya di mana-mana mengikuti ketentuannya yang sudah baku. Memang dimungkinkan pemilihan lagu-lagu yang tidak sama antara paroki yang satu dan paroki lainnya, tetapi hal urutan perayaan liturgi, teksnya, bacaannya, ordinariumnya sama. Istilah Misa Karismatik mungkin maksudnya adalah misa yang dikoordinasikan oleh komunitas Karismatik. Misa Perkawinan adalah misa/ perayaan Ekaristi yang didalamnya sakramen perkawinan dilangsungkan.
2. Jika berpegang kepada Redemptionis Sacramentum, maka teks Misa dan Ordinarium tidak dapat diubah-ubah, apalagi untuk memasukkan unsur-unsur profan. Hal tersebut sudah dibahas di artikel di atas, klik di sini, mohon maaf, mari tidak usah diulang-ulang lagi di sini, tetapi dilaksanakan saja dengan kerendahan hati.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear katolisitas and Rm Boli, SVD
Pelindung Gereja stasi kami adalah St Petrus dan Paulus, yang hari rayanya tahun ini jatuh pada hari Sabtu. Di tempat kami tak mungkin kami merayakannya pagi hari karena masih sibuk kerja. Yang bisa adalah sore atau hari Minggu. Persoalannya Sabtu sore pastor sudah terikat dengan jadwal Misa Sabtu sore di Gereja paroki. Pastor paroki memutuskan untuk memindahkannya ke hari Minggu.
Pertanyaan saya, apakah boleh demikian? Bagaimana ketentuan-ketentuannya? Apakah bacaannya diambil dari bacaan liturgi hari Minggu atau hari raya bersangkutan? Apakah warna liturginya merah atau hijau?
Sebab, waktu mendapat pendalaman liturgi, kami diberitahu bahwa hari Minggu tidak bisa dikalahkan oleh hari raya apapun kecuali hari raya Tuhan Yesus. Mohon pencerahan!
Salam,
Brian
Brian yth
Pemindahan Misa Hari Raya setingkat Hari Minggu hendaknya berkonsultasi dengan Uskup Ordinaris setempat. Pada umumnya setiap hari raya yang wajib dirayakan dalam Gereja Katolik ada 7, dan tidak semua jatuh pada hari Minggu. HR St Petrus dan Paulus jika jatuh hari Sabtu bisa dirayakan Sabtu sore dan Hari Minggu Biasa XIII dirayakan hari Minggu, bukan dibalik.
salam
Rm Wanta
Dear Rm. Wanta
Jawaban romo ada yang belum saya paham. Saya tidak mengerti apa yang dibalik?
Saya hanya mau tanya, apakah misa Hari Raya St Petrus dan Paulus yang jatuh pada hari Sabtu, bisa dirayakan pada hari Minggu? Dan kalau bisa, apakah liturginya (bacaan, mazmur dan warna) diambil dari Hari Rayanya atau tetap liturgi hari minggu?
Merayakannya hari Sabtu Sore tidak bisa, karena semua pastor punya kesibukan untuk merayakan misa Minggu BIasa XIII di beberapa tempat.
salam,
Brian yth,
Perayaan yang baru dirayakan, HR St Petrus dan St Paulus jatuh pada hari Sabtu tetap dirayakan Sabtu, jika dipindahkan ke hari Minggu maka nanti Minggu ke XIII dirayakan di mana? Maka HR St Petrus dan St Paulus dirayakan Sabtu sore. Sabtu sore jangan dirayakan Misa hari Minggu ke XIII melainkan esoknya. Bukan dibalik maksudnya Minggu dirayakan HR St Petrus dan St Paulus, sedangkan Sabtu dirayakan Hari Minggu ke XIII.
Semoga semakin jelas, salam
Rm Wanta
Dear Rm Wanta,
Terima kasih romo. Artinya tidak boleh. Dalam penjelasan saya di awal, saya sudah katakan bahwa tidak mungkin kami merayakannya pada hari Sabtu sore. Gambaran situasi kami begini: Paroki kami memiliki 7 stasi yang terpisah oleh laut, sementara pastornya hanya 3. Pada waktu itu, 2 pastor melayani di pulau induk (4 misa: sabtu sore 2 dan minggu pagi 2). Satu pastor melayani di dua pulau. Sabtu sore di pulau A (cuma 1 misa), Minggu di pulau B (2 misa, salah satunya misa hari raya).
Kesimpulannya, apa yang dibuat pastor kami keliru. Karena beliau merayakan Hari Raya St Petrus dan Paulus pada hari minggu. Mau pindah jelas tidak bisa, dengan memperhatikan situasinya.
salam
Brian Yth,
Ya, perayaan secara liturgis (Misa) hendaknya tetap Sabtu sore dan kalau hendak dirayakan secara khusus dalam suatu acara perayaan ulang tahun paroki, silakan boleh dirayakan pada hari Minggu setelah Misa
Salam dan berkat Tuhan
Rm Wanta
Salam damai Katolisitas,
Saya sering dengar beberapa orang yang ngotot melakukan pelanggaran liturgi menggunakan ayat Markus 2:27 (2:27 Lalu kata Yesus kepada mereka: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat”) sebagai pembenaran atas tindakan mereka (liturgi untuk manusia, bukan manusia untuk liturgi).
Saya pernah menegur beberapa aktivis dari sebuah komunitas kategorial karena waktu memilih-milih lagu untuk Misa, mereka mengganti Mazmur antarbacaan dengan lagu pop rohani bertema ‘Sabda Tuhan.’ Mereka lalu menjawab, “ini kebiasaan komunitas kita, kalau Misa yang diadakan untuk internal, kita pakai cara ini (mengganti Mazmur), tapi kalau melibatkan umat di luar komunitas kita, kita baru menyesuaikan (memakai Mazmur).”
Bagaimana menjawab pernyataan seperti ini?
Terima kasih.
Shalom Tegar,
Sejujurnya, pandangan Andalah yang benar dalam hal ini. “Hari Sabat” dalam ayat Mrk 2:27 tidak dapat disejajarkan artinya dengan tata cara perayaan liturgi. Hari Sabat di sini artinya maksudnya adalah hari yang dikhususkan bagi Tuhan, yang ditentukan Allah untuk kebaikan manusia, supaya dengan beristirahat pada hari tersebut, manusia memperoleh kesegaran tubuh dan jiwa setelah lelah bekerja selama enam hari dalam seminggu, dan ia dapat mengarahkan pikirannya kepada hal-hal sehubungan dengan keselamatan kekal, dengan mendengarkan dan merenungkan sabda Tuhan. Maka benar jika dikatakan bahwa hari Sabat diadakan demi kebaikan manusia, bukan untuk menyengsarakan mereka. Dengan pengertian inilah kita memahami mengapa Kristus memperbolehkan para murid-Nya untuk memetik jagung ala kadarnya pada hari Sabat sehingga mereka tidak menderita sakit karena kelaparan.
Nah dari pengertian ini, kita ketahui bahwa ayat ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menghilangkan bacaan Sabda Tuhan dalam Mazmur dalam perayaan Liturgi. Sebab justru bacaan Mazmur itu adalah bacaan Sabda Tuhan yang dimaksudkan untuk diperdengarkan dan direnungkan oleh jemaat pada hari Tuhan itu. Liturgi Sabda terdiri bacaan-bacaan dari Kitab Suci, baik itu kitab-kitab para nabi dalam Perjanjian Lama, Mazmur, surat-surat para Rasul dalam Perjanjian Baru, maupun puncaknya, yaitu bacaan Injil. Dalam Liturgi Sabda inilah Tuhan Yesus, Sang Sabda/ Sang Firman Allah, hadir di dalamnya. Inilah iman Gereja sejak awal mula, dan mari kita dengan rendah hati menerima warisan iman ini dari para pendahulu kita, dan bukannya dengan kehendak hati kita mengubah hanya atas dasar kehendak sendiri. Atas dasar penghormatan kepada Kristus sendiri yang hadir dalam Sabda Tuhan, termasuk dalam bacaan Mazmur tersebut, mari kita tidak menggantikannya dengan teks-teks lainnya yang bukan Sabda Tuhan, dan karena itu tidak selayaknya dinyanyikan untuk menggantikan bacaan Sabda Tuhan.
Hal ini disebutkan secara eksplisit dalam Pedoman Umum Misale Romawi:
PUMR 57 …. Tidak diizinkan mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan, yang berisi Sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Alkitab.
Untuk selanjutnya tentang topik ini silakan membaca di sini, silakan klik.
Ketentuan PUMR ini mengambil dasar dari ajaran Katekismus:
KGK 1093 Roh Kudus menyelesaikan di dalam tata sakramental apa yang dipralukiskan dalam Perjanjian Lama. Karena Gereja Kristus sudah “dipersiapkan atas cara yang mengagumkan dalam Perjanjian Lama” (LG 2), liturgi Gereja mempertahankan unsur-unsur ibadah Perjanjian Lama sebagai satu bagian hakiki yang tidak dapat diganti dan menerimanya:
– pertama-tama pembacaan Perjanjian Lama;
– doa mazmur;
– dan terutama kenangan akan peristiwa-peristiwa yang membawa keselamatan, dan kenyataan-kenyataan yang telah terpenuhi di dalam misteri Kristus (janji dan perjanjian, eksodus dan paska, kerajaan dan kenisah, pembuangan & kedatangan kembali).
Sebagaimana Kristus mengajarkan penghormatan terhadap Kitab Suci, dengan pembacaan Kitab Perjanjian Lama (kitab-kitab Musa dan kitab para nabi), termasuk doa Mazmur dan penggenapannya di dalam Dirinya (sebagaimana dinyatakannya kepada dua orang murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus, Luk 24:13-35), maka Gereja juga melakukannya demikian dalam perayaan Ekaristi.
Akhirnya, Tegar, memang adalah tantangan bagi kita semua untuk saling mengingatkan jika terjadi pelanggaran semacam ini, namun marilah melakukannya dengan lemah lembut atas dasar motivasi kasih. Sebab dapat terjadi mereka yang melakukannya juga bermaksud baik, hanya saja tidak mengerti apa sesungguhnya yang diajarkan oleh Gereja. Jika Anda pandang berguna, silakan menyampaikan beberapa artikel di situs ini, terkait dengan topik ini, dan juga arahan Gereja tentang gerakan Karismatik Katolik, silakan klik. Semoga saudara-saudari kita seiman yang terlibat dalam gerakan Karismatik Katolik juga mempunyai kasih dan kerendahan hati, untuk menerima pengajaran Gereja, dan tidak berkeras dengan pemahamannya sendiri. Sebab semua umat yang lain berhak untuk merayakan Ekaristi yang sesuai dengan apa yang telah dilestarikan oleh Gereja di sepanjang sejarah, dan ya, ini termasuk dengan adanya Mazmur Tanggapan yang didaraskan ataupun dinyanyikan, sebagai kesatuan dengan bacaan-bacaan Kitab Suci lainnya. Mari, atas dasar kasih kepada Tuhan Yesus yang telah mengajarkan kehendak-Nya melalui Gereja, kita menaati apa yang telah ditentukan oleh Gereja, sebab kita mengetahui bahwa semua itu adalah untuk kebaikan kita, dan untuk membantu kita semakin menghayati iman kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
@ Chris,
Syalom, salam damai.
Saya yakin orang2 itu gak bakalan lama di gereja aliran2 karismatik itu. Krna sy juga s4 mengalaminya sewaktu sma & kuliah dulu. Wkt itu setahun penuh sy pindah2 gereja pentacostal/ karismatik, lutheran, advent di daerah sy tapi tetap ikut Misa di GK juga.
Sy membandingkan banyakkkkk sekali hal yg aneh & tak masuk akal dlm ibadah n pribadi pemimpin2 mrka. Mis: saat penyembuhan, koq kepala saya didorong2 supaya jatuh, terpaksa sy pura2 jatuh n saya angkat lutut saya, malu deh tu pendoa ^^
[Dari Katolisitas: Cara mendoakan dengan mendorong-dorong, tentu saja bukan cara yang baik dan benar. Semoga Anda telah dan dapat memaafkan kesalahan tersebut]
Lalu soal derma/ persembahan, coba tnya ke mereka, apakah mereka yakin kalau uang itu masuk ke kas gereja n buat pelayanan ? Contoh: ….[dari Katolisitas: kami edit]…. yg lebih mementingkan hal duniawi, apkh layak mrka … ini disebut Hamba Tuhan ? Krna faktanya … ada yg cerai, bangkrut, juga ada yg terduga korup milyaran rupiah. Bgtupun rumah2 mereka…., wowww gak kebayang juga mewahnya :D
[Dari Katolisitas: Sejujurnya adalah tantangan bagi mereka semua yang terlibat dalam pelayanan maupun kegiatan gerejawi, untuk pertama-tama melaksanakan ajaran Firman Tuhan, dan bukan hanya mengajarkan ataupun membicarakan tentang Firman Tuhan. Selanjutnya, mari kita jangan berfokus kepada orang-orangnya, namun kepada Kristus.]
Sy yakin seyakin2nya tidak ada rumah terindah selain Gereja Katolik. Namanya juga Satu, KUDUS, Katolik, Apostolik ^^
Gloria, Hosanna, Haleluya bagi Tuhan kita Yesus Kristus, Dialah Allah Tritunggal Mahakudus, Aminnnnn.
Syalom +
Sekedar sharing,
Saya juga pernah ikut kebaktian di gereja protestan,karena diajak teman2 saya.
Sewaktu masuk ke dalam gedung gereja,saya kagum ketika pertama kali melihat beberapa bapak dan ibu dengan pakaian sangat necis (menurut saya),berdiri dan menyalami jemaat yang datang dengan sangat ruamaaah ,dan saya diberi amplop. Saya sedikit bingung karena di dalam amplop tsb ada kertas yang berisi,kolom nama,nomer rekening dsb,teman saya menjelaskan tak perlu kita mengisi keterangan di kertas itu,isi saja uang seikhlasnya,saya jadi lega :)
.Gedungnya sangat megah,sampai dua lantai.
Ternyata waktu itu adalah minggu pertama,dimana sebelum kebaktian dimulai ditayangkan kegiatan yang telah dilakukan oleh gereja itu selama bulan kemarin.
Dari layar besar di depan,tampak beberapa nenek dan kakek yang duduk dikursi,jumlahnya seingat saya tidak lebih dari 20 orang. Sepertinya itu tempat orang2 jompo. Mereka masing2 memangku,satu kotak kaleng biskuit dan minyak kayu putih ukuran tanggung. Mereka diajak bernyanyi dan berdoa bersama. (kurang lebih hanya itu seingat saya kegiatannya,tidak ada yang lain lagi) dan setelah tayangan itu kami diketuk pintu hatinya untuk memberi dari kami tanda kasih berupa uang (diluar amplop tadi) untuk mendukung karya pelayanan seperti di tayangan tadi.
Jujur,dalam hati saya protes. Bagi saya itu tidak sebanding dengan apa yang saya lihat,gedungnya megah,pelayanannya ramah,jemaatnya ratusan setiap kali kebaktian dan sepertinya rata2 mereka juga orang berada (lagi menurut saya),saya mengira harusnya mereka bisa memberi lebih dari yang tadi saya lihat di tayangan itu. Saya kecewa.
Untuk khotbahnya,saya rasa sama dengan homili pastur di GK,cuma bedanya cara membawakannya berapi-api dan diulang-ulang,beda dengan pastur yang cenderung tenang dalam membawakan.
Ya,intinya saya tetap sreg dengan tata cara perayaan di GK.
Dan satu hal yang tidak saya rasakan diluar GK dan itu tidak bisa di curi dengan cara apapun,yaitu rasa Cinta Kasih itu sendiri. Saya tidak punya kata yang tepat untuk mengungkapkannya,tapi memang kok,GK memang lain daripada yang lain :) dalam hal pengamalan Cinta Kasih :)
Berkah Dalem
Misa di Katedral Padang:
-gerejanya megah, krn udah direnovasi sesudah gempa 2009
-didalem gereja sejuk, krn ada AC
-umatnya banyak, gereja selalu penuh
tetapiiii…terasa hambar karena tidak ada koornya….terasa abeh bagi saya, setiap saya datang misa kok nggak ada koornya. saya ndak bisa nyanyi, apalagi ngajari koor, jadi saya hanya bisa prihatin saja…
[Dari Katolisitas: Silakan menyampaikan hal ini kepada Pastor yang bertugas ataupun Bapa Uskup. Atau jika Anda mau, silakan mengumpulkan beberapa orang yang mempunyai keprihatinan serupa (tak harus Anda yang memimpin koor), untuk bergabung dan memulai latihan koor untuk melayani pada perayaan Ekaristi Kudus pada hari Minggu/ hari Raya. Memang ada atau tidaknya koor tidak mengubah makna perayaan Ekaristi, namun benar, bahwa adanya Koor yang baik akan membangun suasana doa yang khidmat dan mendorong umat untuk bersama mengangkat hati memuji dan menyembah Tuhan dalam perayaan Ekaristi.]
Dear Rm Boli and katolisitas
Pada Kamis Putih biasanya ada upacara pembasuhan kaki. Pernah sekali saya ikut misa Kamis Putih di sebuah tempat terpencil tanpa ada upacara pembasuhan kaki. Alasannya, jumlah prianya kurang. Pastor waktu itu bilang bahwa upacara pembasuhan kaki bersifat fakutatif. Pernah juga saya saksikan upacara pembasuhan kakinya digabungkan dengan bacaan Injil. Artinya, Injil didramatisir, karena kebetulan bacaan Injil mengisahkan tentang pembasuhan kaki.
Pertanyaan saya:
1. Apakah boleh upacara pembasuhan kaki ditiadakan?
2. Apakah boleh upacara pembasuhan kaki digabungkan dengan bacaan Injil dalam bentuk dramatisir?
Mohon pencerahan!
Salam,
brian
Shalom Brian,
Berikut ini adalah tanggapan yang dapat saya berikan, sementara menunggu jawaban dari Romo Boli.
1. Ritus pencucian kaki dalam perayaan Kamis Putih, harus atau tidak harus (optional)?
Menurut ketentuan Misa Novus Ordo, ritus pencucian kaki sesungguhnya adalah ritus optional (tidak harus) sehingga diperbolehkan, jika imam memutuskan, bahwa ritus pencucian kaki tersebut tidak dilakukan dalam perayaan Kamis Putih.
Ritus pencucian kaki ini sendiri pernah tidak dilakukan selama beberapa waktu dalam sejarah Gereja, dan baru dikembalikan ke dalam perayaan liturgi oleh Paus Pius XII tahun 1955, sebagai bagian dari perayaan umum Pekan Suci, dalam perayaan Kamis Putih. Saat itu, penjelasan yang diberikan oleh Kongregasi Liturgi Suci (the Sacred Congregation of Rites) adalah: “Ketika pencucian kaki diadakan di Gereja sesuai dengan rubrik dari Ordo yang diperbarui untuk Pekan Suci, untuk menunjukkan perintah Tuhan tentang kasih persaudaraan, umat beriman perlu diberitahu akan makna yang mendalam dari ritus yang kudus ini, dan harus diajarkan bahwa adalah layak bahwa mereka harus melakukan karya cinta kasih Kristiani…..” (Sacred Congregation of Rites, Instruction on the Correct Use of the Restored Ordo of Holy Week, November 16, 1955 (Washington, DC: National Catholic Welfare Conference Publications Office, 1955), page 6. A more recent explanatory letter from the Congregation for Divine Worship (CDW) clarifies the purpose of this ritual that may take place during the Mass of the Lord’s Supper: “The washing of the feet which, according to tradition, is performed on this day, represents the service and charity of Christ, who came ‘not to be served, but to serve’ (Matt XX:28)” (CDW, 1988)).
Maka, meskipun tidak harus (optional), namun upacara pembasuhan kaki mempunyai makna yang mendalam, karena itu baik jika dilakukan. Arti prinsip dan tradisional dari perintah Kamis Putih … adalah perintah cinta kasih: para murid Kristus harus saling mengasihi. Karena alasan ini, imam yang memimpin liturgi Kamis Putih menggambarkan kejadian biblis dari Injil dengan mencuci kaki beberapa umat beriman.
2. Apakah pembasuhan kaki boleh digabungkan dengan bacaan Injil dan didramatisir?
Jika mengacu kepada ketentuan PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi), tidak boleh/ tidak pada tempatnya dilakukan hal sedemikian.
Sebab jelas tertulis di sana, bahwa bacaan-bacaan dalam Misa Kudus tidak boleh didramatisasikan melainkan dibacakan/ dimaklumkan di mimbar.
PUMR 57 Dalam bacaan-bacaan dari Alkitab, sabda Allah dihidangkan kepada umat beriman, dan khazanah harta Alkitab dibuka bagi mereka. Maka kaidah penataan bacaan Alkitab hendaknya dipatuhi, agar tampak jelas kesatuan Perjanjian Lama- Perjanjian Baru dengan sejarah keselamatan. Tidak diizinkan mengganti bacaan dan Mazmur tanggapan, yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Alkitab.
PUMR 58 Dalam Misa umat, bacaan-bacaan selalu dimaklumkan dari mimbar.
PUMR 60 Pembacaan Injil merupakan puncak Liturgi Sabda. Liturgi sendiri mengajarkan bahwa pemakluman Injil harus dilaksanakan dengan cara yang sangat hormat. Ini jelas dari aturan liturgi, sebab bacaan Injil lebih mulia daripada bacaan-bacaan lain. Penghormatan itu diungkapkan sebagai berikut:
1. diakon yang ditugaskan memaklumkan Injil mempersiapkan diri dengan berdoa atau minta berkat kepada imam selebran;
2. umat beriman, lewat aklamasi-aklamasi, mengakui dan mengimani kehadiran Kristus yang bersabda kepada umat dalam pembacaan Injil; selain itu umat berdiri selama mendengarkan Injil.
3. Kitab Injil sendiri diberi penghormatan yang sangat khusus.
Demikian tanggapan saya, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
terima kasih atas jawabannya. Jawaban ini membawa pencerahan bagi saya.
Salam damai Romo Bernardus Boli Ujan, SVD
Dalam setiap misa yang dipimpin oleh Romo X, beliau SELALU mengakhiri homili dengan bernyanyi sebuah lagu rohani dengan diiringi oleh GITAR ELEKTRIK yang dimainkan oleh beliau sendiri…dan tentu saja selalu ditutup dengan applause / tepuk tangan oleh umat…
Alasan yang beliau kemukakan (mohon maaf semua alasan tidak dapat menentramkan hati) yaitu mengisi waktu hening sesudah komuni dengan lagu yang sesuai dengan tema homili…(saya juga bingung homili kapan, komuni kapan)
Lalu mengenai tepuk tangan Romo yang bersuara merdu dan pandai bermain gitar tsb mengatakan bahwa, Paus saja di Roma diberikan applause/tepuk tangan dan tidak mengganggu perayaan Ekaristi.
Mohon penjelasaan Romo, karena setiap mengikuti misa beliau sehabis homili saya sungguh tidak dapat mengikuti Misa dengan baik karena pikiran sudah kemana2, tidak tenang dan tentu saja tidak menerima komuni.
Terima kasih, salam & doa
Salam Dave,
Sayang kalau Dave akhirnya tak tenang sesudah homili dan tidak mau terima komuni karena hati tidak tenang. Saya turut prihatin. Mungkin juga ada orang lain seperti Dave. Ke depan bisa buat dialog dalam keadaan tenang dengan Romonya tentang hal ini karena ada dasar buat Dave untuk mengatakan isi hatimu. Dave dan umat yang lain mempunyai hak merayakan Ekaristi yang dipimpin oleh imam sesuai dengan pola yang ditentukan oleh Gereja dan bila ada penyesuaian hendaknya dilakukan sejauh diijinkan oleh Gereja baik menyangkut cara, waktu/kesempatan, isi, bahan dll. Semoga kami para imam bisa mempelajari lebih teliti pedoman-pedoman yang ada mengenai hal itu. Bahkan mungkin ada imam lain yang dengan sengaja mengambil keputusan sendiri untuk jauh melewati batas-batas yang ditetapkan oleh pimpinan Gereja. Bila Dave mengalami lagi, berusahalah mengampuni dan mendoakan kami para imam yang kadang-kadang kurang memperhatikan hal-hal ini dan sadar atau tanpa sadar menjadi penyebab ketidaktenangan hati banyak peraya. Semoga dengan pengampunan dan doa yang tulus, hati Dave menjadi tenang dan dapat menerima komuni, dan kami para imam yang melewati bata-batas itu berbalik ke jalan yang dikehendaki oleh pimpinan Gereja (berarti yang dikehendaki oleh Allah sebagaimana kita yakini selama ini).
Salam damai nan tenang buat Dave.
Doa dan Gbu.
Rm Boli.
Yth. Romo Bernadus dan Katolisitas,
Saya pengurus bgn Koor dan Musik, mau tanyakan bbrp hal yg mgkn juga dari bbrp Mudika lainnya di USA ketika mengadakan Misa KKI :
1. Bagaimana menyikapi cukup banyaknya teman2 Mudika yg agak ‘alergi’ dgn lagu2 PS/MB, sehingga ketika diberi tugas koor, mereka sepertinya malas (menolak halus) dan kalaupun mau mereka tetap memasukkan lagu pop rohani utk Pembukaan, Persembahan, Komuni dan Penutup ? (Ordinarium tetap mengikuti dari PS)
Alasannya mereka sdh memilih lagu2 tsb sesuai tema bacaan nya…dan mereka lebih meresapi/menghayatinya (tanggapan ini juga sebagian dari umat yg hadir, ada yg terharu/menangis karena tersentuh)
2. Dan saya juga menemui banyaknya teman2 yg dulunya Katolik dan aktifis, tapi sekarang malahan pindah serta aktif di Gereja Non Katolik. Dan mereka bilang ‘BERTUMBUH’dalam hal Iman dan Perbuatan, yg mana ini tdk mereka dapatkan dulunya akibat terlalu ‘Kaku’ dan banyaknya usulan/kreatifitas yg ‘Ditolak’ oleh pihak pengurus gereja sehingga mereka merasa ‘kering’….
(tadi teman Katolik saya sharing bhw Majalah “TIME” mengupas cukup banyak warga Hispanic (Katolik yg taat) di Amerika yg sdh tidak Katolik lagi…???
Kedua hal tsb saya temui juga ketika saya msh di Indonesia….
Terus terang saya bingung dan sedih melihat kedua hal tsb…
Mohon pencerahan dari Romo utk masalah ini….
TYM,
chris
Salam Chris,
Mengenai hal ini, merupakan kesempatan bagi Anda mewartakan kebenaran iman Katolik dalam website ini kepada teman-teman itu agar egoisme rohani semacam itu tidak meruyak. Karena bagi kita, menjadi Katolik bukan “apa yang kuinginkan” melainkan “apa kehendak Kristus melalui Gereja-Nya” yang tiada lain selain Gereja Katolik. Misalnya dalam artikel “Mengapa berpindah dari Gereja Katolik ke gereja lain”, https://katolisitas.org/4652/mengapa-berpindah-dari-gereja-katolik-ke-gereja-lain disebut alasan kuat mengapa kita harus setia kepada Gereja Kristus yaitu Gereja Katolik. Kita memang harus tinggal dalam Kristus yaitu dalam Gereja, tubuh-Nya, Gereja Katolik.
Liturgi sendiri bukan kaku seperti kata orang yang tidak belajar liturgi namun ada keluwesannya pula. Jika mempelajari liturgi secara mendalam, Anda akan tahu bahwa liturgi kita membuat kita masuk dalam misteri penyelamatan Allah. Lagu-lagu liturgi yang berbahasa Inggris dan sudah resmi menjadi lagu liturgi sangat bagus, misalnya lagu di link ini: http://www.youtube.com/watch?v=sa6kplL3wjk dan lain-lain.
Keuskupan Agung Jakarta telah menerbitkan buku baru yang menampung lagu-lagu baru untuk liturgi yang sesuai zaman bernama “Kidung Syukur” sebagaimana yang dimuat di sini http://groups.yahoo.com/group/mudika_arnoldus/message/330 . Anda bisa memesannya dan dikirimkan ke USA.
Misa khusus OMK hendaknya diatur secara khusus. Di luar misa, buatlah kelompok belajar iman Katolik dan kelompok pemuridan. Pertemuan dalam kelompok hendaknya menyenangkan sesuai gairah muda. Bicaralah dengan satu dua teman yang peduli dan bicara pada pastor pendamping. Semoga usaha Anda berhasil dalam berkat-Nya.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Saya mengikuti ibadat Jumat Agung 2013 di Gereja Theresia, Menteng, Jakarta Pusat. Ada yang menganjal hati saya ketika mengikuti prosesi ibadat. Setahu saya ibadat dibagi menjadi 3 bagian : 1) Perayaan Sabda dan Kisah Sengsara, 2) Penghormatan Salib 3) Penerimaan Komuni (saya kutip dari buku Pekan Suci dari Gereja tersebut)…. dan ada tertulis : “Siapapun tidak boleh mengubahnya atas inisiatifnya sendiri”
Kenyataan yang saya temui saat mengikuti prosesi ibadat pukul 15.00 wib, 2 bagian prosesi ibadat di satukan…yaitu Penghormatan Salib dan pembagian Komuni…jadi umat di minta untuk menghormati salib dulu lalu langsung di beri Komuni.
Pertanyaan saya…….apakah ini pelanggaran ?
Terimakasih atas perhatian Admin……
Salam JA Lebert,
Rincian keterangan mengenai penggabungan/penyatuan dua bagian itu belum cukup jelas. Kapan persiapan komuni: mengambil Sakramen Mahakudus dan menempatkannya di altar lalu Bapa Kami, dan sesudah itu salib yang terselubung dibuka diiringi seruan Lihat Kayu Salib dan penyembahan, kemudian masing-masing umat memberikan penghormatan/penyembahan langsung menerima komuni? Kalau ini yang terjadi maka inti dari tiap bagian menjadi rancu. Mesti ada waktu khusus untuk bagian penghormatan salib yang intinya adalah salib yang dilihat, disembah/dihormati dan direnungkan maknanya, barulah menyusul Komuni yang intinya adalah persatuan dengan Kristus melalui santapan Tubuh-Nya. Semoga bermanfaat.
Doa dan Gbu.
Rm Boli.
Salam Rm Boli…
Baik saya ceritakan lebih detail apa yang saya alami…setelah Kisah Sengsara selesai..setahu saya dilanjutkan dengan penghormatan Salib. Prosesi yang saya lihat di sana sbb: pertama 3 romo yang memimpin ibadat berjalan ke pintu utama gereja untuk mengambil salib utama yang dalam kondisi terselubung. Dari bagian samping gereja muncul arakan putra-putri altar, prodiakon…dan pasangan suami istri dalam cukup banyak, lalu “bergabung” dengan 3 romo di pintu utama gereja. Lalu perlahan bergerak ke arah altar bersama-sama membawa salib utama yang selubungnya mulai dilepas perlahan. Setelah sampai ke depan altar dan menggantungkan salib itu tepat di depan altar, lalu dimulailah prosesi penyembahan/penghormatan salib…oleh pasangan suami istri tersebut. Di samping itu di sisi lain…para prodiakon menyiapkan komuni yang akan di bagikan. Setelah itu…pasangan suami istri itu masing2 mengambil salib kecil yang sudah disiapkan dan bergerak bersama2 dengan prodiakon dan satu putra/putri altar ke titik2 yang sudah disiapkan panitia. Lalu umat diberi kesempatan untuk pertama : menyembah salib yang dipegang oleh pasangan suami-istri (suami pegang salib, sedang istri memegang lap putih)..segera setelah itu…langsung menerima komuni yang dibagikan oleh prodiakon. Begitulah yang saya alami…….pengalaman pertama seumur hidup saya
Salam J A Lebert,
Ini juga sebuah penggabungan yang akhirnya menghilangkan persiapan altar dalam keheningan, doa Bapa Kami, ajakan pemimpin/imam dan doa ketika tubuh Kristus diangkat sebelum komuni: Ya Tuhan saya tidak pantas… tetapi langsung terima tubuh Kristus sebagai “tempelan” pada ritus penyembahan salib. Hendaknya diingat bahwa Komuni adalah bagian tersendiri, bukan tempelan, yang disiapkan dengan melewati tahap-tahap di atas.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Berkah Dalem Romo, saya mau tanya ttg musik liturgi :
1. apakah diperkenankan mengiringi lagu dalam misa menggunakan alat musik keybord dengan ditambahi iringan musiknya (Style)?
2. Apakah boleh memasukkan lagu rohani dalam / waktu persembahan?
3. Apakah sewaktu Imam mendaraskan doa boleh diiringi ?
Shalom F. Widiasto,
Prinsip utama yang harus dipegang adalah musik liturgi harus menunjang makna liturgi sebagai karya pujian syukur dan penyembahan yang dilakukan oleh Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus dalam kesatuan dengan Kristus Kepala-nya, kepada Allah Bapa, oleh kuasa Roh Kudus. Maka atas dasar pengertian ini, harus selalu dibedakan antara musik liturgis dan musik non-liturgis. Pembedaan ini nyata dalam liriknya, maupun dari alat musik yang digunakan, maupun cara memainkannya. Karena hakekat liturgi itu adalah “karya bersama” antara Kristus dan Gereja, maka lirik lagu liturgis umumnya diambil dari Sabda Allah dalam Kitab Suci, atau dari ungkapan/ pernyataan iman Gereja. Jadi memang maksud lagu liturgis pertama-tama adalah untuk membangun iman, dan bukan semata menyentuh perasaan/ emosi. Jika sudah diketahui bahwa maksudnya adalah untuk membangun iman, maka mudah-mudahan, pemusik liturgis dapat memainkan musik liturgis dengan iringan yang cocok dengan tujuan itu.
Kami pernah menanyakan ke komisi liturgi KWI tentang ketentuan alat musik liturgi di Indonesia, namun memang nampaknya sementara ini belum ada aturan bakunya yang resmi. Yang sudah ada memang ketentuan dari Vatikan, bahwa ada beberapa alat musik yang dilarang, secara khusus disebutkan band dan alat musik lain yang menghasilkan musik yang terlalu keras/ dapat berkesan hingar bingar, sehingga jauh dari maksud liturgi yang ditujukan untuk pujian, syukur dan penyembahan kepada Allah, dalam kesatuan dengan Kristus dalam misteri Paska-Nya: sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga, yang kita rayakan dalam liturgi. Tentang hal ini, silakan membaca di sini, silakan klik.
Dengan prinsip ini saya menanggapi pertanyaan Anda:
1. Apakah boleh mengiringi dengan keyboard dengan syle?
Sementara KWI belum mengeluarkan aturan baku yang resmi, maka dapat saja keyboard digunakan, sepanjang dimainkan sesuai dengan maksud liturgi, tidak terlalu keras, dan dengan pilihan type suara yang cocok. Memang sepertinya lebih baik jika tidak digunakan style, karena dengan demikian, lirik lagu dapat lebih jelas terdengar. Namun sekalipun style digunakan, agar dapat menjaga tempo lagu (agar dapat dinyanyikan tanpa “berkejar-kejaran dengan umat“), maka silakan dipilih style sedemikian, agar tidak memilih beat yang keras dan berkesan mirip dengan iringan musik sekular, bahkan seperti musik di bar. Sejujurnya diperlukan kepekaan dan kebijaksanaan dari seorang pemain musik liturgis untuk memainkan iringan yang sejalan dengan maksud diadakannya liturgi, namun juga yang indah didengar dan mengundang umat untuk turut bernyanyi memuji Tuhan.
2. Apakah boleh mamasukkan lagu rohani dalam waktu persembahan?
Apakah maksudnya di sini adalah lagu pop rohani? Sesungguhnya dengan prinsip pemahaman bahwa lagu liturgis berbeda hakekatnya dengan lagu pop rohani, maka selayaknya memang lagu pop rohani tidak dinyanyikan dalam liturgi, entah sebagai lagu pembukaan, persembahan, Komuni ataupun penutup. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
3. Apakah musik instrumen boleh dimainkan sewaktu Imam mendaraskan doa?
Menurut ketentuan dari Pedoman Umum Misale Romawi, dan Redemptionis Sacramentum, hal ini tidak diperbolehkan:
PUMR 32 Seturut hakekatnya, doa-doa “presidensial” harus dibawakan dengan suara lantang dan ucapan yang jelas, supaya mudah ditangkap oleh jemaat. Sebaliknya jemaat wajib mendengarkannya dengan penuh perhatian. Oleh karena itu, sementara imam membawakan doa tak boleh dibawakan doa lain atau nyanyian. Juga tidak boleh dimainkan organ atau alat musik lain.
RS 83 Sementara Imam mengucapkan Doa Syukur Agung, “tidak boleh dibawakan doa lain atau nyanyian, juga tidak boleh dimainkan organ atau alat musik lain.” (PUMR 32)….
Semoga keterangan ini berguna dan menjawab pertanyaan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth Katolisitas
Apakah diperbolehkan mengubah doa-doa pada Ibadat Jumat Agung menjadi doa dialogis baik saat Pembuka, Doa Umat, maupun Penutup.
Apakah pada Ibadat Jumat Agung ada yang namanya Ritus Pembuka dan Ritus Penutup? Setahu saya Ibadat Jumat Agung itu tidak ada Ritus Pembuka dan Ritus Penutup tetapi di buku Panduan Misa Gereja St… [nama paroki dihapus] tahun 2013 ini ada yang namanya Ritus Pembuka dan Ritus Penutup.
Kemudian, ada ajakan agar umat bergandengan tangan saat doa Bapa Kami pada Ibadat Jumat Agung dan Misa Malam Paskah (ditulis dicetak di buku).
Apakah diperbolehkan mencampuradukkan susunan Liturgi Malam Paskah, antara Upacara Cahaya, Liturgi Sabda, Liturgi Baptis dijadikan satu di bagian awal. Berikut susunan liturgi Malam Paskah di Gereja St… [nama paroki dihapus] Tanda Salib dan Salam, dilanjutkan Pengantar kemudian Bacaan I, Pemberkatan Api Paskah, Pemberkatan Lilin Paskah, Penyalaan Lilin Paskah, Pujian Paskah, Bacaan II, kemudian Bacaan III Liturgi Baptis, Pemberkatan Air Baptis, Litani Para Kudus (tidak lengkap), Pembaruan Janji Baptis, Pemercikan Air Baptis, Kemuliaan, Bacaan Epistola, Bait Pengantar Injil, Bacaan Injil, Homili, Doa Umat, dst sampai akhir?
Apabila yang saya sebutkan di atas menyimpang dan, secara terbuka saya mohon kepada Komisi Liturgi Kevikepan Surakarta, Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang (mohon disampaikan ke yang berwenang) segera bertindak tegas, ini terjadi di Gereja Katolik St… [nama paroki dihapus]. Pelanggaran yang terjadi seperti ini sudah bukan lagi ranah umat untuk mengingatkan, namun ranah Kevikepan atau Keuskupan. Mohon kepada yang berwenang untuk tidak melakukan pembiaran terhadap pelanggaran liturgi!
Salam Fransiska,
Saya tuliskan jawaban saya di bawah masing-masing pertanyaan Anda. Jawaban dalam format ‘bold’:
Yth Katolisitas
Apakah diperbolehkan mengubah doa-doa pada Ibadat Jumat Agung menjadi doa dialogis baik saat Pembuka, Doa Umat, maupun Penutup.
Doa-doa pembuka dan penutup itu adalah doa-doa yang diucapkan oleh pemimpin, dan umat mengambil bagian di dalam doa itu dengan berdoa dalam hati, mendengarkan dengan penuh perhatian doa yang diucapkan dengan suara lantang oleh pemimpin dan menjadikannya doa batin serta mengamininya dengan lantang. Sedangkan dalam Doa Umat Meriah, umat mengambil bagian dengan mendengarkan doanya, berlutut dan berdoa dalam hati dan berdiri lagi serta dengan mengamini doa yang dipanjatkan pemimpin dengan suara lantang.
Apakah pada Ibadat Jumat Agung ada yang namanya Ritus Pembuka dan Ritus Penutup? Setahu saya Ibadat Jumat Agung itu tidak ada Ritus Pembuka dan Ritus Penutup tetapi di buku Panduan Misa Gereja St… [nama paroki dihapus] tahun 2013 ini ada yang namanya Ritus Pembuka dan Ritus Penutup.
Anda benar, itu suatu yang istimewa dalam Ibadat Jumat Agung, dibuka dengan keheningan dan ditutup dengan keheningan juga.
Kemudian, ada ajakan agar umat bergandengan tangan saat doa Bapa Kami pada Ibadat Jumat Agung dan Misa Malam Paskah (ditulis dicetak di buku).
Ini juga tak ada acuan dalam rubrik dan pedoman umum buku Misa. Tidak ada catatan bahwa umat bergandengan tangan dalam Ekaristi waktu mendoakan / menyanyikan Bapa Kami. Hanya ada rubrik untuk sikap tangan imam pemimpin dan konselebran: merentangkan tangan.
Apakah diperbolehkan mencampuradukkan susunan Liturgi Malam Paskah, antara Upacara Cahaya, Liturgi Sabda, Liturgi Baptis dijadikan satu di bagian awal. Berikut susunan liturgi Malam Paskah di Gereja St… [nama paroki dihapus]. Tanda Salib dan Salam, dilanjutkan Pengantar kemudian Bacaan I, Pemberkatan Api Paskah, Pemberkatan Lilin Paskah, Penyalaan Lilin Paskah, Pujian Paskah, Bacaan II, kemudian Bacaan III Liturgi Baptis, Pemberkatan Air Baptis, Litani Para Kudus (tidak lengkap), Pembaruan Janji Baptis, Pemercikan Air Baptis, Kemuliaan, Bacaan Epistola, Bait Pengantar Injil, Bacaan Injil, Homili, Doa Umat, dst sampai akhir?
Dalam tata perayaan Malam Paskah tidak ditulis kemungkinan itu. Jadi tidak diperbolehkan mencampuradukkan unsur-unsur perayaan Malam Paskah. Susunan perayaan Malam Paskah sangat khas dengan alur dinamika yang jelas: simbol cahaya yang menghalau kegelapan – Kristus yang bangkit adalah penghalau kegelapan dosa dan kematian (Ritus Cahaya). Lalu ada peralihan dari simbol ke Sabda karena dilanjutkan dengan penjelasan makna simbol terang kebangkitan dengan mendengarkan Sabda Tuhan (dalam Liturgi Sabda yang paling lama dalam seluruh Tahun Liturgi, sebagai tanda konkrit dari vigili =berjaga malam) tentang karya-Nya yang agung untuk menghalau kegelapan sejak awal penciptaan sampai puncaknya pada penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Sesudahnya dibuat ritus pembaptisan (Pembaruan Janji Baptis) untuk menghayati makna Paskah dalam diri umat beriman yang dibaptis lalu dilanjutkan dengan Liturgi Ekaristi. Sebaiknya kita mengikuti susunan dinamika ini karena hanya satu-satunya yang unik dalam seluruh Tahun Liturgi.
Apabila yang saya sebutkan di atas menyimpang dan, secara terbuka saya mohon kepada Komisi Liturgi Kevikepan Surakarta, Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang (mohon disampaikan ke yang berwenang) segera bertindak tegas, ini terjadi di Gereja Katolik St … [nama paroki dihapus]. Pelanggaran yang terjadi seperti ini sudah bukan lagi ranah umat untuk mengingatkan, namun ranah Kevikepan atau Keuskupan. Mohon kepada yang berwenang untuk tidak melakukan pembiaran terhadap pelanggaran liturgi!
Anda benar. Semoga yang berwenang memperhatikan himbauan ini.
Tks dan doa. Gbu.
P.Bernardus Boli Ujan, SVD.
[tambahan dari Katolisitas: apa yang Anda sampaikan ini sudah pula kami sampaikan kepada tim liturgi KAS, semoga menjadi bahan perhatian dan pembinaan]
Terima kasih atas perhatian dan tanggapan katolisitas.org dan Pastor Bernardus Boli Ujan, SVD. Semoga pihak-pihak yang berwenang memberikan pembinaan kepada paroki tersebut diberikan kekuatan oleh Tuhan.
Tuhan memberkati
Fransisca Julianti
Kebetulan saya dapat tugas sbg. prodiakon.
Bagaimana jika dalam perayaan Ekaristi pastor memberi komuni dua rupa, tangan pastor yg satu pegang sibori, satunya lagi pegang piala, kemudian kami (para prodiakon) masih di atas altar diminta mengambil hosti dari sibori dan mencelupkannya ke anggur dalam piala.
Pelanggarankah atau bagaimana? Mohon tanggapan.
Terima kasih.
Salam Kris,
Sebaiknya sesudah perayaan sampaikan kepada imam agar ke depan hendaknya dia membagi Tubuh Kristus kepada asisten imam dan mengedarkan piala Darah Kristus untuk diminum.
Tks, doa dan Gbu.
Rm Boli, SVD.
Shalom Kris,
Pengalaman saya di Perth, biasanya romo akan membagikan hosti ke yang paling ujung lalu dia kembali ke Altar sebentar mengambil piala lalu memberikan ke yang paling ujung tadi. Kemudian dia melanjutkan membagikan hosti sambil yang ujung tadi mengikuti di belakang membagikan anggur ke para petugas.
Salam,
Edwin ST
Dear Rm Boli ytk,
Pada waktu TPE di perkenalkan di sana di sebutkan bahwa doa damai ( sesudah Bapa Kami) bukan salam damai adalah doa yang harus di ucapkan oleh imam saja dan umat hanya mengucapkan kata “amin” nya. Sebelum ada buku TPE ini memang doa ini selalu di doakan bersama-sama seluruh umat. Tetapi yang terjadi sekarang dalam setiap perayaan ekaristi yang saya ikutin mengapa semua umat masih tetap mendoakan hal ini, lalu mengapa dari pihak gereja/imam tidak ada pemberitahuan/sosialisasi kembali kepada umat agar tata cara ibadat yang benar (sesuai TPE) ini dapat di jalankan ?
Terima kasih banyak atas jawabannya.
Salam damai,
Henky
Salam Henky,
Iya perlu diingatkan terus menerus kepada imam dan umat bahwa doa damai itu adalah doa yang diucapkan hanya oleh imam dan pada akhir doa, umat mengucapkan kata amin. Temukan cara yang terbaik untuk meyakinkan mereka. Perlu kesabaran.
Tks. Doa dan Gbu.
Rm B.Boli Ujan, SVD
Dear rm Boli ytk,
Terima kasih untuk konfirmasinya, saya pikir ada perubahan lagi makanya romo tidak mengingatkan umat lagi tentang hal ini, ternyata tidak.
Salam dalam damai Kristus,
Henky
Shalom Rm Boli,
Saya mau tanya soal waktu liturgi kita.
1. Ada paroki yang melaksanakan misa hari Minggunya pada hari Sabtu sore. Mereka bilang bahwa Sabtu Sore itu sudah terhitung hari Minggu. Bagaimana itu bisa terjadi? Dan apa batasan “sore”nya? Apakah jam 16.00, 17.00 atau 18.00?
2. Apakah kalau memang benar bahwa hari Sabtu Sore itu sama dengan hari Minggu, maka imam yang misa harian hari Selasa malam (jam 19.00) memakai rumusan hari Rabu?
Terima kasih, salam
brian
Salam Brian,
1. Waktu liturgis untuk Hari Minggu dan Hari Raya sudah dimulai pada sore-malam hari sebelumnya dan berlangsung hingga sore-malam hari bersangkutan. Maka dalam hubungan dengan Ibadat Harian, terdapat dua Ibadat Sore untuk hari-hari itu: Ibadat Sore Pertama (sore sebelumnya) dan Ibadat Sore Kedua (sore hari bersangkutan). Biasanya sore itu sebelum matahari terbenam (sebelum hari menjadi gelap) jadi sekitar jam 17.00 kalau matahari terbenam jam 17.30 atau 18.00. Ini tentu berbeda dengan wilayah berhawa sedang atau berhawa kutub yang bisa mengalami musim dingin dengan malam yang lebih lama dan siang yang lebih singkat (matahari terbenam jam 16.00 dan baru terbit jam 08.30) dan musim panas dengan siang yang lebih lama dan malam yang lebih singkat (matahari baru terbenam jam 20.00 dan sudah terbit lagi jam 04.30). Jadi misa Sabtu sore menjelang hari Minggu secara liturgis termasuk kegiatan liturgis hari Minggu.
2. Kalau hari Rabu itu, dari segi tingkatan perayaan (Hari Raya, Hari Minggu, Hari Pesta, Hari Peringatan Wajib, Hari Peringatan Fakultatif, Hari Biasa) adalah Hari Raya (misalnya Hari Raya Natal atau Hari Raya Penampakan Tuhan atau Hari Raya Petrus dan Paulus) maka misa hari Selasa sore-malam sebelumnya sudah terhitung kegiatan liturgis Hari Raya bersangkutan yang jatuh pada hari Rabu. Kalau hari Rabu itu bukan Hari Raya, maka misa hari Selasa sore-malam sebelumnya tidak terhitung kegiatan liturgis hari Rabu, tetapi tetap terhitung hari Selasa. Untuk memastikan hal ini (tingkatan perayaan hari bersangkutan) hendaknya kita lihat petunjuk pada Penanggalan Liturgi.
Salam dan doa. Gbu.
Rm B.Boli Ujan, SVD.
Tambahan penjelasan untuk pertanyaan Anda :
Ada Hari Minggu yang punya dua teks Ibadat Sore (I dan II), dua saat berbeda dan teksnya juga ada perbedaan (walaupun kadang-kadang teksnya sama), keduanya termasuk kegiatan liturgis Hari Minggu, tetapi keduanya dilaksanakan, Ibadat Sore I didoakan sore sebelum Hari Minggu, dan Ibadat Sore II didoakan pada sore Hari Minggu bersangkutan. Ada Hari Minggu yang punya hanya satu teks doa dan bacaan misa. Maka kalau sudah misa pada sore hari sebelum Minggu, tidak diwajibkan untuk misa pada hari Minggu pagi/siang/sore. Tetapi ada Hari Minggu dan Hari Raya yang teks doa dan bacaan misanya ada dua atau tiga rumus berbeda seperti pada Hari Raya Natal dan Hari Raya Paskah. Amat baik kalau bisa ikut misa sore/malam sebelumnya (misa vigili) dan misa siang pada Hari Raya itu. Harap menjadi lebih jelas.
Doa dan Gbu.
Rm B.Boli, SVD.
Berkah Dalem Gusti,
Yang ingin saya tanyakan adalah :
1. Apakah pemberkatan anak masuk dalam lingkup Liturgi ?
2. Apakah pemberkatan anak dilakukan sebelum Berkat ataukah sesudah
Berkat ?
3. Dalam Nyanyian (koor), khususnya Bapa Kami, apakah harus sesuai yang
tercetak dalam buku Puji Syukur ?
4. Apakah Nyanyian pada saat Persembahan dan Komuni bisa menggunakan Teks
(di luar Puji Syukur).
Terima kasih.
Salam Haryo,
1. Dalam Tata Perayaan Ekaristi tidak terdapat rubrik tentang hal ini. Ini sebuah jalan keluar pastoral yang diambil oleh petugas – pemimpin pelayan komuni untuk memberi perhatian kepada anak-anak yang rindu sekali menerima Tubuh Kristus tetapi belum menerima Komuni Pertama
2. Biasanya dibuat sesudah komuni umat, sebelum ada pengumuman
3. Buku Puji Syukur itu edisi yang dikeluarkan oleh Komisi Liturgi KWI bagian Kesenian dan Musik Liturgi. Jadi dipandang sebagai edisi acuan di Indonesia. Kalau mau membuat aransemen koor baru menurut saya boleh-boleh saja, asal memenuhi syarat kesenian musik liturgi dan tidak mengubah teks nyanyiannya.
4. Nyanyian di luar buku Puji Syukur bisa digunakan asal memenuhi syarat-syarat lagu liturgi, termasuk sudah mendapat imprimatur dan nihil obstat. (Silakan membaca lebih terinci dalam artikel “Musik Liturgi”).
Terima kasih. doa dan Gbu.
Rm B.Boli Ujan, SVD.
Dear Yth. Romo Boli,
Apakah ada contohnya, bagaimana pada abad II atau abad VI para jemaat sangat menghormati liturgi dalam perayaan Ekaristi. Jika ada bagaimana cara mereka mempersiapkan diri untuk mengikutinya?
Terima kasih. Tuhan memberkati…………
[Dari Katolisitas: Tentang perayaan Ekaristi di Jemaat perdana/ Gereja abad-abad awal, silakan klik di sini. Mohon maaf kami belum mempunyai artikel tentang bagaimana jemaat di zaman abad awal mempersiapkan diri untuk menyambut Ekaristi. Namun karena perayaan Ekaristi di zaman abad awal maupun di zaman ini sama hakekatnya, maka persiapannya-pun tidaklah terlalu jauh berbeda. Tentang bagaimana mempersiapkan diri menyambut Ekaristi, silakan klik di sini.]
Shalom,
Untuk Rm Boli saya ingin bertanya, sejarah Doa Syukur Agung di Gereja Katolik di Indonesia kok bisa sampai ke sepuluh? Dan jg apa DSA tsb sudah mendapatkan ijin dari Tahta Suci Vatikan? Terima kasih atas tanggapannya.
Salam dan doa,
Andreas
Salam Natal dan Tahun Baru, saudara Andreas,
Dalam teks asli Misale Romawi (2002), terdapat 4 Doa Syukur Agung pada bagian Tata Perayaan Ekaristi (yang kita terjemahkan menjadi DSA I, II, III, IV), dan pada lampiran Tata Perayaan Ekaristi ada DSA Tobat I dan II (dalam terjemahan kita urutkan menjadi DSA V dan VI) serta DSA untuk Berbagai Kepentingan (sebenarnya ada empat dengan perbedaan pada prefasi dan doa sesudah seruan Anamnese, maka dalam terjemahan disatukan menjadi DSA VII dengan 4 pilihan prefasi dan 4 pilihan doa sesudah Anamnese), lalu pada lampiran Buku Misale, pada bagian akhir dari buku, ada tiga DSA untuk Anak-anak dan Orang Muda (yang kita terjemahkan menjadi DSA VIII, IX dan X). Tempat (tak lagi dipisah-pisahkan tempatnya, tetapi disatukan) dan penomoran dalam terjemahan itu (bersambung DSA I sampai X) sudah mendapat aprobasi dari para uskup dalam Sidang KWI November 2003, dan sudah ditunjukkan serta dijelaskan alasannya (untuk mempermudah pemimpin dalam memilih DSA yang sesuai) kepada Kongregasi Ibadat pada bulan Mei 2004, dan diberi rekonyisi (persetujuan) oleh Kongregasi Ibadat dengan nomor Prot. N.935/04/L tertanggal 7 Oktober 2004, serta dimaklumkan dengan Promulgasi dari Presidium KWI tanggal 29 Mei 2005. Harap menjadi jelas.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Katolisitas Yth,
Ada dua pertanyaan saya berkaitan dengan liturgi.
1. Selama ini, setiap merayakan malam natal, kami selalu ada acara perarakan patung kanak-kanak Yesus untuk diletakkan di gua/kandang natal. Acara itu diikuti dengan doa penyerahan kepada Yesus. Beberapa minggu lalu seksi liturgi kami yang baru bilang bahwa menurut liturgi, tidak ada acara perarakan itu. Apakah selama ini kami melakukan pelanggaran?
2. Di paroki kami misdinar cewek tidak boleh melakukan tugas pendupaan. Tugas pendupaan itu hanya khusus anak cowok. Apakah menurut aturan liturgi anak cewek tidak boleh melakukan tugas pendupaan?
Sekian dan terima kasih!
Salam Natal dan Tahun Baru, Brian
1. Acara itu memang tak tertulis dalam buku-buku liturgi, tetapi sebagai bagian dari ritus pembuka, bisa merupakan satu kemungkinan, mengacu pada ritus pembuka perayaan Minggu Palma. Jadi tidak perlu dipandang sebagai suatu pelanggaran bila dilaksanakan perarakan patung kanak-kanak Yesus. (Bisa dicari petunjuk dalam buku pedoman Kesalehan Umat dan Liturgi, saya kira ada keterangan tentang hal ini, hanya sekarang saya tak sempat memeriksanya).
2. Kalau ada misdinar putri, boleh saja mereka melayani pendupaan. Saya belum tahu alasan yang digunakan untuk tidak membolehkan mereka melaksanakan tugas pendupaan.
Saling doakan. Gbu.
Rm B.Boli Ujan, SVD.
Apakah dalam perarakan patung kanak-kanak Yesus itu umat boleh menyalakan lilin? Pengalaman saya selama ini, saat perarakan itu lampu gereja dipadamkan dan umat menyalakan lilin sambil menyanyikan lagi “Malam Kudus”. Terus terang saya benar-benar merasa tersentuh dengan suasana tersebut, apalagi koor yang membawakan lagunya sangat bagus. Tapi di paroki saya yang terakhir ini, tidak ada nyala lilin dan lampu padam. Perarakan seperti biasa saja dengan iringan lagu “Malam Kudus”. Saya merasa seperti hari minggu saja….
Saya mau tanya, apakah suatu pelanggaran bila kita memakai nyala lilin saat perarakan patung kanak-kanak Yesus?
Sekian dan terima kasih!
Salam Brian,
Menurut pendapat pribadi, perarakan kanak-kanak Yesus dengan terang lilin bukanlah suatu pelanggaran. Kalau umat merasa tersentuh dan mengerti makna terang lilin itu sebagai tanda turut bersukacita karena kehadiran Yesus sebagai terang dalam kegelapan dunia, boleh dipakai.
Doa dan Gbu.
Rm Boli SVD.
terima kasih atas jawabannya romo!
Terimakasih Bu Ingrid untuk penjelasannya.
Salam & GBU
mBak Inggrit dan mas Stef, akan senang sekali bila anda bersedia menjelaskan apa makna gerakan umat dalam ekaresti misalnya berdiri waktu imam mengucapkan marilah berdoa, berlutut waktu konsekrasi, membuat tanda salip di kening, bibir (dagu) dan dada, menunduk atau menyembah saat konsekrasi. Pada waktu sebelun konsili Vatican II, saat misa imam membelakangi umat dan komini diterimakan oleh imam ke mulut penerima, nyanyian dan doa diucapkan dalam bahasa Latin, apa yang menjadi alasan perubahan seperti TPE sekarang?
Trimakasih atas kesediaannya Tuhan memberkati.
[Dari Katolisitas: Kami akan menampung usulan Anda ini, namun sekarang ini nampaknya kami belum dapat mewujudkannya, karena penjabaran setiap gerakan dan ucapan dalam Misa Kudus itu jika dituliskan akan panjang dan layak dijadikan buku. Sejauh ini yang sudah pernah kami tulis adalah: Cara mempersiapkan diri menyambut Ekaristi, silakan klik. Silakan dibaca terlebih dahulu di sana. Lalu sekilas tentang Misa Tridentine dan Novus Ordo, silakan klik di sini. Misa bahasa Latin sesungguhnya tetap merupakan misa yang dipertahankan oleh Vatikan, namun jika sekarang di seluruh dunia digunakan bahasa vernakular/ setempat, itu dimaksudkan agar umat Katolik yang tidak memahami bahasa Latin dapat memahami dan selanjutnya dapat lebih menghayati makna liturgi dan apa yang dirayakan di dalam liturgi.]
Salam damai dalam Kristus,
Saya ingin menanyakan, apakah pada setiap liturgi sabda selalu dibacakan bacaan dari kitab Perjanjian Lama, diikuti oleh Mazmur Tanggapan dan pembacaan dari kitab Perjanjian Baru ? Terima kasih
Shalom FX. Tjua,
Tidak selalu demikian. Misalnya pada bacaan Misa Kudus hari ini, bacaan pertama diambil dari surat Rasul Paulus kepada jemaat di Efesus, lalu Mazmur dan kemudian Injil. Maka bacaan pertama dapat diambil dari Kitab-kitab Perjanjian Lama ataupun surat-surat para Rasul (di Perjanjian Baru), namun selalu diikuti oleh Mazmur, dan kemudian bacaan Injil (dari salah satu dari keempat Injil di Perjanjian Baru).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom,
Saya senang sekali membaca artikel ini dari awal sampai akhir dan saya memuji tim katolisitas yang berani bersikap lembut namun tegas mengenai Liturgi. Saya bilang berani sebab pasti kecaman, sinisme, dan respon negatif pasti banyak, tidak cuma dari kaum awam tapi kaum biarawan, biarawati dan kaum tertahbis sendiri.
Mungkin di lain kesempatan bisa dibuatkan artikel selanjutnya yang berhubungan dengan “salah kaprah” umat tentang Liturgi.
Misalnya pandangan bahwa semenjak Konsili Vatikan II segala ibadat liturgi semakin disemangati oleh bahasa vernakular saja. Padahal ada anjuran seperti mempertahankan penggunaan bahasa latin untuk Kyrie, Sanctus, Agnus Dei.
Salam
Maaf kalau pertanyaan saya menyimpang dari artikel. Saya ingin bertanya soal cara berpakaian imam.
Setau saya imam kalau di luar liturgi dianjurkan memakai collar bahkan Paus Benediktus pernah menyinggung hal tsb. Tapi knp di Ind para imamnya jarang sekali memakai collar? Padahal itu merupakan identitas seorg imam apalagi di negara yg mayoritas muslim. Seperti halnya muslimah yg berjilbab/muslim memakai peci, begitu jg collar merupakan pakaian keharusan untuk seorang imam yg membedakan dr awam. Pernah saya liat di tv seorang romo yg diundang di acara talkshow hanya memakai kemeja tanpa collar atau romo yg berkumpul dlm lintas agama hanya berpakaian biasa, bahkan romo di paroki sy yg diundang dlm kegiatan luar liturgi/grj bnr2 membaur dg awam tnpa collarnya. Kenapa imam di Ind beda dg di luar? Yang bahkan foto profil mrk di akun facebook mrk tdk prnh melepas collar. Hanya bersama keluarga mrk melepas collar. Padahal collar bkn hnya identitas untuk seorg imam tp jg kebanggaan utk awam Katolik. Kenapa? Ya semisal ada lintas agama saya bisa dg bangga menunjukan pembimbing rohani sy, itu lho romo saya yg pake collar yg pasti langsung bisa dikenali
Mohon maaf klo sdh ditanyakan sblmnya
Terima kasih
Maria yth
Anda benar bahwa setiap imam sesuai norma kanonik menggunakan pakaian yang pantas sesuai identitasnya. Terutama saat acara resmi saya sangat setuju dengan pandangan anda. Saya sebagai ketua Unio Indonesia para rama diosesan menganjurkan hal itu memakai pakaian imam colar yang sekarang di mana-mana dapat dibeli di toko. Bahkan saya ingatkan kepada umat kalau memberi hadiah berikanlah baju imam (baju colar romano). Keuskupan Surabaya mewajibkan imamnya memakai baju colar. Nanti saat Munas Unio Indonesia Amboina 2014 kami akan bagikan baju setiap imam memakai imam/colar (sekarang harus mencari dana untuk 200 imam). Namun situasi Indonesia sangat berbeda, identitas perlu tapi dalam kebersamaan kita harus juga melebur dengan sesama, misalnya memakai pakaian batik maka imam ada yang senang dengan pakaian batik. Tapi harus diberi salib kecil di kerah, tanda sebagai imam. Itupun bisa diakui sebagai tanda pakaian yang pantas seorang imam. Jadi identitas imam tidak boleh dilupakan terutama dengan cara berpakaian dan membawa diri dalam perilaku sehari-hari.
salam
Rm Wanta
salam damai Kristus….
buat tiem katolisitas
di daerah saya sering terjadi kasus kematian tidak wajar ( bunuh diri) dan dari pihak Gereja Paroki memperbolehkan mayat tersebut saat mau dikuburkan hanya diibadatkan tanpa menggunakan perlengkapan Gereja spt air berkat, salib dan ukup.
saya ingin bertanya tentang tanggapan Gereja mengenai kasus Kematian Tidak Wajar dan aturan ini benar – benar sudah sah?? saya mohon bantuannya tentang artikel tentang kematian tidak wajar dan dokumen gereja tentang kehidupan
terimakasih
Shalom Lidya Muda,
Pertanyaannya adalah apakah orang yang meninggal karena bunuh diri boleh mendapatkan pemakaman gerejawi. Dalam Kitab Hukum Kononik dituliskan sebagai berikut:
Jadi, selama orang yang meninggal bukanlah murtad, menganut bidaah dan skisma, memilih kremasi dengan alasan yang bertentangan dengan iman kristiani, serta pendosa-pendosa nyata, maka berhak mendapatkan pemakaman gerejawi. Kalau masih ada keraguan, maka silakan berkonsultasi kepada ordinaris wilayah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
shalom katolisitas
pernah saya menemui (mengikuti) dalam perayaan Ekaristi syukur di lingkungan/umat. Hosti yg telah dikonsekrasi habis sedangkan umat masih banyak yang belum menerima, kemudian pastor mengambil hosti yg belum dikonsekrasi dengan anggur yg sudah dikonsekrasi, umat diminta mengambil hosti tersebut dan mencelupkannya ke dalam anggur tsb. Bagaimana tanggapan mengenai hal ini?
salam kasih dlm Kristus Tuhan
Arie
Shalom Arie,
Memang di beberapa tempat terjadi bahwa karena kehabisan hosti yang telah dikonsakrir sementara banyak umat yang masih menungguh untuk Komuni, maka seorang imam mencelupkan hosti yang belum dikonsakrir ke dalam anggur yang telah dikonsakrir. Walaupun hal ini didasari dengan niat baik agar semua umat dapat menerima Komuni, namun sesungguhnya, hal ini dapat membingungkan umat. Umat yang sebelumnya telah menerima hosti yang telah dikonsakrir dapat saja bertanya-tanya apakah hosti yang telah mereka terima telah dikonsakrir atau belum. Dan bagi yang menerima hosti yang belum dikonsakrir dengan dicelupkan ke dalam anggur yang telah dikonsakrir akan bingung apakah hal ini sah atau tidak.
Redemptionis Sacramentum (SC 104) menuliskan: “Umat yang menyambut, tidak diberi izin untuk mencelupkan sendiri hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia menerima hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya. Hosti yang dipergunakan untuk pencelupan itu harus dibuat dari bahan sah dan harus sudah dikonsakrir; karena itu dilarang memakai roti yang belum dikonsakrir atau yang terbuat dari bahan lain.” Dari dokumen ini, maka sesungguhnya sangat jelas, bahwa praktek seperti ini adalah tidak diperbolehkan. Kalau sampai terjadi bahwa Hosti tidak cukup, maka seorang imam harus memecah Hosti yang sudah dikonsakrir, sehingga cukup untuk seluruh umat. Cara lain adalah dengan memberikan Anggur yang telah dikonsakrir kepada umat. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam dalam kasih Kristus
Sy mau bertanya mgkn d luar topik ini,jd klo smisal mnyimpang bisa d sesuai kan oleh tim katolisitas
Bbrp hr lalu ktika ada ptmuan umat lingk.sy bercakap dng katekis sy,beliau bercerita bbrp mggu lalu saat berada d temanggung dn mnjaga warnet milik putri nya,ada seorang yg nge-print artikel hasil rekoleksi sebuah Persekutuan Doa Karismatik,ketika beliau akan mencetak nya dr flasdisk,tnpa sengaja beliau melihat artikel tsb,kmudian beliau sempat membaca nya yg d simpulkan bahwa dr rekoleksi kelompok tsb ada bbrp kputusan yg isi nya scr garis besar m’kritisi atau lebih pasti nya m’kritik kinerja para romo,antara lain(yg sempat d baca dn d ingat oleh katekis sy)antara lain:
1.Prodiakon tidak boleh membagi komuni,krn itu adl tugas imam dan diakon tertahbis
2.Misa lingk.tidak sesuai dng ajaran gereja,mnrt ajaran gereja rumah Tuhan ada d tabernakel sedang d misa lingk,tidak ada tabernakel nya
3.Umat tidak d perkenankan membaptis pd saat darurat,hanya romo ato imam tertahbis saja yg boleh
Dan msh ada bbrp bagian yg mnrut beliau sungguh bertentangan dng ajaran gereja….
Apakah pendapat tsb benar atau tidak,mohon penerangan nya,supaya tidak tjd salah paham
Trima kasi
Berkah Dalem
Shalom Michael,
Terima kasih atas pertanyaannya. Berikut ini adalah komentar yang dapat saya berikan.
1. Tentang membagi komuni: Salah satu tugas dari Prodiakon atau lebih tepatnya adalah pelayan tak lazim adalah membagikan komuni di saat pelayan tertahbis (imam) tidak mungkin menjalankan tugasnya sendirian. Jadi, kalau memang tidak banyak umat dalam perayaan Ekaristi, maka memang pelayan tak lazim tidak diperlukan, karena tugas membagikan komuni dapat dilakukan oleh imam. Namun, dalam kondisi Misa dengan umat yang begitu banyak dan jika hanya dilayani imam, maka komuni dapat memakan waktu yang begitu lama serta dapat mengganggu jalannya Perayaan Ekaristi, maka memang diperlukan pelayan tak lazim.
2. Tentang misa lingkungan: Jika uskup setempat mengizinkan (lih. Sacred Congregation for Divine Worship, Instruction Actio pastoralis, on Masses with special groups, 15 May 1969: AAS 61 (1969), pp. 806-811;) dan juga dalam kondisi khusus (lih. Redemptionis Sacramentum, 108), maka misa lingkungan juga dapat dilakukan. Yang tertenting adalah jangan sampai terjadi pelanggaran liturgi karena Misa dilakukan di luar Gereja. Jadi, imam harus tetap memakai pakaian yang disyaratkan dan juga tidak boleh sampai terjadi kecemburuan sosial karena pilih kasih.
3. Tentang umat membaptis: Sebenarnya, dalam kondisi darurat (hidup dan mati), justru umat awam harus dapat membaptis, sehingga tidak ada seorangpun yang kehilangan rahmat baptisan yang menyelamatkan. Sebagai contoh, kalau seorang kakek mau meninggal dan dia mau dibaptis, namun pastor tidak dapat hadir secara cepat, maka anaknya atau umat yang lain dapat membaptisnya. Baptisan yang dilakukan ini adalah sah, sehingga kalau kakek tersebut hidup, maka tidak perlu dibaptis lagi. Katekismus Gereja Katolik (KGK 1256) menuliskan sebagai berikut:
Semoga jawaban singkat tersebut dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
selamat malam, mengenai pelanggaran liturgi saya memiliki pertanyaan yang mengganjal dari dulu, yaitu
1. apabila terjadi pelanggaran liturgi dalam pembagian komuni, misalnya hosti ambil sendiri dan celup sendiri ke dalam anggur, apakah umat sebaiknya tetap menurut dan mengambil komuni dengan cara yang salah tersebut walaupun tau bahwa itu salah, atau menolaknya dengan resiko tidak menerima komuni hari itu.
2. Dari pilihan yang kedua, yaitu tidak menerima komuni karena caranya salah, apakah umat yang tidak menerima komuni tersebut(padahal dia berada dalam status yang diperbolehkan untuk menerima komuni) berdosa? apakah umat wajib menerima komuni setiap minggu? ataukah kewajibannya cukup mengikuti misa setiap minggu?
terima kasih
Shalom Evelyn,
Kondisi yang Anda sampaikan tersebut memang tidak ideal, namun jika harus memilih, maka yang lebih baik adalah tetap menerima Komuni (jika memang tidak terhalang untuk menerimanya), meskipun caranya salah.
Adakalanya, dapat terjadi karena ketidaktahuan imam yang memimpin perayaan Misa, Komuni diberikan dua rupa, namun umat dipersilakan mengambil dan mencelup sendiri. Hal ini sesungguhnya dilarang secara eksplisit dalam Redemptionis Sacramentum, 104. Namun jika imam atau umat tidak tahu tentang hal ini, tentu bobot kesalahannya tidak berat. Jika umatnya sekarang sudah mengetahuinya, ada baiknya membicarakan hal ini secara baik-baik dengan imamnya, atau dengan seksi liturgi di paroki, agar hal ini dapat menjadi perhatian, dan tidak terulang kembali.
Pada umat yang tidak terhalang menerima Komuni (ia dalam kondisi rahmat dan tidak sedang dalam dosa berat), maka menguduskan hari Tuhan artinya adalah mengikuti perayaan Ekaristi secara penuh, termasuk menerima Komuni kudus. Dalam lima perintah Gereja, memang disebut persyaratan minimal seorang Katolik, yaitu minimal menerima Komuni sekali setahun dalam perayaan Paskah. Namun tentu, bagi tidak terhalang menerima Komuni kudus, ia harus mengikuti perayaan Ekaristi dan menerima Komuni kudus setiap hari Minggu atau hari raya yang diwajibkan. Bahkan ia dapat menerima Komuni setiap hari pada perayaan Ekaristi harian.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
terima kasih atas jawabannya :D
Bagaimana dengan misa yang dilakukan di tempat-tempat lain dan tidak seperti di dalam Gereja, misalnya pada suatu latihan dasar kepemimpinan, pada hari terakhir misa dilakukan di ruangan yang relatif sempit (dibanding jumlah peserta)? Tidak ada diakon atau prodiakon yang membantu imam dalam membagikan hosti sehingga imam memegang kedua piala dan umat sendiri mencelupkan hosti ke dalam anggur.
[Dari Katolisitas: Dalam keadaan khusus seperti tersebut di atas, sesungguhnya tetap tidak diperbolehkan umat mencelupkan sendiri hosti ke dalam anggur yang sudah dikonsekrasikan. Maka yang dapat dilakukan adalah salah satu umat yang dipandang baik menurut teladan iman, dapat dipilih oleh imam itu untuk berdiri di samping imam dengan memegang piala anggur tersebut. Lalu imamlah yang mencelupkan hosti itu ke dalam piala anggur tersebut dan membagikannya kepada umat, dengan berhati-hati agar anggur tidak tercecer. Lalu, umat menerima Komuni dalam dua rupa itu dengan mulut.
Silakan membaca Ketentuan umum untuk menyambut Komuni, silakan klik; dan Cara menyambut Komuni dua rupa, silakan klik]
Shalom,
bolehkah orang yang sudah menikah menjadi misdinar? apakah boleh tapi tidak lazim? atau yang boleh hanya yang belum menikah saja?
lalu sampai sejauh mana pelayan gereja terbatas hanya pada para pria? selain imam, jabatan apalagi yang dikhususkan bagi pria?
terima kasih
Shalom Agung,
1. Tentang persyaratan Misdinar
Berdasarkan Kitab Hukum Kanonik 1983 dan jawaban yang diberikan oleh Tahta Suci tertanggal 11 Juli 1992 (AAS 86 (1994) 541-542, Communicationes 26 (1994) 159-160, Origins 23 (1994) 777-779), umat awam -baik laki-laki maupun perempuan- dapat menunaikan tugas liturgis, sesuai dengan ketentuan yang berlaku:
Kan. 230 § 2 Dengan penugasan sementara orang-orang awam dapat menunaikan tugas lektor dalam kegiatan-kegiatan liturgis; demikian pula semua orang beriman dapat menunaikan tugas komentator, penyanyi atau tugas-tugas lain menurut norma hukum.
Tugas melayani altar ini adalah termasuk tugas pembaca (lektor), pemazmur, pengantar, misdinar, petugas pembagi Komuni tak lazim, sakristan, petugas kolekte, petugas penata umat. Dari ketentuan di atas, memang tidak secara eksplisit disebutkan, apakah misdinar itu harus anak-anak/ remaja yang belum menikah.
Menurut Rm. Wanta: Tidak ada ketentuan eksplisit, bahwa misdinar itu harus laki-laki yang belum menikah, tapi pada umumnya laki laki dan pihak Vatikan menghendaki laki laki. Tentu yg menjadi misdinar adalah mereka yang sudah Katolik mengetahui liturgi. Petugas Akolit (khusus untuk pelayanan pembacaan Sabda Tuhan) dulu adalah tahbisan rendah, sedangkan sekarang hanya pelantikan saja. Para frater sebelum top dilantik menjadi lektor akolit. Semua pelayan liturgi misa berhubungan dengan kepemimpinan adalah laki-laki.
Selanjutnya, ketentuan tentang petugas Akolit dan Lektor dan pelayan lainnya, dapat dibaca di dokumen Pedoman Umum Misale Romawi/ PUMR (General Instruction of the Roman Missal/ GIRM), silakan klik di link ini.
2. Pelayan Gereja terbatas hanya pria? Selain imam, jabatan apa yang dikhususkan bagi pria?
Jika pelayan yang dimaksud adalah pelayan tertahbis, maka jawabannya adalah Ya, dengan mengacu kepada Kristus dan para rasul yang kesemuanya adalah laki-laki. Namun pelayanan lainnya yang tidak tertahbis dan bermacam karya apostolat tidak terbatas pada kaum pria. Sedangkan pelayan liturgis, sebagaimana disebut di atas, juga tidak terbatas pada kaum pria. Untuk melakukan tugas pelayanan tersebut, terdapat ketentuan maupun persiapan khusus yang harus dipenuhi oleh petugas tersebut.
Jabatan tertahbis lainnya yang dikhususkan bagi pria adalah diakon tertahbis. Ketentuannya yang dikeluarkan tentang diakon tertahbis (diakon permanen), dapat dibaca di link ini, silakan klik. Namun hal diperlukan atau tidaknya tugas ini dalam setiap keuskupan adalah tergantung dari keputusan Uskup yang bersangkutan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Romo Wanta dan Ingrid Listiati- katolisitas.org
Tujuan liturgi sangat jelas: Mengarahkan manusia untuk ‘menyembah Dia dalam roh dan kebenaran’. Jadi sebenarnya larangan-larangan (aksi-reaksi dari pelanggaran liturgi) adalah arah agar manusia tidak memperhatikan diri-Nya sendiri tetapi dalam misa sungguh-sungguh Allah-lah yang menjadi pusat perhatian. Sayangnya, bahkan lagu-lagu gregorian tidak menjamin bahwa pendengar (umat) mengarahkan diri pada Allah, namun juga terjebak pada side efek beberapa lagu-lagu rohani yakni pusat perhatian pada manusia.
Aturan liturgi itu bagus dan baik….tetapi jangan sampai menjadi boomerang bagi kita sehingga terjebak pada sikap liturgi yang benar tetapi ‘hati’ tidak benar
syalom…
Saya mau tanya, sebelumnya dikatakan:
Tra le Sollecitudini 19 Penggunaan alat musik piano tidak diperkenankan di gereja, sebagaimana juga alat musik yang ribut atau berkesan tidak serius (frivolous), seperti drum, cymbals, bells dan sejenisnya.
Tra le Sollecitudini 20 Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan organ.
Pertanyaan saya bagaimana dengan misa dengan gaya karismatik? Terkadang saya mendapati misa karismatik penuh dengan nyanyian meriah, tepuk tangan, penari tamborin dan flag, mazmur tanggapan yang diubah dengan lagu karismatik yang bersifat teduh, lagu kemuliaan yang diganti dengan lagu karismatik yang bersifar utk masuk dalam penyembahan yang diakhiri dengan penyembahan dalam bahasa roh dan beberapa nubuat bila ada. Apakah misa karismatik berarti sejatinya merupakan misa yang penuh dengan pelanggaran sekalipun di sisi lain misa karismatik telah banyak mengubah orang katolik sungguh2 orang kristen (bukan beragama kristen dlm konotasi protestan) yang boleh lebih lagi mencintai Tuhan dan merasakan kasih lawatan Tuhan? Seandainya misa karismatik adalah suatu misa yang melanggar aturan yang baku, bukankah ini bisa diartikan bahwa dalam misa Gereja membatasi kuasa dan karya Roh Kudus yang sebenarnya bisa lebih tercurah dan dirasakan umat?
Itu saja yang mau saya tanyakan. Trima kasih. Tuhan memberkati.
Shalom Mario Tokan,
Sejujurnya mungkin harus diakui, bahwa ketentuan penggunaan alat musik dalam liturgi (sebagaimana tercantum dalam Tra le Sollecitudini) maupun ketentuan tentang apa yang perlu dilaksanakan ataupun dihindari dalam Ekaristi kudus (sebagaimana tertulis dalam Redemptionis Sacaramentum) relatif belum secara meluas diketahui oleh umat Katolik, dan bahkan mungkin juga oleh para imam, sehingga kerap terjadi ketidaksesuaian di lapangan. Instruksi Redemptionis Sacramentum baru dikeluarkan Maret 2004, dan diterjemahkan oleh KWI Desember 2004, jadi terhitung relatif baru, jika dibandingkan dengan pelaksanaan perayaan Ekaristi dengan gaya karismatik, yang sudah dilaksanakan bertahun-tahun sebelumnya. Maka jika sampai ada pelanggaran, kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan, dan bukan karena kesengajaan.
Namun ceritanya berbeda sekarang, jika baik imam maupun umat sudah mengetahui ketentuan tentang perayaan Ekaristi yang dikeluarkan oleh pihak Vatikan. Ketentuan ini dikeluarkan agar perayaan Ekaristi dapat semakin dihayati maknanya, dan agar umat beriman dapat mengalami kehadiran Kristus sebagaimana yang dialami oleh kedua murid dalam perjalanan ke Emaus (lih. RS 6). Tentu, sudah selayaknya ketentuan ini ditaati sebagai bukti ketaatan kita kepada Kristus dan Gereja yang diberi kuasa oleh Kristus untuk mengajar umat-Nya.
Kita ketahui bahwa yang mengajarkan adanya dua jenis liturgi dalam perayaan Ekaristi, yaitu Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi, adalah Kristus sendiri, pada saat Ia menampakkan diri dalam perjalanan bersama dua orang murid ke Emaus. Yesus pertama-tama menyingkapkan makna Kitab Suci, dan kemudian memecah roti (lih. Luk 24:13-35). Gereja tidak mempunyai kuasa untuk mengubah hal-hal yang sudah ditetapkan oleh Kristus sendiri (lih. RS 10), yang kemudian dilestarikan secara turun temurun sejak zaman Gereja awal. Berikut ini adalah ketentuan tentang Liturgi Sabda yang tertulis dalam Pedoman Umum Misale Romawi/ PUMR (General Instruction of the Roman Missal/ GIRM), silakan membaca dokumen selengkapnya di link ini, silakan klik:
“B Liturgi Sabda
55. Bagian utama Liturgi Sabda terdiri dari bacaan-bacaan Kitab Suci bersama-sama dengan pendarasan Mazmur di antara bacaan-bacaan tersebut. Homili, Syahadat dan Doa Umat mengembangkan dan menyimpulkan bagian Misa ini….
Bacaan-bacaan Kitab Suci
57. Dalam bacaan-bacaan ini, mimbar Sabda dipersiapkan bagi umat beriman, dan kekayaan Kitab Suci dibukakan kepada mereka. Oleh karena itu, dianjurkan untuk mempertahankan penyusunan bacaan-bacaan Kitab Suci, yang melaluinya dicurahkan terang kesatuan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan sejarah keselamatan. Lagipula, tidak diperbolehkan untuk menggantikan dengan teks-teks non Biblis terhadap bacaan-bacaan Kitab Suci dan Mazmur Tanggapan, yang mengandung Sabda Allah.”
61. Setelah bacaan pertama, Mazmur Tanggapan didaraskan, yang menjadi satu kesatuan dengan keseluruhan Liturgi Sabda dan memegang posisi penting secara liturgis dan pastoral, sebab pendarasan Mazmur mendukung permenungan Sabda Tuhan.
Katekismus mengajarkan bahwa kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi itu nyata dalam 4 hal: 1) dalam diri imam (in persona Christi); 2) di dalam Sabda-Nya dalam liturgi Sabda; 3) di dalam rupa roti dan anggur yang sudah dikonsekrasikan; 4) di dalam jemaat, atas dasar firman-Nya bahwa di mana ada dua atau tiga orang berkumpul Yesus hadir ditengah mereka (lih. Mat 18:19) (lih. KGK 1088). Mengingat bahwa bacaan-bacaan Kitab Suci dan Mazmur Tanggapan adalah Sabda Tuhan yang saling berkaitan, di mana Tuhan Yesus sendiri hadir di dalamnya, maka sesungguhnya, bukan bagian umat untuk mengubah ataupun memisahkan keterkaitan ini dengan lagu pilihan sendiri yang tidak ada kaitannya dengan bacaan Kitab Suci yang sudah ditentukan pada perayaan Ekaristi tersebut.
Maka prinsip ini selayaknya dipegang teguh oleh semua anggota Gereja, termasuk mereka yang tergabung dalam gerakan karismatik.
Jika hal ini dipahami, maka sesungguhnya, tidak pada tempatnya untuk mengganti Mazmur dengan nyanyian lain walaupun merupakan lagu rohani. Dalam pendarasan Mazmur, umat menanggapi bacaan Sabda Tuhan, juga dengan doa yang diambil dari Sabda Tuhan, yang umumnya berhubungan juga dengan tema bacaan Kitab Suci yang dibacakan. Mazmur Tanggapan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bacaan-bacaan Kitab Suci lainnya dalam Liturgi Sabda, dan karena itu tidak selayaknya diganti menurut selera umat ataupun komunitas yang menyelenggarakan Misa Kudus. Sebagaimana imam ataupun umat tak sepantasnya mengganti teks dalam Liturgi Ekaristi, demikian juga tak sepantasnya umat tidak mengganti teks dalam Liturgi Sabda, yang dalam hal ini meniadakan Sabda Allah yang harusnya dibacakan/ dinyanyikan sebagai Mazmur Tanggapan; karena di dalam pembacaan teks tersebut, hadirlah Tuhan Yesus sendiri.
Ini juga jelas disebutkan dalam Redemptionis Sacramentum:
“62. Tidak juga diperkenankan meniadakan ataupun menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagi “mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci” (RS 62)
Penggantian Mazmur dengan lagu-lagu lain ini dilarang, demikian juga, tidak pada tempatnya menyanyikannya lagu-lagu pop rohani ataupu lagu-lagu sekular/ profan dalam perayaan Ekaristi. Karena kalau hal-hal ini dilakukan, tanpa disadari hal ini dapat berakibat pada umat, semacam sikap yang menghubungkan perayaan iman dengan ‘apa yang saya sukai’, daripada mengindahkan ‘apa yang tepat dan benar’, menurut kehendak Tuhan. Jika ini yang terjadi, maka sebenarnya terjadi penyimpangan dari hakekat liturgi, yang harusnya merupakan karya bersama antara Kristus sebagai kepala Gereja dan kita sebagai anggota-anggota-Nya; sehingga kita harus mengutamakan kehendak Kristus terlebih dahulu -sebagaimana yang telah dilestarikan selama berabad-abad dalam Gereja- dan tidak mengutamakan selera ataupun perasaan kita sendiri. Selain itu dengan dinyanyikannya lagu-lagu non liturgis dalam perayaan liturgis, lama kelamaan dapat menghasilkan kecenderungan sikap mensejajarkan persekutuan doa dengan perayaan Ekaristi (sebab lagu-lagu yang dinyanyikan juga sama/ mirip), dan sikap ini tentu tidak benar, sebab biar bagaimanapun perayaan Ekaristi merupakan bentuk ibadah Gereja yang tertinggi, yang tak dapat digantikan dengan bentuk doa apapun. Sikap yang mungkin lebih keliru lagi adalah jika menyangka bahwa liturgi dapat diubah untuk ‘disekularkan’, agar bisa lebih menarik, semacam pertunjukan. Ini adalah sikap yang sangat menyimpang dari hakekat liturgi, yang merupakan karya Kristus sendiri dan Gereja dalam menghadirkan kembali Misteri Paska Kristus: yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Misteri ini adalah peristiwa iman, dan sama sekali bukan tontonan ataupun pertunjukan/ performance. Selanjutnya tentang Apakah boleh lagu pop dinyanyikan di Misa, silakan klik di sini; Apakah Band sebagai alat musik di Misa diperbolehkan?, silakan klik
Maka izinkan saya mengutip langsung apa yang ditulis dalam Redemptoris Sacramentum sehubungan dengan penyimpangan yang terjadi dalam liturgi:
“7. Tak jarang penyelewengan-penyelewengan itu bersumber pada salah pengertian mengenai makna kebebasan. Dalam Kristus, Allah tidak menjamin bagi kita suatu kebebasan semu yang memberi kita peluang untuk berbuat apa saja yang kita kehendaki, melainkan suatu kebebasan yang dengannya kita boleh berbuat apa yang tepat dan benar. Ini berlaku bukan hanya untuk perintah-perintah yang berasal langsung dari Allah, melainkan juga untuk hukum dan undang-undang yang dimaklumkan oleh Gereja, tentu dengan memperhatikan secara wajar ciri-ciri khas setiap peraturan. Karena itu, semua harus menuruti ketetapan-ketetapan yang berasal dari pimpinan Gereja yang sah.
9. Akhirnya, penyelewengan-penyelewengan itu sering berlandaskan ketidakpahaman, dan dapat menyingkirkan unsur-unsur yang maknanya tidak dipahami secara lebih mendalam dan yang nilai sejarahnya tidak diperhatikan….
11. Misteri Ekaristi ini “terlalu agung bagi siapa pun juga untuk merasa bebas memperlakukannya sesuai dengan pandangannya sendiri sehingga kekudusannya dan ketetapannya yang universal menjadi kabur.” Sebaliknya, siapa saja yang bertindak demikian dan melampiaskan saja kecenderungannya sendiri -juga bila dia seorang Imam- melukai kesatuan hakiki Ritus Romawi, yang seharusnya dijaga dengan ketat. Diapun harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang sama sekali tidak menanggapi kelaparan serta kehausan akan Allah yang hidup yang dialami orang, dewasa ini. Perbuatan-perbuatan yang demikian tidak juga membawa manfaat untuk reksa pastoral yang otentik atau pembaharuan liturgi yang benar; sebaliknya, karena ulah-ulah itu, umat beriman dirampasi dari harta kekayaan dan warisannya. Demikianlah perbuatan-perbuatan yang sewenang-wenang itu bukannya jalan menuju ke pembaharuan sejati, melainkan melanggar hak umat beriman akan sebuah perayaan liturgis yang adalah pengungkapan hidup Gereja sepadan dengan tradisi serta tata tertibnya. Pada akhirnya sikap ini menyebabkan masuknya unsur-unsur yang merusak dan menghancurkan ke dalam perayaan Ekaristi itu sendiri, yang justru seharusnya- karena mulianya dan berdasarkan maknanya sendiri- menandai serta menghadirkan secara mengagumkan persekutuan hidup ilahi dan persatuan umat Allah. Alhasil ialah kebingungan di bidang ajaran Gereja, kekacauan dan scandalum di pihak umat Allah, dan -sebagai akibat hampir pasti- perlawanan yang kuat; dan semuanya itu akan membuat banyak orang beriman merasa bingung dan sedih, khususnya di masa kita ini ketika hidup Kristiani sudah begitu dipersulit akibat menjalarnya “sekularisasi”.
12. Sebaliknya, menjadi hak sekalian orang beriman bahwa liturgi, khususnya perayaan Misa Kudus, dilangsungkan sungguh sesuai dengan hasrat Gereja, sesuai dengan ketetapan-ketetapannya seperti digariskan dalam buku-buku liturgi dan dalam hukum-hukum serta peraturan lainnya. Demikian pula, umat Katolik berhak untuk Kurban Misa Kudus yang dirayakan bagi mereka secara utuh, sesuai dengan ajaran Gereja. Dan akhirnya, adalah hak komunitas Katolik bahwa Ekaristi yang Mahakudus itu dilaksanakan baginya sedemikian rupa sehingga sungguh mencolok sebagai sakramen kesatuan, serta menjauhkan segala cela dan ulah yang dapat menimbulkan perpecahan dalam Gereja.” (RS, 7, 9,11,12)
Maka sudah seharusnya komunitas karismatik, menyelenggarakan perayaan Ekaristi kudus dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan Gereja, sebagai ungkapan ketaatan yang penuh kepada Kristus, dan demi menjaga keagungan dan kesakralan perayaan Ekaristi yang memang sungguh sangat luhur maknanya.
Saya tidak menampik kenyataan, bahwa dalam Misa bergaya karismatik itu, walaupun terdapat pelanggaran/ ketidaksesuaian dengan ketentuan, Allah tetap dapat mencurahkan berkat-Nya. Mari kita memandangnya sebagai belas kasih dan kemurahan hati Allah, yang melihat kesungguhan hati umat-Nya, dan melihat juga bahwa pelanggaran itu dilakukan karena ketidaktahuan dan bukan karena kesengajaan. Namun mari, setelah kita mengetahuinya, kita-lah yang menyesuaikan diri, sebab perayaan Ekaristi yang sama, di sepanjang sejarah Gereja juga sudah mendatangkan rahmat dan berkat yang luar biasa, terutama bagi mereka yang sungguh mempersiapkan diri sebelumnya dan mempunyai disposisi batin yang baik.
Gereja Katolik tidak melarang gerakan karismatik, ataupun persekutuan doa karismatik Katolik. Komunitas karismatik Katolik tetap dapat melakukan persekutuan doa dengan lagu-lagu karismatik, dan karena itu tidak benar jika dikatakan Gereja membatasi kuasa dan karya Roh Kudus dalam gerakan Karismatik. Hanya jika itu berkenaan dengan perayaan Ekaristi, Gereja sudah mempunyai ketentuannya sendiri, dan sudah selayaknya dihormati dan dilakukan oleh semua umat Katolik, termasuk yang tergabung dalam gerakan Karismatik. Sebab perayaan Ekaristi adalah puncak perayaan iman yang mempersatukan seluruh Gereja sehingga tidak pada tempatnya untuk diubah/ diimprovisasikan sesuai selera kelompok.
Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa Allah tetap dapat melawat umat-Nya meskipun di luar perayaan Ekaristi kudus. Beberapa kali saya juga menghadiri persekutuan doa karismatik Katolik dengan doa Adorasi dan doa penyembuhan yang dilakukan tanpa Misa Kudus, dan Tuhan juga tetap melawat umat-Nya, dan banyak juga orang-orang sakit yang memperoleh kesembuhan. Jadi jika diinginkan mengadakan ibadah dengan lagu-lagu dan gaya karismatik, tentu saja tetap dapat dilakukan, di luar perayaan Ekaristi. Namun kalau mau merayakan Ekaristi, mari dengan kepatuhan sepenuhnya kepada Kristus, kita melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang sudah ada.
Demikian tanggapan saya, yang juga sudah disetujui oleh Rm. Boli SVD, pembimbing bidang Liturgi di situs ini. Semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih Katolisitas,
Ada hal yang ingin saya tanyakan mengenai kriteria keluarga umat yang diperbolehkan terlibat dalam pelayanan saat awal persiapan persembahan (Preparation of the Table/Presentation of the Gifts), dimana roti dan anggur diantar atau diserahkan oleh satu keluarga umat kepada imam.
Sudah dua kali kami diminta secara spontan oleh Acolytes yang bertugas saat itu untuk berpartisipasi dalam pelayanan tersebut, yang tentunya dengan senang hati dan suka cita kami menerimanya. Namun demikian agar tidak terjadi kekeliruan atau kesalahpahaman, maka tanpa diminta kami pun memberitahukan sebelumnya bahwa hanya saya dan putera saya adalah Kristen Katolik, sedangkan suami saya Kristen non Katolik. Mohon pencerahannya agar hati kami semakin mantap lagi dalam memenuhi tugas tersebut di lain waktu bilamana diminta kembali, sehingga kami tidak perlu kembali mengulang untuk menjelaskan kondisi kami tersebut. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih. Tuhan memberkati kita semua.
Peace and Best Wishes
Anastasia Rafaela
Salam bu Anastasia,
puji Tuhan bahwa Ibu bersama putra yang Kristen Katolik bersedia menghantar bahan-bahan persembahan. Kalau ada kesempatan lagi, jangan ragu-ragu menerimanya. Memiliki suami dan anak-anak lain dengan iman non-Katolik bukan halangan untuk ibu dan putramu yang Katolik untuk melakukan tugas liturgis itu.
Selamat melayani. Doa dan Gbu.
Rm Boli Ujan SVD.
Salam kasih Romo Boli,
Terima kasih sekali atas tanggapannya yang sungguh melegakan hati, Tentunya akan saya sampaikan juga khabar gembira ini kepada suami. Sungguh Tuhan benar-benar baik hati sekali,
Hingga kami pun dapat turut serta melayani dalam tugas liturgi.
Peace and Best Wishes
Anastasia Rafaela
Salam Katolisitas,
Terima kasih sudah banyak sekali memberikan banyak artikel – artikel yang luar biasa membangun.
Saya ada pertanyaan mengenai aturan membungkuk, sejauh yang saya tau umat tidak perlu membungkuk ketika Imam menghormati altar (dan ketika mencium altar). Umat membungkuk hanya ketika Credo bagian “Ia dikandung oleh Roh Kudus, dilahirkan oleh perawan Maria – dan menjadi manusia”. Saya mohon minta penjelasan mengenai sumbernya yang mengatakan umat juga harus membungkuk.
Mengenai tidak boleh menerima komuni ketika sedang dalam keadaan dosa berat, artinya boleh tidak kita mengikuti misa tapi tidak menerima komuni? Maksud saya adalah perintah gereja untuk mengikuti misa pada hari minggu apakah harus dengan menyambut komuni (atau dalam keadaan dosa, kita hanya mengikuti misa tanpa menerima komuni dan itu sudah dihitung mengikuti misa)?
terima kasih.
Salam Kevin,
Jawaban saya tulis dalam huruf miring di bawah pertanyaan Anda.
Salam Katolisitas,
Terima kasih sudah banyak sekali memberikan banyak artikel – artikel yang luar biasa membangun. Saya ada pertanyaan mengenai aturan membungkuk, sejauh yang saya tau umat tidak perlu membungkuk ketika Imam menghormati altar (dan ketika mencium altar). Umat membungkuk hanya ketika Credo bagian “Ia dikandung oleh Roh Kudus, dilahirkan oleh perawan Maria – dan menjadi manusia”. Saya mohon minta penjelasan mengenai sumbernya yang mengatakan umat juga harus membungkuk.
Dalam buku Tata Perayaan Ekaristi bahasa Indonesia ada rubrik tentang hal itu, karena sudah dibicarakan dengan Kongregasi Ibadat yang memberi rekonyisi (persetujuan-pengakuan) untuk itu
Mengenai tidak boleh menerima komuni ketika sedang dalam keadaan dosa berat, artinya boleh tidak kita mengikuti misa tapi tidak menerima komuni?
Sangat boleh, dan sebaiknya demikian. Jangan pikir bahwa karena berada dalam keadaan dosa berat jadi tidak usah datang ke gereja untuk merayakan Ekaristi
Maksud saya adalah perintah gereja untuk mengikuti misa pada hari minggu apakah harus dengan menyambut komuni (atau dalam keadaan dosa, kita hanya mengikuti misa tanpa menerima komuni dan itu sudah dihitung mengikuti misa)?
Kalau berada dalam keadaan dosa berat boleh ikut Misa tanpa komuni. Ini dihitung mengikuti Misa, tetapi mengambil bagian tidak penuh dalam Misa
terima kasih.
Tks dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Hi Kevin,
Ada baiknya saat Komuni ikut antri untuk menerima berkat dari Romo dengan tangan dilipat di dada daripada hanya duduk di bangku. Saya percaya berkat tersebut akan meningkatkan kerinduan kita untuk meninggalkan dosa kita dan menyambut Komuni dengan layak.
Salam,
Edwin
Maraknya kasus pelanggaran liturgi dengan masuknya lagu lagu pop ataupun lagu lagu rohani non liturgi ke dalam liturgi adalah karena ada beberapa Romo (Paroki)/Pemimpin/Pembimbing merasa hal itu tidak apa apa, membiarkan dan bahkan ada yang mendukung pelanggaran liturgi tetap terjadi, selama anak anak muda mau dan rajin ke Gereja, atau terlibat dalam kegiatan gereja. Ini sikap yang salah, sepertinya kok ada kesan mereka try to be “up to date”, mencari yang berbeda dengan paroki yang lain, tapi salah jalan, atau takut kehilangan umat sehingga membiarkan hal hal seperti ini terjadi. Kalau takut kehilangan umat kabur ke gereja lain, gunakanlah pendekatan dengan cara yang benar, tidak melanggar aturan-aturan yang baku. Pelanggaran liturgi membuat umat yang mengerti liturgi resah, tidak nyaman mengikuti misa penuh pelanggaran. Komisi Liturgi KWI/maupun keuskupan menyusun Tata Perayaan Ekaristi itu perlu digunakan sebaik-baiknya, jangan malah dilanggar. Ini sama dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, berbagai peraturan yang ada justru sengaja dilanggar, seperti lampu lalu lintas menyala merah, justru kendaraan berjalan.
Terima kasih untuk artikel yg sangat bermanfaat ini
Shallom Tim Katolisitas,
Mohon petunjuknya,
Saat ini saya (Kristen non-Katolik) bersilang pendapat dengan calon mertua (Katolik aktif, prodiakon di gerejanya) mengenai tata acara perkawinan saya dan calon istri yang akan dilaksanakan di gereja Katolik.
Point-2 perdebatan kami:
Camer menginginkan adanya penyalaan Unity Candle dalam ibadah dengan alasan sebagai simbol persatuan. Saya menolak, karena bagi saya itu tidak perlu lagi, sebab pengucapan janji perkawinan dan pengenaan cincin kawin sudah memberikan simbolisme yang cukup.
Camer menginginkan ada sungkeman mohon doa restu dalam ibadah. Saya menolak, karena bagi saya tidak tepat dan “mengganggu” alur komunikasi selama ibadah, yaitu dari umat dengan Tuhan (komunal) menjadi dari kami dengan ortu (personal).
Bukan berarti saya tidak menghormati orang tua, tetapi menurut saya tidak pada tempatnya sungkeman dilakukan dalam ibadah di gereja. Bagi saya hal itu cukup dilakukan di acara tea pay atau bahkan dalam resepsi.
Alasan lain adalah, berdasarkan pengamatan saya selama ini, kegiatan sungkeman cenderung menjadi momen drama yang berlebihan dimana umat hanya menjadi penonton dan sibuk mengusap air mata sesudahmya. Saya merasa tidak sreg dengan segala drama ini, apalagi di dalam ibadah.
Camer ingin ada bagian dimana mereka menyerahkan Kitab Suci, salib dan rosario setelah sungkeman. Saya menolak, saya menginginkan penyerahan dilakukan oleh romo, bukan orang tua, dan dilakukan setelah pemberkatan perkawinan. Alasan saya adalah ini merupakan simbol dari jawaban Gereja, bukan jawaban orang tua, atas permohonan berkat.
Camer ingin ada pembukaan cadar pengantin perempuan disusul first kiss. Saya menolak, karena tidak melihat relevansi kegiatan ini dengan ibadah perkawinan.
Lagi, tidak pada tempatnya untuk berciuman di dalam gereja.
Camer ingin ada kegiatan kami berdoa di hadapan patung Bunda Maria. Saya menolak hal ini, bukan karena saya menolak untuk berdoa kepada Bunda Maria (seperti yang dikira camer, karena saya bukan beragama Katolik), tetapi saya keberatan jika ini dilakukan dalam ibadah. Saya bersedia melakukan hal ini asalkan diluar ibadah, entah sebelum (pilihan pertama saya) tamu2 datang dan ibadah dimulai, atau setelah ibadah selesai.
Dalam pandangan saya, ini adalah ibadah pribadi yang tidak perlu dilakukan di depan orang banyak.
Mohon petunjuk dan penjelasan atas poin2 perdebatan kami diatas.
Saya juga ingin bertanya, sebenarnya siapa yang seharusnya menyusun dan menentukan liturgi yang akan digunakan dalam perkawinan dan bagaimana prosesnya? Bolehkah calon mertua langsung menghadap romo yang akan memimpin dan kemudian bersama menyusun liturgi tanpa berkonsultasi dengan calon pengantin?
Terima kasih!
Shalom Yoshi,
Pertama-tama, saya menghargai Anda atas kesediaan Anda yang Kristen non-Katolik, untuk memberkati perkawinan Anda di Gereja Katolik. Selanjutnya, karena Anda tidak berlatarbelakang Katolik, maka adalah wajar, kalau Anda bertanya tentang beberapa hal dalam upacara perkawinan yang dilakukan secara Katolik tersebut. Baik untuk diketahui, bahwa karena ibadah dilakukan secara Katolik, maka adalah wajar jika Anda memahami sudut pandang Katolik dalam memaknai simbol-simbol yang ada dalam perayaan tersebut, walaupun mungkin berbeda dengan pengertian Anda selama ini. Selanjutnya setelah Anda mengetahuinya, silakan mendiskusikannya kembali dengan keluarga calon istri Anda, agar dicapai kesepakatan bersama atas dasar saling memahami dan saling menghormati.
Perlu diketahui bahwa hal- hal yang Anda tanyakan berikut ini, memang bukan merupakan keharusan yang mutlak dalam perayaan liturgi sakramen perkawinan. Namun demikian walaupun tidak harus, namun hal-hal tersebut dapat dilakukan karena memberikan gambaran makna yang baik/ sesuai dengan ajaran iman Katolik dan tidak mengganggu liturgi. Berikut ini adalah penjelasan dari hal-hal yang Anda tanyakan:
1. Tentang Unity Candle
Sesungguhnya ini bukan suatu keharusan, namun dapat dilakukan jika diinginkan dan dipandang berguna oleh kedua mempelai. Memang benar persatuan sudah dilambangkan dengan pengucapan janji perkawinan dan pengenaan cincin kawin. Namun tidak ada salahnya dengan pemberkatan lilin di mana pasangan akan menyalakannya bersama, ataupun memperoleh nyala lilin dari lilin itu, yang dapat diartikan bahwa pasangan bersama-sama menimba kekuatan dari Terang Kristus. Selanjutnya lilin ini dapat dibawa pulang dan menjadi kenangan yang dapat diperingati setiap kali Anda merayakan ulang tahun perkawinan. Setiap tahun, Anda dan istri Anda dapat berdoa mengucap syukur kepada Tuhan atas sekian tahun kehidupan perkawinan yang telah Anda lewati berdua, dan diingatkan akan kehadiran Yesus Sang Terang Dunia, yang menjadi pusat kehidupan rumah tangga Anda; dan bahwa terang-Nya harus memancar di antara Anda berdua. Anda harus memancarkan terang Kristus pada istri Anda, dan istri Anda kepada Anda. Ini sesuai dengan makna sakramen Perkawinan, yaitu suami menjadi tanda kehadiran Kristus bagi istrinya, demikian juga, istri menjadi tanda kehadiran Kristus bagi suaminya.
Jika Anda tidak menganggap makna seperti ini berarti bagi Anda, ataupun jika simbol semacam ini menurut Anda tidak berguna, maka sejujurnya Anda boleh saja tidak mengadakan penyalaan lilin (unity candle) ini, sebab hal ini tidak mempengaruhi ke-sah-an perkawinan Anda.
2. Sungkem doa restu kepada orang tua.
Sejujurnya, hal ini juga bukan sesuatu yang mutlak dalam perayaan sakramen perkawinan di Gereja Katolik. Di Amerika misalnya, sering kali penghormatan kepada orang tua dalam pemberkatan perkawinan ini tidak diadakan. Namun di Asia, mungkin karena pengaruh budaya Jawa ataupun Cina, yang menempatkan penghormatan kepada orang tua sebagai sesuatu yang sangat penting dan tak terpisahkan dari perayaan perkawinan, maka seringkali penghormatan kepada orang tua diadakan juga di dalam perayaan Misa kudus tersebut. Istilahnya adalah adaptasi akulturasi. Maksudnya adalah, ritus Romawi diterapkan dengan memasukkan budaya setempat yang baik dan dapat diterima di dalam liturgi.
Bagi umat Katolik, penghormatan kepada orang tua tidak pernah sama ataupun disamakan dengan penghormatan kepada Tuhan. Maka jika sungkem/ penghormatan kepada orang tua itu diadakan di dalam ibadah/ misa kudus perayaan perkawinan tersebut, maksudnya bukan untuk menyaingi Tuhan, tetapi sebagai ungkapan kasih dan hormat kepada orang tua yang dilakukan di hadapan Tuhan. Penghormatan kepada orang tua ini menjadi penting mengingat bahwa merekalah yang telah berjasa [sebagai perpanjangan tangan dari Tuhan sendiri] untuk membesarkan kedua mempelai tersebut sampai mereka memilih untuk hidup berkeluarga sendiri.
Selanjutnya untuk mengetahui apakah perbedaan penghormatan terhadap orang tua (istilahnya dulia) dan penghormatan terhadap Tuhan (latria), silakan klik di sini. Prinsip pemahaman inilah yang membuat umat Katolik tidak menganggap sebagai sesuatu yang aneh jika kita menghormati para orang kudus, terutama Bunda Maria yang adalah ibu rohani bagi semua umat beriman. Sebab penghormatan terhadap para orang kudus itu (dulia) tidak pernah menyaingi penghormatan kepada Tuhan (latria), namun malah semakin mendukungnya, sebab kita semakin mensyukuri kebaikan dan kasih Tuhan yang telah menciptakan mereka.
3. Pemberian Kitab Suci, crucifix dan rosario oleh orang tua.
Hal ini juga merupakan suatu kebiasaan yang baik namun tidak mutlak. Namun jika diadakan, memang nampaknya lebih tepat (lebih sesuai dengan ajaran iman Katolik) kalau yang memberikan Kitab Suci, salib dan rosario ini adalah orang tua. Mengapa? Karena menurut ajaran iman Katolik, yang menjadi pendidik utama dan pertama di dalam keluarga adalah orang tua (lih. Katekismus Gereja Katolik, KGK 1653). Gereja ataupun pastor, guru di sekolah ataupun guru Bina Iman hanyalah membantu peran orang tua, tetapi tidak menggantikan peran mereka. Nah, Kitab Suci, salib dan rosario merupakan simbol iman Katolik, dan jika kedua orang tua pasangan Anda Katolik, maka adalah wajar jika mereka ingin memberikan benda-benda religius itu kepada Anda berdua, sebagai tanda bahwa mereka telah melaksanakan tugas, yang dipercayakan Tuhan kepada mereka, yaitu untuk membesarkan dan mendidik anak mereka secara Katolik, yang kini telah memilih untuk menikah dengan Anda.
4. Pembukaan cadar pengantin dan first kiss.
Sejujurnya ini juga tidak merupakan keharusan, tetapi dapat dilakukan. Tetapi tentu saja harap dimaknai sebagai sesuatu yang agung. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus pernah menuliskan agar mereka saling memberi salam dengan cium kudus (1Kor 16:20). Demikianlah cium kudus dapat diberikan untuk memberi salam kepada saudara seiman. Dalam hal ini menjadi relevan bahwa pasangan suami istri yang telah dipersatukan Tuhan, saling memberikan cium kudus di hadapan Tuhan yang telah mempersatukan mereka melebihi sesama saudara, namun sebagai suami istri yang menggambarkan persatuan antara Kristus dan Gereja.
5. Berdoa di hadapan patung Bunda Maria.
Penghormatan kepada Bunda Maria memang juga bukan keharusan dalam sakramen Perkawinan, tetapi kebiasaan ini tentu baik, dan sejujurnya, dari semua hal yang Anda tanyakan, hal ini adalah yang paling umum dilakukan oleh para pengantin yang melangsungkan perkawinannya di Gereja Katolik. Doa di hadapan patung Bunda Maria ini bagi umat Katolik bukan penyembahan berhala (tentang ini, silakan klik), namun merupakan ungkapan permohonan agar Bunda Maria menyertai perkawinan mereka, dan mendoakan mereka kepada Yesus, sebagaimana kehadirannya dalam perkawinan di Kana (lih. Yoh 2:1-11). Oleh permohonan Bunda Maria, Yesus mengubah air menjadi anggur, maka semoga oleh permohonan Bunda Maria, pasangan tersebut dijauhkan dari tawarnya hubungan antara suami istri, dan menjadikan hubungan kasih antara mereka selalu manis, bagaikan anggur yang baik.
Namun perlu juga diluruskan di sini, bahwa sepanjang pengetahuan saya, sekalipun penghormatan kepada Bunda Maria ini diadakan, maka penghormatan ini dilakukan setelah berkat penutup, jadi artinya memang dilakukan di luar ibadah perayaan Misa Kudus. Dengan demikian, seharusnya, kalau Anda tidak berkeberatan memohon dukungan doa dari Bunda Maria, maka sesungguhnya tidak ada yang menghalangi Anda untuk melakukan hal tersebut, sebab tidak seperti dugaan Anda, penghormatan kepada Bunda Maria itu memang tidak dilakukan di dalam ibadah, tetapi di luar ibadah, yaitu sesudah perayaan Ekaristi selesai.
6. Siapa yang bertugas/ berhak menyusun teks Misa perayaan perkawinan?
Idealnya memang teks disusun oleh pasangan yang akan menikah itu sendiri, sehingga pasangan tersebut semakin memahami makna janji perkawinan mereka di hadapan Tuhan. Penyusunan teks (termasuk pemilihan bacaan dan lagu-lagunya) selayaknya adalah yang memang dihayati oleh pasangan dan yang memang layak/sesuai untuk dipilih dalam liturgi tersebut.
Namun jika hal ini sudah dilakukan atau dibantu oleh pihak calon mertua Anda, janganlah Anda melihatnya sebagai sesuatu yang negatif. Sebab kemungkinan mereka membantu, mengingat Anda bukan Katolik, sehingga mereka berpikir bahwa bantuan mereka dapat berarti bagi kalian, dan agar meringankan beban Anda juga.
Pihak Gereja Katolik sendiri tidak mengharuskan agar teks Misa yang akan dibacakan itu harus disusun oleh mempelai sendiri. Yang disyaratkan adalah bahwa teks itu sesuai dengan norma-norma liturgi, dan sudah dibicarakan dan disetujui oleh imam yang nantinya akan memberkati perkawinan tersebut. Karena pemberkatan dilakukan secara Katolik, tentu pemaknaan simbol-simbol yang dibicarakan di sini adalah yang sesuai dengan iman Gereja Katolik, sehingga jika salah satu pihak dari calon pengantin tidak Katolik, maka hal perbedaan yang ada perlu dibicarakan terlebih dahulu agar ada saling pengertian dan diperoleh kesepakatan.
Demikian tanggapan saya, semoga berguna. Di atas semua itu, silakan melakukan dialog dengan keluarga calon pasangan Anda/ calon mertua Anda itu, dengan semangat kasih. Jika kasihlah yang menjadi dasarnya, maka pasti akan ada jalan keluar yang dapat diterima oleh semua pihak. Ingatlah bahwa pihak calon mertua Anda itu akan menjadi orang tua Anda sendiri, yang harus Anda hormati dan kasihi, dan dengan demikian Anda melaksanakan kehendak Tuhan.
Selamat mempersiapkan perkawinan Anda. Teriring doa dari kami di katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Untuk saudara Elton,
saya sangat salut dengan saudara yang dengan gagah berani mau menampilkan argumentasinya.
Saya sebagai umat Katolik yang tidak banyak tahu, melalui diskusi dengan Bapak Stef ini sangat berterimakasih juga karena melalui “debat” ini saya menjadi diperkaya.
Saya tertarik juga dengan “paralelisasi” yang dibuat oleh saudara Elton, antara Yesus di zamannya dan kita (umat katolik) di zaman ini. Namun, yang dikatakan pak Stef mungkin saya pikir lebih benar, karena yang anda lakukan saat ini adalah kritik ajaran, bukan kritik praktis. Seandainya memang anda tujukan sebagai kritik praktis (konkritisasi manusiawi atas ajaran gereja), saya pikir itu oke-oke saja (sejauh bisa dipertanggungjawabkan dengan fakta). Namun soal kritik ajaran, saya belum yakin dengan saudara elton yang baik. Tentu saja saya cukup kagum, bahwa keingintahuan anda mengalir dan mengalir, tapi tentu sebagai kritik ajaran, hal tersebut membutuhkan argumentasi yang lebih memadai dari pada “menurut saya, menurut saya”. Minimal pertanggungjawaban logis, sudah lebih memuaskan daripada “menurut saya”. Dasar epistemologis macam apa yang anda andalkan?
Untuk Pak Stef,
saya sangka, ada yang menarik juga di balik argumentasi Sdr.Elton. Saya sempat bertanya2, apa yang memungkinkan sdr. Elton sedemikian berani (sungguh keberaniannya saya acungi jempol) untuk berargumentasi demikian. Apa di balik argumen itu ada suatu luka atas kenyataan praktis kita semua dalam ber-liturgi pada khususnya dan beragama pada umumnya? Apakah argumentasi-argumentasi ala kaum relativist (yang begitu sering saya temukan dalam forum ini dari pelbagai guests) menjadi suatu fenomena makin suburnya relativisme di dalam Gereja kita, yang sungguh concern terhadap hal ini, terutama dalam KV II?
Banyak hal yang sungguh memperkaya saya dalam forum ini. 2 tahun saya hanya sekadar membaca-baca begitu saja, tapi hari ini saya sungguh tergerak untuk sedikit aktif dalam forum ini.
Sungguh saya merasa begitu diperkaya dengan forum diskusi katolisitas ini. Saya semakin yakin, Katolisitas.org adalah media yang begitu efektif dalam pewartaan zaman ini, sekaligus mungkin bisa menjadi parameter aktitivitas dan kondisi umat Gereja itu sendiri.
Dalam doa, semoga anda semua diberkati Tuhan.
Salam,
Bambang.
Shalom Bambang,
Terima kasih atas komentar dan dukungan Anda. Sebenarnya ada cukup banyak orang-orang yang antipati terhadap aturan, institusi, maupun terhadap kebenaran yang bersifat absolut. Sebagian dari mereka melihat bahwa institusi, aturan mengikat kehidupan mereka, tanpa menyadari bahwa kehidupan di dunia ini yang menuntut hidup dalam masyarakat yang majemuk, tidak dapat berjalan tanpa aturan yang jelas. Kalaupun mereka dapat melihat bahwa aturan diperlukan dalam kehidupan, namun kadang mereka tidak mengakui adanya kebenaran absolut dan sebagian dari mereka hidup dalam relativisme, yang tidak mengakui adanya kebenaran absolut. Namun, tanpa disadari, mereka sebenarnya tanpa disadari mempertahankan kebenaran absolut, yaitu percaya bahwa “tidak ada kebenaran absolut”. Jadi, secara tidak langsung mereka juga memaksakan kebenaran absolut – yaitu prinsip relativisme – kepada orang lain. Dan kalau harus memilih kebenaran absolut mana yang harus kita pegang, prinsip relativisme atau kebenaran absolut yang diberikan oleh Kristus lewat Gereja-Nya, kita memilih yang terakhir, karena kebenaran-Nya dijamin oleh Kristus sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Katolisitas,
Liturgi itu menurut saya adalah tatacara ibadat yang dibuat manusia yang membimbing agar kita merasakan hadirat Tuhan dalam perayaan ibadat di Gereja atau di tempat2 lain misalnya ibadat pemberkatan rumah, baptis bayi dll
Tidak ada masalah bagi saya selama motivasi kita hadir adalah kerinduan untuk berjumpa Yesus scr pribadi, mau berlutut, mau berdiri mau pake bhs latin yng tidak bisa dimengerti, wis lah opo jare pastur wae…kalo ada pelanggaran ntar kaya polisi ada surat tilang….hehehe
Yang penting di atas semua apakah kita melakukan segala hal dgn kasih atau tidak, Tuhan tidak akan pernah ditipu walau cuma sekedar suara hati….. Oke
Shalom Budi Yoga,
Seperti telah dijabarkan di atas, Liturgi itu bukan hanya sekedar tata cara ibadat, tetapi ibadat-nya itu sendiri, yang dilakukan oleh keseluruhan Kristus– yaitu Kristus sebagai Kepala Tubuh, dan Gereja sebagai anggota-anggota Tubuh Mistik Kristus– kepada Allah Bapa. Dengan pengertian inilah kita memahami bahwa apa yang ada dalam liturgi itu bukan karya manusia semata, tetapi pertama-tama adalah karya Allah, yang olehnya Allah melanjutkan karya keselamatan-Nya di dunia ini.
Sebagai Gereja, secara prinsip kita menerima liturgi ini sebagai “pemberian” yang diperoleh dari Tradisi Suci para Rasul, dan karena itu tidak pada tempatnya untuk diubah atau disesuaikan dengan selera ataupun kehendak pribadi. Bahwa memang terdapat perkembangan liturgi dalam Gereja, itu secara historis dapat diamati, namun apapun pertumbuhannya tetap mengacu kepada makna awal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian kita melestarikan dan menghargai apa yang sudah diajarkan oleh Kristus dan para Rasul, tentang cara yang dikehendaki oleh Tuhan untuk menyembah-Nya dan merayakan karya keselamatan-Nya.
Sesungguhnya jika kita memahami maksud liturgi ini ini, kita dapat semakin mengalami perjumpaan Yesus secara pribadi, sebab kita sungguh datang kepada-Nya dengan sikap kerendahan hati seperti seorang anak kecil. Walau mungkin tak sepenuhnya kita memahami (karena begitu besar dan dalamnya misteri yang kita rayakan), namun kita membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus untuk mengikutinya, sebab kita mengimani bahwa cara inilah yang dipilih sendiri oleh Tuhan kita Yesus Kristus untuk menyatakan kepenuhan kasih-Nya kepada kita: menggabungkan kita di dalam persatuan-Nya dengan Allah Bapa oleh kuasa Roh Kudus.
Maka istilah “pelanggaran” di sini sebenarnya bukan untuk disamakan dengan “surat tilang”, tetapi bahwa apa yang dilakukan tidak sesuai dengan makna tertentu yang ingin disampaikan dalam liturgi. Kami di Katolisitas menggunakan istilah “pelanggaran”, karena memang istilah tersebut (pelanggaran/ penyelewengan) yang digunakan dan tertulis dalam Instruksi Redemptionis Sacramentum tersebut (lih. RS, 173-174, 6,7,9). Mohon diketahui bahwa diadakannya ketentuan liturgi juga maksudnya agar kita dapat semakin beribadat dengan baik dengan dasar pemahaman yang benar, agar kita dapat semakin menghayati kasih Tuhan dan mempersembahkan kasih kita kepada Tuhan.
Maka benar pernyataan Anda bahwa yang penting adalah melakukan segalanya dengan kasih. Namun tentu, dengan prinsip kasih yang sama itu, kita akan berusaha dengan segenap hati dan kekuatan kita untuk menyembah Tuhan, memperingati dan merayakan kasih-Nya, dengan cara yang sesuai dengan kehendak-Nya, dan bukan hanya melakukan tata cara ibadat yang saya suka, pokoknya asal saya lakukan dengan kasih. Sikap yang terakhir ini perlu kita renungkan, sebab sejujurnya yang menjadi pusat bukan kehendak Tuhan melainkan kehendak sendiri.
Ya, benar bahwa Tuhan tidak pernah bisa ditipu, dan karena itu marilah kita memohon rahmat-Nya agar kita dimampukan untuk menghayati semakin menghayati misteri kasih-Nya dalam liturgi, supaya kita dapat mengikutinya dengan kasih (bukan sekedar formalitas), sehingga Tuhan dapat melanjutkan karya kasih-Nya itu di dalam hidup kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom om Stef n tante Inggrid
mungkin benar apa yang sudah tertulis diatas terutama mengenai alat musik yang diperbolehkan.tetapi om n tante,bagaimana dengan yang ada di salah satu Gereja Katolik African-American yang webnya berikut dibawah ini bahkan didalam Gerejanya pun ada alat2 yang dilarang tersebut?
dan saya juga gak tau apa mereka juga mungkin merubah liturgi atau liturgi nya mungkin masih sama sementara alat2 tersebut hanya dimainkan seperlunya saja.tapi,mengingat apa yang sudah om dan tante jelaskan di atas,
Bagaimana jadinya tuh om dan tante?
Website:http://www.ourladyofconsolation.org
Trims n Tuhan Yesus Memberkati
-Richard
Shalom Richard,
Pertama-tama harus diakui bahwa dalam hal liturgi memang seluruh Gereja bersama-sama bertumbuh untuk semakin menghayatinya, dan ini memang merupakan suatu proses. Penghayatan ini terutama adalah tentang penghayatan makna liturgi, dan dalam hal inilah musik merupakan pendukungnya. Maka penghayatan akan makna liturgi akan mendorong mereka yang terlibat di dalamnya untuk menentukan jenis musik dan alat musik yang akan digunakan di dalam liturgi. Dalam hal ini tak bisa dilepaskan peran keuskupan yang memang juga dapat menyetujui pemakaian alat-alat musik tertentu sesuai dengan keadaan diocesan yang dipimpinnya.
Dalam link situs gereja yang Anda sertakan itu, tidak terlalu jelas bagi saya, alat musik apa yang ada di sana. Namun jika sampai diperbolehkan alat musik perkusi, itu tidak mengherankan, karena bagi budaya Afrika, alat musik perkusi tidak terpisahkan dari kebudayaan Afrika, yang juga dapat dihubungkan dengan penghargaan religius mereka kepada Tuhan. Maka jika alat musik perkusi ini diperbolehkan dalam gereja African-American ini, tentu maksudnya adalah bahwa Gereja Katolik merangkul apa yang baik di dalam budaya masyarakat setempat, namun mengarahkannya kepada penyembahan tertinggi yang dberikan kepada Tuhan. Ini serupa dengan diperbolehkannya alat musik gamelan di gereja-gereja di daerah Jawa Tengah di tanah air. Dengan diperbolehkannya penggunaan alat- alat musik semacam ini, tidak berarti prinsip utama musik liturgi diabaikan; sebab cara memainkan alat musik tersebut juga tetap berbeda, antara musik liturgis dan non-liturgis. Perbedaan inilah yang harus tetap dijaga, agar musik liturgis tetap mempunyai kekhususannya sendiri, sebagai musik yang memang ditujukan untuk pujian dan penyembahan kepada Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Elton,
Sedikit untuk Elton, mungkin anda lupa bahwa seluruh sendi kehidupan kita baik yg bersifat jasmani maupun rohani memerlukan kaidah2,aturan. Bahkan metabolistme tubuh kita diatur sesuai dgn kaidah2 chemistry dan juga management baik negara,organisasi ato lembaga.
Kaedah dan aturan menghasilkan output sesuai dgn tujuan diadakan aturan ato kaedah tersebut dengan syarat aturan/kaedah tersebut diikuti dengan benar. Dan kaedah/aturan/petunjuk tentu ada karena memang dibuat oleh orang2 yang berwenang/pemimpin/sekolompok yg memang memiliki wewenang.
Demikian juga kaedah/petunjuk keselamatan yang disampaikan Yesus ato kitab suci. Yesus yang adalah Allah punya wewenang dan otoritas untuk menyampekan kaedah/aturan/petunjuk/firman mengenai keselamatan atas umat ciptaannya ( Hukum kasih )saat didunia. Nah persoalannya akan timbul setelah Yesus wafat, oleh karena itu tentulah harus ada penerusnya dan untuk itu Yesus telah melimpahkan wewenang/otoritasnya kepada murid2Nya ( Petrus dan para murid ) untuk meneruskan kaedah/aturan/petunjuk keselamatan itu sendiri didunia ini.
kaedah/aturan/petunjuk itu sendiri bisa berkembang menjadi sub-sub kaedah/aturan/petunjuk sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman ASALKAN tidak menyimpang dari kaedah/aturan/petunjuk utama.
Bagaimana munculnya kaedah/aturan/petunjuk ? dari sumber2 mana timbulnya ?
Dari Allah sendiri (firman,hukum kasih,keselamatan dsb)dan dari sumber tsb dalam perkembangannya menjadi aturan2 dalam berbagai dan segala bidang kehidupan manusia, termasuk dalam tata kehidupan beribadah.
Pada saat didunia, Allah sendiri ( Yesus ) yang berwenang menyampekan kaedah/aturan/petunjuk melalui firman dan pengajaran kepada para murid.
Kenapa Yesus didunia ini memerlukan kerjasama dengan manusia (para murid) ? salah satu tujuannya adalah agar kelak para murid dapat meneruskan kaedah2/aturan/petunjuk firman,pengajaran,keselamatan itu sendiri kepada generasi yad. Sampe2 Yesus menyatakan kepada Petrus bhw IA akan mendirikan gerejaNya. Ini adalah pelimpahan WEWENANG DAN TUGAS.
TRADISI adalah pengajaran ( LISAN ) yang turun temurun dari Yesus kepada murid2 dan penerusnya yang didalamnya terkandung firman,kaedah2/aturan/petunjuk keselamatan itu sendiri.
Siapakah yang berwenang melaksanakan,mengawasi dan memonitor,menjaga firman,kaedah2/aturan dan petunjuk itu agar dapat disebarkan keseluruh umat tanpa adanya kekeliruan,penyelewengan,pelanggaran yang intinya menyimpang dari firman/kaedah utama ( Hukum/Firman Allah ) ? Tentu para murid dan penerusnya. Nah rupanya perlu management juga yaa…!!!
Untuk itulah ada MAGISTERIUM.
Nah kombinasi dari Tradisi + Magisterium ini dalam perkembangan selanjutnya munculah KITAB SUCI (DITULISKAN / Data record ) yang saya dan anda percaya. Tetapi anda harus INGAT bahwa banyak pula ajaran2 baik yang tidak tercantum didalam kitab suci, sebab pasti tidak akan muat…..demikian kata kitab suci itu. Dan tidak bertentangan.
LITURGI,merupakan kaedah/aturan/petunjuk2 beribadah dengan benar sesuai dengan firman/kaedah/petunjuk utama, yg merupakan turunan/sub dari yang utama yang tidak menyimpang ( bila ada mohon ditunjukan ). Output dari liturgi itu sendiri sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah sendiri.
Yang menjadi problem adalah bila anda tidak mau mengikuti kaedah2/aturan/petunjuk yang sudah dibuat oleh Yesus, para murid, martir ,penerus Yesus sampe saat ini , anda tidak menghargai mereka semua dan anda rupanya lebih senang menghargai aturan/petunjuk/kaedah anda sendiri yang tentu perlu diuji kebenarannya dan jangan2 terjebak dalam Hedonisme seperti kata ibu Linda Maria.
Kalo anda menjadi Martin Luther, pasti gerejamu terkoyak dan pecah menjadi 28000 denominasi. Lha punya pendapat sendiri2 dan masing2 membenarkan sendiri2.
Anda beranggapan bhw aturan/kaedah/petunjuk ( Liturgi ) itu tidak penting, yang penting dihadapan Tuhan apakah yg sudah kamu lakukan untukKu saat ditanya pada pengadilan akhir nanti. Lho man itu kan outputnya.
Khan kaedah/aturan/petunjuk itu menghasilkan output. Kalo anda mengikuti kaedah/aturan/petunjuk pasti menghasilkan output yang sesuai yg dikehendaki oleh kaedah/aturan/petunjuk itu sendiri.
Lha sekarang anda mo mengikuti kaedah/aturan/petunjuk yang anda mo buat sendiri….ya bentuklah komunitas sesuai dengan selera anda dalam beribadah, bebas merokok,pake helm,berteriak-teriak, pake celana dalam aja kegereja.
Kita hidup ini penuh kaedah/aturan dan petunjuk2 demi keselamatan rohani,jasmani,sekurity,etika,bernegara,berbangsa dsb.
syalom…….
Terima kasih, setelah membaca beberapa komentar dan jawabannya tentang liturgi dan khususnya sikap tubuh pada saat berdoa Bapa Kami , maka saya sekarang tahu (menyimpulkan) ternyata konsep imam di GK dan di tempat Saudara kita Muslim itu berbeda,Kalau di GK apa yang diperbuat/ dilakukan imam tidak boleh dilakukan oleh umat, tetapi kalo di tempat Saudara kita yang Muslim apa yang dilakukan oleh Imam (yang memimpin ibadat di tempat ibadat/ mesjid) ditirukan oleh umat (jemaatnya) misalnya saat imam berdiri umat berdiri, saat mengatupkan tangan, umat mengatupkan tangan, saat imam menoleh ke kiri umat menoleh ke kiri dll. Mohon dikoreksi kalau kesimpulan saya salah. Terima kasih,Berkat Dalem.
Vincensius Susilo
Shalom Vincensius,
Dalam liturgi, dalam hal ini liturgi Ekaristi, Imam Gereja Katolik bertindak sebagai Kristus (in persona Christi). Hal ini memang merupakan hal yang khas Gereja Katolik yang tidak ada di dalam agama lain yang non- Katolik. Maka agak sulitlah dibandingkan jika memang kondisinya tidak untuk dibandingkan, yaitu imam di Gereja Katolik dan pemimpin ibadah dalam agama non- Katolik.
Nah, dalam keadaan “in persona Christi” tersebut, tidak selalu bahwa apa yang dilakukan oleh imam itu otomatis dapat ditiru ataupun dilakukan oleh umat, justru karena dalam Gereja Katolik ada istilah imamat jabatan (yang diberikan para tertahbis) dan imamat bersama (yang diberikan kepada semua umat yang telah dibaptis). Oleh karena itu ada bagian-bagian dari perayaan liturgis yang hanya dapat dilakukan oleh imam yang tidak dapat dilakukan oleh umat, misalnya gestikulasi memberkati, membaca Injil dan memberikan homili, mengucapkan konsekrasi, gestikulasi memimpin ibadah dengan mengangkat tangan/ merentangkan tangan, menumpangkan tangan, dst.
Namun dalam hal ini, juga tidak benar kalau dikatakan bahwa semua gestikulasi (gesture) yang dilakukan imam tidak boleh dilakukan oleh umat di dalam liturgi. Misalnya, pada saat imam masuk mendekati panti imam, maka imam membungkuk hormat, dan semua umat-pun bersama membungkuk hormat. Imam membuka perayaan Ekaristi dengan membuat tanda salib, maka semua umat membuat tanda salib. Kesatuan sikap doa ini juga ada cukup banyak dalam perayaan Ekaristi, sebab perayaan Ekaristi merupakan perayaan bersama antara Kristus sebagai Sang Kepala dengan Gereja, sebagai Tubuh Mistik-Nya
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Katolisitas;
Setau saya, dalam tradisi perjamuan makan Yahudi, ada DUA macam piala. Piala pertama digunakan oleh masing-masing orang yg ikut perjamuan, jadi jumlahnya banyak, semacam gelas untuk minum dalam perjamuan di zaman sekarang. Sedangkan piala kedua hanya satu, lebih besar dan bagus daripada piala pertama, dikhususkan sebagai piala syukur, dimana di akhir perjamuan tuan rumah / pemimpin perjamuan mengucap syukur atas piala kedua yg berisi anggur yg terbaik, lalu setelah pengucapan syukur piala kedua tsb dia minum lalu diedarkan ke setiap orang yg ikut perjamuan dari tangan ke tangan dan tiap-tiap orang minum dari piala yg satu tsb. Karena piala kedua tsb untuk diminum bersama-sama, maka setiap orang yg ikut perjamuan biasanya bersikap hati-hati saat menerima piala tsb, meminumnya sedikit, kemudian membersihkan dan menjaga kebersihan piala tsb, agar peserta perjamuan berikutnya dapat minum dgn nyaman/bersih. Saya kira, Piala Kedua inilah yg digunakan oleh Kristus untuk kurbanNya. Bukan piala-piala lebih kecil yg dipegang oleh masing-masing Rasul peserta perjamuan. Oleh karena itu ketika Yudas mencelupkan rotinya kedalam cawan tsb sebelum meminumnya, hal itu menjadi tindakan aneh dalam kebiasaan saat itu karena dia mengotori Piala tsb bagi orang yg minum sesudah dia.
Sekarang dalam Misa pun, Piala yg satu diminum bergantian oleh peserta Misa dan dijaga kebersihannya (diusap kain). Tetapi pertanyaan saya, kenapa sering kali Imam pemimpin Misa, justru mencabik sedikit Hosti besar dan memasukkannya ke dalam Piala Syukur tsb sebelum membagikan Komuni kepada umat..? Bukankah tindakan itu seperti yg dilakukan oleh Yudas? Apalagi kata Yesus, orang yg berbuat demikianlah yg akan mengkhianatiNya ..? Mohon pencerahan, Terima kasih. Semoga Tuhan memberkati kita.
Shalom Fxe,
Menurut penjelasan yang diambil dari A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Orchard, OSB, untuk ayat Mrk 14: 20, “Ia [Kristus] menjawab: “Orang itu ialah salah seorang dari kamu yang dua belas ini, dia yang mencelupkan roti ke dalam satu pinggan dengan Aku” adalah demikian:
Ekspresi “ia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini….” mempunyai arti yang sama dengan pernyataan, “ia yang makan bersama-sama dengan Aku.” (lih. ay. 18). Maka perkataan ini tidak menyatakan kepada para Rasul yang lain bahwa Yudas adalah sang pengkhianat, sebab perkataan itu juga dapat mengacu kepada siapapun yang hadir pada saat perjamuan itu. Menurut kebiasaan saat itu, setiap orang [yang mengambil bagian dalam perjamuan itu], dapat melakukan hal tersebut, yaitu dengan mencelupkan rotinya ke dalam pinggan yang sama itu.”
Dengan demikian, kita tidak dapat secara langsung menghubungkan Yudas dengan perbuatan pencelupan roti itu, sebab Rasul yang lain juga dapat melakukan pencelupan roti ke dalam pinggan yang sama. Maka hal yang terpenting yang membedakan pencelupan roti yang dilakukan oleh para rasul itu dengan pemecahan roti/ pencelupan hosti ke dalam piala yang dilakukan oleh imam di setiap perayaan Ekaristi adalah: para rasul melakukannya sebelum perkataan konsekrasi (jadi anggur dalam pinggan itu tetaplah masih anggur biasa); sedangkan pemecahan roti, dan dimasukkannya sepotong roti/ hosti ke dalam piala, yang dilakukan imam dalam perayaan Ekaristi, dilakukan setelah konsekrasi, sehingga yang anggur di dalam pinggan itu telah diubah menjadi darah Kristus. Dengan demikian, dimasukkannya sepotong hosti (yang sudah diubah menjadi Tubuh Kristus) ke dalam piala anggur (yang telah diubah menjadi Darah Kristus) adalah untuk melambangkan wafat Kristus (korban Tubuh dan Darah-Nya), dan bersatunya kembali Tubuh dan Darah Kristus tersebut di saat kebangkitan-Nya. Kita semua yang mengambil bagian dalam Ekaristi yang satu dan sama itu dipersatukan di dalam satu Tubuh, yaitu Kristus sendiri, Sang Roti Hidup.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan dalam Instruksi Redemptionis Sacramentum, demikian:
73. Dalam perayaan Misa Kudus, pemecahan Roti Ekaristi -yang dibuat hanya oleh Imam, namun jika perlu dengan bantuan seorang Diakon atau seorang Imam koselebran- mulai sesudah ucapan Salam Damai, yakni pada waktu Agnus Dei. Pemecahan roti yang “dilaksanakan oleh Kristus pada kesempatan Perjamuan Malam yang Terakhir, di masa para rasul menjadi sebutan yang dipakai untuk seluruh pelaksanaan Ekaristi. Acara ini menandai bahwa kaum beriman, sekalipun banyak, namun menjadi satu Tubuh dalam persekutuan Roti Kehidupan yang satu itu yang adalah Kristus sendiri yang mati dan bangkit untuk keselamatan dunia.” (bdk. 1Kor 10:17)….” (Redemptionis Sacramentum, 73)
Semoga ulasan ini menjawab pertanyaan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih Katolisitas atas jawaban yg telah diberikan. Sungguh! Katolisitas telah menjadi berkat bagi saya dan banyak umat Katolik. Semoga Katolisitas tetap sabar menerima banyaknya pertanyaan2 yg masuk.
Bu Ingrid, menurut referensi yg saya baca (maaf saya lupa sumbernya), Piala yg digunakan oleh Tuhan Yesus saat konsekrasi dalam Perjamuan Terakhir adalah SATU Piala. Hal ini sesuai cerita tradisi, setelah tragedi penyaliban Rasul Petrus menyimpan Satu Piala tsb. Kemudian, satu Piala tsb disimpan turun-temurun oleh para pengganti Rasul Petrus. Sekarang Piala tsb disimpan di Katedral Valencia. Dan ada tradisi bila Paus merayakan Ekaristi menggunakan Piala tsb, maka kata-kata “This Most Precious Chalice” ditambahkan dalam Doa Syukur Agung. Jadi karena Piala itu satu, maka sewajarnya (sesuai kebiasaan makan saat itu) dalam perjamuan para murid tidak mengotori Piala dgn mencelupkan roti ke dalamnya. Justru Yudas yg melakukan hal itu, dalam Injil Matius dan Yohanes keanehan Yudas ini lebih kelihatan.
Apakah memang ada instruksi liturgis yg menyarankan imam stlh Konsekrasi mencabik Hosti lalu melarutkan-Nya kedalam Piala?
Mengenai penjelasan: “Maka hal yang terpenting yang membedakan pencelupan roti yang dilakukan oleh para rasul itu dengan pemecahan roti/ pencelupan hosti ke dalam piala yang dilakukan oleh imam di setiap perayaan Ekaristi adalah: para rasul melakukannya sebelum perkataan konsekrasi (jadi anggur dalam pinggan itu tetaplah masih anggur biasa); sedangkan pemecahan roti, dan dimasukkannya sepotong roti/ hosti ke dalam piala, yang dilakukan imam dalam perayaan Ekaristi, dilakukan setelah konsekrasi, sehingga yang anggur di dalam pinggan itu telah diubah menjadi darah Kristus.”… mohon penjelasan lebih lanjut, karena yg saya tahu para Murid menerima Roti dan minum dari Piala yg SATU tsb SETELAH Tuhan Yesus mengucapkan konsekrasi “Terimalah, Inilah Tubuh-Ku…” dan “Terimalah dan minumlah. Inilah Darah-Ku”. Dalam film The Passion pun digambarkan begitu.
Demikian juga bila umat komuni dalam dua rupa, apakah aturannya umat mencelupkan Hosti ke dalam Piala, atau seharusnya umat minum dari Piala tsb?
Mohon penjelasan ya Bu…, karena saya merasa risih melihat Romo mencabik Hosti dan melarutkan kedalam Piala stlh konsekrasi. Apalagi bila saya komuni dua rupa, waktu saya diminta mencelup Hosti, di dalam Piala ada gumpalan “putih-putih” yg melayang-layang dalam air Anggur (Darah Kristus) yg bening. Terima kasih.
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini digabungkan karena masih satu topik, dan oleh pengirim yang sama]
Dear bu Ingrid, Romo Boli dan Ioannes, terima kasih atas semua ulasan yg telah diberikan.
Jadi, dapatkah kita menyimpulkan bahwa:
penelitian oleh Scott Hann maupun Dom Orchard OSB berpendapat sama bahwa PIALA yg SATU setelah Konsekrasi tidak di-celupi Roti ?
Dan, bagaimana men-sinkronkan penelitian tsb dgn cerita tradisi (huruf “t” kecil) yang mengumpulkan beberapa potongan Hosti besar dari beberapa stasi ke dalam Piala yg digunakan oleh Paus..? Bila Piala di Katedral Valencia benar otentik (bukti2 sejarah dan science cukup mendukung), tampaknya Piala tsb ukurannya tidak terlalu besar (dia= 9cm tinggi= +/-9cm, dgn kaki tinggi= 17cm, sumber: Wikipedia) untuk menampung banyak potongan Hosti.
Apakah sebaiknya kebiasaan pencampuran secuil Hosti besar kedalam Piala setelah Konsekrasi ini ditiadakan.., kecuali bila ada makna khusus yg penting untuk dilestarikan?
Terima kasih.
Shalom Fxe,
Sebenarnya, terdapat beberapa hipotesa/ teori tentang piala yang digunakan dalam Perjamuan Terakhir itu. Tetapi sebagaimana yang telah saya sampaikan di jawaban ini, silakan klik, sebaiknya bermacam teori tersebut kita pandang sebagai beberapa kemungkinan. Namun demikian, hal itu tidak dapat kita mutlakkan bahwa pasti terjadinya demikian, sebab di dalam Kitab Suci sendiri tidak dijelaskan secara rinci. Maka hal cara perjamuan itu berlangsung, ada berapa piala yang digunakan, apakah urutannya secara mendetail, janganlah kita pandang sebagai suatu yang terpenting atau setara pentingnya dengan makna yang terutama dari Perjamuan Terakhir tersebut: yaitu bahwa Kristus menginstitusikan Ekaristi, dengan mengubah roti dan anggur itu menjadi Tubuh dan Darah-Nya, sebagaimana tergenapi dengan sempurna dalam kurban salib-Nya.
Dengan demikian Anda tidak akan merasa terganggu dengan peristiwa pemecahan sedikit hosti yang kemudian dimasukkan ke dalam piala anggur tersebut, sebab sungguh hal itu tidak ada kaitannya dengan Yudas (ataupun rasul lainnya) yang mungkin mencelupkan roti mereka ke dalam piala yang digunakan oleh Yesus. Apa yang digambarkan oleh film the Passion tak terlepas dari imajinasi Mel Gibson sebagai sutradara, namun sekali lagi semua itu sebaiknya diterima sebagai kemungkinan, namun bukan sesuatu yang mutlak. Sebab jika praktek liturgis Gereja memasukkan pecahan roti yang sudah dikonsekrasikan itu ke dalam piala anggur yang sudah dikonsekrasikan, itu mengacu kepada arti bersatunya kembali Tubuh dan Darah-Nya dalam Tubuh kebangkitan-Nya yang mulia.
Hal ini jelas disebutkan dalam PUMR/ General Instruction of the Roman Missal:
“The Fraction
83. The priest breaks the Eucharistic Bread, assisted, if the case calls for it, by the deacon or a concelebrant. Christ’s gesture of breaking bread at the Last Supper, which gave the entire Eucharistic Action its name in apostolic times, signifies that the many faithful are made one body (1 Cor 10:17) by receiving Communion from the one Bread of Life which is Christ, who died and rose for the salvation of the world. The fraction or breaking of bread is begun after the sign of peace and is carried out with proper reverence, though it should not be unnecessarily prolonged, nor should it be accorded undue importance. This rite is reserved to the priest and the deacon.
The priest breaks the Bread and puts a piece of the host into the chalice to signify the unity of the Body and Blood of the Lord in the work of salvation, namely, of the living and glorious Body of Jesus Christ. The supplication Agnus Dei, is, as a rule, sung by the choir or cantor with the congregation responding; or it is, at least, recited aloud. This invocation accompanies the fraction and, for this reason, may be repeated as many times as necessary until the rite has reached its conclusion, the last time ending with the words dona nobis pacem (grant us peace).”
Terjemahan yang dicetak tebal:
“Imam memecahkan Hosti itu dan meletakkan pecahan Hosti itu ke dalam piala untuk menandai kesatuan Tubuh dan Darah Tuhan di dalam karya keselamatan, yaitu [kesatuan] dari Tubuh Yesus Kristus yang hidup dan mulia.”
Sedangkan untuk ketentuan penerimaan Komuni dua rupa (menurut PUMR dan Redemptionis Sacramentum) sudah pernah dituliskan di sini, silakan klik.
Selanjutnya untuk pertanyaan Anda bahwa apakah menurut teori Scott Hahn dan Dom Orchard, maka piala setelah konsekrasi tidak dicelupi dengan roti para rasul, itu memang benar. Namun teori ini tidak menyatakan apapun tentang pencampuran pecahan Roti [yang sudah dikonsekrasikan- sehingga telah berubah menjadi Tubuh Tuhan Yesus sendiri] ke dalam anggur yang telah dikonsekrasikan menjadi Darah Kristus. Dengan demikian, teori mereka tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap tradisi Gereja yang mencampurkan pecahan hosti ke dalam anggur yang keduanya sudah dikonsekrasikan itu.
Mungkin ada baiknya kita membaca terjemahan kutipan dari buku karangan Rev. Bernard C Loeher, Following Christ through the Mass, demikian:
“31. Pecahan Hosti ditempatkan di dalam Piala.
Kita telah melihat bahwa kematian Yesus Kristus digambarkan dengan pemisahan secara simbolis antara Tubuh dan Darah-Nya. Oleh karena alasan ini, kebangkitan-Nya yang mulia dari kematian tidak dapat digambarkan dengan lebih sempurna kecuali dengan menempatkan pecahan Hosti itu ke dalam piala tersebut, maka menunjukkan kesatuan kembali Tubuh dan Darah-Nya…..
Tanda salib yang dibuat sebanyak tiga kali di atas piala menggambarkan tiga hari Tubuh Kristus terbaring di dalam kubur. Penempatan pecahan Hosti ke dalam piala, atau kesatuan kembali Tubuh dan Darah tersebut, melambangkan kebangkitan Kristus dari kematian….” (Rev. Bernard C Loeher, Following Christ through the Mass, (Detroit, Michigan USA: Sacred Heart Seminary), 1934, p. 73)
Demikian, semoga tulisan di atas berguna bagi Anda, dan tidak lagi membuat Anda bertanya-tanya, mengapa Gereja mempunyai tradisi memasukkan pecahan hosti ke dalam piala setelah keduanya dikonsekrasikan. Mengingat artinya yang sangat penting, yaitu sebagai simbol kebangkitan Yesus, maka tradisi ini nampaknya tidak mungkin dihapuskan dari tata perayaan Ekaristi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Fxe,
Memecahkan hosti besar dan memasukkan satu pecahan kecil ke dalam piala pada saat Anak Domba Allah sebelum komuni, artinya amat berbeda dari tindakan Yudas. Tidak mungkin gereja melaksanakan hal ini ratusan tahun sebagai tanda pengkhianatan. Gereja justru mempertahankan pencampuran itu dengan arti dan latar belakang yang amat positif.
Latarbelakangnya adalah perayaan kepausan di kota Roma pada abad-abad pertama ketika kota Roma mempunyai tujuh stasi tempat Paus merayakan Ekaristi secara bergilir. Bila Paus merayakan Ekaristi di salah satu stasi, maka di 6 stasi lain Ekaristi dipimpin oleh pastor kepala stasi bersangkutan, dan pada saat pemecahan roti, sebagian dari pecahan itu diserahkan imam kepala yang memimpin Ekaristi itu kepada seorang akolit yang segera pergi ke stasi tempat Paus sedang merayakan Ekaristi dan memberikan pecahan itu kepada Paus yang menerimanya dan memasukkannya dalam piala berisi anggur kudus sebagai tanda persatuan umat di stasi lain dengan Paus dan umat di stasi tempat Paus merayakan Ekaristi.
Pencampuran itu masih terus dilaksanakan hingga sekarang dalam perayaan Ekaristi yang sama, dengan arti persatuan persaudaraan dalam Yesus.
Tks dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Salam,
Sedikit sharing dari yang pernah saya baca dari buku Scott Hahn : Catholic for Reason III mengenai tradisi seder Paskah Yahudi. Ini apa yang saya pahami secara dangkal mengenai tradisi tersebut. Mohon perbaiki apabila saya salah menangkap atau informasi ini tersebut salah :
Seder Paskah dilakukan dengan 4 tahap cawan. Cawan pertama adalah cawan Qiddush yang diminum setelah makan roti tak beragi dengan mencelupkannya ke dalam sejenis saus dan dimakan dengan sayuran pahit. Mungkin di tahap inilah Yesus dan para murid mencelupkan roti dalam pinggan.
Cawan kedua adalah cawan Haggadah. Cawan ini diminum setelah menceritakan kembali peristiwa eksodus bangsa Israel dari Mesir.
Cawan ketiga adalah cawan Berakah. Cawan ini diminum dari satu cawan setelah makan daging anak domba yang dipanggang bersama roti tak beragi. Mungkin di tahap ini Yesus memberikan tubuhNya alih-alih daging anak domba.
Cawan keempat adalah cawan Halles. Cawan ini diminum setelah pendarasan mazmur Halel yang diambil dari beberapa bab Mazmur (kalau tidak salah 113-118) yang digunakan untuk memuji Allah atas karyaNya pada Israel. Dari kata Halel Yah (Puji Tuhan) ini berkembang menjadi Haleluya/Aleluia.
Mohon koreksi apabila saya salah menangkap atau menjelaskan. Terima kasih.
Pacem,
Ioannes
Shalom Ioannes,
Hal adanya empat cawan dalam tradisi perayaan Paskah Yahudi merupakan salah satu hipotesa para ahli Kitab Suci yang mempelajari kebiasaan Yahudi. Namun sesungguhnya hal ini bukan merupakan suatu konsensus yang disetujui oleh semua ahli Kitab Suci. Kalau membaca dari pandangan Scott Hahn dalam buku itu, urutan umum yang dilakukan bangsa Yahudi dalam memperingati Paskah Yahudi adalah (lih. Scott Hahn, Catholic for a Reason III: Scripture and the Mystery of the Mass, Emmaus Road Publishing (p. 23, 24). Emmaus Road Publishing. Kindle Edition):
1) Cawan pertama Quiddus isinya adalah anggur, yang sesudah itu diikuti dengan menu tumbuh-tumbuhan hijau, sayuran pahit dan haroset, yaitu saus campuran antara buah, kacang-kacangan yang digerus dengan cuka dan kayu manis.
2) Lalu dibacakan kitab Mazmur 113 atau 114, kemudian diminum cawan anggur kedua Haggadah.
3) Dimulailah makanan yang sesungguhnya yaitu daging anak domba, roti tak beragi, sayuran pahit, dan kemudian cawan ketiga diedarkan, Berakah.
4) Dinyanyikan Mazmur penutup Hallel, dan pengucapan syukur atas cawan terakhir, Hallel.
Scott Hahn kemudian mengungkapkan bahwa memang di Injil tidak disebutkan ke-empat tahapan ini, namun langsung pada tahapan yang ketiga. Hahn menyebutkan, yang menarik di sini, keempat Injil tidak menyebutkan tentang adanya daging anak domba yang dimakan. Maka ini mengisyaratkan maksud Yesus untuk menggantikan daging anak domba Paska, dengan diri-Nya sendiri (lih. ibid. p. 25-26), sebagaimana sungguh tergenapi keesokan harinya, saat Ia menjadi kurban penebus dosa di kayu salib. Sebagai kurban, Kristus yang memenuhi persyaratan sebagai kurban Paska, yaitu kurban Anak Domba yang tidak dipatahkan tulang-Nya (lih. Kel 12:46; Yoh 16:36).
Nah, namun teori empat macam cawan ini adalah salah satu kemungkinan. Kita tidak mengetahui secara persis apakah memang terjadinya demikian, sebab di Injil tidak disebutkan secara persis urutannya secara mendetail seperti ini. Ada juga suatu teori yang lain bahwa yang dipergunakan adalah satu cawan besar (yang digunakan oleh Yesus) dan yang lainnya adalah beberapa cawan kecil yang dipergunakan oleh para Rasul untuk minum (seperti yang ditulis di situs ini, silakan klik).
Demikian juga, tidak cukup dijelaskan di dalam Injil, tentang hal para Rasul (termasuk Yudas) mencelupkan roti ke dalam cawan anggur, sebelum Yesus mengucap syukur dan mengubah roti itu menjadi Tubuh-Nya dan anggur itu menjadi Darah-Nya. Namun secara implisit hal ini mungkin terjadi, sebab dikatakan bahwa perkataan konsekrasi tersebut diucapkan di tengah-tengah saat Yesus dan para murid-Nya sedang makan.
“Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya, lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: Ambillah dan makanlah, inilah tubuh-Ku …..” (Mat 26:26)
“Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Ambillah, inilah tubuh-Ku ….” (Mrk 14:22)
“Ketika tiba saatnya, Yesus duduk makan bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya. Kata-Nya kepada mereka: “Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu,…” (Luk 22:14)
Maka jika kita membaca beberapa teori-teori seperti ini, sikap yang terbaik adalah bahwa kita menerimanya sebagai suatu kemungkinan. Yang terutama adalah kita menangkap maksud yang terpenting, yaitu bahwa ketika Yesus sedang makan dengan para rasul-Nya, Ia mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata, “Inilah Tubuh-Ku…..” dan demikian juga sesudah itu Ia mengambil piala dan berkata, “Inilah darah-Ku….” Dan kemudian para murid mengambil bagian dari Roti yang satu itu, dan minum dari piala yang satu itu (yang telah diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus), sebab maksud utama dari makan dan minum tersebut adalah persekutuan dengan Tubuh dan Darah Kristus (lih. 1 Kor 10:16).
Jadi hal seputar perjamuan itu, walaupun penting, namun tidaklah sepenting makna Perjamuan Tubuh dan Darah Kristus itu sendiri. Tentang tahapan perjamuan, atau kapankah tepatnya Yudas (atau para rasul lainnya sebelumnya) mencelupkan roti ke dalam pinggan, atau apakah Yesus yang kemudian secara khusus memberikan kepada Yudas, sepotong roti yang sebelumnya dicelupkan-Nya ke dalam pinggan (Yoh 13:26), janganlah sampai mengalihkan perhatian kita terhadap makna Perjamuan Ekaristi yang diinstitusikan oleh Tuhan Yesus pada saat itu.
Tambahan keterangan dari A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard, OSB, tentang ayat Yoh 13:26:
ay. 26 “Tanda tersebut, sepotong roti yang dicelupkan, menunjukkan bahwa perjamuan malam itu belum selesai, indikasi bahwa Ekaristi belum diinstitusikan. Potongan roti itu bukan Ekaristi, dan mungkin adalah sepotong roti tak beragi, yang dicelupkan dalam saus yang disebut charoseth. Tanda ini, yang arti pentingnya hanya diberitahukan kepada Rasul Yohanes, adalah merupakan tanda persahabatan terhadap Yudas, tetapi yang pada akhirnya malah mengeraskan hatinya….”
Demikianlah, jika menggabungkan teori Scott Hahn, dan Dom Orchard, maka kemungkinan pandangan Anda benar, bahwa pencelupan roti yang diberikan kepada Yudas itu terjadi pada cawan pertama/ Quiddus itu. Interpretasi ini juga secara implisit sejalan dengan narasi yang ditulis dalam Injil Matius, yang menyebutkan hal pencelupan roti itu sebelum perkataan konsekrasi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam,
Betul, saya juga baru menemukan ada banyak perkiraan selain teori empat cawan tersebut. Terima kasih atas informasinya. Semoga kita senantiasa menghayati Ekaristi sebagai pemberianNya yang luar biasa.
Pacem,
Ioannes
Shalom,
Izinkan saya memberikan sedikit pendapat perihal liturgi misa kudus. Saya berasal dari Sarawak dari kota Kuching yang menghadiri misa di Katedral St. Joseph ( Archdiocese of Kuching )selama bertahun tahun semenjak saya diterima menjadi umat Katolik pada tahun 1992. Seiring dengan waktu dalam mendalami iman Katolik termasuklah kepada tatacara liturgi, melalui apa yang disebutkan di dalam perbincangan di atas, jelas bahawa Katedral St Joseph banyak melakukan pelnaggaran pelanggaran liturgi seperti, menggunakan lagu lagu pop rohani sewaktu berjalannya Misa dari mula sampai akhir, bahkan sehingga ke saat sebelum saya menghadiri Misa Tridentine, saya tidak tahu sama sekali apa yang di artikan sebagai lagu lagu liturgi. Bahkan disetiap Misa (Bahasa Melayu ) yang saya hadiri di sana, ada band yang mengiringi lagu lagu yang dinyanyikan. Selain itu, kami juga bertepuk tangan meriah ketika Salam Damai yang di iringi dengan lagu Dalam Yesus Kita Bersaudara malah juga menadah tangan sewaktu doa Bapa Kami.( dinyanyikan dengan nada pop rohani juga) Secara luarannya, kelihatan tidak ada yang salah dengan itu. Namun hati kecil saya sering mendambakan saat saat hening yang dapat membuahkan kekusyukan saya sewaktu ibadah dan ini seringkali tidak saya peroleh dengan misa yang sedemikian meriah. Namun saya tidak menolak akan pengalaman saya menghadiri Misa Kudus itu membantu pertumbuhan rohani saya saat saya masih baru Katolik.
Kini saya menghadiri misa Tridentina yang lebih hening, tertib dan teratur. Mungkin ada yang berpandangan, umat terlihat seperti hanya penonton tetapi di pihak saya, saya turut serta dalam setiap doa doa bahasa Latin atas usaha saya cuba untuk memahami kalimat bahasa tersebut. Hadirnya saya ke Misa Tridentina bukan kerana atas rasa ingin memenuhi apa yang kurang dalam hati saya tetapi kerana saya melihat adanya ketertiban yang baku dalam pelaksanaan liturgi Misa dan serta semangat kesalehan yang ada dalam setiap perayaan Ekaristi yang di rayakan oleh imam.
Saya tidak menentang akan ritus Novus Ordo walaupun terdapat begitu banyak pelanggaran yang mungkin kerana KURANGNYA PENDEDAHAN mengenai tatacara liturgi baik di kalangan umat tertahbis dan umat awam seperti saya. Ingin saya mohon kepada gereja secara umum agar dalam silibus pendidikan Agama Katolik agar asas asas tatacara liturgi turut menjadi bahan pembelajaran agar generasi katolik yang muda semakin memahami maksud dan tatacara liturgi yang akhirnya membawa kepada kesatuan umat yang makin kuat dalam setiap perayaan liturgi yang kita rayakan di gereja. Kerana menurut saya, bahan bahan pembelajaran Agama Katolik amat kurang sekali bisa di peroleh, dan jika adapun, bahan bahan tersebut kurang baku malah menjadi terlalu kabur sehingga bahan bacaan tersebut kurang di mengerti dan di hargai sebagai bahan rujukan bagi umat yang ingin mempelajari dan memperdalami iman Katolik. Perlu kita melihat ke akar umbi bahawa umat awam Katolik juga punya minat untuk mendalami imannya dengan bahan yang tersusun sistematik dan baku agar jelas mengenai imannya sendiri. Maka tidak hairan, ramai umat awam yang hanyut pindah gereja dan parahnya pindah agama dan keadaan ini amatlah memprihatinkan.
Saya bersyukur dengan usaha tim yang banyak membuka mata saya dan umat awam yang lain yang selama ini mau mendalami dan mengasihi Iman Katolik dan semoga masukan ini dapat diberi pertimbangan oleh pihak gereja Katolik di mana pun.
Shalom
Linda.
[Dari Katolisitas: Gereja Katolik (katolik artinya universal) mencakup artian bahwa Gereja merangkul semua yang baik dari ritus-ritus yang ada dalam kehidupan Gereja sepanjang berakar dari pengajaran para rasul. Untuk itulah maka Gereja Katolik mengakui adanya ritus Tridentine, Novus Ordo, maupun beberapa ritus Gereja Timur -yang dalam kesatuan dengan Gereja Katolik. Yang penting adalah semua tata cara liturgi dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan maksud/ maknanya, walaupun memang harus diakui ini merupakan proses juga dalam pertumbuhan Gereja.]
dengan perantaraan siapa kita berdoa,,,bila kapada Allah Bapa ,,,Yesus,,,dan pada bunda Maria
Shalom Bernardus Labhu,
Kepada Allah Tritunggal kita mengarahkan doa kita, yaitu kepada Allah Bapa, yang oleh perantaraan Yesus dan kuasa Roh Kudus dapat kita panggil sebagai “Bapa Kami”. Namun kita dapat pula memohon agar Bunda Maria dan para orang kudus di surga mendoakan kita, seperti halnya kita meminta agar saudara-saudari kita yang masih hidup di bumi mendoakan kita. Sebab di surga, para orang kudus berdoa bagi kita (Why 5:8), dan doa mereka sangatlah besar kuasanya sebab mereka orang-orang yang sudah dibenarkan oleh Allah sendiri (Yak 5:16) oleh karena kesempurnaan kasih yang mereka perbuat di dunia.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Bp. Steff dan Ibu Inggrid yang dikasihi Tuhan,
Perkenankan saya untuk menyampaikan beberapa pertanyaan sederhana yang selama ini saya sendiri masih bingung untuk menjawabnya, sbb :
1. berkaitan dengan penggunaan alat musik dalam Gereja Katolik/GK, apakah cara beribadat yang dilakukan selama ini oleh kelompok Karismatik di tiap-tiap paroki selama ini yang menggunakan alat musik band (drum, piano,keyboard, gitar listrik dll)tidak menyalahi tata aturan peribadatan dalam GK?dan apakah sudah pada tempatnya jika ibadahnya dilakukan didalam gedung gereja?sementara kita tahu bahwa didlm gedung gereja tersimpan Tabernakel yang seharusnya harus dijaga kesakralannya?
2. Manakah yang benar kata “Surga” dan “Roh Kudus” ( yang sering kita lafalkan di GK ) atau “Sorga” dan “Rohul Kudus” sebagaimana yang sering diucapkan oleh saudara/i kita dari gereja Kristen?
Demikian, mohon informasinya.
Salam,
Antonius K
Shalom Antonius K,
1. Menurut dokumen tentang Musik Gerejawi, dikatakan bahwa pada prinsipnya, alat-alat musik yang dapat digunakan untuk musik liturgi tidak boleh bernuansa profan (yang berisik/ riuh rendah). Tentang bolehkah drum digunakan untuk musik liturgi, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik, dan silakan pula membaca tanya jawab di bawahnya. Sedangkan tentang apakah lagu-lagu pop boleh dinyanyikan di Misa/ perayaan Ekaristi, silakan klik di sini.
2. Untuk pertanyaan Anda yang kedua, saya pikir lebih berkaitan dengan aturan bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Surga ataupun surga keduanya dapat dipakai, dengan arti yang sama. Tetapi kalau kata Roh dan Rohul, maka yang benar adalah Roh, sebab dikatakan di sana kata Rohul tidak ada dalam kamus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Saudara Stef yang baik, terima kasih atas jawabannya.
Sekali saya tegaskan bahwa saya sangat terganggu dengan penggunaan istilah pelanggaran liturgi.
Perbandingan yang saya angkat berkaitan dengan tata ibadat Yahudi yang dikritik Yesus tidak ada sangkut pautnya dengan pengingkaran agama Yahudi tentang ke-Allah-an Yesus. Di sana saya tidak memperdebatkan dogma. Yang saya angkat adalah kritik Yesus terhadap ritualisasi dalam agama bangsa-Nya. Jangan lupa bahwa saat itu Yesus adalah penganut agama Yahudi dan beliau mengritik praksis liturgi yang kaku dan legalistis dalam agama Yahudi. Saudara sangat keliru, ketika mengalihkan kritik Yesus terhadap tata ibadat Yahudi ke pengingkaran Yesus sebagai Tuhan oleh agama Yahudi.
Sebagai anggota gereja katolik saya tahu bahwa semuanya diatur oleh Magisterium Gereja, namun ketika aturan itu dijaga secara ketat agar dilaksanakan maka saya sangat risih. Segala yang diajarkan Yesus adalah benar, namun segala yang diajarkan Magisterium Gereja tidak seluruhnya benar karena di sana ada aspek manusiawi.
Tradisi bagi saya bukanlah “menyembah pada abu” seperti yang diwakili oleh para pakar liturgi yang konservatif seperti Romo Boli. Bagi saya tradisi berarti “meneruskan api”…semangat, hidup yang harus diteruskan bukannya menyembah pada kebakuan aturan…
Kebenaran tidak selamanya diacu pada ajaran tertentu, saya bisa menyatakan kebenaran sesuai dengan akal budi saya…Kebenaran bukanlah milik eksklusif ajaran gereja atau magisterium….setiap manusia adalah peziarah kebenaran. Kebenaran tidak bisa dikandangkan dalam ajaran Magisterium. Kebenaran itu ada dalam diri setiap individu.
Segala tata kehidupan ibadat atau liturgi kita dalam gereja katolik dengan pembelaan aturan yang kaku seolah-olah itulah jalan satu-satunya menuju kebenaran justru semakin mendekatkan saya akan kritik Yesus terhadap praksis ibadat agama Yahudi yang legalistis. Aturan boleh ada, tetapi aturan tersebut harus menjamin kebebasan kita sebagai anak-anak Tuhan dalam beribadat, dan bukannya kesalahan kecil lantas dilihat sebagai pelanggaran…..
Syalom
Shalom Elton,
Kalau kita mau melihat tentang adat istiadat Yahudi, maka tidak semua adat istiadat Yahudi dikecam oleh Yesus. Untuk itu, silakan membaca tentang tiga hukum di dalam Perjanjian Lama, yang terdiri dari hukum seremonial, hukum yudisial, dan hukum moral, di sini – silakan klik. Kalau kita melihat Yesus yang lahir di dalam konteks budaya Yahudi, maka Dia juga seorang Yahudi yang taat. Jadi, tidak semua tradisi Yahudi ditolak oleh Yesus, walaupun Dia juga memperbaharui jiwa dari semua tradisi tersebut. Dalam konteks Misa, jiwa dari perayaan iman kita adalah Kristus sendiri. Semua bagian mempunyai arti yang mendalam, yang dapat mengantar umat beriman untuk semakin dekat dengan misteri Paskah Kristus, yang pada akhirnya akan membawa manusia kepada kekudusan. Prinsip kedua adalah liturgi adalah milik Gereja dan bukan milik individual. Dengan demikian, menjadi tugas Gereja untuk menjaga warisan ini dan meneruskannya kepada generasi berikutnya.
Sering orang mengatakan bahwa segala yang diajarkan Yesus adalah benar, namun segala yang diajarkan Magisterium Gereja tidak seluruhnya benar, karena ada aspek manusiawi. Pertanyaannya, apakah parameter bagi kita untuk menentukan kebenaran dan siapakah otoritas terakhir untuk menentukan bahwa sesuatu benar atau salah? Orang sering lupa bahwa Magisterium Gereja merupakan kuasa yang diberikan oleh Yesus sendiri kepada Petrus dan penerusnya – para paus (lih. Mat 16:16-19) dan kepada para rasul dan penerusnya – para uskup (lih. Yoh 20:21-23). Kalau sebagai umat Katolik, kita mengesampingkan ajaran Magisterium Gereja, maka sebenarnya secara tidak sadar kita menempatkan diri lebih tinggi dari Magisterium Gereja. Kalau Magisterium Gereja tidak boleh untuk menuntut suatu peraturan dijalankan, maka apa gunanya peraturan ini dibuat? Dan apa namanya kalau peraturan dilanggar dan tidak ditaati? Menurut saya, nama yang tepat adalah pelanggaran. Kalau istilah perkataan ini terlalu keras bagi anda, maka minimal anda dapat mengerti konteks dari diskusi ini, sehingga esensi dari diskusi tidak terhapuskan, hanya karena penggunaan satu kata yang tidak berkenan.
Setiap orang memang mempunyai kapasitas untuk mengetahui kebenaran. Namun, dengan jujur kita harus mengakui bahwa masing-masing individu mempunyai keterbatasan, seperti terbatas dalam bahasa asli, terbatas dalam pengetahuan filosofi dan teologis, terbatas pengetahuan akan liturgi, dll. Dengan demikian, adalah baik bahwa dengan segala kerendahan hati, kita menimbang apa yang dikatakan oleh Magisterium Gereja dan mengikuti apa yang digariskan oleh Magisterium Gereja. Hanya dengan demikian, maka kesatuan umat beriman dalam dogma dan liturgi serta moralitas dapat tercapai.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saudara Stef yang baik,
terima kasih atas jawabannya.
1. Coba saudara baca Injil secara benar: Gerakan keagamaan yang dilancarkan Yesus adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik kultur peribadatan agama Yahudi yang ketat dan akhirnya membuat orang merasa diri tídak bebas lagi. Segala tingkah laku orang diamati, apakah hal itu sesuai dengan aturan yang ada atau tidak. Di balik semuanya terdapat hegemoni kekuasaan agama yang dikenakan oleh para pemimpin agama dan ibadat. Saya kira seandainya Yesus datang lagi saat ini, Ia pasti menyerukan perubahan dalam Gereja Katolik juga perubahan soal aturan beribadat kita dan hampir pasti Gereja pasti akan mengusir-Nya dan menuntut penyaliban terhadap-Nya.
2. Saya tahu bahwa Yesus meneruskan kuasa-Nya kepada Petrus dan Penerusnya, namun di sini perlu saya tegaskan bahwa Petrus dan penerusnya bukanlah Yesus, mereka tetaplah manusia. Dengan demikian ajaran Magisterium tidak boleh kita terima secara buta karena toh ajaran itu dirumuskan oleh manusia. Yesus tidak pernah mendidik para murid-Nya sebagai para penurut yang buta, tetapi yang kritis. Saudara Stef perlu membaca sejarah gereja, di sana terbukti bahwa ada begitu banyak ajaran Magisterium yang ternyata keliru.
Salam
Shalom Elton,
Ini adalah jawaban saya yang terakhir tentang topik ini. Mengapa Yesus mengutuk kaum Farisi dan ahli taurat, kita dapat melihatnya pada ayat-ayat sebagai berikut:
Dari sini kita dapat melihat bahwa kaum Farisi dan ahli taurat adalah orang-orang yang menekankan apa yang ada di luar tanpa memberikan penekanan kepada apa yang terjadi di dalam. Kalau anda ingin mengatakan bahwa ini terjadi dalam Gereja Katolik karena Gereja Katolik menekankan aspek liturgi, maka sesungguhnya hal ini tidak tepat, karena Gereja Katolik juga menekankan spirit dari liturgi. Dan menurut saya kesimpulan anda bahwa kalau Yesus datang Dia akan menyerukan perubahan-perubahan dan Gereja akan mengusir Yesus dan menyalibkan Yesus, sesungguhnya hanya merupakan angan-angan yang tidak mempunyai dasar apapun. Namun, kalau kita melihat Kitab Suci, maka kita dapat melihat bahwa Yesus sendiri mendirikan Gereja di atas Petrus – yang diteruskan oleh penerusnya, para Paus – serta memberikan kuasa untuk mengajar dan melindungi Gereja-Nya (lih. Mat 16:16-19). Dan kalau kita melihat, konsili Vatikan II adalah salah satu karya nyata dari gerakan Roh Kudus di dalam Gereja Katolik, yang terus memberikan inspirasi kepada Gereja-Nya.
Sayang, pada point yang kedua anda tidak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang saya berikan sebelumnya. Diskusi tentang pada kondisi apakah seorang Paus dapat memberikan keputusan yang tidak dapat salah dapat dilihat di sini – silakan klik. Silakan juga melihat dialog tentang perpecahan gereja ini – silakan klik. Dan silakan juga membandingkan tingkatan ajaran Magisterium di sini – silakan klik. Kalau anda mengatakan bahwa ada banyak ajaran Magisterium Gereja yang keliru, silakan menyebutkan di manakah ajaran yang menyangkut iman dan moral yang keliru? Orang yang mengikuti ajaran Magisterium Gereja Katolik bukanlah penurut yang buta, namun secara sadar mereka memberikan dirinya kepada kebenaran, karena mereka menyadari bahwa Kristus telah memberikan kuasa mengajar kepada Magisterium Gereja. Atas dasar ketaatan kepada Kristus, maka dengan sadar mereka tunduk terhadap keputusan Magisterium Gereja. Akhirnya saya ingin menutup diskusi ini, karena saya pikir masing-masing dari kita telah memberikan argumentasi. Dan terus terang, kami juga mempunyai keterbatasan waktu. Semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam, Elton
Saya percaya Elton sangat perhatian dengan Kristus dan Gereja sehingga Elton berusaha mengungkapkan pendapat Elton. Namun, saya mengundang Elton untuk melihat dari sudut yang berbeda.
Banyak orang, baik sadar ataupun tidak, mengasosiasikan kata Gereja dengan kumpulan manusia yang ditahbiskan menurut hierarki ciptaan manusia dan penuh dengan berbagai intrik dan kekurangan. Hal ini sungguh kurang tepat karena sesungguhnya Gereja lebih luas dari itu.
Sebagaimana Gereja Perdana terdiri dari Para Rasul dan umat beriman, demikian pula Gereja saat ini. Kita selaku umat beriman adalah anggota Gereja, begitu pula para klerus, termasuk Paus dan Dewan Uskup. Semuanya adalah anggota Gereja yang membentuk Tubuh Mistik Kristus dan Kristus menjadi Kepala Gereja.
Sebagaimana pula tubuh memiliki organ yang berbeda, setiap anggota memiliki tugas, karunia, dan peran yang berbeda. Adanya perbedaan dan hierarki dalam Gereja sungguh adalah kehendak Kristus sebagaimana Ia menginginkan otak memiliki fungsi yang berbeda dengan liver dan otot. Namun demikian, tidak berarti yang satu lebih inferior dari lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana hidup kita bila salah satu saja organ kita rusak. [dari katolisitas: Walaupun kita juga dapat melihat bahwa ada organ yang memang vital – yang tanpanya semua aktifitas terhenti. Ada organ yang tanpanya, manusia tidak dapat melakukan tugasnya secara sempurna]
Magisterium adalah penerus para Rasul yang mendapat tugas khusus dari Kristus, yakni membimbing kita para umat beriman agar tidak tersesat keluar dari ajaran Kristus. Tentu saja, karena tugas ini krusial, Allah tidak meninggalkan beban ini hanya diatas pundak manusia. Roh Kudus menyertai mereka dan menjaga agar tidak menyesatkan domba gembalaannya. Memisahkan peran Roh Kudus dari tugas Magisterium adalah suatu kesombongan, karena bila kita selaku umat beriman saja dibimbing oleh Roh Kudus, terlebih lagi mereka yang diberi mandat mengajar oleh Kristus.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap anggota Magisterium adalah manusia biasa yang dapat memilih berbuat dosa. Karunia Roh Kudus tidak menghilangkan pilihan mereka untuk berbuat dosa. Allah menjaga agar mereka tidak mengajarkan hal yang sesat, namun tidak menjamin mereka dapat memberikan contoh yang 100% benar. Sebagaimana St. Petrus pernah memberi contoh yang kontradiktif dengan apa yang ia sendiri ajarkan.
Pada akhirnya, kita selaku umat beriman mendapat karunia untuk mematuhi Kristus sebaik mungkin dan mendukung Magisterium dengan kepatuhan kita. Kepatuhan pada Gereja memang bukan kepatuhan tirani, namun kepatuhan karena sadar kita mencintai Kristus dan TubuhNya. Apa yang Magisterium berikan dan wejangkan sama seperti yang diwejangkan oleh Para Rasul pada umat beriman Gereja Perdana. Yang kita bisa lakukan adalah mematuhi semampu kita sambil berusaha merendahkan hati agar mampu memahami apa yang ingin Allah sampaikan melalui Magisterium. Sebagaimana Yesus menyuruh para murid mematuhi ajaran kaum Farisi tanpa mencontoh perbuatan buruk mereka, marilah kita patuh pada Gereja tanpa mencontoh teladan buruk yang mungkin pernah dilakukan beberapa putra-putri Gereja yang kurang pantas. Toh, kita dapat menghitung berapa perbandingan oknum tersebut dengan santo-santa, tokoh besar, dan berbagai karya Gereja sepanjang abad. Saya yakin, Allah berbicara melalui Magisterium dan mengajak kita untuk semakin rendah hati. Amin
Semoga berguna..
Pacem,
Ioannes
Saudara Stef,
singkat saja saya jawab:
1. Teks kitab suci yang saudara angkat justru tepat dengan membenarkan pendapat saya tentang kemungkinan kritik Yesus terhadap tata liturgi yang kaku dalam gereja katolik saat ini. Kaum Farisi dan Taurat pada zaman kita adalah Romo Boli dan teman-temannya.
2. Saya hanya sebuat satu contoh ajaran Magisterium pada masa lalu yang keliru lewat anggapan. extra eccliam nulla salus…di luar gereja tidak ada keselamatan…..ayo mari bersikap kritis terhadap ajaran saat ini, jangan sekadar penurut saja…
Salam
[dari katolisitas: Menjadi hak anda untuk memberikan tuduhan kepada orang-orang yang ingin menerapkan liturgi dengan benar, tanpa mau mendengarkan penjelasan apapun. Kalau anda ingin berdiskusi tentang EENS, silakan mempelajari terlebih dahulu perkembangan dogma ini, yang sebenarnya tidak pernah diubah. Kalau anda mau, silakan mencari artikel dan tanya jawab dengan kunci EENS – silakan klik. Minimal, cobalah untuk mengerti apa yang SEBENARNYA diajarkan oleh Gereja Katolik.]
Shalom Elton.. ^^
Sebelum anda berusaha untuk mengkoreksi mengenai Magisterium Gereja, sebaiknya anda mengkoreksi pola pikir anda terlebih dahulu..
Pola pikir anda pada point yang Pertama “Saya kira seandainya Yesus datang lagi saat ini, Ia pasti menyerukan perubahan dalam Gereja Katolik juga perubahan soal aturan beribadat kita dan hampir pasti Gereja pasti akan mengusir-Nya dan menuntut penyaliban terhadap-Nya”
Pemikiraan anda sudah keliru, Tuhan Yesus tidak akan mengubah apa yang sudah Ia dirikan.. Ia sudah mempersiapkan sebuah batu karang (Sebuah pondasi) dimana Ia membangun Jemaat-Nya.. Silakan Baca, Resapi dan Renungkanlah perikop Injil Matius 16:18.. dan juga mengenai perubahan soal aturan ini dibuat bukan berdasarkan keputusan yang main2 juga.. dan pastinya dibutuhkan waktu yang tidak sebentar, karena perlu pengkajian serta pertimbangan2 yang sesuai dengan ajaran Kristus dalam proses pembuatannya..
lalu..
sdr Elton pikir Tuhan Yesus asal2an memilih orang..? sehingga Elton mengatakan “Yesus meneruskan kuasa-Nya kepada Petrus dan Penerusnya, namun di sini perlu saya tegaskan bahwa Petrus dan penerusnya bukanlah Yesus, mereka tetaplah manusia. Dengan demikian ajaran Magisterium tidak boleh kita terima secara buta karena toh ajaran itu dirumuskan oleh manusia. Yesus tidak pernah mendidik para murid-Nya sebagai para penurut yang buta, tetapi yang kritis.”
sdr. Elton tidak mempercayai manusia yang sudah diutus Oleh Tuhan Yesus secara langsung..? tidak mempercayai orang yang sudah menerima karunia khusus lewat Pantekosta..? dengan orang pilihanNya saja kurang percaya, apalagi dengan yang mengutus Petrus..
Ingat.. kepada Petruslah kunci kerajaan surga diberikan, dan itu bukan tanggung jawab yang main2.. bukannya melebih2kan, tapi itulah kenyataannya..
Sdr juga mengatakan “di sana terbukti bahwa ada begitu banyak ajaran Magisterium yang ternyata keliru.” ..? bisakah anda menyebutkan bagian mana yang keliru..?
yang keliru bukan pada Magisterium Gereja, akan tetapi disposisi hati anda yang kurang menghayati benar (Ngawur-mology)..
__________________________________________________________________
Rendah Hatilah, karena dengan demikian Ia akan berkenan kepadamu..
Berkah Dalem Gusti..
Fiat Voluntas tua..^^
@ Elton:
Mungkin Anda bisa menggambarkan Tata Liturgi yg sederhana yg tidak seperti yg diatur dlm Tata Liturgi yang ditetapkan oleh Roma.Karena dari komen² Anda belum bisa saya bayangkan Tata Liturgi seperti apa yang Anda maksudkan itu. Apakah nanti Tata Liturgi “Anda” itu jadi patokan Tata Liturgi Gereja Katolik atau tidak, atau bagaimana begitu, atau boleh dipakai atau bebas dipakai atau tidak?
Atau mungkin dengan kata lain: bagaimana berliturgi seperti yg Yesus maksudkan dalam Injil?
Tks. Salam.
Saya hanya mau bertanya kepada Anda, apakah Anda merasa terganggu atau tidak dengan penggunaan istilah “pelanggaran liturgi”? Memangnya beribadat kita bagaikan selaras dengan “pelanggaran lalu lintas”?
Submitted on 2012/06/11 at 10:34 pm | In reply to Romo Bernardus Boli Ujan, SVD.
Romo Boli, tolong ganti istilah “pelanggaran liturgi”. Istilah ini berkonotasi sangat mengerikan dan jika istilah ini tetap dipakai, bagi saya, Romo Boli dalam hal itu tidak jauh bedanya dengan “polisi lalu lintas”…
Terima kasih
[dari katolisitas: Terus terang, saya heran dengan Anda yang mempermasalahkan kata “pelanggaran”, namun dengan gampang menuliskan “goblok” dalam komentar Anda yang lain kepada pembaca lain – (komentar tersebut tidak dimasukkan). Manakah dari dua kata tersebut yang lebih selaras dengan hukum kasih?]
Saudara Stef yang baik,
terima kasih atas jawaban alias argumentasi yang menarik. Saya setuju dengan apa yang saudara sampaikan, namun saya merasa sangat terganggu dengan penggunaan rumusan “pelanggaran liturgi”. Rumusan ini sangat mengerikan. Saya setuju bahwa harus ada aturan untuk gestikulasi liturgis bersama, namun jangan lupa bahwa orang harus juga beribadat secara bebas, tanpa ada pikiran untuk melakukan aturan liturgi secara benar atau tidak. Pelbagai diskusi di forum ini bisa mengarahkan orang kepada legalisme yang sangat membahayakan. Jangan lupa bahwa justru legalisme, penetapan aturan yang kaku dalam praksis agama Yahudi dilawan oleh Yesus. Yesus menyampaikan ajaran dan cara beribadat-Nya sambil berjalan keliling tak lain dari protes terhadap praktek peribadatan dalam Bait Allah dan Sinagoga Yahudi yang sangat menekankan pelaksanaan aturan. Mari kita baca injil secara benar dan melihat sikap Yesus dari Nazaret. Mungkin kita membutuhkan “yesus-yesus baru” untuk membuka mata para “ahli Taurat, imam yahudi dan Farisi modern” seperti para “pakar liturgi misalnya Romo Boli…untuk sanggup membedakan antara yang inti dan tambahan, yang utama dan sampingan.
Syalom
Elton
Shalom Elton,
Pelanggaran liturgi adalah untuk menunjukkan bahwa memang di lapangan terjadi pelanggaran-pelanggaran liturgi yang sebenarnya tidak perlu. Pelanggaran-pelanggaran seperti ini mungkin terlihat sepele, namun dapat mengaburkan makna yang hendak dicapai dalam perayaan iman. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana seluruh umat Allah berusaha mengerti makna setiap bagian dari liturgi, sehingga apa yang digariskan dalam pedoman Misa dapat dihayati kebenarannya untuk mengantar kita Tuhan, sehingga liturgi bukan dipandang sebagai sesuatu yang kaku dan membosankan.
Orang dapat saja menyikapi diskusi dogma dan doktrin dari sisi legalisme. Namun, di satu sisi, orang dapat memandangnya dan menghayatinya dari sisi pencarian kebenaran. Dan karena Kristus sendiri yang adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup (lih. Yoh 14:6) memberikan kuasa kepada Gereja untuk memberikan pengajaran (lih. Mat 16:16-19), maka sudah semestinya, kita juga menempatkan pengajaran Magisterium Gereja di atas pengertian pribadi.
Kita tidak dapat membandingkan antara Gereja Katolik dengan umat Yahudi, karena umat Yahudi menentang ke-Allahan Yesus dan Gereja Katolik justru mempercayai dan terus mempertahankan Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Saya sangat setuju bahwa kita harus membaca Injil secara benar. Dan konsekuensinya, sebagai umat Katolik kita juga taat akan apa yang diajarkan oleh Magisterium Gereja – baik dalam hal iman dan moral, serta liturgi. Jadi, dengan penuh kerendahan hati, kita mencoba mengerti, mendalami dan menghayati ajaran Magisterium Gereja, yang senantiasa bersumber pada Kitab Suci dan Tradisi Suci. Dan itulah yang dilakukan oleh Romo Boli. Kalau kita berdiskusi hanya berdasarkan “menurut saya” yang tidak mempunyai acuan yang benar, maka pada akhirnya kita akan terjebak pada relativisme, yang kemudian akan mengaburkan kebenaran.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Menurut saya, istilah “beribadat secara bebas” lebih mengerikan lagi.
Ibadah yang dilakukan dengan sembrono sama saja dengan menghina Allah. Allah sendiri meminta agar manusia memperlihatkan penghormatannya melalui sikap (Musa diminta melepaskan sandalnya waktu Allah menampakkan diri di semak yang menyala), busana (pakaian para imam Perjanjian Lama yang diatur secara detil) dan hal-hal lain yang bisa dilihat oleh manusia lainnya. Namun, hal itu bukan syarat mutlak apabila manusia memang tidak bisa memenuhinya.
Yang dilawan oleh Yesus adalah peraturan ketat yang tidak punya makna, yang bertujuan hanya mencari-cari kesalahan orang, yang menomorduakan kasih dan menempatkan manusia di bawah peraturan.
Liturgi dalam Gereja Katolik berusaha memfasilitasi kerinduan seluruh manusia dengan bermacam-macam latar belakang dan kepribadian yang ingin mendekat kepada Tuhannya (oleh karena itu, perlu ada otoritas yang mengatur, tidak bisa sembarangan diubah menurut selera seseorang atau sekelompok orang tertentu. Lain halnya dengan gereja non Katolik yang biasanya lebih homogen, jemaatnya punya gaya ibadat yang hampir seragam, dll) sambil tidak melupakan atau meremehkan ke – Maha Besar – an Tuhan yang hendak dihampiri.
Saya yakin Tuhan akan tetap menerima saya meskipun saya beribadah di gereja padahal saya belum mandi. Tetapi, demi penghormatan kepada Tuhan dan mempertimbangkan bahwa bukan hanya saya yang mau beribadah di gereja, maka sebisa mungkin saya mandi dulu sebelum ke gereja.
“Yesus2 baru” juga tidak diperlukan, karena Gereja Katolik masih dalam pengawasan, bimbingan dan dijamin oleh Yesus Kristus yang asli sampai sekarang. Saya yakin Gereja Katolik juga bersyukur memiliki banyak “ahli Taurat, imam yahudi dan Farisi modern” yang benar-benar menjalankan tugasnya dengan kasih dan tidak hanya berhenti pada peraturan belaka.
syalom semua
berbicara liturgi, saya juga baru tahu ada yang namanya pelanggaran liturgi, kecuali masalh pemilihan lagu.
1. liturgi di banyak gereja katolik yang saya tahu juga tidak sedetail itu, misalnya masalah mencelupkan anggur sendiri, ini tidak akan terjadi, karena kenyataannya umat hanya menerima hosti, hahaha…. apalagi masalah patena umat, lha wong gereja sendiri juga tidak menyediakan lebih-lebih romonya juga idak memberi tahu, dan umumnya umat hanya menerima pakai tangan.
2.wah, jadi bagaimana haruskah kita mengikuti aturan liturgi secara benar ( atau kaku, menurut saudara elton)? bagi saya justru suatu kebanggaan bisa melakukan liturgi secara lebih rinci.
lantas apakah dengan terlalu ‘kaku’nya liturgi malah tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Tuhan Yesus sendiri (yang katanya memprotes ibadah Yahudi yang kaku)?
( Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.(Mat 23:23)
jadi inti ayat ini menurut saya :Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.
mana yang harus dilakukan? adalah liturgi (tentang persembahan pada ayat diatas)
mana yang jangan diabaikan? adalah belas kasihan dan kesetiaan.
pertanyaanya :
apakah dengan mematuhi liturgi membuat kita mengabaikan belas kasihan?
pertanyaan lainya :
apakah dengan dibuat undang-undang dan hukum (yang harus dipatuhi) suatu negara akan mengekang kebebasan dan kemerdekaan bangsanya?
Romo Boli yang baik,
yang pasti bahwa gestikulasi yang tidak sesuai dengan rubrik liturgi bukan berarti dosa atau pelanggaran berat. Beberapa jawaban Romo membenarkan celotehan bahasa Latin “Roma locuta causa finita”, Roma bersabda dan persoalan selesai…benar bahwa Romo tamatan Roma,namun keselamatan datang dari Yesus Kristus, bukan dari Roma atau dari gestikulasi liturgi yang kaku, kayak Romo Boli…
Romo Boli memang konservatif..salam….keselamatan itu datang dari Yesus Kristus..bukan dari aturan dan gestikulasi liturgi…
Shalom Elton,
Menurut saya, di dalam forum liturgi di situs ini, sebenarnya tidak ada yang mendiskusikan dosa atau tidak. Yang didiskusikan adalah bagaimanakah sebenarnya aturan liturgi yang benar, sehingga dapat mengantar umat untuk dapat beribadah dengan baik, karena sebenarnya liturgi Gereja Katolik adalah begitu kaya akan elemen dan makna. Jadi, dalam kapasitas Romo Boli sebagai doktor di bidang liturgi, maka dia dapat memberikan masukan kepada kita agar kita dapat merayakan iman kita dalam liturgi dengan baik. Kalau semua orang mempunyai kebebasan dalam menyelenggarakan liturgi tanpa aturan yang baku, maka sesungguhnya kita kehilangan semangat liturgi yang menyatukan seluruh umat beriman di seluruh dunia. Jadi, kita dapat melihat aturan liturgi dari sisi yang berbeda, yaitu membantu umat beriman semakin menghayati imannya dengan melakukan perayaan iman yang sarat makna dan simbolisme serta menghayatinya dengan baik, sehingga iman kita dapat semakin dikuatkan. Semoga argumentasi ini dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam, Elton
Syukur pada Allah yang mengaruniai Elton pemikiran yang kritis. Keselamatan memang datang dari Yesus dan hanya dariNya seorang. Bukan Gereja yang mengaruniakan keselamatan bagi umat Kristus.
Namun, perlu kita akui dengan rendah hati, Kristus sendiri yang mendirikan Gereja. Lengkap dengan seluruh deposit kebenaran, Kuasa Mengajar Gereja (Magisterium), dan umat awam sebagai anggotanya. Dengan hembusan RohNya, Ia memberikan Magisterium sebagai pengantara universal untuk menyatakan tuntunanNya. Alangkah indah rencanaNya. Melalui ketaatan kita pada Gereja, kita menyatakan ketaatan kita pada Kristus. Dengan berusaha menaati gembala yang telah Ia pilih sendiri, kita melatih kerendahan hati kita dalam tidak menentukan sendiri kebenaran yang kita ingini.
Kita berlatih membiarkan Tuhan berkarya pada diri kita, termasuk melalui ketaatan kita pada Gereja. Semoga dosa tidak lagi kita pandang dalam bentuk legalisme melanggar “Do & Don’ts List”, melainkan seberapa besar kita berkehendak untuk patuh padaNya melalui segala cara yang Ia mau untuk kita patuhi, termasuk melalui Gereja. Demi cinta kita pada Kristus.
Semoga Allah memberikan pada kita kerendahan hatiNya. Amin
Pacem,
Ioannes
Saudara Ioannes, terima kasih atas tanggapannya: Saya hanya mengajukan pertanyaan berikut kepada saudara berkaitan dengan aturan liturgi kita yang begitu banyak, rumit dan kaku: Apakah aturan liturgi kita saat ini masih dekat dengan sikap hidup Yesus dari Nazaret? Sekali lagi saya tegaskan: Gerakan keagamaan Yesus dari Nazaret pada prinsipnya tidak bisa dipisahkan dari praksis ritualisasi agama Yahudi yang kaku dan legalistis. Yesus mau agar semuanya disederhanakan. Lantas apa yang dibuat gereja saat ini: Semuanya diatur secara ketat dan yang tidak menurutinya ditilik sebagai pelanggaran….Seandainya Yesus datang lagi pada zaman kita, mungkin kita tidak mengenal-Nya, karena sebagaimana dahulu di Palestina, Ia rupanya akan mengritik praksis ibadat kita dengan aturan yang ketat, rumit dan kaku..
[dari katolisitas: sayang sekali kalau orang yang hendak menerapkan liturgi dengan benar dianggap kaku dan rumit. Kalau saja kita dapat melihat bahwa peraturan dibuat untuk membawa umat Allah semakin dekat dengan Yesus, maka kita akan dapat melihat peraturan liturgi dari sisi yang lebih positif. Coba juga melihat tanpa aturan yang baku dan jelas, maka akan terjadi pergeseran jiwa dari perayaan iman. Menjadi hak bagi seluruh umat Allah untuk merayakan liturgi dengan baik. Untuk itulah peraturan dibuat.]
Hallo Katolisitas,
apa itu liturgi yang benar dan sejati? Ibadat atau liturgi yang sejati adalah liturgi kehidupan, lantas mengapa anda secara begitu saleh mempertahankan penerapan aturan liturgi dan yang tidak menurutinya dianggap pelanggaran. Silahkan baca injil Matius tentang pengadilan terakhir: Sang hakim pada pengadilan terakhir tidak tampil dan menanyakan “Hai Romo Boli, bagaimana sikap tangan yang benar saat mendoakan Bapa kami dalam misa? atau kapan kita berdiri, berlutut atau duduk”..Yang ditanyakan adalah “apakah anda memberi makan kepada yang lapar, minuman kepada haus, pakaian kepada yang telanjang, dll….itulah pertanyaan fundamental dan paling menentukan ..dan hal itu hanya dilaksanakan di luar peribadatan dalam gereja dengan aturan yang ketat sebagaimana dipertahankan Romo Boli dan konco-konconya…Praksis kasih adalah ibadat yang sejati…
Dengan ini saya mau menekankan bahwa janganlah kita begitu getol berguncing soal “pelanggaran liturgi”, coba arahkanlah umat kepada pemahaman liturgi yang sejati yakni liturgi kehidupan (praksis kasih).
Salam
[dari katolisitas: Ada begitu banyak dimensi dari beragama, baik tentang iman, moralitas, doa, maupun liturgi – yang menjadi manifestasi dari perayaan iman. Kalau orang membahas liturgi bukan berarti bahwa orang tersebut mengesampingkan aspek moralitas. Sebagai umat Katolik, kita mau agar semua aspek diperhatikan. Jadi, tidak ada yang mempertentangkan bahwa kita harus melakukan kasih.]
Elton dear,
Terima kasih atas keprihatinan saudara dalam menganggapi topic ini.
Mohon jangan di campur adukkan apa yang disebut sebagai Virtues dan Liturgy. Saya merasa saudara tidak jelas dengan apa yang di artikan sebagai liturgy dan apa yang di kategorikan sebagai Virtual Attitudes.
Jika anda mau belajar tentang Katekismus, anda akan mengerti bahawa Liturgy itu adalah ibadat umum,ibadat yang di lakukan dalam kelompok sebagai penyembahan kepada Tuhan. Tuhan itu pula adalah Tuhan yang teratur dan tertib. Ibadat kita adalah menurut sifat dan sikap dari ketertiban Allah itu sendiri. Bukan CHAOTIC seperti yang MUNGKIN anda sendiri pegang atau anuti.( Saya ragu ragu apakah anda Katolik, kerana pengalaman saya sebagai mantan Pantekosta dan Protestant injili dan karismatik, ungkapan dan luahan anda sungguh klise dan sejajar dengan para fanatik golongan yang saya sebutkan tadi )
Liturgy tidak dapat kita baurkan dengan VIRTUES, iaitu amal saleh yang di sebutkan oleh saudara di atas tadi. Ingat Elton, hidup kita orang Kristen di dasarkan oleh dua amal iaitu amal ibadah dan amal saleh ( penyembahan kita kepada Allah secara tertib dan amal saleh terhadap sesama )yang mana bentuknya menjadi seperti salib + ( amal ibadah kepada Tuhan ialah tiang yang menegak dan amal saleh kepada sesama adalah tiang yang horizontal ) jadi tidak mungkin Elton cuma percaya kepada amal saleh kepada sesamanya saja yang menjadi dasar hidup kristen sedangkan kita memperoleh rahmat daripada amal ibadah kita kepada Allah. Memang keduanya berbeza namun keduanya harus berjalan seiring.
Shalom,
Linda
Elton,
memberi makan kepada yang lapar, minuman kepada haus, pakaian kepada yang telanjang, dll juga harus dilakukan dengan cara yang benar.
Orang bisa memberi makan kepada yang lapar tapi makanan itu dilemparkan (alasannya biar praktis, sekalian melatih refleks), atau ditaruh dalam plastik kresek bekas sepatu kotor (alasannya biar hemat waktu ngga usah beli yang baru).
Itu bukan pertanyaan fundamentalnya. Pertanyaan fundamentalnya, apakah kamu melakukan dengan kasih? Dan pertanyaan ini pasti bukan untuk kepentingan Allah karena Ia sudah tahu apakah kita melakukannya dengan kasih atau tidak. Tetapi karena perbuatan itu juga dilihat dan dirasakan oleh orang lain (minimal oleh orang yang diberi), maka cara memberi, cara beribadah dll harus juga diperhatikan karena lewat semua hal itulah kasih kita bisa dilihat dan diketahui oleh orang lain, yang akan membuat orang tersebut pada akhirnya merasakan kasih Tuhan.
Jadi, kalau ada yang ngotot bahwa cara dan aturan itu tidak penting, kemungkinan besar orang tersebut melakukannya untuk kepentingannya sendiri.
Saudara Agung, Anda memang sangat idealis dan anda keliru dengan pertanyaan apakah menolong dengan kasih sebagai hal yang fundamental…coba anda baca dalam injil Matius tentang pengadilan terakhir secara benar…di sana cuma disampaikan ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan…dll..di sana tidak ada tertulis, “kamu memberi Aku makan dengan kasih”….bantuan Anda ketika berhadapan dengan orang yang membutuhkan bantuan sangat menentukan..di sana tidak ditanyakan apakah anda melakukannya dengan kasih..perbuatan itu sendiri dengan sendirinya adalah kasih…
Salam
[dari katolisitas: Silakan melihat artikel ini – silakan klik, tentang moralitas.]
Salam, Elton
Saya akan mencoba menjawab dari sudut pandang saya. Apabila pendapat saya ini bertentangan dengan apa yang seharusnya diajarkan oleh Gereja, mohon saya dikoreksi.
Betul bahwa Yesus menekankan kebajikan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Yesus juga tidak menyangkal atau memandang secara negatif aturan yang diajarkan oleh para kaum Farisi. Silahkan diperiksa dalam Kitab Suci bahwa Yesus menganjurkan para murid untuk menaati kebajikan dalam AJARAN para kaum Farisi, namun melarang mereka untuk meniru kemunafikan mereka.
Yang ingin ditegur oleh Yesus adalah praktek keagamaan Yahudi yang tidak dijiwai praktek cinta kasih pada Allah (yang terwujud melalui kasih pada sesama). Yesus TIDAK melarang adanya ketertiban dalam ibadah. Bahkan, St. Paulus tidak mengajarkan ibadah yang tidak teratur sekalipun dipenuhi karunia Ilahi spt bahasa roh.
Perlu kita sadari bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang Yesus sendiri dirikan. Kuasa melepas dan mengikat (istilah pada zaman Yahudi Kuno yang menunjukkan kuasa mengajar) diberikan oleh Yesus pada Petrus dan Para rasul yang diwariskan pada penerus mereka, Paus dan Dewan Uskup. Dengan menjamin penyertaanNya sehingga Gereja tidak dikuasai maut, Yesus menjamin bahwa kita bisa menaruh pengharapan bahwa apapun yang diajarkan Gereja adalah berkat kerja Roh Kudus yang berhembus dalam Gereja. SEKALIPUN ajaran tersebut belum kita mengerti atau belum tampak faedahnya dalam hidup kita, termasuk masalah ibadat.
Perlu kita sadari pula bahwa ada dimensi persembahan dalam ibadah. Misa tidak melulu adalah pesta dimana Allah memberi karunia kepada manusia, melainkan juga pesta dimana manusia boleh mempersembahkan apa yang mereka miliki kepada Allah dengan kerendahan hati. Misa tidak MELULU adalah “spiritual healing center” yang menawarkan terapi untuk menyembuhkan jiwa manusia, namun juga waktu dimana manusia bisa mempersembahkan kerendahan hatinya untuk menyembah Sang Pencipta.
Persembahan dalam misa ini merupakan persembahan perorangan sekaligus umum, personal sekaligus komunal. Apabila kita berada dalam satu team dance, kita akan bergerak sesuai dengan bagian yang telah disepakati. Sekalipun ada gerakan perorangan, seluruh gerakan telah disepakati bersama dan berjalan harmonis satu sama lain. Sebagaimana demikian pula dalam misa. Kita tidak mungkin menuntut misa untuk memenuhi ekspresi jiwa kita pribadi saja. Misa adalah personal sekaligus komunal. Apakah ada yang salah bila kita mempersembahkan “keinginan pribadi” kita dengan taat pada apa yang Gereja anjurkan sebagai bentuk ketaatan kita pada Kristus? Apabila kita gagal untuk taat dengan rendah hati kepada Gereja, apa jaminan kita untuk taat pada Kristus?
Saya mengajak anda untuk memandang pada sisi lain. Bukan legalisme lah yang terjadi saat kita tidak menaati ajaran Gereja, termasuk anjuran sikap tubuh dalam ibadah. Saat kita tidak berusaha mengikuti ajaran Gereja, dosa kita bukanlah karena pelanggaran itu sendiri, melainkan ketinggian hati kita yang menempatkan pendapat pribadi lebih tinggi dari Paus dan Dewan Uskup yang diberi kuasa mengajar oleh Kristus secara objektif. Kalau isi Kitab Suci kita berbeda, saya tidak akan berdebat lebih jauh. Mari kita berusaha merefleksikan terlebih dahulu seberapa rendah hati kita di hadapan Allah sebelum berusaha menuding orang lain yang berusaha melayani Allah semampu mereka spt Rm. Boli, apalagi Paus dan Dewan Uskup.
Pacem,
Ioannes
Sebagai pengikut Kristus saya dipanggil untuk menaati suara hati saya yang selaras dengan rasio atau akal budi…saya tidak mau percaya secara buta apa yang diajarkan Magisterium, sebagai pengikut Kristus saya adalah pribadi yang bebas, dan bukan sebagai abdi para Uskup dan imam….kita semua berjalan bersama, beziarah…dan apa yang dikatakan, diajarkan Magisterium gereja belum tentu semuanya benar, biarpun dikatakan bahwa mereka adalah pilihan Kristus….saya harus memeriksanya secara kritis. Di belakang segala aturan liturgi yang ketat sebagaimana yang diperjuangkan dan dipertahankan Romo Boli dan konco-konconya tak lain dari legitimasi kekuasaan, ja kekuasaan yang berjubah agama dan mengatasnamakan Tuhan…justru hal itu juga diserang oleh Yesus…
Shalom Elton,
Anda mengatakan bahwa Anda harus memeriksa pengajaran Magisterium Gereja (Katolik) secara kritis. Dan kalau hasil pemeriksaan Anda bertentangan dengan yang diajarkan Gereja Katolik, maka selaras dengan rasio atau akal budi saya, saya akan memilih yang diajarkan Gereja Katolik. Mengapa?
Banyak alasan dari segi kualitas dan kuantitas yang bisa diajukan seperti:
1. Pengajaran yang bisa ditelusuri sampai ke jaman para rasul (semua ajaran GK mengenai iman dan moral tidak ada yang baru karena apa yang sekarang benar, dari dulu sudah benar).
2. Jalur penggembalaan yang tidak terputus, tidak bercabang, tidak mengutamakan wahyu dan penafsiran pribadi sehingga bahaya mengikuti pengajaran manusia belaka bisa diminimalkan (bahkan dalam Gereja Katolik di”nol”kan). Uskup dan imam adalah orang yang dipilih Tuhan untuk menggembalakan dan mengatur. Argumen yang menyerang para imam dan uskup sepertinya tidak mengakui kalau Tuhan juga memilih manusia biasa sebagai rekanNya untuk menggembalakan manusia lainnya.
3. Pengalaman menggembalakan miliaran orang dari berbagai usia, latar belakang dan asal usul, berbagai kebutuhan dan keinginan, bahasa dan budaya.
4. Pengalaman iman dalam menghadapi ancaman-ancaman jasmani dan rohani, serangan-serangan orang dan bangsa-bangsa yang membenci Kristus dan GerejaNya, perpecahan-perpecahan, serangan-serangan Iblis terhadap kehidupan sehari-hari orang beriman, menghadapi mujizat2 dan nabi2 palsu.
5. Pengalaman-pengalaman iman ratusan juta orang kudus, para martir dan pendosa yang bertobat baik yang terdokumentasikan dan yang tidak.
6. Teguran dan bimbingan Tuhan Yesus atas kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan dan rahmat untuk mengakui semuanya dan mengusahakan perbaikan.
7. dan lain-lain
Semuanya itu dialami secara terus menerus selama 2000 tahun dan walaupun paus yang satu wafat dan digantikan oleh yang lainnya, apa yang dihasilkan dari pengalaman2 itu tetap diteruskan sampai sekarang dan menjadi kesaksian yang berharga untuk membantu manusia lebih mengenal Tuhan dan akhirnya memperoleh keselamatan yang telah dijanjikan.
Itu kalau dari segi rasio. Ikut Tuhan memang tidak bisa mengandalkan rasio, tapi syukurlah kalau keputusan untuk setia dalam Gereja Katolik juga bisa dipertanggung jawabkan secara akal sehat dengan alasan2 diatas.
Anda silahkan berpendapat demikian, yang pasti bagi saya, saya akan selalu bersikap kritis terhadap segalanya dan tidak mau percaya secara buta, karena bukan itulah saya dilahirkan dan dipanggil Tuhan ke dunia ini. Yang penting bagi saya adalah rasio dan nurani.
Salam, Elton
Kami tidak dapat memaksa anda untuk sependapat dengan kami. Setidaknya, dengan berdiskusi seperti ini, kita dapat belajar melihat bahwa sebenarnya peraturan dibuat bukan tanpa makna atau tujuan. Setidaknya, ini tanggapan dari sudut pandang pribadi saya :
Seperti yang telah saya utarakan : saya percaya Allah Roh Kudus bekerja membimbing Magisterium dalam tugas mereka menggembalakan kita, umatnya. Sekalipun mereka bebas memilih melakukan dosa atau tidak, saya percaya Roh Kudus menghindarkan mereka dari mengajarkan hal yang sesat. Memisahkan peran Roh Kudus dari Gereja sama dengan memenggal Kristus, sang Kepala, dari Gereja, Tubuh MistikNya.
Saya juga terpanggil untuk menaati suara hati saya dan rasio saya dalam menjadi murid Kristus. Tetapi saya sadar bahwa suara hati saya belum terbentuk dengan sempurna karena saya masih berjuang mengatasi dosa dan kecenderungan dosa saya. Suara hati saya dapat salah karena mungkin terpengaruh nilai budaya dan pemikiran yang tidak sesuai dengan keinginan Kristus.
Oleh sebab itu, rasio saya mengatakan bahwa sangat LOGIS untuk menyerahkan pembentukan hati nurani saya kepada Allah dan rekan sekerjaNya yang diberi tanggung jawab untuk mengajar : Gereja. Kristus sendiri yang memberikan tanggung jawab mengajar dan menjanjikan penyertaanNya pada Magisterium. Saya percaya Kristus takkan berbohong.
Dalam iman, saya melihat apa yang tidak bisa saya lihat bila mengandalkan logika saja : penyertaan Kristus dalam Gereja. Seperti janjinya, Kristus beserta kita, GerejaNya, hingga akhir zaman. Semoga penyertaan Kristus menghantar kita pada kerendahan hati. Amin.
Pacem,
Ioannes
Shalom Elton,
Tuduhan Anda kepada Rm. Boli sebagai “ahli Taurat, imam yahudi dan Farisi modern” sepertinya kurang tepat. Justru pakar-pakar Liturgi seperti Rm. Boli itu harus banyak. Karena krisis utama yang dialami Gereja sebagian besar adalah karena disintegrasi Liturgi. Berikut ini kutipan terjemahan dari blog teman saya:
“Tapi dia (Benediktus XVI), tentu saja, sangat peduli bahwa Liturgi harus dirayakan dengan layak dan dirayakan dengan benar. Memang, itu adalah masalah sejati. Music director keuskupan kami baru-baru ini mengatakan bahwa tidak mudah saat ini untuk menemukan sebuah gereja di mana sang imam merayakan Misa-nya sesuai dengan peraturan gereja. Ada begitu banyak imam yang berpikir mereka harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana. Jadi saudara saya (Benediktus XVI) menginginkan keteraturan, Liturgi yang baik yang menggugah orang-orang secara batiniah dan dipahami sebagai panggilan dari Allah. [3]
sumber: http://indonesian-papist.blogspot.com/2012/03/krisis-liturgi-adalah-krisis-utama.html
Dari sumber yang saya sebutkan di atas terdapat poin-poin penting mengapa Liturgi itu harus sesuai aturan, seperti PUMR (Pedoman Umum Missale Romanum) dan TPE (Tata Perayaan Ekaristi).
Salah satunya Liturgi adalah bukan milik saya, Anda, Rm. Boli, Pak Stef, sdr. Agung, sdr. Ioannes, dan yang lainnya. Dikutip dari sumber yang sama, Uskup Agung Vincent Nichols dari Inggris berkata:
“Liturgi adalah tidak pernah menjadi milik saya sendiri, atau ciptaan saya. Ini adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada kita dari Allah Bapa. Maka dari itu, selera saya sendiri, kecondongan saya sendiri, kepribadian saya, pandangan saya sendiri mengenai eklesiologi, [perlu] dikesampingkan dan tidak penting. … [Liturgi] tidak pernah digunakan sebagai bentuk ekspresi diri.Yang benar adalah sebaliknya, … Misa adalah tindakan Gereja. Itu yang penting, [dan] bukan pendapat saya.” [7]
Selanjutnya mengenai gerakan-gerakan Liturgis, tidak bisa dilakukan asal-asalan atau berpegang kepada prinsip “yang penting hati”. Berikut ini penjelasan dari sumber yang sama:
3. Prinsip “Yang Penting Hati”. Banyak Kaum Tertahbis dan awam senang sekali membenarkan Pelecehan Liturgi dengan kata-kata “yang penting hatinya”. “Gak apa-apa toh, yang penting hatinya.” “Ya sudah, gak usah diributkan, yang penting hatinya. Jangan saklek soal Liturgi.” Prinsip “yang penting hatinya” ini tidak pernah menjadi prinsip Gereja apalagi diajarkan oleh Gereja dan Kitab Suci. Apa yang diajarkan oleh Kitab Suci dan Gereja adalah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu (emosional) dan dengan segenap jiwamu (spiritual) dan dengan segenap akal budimu (rasional) dan dengan segenap kekuatanmu (fisikal).” (Mrk 12:30). Inilah empat pilar pondasi kasih sejati dalam mengasihi Allah: emosional, rasional, spiritual, fisikal. Prinsip “Yang penting hati” mereduksi cinta yang seharusnya utuh diberikan kepada Allah dalam Liturgi. Oleh karena itu, marilah kita dari sekarang menghindari prinsip “yang penting hati” dan berusaha memberikan yang terbaik kepada Allah karena Allah telah lebih dulu memberikan yang terbaik buat kita.
Salah satu contoh bagian dalam Misa Kudus adalah Credo, mengapa gerakan Liturgis harus berdiri dan harus diucapkan secara sadar dan tegas. Salah satu alasannya Credo itu adalah sumapah, bagaimana sumpah-sumpah duniawi diucapkan? Semuanya dilakukan dengan berdiri. Saya sempat teringat tentang janji kepresidenan Presiden Amerika Barack Obama, dia sempat mengulangi bagian sumpahnya untuk mempertegas pengucapan sebelumnya yang terputus. Apalagi dengan Credo, ini adalah bentuk janji dengan Tuhan. Berikut link menarik mengenai Credo:
http://luxveritatis7.wordpress.com/2012/04/25/ketika-membaca-kredo-tidak-seperti-dulu-lagi/
Akhirnya saya tutup bahwa kekakuan Liturgi bukan sebagai legitimasi kekuasaan tetapi bagaimana kita semakin sadar bahwa Ekaristi adalah puncak kehidupan Kristiani, karena Ekaristi bukan sekedar kebaktian/ibadat, bukan sekedar praise and worship, bukan sarana entertainment, tetapi Ekaristi adalah perayaan kurban Kristus, dimana Dia sungguh hadir secara nyata dalam Tubuh dan Darah-Nya.
Mari kita ketahui, maknai, cintai dan hidupi Liturgi.
* Special thanks kepada Indonesian Papist dan Lux Veritatis untuk artikel yang saya gunakan pada komentar ini.
Saya tetap berpefang pada pendapat saya bahwa Romo Boli dan konco-konconya yang begitu keras mempertahankan liturgi adalah kaum Farisi dan ahli Taurat modern. Seandaianya Yesus saat ini datang kembali,pasti mereka jadi serangan kritis Yesus dan merekalah yang palig getol menuntut penyaliban-Nya.
[dari katolisitas: Bukankah dengan tetap memberikan tuduhan seperti ini dan juga memberikan komentar yang lain dengan menggunakan kata “goblok” (tidak ditampilkan oleh katolisitas), sebenarnya Anda sendiri menjadi merasa benar sendiri dan menganggap orang yang berbeda pendapat dengan Anda adalah selalu salah? Bukankah Anda yang menuntut untuk melakukan penerapan liturgi kehidupan yang berdasarkan kasih?]
Dear Elton,
Apakah suara hati yang Anda maksud adalah suara yang ada di kepala( atau benak)? Bila benar, bukankah ada banyak suara dalam kepala kita? Sudahkah Anda melakukan discernment mengenai hal ini?
Kita semua memang pribadi yang bebas. Tapi kebebasan juga mensyaratkan kedewasaan. Contoh bebas tanpa kedewasaan, dapat kita lihat pada tokoh2 dunia yang kontroversial seperti misalnya maaf, Hitler. Apakah Hitler mendengarkan suara hatinya? (Retorik. red)
Kita juga bukan abdi Uskup atau Imam. Jika kita mengikuti penggembalaan mereka, itu bukan untuk kepentingan mereka, melainkan karena kita sadar bahwa mereka cinta Tuhan dan mereka menggembalakan umat-Nya sebagai bentuk cinta mereka kepada Tuhan.
Kita sebagai umat mengikuti Uskup atau Imam juga karena cinta yang sama. Saya pribadi tidak melihat kepentingan para Klerus ditonjolkan dalam konteks liturgi ini.
Kita memang berziarah di dunia ini, Tujuan peziarahannya adalah mengalami Tuhan. Dalam berziarah saya pun bisa saja membuka jalur sendiri, dengan mengikuti pedoman saya sendiri, namun itu memperbesar resiko berputar-putar.
Saya membantu diri saya dengan melihat bintang-bintang navigasi. Saya hanya menghindari salah arah dan berakhir di tanah antah berantah dalam peziarahan saya. Alangkah berbahayanya bila tujuan dan niatan saya sudah benar, tetapi saya tidak mengikuti arah yang tepat.
Mengkritisi ajaran Magisterium adalah sesuatu yang baik, akan tetapi tahapan sebelum mengkritisi seringkali tidak diindahkan orang, yaitu tahapan memahami. Bagaimana mungkin kita mengkritisi suatu objek yang belum kita pahami benar?
Di luar dari pada itu, kita semua adalah benar sesama peziarah. Dan sebagai sesama peziarah adalah sudah selayaknya ngobrol selama peziarahan kita sebagaimana tertuang dalam diskusi ini selama tidak melenceng dari tujuan semula.
Note : Kalau ada intensi pribadi antara Elton dengan romo Boli atau konco2nya, saya tidak bisa mengomentari.
GBU my Friends
Silahkan Anda jawab sendiri pertanyaaan Anda, yang jelas bagi saya rasio dan nurani sangat penting dalam menilai dan mencerna segala hal.
Elton,
Katolikisme mengajarkan keselamatan melalui Yesus dan itu memang telah ia perjuangkan selama 2ribu tahun lalu. Liturgy bukan bicara mengenai KESELAMATAN, liturgy adalah bentuk ibadah publik yang mencakup umat secara umum ketika berkumpul dalam nama Tuhan Yesus. Liturgy sebagai sebuah UNGKAPAN umat beriman MERAYAKAN KESELAMATAN yang diberikan oleh Kristus kepada umatNYA. Jadi sekarang, jika pada anda tidak diperlukan ketertiban dalam liturgy maka itu adalah masalah anda. Cuba anda lihat bagaimana tertibnya alam ciptaan Tuhan yang punya aturan yang mahaagung, masakan pula ibadahnya bebas tanpa tertib dan tatacara? Tuhan semacam mana yang anda imani? Tuhan yang tidak punya ketertiban dan pengaturan?
Coba, saya tanya anda, apakah anda bergereja di mana mana sahaja dan secara semberono sahaja? Apakah anda bergereja hanya menggunakan celana dalam ketika anda merasa anda bebas untuk berpakaian demikian menghadap hadirat Allah? Wah, jika demikian anda memperjuangkan kebebasan dalam berliturgy, maka silakan sahaja, saya pingin melihat sejauh mana maksud kebebasan yang anda maksudkan dalam beribadat. Sudah banyak ibadah ibadah yang bernuansa FREEDOM dalam Pentecostalisme dan Protestanisme dan itu akhirnya membawa kepada budaya HEDONISME dalam hal hal spiritual. Anda tidak menyadari bahawa budaya HEDONISME yang sedang menyerapi umat umat Pantekosta dan Protestan itu berasal dari sifat apa? Sifat berontak dan enggan tunduk kepada pimpinan.
Itulah yang berlaku kepada Israel, ketika Alkitab mencatat bahawa ” Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.”( Hakim Hakim 17 ayat 6 ) sedangkan di Alkitab menyatakan dengan jelas bahawa “Jangan kamu melakukan apapun yang kita lakukan di sini sekarang, yakni masing-masing berbuat segala sesuatu yang dipandangnya benar.” ( Ulangan 12 ayat 8)
Jadi Elton, apakah anda merasa anda sudah benar benar bebas memberikan makna dan maksud liturgy menurut apa yang anda sendiri rasa benar? Tidakah anda mempunyai pengertian sehat bahawa liturgy adalah ungkapan umat beriman yang berkumpul untuk memuliakan Tuhan baik dalam gestikulasi dan tatacara liturgy itu sendiri? Apakah anda tidak punya sikap hormat akan Tuhan yang mencipta langit dan bumi melalui setiap gerak geri tubuh badan anda? Apakah anda merasa anda bebas untuk memberikan isyarat lucah ketika beribadah di rumahnya Tuhan? Jika itu adalah pahaman anda bahawa anda boleh dengan bebasnya berbuat sekehendak hati anda dalam ibadah anda, tolong jangan menyeret kami umat Katolik dengan pahaman HEDONISME anda. Anda dengan lancang mengatakan Romo sebagai konservatif sedangkan anda sendiri sudahkah mencermin diri dan menginstropeksi diri anda sebagai mana layaknya seorang yang beriman yang punya budi bahasa dalam menyampaikan buah fikiran? Maaf bicara jika saya katakan anda tidak layak untuk mengajar arti dan maksud pelanggaran liturgy apalagi hendak mengajar tentang nilai nilai murni dalam Injil.
Salam
Linda M
Pastor Boli yth,
imam di paroki saya senang sekali berterimakasih yg berlebihan pd koor dan petugas
‘sy ucapkan terimakasih pada koor dari lingkungan…………….yg bertugas dg sangaat baiik hari ini, sy ucapkan terimakasih pd lingkungan………….yg mengurus tatib, terimakasih pd para diakon, terimakasih pd para lektor, terimakasih pd petugas persembahan, terimakasih pd umat yg telah hadir dan sekali lagi pd koor yg telah bernyanyi dg bagus’
sehingga umatpun selalu menyambut dg tepuk tangan yg gempita sebelum berkat pulang diberikan.
Sy sdh bicarakan baik2 pd pastor paroki dan jawabannya
‘yg penting kan hati kita bu’
tdk ada lagi yg bisa sy lakukan :(
Salam Marina,
Yang berlebihan umumnya menjadi kurang baik. Wajar-wajarlah. Kalau mau ucapkan terima kasih, hendaknya tidak disertai dengan ajakan untuk tepuk tangan seperti biasanya terjadi dalam acara entertainment. Kita terus berdoa agar para imam menjadi lebih peka terhadap hal-hal yang harus/perlu/bisa dilaksanakan dalam liturgi dan juga tahu serta peka terhadap hal-hal yang tidak harus/perlu/bisa dilaksanakan. Semoga.
Salam dan doa. Gbu.
Rm B.Boli.
Salam Kasih.
Saya sgt prihatin melihat imam-imam skrg ini, semoga dgn tulisan ini ada yg bisa menindaklanjuti agar umat lbh mencintai imam-imamnya. Tdk lama ini sy pindah ke JKT di salah satu paroki Dekenat Utara. Saya sangat kaget ketika di pertemuan Lingkungan, K.Lingk menyodorkan proposal pesta Imamat salah satu imam yg merayakan pesta Imamat perak dan membutuhkan dana sebesar 600 juta. Setelah saya baca dana tsb hanya untuk pesta meriah, makan-makan, dan lbh mengejutkan para imam pun mendapat uang saku 50 jt dan lebih mengejutkan lagi pesta tsb akan dihadiri Bapa Uskup KAJ, yang menjadi pertanyaan saya? Kok bisa-bisanya para DePa menyetujui pesta tsb sedangkan yg saya tahu umat paroki tsb banyak anak-anak yang tidak bisa sekolah, para orang tua yg sakit ataupun rumahnya hampir ambruk tapi Depa malah membuat pesta poranda…
Semoga tulisan saya ini bukan untuk menyakiti buat Pastor X dan Pastor Y (kami edit) yang notabene menjadi penanggungjawabnya, karena sy sangat mencintai imam dan semoga imam-imam bisa menjadi teladan buat umatnya terutama kami yg lagi mempersiapkan putra kami menuju ke panggilan imamat.
Dan untuk Rm Boli ada satu hal lagi ada seorang imam SVD yg menjadi sorotan umat karena imam tsb hidup berdua dengan seorang wanita dan beliau masih sering dipanggil menjadi imam pengganti dalam Misa Ekaristi di beberapa paroki apakah pantas menurut panggilan imamat …
Semoga apa yg sy tahu dan sy tulis disini menjadi refleksi buat kita semua, tidak ada rasa kebencian dan iri hati karena saya pun seorang umat Katolik.
Salam Kasih
Salam prihatin, Nicolas
Memang memprihatinkan, kalau proposal itu untuk satu imam yang merayakan pesta imamat perak dengan anggaran Rp 600 juta. Para imam mendapat uang saku Rp 50 juta? Untuk satu imam atau dibagi untuk para imam (berapa banyak)? Kalau untuk satu imam, apakah itu sungguh uang saku, atau uang dana untuk satu maksud lain dengan memanfaatkan momentum pesta perak imamat untuk mengumpulkannya?
Tentang imam SVD yang hidup berdua dengan seorang wanita sebagai suami istri, kalau di pastoran maka hendaknya disampaikan secepatnya kepada uskup dan pimpinan SVD (Provinsial). Bila tinggal berduaan di rumah (penginapan) di luar pastoran, jangan-jangan orangnya tidak imam lagi dengan larangan resmi dari pimpinan untuk melayani Sakramen-sakramen tetapi tega memenuhi permintaan untuk menjadi imam pengganti memimpin Ekaristi. Bila demikian segera disampaikan kepada pimpinan (keuskupan dan serikat) dan hendaknya umat tidak meminta lagi orang tersebut untuk pelayanan sakramen-sakramen.
Terima kasih untuk informasinya. Salam dan doa. Gbu.
Rm Bernardus Boli Ujan, SVD.
Shalom Romo,
Saya mau bertanya bagaimana dengan penggunaan lagu-lagu rohani pop pada saat pra pembuka sebelum perayaan Ekaristi dilakukan, dan pada saat berkat anak, juga pada bagian penutup. Apakah hal ini diperbolehkan, karena pada saat perayaan Misa anak sering dilakukan. Dan seringkali pada saat berkat anak, lagu-lagu pop rohani anak dinyanyikan dengan meriah.
Mohon masukannya.
Salam
Ratna
Salam Ratna,
Kalau ada lagu-lagu rohani pop sebelum Ritus Pembuka tak ada larangan. Tetapi sebaiknya dihindarkan lagu-lagu rohani di tengah perayaan Ekaristi, seperti pada saat anak-anak menerima berkat. Bila lagu rohani pop itu dinyanyikan sebagai lagu penutup, masih bisa dipertimbangkan. Alangkah baiknya kalau anak-anak juga dibiasakan dengan lagu-lagu liturgi yang cocok untuk mereka dalam perayaan Ekaristi, dan diberikan kesempatan luas untuk nyanyian rohani pop di luar perayaan Ekaristi, misalnya dalam kegiatan pembinaan iman, doa kelompok, sharing Kitab Suci, katekese, pelajaran agama dll.
Doa dan Gbu.
Rm Boli.
Salam Sejahtera kepada kita sekalian terutama para pembimbing situs Katolisitas.
Saya termasuk pemerhati Liturgi, ingin menanggapi beberapa poin dlm beberapa pelanggaran liturgi pada perayaan Ekaristi.
Pertama mengenai pemberian salam damai.
Hal itu dilakukan langsung setelah proses Konsekrasi dan tepat pada saat di mana kita harus memusatkan perhatian kepada TUHAN sepenuhnya dan HANYA KEPADA DIA SAJA. Pada saat itulah Tuhan berada paling dekat dengan kita tetapi justru pada saat itu umat saling melihat sekelilingnya, berjabat tangan, bahkan berpindah tempat (hal ini masih saya temukan dlm paroki saya). Seharusnya umat memusatkan perhatian terus tanpa terganggu di dalam doa yang paling dalam BERSAMA TUHAN, dan bukan berbicara sambil berjabat tangan dengan orang di sebelah kita yang mungkin tidak kita kenal. Kita bisa melakukan salam damai di luar gereja setelah selesai Misa, bahkan bisa lebih mengenal orang-orang yang mungkin belum kita kenal atau sekedar menyapa mereka. Sekali lagi hal ini membawa masuk ritus sosial ke dalam gereja, bukannya membawa Yesus lebih dekat kepada umat. Bahaya sering mengancam di balik keakraban palsu atau persatuan yang dipaksakan! Saya pribadi tidak setuju dengan salam damai. Orang yang tekun berdoa dan waspada, tidak berarti dia itu bukan manusia sosial atau suka menghakimi.
Kedua mengenai Komuni.
Seberapa hormatpun sikap badan kita (berlutut, membungkuk), selama Hosti Suci tidak diterima di lidah itu sama saja dengan tidak hormat. Saya pribadi menginginkan komuni di lidah sambil berlutut, tapi entah mengapa para uskup di Indonesia tidak melakukannya. Karena kalau kita menggali sejarah, tidak ada seorang Paus-pun yang menyetujui komuni di tangan, dan Gereka Katolik memegang hirarki.
Sekian dulu tanggapan saya, terima kasih.
Salam damai sejahtera Fendy,
Kalau salam damai itu dibuat langsung sesudah kata-kata konsekrasi, di tengah Doa Syukur Agung, sebelum Bapa Kami, itu sungguh mengganggu perhatian umat untuk merasakan kehadiran Tuhan dalam rupa roti dan anggur kudus. Saya sangat setuju dengan pendapat Fendy, dan patut disayangkan kalau ada imam yang mengajak umat melakukannya pada saat itu. Kini sedang ditanya oleh Paus-Kongregasi Ibadat kepada para Konferensi Waligereja sedunia untuk mempertimbangkan dan memberi alasan memindahkan saat salam damai dari sebelum komuni, ke saat sesudah doa umat sebelum persiapan persembahan.
Mengenai komuni dengan tangan dan sikap hormat, berlutut atau berdiri waktu menerima komuni bisa dilihat isi instruksi yang terdapat dalam Redemptionis Sacrammentum (Sakramen Penebusan) yang disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tgl 19 Maret 2004, diumumkan oleh Kongregasi Ibadat tanggal 25 Maret 2004, terjemahan Komisi Liturgi KWI September 2004, no. 90-92, khususnya no. 92: “Walaupun tiap orang tetap selalu berhak menyambut komuni dengan lidah jika ia menginginkan demikian, namun kalau ada orang yang ingin menyambut komuni di tangan, di wilayah-wilayah di mana Konferensi Uskup setempat, dengan recognitio oleh Takhta Apostolik yang telah mengizinkannya, maka hosti harus diberikan kepadanya. Akan tetapi harus diperhatikan baik-baik agar hosti dimakan oleh si penerima pada saat masih berada di hadapan petugas komuni; sebab orang tidak boleh menjauhkan diri sambil membawa Roti Ekaristi di tangan. Jika ada bahaya profanasi, maka hendaknya komuni suci tidak diberikan di tangan.”
Jadi Paus Yohanes Paulus II almarhum memberikan kemungkinan komuni di tangan, dengan memperhatikan syarat-syaratnya sebagaimana ditulis dalam instruksi no. 92 ini.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli
Shalom, di gereja saya (gereja Santo Yusuf, Jember) perayaan ekaristinya beda romo beda doa. Harusnya semua romo taat TPE, tp ada romo yg berdoa damai sendiri, ada yg mengajak umat, padahal TPE baru sdh 7thn dan teks doa damai pun sdh dihapus dr TPE. APAKAH MEMANG DIPERBOLEHKAN ROMONYA TETAP MENGAJAK UMAT BERDOA DAMAI YG NOTABENE SDH DIHAPUS TEKSNYA DI TPE AT MEMANG ROMONYA YG BANDEL? DAN BIASANYA KL SESUDAH MENGAJAK UMAT BERDOA DAMAI DILANJUTKAN LAGU DALAM” YESUS KITA BERSAUDARA”. BUKANKAH LG INI DIADOPSI DR GEREJA LAIN. MOHON PENCERAHAN DAN BANTUANNYA, BAGAIMANAKAH SEHARUSNYA YG DIBENARKAN OLEH ATURAN GEREJA KATOLIK. SEBAB SALAH SATU HAL YG MEMBANGGAKAN SAYA SBG ORG KATOLIK ADALAH PERSAMAAN TATACARA IBADATNYA. TERIMAKASIH. BERKAH DALEM
Shalom Widjaja Widodo,
Sambil menantikan tanggapan Rm. Boli, izinkan saya menanggapi komentar Anda. Pertama-tama perlu disadari bahwa pelaksanaan dan penghayatan tata perayaan Ekaristi sejujurnya merupakan proses bagi seluruh anggota Gereja, baik kaum tertahbis maupun kaum awam. Jadi mari bersama-sama berbesar hati dan siap memaafkan, jika masih ada orang-orang yang mungkin karena ketidaktahuannya, tidak melaksanakan sesuai dengan apa yang ditentukan dalam TPE.
Namun Anda juga benar, bahwa adalah hak Anda dan semua umat beriman, untuk dapat mengikuti perayaan Ekaristi yang dilakukan sungguh sesuai dengan maksud Gereja. Hal ini jelas dan secara eksplisit disebutkan dalam instruksi Redemptionis Sacramentum, demikian:
“12. Sebaliknya, menjadi hal sekalian orang beriman bahwa liturgi, khususnya perayaan Misa Kudus, dilangsungkan sungguh sesuai dengan hasrat Gereja, sesuai dengan ketetapan-ketetapannya seperti digariskan dalam buku-buku liturgi dan dalam hukum-hukum serta peraturan lainnya…..” (Redemptionis Sacramentum, 12).
Maka jika pastor paroki Anda malah melakukan yang tidak sesuai dengan apa yang digariskan oleh TPE, silakan Anda menyampaikan masukan Anda kepadanya, tetapi haruslah dengan motivasi kasih dan dengan cara yang santun. Semoga pastor paroki Anda akan cukup berbesar hati untuk memperbaiki apa yang masih tidak sesuai tersebut. Atau Anda dapat juga menyampaikan masukan kepada seksi Liturgi paroki, agar hal ini dapat dibicarakan dengan pastor paroki.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Widjaja,
Alangkah baiknya kalau Romonya ingat bahwa Doa Damai itu adalah doa dari imam pemimpin yang diakhiri dengan seruan Amin oleh umat. Dan alangkah baiknya kalau nyanyian “Dalam Yesus kita bersaudara” sebagai lagu rohani, tidak dimasukkan dalam perayaan liturgi. Kalau mau dinyanyikan silahkan menyanyikannya di luar perayaan liturgi.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Jawaban yang ngawur, Romo Boli. Mengapa tidak saat salam damai orang bernyanyi dan bergembira….memangnya liturgi bukanlah perayaan kehidupan Liturgi kan perayaan kehidupan…artinya ada juga tempat untuk hal-hal di luar garis-garis liturgi…Saya pernah menghadiri ibadat yang dipimpin oleg Romo Boli, saya sangat terkejut dan bertanya, memangnya ada robot ya di depan sana..atau ada makhluk dari planet mana yang berdiri di depan..sangat kaku…
salam
Shalom Elton,
Sayang sekali dalam beberapa diskusi anda tidak menunjukkan upaya untuk mempelajari apa yang sebenarnya diinginkan dari satu liturgi, dan mencoba memaksakan pandangan anda yang tidak mempunyai kepastian kebenaran dibandingkan dengan pandangan dari Gereja. Kalau anda tidak mau menerima pandangan Gereja, tentu saja itu menjadi hak anda, walaupun dengan demikian, anda sebenarnya menempatkan pandangan pribadi di atas pandangan Gereja. Dan saya minta maaf, bahwa saya tidak dapat melanjutkan diskusi seperti ini, karena tidak akan membangun diskusi yang sehat dan baik. Semoga hal ini dapat dipahami.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom katolisitas dan sdr Elton,
Saya setuju dengan katolisitas untuk tidak menayangkan lagi pendapat saudara Elton mengenai liturgi. Setahu saya sebelumnya katolisitas sudah memperingati hal itu. Tidak perlu ragu lagi, mengingat cara penyampaian pendapat sdr. Elton kurang enak dibacanya. Kenyataan bahwa banyak yang tidak sepenuhnya suka akan tata cara liturgi sebetulnya bukan rahasia lagi. Itu nyata dalam jemaat, dan saya sendiri juga tidak sepenuhnya setuju. Tapi memang saya sedang belajar untuk lebih mengutamakan iman dibanding perasaan suka atau tidak suka. Karena sudah nyata buah-buahnya untuk umat beriman yang lebih mengutamakan perasaan dibanding peraturan, seperti saudara kita umat protestan yang akhirnya melahirkan banyak denominasi.
Peraturan akhirnya bagaimanapun penting dipatuhi, karena sebagai contohnya adalah negara kita sendiri. peraturan begitu mudah dilanggar dan tidak ada sangsi, sehingga hukum rimba kembali berlaku: yang kuat yang menang. polisi tidak berfungsi, akhirnya banyak kelompok massa punya barisan keamanan sendiri. Atau bisa juga ambil contoh dalam berlalu lintas. Bayangkan kalau tidak ada lampu lalu lintas, semuanya mau jalan dan tidak ada yang mengalah, bayangkan orang bisa ngebut atau stop seenaknya. Dalam keadaan semrawut seperti itu, so pasti kita begitu mendambakan adanya peraturan.
“The more one does what is good, the more freer one becomes”.
GBU
Teddy
yanhg jelas, saya beribadat kepada Tuhan dan berbakti kepada sesAMA dan saya tidak mau menjadi hamba aturan.
setuju, peraturan harus tetap ada. saya berharap sifat gereja katolik tetap seperti yang dulu dengan ciri khasnya tegas.
syalom,
sejujurnya saya sungguh merasa sedih terhadap pandangan saudara Elton.
namun saya juga menyadari perjalanan iman seseorang kadang kala memang ber-awal dari tidak dapat menerima apa yg diajarkan orang lain kepada dirinya, bahkan tidak jarang ber-awal dari mengalami sendiri perjumpaan pribadi dengan Allah..
demikian juga dalam proses perjalanan “ke-taat-an”.. dahulu sebagai anak-anak s.d remaja, saya sering kali tidak pernah mendengar nasehat orang tua, saya sering melanggar dan mencari sendiri pengertian2..
namun lambat-laun, dengan banyak mengalami benturan, susah-senang, up-down, disaat senggang sering kali saya merenung sendiri.. dari setiap perjalanan hidup yang sudah saya tempuh “kok rasa-rasanya cocok dengan nasehat dari orrang tua saya dulu yang mengatakan demikian….”.
demikian juga dengan perjalanan kehidupan per-ibadat-an saya dalam ekaristi… sampai dengan saat kuliah mana pernah saya tahu makna tiap-tiap tahap liturgi, misa tergantung dengan mood-mood saya saja.. kalo lagi pingin mood-nya bagus, saya ikut dengan khusuk setiap tahap liturgi.. kalo lagi ngak mood ya, pulang gereja seperti pendapat saudara… intinya ungkapan “EKARISTI ADALAH PUNCAK IMAN KATOLIK” NGAK ADA DALAM KAMUS HIDUP SAYA..
namun sejak saya mau belajar dan mau taat dengan bimbingan dari nasehat romo, rekan2 se-paroki saya tentang tahap2 persiapan batin untuk merayakan ekaristi yaitu:
1. doa pribadi harian secara rutin
2. pemeriksaan batin dirumah dng cara2 do’a, permenungan, refleksi perjalanan hidup dll.
3. persiapan fisik yg berupa mandi, berbusana yg pantas, sarana2 ibadat dll.
4. datang lebih awal setidak2nya 15menit sebelum misa dimulai untuk mempersiapkan hati untuk berdoa, adorasi pribadi dengan memandang corpus/tabernakel..
5. mengikuti tahap demi tahap liturgi dengan segenap hati
pada awal-awalnya hati+pikiran saya masih belum ngerti juga..
namun setelah ber-tahun2 kemudian, saya secara pelan namun pasti diperdalam dalam hal pengertian makna dari tiap2 tahap liturgi.. yg sering saya peroleh mungkin dalam bahasa theologi-nya “infused knowledge” setelah menerima komuni atau pada saat konsekrasi…
namun yang paling sering saya alami adalah Tuhan begitu hadir secara nyata dalam hati saya, Dia masuk sangat jaaauuuuh kedalam lubuk hati saya yang paling dalam..
luka2 batin, dosa2 dan kelemahan saya serasa Dia angkat… hangat dan damai…
kadang2 pula saya “mendapat” kalau dalam bahasa kaum karismatik “penglihatan”…
dari perjalanan iman setiap merayakan ekaristi inilah, secara ber-angsur2 saya mulai belajar menundukkan kepala saya dan mengakui Tata Cara liturgis Gereja Katolik benar2 menuntun saya mengalami hadirat Allah yg nyata…
disatu sisi dengan seringnya saya menerima “hadiah” dari Tuhan pada saat merayakan ekaristi ini, jika tidak mengalami perjumpaan seperti diatas, saya tinggal melakukan permenungan, dan selalu ber-ujung pada adanya “mis” dalam tahap2 yg saya lakukan pada minggu itu.
disatu sisi juga merupakan bentuk pe-ziarahan batin saya untuk tidak berhenti pada “bunga2 rohani”,namun pembelajaran untuk dapat memposisikan hati agar “Disposisi hati” saya layak untuk menjadi persembahan yg hidup buat Allah yg telah mengasihi saya sejak awal kehidupan saya..
secara pelan namun pasti “EKARISTI ADALAH PUNCAK KEHIDUPAN IMAN SAYA AKAN KRISTUS” Saya rasa semakin jelas tertoreh dihati saya.
demikian sepenggal perjalanan saya, semoga saudara Elton tidak berhenti dalam pencarian kebenaran dan selalu berjuang untuk merengkuh kebenaran Kristus dengan hati tulus dan ikhlas dan memperdalam pengenalan akan Kristus…
berkah dalem…
christian
Terima kasih atas infonya…silahkan itu kan hak Anda. Mudah-mudahan Anda hidup secara kritis, juga kritis terhadap aturan liturgi dan bukannya menjadi budak para pakar dan aturan liturgi.
hi semua,
saya baru membuka website ini, saya sangat senang dengan argument2 yang anda2 berikan, dalam hal ini saya ingin membuka wawasan anda2, tentang spiritualitas dalam gereja katholik, yang anda diskusikan itu terlalu berpatok pada alkitabiah,dogma dan doktrin gereja saja, sedangkan hubungan kita denganNya adalah hubungan pribadi dan bukan hubungan antar kelompok yg disebut Agama, saya sendiri beragama katholik sejak kecil, kelas 3 SD dikota kecil Jember.
[Dari Katolisitas: Tulisan-tulisan dalam situs memang berfokus kepada ajaran iman Katolik, sebagaimana yang disampaikan oleh Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja Katolik. Pemahaman ajaran ini penting sebagai dasar dari hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Jika kita tidak sungguh mengetahui ajaran iman kita, maka iman kita dapat menjadi iman yang subyektif dan bergantung kepada perasaan semata, dan bukan berdasar atas kebenaran obyektif yang dikehendaki oleh Tuhan]
Dalam hubungan pribadi kita denganNya hanya dengan kelakuan kita sehari-hari dan apa yg kita lakukan dengan doa2 kita yg dianggap sebagai ritual harian kita.
Kalau kita kupas lagi tentang “pasrah total” yg dalam alkitabiah itu tidak jelas sama sekali, maka saya akan membuka wawasan anda dengan hukum sebab akibat, yang jauh lebih berisi dan lebih berat dari hukum alkibiah.
[Dari Katolisitas: Ada banyak sekali contoh dalam Kitab Suci yang menjelaskan seperti apakah itu yang disebut dengan “pasrah total” kepada Tuhan. Maka rasanya tidak tepat jika dikatakan “pasrah total yg dalam alkitabiah itu tidak jelas sama sekali….”. Iman dan kepasrahan Abraham dan Bunda Maria, adalah contoh yang sangat jelas, dan di atas semua itu, ketaatan Tuhan Yesus sendiri kepada Bapa merupakan contoh “pasrah total” yang paling jelas.]
“Pasrah total” adalah suatu keharusan untuk bisa mencapai hubungan yg harmonis antara kita2 semua sebagai mahlukNya dengan YHWH sendiri. karena kalau kita belajar doa dari alkitabiah, yg saya pantau adalah memaksakan kehendak diri sang manusia dalam doa untuk dijadikan kehendakNya, karena Ego,Pikiran dan Hawa Napsu kita sangat dominan dan kita sudah mendapatkan pelajaran ini mulai dari lahir sampai sekarang dan bahkan Gereja juga menganut cara yg sama, yaitu memberi pelajaran Agama dengan pikiran,Ego dan Hawa Napsu juga.
[Dari Katolisitas: Apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa doa Bapa Kami [doa yang paling Alkitabiah] adalah doa yang memaksakan kehendak sendiri? Jika Anda mengatakan seperti ini, nampaknya sudut pandang Anda keliru, sebab Tuhan Yesus tidak akan pernah mengajarkan doa yang memaksakan kehendak sendiri. Silakan membaca di sini tentang makna doa Bapa Kami, silakan klik. Atau silakan Anda tunjukkan di manakah dalam Kitab Suci diajarkan doa yang menurut Anda, “memaksakan kehendak diri sang manusia dalam doa untuk dijadikan kehendakNya”?]
Coba kita pakai hukum sebab akibat untuk “pasrah total”, yaitu dengan matinya Ego, Pikiran dan Hawa Napsu kita, maka hal tawar menawar dalam Doa dan hidup kita sehari- hari itupun sudah tidak ada sama sekali, kita hanya dipakai sebagai “alat” olehnya.
Cara ini jauh lebih effisien dalam hubungan kita dengan YHWH, karena benar2 dalam hidup kita hanya terjadi seperti apa yg YHWH kehendaki, jadi kita nga usah hiruk pikuk apa yg orang lain ributkan tentang Agama kita lagi dan tentang diri kita juga.
[Dari Katolisitas: Kami juga setuju bahwa dengan mengalahkan diri sendiri/ ego kita sendiri, kita dapat membina hubungan kasih yang lebih baik, dengan Tuhan maupun dengan sesama. Oleh karena itu di sini kami berusaha untuk menyampaikan apa yang memang diajarkan oleh Gereja dan bukan yang hanya semata menurut pandangan pribadi. Sebab justru pandangan pribadi membuka ruang lebih luas akan masuknya ego daripada jika kita menyampaikan apa yang sudah diajarkan oleh Gereja, yang sudah jelas dipimpin oleh Roh Kudus, sebagaimana dijanjikan sendiri oleh Tuhan Yesus]
Disini kita juga nga usah ributkan ttg kelompok ini lebih unggul dari pada kelompok lainnya, saya anggap ini adalah sifat2 arogan yg ditunggangi oleh iblis untuk menghancurkan kelompok2 tsb.
[Dari Katolisitas: Kami tidak pernah menyatakan suatu kelompok lebih unggul dari yang lain. Kami hanya menyampaikan apa yang menjadi ajaran Gereja Katolik. Maka apa yang dikatakan benar oleh Gereja kami katakan benar, dan apa yang dinyatakan Gereja sebagai sesuatu yang tidak benar, juga kami sampaikan demikian. Sikap sedemikian adalah sikap yang jujur, dan kami percaya dalam kejujuran inilah maka Iblis yang adalah bapa segala kebohongan, tidak akan masuk di dalamnya.]
Saya hanya ingin membuka wawasan anda sekalian, untuk memulai hidup baru dalam kehidupan kita beragama dikemudian hari.
Saya anggap bagi mereka yg mempertahankan prinsip2 mereka dengan gigihnya, yg tentunya ditunjang dengan strategi2 yg dihasilkan oleh pikiran2 dan Ego mereka belaka.
[Dari Katolisitas: Untuk lain kali dalam dialog, silakan menghindari kalimat-kalimat yang menghakimi dan menuduh seperti ini. Dalam dialog ini yang kita diskusikan adalah suatu pandangan -walau mungkin berbeda- namun bukan untuk menghakimi pribadi orang-orangnya.]
Dalam hal taat, kita hanya berfokus akan taat kepada YHWH saja dan bukan pada manusia2 yg menjalankan ritual Agama, karena banyak hal yg menyebabkan kita harus berbuat ini, karena banyak manusia2 rohaniawan juga yg belum sepenuhnya melakukan apa yang menjadi kehendakNya.
[Dari Katolisitas: Memang benar kita taat kepada Tuhan, tetapi itu tidak berarti bahwa kita tidak perlu taat kepada orang-orang yang telah dipercaya oleh Tuhan untuk memimpin kita sesuai dengan kehendak-Nya. Di banyak kesempatan Kitab Suci mengajarkan kita untuk taat menghormati ayah dan ibu kita (Kel 20:12; Bil 19:18; Ul 5:16; Mat 19:19; Mrk 10:19; Luk 18:20), istri untuk taat kepada suami (Ef 5:22, Kol3:18; 1Pet 3:1); dan hamba agar taat kepada tuannya (Ef 6:5). Gereja adalah ibu rohani bagi kita (sebab melaluinya kita dilahirkan kembali di dalam air dan roh (Yoh 3:5) dalam Pembaptisan), maka sudah selayaknya kita menaati apa yang diajarkan oleh Gereja.]
Mereka sendiri masih bingung dengan apa yang disebut kehendakNya, karena hal ini tidak semudah apa yang pikiran kita yang dicampur dengan ayat2 Alkitab untuk dijadikan patokan itu adalah kehendakNya, karena kita hidup dalam masa sekarang, jadi kehendakNya pada pribadi2 kita semuanya sangat berbeda dengan tafsiran2 manusia secara alkitabiah yg selalu mengeneralisasikan kehendakNya sama buat setiap manusia.
[Dari Katolisitas: Nampaknya perlu dijelaskan, siapakah yang bingung? Gereja tidak bingung. Justru yang kemungkinan dapat dikatakan sebagai ‘yang bingung’ adalah orang-orang yang tidak mau mendengarkan ajaran Gereja dan mengandalkan pemahamannya sendiri, sehingga karena dasarnya kurang kuat dan subyektif (menurut pemikiran sendiri) maka berpotensi suatu saat dapat sampai kepada kebingungan]
Saya hanya bisa memberi komentar tentang Agama, Agamanya nga salah, yg salah adalah penafsiran2 manusianya yg memakai akal pikiran2 mereka dalam hal menafsirkan Alkitab, sehingga dibikinlah aturan2 gereja yang sedemikian rumit oleh manusia2 pintar dalam Gereja sendiri yang mempunyai tujuan supaya bisa membatasi dan tidak bisa dikacaukan oleh manusia2 pintar dari golongan Agama lainnya.
[Dari Katolisitas: Aturan itu diperlukan, demi menerapkan apa yang diimani. Seseorang yang sejak awal sudah apriori dan menolak adanya aturan, akan bersikap negatif terhadap semua aturan; sedangkan seseorang yang mau terbuka mendengarkan dan mempelajari alasan dibuatnya peraturan dan nilai-nilai Kristiani yang ada di baliknya, akan dapat bersikap positif dan menghargai peraturan. Suatu paradoks yang mungkin layak direnungkan, pandangan yang awalnya menolak Ego, akhirnya membuka pintu lebar-lebar terhadap penempatan ego, yaitu dengan menempatkan pandangan pribadi di atas ajaran Gereja (sebab apa yang diajarkan Gereja bukan merupakan hasil pendapat pribadi manusia belaka).]
selama kita berkutat untuk menyalahkan atau mengunggulkan Agama mana yg benar dan mana yang salah, maka kita akan berhenti ditempat dan mulailah pikiran2 dan Ego kita bersuka ria untuk mengulas argumentasi secara alkitabiah.
[Dari Katolisitas: Mohon dipahami, bahwa apa yang kami nyatakan sebagai kebenaran di situs ini, adalah apa yang merupakan ajaran Gereja yang bukan berdasarkan ego pribadi. Jadi tidak ada ego yang bersuka ria di sini, melainkan adalah kesungguhan dan ketulusan hati untuk taat kepada kehendak Allah yang mendirikan Gereja/ jemaat-Nya sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran (lih. 1 Tim 3:15)]
Saya mohon mamaf bila anda tidak berkenan atas tulisan2 ini, saya hanya ingin membuka wawasan anda semuanya, mohon jangan sampai ada yg berkomentar tentang sesat ya, karena wawasan ini sangat dalam artinya, mohon dibaca ber-ulang2, bila anda tidak mengerti ttg makna tulisan ini
[Dari Katolisitas: Terima kasih atas masukan Anda. Saya percaya siapapun yang dengan tulus membaca artikel-artikel yang kami sampaikan di situs ini akan dapat mengambil kesimpulan sendiri, sikap manakah yang mengagungkan Ego: sikap menaati ajaran Gereja atau sikap yang menentang Gereja dengan menempatkan pemahamannya sendiri di atas ajaran Gereja?]
Shalom Sdr. Elton, Pak Stef dan Romo Boli,
Sdr. Elton, Anda boleh tidak menerima ada robot di depan, dan sangat kaku lagi. Tapi saya justru sangat menerimanya. Karna ia tidak mau menjadi pusat perhatian. Seperti yang pernah ditulis oleh Pak Stef, bahwa pusat perhatian kita dalam ibadat (misa) adalah kehadiran nyata Tuhan Yesus dalam Ekaristi. Maka, sepatutnyalah kita memusatkan perhatian kita ke situ. Saya akan berdoa rosario untuk Anda, untuk ujud ini.
Pak Stef, terima kasih karna telah membuat saya lebih mengerti bagaimana seharusnya mengikuti ibadat (misa), yaitu “membawa diri” (membuka hati) untuk lebih fokus kepada Ekaristi (daripada penampilan orang-orang).
Romo Boli, terima kasih karna rela untuk tidak menjadi pusat perhatian, sehingga umat bisa lebih mengarahkan perhatian kepada Kristus. Jauh lebih baik menjadi robot yang bisa membawa umat kepada Kristus, daripada menjadi figur nan memesona yang membawa umat kepada penampilan manusia.
Terima kasih.
Salam,
Lukas Cung
Setuju Pak Lukas…
Bagi saya ekaristi adalah perayaan kehidupan, bukan perayaan kekakuan kayak Romo Boli…
terima kasih atas doa rosarionya buat saya, mudah-mudahan doa Anda keluar dari hati yang ikhlas, jika tidak kiranya Iblis beserta Anda.
Shalom Elton,
Anda pernah mendengar grup band Ungu yang diusir dari istana presiden karena mengenakan pakaian yang tidak pantas waktu berkunjung ke istana?
Apakah Anda setuju kalau cara berpakaian sebagaimana tingkah laku menunjukkan penghargaan terhadap orang lain?
Apakah bagi Anda rumah Tuhan lebih mulia dari istana presiden?
Kalau jawabannya semua “ya”, maka Anda juga perlu mengakui bahwa ada hal-hal tertentu yang meskipun tidak salah secara moral, tetap saja kurang pantas untuk menghormati seseorang yang posisinya jauh di atas kita (dan kalau sudah diperingatkan tetap ngeyel, bisa saja mereka masuk penjara).
Grup band tersebut bisa saja protes dengan mengatakan bahwa istana presiden kan milik rakyat, perawatannya dari pajak, tapi kenapa kok rakyat seperti saya dengan pakaian kayak gini ngga boleh masuk. Boleh-boleh saja protes dan keras kepala seperti itu, tapi protesnya tentu saja di luar istana atau di penjara.
Bayangkan kalau istana itu surga? Anda yakin di surga tidak ada peraturan yang harus ditaati? Mau masuk surga saja sudah ada peraturan yang jauh lebih ketat daripada boleh nyanyi atau tidak. Tapi bagaimana bisa masuk kalau peraturan yang lebih sederhana saja sulit menaati?
Coba diingat, meskipun Tuhan ingin bersatu dengan manusia meskipun manusia itu berdosa, pada akhirnya manusia itu tetap tidak bisa mendekati Tuhan karena Tuhan dan dosa itu seperti air dan minyak yang sejak semula tidak dapat bersatu.
Peraturan-peraturan itu bukan supaya Tuhan senang, tapi untuk menghindarkan manusia dari dosa yang terkecil sekalipun.
Tolong tanya PATENA itu apa?
Thanks
[dari Katolisitas: Patena adalah lempengan tipis berbentuk piringan, yang terbuat dari logam yang disepuh emas putih atau kuning, tempat meletakkan hosti besar saat perayaan Ekaristi, untuk dipersembahkan kepada Tuhan sebelum konsekrasi. Sesudah dikuduskan melalui konsekrasi, Hosti diletakkan kembali ke atas patena. Patena ini juga dipakai sebagai penutup piala tempat anggur, dan pada saat pembagian Komuni kepada umat, patena juga difungsikan oleh putera/i altar untuk ditempatkan di bawah tangan/ mulut penerima Komuni, supaya menjaga agar komuni/ serpihan komuni tidak jatuh ke tanah/lantai.
Penting untuk mengingat kembali apa yang diajarkan Gereja melalui Redemptionis Sacramentum 93: Patena Komuni untuk umat hendaknya dipertahankan, demi menghindarkan bahaya jatuhnya hosti kudus atau pecahannya.]
Salam Damai Romo,
Kalau sikap menadahkan tangan saat doa Bapa Kami itu suatu pelanggaran, maka bagai mana sikap tangan kita yang benar ?
A. Tangan di samping badan (sikap siap)
B. Tangan dikatupkan (2 telapak tangan menjadi satu dan mengepal) di depan badan (sekitar perut)
C. Tangan dikatupkan di depan dada seperti sikap patung Bunda Maria saat berdoa
Atau bagai mana?
Tolong jelaskan juga posisi tangan selama Misa (saat berdiri, duduk, dan sujud)
Karena menadahkan tangan bagi kami yang sudah terbiasa melakukannya merupakan sikap hormat dan sikap siap menerima berkat, rahmat Tuhan “dari Atas” dan dengan posisi tersebut kami dapat merasakan “sesuatu (sangat spesial)” kepasrahan serta kedekatan dengan Tuhan, yang tidak kami dapatkan pada doa-doa lain selain doa Bapa Kami.
Tidak ada maksud kami menyamai gerakan Imam.
Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih.
Shalom Adi Hermawan,
Sesungguhnya tidak ada dokumen Gereja yang secara spesifik dan eksplisit menyebutkan, “Pada saat berdoa Bapa Kami umat dilarang menadahkan tangan ataupun bergandengan tangan.” Namun demikian, hal umat tidak menadahkan tangan itu dihubungkan dengan aturan lainnya yang secara eksplisit menyebutkan agar dalam perayaan Misa diatur sehingga imam dan umat bersikap sedemikian sesuai dengan statusnya masing-masing secara layak (lih. PUMR 17). Itulah sebabnya Rm. Boli mengatakan bahwa sikap umat turut menadahkan/ membuka tangan merupakan sikap yang kurang menghargai pemimpin ibadah (dengan kenyataan mau menyamai sikap tubuh pemimpin ibadah).
Hal yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa tidak dapat kita mengharuskan suatu sikap tubuh tertentu yang baru ke dalam liturgi jika belum dicapai persetujuan duapertiga mayoritas dalam konferensi Uskup dan izin dari Tahta Suci untuk memberlakukan ketentuan tersebut. Maka jika baik konferensi Uskup maupun Tahta Suci tidak atau belum menentukan/ mengharuskan sikap tertentu pada saat pengucapan doa Bapa Kami, maka nampaknya otoritas Gereja yang lebih rendah juga tidak dapat mengharuskan/ mengeluarkan ketentuan untuk diikuti oleh umat: apakah itu mengatupkan/ mengepalkan tangan di dada, atau di perut, apakah mengatupkan tangan dengan kelima jari menghadap ke atas, apakah menunduk dengan tangan disilang di dada ataupun beragam sikap tubuh lainnya. Semua sikap doa yang hormat diperbolehkan dan tidak diatur secara baku, asalkan tidak menyamai sikap tubuh imam pemimpin ibadah.
Hal menadahkan tangan mungkin bagi sebagian orang sangat berarti, dan karena itu tetap dapat dilakukan di luar konteks Misa Kudus. Tetapi sesungguhnya keliru kalau menganggapnya bahwa hanya dengan menadahkan tangan saja, maka ia menerima berkat rahmat Tuhan saat mendoakan Bapa Kami pada saat Misa Kudus. Rahmat Allah yang paling besar tercurah atasnya saat ia menyambut Komuni Kudus. Hal sikap tubuh pada saat mendoakan Bapa Kami memang penting, namun bukan segala-galanya dan menjadi penentu apakah kita menerima berkat atau tidak, atau berkat-Nya menjadi istimewa atau tidak. Yang terlebih penting adalah sikap batin, yang dengan kerendahan hati mau mengulangi doa yang diajarkan oleh Kristus kepada para murid-Nya, dengan semangat kasih dan kerendahan hati. Kerendahan hati ini juga tercermin dari keinginan untuk menghormati ketentuan yang ada dalam merayakan Ekaristi, termasuk menghormati imam pemimpin ibadah yang pada saat itu berperan sebagai Kristus (in persona Christi). Kita mengakui bahkan dengan sikap yang paling kecil dan sederhana, bahwa peran imamat bersama yang ada pada kita karena rahmat Baptisan, tetaplah berbeda dengan peran imamat jabatan yang dimiliki oleh para imam. Maka marilah menerapkan pemahaman ini dalam aplikasinya ke dalam sikap kita pada saat beribadah. Sebab jangan sampai walau maksud hati tidak ingin menyamai imam, namun sikap tubuh menunjukkan sebaliknya.
Lagipula tidak berarti bahwa sikap doa yang lainnya ‘lebih rendah’ ataupun kurang berarti daripada dengan menadahkan tangan. Kelima jari yang terkatup di dada juga dapat dimaknai dengan begitu indah, yaitu bahwa keseluruhan diri kita (ditandai dengan kesepuluh jari) disatukan (dengan dikatupkan) untuk menujukan padangan ke surga (dengan terarahnya semua jari ke atas) walaupun juga menyadari bahwa Allah hadir di hati kita (dengan meletakkan tangan di dada).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Saya membaca Instruction on Sacred Music and Sacred Liturgy, yang diterbitkan oleh Sacred Congregation for Rites pada tanggal 3 September 1958, tentang penggunaan proyektor
73. The use of any kind of projector, and particularly movie projectors, with or without sound track, is strictly forbidden in church for any reason, even if it be for a pious, religious, or charitable cause.
Gereja-gereja di ibu kota saya liat banyak menggunakan proyektor, kadang juga digunakan pada saat homili dengan memutar film-film duniawi, bukankah di dokumen hal di atas tidak diperbolehkan? Lalu bagaimana cara saya sebagai umat memberi tahu hal ini kepada Pastor Paroki?
Terima kasih atas waktu dan tanggapannya.
Shalom Maothou,
Demikianlah jawaban yang dapat kami berikan, dan telah disetujui oleh Rm. Boli Ujan SVD:
Mengenai penggunaan proyektor di Misa, asalkan proyektor justru digunakan untuk alat penunjang agar ibadah dapat dilihat dengan jelas oleh umat, terutama yang duduk di belakang/ yang pandangannya terhalang ke arah altar, maka penggunaan proyektor diperbolehkan. Hal ini dapat dilihat dalam praktek yang terjadi di halaman Basilika St. Petrus di Roma, pada saat Misa Pontifikal yang dipimpin oleh Paus. Namun kalau dimaksudkan untuk pengisi homili ataupun sebagai tontonan umat, maka penggunaan proyektor tidak diperbolehkan, sebagaimana telah disampaikan oleh Sacred Congregation for Rites pada tanggal 3 September 1958, no. 73, yang Anda kutip tersebut.
Jika di paroki Anda dilakukan hal itu, maka mungkin dapat Anda bicarakan baik-baik dengan Romo paroki atau dengan seksi Liturgi. Namun harap diingat bahwa semua harus disampaikan dengan motivasi kasih, dan bukan untuk menyalahkan.
Salam kasih dalam Kristus,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom,
penggunaan proyektor sebagai pengisi homili maksudnya bagaimana? Kalau sebagai penunjang homili apakah diperbolehkan? Romo tetap kotbah namun memberi ilustrasi menggunakan power point.
Terima kasih. GB
Salam Agung,
Ini pendapat pribadi saya: kalau sungguh berfungsi sebagai penunjang yang membantu konsentrasi umat pada pesan yang mau disampaikan oleh romo pembawa homili dan tidak mengalihkan perhatian umat kepada hal-hal lain yang sampingan dan tidak mengaburkan inti pesan homili, bolehlah dimanfaatkan sarana itu
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli
Halo Romo Boli,
Minggu lalu pada Pesta Pentakosta, Gereja Katolik di Australia memulai Tahun Rahmat (Year of Grace) sebagaimana diputuskan oleh Konferensi Uskup Australia dan saat homili diputarkan video melalui proyektor yang berisi penjelasan mengenai Tahun Rahmat ini sendiri.
Apakah kemudian ini juga menyalahi aturan yang sebut di atas?
Karena paroki saya, paroki yang sangat kecil nampaknya tidak ada seksi liturgi dan semuanya di atur oleh romo paroki yang memang cuma ada satu.
Nampaknya paroki saya seringkali menggunakan video untuk mengisi homili.
Karena beberapa waktu lalu saat masa Prapaskah juga diputarkan video mengenai misi sosial Gereja di tanah Afrika dan mengajak umat untuk berpartisipasi.
Salam.
Edwin
Salam Edwin,
Kalau video itu mengganti homili, kurang pas. Ini juga pendapat pribadi, saya pikir sebaiknya diberikan homili, lalu video singkat itu menunjang atau mempertegas isi pesan dari homili. Akan lebih baik kalau video itu diputar sesudah pengumuman dengan satu dua kalimat amanat singkat sebelum berkat akhir. Untuk itu videonya harus singkat dan jelas serta menyentuh/menggerakkan umat untuk bersama-sama melakukan sesuatu yang bermanfaat.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
maaf saya mau tanya, mana yang lebih penting, menikmati ekaristi atau mengikuti ekaristi dengan benar? terima kasih
Shalom Maria Ivani,
Mungkin yang harusnya terjadi adalah mengikuti Perayaan Ekaristi dengan benar, sehingga kita dapat lebih menikmati/ menghayatinya.
Nah untuk dapat mencapainya, memang fokus kita harusnya bukan apa yang enak bagi kita, tetapi apa yang layak diberikan kepada Tuhan, sebagaimana diajarkan oleh Gereja. Jika kita sudah dapat memusatkan perhatian kepada apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam perayaan Ekaristi ini, sebagaimana dinyatakan-Nya melalui Gereja-Nya, maka sedikit demi sedikit Tuhan akan membantu kita untuk dapat semakin menghayatinya (atau menurut bahasa Anda: menikmatinya). Mari kita ingat bersama, bahwa perayaan Ekaristi adalah pertama-tama perayaan karya Allah, maka sepantasnya kita berusaha memenuhi apa yang menjadi kehendak-Nya, bukan apa yang pertama- tama menjadi kehendak kita. Pada saat kita mempunyai sikap ‘menyesuaikan’ diri dengan ketentuan liturgis tersebut, dan menerimanya sebagai ketentuan yang dikehendaki Allah, maka hati kita akan dipenuhi sukacita, sebab kita dapat berkata, “Ya Tuhan, aku datang, melakukan kehendak-Mu” (lih. Ibr 10:9), ya bahkan dalam sikap yang terkecil dan sederhana dalam perayaan Misa Kudus itu.
Sebab melalui Ekaristi, kita dibentuk untuk menjadi serupa dengan Kristus, pertama- tama di dalam kerendahan hati-Nya, dan ini paling sederhana dinyatakan, apabila kita bersedia menerima dan mencoba memahami mengapa Gereja mengajarkan demikian, dan mengikuti ketentuannya demi kasih kita kepada Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Tatacara liturgi kan bertumbuh dalam proses. Mana yang kecil-kecil itu berasal dari karya Allah? Perlu diingat, sebelum tertobatan kaisar konstantin, Gereja merayakannya belum di dalam gedung gereja seperti saat ini. Aku yakin jemaat perdana merayakan dengan cara yang sederhana penuh dengan persaudaraan dan tidak kaku. Perlu diingat pula Gereja mempunyai ritus liturgi latin, malabar dll. Yang kita ikuti kan liturgi latin, gaya Barat.
[dari katolisitas: Karena liturgi bertumbuh sehingga kita mendapatkan bentuk baku yang sekarang, maka sudah sepantasnya kita mensyukurinya. Liturgi menjadi perayaan yang mencerminkan iman kita. Gereja Katolik tentu saja menghargai ritus-ritus lain, termasuk ritus Gereja Timur.]
kalau aku, lebih penting menghayati daripada sekedar mengikuti tatacara secara benar, tapi hati terasing. Bukan sekedar ‘rendah hati’ di hadapan Tuhan, tapi bagaimana perayaan liturgi itu bermakna bagi hidup kita.
[dari katolisitas: Bagaimana dengan memilih mengikuti tata cara yang benar dan dengan disposisi hati yang benar?]
Romo saya mau bertanya, jika Misa diadakan di Aula dengan menggunakan kursi lipat, untuk saat berlutut, diganti duduk atau berdiri?
Romo kami saat pembukaan bulan Maria, saat Liturgi Ekaristi, Romo memerintahkan umat untuk berdiri terus sampai ke penerimaan Komuni. Misa diadakan di gua Maria menggunakan kursi lipat.
Saya sendiri merasakan memang lebih baik cara Romo saya tsb kalau menggunakan kursi lipat.
Jika perayaan Misa Mingguan, yang duduk di kursi lipat saat berlutut bolehkan kita berdiri.
Salam Tomy,
Sangat tepat perasaanmu, sesuai pedoman dalam TPE. Pada saat berlutut, bila tidak ada kemungkinan untuk berlutut, hendaknya berdiri, bukan duduk.
Doa dan Gbu.
Rm Boli.
Romo yang memimpin misa pas Doa Bapa Kami mengajak misdinar dan semua umat untuk saling berpegangan tangan, apakah ini cara baru, apakah ini diperbolehkan?
Terima kasih atas tanggapannya
Salam Maothou,
Dulu waktu saya belum mendalami apa artinya partisipasi dalam liturgi, sebagai imam muda yang melihat praktek itu di sana sini, secara spontan saya merasa baik bila mengajak umat untuk melakukan hal itu sebagai cara untuk meningkatkan partisipasi umat dan menciptakan suasana kekeluargaan dan persaudaraan di antara anak-anak dari Bapa di sorga. AKAN TETAPI, setelah mempelajari prinsip (bdk. PUMR, no 17; CL, no.14; 19,26, 28, 30): kita berpartisipasi dalam liturgi sesuai dengan fungsi liturgis kita masing-masing, tidak lebih dan tidak kurang, saya lalu berhenti mengajak umat untuk melakukannya.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Terima kasih Romo tanggapannya, maaf saya tanya lagi “CL” itu singkatan dokumen Gereja apa yah Romo?
Salam dan doa. Terima kasih atas waktu dan tanggapannya.
[dari katolisitas: CL = Christifideles Laici, yang dapat dibaca di sini – silakan klik]
Shalom,
Semoga tulisan ini menjadi bahan pembelajaran kita semua untuk semakin mencintai Liturgi. Saya sangat senang dengan adanya tulisan ini, terutama di bagian penerimaan komuni dimana sering terjadi Romo membagikan komuni 2 rupa kepada pro diakon atau petugas misa yang lain seperti lektor dengan diedarkan, mengambil hosti dan mencelupkannya ke piala. Terus terang, pernah juga saya ungkapkan keberatan cara penerimaan komuni seperti itu kepada pro diakon, tetapi dengan cueknya mereka menjawab ” ya, itu terserah romonya…”. Terima kasih team katolisitas, terima kasih Romo Boli, atas tulisan ini. Semoga umat Katolik semakin sadar membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.
Shawlom,
Sy umat KAJ, apa alasan gereja menggunakan lagu Bapa Kami yg baru & lagu Kudus versi latin? Bagi sy yg terbiasa dgn lagu Bapa Kami biasa, Filipina & Kudus dgn bahasa Indonesia selama >30th dan terkoneksi dgn baik saat menyanyikan lagu2 tersebut, sekarang jatuh dlm pilihan bernyanyi dalam hati atau bernyayi sambil mengira2 apa nada selanjutnya. Mohon pencerahannya, terimakasih, Tuhan memberkati.
Shalom Oktavianus,
Sambil menunggu jawaban dari Romo Boli, izinkan saya menanggapi komentar Anda. Ya, adalah sesuatu yang baik jika kita sudah terbiasa akan suatu lagu pujian kepada Tuhan, sehingga saat menyanyikannya kita langsung dapat ‘mengangkat hati’. Namun sejujurnya, lagu yang selalu sama dapat memberikan efek yang sebaliknya, yaitu bahkan dapat membuat orang merasa jenuh/ bosan, sehingga malah tidak dapat lagi menghayatinya. Gereja tidak menampik adanya kemungkinan ini, maka umat diperkenalkan dengan beberapa variasi lagu-lagu liturgis. Tentu untuk mengenalnya diperlukan kemauan dari pihak kita untuk mempelajarinya, dan sesungguhnya umumnya tidak terlalu sulit dan tidak terlalu banyak, karena lagu-lagu liturgis yang disetujui Gereja tercantum dalam buku Puji Syukur. Anggaplah sebagai ungkapan kasih kepada Tuhan, jika kita mau meluangkan waktu untuk mempelajari lagu-lagu tersebut di rumah, sehingga jika nanti lagu-lagu itu dinyanyikan di gereja, kita sudah ‘akrab’ dengan nadanya. Ingatlah perkataan St. Agustinus yang pernah mengatakan bahwa dengan menyanyi memuji Tuhan kita seperti berdoa dua kali.
Atau kalau Anda merasa sulit untuk belajar sendiri lagu-lagu itu, ikutilah lagu-lagu itu di dalam hati setiap kali dinyanyikan, terutama renungkanlah kata-katanya atau terjemahan kata-katanya. Mohonlah pimpinan Tuhan agar Anda dapat juga menyanyikannya dan menghayatinya. Ingatlah sebelum terbiasa akan lagu-lagu tertentu, dulu juga Anda memulai proses ini. Kita bisa karena biasa. Semoga apa yang masih terdengar sulit ini lama-lama jika sudah terbiasa, tidak menjadi sulit lagi.
Selanjutnya, ingatlah juga bahwa lagu-lagu berbahasa Latin yang dianjurkan oleh Gereja itu merupakan salah satu “warisan rohani” dari jemaat berabad-abad sebelum kita. Dan dengan menyanyikannya, kita diingatkan bahwa kita ini merupakan bagian dari keseluruhan Gereja, yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu.
Akhirnya, lihatlah juga secara obyektif bahwa Gereja juga tidak sama sekali menghapus lagu-lagu yang sudah kita kenal dengan baik, sebab umumnya dalam Misa Kudus lebih banyak dinyanyikan lagu-lagu yang sudah dikenal umat, daripada lagu-lagu yang baru.
Demikianlah, mari kita menyikapi ajakan Gereja untuk semakin mengenal dan mencintai liturgi kita yang sangat kaya, dengan sikap yang terbuka dan positif.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shawlom Bu Ingrid Listiati, trimakasih. Sekarang sy coba utk fokus utk memperbaharui hati agar bersemangat menghadapi/menjalani perubahan “gono-gini” dalam liturgi, dari pada memikirkan alasannya.
“Ad Maiorem Dei Gloriam”
Kok ngeri banget ya…. disebut pelanggaran?
Apakah dokumen-dokumen tersebut menyebut pelanggaran bila tidak melakukan seperti yang tertulis?
Setiap bangsa, suku, bahkan bahasa itu mempunyai nilai rasa yang berbeda meskipun tujuannya sama.
Kadang saya merasa risi karena kebiasaan indah leluhur kami. Leluhur kami mengajarkan bahwa penghormatan kepada Yang Maha Tinggi dengan cara mengatupkan kedua tangan di atas kepala atau paling tidak sejajar dengan kepala, kalau kepada sesama cukup sejajar dengan dada, kini ketika imam mengangkat hosti/anggur setelah konsekrasi kami diajari cukup memandang, aahh, betapa risih karena ada yang kurang. Masih banyak sikap-sikap lain, saat duduk, berdiri atau berlutut. Inilah bukti nilai rasa setiap bangsa, suku dan budaya berbeda.
Saya setuju dan mendukung adanya pembaharuan dalam liturgi untuk penyempurnaan perayaan Penyembahan oleh Tubuh Mistik Kristus.
Tolong juga memperhatikan apa yang baik dan tidak bertentangan dengan inti iman kita, dihargai oleh pakar liturgi. Kalau tidak, berapa kali dan berapa banyak pelanggaran yang telah kami lakukan selama ini? Kasihan sekali umat dan imam Katolik!!!!!!
Salam Catur,
Saya menulis jawaban saya dalam huruf miring di bawah pesan Anda:
Kok ngeri banget ya…. disebut pelanggaran?
Apakah dokumen-dokumen tersebut menyebut pelanggaran bila tidak melakukan seperti yang tertulis? Setiap bangsa, suku, bahkan bahasa itu mempunyai nilai rasa yang berbeda meskipun tujuannya sama.Kadang saya merasa risi karena kebiasaan indah leluhur kami. Leluhur kami mengajarkan bahwa penghormatan kepada Yang Maha Tinggi dengan cara mengatupkan kedua tangan di atas kepala atau paling tidak sejajar dengan kepala, kalau kepada sesama cukup sejajar dengan dada, kini ketika imam mengangkat hosti/anggur setelah konsekrasi kami diajari cukup memandang, aahh, betapa risih karena ada yang kurang.
Rasa risih itu bisa dipahami. Dalam liturgi, sikap tubuh bersama (sikap liturgi) diatur oleh Gereja supaya ada kesatuan dan keindahan yang sungguh dihayati. Bila mau membuat penyerasian atau penyesuaian dengan budaya setempat, pimpinan Gereja setempat (seperti Konferensi Wali Gereja Indonesia) memutuskan mana sikap tubuh dalam liturgi yang cocok untuk di wilayah tersebut. Keputusan para uskup itu perlu diketahui oleh Takhta Apostolik (bdk. PUMR no. 390).
Masih banyak sikap-sikap lain, saat duduk, berdiri atau berlutut. Inilah bukti nilai rasa setiap bangsa, suku dan budaya berbeda.
Semua yang baik dan tidak bertentangan dengan iman, sangat dihargai. Bila ingin dipakai dalam liturgi, harus diputuskan oleh pimpinan Gereja, dan tidak didasarkan pada kemauan pribadi. Di luar perayaan liturgi, keinginan, hasrat hati bisa diikuti.
Saya setuju dan mendukung adanya pembaharuan dalam liturgi untuk penyempurnaan perayaan Penyembahan oleh Tubuh Mistik Kristus.Tolong juga memperhatikan apa yang baik dan tidak bertentangan dengan inti iman kita, dihargai oleh pakar liturgi.
Ini keinginan para pakar liturgi juga, supaya sikap yang sesuai dengan budaya setempat dihargai, karena diminta demikian oleh para Bapa Konsili Vatikan II dalam Konsititusi Liturgi. Tetapi untuk dipakai dalam liturgi, pimpinan Gereja yang mempunyai wewenang untuk memutuskan bisa atau tidak.
Kalau tidak, berapa kali dan berapa banyak pelanggaran yang telah kami lakukan selama ini? Kasihan sekali umat dan imam Katolik!!!!!!
Iya sungguh kasihan kalau kita tidak tahu dan tinggal dalam ketidaktahuan tentang pedoman umum Misale Romawi. Lebih kasihan lagi kalau sudah tahu pedomannya (PUMR) atau instruksinya (misalnya Redemptionis Sacramentum) tetapi hendak membuat seturut keinginan pribadi
Terima kasih dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Kalau saya ingin seluruh Dunia , Liturgi Ekaristinya sama. Sebab sekarang era Globalisasi. Kalau saya ke Mesir atau Jepang atau ke Canada semua sama , jadi enak ikut Misanya biarpun bahasa tidak mengerti tapi bahasa tubuh mengerti.
Sebab kita sudah 1 Tubuh Kristus. Amin.
Shalom katolisitas,
Apakah posisi oran (menengadahkan tangan) yang dilakukan umat saat Bapa Kami tidak termasuk dalam pelanggaran liturgi? Mengingat hal tersebut tidak diatur secara tetap dalam Pedoman Umum Missale Romawi ataupun Tata Perayaan Ekaristi, walaupun dalam dokumen berikut dikatakan bahwa anggota non tertahbis tidak boleh melakukan gestur yang sama dengan imam selebran (dan kita tahu bahwa posisi oran adalah posisi yang dilakukan oleh imam saja) :
ON CERTAIN QUESTIONS REGARDING
THE COLLABORATION OF THE NON-ORDAINED, FAITHFUL IN THE SACRED MINISTRY OF PRIEST
6 § 2 Neither may deacons or non-ordained members of the faithful use gestures or actions which are proper to the same priest celebrant. It is a grave abuse for any member of the non-ordained faithful to “quasi preside” at the Mass while leaving only that minimal participation to the priest which is necessary to secure validity.
Mohon tanggapan dan koreksinya bila ada kesalahan. Terima kasih
Salam Wicaksono,
Ya benar bahwa sikap-gerakan khusus pemimpin tertahbis tidak dilaksanakan oleh umat. Dalam TPE ditulis bahwa imam merentangkan tangan waktu mendoakan/menyanyikan Bapa Kami, dan kalau ada konselebran, mereka juga turut merentangkan tangan. Tetapi tidak ditulis bahwa umat juga turut merentangkan tangan seperti imam atau konselebran. Menurut pendapat saya, dalam doa bersama di luar liturgi (Ekaristi), dapat dilakukan kalau disepakati bersama, karena itu suatu ungkapan devosional, seperti yang biasanya dilakukan dalam pertemuan karismatik, bisa juga dalam doa pribadi di kamar atau di ruangan doa bila tidak ada orang lain boleh saja dibuat sikap itu, tetapi dalam liturgi (Ekaristi) ada petunjuknya. Ada banyak kesempatan lain dalam liturgi di mana imam pemimpin dan umat membuat sikap sama, misalnya berdiri pada waktu Kemuliaan, Aku Percaya, atau membungkuk pada waktu mengucapkan bagian Credo “yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria”, sama-sama duduk waktu mendengarkan bacaan I dan II, sama-sama berdiri waktu mendengarkan Injil dan lain-lain.
Doa dan Gbu.
Rm Boli.
Bolehkah umat merentangkan tangan saat Doa Bapa Kami dalam Ekaristi ?
Jawaban :
– Boleh atau
– terserah masing-masing kebiasaan umat sikapnya.
– tidak diperbolehkan karena pelanggaran liturgi.
Berkah Dalem Romo.
Shalom Tomy,
Sesungguhnya aturannya sudah jelas, yaitu:
Instruksi
dalam hal-hal tertentu tentang Kolaborasi antara Umat Beriman yang tak Tertahbis di dalam Pelayanan Sakral dari Imam
Artikel 6
§ 2….. Juga tidak boleh, diakon atau anggota umat beriman yang tidak tertahbis menggunakan sikap tubuh atau kegiatan tertentu yang layaknya dilakukan oleh imam selebran yang sama. Adalah suatu pelanggaran yang berat jika anggota umat yang tak tertahbis itu “sama-sama memimpin” pada perayaan Misa….”
Dengan demikian, jika berpegang kepada ketentuan ini, maka selayaknya umat tidak menadahkan ataupun merentangkan tangan pada saat perayaan Misa, entah pada saat doa Bapa Kami ataupun pada kesempatan lainnya. Saya lebih cenderung memandang/ menyebut sikap seperti itu sebagai sikap yang kurang menghargai kekhasan sikap petugas khusus dalam liturgi.
Salam dan doa,
Rm Boli.
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Tomy,
Dalam doa-doa pribadi maupun pertemuan non-liturgis, sikap menadahkan tangan dalam doa Bapa Kami atau doa- doa lainnya dapat dilakukan, namun dalam perayaan Ekaristi, mari kita ikuti ketentuan yang ada, agar semakin dapat dipahami dan dihargai peran masing-masing (peran imam dan peran umat) dalam perayaan ini. Imam berperan Kristus (in persona Christi) dalam perayaan Ekaristi, dan mari kita menghargai ketentuan ini, sebagai cerminan ketaatan kita kepada Kristus dan Gereja-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih Romo dan Bu Inggrid.
Saya sampai berdebat dengan yang sudah lansia yang sudah kebiasaan melakukan sikap menadahkan tangan.
Katanya , “lebih sreg kalau saat Doa Bapa Kami, maka karena sudah biasa maka diperbolehkan sama Romo ” katanya.
Capek deh……
Berkah Dalem …
Shalom Romo Boli
kutipan artikel ini dapat darimana ya Romo :
Artikel 6
§ 2….. Juga tidak boleh, diakon atau anggota umat beriman yang tidak tertahbis menggunakan sikap tubuh atau kegiatan tertentu yang layaknya dilakukan oleh imam selebran yang sama. Adalah suatu pelanggaran yang berat jika anggota umat yang tak tertahbis itu “sama-sama memimpin” pada perayaan Misa….”
saya cari2 tidak ketemu
Terima Kasih
Tuhan Memberkati
[Dari Katolisitas: Seperti telah dituliskan di atas, pernyataan tersebut adalah kutipan dari dokumen “Instruksi
dalam hal-hal tertentu tentang Kolaborasi antara Umat Beriman yang tak Tertahbis di dalam Pelayanan Sakral dari Imam”, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah: INSTRUCTION ON CERTAIN QUESTIONS REGARDING
THE COLLABORATION OF THE NON-ORDAINED, FAITHFUL IN THE SACRED MINISTRY OF PRIEST- selengkapnya silakan klik ini
6 § 2 Neither may deacons or non-ordained members of the faithful use gestures or actions which are proper to the same priest celebrant. It is a grave abuse for any member of the non-ordained faithful to “quasi preside” at the Mass while leaving only that minimal participation to the priest which is necessary to secure validity.]
Comments are closed.