[Minggu Biasa III: Neh 8:3-11; Mzm 19:8-15; 1Kor 12:12-30; Luk 1:1-4;4:14-21]
“Aku senengnya sama Romo yang itu… soalnya khotbahnya ringkas, cara bicaranya ekspres, jadi Misa cepet selesai…,” demikian komentar salah seorang umat. Komentar spontan yang menggelitik. Benarkah jika kita menginginkan ibadat yang “cepat selesai”?
Bacaan Pertama hari ini mengisahkan cerita yang sebaliknya. Yaitu ibadat bangsa Israel yang baru saja kembali pulang ke tanah air mereka, setelah bertahun-tahun berada di tanah pembuangan di Babilonia. Setelah tiba, mereka berkumpul untuk bersyukur dan menyembah Tuhan. Imam Ezra membacakan dan menjelaskan isi kitab Taurat yang telah mereka lupakan ketika mereka berada di tanah asing. Sabda Tuhan itu dibacakan, dari pagi sampai tengah hari, pastinya lebih dari satu atau dua jam. Namun umat mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Setelah sabda Tuhan selesai dibacakan, mereka sujud sampai ke tanah, dan bahkan dikatakan bahwa semua orang yang mendengarkannya menangis. Mari kita berhenti sejenak di sini. Kapankah atau pernahkah kita menangis setelah mendengarkan sabda Tuhan dibacakan? Sebab jangan- jangan yang lebih sering terjadi adalah bacaan sabda Tuhan yang dibacakan itu berlalu begitu saja, sedangkan pikiran kita melayang ke tempat yang lain…. Rindukah kita agar Tuhan menyapa kita melalui sabdaNya? Jika ya, apa yang sudah kita lakukan untuk sungguh mendengarkan Dia?
Bacaan Injil hari ini mencatat perkataan Yesus setelah Ia selesai membacakan nas Kitab Yesaya di rumah ibadat, “Pada hari ini genaplah nas tadi sewaktu kamu mendengarnya,” demikian sabda Yesus. Yesus-lah penggenapan janji Allah untuk membebaskan orang-orang yang tertawan dan tertindas dan penglihatan pada orang-orang buta. Yesus-lah yang datang membawa rahmat Tuhan (lih. Luk 4:18-19). Dapatkah penggenapan janji ini kualami, jika aku tidak mendengarkannya? St. Agustinus mengatakan, “Kita harus mendengarkan Injil, seperti seolah-olah Tuhan sendiri yang hadir dan berbicara kepada kita. Kita harusnya tidak berkata, ‘berbahagialah mereka yang dapat melihat Dia’, sebab banyak dari mereka yang melihat Dia [malah] menyalibkan Dia. Dan banyak yang tidak melihatNya telah percaya kepadaNya…” (St. Augustine, Commentary on St. John’s Gospel, 30).
Katekismus—seolah mengulangi ajaran St. Agustinus ini—mengatakan, “… Ia [Kristus] hadir dalam sabda-Nya sebab Dia-lah sendiri yang berbicara ketika Kitab Suci dibacakan di dalam Gereja…” (KGK 1088). Perkataan- perkataan ini menggugah kita untuk memeriksa batin, sejauh mana kita telah mendengarkan sabda Tuhan seperti seolah-olah Tuhan sendiri yang menyampaikannya kepada kita. Atau, kalau kita ditugaskan untuk membacakan sabda Tuhan ataupun menyanyikan Mazmur dalam liturgi, sejauh mana kita mempersiapkannya dan menyadari bahwa kita dipakai Tuhan untuk menyuarakan sabda-Nya di tengah umat-Nya? Ah, seandainya kita semua memiliki kesadaran ini, tentunya tak ada orang yang mengobrol atau bermain Hp saat sabda Tuhan dibacakan; dan tak ada orang yang boring (bobo miring) saat homili. Sebab semua umat menyadari bahwa saat itu Tuhan sedang berbicara kepada umat-Nya. Ya, perhatian penuh terhadap sabda Tuhan tidak hanya milik para imam yang membacakan Injil dan menjelaskannya di homili, tetapi juga kepada semua umat—baik para petugas liturgi maupun umat lainnya—yang mendengarkannya. Yaitu, agar kita tidak mendengarkan sabda sambil lalu dan ingin agar cepat berlalu. Tetapi untuk mendengarkannya dengan sepenuh hati, dan kemudian merenungkannya sepanjang hari. Sebab hal mendengarkan sabda Tuhan ini tidak hanya terbatas pada saat Misa Kudus. Melainkan seharusnya, kita sudah membaca bacaan sabda dalam Misa Kudus itu, bahkan sebelum kita menghadirinya setiap hari, dan kemudian merenungkannya. Sabda Tuhan, walau mungkin sudah pernah kita dengar, tetaplah selalu baru dan dapat menyentuh hati kita dengan cara yang berbeda dalam setiap kesempatan. Jika kita sungguh mengasihi Tuhan, sudah selayaknya kita rindu mendengarkan sabda-Nya dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentangnya. Sebab dengan demikian, kita dapat semakin mengenal dan mengasihi Dia, dan karena itu, kita semakin terdorong untuk mengasihi sesama, terutama sesama anggota Tubuh Kristus.
“Sabda-Mu ya Tuhan, adalah Roh dan kehidupan…” demikian kalimat Mazmur yang meresap ke dalam hatiku hari ini. “Ya Tuhan, semoga Engkau berkenan akan renungan hatiku, dan menyalakan di dalamnya Api cinta Roh Kudus-Mu. Amin.”