Sharing pelayanan oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Seorang ibu, pada tanggal 12 Februari 2016, mengunjungiku. Ibu itu berasal dari Sunter. Nama ibu itu adalah Maria Fransiska Ira Susilo. Aku mengenalnya pertama kali pada saat aku memberikan retret penyembuhan setahun silam. Usianya empat puluh empat tahun. Hidupnya penuh semangat sehingga tidak ada yang menyangka kalau ia sedang menderita kanker yang ganas. Ia datang kepadaku untuk mensharingkan pengalaman atas jamahan Tuhan yang mengubah hidup imannya.

Jamahan Tuhan itu terjadi pertama kali pada bulan Mei 2010. Pada saat itu ia bersama keluarganya berziarah ke Tanah Suci di Israel. Ketika sedang berdoa di Taman Getsemani, ia menangis begitu lama. Ia menangis karena merasa hidupnya hampa. Kehampaan dalam hidupnya ini disadarinya karena ia kurang melayani Tuhan walaupun telah mendapatkan banyak berkat dariNya. Berkat-berkat yang diterimanya itu antara lain adalah keluarganya sangat harmonis, ia dikaruniai dua anak laki-laki, pekerjaannya sangat menyenangkan, dan kehidupan ekonominya baik. Namun demikian, selama itu ia adalah orang Katolik pasif. Ia jarang pergi ke Gereja, apalagi aktif dalam kegiatan gerejani. Ia selama tiga puluh delapan tahun tidak merasa bersalah kepada Tuhan atas kehidupan imannya seperti itu. Baginya sudah cukup baik sebagai orang Katolik kalau ia sudah berbuat amal kepada sesama. Sejak saat itu, ia terus-menerus berdoa dan memohon kepada Tuhan Yesus agar bisa lebih melayaniNya dan sesama.

Sepulang dari ziarah, ada perubahan besar dalam hal iman pada dirinya dan pada keluarganya. Ia mulai membaca Firman Tuhan setiap hari. Ia dapat selesai membaca seluruh isi Alkitab dalam satu tahun. Ia dan keluarganya juga mulai secara rutin pergi ke Gereja setiap Minggu.

Ketika hidup rohaninya mulai berkembang, justru ujian iman datang kepadanya. Pada bulan Mei 2011 ia dinyatakan menderita kanker rahim dengan tipe kanker yang sangat ganas. Mendengar vonis itu, ia merasa dunia seakan runtuh. Ia tidak percaya bahwa Tuhan mengijinkan cobaan yang begitu berat terjadi kepadanya. Ia merasa tidak mampu menanggungnya. Namun demikian, ia tidak marah kepada Tuhan. Ia terus berdoa memohon kepadaNya untuk diberikan kekuatan, kesabaran, kerendahan hati, dan kerelaan untuk memikul salibnya. Ia juga memohon kepadaNya agar bisa menanggung penyakitnya tanpa rasa sakit dan takut.

Kanker yang dideritanya itu justru membuatnya semakin dekat dengan Tuhan. Ia lebih mengandalkan Tuhan. Ia setiap hari mengikuti Perayaan Ekaristi dan terus berdoa memohon kesembuhan dariNya. Ia meminta kepada Tuhan agar diberi kesempatan untuk bertobat dan bisa membawa banyak orang kembali kepadaNya. Tuhan akhirnya menjawab doanya. Kanker di dalam rahimnya ternyata tidak menyebar. Ia sangat bersyukur atas kebaikan-Nya itu. Akan tetapi, setelah sembuh, ia kembali bekerja sehingga perkembangan kehidupan rohaninya agak terhambat.

Setelah berkerja kembali, ujian iman yang kedua menimpanya. Pada bulan Oktober 2012 kankernya telah menyebar secara agresif ke paru-parunya. Ia merasa terpuruk karena sudah berada di ambang kematian. Ia sangat ketakutan bahwa Tuhan marah kepadanya karena ia telah “ingkar janji”. Ketika telah berada dalam ambang keputusasaan, ia dan suaminya pergi mengaku dosa dan mohon ampun kepada Tuhan. Pengakuan dosanya ini dilakukannya setelah dua puluh lima tahun.

Dalam menghadapi penyebaran kankernya ini, ia memohon kepada Tuhan agar diberi kesempatan hidup yang kedua:

Tuhan beri aku waktu untuk memperbaiki hidupku.

Tuhan beri aku kesempatan untuk menyenangkanMu.

Pakailah aku sepanjang hidupku untuk melayaniMu dan sesamaku.

Ia kemudian memutuskan berhenti bekerja agar bisa mempersembahkan hidupnya untuk melayani Tuhan, keluarga, dan sesama. Ia menyerahkan segala kekuatirannya kepada Tuhan, seperti pengobatan yang mahal, masa depan anak-anaknya, dan hidupnya yang sudah berada dalam ujung kematian.

Ketika sudah menyerahkan segalanya kepada Tuhan, ia menerima begitu banyak mukjizat. Ia mengatakan kepadaku tentang mukjizat itu: “Romo, mukjizat yang aku terima dari Tuhan bukanlah kesembuhan dari penyakit kankerku, tetapi kesembuhan rohaniku. Aku bisa memikul salibku dan penyakitku dengan penuh rasa syukur dan tanpa rasa takut. Aku dapat merasakan bahwa Tuhan mencukupkan semua kebutuhanku. Aku kini memiliki banyak waktu untuk keluargaku. Aku bisa melayani Tuhan di dalam komunitasku. Aku bisa membawa saudara dan teman-temanku kembali kepada Tuhan. Aku bisa mengikuti Ekaristi, berdoa, dan membaca Firman Tuhan setiap hari. Pendek kata, aku kini mempunyai relasi yang dekat dengan Tuhan”.

Kesembuhan rohani, yaitu kedekatannya dengan Tuhan, memberikan kebahagiaan dan sukacita dalam hidupnya. Andaikan diminta untuk memilih “sembuh dari penyakitnya, tetapi jauh dari Tuhan atau tetap sakit, tetapi dekat dengan Tuhan, ia akan memilih “tetap sakit, tetapi dekat dengan Tuhan”. Pilihannya itu bisa terjadi karena ia mengimani Firman Tuhan ini: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33).

Kesimpulan sebagai sebuah refleksi iman: jamahan Tuhan membangun cinta kepadaNya. Cinta kepada Tuhan membentuk jiwa yang lapang. Kesabaran iman menaklukkan ganasnya penyakit yang ada di dalam diri kita.

Tuhan memberkati

Catatan : Ira akan menjadi sharer/memberi kesaksian dalam Retret Penyembuhan yang saya berikan pada tanggal 1 sd 3 April 2016.