Pertanyaan:

Mohon bantu saya dalam menangkap arti dari ayat Roma 13:1

“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.”

apa ya maksud dari ayat itu? apakah ayat itu masih bisa kita pakai sampai sekarang? pemerintah yang dimaksud itu pemerintahan pada waktu itu saja, atau pemerintah (negara) yang ada di dunia ini, jadi sekarang pun kita harus tunduk kepada negara dimana kita tinggal.

Pertanyaan:

Mohon bantu saya dalam menangkap arti dari ayat Roma 13:1

“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.”

apa ya maksud dari ayat itu? apakah ayat itu masih bisa kita pakai sampai sekarang? pemerintah yang dimaksud itu pemerintahan pada waktu itu saja, atau pemerintah (negara) yang ada di dunia ini, jadi sekarang pun kita harus tunduk kepada negara dimana kita tinggal.

Alexander

Jawaban:

Shalom Alexander,

Untuk menjawab pertanyaan anda saya meringkas dari penjelasan yang disebutkan di dalam The Navarre Bible, (New York, Scepter Publishers, 2003), p. 124-125 demikian:

Yesus sendiri menyatakan kepada Pilatus bahwa semua otoritas kekuasaan datang dari Tuhan (lih Yoh 19:11; Ams 8:15-16, Keb 6:3). Tuhan, sang Pencipta keteraturan sosial, menciptakan manusia sebagai mahluk yang perlu untuk hidup dan berkembang di dalam komunitas, dan karenanya memampukannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan baik.

Konsili Vatikan II menyatakan, “Dengan demikian jelaslah negara dan pemerintah mempunyai dasarnya pada kodrat manusia, dan karena itu termasuk tatanan yang ditetapkan oleh Allah. Sedangkan penentuan sistim pemerintahan dan penunjukan para pejabat pemerintah hendaknya diserahkan kepada kebebasan kehendak para warganegara.” (Vatikan II tentang Gereja dan dunia modern, Gaudium et Spes, 74)

Justru karena tatanan tersebut (otoritas sipil) berasal dari Allah, maka ketika otoritas tersebut ingin mencapai kebaikan bersama, dan dilakukan di dalam batas-batas keteraturan moral, maka otoritas tersebut harus ditaati di dalam nurani. Kegagalan untuk menaatinya adalah pelanggaran terhadap perintah ke-4 dalam ke 10 Perintah Allah (Hormatilah orang tuamu), seperti yang dijelaskan oleh St. Thomas Aquinas, “bukan hanya perkembangbiakan natural yang merupakan dasar untuk memanggil seseorang ‘bapa’. Terdapat banyak alasan mengapa beberapa orang dapat diberikan gelar ini, dan setiap jenis kebapaan (fatherhood) ini memerlukan penghormatan yang selayaknya…. Raja-raja dan pangeran dipanggil sebagai ‘bapa’ karena mereka harus menjaga kesejahteraan rakyatnya. Kepada mereka kita menghormati dengan ketaatan. Dan kita lakukan tidak hanya karena takut tetapi karena kasih, tidak hanya untuk alasan kenyamanan tetapi karena hati nurani kita menyatakan demikian. Sebab seperti Rasul Paulus katakan, semua pemerintah datang dari Tuhan (Rom 13:1), dan karena itu setiap orang harus memberikan kepada setiap orang yang lain sesuatu yang menjadi haknya.” (On the two commandments of love and the ten commandments of the law, 4). Hal yang harus kita bayar kepada otoritas adalah: penghormatan, tunduk, pembayaran pajak untuk mendukung pelayanan-pelayanan masyarakat yang memperbolehkan masyarakat hidup dalam damai dan keamanan, yang menjaga mereka dari kekerasan dan menuju peradaban yang lebih baik.

Dari awal, umat Kristiani telah berusaha memenuhi kewajiban sosial mereka, walaupun mereka adalah korban-korban penganiayaan (lih. Leo XIII, Quod apostolici; Diuturnum illud, Immortale Dei). Contoh yang mengagumkan pada jemaat perdana adalah yang diberikan oleh St. Yustinus Martir sekitar pertengahan abad pertama dan abad kedua (First Apology 17). Demikian juga Tertullian, yang demikian kritis terhadap dunia pagan, menuliskan kepada para beriman, dalam persekutuan, agar berdoa bagi para kaisar, para menteri dan pegawai negeri, dan bagi kesejahteraan dan damai (lih. Apologeticum, 39, 1 ff). Dengan berbuat demikian, umat Kristiani melaksanakan perintah Tuhan Yesus, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22:21)

Jadi kesimpulannya, ya, bahkan di masa sekarang, kita harus memberikan penghormatan kepada pemerintah negara di mana kita tinggal. Namun demikian, kita berhak pula menyuarakan pendapat kita, jika terdapat kebijakan-kebijakan yang menentang hukum Tuhan. Contoh yang mungkin jelas terlihat misalnya di Amerika ini, di mana terdapat gerakan-gerakan umat Katolik dan umat Kristiani lainnya dalam Pro- Life untuk menentang kebijakan pemerintah yang melegalisasi aborsi. Namun prinsipnya protes apapun tidak diperbolehkan sampai kepada level ‘anarki’ karena biar bagaimanapun, kita harus tetap menghormati pemerintah negara kita.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

17 COMMENTS

  1. Bisakah seorang pastor, sebelum doa penutup, berbicara mengenai politik yang membela salah satu pasangan calon kepala daerah (malah menyebut nama pasangan calon kepala daerah)?

    Syalom, terima kasih

    • Shalom Ronal,

      Pada hakekatnya homili dimaksudkan untuk menjelaskan misteri penebusan, sebagaimana tersurat maupun tersirat dalam bacaan Kitab Suci pada perayaan Ekaristi hari itu. Maka memang selayaknya bukan merupakan khotbah berkenaan dengan hal politik, apalagi jika tidak berkaitannya dengan bacaan Kitab Suci hari itu. Hal ini jelas disebutkan dalam Redemptionis Sacramentum, demikian:

      “67. Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh berdasarkan misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta patokan hidup Kristiani, bertitik tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang bagian umum (Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dala Misa ataupun suatu perayaan gerejawi lain. Sudah tentu  segala interpretasi Kitab Suci harus bertitik tolak dari Kristus sendiri, sebagai penanggung seluruh karya keselamatan, sekalipun hal ini hendaknya dibuat di bawah sorotan khusus perayaan liturgis tertentu. Dalam homili yang hendak dibawakan, perlulah diperhatikan agar hidup harian umat disinari terang Kristus. Namun hal ini harus dilakukan semikian rupa sehingga tidak mengaburi sabda Allah yang benar dan tak tergoyangkan, dengan misalnya hanya membahas masalah politik atau pokok-pokok duniawi belaka, atau dengan menimba inspirasi dari aliran-aliran religius semu.” (Redemptionis Sacramentum 67)

      Di sini selayaknya berperan kebijaksanaan dari imam tersebut untuk menerapkan apa yang pas untuk disampaikan dalam homili. Memang contoh-contoh hidup yang relevan di hidup sehari-hari diperlukan tetapi sejauh mana itu cocok untuk menjelaskan bacaan Kitab Suci hari itu, itulah yang memang memerlukan permenungan dari pihak imam yang menyampaikan homili.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Shalom Bu Ingrid,

    Bagaimana dengan perang untuk kemerdekaan? Apakah itu melanggar hukum kasih?

    Dan, jika pemerintahan kita korup seperti sekarang, haruskah kita juga menghormatinya? Apakah kita sebagai umat Katolik juga wajib mencintai negara kita sebagai wujud kasih kita kepada Allah? Dan, bagaimana pandangan Katolik terhadap politik? Memandang selama ini politik begitu bengis dan menentang hukum kasih, banyak intrik dan kelicikan, bagaimana kita harus menghadapinya?

    Terima Kasih,

    Shalom,

    Monica

    • Shalom Monica,

      1. Perang Kemerdekaan

      Perang kemerdekaan umumnya memberi konotasi adanya perang yang dilakukan untuk memerdekakakan suatu bangsa dari penindasan bangsa lain. Maka walau keadaan ini tidak ideal, namun tujuan utamanya sesungguhnya adalah untuk membela hak negara yang bersangkutan untuk merdeka. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa terdapat syarat suatu perang agar dapat dikatakan sebagai perang yang adil (just war) yaitu untuk alasan membela diri:

      KGK 2309     Syarat-syarat yang memperbolehkan suatu bangsa membela diri secara militer, harus diperhatikan dengan baik. Keputusan semacam itu berakibat besar, sehingga hal itu hanya diperbolehkan secara moral dengan syarat-syarat berikut yang ketat, yang harus serentak terpenuhi:

      a) Kerugian yang diakibatkan oleh penyerang atas bangsa atau kelompok bangsa, harus diketahui dengan pasti, berlangsung lama, dan bersifat berat.
      b) Semua cara yang lain untuk mengakhirinya harus terbukti sebagai tidak mungkin atau tidak efektif.
      c) Harus ada harapan yang sungguh akan keberhasilan
      d) Penggunaan senjata-senjata tidak boleh mendatangkan kerugian dan kekacauan yang lebih buruk daripada kejahatan yang harus dielakkan. Dalam menentukan apakah syarat-syarat ini terpenuhi, daya rusak yang luar biasa dari persenjataan modern harus dipertimbangkan secara serius. Inilah unsur-unsur biasa, yang ditemukan dalam ajaran yang dinamakan ajaran tentang “perang yang adil”. Penilaian, apakah semua prasyarat yang perlu ini agar diperbolehkan secara moral suatu perang pembelaan sungguh terpenuhi, terletak pada pertimbangan bijaksana dari mereka, yang kepadanya dipercayakan pemeliharaan kesejahteraan umum.

      2. Reaksi terhadap Pemerintah yang korup

      Sabda Tuhan mengajarkan kepada kita untuk mendukung para pemimpin dan mendoakan mereka. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan agar kita memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan, dan kepada kaisar (pemimpin negara) apa yang menjadi hak kaisar (lih. Luk 20:25). Namun memang memprihatinkan di sini, bahwa dapat terjadi bahwa para pemimpin tidak melaksanakan tugas dengan baik ataupun menjadi korup. Untuk ini rakyat tentu dapat menyuarakan pendapatnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku; namun tidak dengan melakukan tindakan anarkis -karena hal itu berlawanan dengan prinsip keadilan dan kasih. “Bila para warga negara mengalami tekanan dari pihak pemerintah yang melampaui batas wewenangnya, hendaknya mereka jangan menolak apa pun, yang secara obyektif memang dituntut demi kesejahteraan umum. Tetapi boleh saja mereka memperjuangkan hak-hak mereka serta sesama warga negara melawan penyalahgunaan kekuasaan itu, dengan tetap mengindahkan batas-batas “yang digariskan oleh hukum kodrati dan Injil” (GS 74,5, seperti dikutip dalam KGK 2242)

      3. Politik menurut ajaran Gereja

      Secara umum, Katekismus mengajarkan demikian:

      KGK 2245    Gereja, yang karena tugas dan wewenangnya sama sekali tidak identik dengan persekutuan politik, adalah tanda sekaligus pembela hakikat transenden manusia. Dengan demikian “Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara” (GS 76.3).

      Tentang keterlibatan awam Kristen dalam politik:

      KGK 899    Prakarsa para awam Kristen sangat dibutuhkan dalam usaha mencari sarana dan jalan, untuk meresapi keadaan-keadaan kemasyarakatan, politik, dan sosial ekonomi dengan tuntutan iman dan kehidupan Kristen. Tentu usaha ini termasuk kehidupan Gereja:
      “Umat beriman atau lebih tepat lagi kaum awam, berdiri di garis terdepan kehidupan Gereja; melalui mereka Gereja adalah unsur kehidupan bagi masyarakat manusiawi. Oleh karena itu mereka, dan justru mereka, harus memiliki suatu keyakinan yang makin dalam, bahwa mereka tidak hanya termasuk dalam Gereja, tetapi merupakan Gereja, artinya, persekutuan kaum beriman di dunia di bawah bimbingan Paus sebagai kepala dan para Uskup yang bersatu dengan dia. Mereka adalah Gereja (Pius XII, Wejangan 20 Pebruari 1946, dikutip dalam CL 9).

      Sedangkan tentang wewenang politik:

      KGK 1901    Sementara wewenang merujuk kepada tata tertib yang ditetapkan oleh Allah, “penentuan sistem pemerintahan dan penunjukan para pejabat pemerintah hendaknya diserahkan kepada kebebasan kehendak para warga” (GS 74,3). Bentuk pemerintah yang berbeda-beda diperbolehkan secara moral, sejauh mereka melayani kesejahteraan masyarakat yang sah. Regim pemerintahan yang hakikatnya bertentangan dengan hukum kodrat, ketertiban umum, dan hak-hak asasi pribadi-pribadi, tidak dapat merealisasikan kesejahteraan umum bangsa-bangsa, yang kepadanya mereka dipercayakan.

      KGK 1902    Wewenang tidak mempunyai keabsahan moral dari dirinya sendiri. Ia tidak boleh bersikap semena-mena, tetapi harus bekerja untuk kesejahteraan umum “sebagai kekuatan moral, yang bertumpu pada kebebasan dan kesadaran akan kewajiban serta beban yang telah mereka terima sendiri” (GS 74,2).
      “Sejauh hukum manusia sesuai dengan akal budi yang benar, ia mempunyai hakikat hukum; maka ia dengan jelas berasal dari hukum abadi. Tetapi sejauh ia menyimpang dari akal budi, ia dinamakan hukum yang tidak adil dan dengan demikian ia tidak mempunyai hakikat suatu hukum, tetapi sebaliknya hakikat satu perkosaan” (Tomas Aqu., s.th. 1-2,93, 3 ad 2).

      KGK 1903    Wewenang hanya dapat dijalankan dengan sah, apabila ia mengusahakan kesejahteraan umum masyarakat yang bersangkutan dan mempergunakan cara-cara yang secara moral diperbolehkan untuk mencapainya. Kalau para penguasa menetapkan undang-undang yang tidak adil atau mengambil langkah-langkah yang berlawanan dengan tata tertib moral, maka penetapan macam itu tidak dapat mewajibkan hati nurani; “dalam hal ini wewenang hilang sama sekali dan sebagai penggantinya timbullah ketidakadilan yang lalim” (PT 51).

      KGK 1904    Adalah lebih baik “kalau setiap kekuasaan diimbangi oleh kekuasaan dan tanggung jawab dalam bidang kompetensi lainnya, untuk membatasi lingkup kekuasaan itu. Itulah prinsip negara hukum dalamnya hukum berkuasa, bukan kemauan perorangan yang semena-mena” (CA 44).

      KGK 2237    Para penguasa politik berkewajiban menghormati hak asasi manusia. Mereka harus melaksanakan keadilan secara manusiawi, sementara itu menghormati hak tiap orang, terutama hak keluarga dan hak orang-orang yang berkekurangan.Hak-hak sebagai warga negara dapat dan harus dijamin sesuai dengan tuntutan kesejahteraan umum. Penguasa-penguasa resmi tidak boleh membatalkannya tanpa alasan yang benar dan memadai. Pelaksanaan hak-hak politik harus memajukan kesejahteraan umum bangsa dan masyarakat manusia.

      Hak asasi yang paling mendasar yang harus dilindungi oleh wewenang politik adalah hak untuk hidup dari setiap manusia yang tidak bersalah:

      KGK 2273    Hak yang tidak dapat dicabut atas kehidupan dari tiap manusia yang tidak bersalah merupakan satu unsur mendasar bagi masyarakat dan bagi perundang-undangannya. “Hak-hak pribadi yang tidak boleh dicabut harus diakui dan dihormati oleh masyarakat negara dan oleh kekuasaan negara: hak-hak manusia tidak bergantung pada individu masing-masing, juga tidak pada orang-tua dan juga tidak merupakan satu karunia masyarakat dan negara. Mereka termasuk dalam kodrat manusia dan berakar dalam pribadi berkat tindakan penciptaan, darinya mereka berasal. Di antara hak-hak fundamental ini orang harus menjabarkan dalam hubungan ini: hak atas kehidupan dan keutuhan badani tiap manusia sejak saat pembuahan sampai kepada kematian” (DnV 3).”Pada saat, hukum positif merampas dari satu kelompok manusia perlindungan, yang harus diberikan kepada mereka oleh undang-undang negara, negara menyangkal kesamaan semua orang di depan hukum. Kalau kekuasaan negara tidak melayani hak setiap warga, dan terutama mereka yang paling lemah, maka dasar negara hukum diguncangkan…. Sebagai akibat dari penghormatan dan perlindungan, yang harus diberikan kepada anak yang belum lahir sejak saat pembuahannya, hukum harus dilengkapi dengan sanksi-sanksi yang memadai bagi setiap pelanggaran yang dikehendaki terhadap hak-hak seorang anak” (DCF, DnV 3).

      Pada saat hukum positif mencabut sebuah katagori umat manusia dari perlindungan di mana peraturan sipil seharusnya diberikan kepada mereka, negara melanggar persamaan hak semua manusia secara hukum. Ketika negara tidak menempatkan kekuasaannya untuk melayani hak- hak setiap warganegara, secara khusus mereka yang paling lemah, maka dasar negara yang paling hakiki dirusak… Sebagai konsekuensi dari penghormatan dan perlindungan yang harus diberikan kepada anak- anak yang di dalam kandungan sejak masa konsepsi, hukum harus memberikan sangsi yang layak bagi setiap pelanggaran yang disengaja terhadap hak- hak anak- anak tersebut.” (DCF, DnV 3).

      Secara garis besar, jelaslah apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang wewenang politik, yaitu harus mengusahakan kesejahteraan umum, dengan menghormati hak- hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup semua warganegaranya, secara khusus bagi golongan yang paling lemah, seperti para bayi sejak dalam kandungan ibunya. Dasar ajaran ini jauh dari keadaan politik yang bengis dan menentang hukum kasih, ataupun penuh intrik dan licik. Adalah bagian anda dan saya sebagai warga negara untuk berdoa bagi para pemimpin negara kita agar mereka dijauhkan dari sikap yang buruk, dan untuk ini Katekimus mengajarkan:

      KGK 1900     Kewajiban taat menuntut dari semua orang, supaya memberi penghormatan yang pantas kepada orang yang berwewenang dan pribadi-pribadi yang melaksanakan tugasnya dan menyampaikan kepada mereka – sesuai dengan jasanya – tanda terima kasih dan simpati.
      Doa Gereja tertua untuk para pemegang wewenang negara disusun oleh santo Paus Klemens dari Roma: “Ya Tuhan, berilah kepada mereka kesehatan, kedamaian, kerukunan, kemantapan, supaya mereka tanpa cacat dapat menjalankan kekuasaan yang Engkau berikan kepada mereka! Karena Engkau, Tuhan surgawi. Raja segala abad, memberi kepada anak-anak manusia, kemuliaan dan kehormatan dan kekuasaan atas apa yang ada di atas bumi; semoga Engkau, ya Tuhan mengatur kehendak mereka menurut apa yang baik dan berkenan kepada-Mu, sehingga dalam kedamaian dan kebaikan hati mereka menjalankan kekuasaannya yang diberikan kepada mereka oleh Engkau dan dengan demikian menikmati kemurahan hati-Mu” (St. Clement dari Roma, Ad Cor. 61: SCh:167, 198-200).

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Salam, saya mau bertanya
        “Bagaimana jika kita sbg umat tahu dewan gereja yg tidak benar lalu kita mengkritiknya, lalu apakah kita sbg umat punya hak untuk mencopot dewan gereja yg memang tidak melakukan tugasnya dng benar? Kepada siapakah seharusnya kita melaporkan ttg hal itu, jika tnyt romo paroki pun tnyt sejalan dng dewan gereja (dalam hal ini romo melindungi dewan gereja krn alasan tertentu) dan seolah” si pelapor ini dituduh spt mencari” kesalahan dewan gereja, krn memang tidak ada umat lain yg berani mengkritik kesalahan dewan gereja yg salah ini jd terlihat seolah” memang tidak ada saksi lain sedang dewan yg salah ini mendapat dukungan dr romo (yg mgkn saja tidak tahu kesalahan dewan krn di tutup’i sedemikian rupa hingga dewan yg salah seolah” terlihat baik)……..
        Apa dlm hal ini kita yg mengkritik ini dianggap menghakimi org lain dng takaran kita? Karena Tuhan tidak menghendaki kita sbg umat Nya untuk menghakimi org lain dng takaran kita…

        Trima kasih
        Berkah Dalem

        • Salam Michael,

          Sebagai manusia yang sudah dibaptis yang dipanggil mewartakan kebenaran, kita terdorong menyuarakan kebenaran jika mendapati tindakan yang tidak sesuai dengan hakikat kebenaran. Sudah menjadi kewajiban moral kita untuk menegur yang berbuat salah, dengan semangat kasih demi perbaikan keadaan dan demi keselamatan yang kita tegur.

          Dengan demikian kita telah melaksanakan perintah kasih dengan mengingatkan sesama kita.
          Motivasi menegur berdasar kasih, caranya pun dengan kasih (Mat 18:15-17) pasti berbuah kasih keselamatan pula, Sedangkan jika kita sendiri berbuat salah, maka kita pun dengan rendah hati menerima saran perbaikan dari sesama demi keselamatan kita sendiri. Itulah hakikat kebersamaan kita sebagai satu Tubuh Kristus.

          Dengan prinsip di atas, kita melangkah ke tahap berikutnya, yaitu mengenai jenis kesalahannya. Ada kesalahan moral seorang sebagai individu yang bisa pula merupakan dosa individu. Ada pula kesalahan sebagai organisasi dalam memutuskan tindakan yang merugikan orang banyak. Untuk kesalahan atau dosa jenis pertama, cara menegurnya silahkan menuruti Mat 18:15-17. Membawanya kepada jemaat (Gereja) dalam hal ini berarti membawanya pada pastor paroki, atau jika masih membandel, kepada Vikaris Episkopalis (Wakil Uskup utk wilayah tertentu) atau ke atas lagi kepada Uskup.

          Jika kesalahannya menyangkut keputusan organisasi, sebaiknya Anda langsung mengajukan saran keberatan kepada Dewan Paroki tersebut secara tertulis dengan tembusan kepada pihak-pihak terkait dengan bukti tertulis. Jika saja masih membandel,
          Anda bisa ajukan kepada uskup.

          Salam
          Yohanes Dwi Harsanto, Pr

      • Halo, Bu Inggrid.
        Saya memiliki beberapa pertanyaan mengenai topik peperangan dan hubungan antara Kekristenan dan pemerintahan.

        1. Jadi sebenarnya orang Kristen sendiri boleh membunuh orang lain selama mereka bertujuan memerangi penjajahan yang kejam dengan syarat-sayarat di atas. Benarkah demikian, Bu?

        2. Lalu dalam hal apa sajakah orang Kristen dapat melanggar hukum kodrati yang tetap dan kekal dari Tuhan? Boleh membunuh selama syarat-syarat di atas terpenuhi jelas melanggar perintah “Jangan membunuh”. Adakah keadaan-keadaan yang memperbolehkan orang Kristen mencuri, menginginkan harta orang lain, berbohong, atau hal-hal lainnya?

        3. Saya rasa Kekristenan tidak dapat dipakai sebagai dasar dalam pemerintahan. Kekristenan terlalu lembek dalam hal hukuman. Prinsip kasih Kristen adalah “kasihilah musuhmu dan jangan membalas kejahatan yang mereka lakukan”. Yesus juga mengajarkan “jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Jangan kamu menghukum, supaya kamu tidak dihukum. Ampunilah orang lain yang bersalah kepadamu, sehingga kamu pun akan diampuni”. Apabila ajaran-ajaran Yesus ini diterapkan di pemerintahan, pemerintah tidak akan bisa tegas. Kejahatan akan semena-mena beredar di masyarakat. Tidak ada rasa takut bagi setiap orang untuk berbuat jahat. Toh, nantinya akan diampuni. Mengenai pendapat saya ini, apakah tanggapan Ibu?

        Terima kasih sebelumnya.

        • Shalom Bogoro,

          1&2. Tentang “just war”, mencuri dan berbohong

          Jika kita membaca ajaran Katekismus tentang perang yang adil, kita mengetahui bahwa keadaan yang disyaratkan juga tidaklah mudah ataupun sembarangan. Perang tersebut dapat dibenarkan secara moral, hanya kalau sudah diupayakan segala cara untuk mencegahnya, namun benar-benar tidak ada jalan lain. Jalan itu dianggap sebagai cara satu-satunya untuk mencegah agar korban dan perampasan hak azasi manusia yang terjadi tidaklah menjadi lebih besar. Prinsip ini hampir sama dengan keadaan yang dapat dibenarkan secara moral, bahwa seseorang yang terpaksa membunuh demi membela dirinya sendiri dari ancaman pembunuhan. Sebab jika dia tidak melakukan pembelaan diri, dia sendiri yang akan terbunuh. Maka dalam hal ini yang dilakukannya adalah membela hak azasinya untuk hidup.

          Jangan lupa bahwa yang akhirnya berhak menentukan bahwa perang itu adalah “just war” atau tidak, adalah apakah itu dilakukan atas perintah otoritas pemerintah yang sah. Jadi keputusan untuk “just war” itu tidak dapat diputuskan sendiri secara pribadi, tetapi oleh otoritas yang sah, yang membela kepentingan seluruh bangsa. Demikianlah kita mengetahui bahwa perang melawan bangsa penjajah merupakan “just war” karena hal itu adalah untuk membela kepentingan umum, bukan kepentingan kelompok tertentu. Sedangkan kalau seseorang membunuh demi membela kelompoknya sendiri, bahkan menentang kepentingan umum/ bangsa dan hak azasi manusia secara umum, maka itu jelas bukan “just war“/ perang yang adil, dan dengan demikian tidak dapat dibenarkan secara moral. Demikian pula kalau suatu bangsa tidak dalam keadaan terjajah, tidak dalam keadaan dilanggar hak azasinya, maka tidak ada alasan apapun untuk membunuh ataupun melakukan perang dengan bangsa lain.

          Perlu diketahui bahwa perang yang adil yang dapat melibatkan tindakan pembunuhan, bukan merupakan keadaan umum ataupun keadaan yang mudah diputuskan, melainkan sebagai keputusan yang sulit diambil dengan mempertimbangkan akibat ganda. Nah prinsip moral dalam membuat keputusan sulit dalam keadaan akibat ganda, sudah pernah diulas di sini, silakan klik. Nah, maka tetaplah harus dipegang bahwa ketentuan umum adalah jangan membunuh. Itu adalah perintah Tuhan yang harus diusahakan semaksimal mungkin. Bahwa dalam pelaksanaannya dalam kehidupan di dunia ini ada hal-hal khusus yang tidak ideal, maka kita melihatnya kepada kasus per kasus, namun tetap ada prinsip moral yang harus dipegang, yang sebenarnya juga bermuara kepada perintah Tuhan agar kita menjunjung tinggi prinsip keadilan, hak-hak azasi manusia, dan membela kepentingan umum.

          Selanjutnya tentang 3 prinsip yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan baik -menurut St. Thomas Aquinas- adalah bahwa 1) obyek moralnya baik, 2) keadaan/ circumstances nya, 3) maksud dan tujuannya baik. Penjelasannya dapat dibaca di artikel di link di atas.

          Dengan prinsip ini, maka kita ketahui, segala tindakan pencurian selalu tidak dapat dibenarkan secara moral, sebab tindakan mencuri itu selalu melanggar prinsip keadilan, yaitu merugikan pihak yang dicuri, dan yang mencuri mengambil tanpa izin. Demikian juga dengan berbohong, hal itu tidak dibenarkan, karena tindakan itu melawan kebenaran. Sedangkan jika prinsip ini dihubungkan dengan keadaan “just war” itu tadi, keadaan khusus dapat dibenarkan, jika obyek moralnya adalah untuk membela diri atau untuk mempertahankan hak azasi manusia secara umum, dan bukan semata untuk mengakhiri hidup orang lain.

          3. Apakah kekristenan terlalu lembek sebagai dasar pemerintahan?

          Sebenarnya tidak. Ajaran iman Kristen tidak menolak perlu adanya hukuman, jika itu untuk menegakkan keadilan. Hukuman fisik itu dapat dibenarkan, namun jangan dipertentangkan dengan pengampunan. Sebab pengampunan tidak otomatis berarti menghilangkan konsekuensi dosa. Bahkan prinsip ajaran tentang Api Penyucian adalah demikian, yaitu jika konsekuensi/siksa dosa belum dilunasi di dunia ini, maka hal itu akan diperhitungkan setelah kematian dalam Api Penyucian. Selanjutnya tentang Api Penyucian, klik di sini.

          Dalam Injil, Kristus tidak menolak adanya keberadaan penjara. Namun Ia mengajarkan bahwa kita perlu tetap mengasihi orang-orang yang di penjara, mengunjungi/ melawat mereka; dan Kristus menganggap perbuatan kasih itu sebagai perbuatan yang dilakukan terhadap DiriNya sendiri, dan hal itu akan diperhitungkan dalam Penghakiman Terakhir (lih. Mat 25:31-44).

          Sedangkan prinsip apa yang dipegang Gereja Katolik perihal hukuman mati, silakan membaca artikel ini, silakan klik.

          Ajaran iman Kristiani justru sebenarnya mendorong orang untuk berbuat baik dan tidak berbuat jahat, sebab jelas dikatakan dalam Kitab Suci bahwa kelak kita akan diadili berdasarkan perbuatan kita (lih. Why 20:12) yang kita lakukan semasa kita hidup di dunia.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Shalom Bu Inggrid,

    Baru saja saya membaca-baca lagi catatan-catatan kaki di kitab-kitab deuterokanonika. seperti biasa, saya paling suka dengan kitab Kebijaksanaan Salomo.

    Tidak sengaja saya menemukan catatan kaki yang berhubungan dengan Roma 13:1 yaitu KebSal 6:3

    semoga dengan kutipan ini, semakin meneguhkan bahwa kita tidak bisa memandang sebelah mata kitab-kitab yang tergolong dalam deuterokanonika. Karena para penulis kitab-kitab PB–bahkan, kalau tidak salah, Yesus sendiri pun–mengutip kitab-kitab PL yang tergolong deuterokanonika.

  4. berdasar roma 13:1

    bagaimana dengan negara yang tidak saya tinggali? saya tinggal di indonesia, haruskah saya menghormati dengan cara mengakui keberadaan negara singapura dan negara-negara lainnya?

    • Shalom Alexander,
      Tentu saja negara-negara lain yang ada di sekitar kita yang terbentuk dengan azas keadilan dan kedamaian perlu kita akui keberadaannya. Prinsipnya sama seperti kita menghormati orang tua teman-teman kita, namun tentu kepada orang tua kita, kita tidak saja memberikan hormat tetapi juga kasih kita sebagai anak kepada orang tua. Demikian juga kita kepada negara kita sendiri, rasa hormat dan cinta tanah air kita berikan kepada negara kita, walaupun kita juga menghormati negara lain.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

          • setelah saya baca di link itu. berarti secara hukum, Tahta Suci setara dengan sebuah negara. kalau begitu… seharusnya protestan juga harus mengakui keberadaan Gereja Katolik, juga harus mengakui bahwa Tuhan menghendaki Tahta Suci tetap ada hingga sekarang. Tidak boleh “menyerang-nyerang” Gereja Katolik karena kalau tidak berarti protestan tidak sola scriptura (karena–sesuai dengan Roma 13:1–tidak menghormati Gereja Katolik yang bisa tetap eksis sampai sekarang)

            menurut Bu Inggrid bagaimana?

          • Shalom Alexander,
            Saya baru mengerti mengapa anda bertanya demikian. Ya, memang seharusnya, secara obyektif kita menerima Tahta Suci sebagai suatu negara, walaupun memang pada kuasa pemerintahannya tidak berfokus pada kesejahteraan duniawi tetapi rohani, dan kedaulatannya berhubungan dengan tugas kepemimpinannya atas umat Katolik di seluruh dunia.
            Namun saya rasa, kalau sampai terjadi ketidaksetujuan Protestan atas ajaran Gereja Katolik, itu tidak mereka maksudkan untuk ‘menyerang’ kedaulatan negara Tahta Suci Vatikan. Mereka hanya mempertanyakan ajaran Gereja Katolik saja, yang mereka pandang tidak sesuai dengan ajaran gereja mereka. Maka sudah menjadi kewajiban Gereja Katolik termasuk umat Katolik di dalamnya, untuk memberi penjelasan saat kita menerima pertanyaan dari saudara/i kita yang Protestan. Saya percaya, di lubuk hati semua umat Kristen (baik Protestan dan Katolik,) kita sama-sama menjunjung tinggi perdamaian antar bangsa-bangsa, karena hal itu sesuai dengan prinsip kasih yang diajarkan oleh Kristus.

            Jadi sesungguhnya jika kita melihat kepada fakta sejarah, sesungguhnya kita tidak dapat memungkiri keberadaan Gereja Katolik dalam sejarah umat manusia. Fakta bahwa memang Gereja Katolik tetap eksis sampai 2000 tahun memang itu adalah suatu bukti penyertaan Tuhan, yang harus pertama-tama kita syukuri. Namun juga jangan sampai hal itu membuat kita umat Katolik menjadi tinggi hati/ sombong, karena kita harus menyadari bahwa eksistensi Gereja Katolik sampai sekarang itu bukan karena jerih payah manusia namun hanya mungkin karena rahmat Allah sendiri yang dijanjikannya kepada Rasul Petrus, yang atasnya Kristus mendirikan Gereja-Nya (Mat 16:18).

            Semoga kita semua beroleh kasih karunia untuk berlaku bijak menanggapi berbagai pertanyaan, sanggahan atau apapun bentuknya yang ditujukan kepada kita umat Katolik. Kita harus pertama-tama melihat maksud baik mereka untuk berdialog dengan kita. Semoga setelah kita memberi “pertanggungjawaban iman kita dengan lemah lembut dan hormat” (1 Pet 3:15), maka mereka dapat memahami ajaran Gereja Katolik, atau bahkan terpanggil untuk menjadi Katolik. Namun jika tidak demikian, tidak usah berkecil hati. Kita sudah menebarkan benih, selanjutnya kita biarkan Tuhan saja yang bekerja dalam diri orang tersebut. Kita sudah melakukan bagian kita, dan kita biarkan Tuhan melanjutkan sesuai dengan kehendak-Nya.

            Salam kasih dalam Kristsu Tuhan,
            Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  5. Mohon bantu saya dalam menangkap arti dari ayat Roma 13:1

    “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.”

    apa ya maksud dari ayat itu? apakah ayat itu masih bisa kita pakai sampai sekarang? pemerintah yang dimaksud itu pemerintahan pada waktu itu saja, atau pemerintah (negara) yang ada di dunia ini, jadi sekarang pun kita harus tunduk kepada negara dimana kita tinggal.

    [Dari Admin Katolisitas: Pertanyaan tersebut sudah dijawab di atas, silakan klik]

Comments are closed.