Pertanyaan:

Halo Pak Stefanus dan Ibu Inggrid, apa kabar? Saya ingin bertanya lagi:
1. Bolehkah kita menganggap bahwa Perjanjian Lama adalah buku yang tak sempurna? Karena kita tahu bahwa ada beberapa denominasi non Katolik seperti Gereja Advent Masehi Hari Ketujuh banyak mengambil tata cara hidup mereka seperti apa yang tertulis di PL, misalnya hari Sabbath, pelarangan makanan yang dituliskan di Immamat. Mengapa kita sebagai Katolik tidak mengikuti tradisi yang tertulis di PL?
2. Sebenarnya bagaimana pembentukan tata cara liturgi? Saya pernah membaca bahwa tata cara misa yang ada tidak lepas dari keterlibatan dari keputusan Paus. Apa alasan Paus dalam menambahkan hal-hal dalam tata cara liturgi?
3. Apa artinya menggenapi hukum Taurat oleh Yesus tanpa membuang satu titik pun di Matius 5:17-20?

Terima kasih ya =)
Ohya apa kabar progres bukunya, tidak sabar nih menunggunya ^^ – Andreas

Jawaban:

Shalom Andreas,

Terima kasih atas pertanyaannya. Mari kita membahasnya bersama-sama:

1) Apakah Perjanjian Lama (PL) adalah buku yang tidak sempurna? Tergantung definisi dari sempurna. Kalau definisi tidak sempurna adalah banyak kesalahan, maka tidaklah benar. Kalau definisi dari tidak sempurna adalah tidak lengkap, maka saya setuju. Bagi umat Kristen, PL tidaklah lengkap kalau tidak dibaca dalam terang Perjanjian Baru (PB). Hal ini dikarenakan iman kekristenan kita bersumber pada Kristus. Jadi dengan membaca PL tanpa PB, kita tidak dapat menangkap pribadi Kristus secara jelas dan pemenuhan rencana Allah secara lengkap. Sebaliknya dengan membaca PB dengan latar belakang PL, kita akan semakin mengerti kesempurnaan rancangan keselamatan Allah. Kita melihat apa yang dikatakan oleh Katekismus Gereja Katolik tentang Perjanjian Lama, yaitu di dalam KGK 121-123:

KGK, 121 – “Perjanjian Lama adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Kitab Suci. Buku-bukunya diilhami secara ilahi dan tetap memiliki nilainya (Bdk. DV 14.) karena Perjanjian Lama tidak pernah dibatalkan.

KGK, 122 – “Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus Penebus seluruh dunia.” Meskipun kitab-kitab Perjanjian Lama “juga mencantum hal-hal yang tidak sempurna dan bersifat sementara, kitab-kitab itu memaparkan cara pendidikan ilahi yang sejati. … Kitab-kitab itu mencantum ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang peri hidup manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan, akhirnya secara terselubung [mereka] mengemban rahasia keselamatan kita” (DV 15).”

KGK, 123 – “Umat Kristen menghormati Perjanjian Lama sebagai Sabda Allah yang benar. Gereja tetap menolak dengan tegas gagasan untuk menghilangkan Perjanjian Lama, karena Perjanjian Baru sudah menggantikannya [Markionisme].”

Kalau memang Perjanjian Lama diilhami oleh Allah, mengapa Gereja Katolik tidak mengikuti apa yang ditulis di dalam Perjanjian Lama, terutama kitab Imamat, Ulangan, Keluaran, dll? St. Thomas Aquinas (ST, I-II, q. 98-108) mengatakan bahwa ada 3 macam hukum di dalam Perjanjian Lama, yaitu:

a) Moral Law: Moral Law atau hukum moral adalah menjadi bagian dari hukum kodrati, hukum yang menjadi bagian dari kodrat manusia, sehingga Rasul Paulus mengatakan “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela” (Rom 2:15). Contoh dari hukum ini adalah yang tertulis di 10 perintah Allah, dimana terdiri dari dua loh batu, yang mencerminkan kasih kepada Allah (perintah 1-3) dan juga kasih kepada sesama (perintah 4-10). Hukum kodrati ini adalah hukum yang tetap mengikat (bahkan sampai sekarang) dan dipenuhi dengan kedatangan Kristus, karena hukum kodrati ini adalah merupakan partisipasi di dalam hukum Tuhan.

b) Ceremonial law atau hukum seremonial: sebagai suatu ekpresi untuk memisahkan sesuatu yang sakral dari yang duniawi yang juga berdasarkan prinsip hukum kodrat, seperti: hukum persembahan, tentang kesakralan, proses penyucian untuk persembahan, tentang makanan, pakaian, sikap, dll. Hukum ini tidak lagi berlaku dengan kedatangan Kristus, karena Kristus sendiri adalah persembahan yang sempurna; sebab Kristus menjadi Anak Domba Allah yang dikurbankan demi menebus dosa-dosa dunia. Maka kurban sembelihan seperti yang disyaratkan di dalam Perjanjian Lama tidak lagi diperlukan, karena telah disempurnakan di dalam kurban Kristus di dalam Perjanjian Baru. Itulah sebabnya di Gereja Katolik sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Yesus dan juga para rasul (Petrus dan Paulus) tidak mempermasalahkan makanan-makanan persembahan, karena bukan yang masuk yang najis, namun yang keluar. Ulasan ini dapat melihat di jawaban ini (silakan klik ini).

c) Judicial law: Ini adalah merupakan suatu ketentuan yang menetapkan hukuman (sangsi) sehingga peraturan dapat dijalankan dengan baik. Oleh karena itu, maka peraturan ini sangat rinci, terutama untuk mengatur hubungan dengan sesama, seperti: peraturan untuk penguasa, bagaimana memperlakukan orang asing, dll. Dalam Perjanjian Lama, Judicial law ini ditetapkan sesuai dengan tradisi bangsa Yahudi. Contoh dari judicial law: kalau mencuri domba harus dikembalikan empat kali lipat (Kel 22:1), hukum cambuk tidak boleh lebih dari empat puluh kali (Ul 25:3), memberikan persembahan persepuluhan (Mal 3:6-12). Setelah kedatangan Kristus di Perjanjian Baru, maka judicial law ini tidak berlaku lagi; sebab Kristus membuka pintu keselamatan bagi bangsa-bangsa lain, sehingga ketentuan hukuman (sangsi) diserahkan kepada pemerintahan bangsa-bangsa lain tersebut, dan di dalam konteks umat Kristiani, maka judicial law ditetapkan oleh Gereja Katolik yang memiliki anggota dari seluruh bangsa.

Jadi tradisi dan law yang bersifat ceremonial law dan judicial law harus dilakukan dalam terang Perjanjian Baru, seperti yang saya tulis di atas.

2) Untuk perkembangan bentuk liturgy, silakan melihat artikel ini (silakan klik – dalam bahasa Inggris). Sebenarnya inti perkembangan liturgy adalah dari Perjamuan Kudus yang ditetapkan oleh Kristus sendiri. Dan kemudian, para uskup-uskup, seperti: Justin Martyr, St. Clement, serta bapa Gereja yang lain melengkapi pembentukan liturgi. Dan liturgi bukan hanya seperti “Roman Rite” yang kita kenal, namun juga ada liturgi-liturgi yang lain, seperti “Byzantine rite” yang dipakai sampai saat ini oleh Gereja-gereja Timur.

Liturgi dapat didefinisikan “The liturgy is the Church’s public worship. It includes all of the rites and ceremonies by which the Church expresses her worship of God.” Dari definisi tersebut, liturgi bukanlah milik pribadi yang dapat diubah oleh masing-masing pribadi, namun liturgi menjadi suatu tata cara ibadah dimana Gereja dapat mengekpresikan diri untuk menyembah Tuhan. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar, kalau dalam perkembangannya, Paus atau uskup yang berwenang (yang mewakili Gereja) dapat menambahkan atau mengurangi, atau membakukan tata cara liturgi. Untuk saat ini, saya hanya dapat menjawab secara singkat. Mungkin di lain kesempatan, topik ini dapat dibahas secara lebih mendalam.

3) Apakah arti menggenapi hukum taurat tanpa membuang satu titikpun di Mt 5:17-20? Mt. 5:17-20 mengatakan “17 “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. 18 Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. 19 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. 20 Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

a) Pada waktu Yesus mengatakan bahwa Dia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, namun menggenapinya, maka dapat dilihat bahwa “menggenapi” adalah dengan menambahkan apa yang sebelumnya tidak ada, atau dengan melakukan apa yang diperintahkan (lih. St. Agustinus dalam komentarnya tentang ayat ini, yang dituliskan oleh St. Thomas Aquinas dalam Catena Aurea). Jadi Kristus menambahkan apa yang tidak ada sebelumnya, yaitu Diri-Nya sendiri, yaitu Sang Sabda yang menjadi manusia. Dan kalau inti dari hukum Taurat adalah mengasihi Allah dan sesama (Mt 22:37-40), maka Yesus telah memenuhi hukum ini. Namun, Dia melengkapinya dengan mengasihi sesama demi kasih kepada Allah.

b) Kalau di dalam hukum taurat apa yang dilakukan di luar (exterior acts) adalah begitu penting, maka Yesus menuntut hal yang lebih sempurna – perbuatan yang baik harus juga didasari oleh intensi yang baik. Inilah sebabnya Yesus mengatakan “20 Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.“(Mt 5:20).

c) Jadi, dalam hal ini, seperti yang saya sebutkan pada point 1), maka Kristus tidak akan menghilangkan “moral law”, namun Dia menghilangkan “ceremonial law” dan “judicial law“.

Semoga uraian di atas dapat menjawab pertanyaan Andreas. Untuk bukunya sedang digarap. Mohon doa dari Andreas dan pembaca katolisitas.org agar Ingrid dan saya dapat menulis dengan baik.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – https://katolisitas.org

29 COMMENTS

  1. Shalom Pak Stef & Bu Ingrid yg dkasihi…

    Bagaimana klau saya kata’n kedua2 P’jnjian Lama & Baru tdak lengkap, shingga Allah m’nurunkan Al-Quran utk m’lengkap’nnya? Kerana sya pny rmai teman Muslim yg m’gatakan spt ini.

    Mohon p’cerahannya?

    Thanx in advance.
    Damai Kristus bserta kalian…

    • Shalom John,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Kalau menurut saya, Perjanjian Lama (PL) tidaklah lengkap tanpa Perjanjian Baru (PB). Kita dapat melihat bahwa tidak lengkapnya Perjanjian Lama adalah tanpa kehadiran Kristus yang menjadi penggenapan dari apa yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama. Dengan demikian, kita melihat ada kaitannya antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kalau PL dan PB dianggap tidak lengkap, maka apakah yang sungguh-sungguh baru dari kitab-kitab lain sesudah PB, yang diperlukan untuk keselamatan? Itulah yang mungkin dapat ditanyakan kepada teman Anda. Semoga diskusi Anda berjalan dengan baik dan dipenuhi dengan semangat kasih.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  2. Permisi, saya mau bertanya apa orang Yahudi (Israel) jaman sekarang masih terikat Hukum Taurat seperti tidak boleh makan babi, sunat dll?
    Terima kasih

    [Dari Katolisitas: Silakan anda membaca di Wikipedia, dengan kata kunci Judaism. Terdapat tiga jenis Judaism ini: Orthodox, Conservative dan Refom Judaism. Yang masih mempertahankan hukum Taurat dan hukum Yahudi dengan strict adalah golongan Orthodox Judaism, sedangkan golongan Conservative dan Reform melihat hukum- hukum tersebut lebih sebagai guideline, dan bukan larangan/ kewajiban yang kaku. Namun golongan Conservative mempunyai interpretasi yang lebih tradisional dari golongan Reform Judaism]

  3. Saya telah membaca sekali lagi artikel di sini,tetapi saya menyadari ada yang saya lewatkan dalam membaca.

    Saya membaca bahwa Sdr.Inggrid menuliskan :
    “Sebab tidak semua pemotongan bagian tubuh dikatakan sebagai mutilasi, seperti contohnya pemotongan kutil, potong kuku, potong rambut.”

    Perlu saya tegaskan telah jelas bahwa pemotongan kuku dan rambut berbeda dengan sunat yang merupakan pemotongan kulup.Kuku dan rambut dapat tumbuh lagi jika dipotong karena itulah fungsi kuku dan rambut yaitu melindungi daging yang ditutupi oleh kuku dan kepala oleh rambut.Kuku atau rambut memiliki umur untuk diperbarui dalam menjalankan fungsinya secara maksimal.Sedangkan kulup tidaklah tumbuh lagi jika dipotong sehingga berbagai fungsi kulup menjadi hilang secara permanen akibat pemotongan ini dan akhirnya fungsi tubuh menjadi berkurang.Oleh karena itu,pemotongan kuku dan rambut tidaklah termasuk mutilasi karena pemotongan kuku dan rambut adalah normal tanpa menghilangkan fungsinya.Kalau pemotongan kutil,sudah jelas bahwa kutil adalah sesuatu yang abnormal dan mengganggu fungsi tubuh,sedangkan kulup adalah bagian tubuh dan sesuatu yang normal serta memiliki fungsi yang sangat bermanfaat bagi tubuh sampai akhir hidup seorang laki2.
    Sunat atau pemotongan kulup telah jelas termasuk dalam mutilasi sesuai dengan definisi mutilasi yaitu menghilangkan atau menurunkan fungsi tubuh yang normal secara permanen.

    Apa yang Sdr.Inggrid katakan dalam kutipan saya merupakan perkataan yang konyol dan sering dijadikan bahan serangan oleh para maniak pendukung sunat untuk membenarkan tindakan sunat atau mutilasi lebih tepatnya.Namun,saya yakin bahwa Sdr.Inggrid bukanlah orang sejelek para maniak pendukung sunat.
    Tetapi,puji Tuhan sebab cukup banyak umat Katolik di lingkungan saya yang mau mendengarkan dan percaya pada saya bahwa sunat sebenarnya dilarang menurut ajaran Alkitab sehingga mereka pun akhirnya bertekad untuk menjauhkan anak laki2 mereka dari kebiadaban sunat.

    Saya hanya menambahkan saja.
    Salam damai.

    • Shalom Yunus,
      Maksud saya menuliskan, “Sebab tidak semua pemotongan bagian tubuh dikatakan sebagai mutilasi, seperti contohnya pemotongan kutil, potong kuku, potong rambut” bukan untuk untuk mengatakan bahwa sunat adalah persis seperti pemotongan kutil, kuku ataupun rambut. Saya hanya mau mengatakan bahwa sunat, bukanlah suatu bentuk mutilasi, seperti juga halnya pada pemotongan kutil, kuku dan rambut. Saya juga memahami, bahwa kulit kulup yang sudah dipotong pada waktu sunat itu tidak bisa tumbuh lagi. Namun saya tidak sependapat dengan anda yang mengatakan bahwa sunat adalah suatu bentuk mutilasi, yang menyebabkan cacat/ kurang berfungsinya bagian tubuh yang bersangkutan. Sebab meskipun seseorang telah disunat, namun fungsi reproduksi dari bagian tubuh yang dipotong tersebut, masih dapat berfungsi dengan baik. Orang yang disunat masih dapat beraktivitas seksual dengan istrinya, dan mereka dapat tetap memperoleh keturunan.

      Yunus, saya ingin membatasi diskusi ini sampai di sini. Sebab sudah terlalu berlarut- larut dan menjurus kepada tuduhan kepada pribadi, dan saya rasa bukan itu maksudnya yang ingin dicapai melalui diskusi ini. Saya tidak pro-sunat, dan jika saya mempunyai anak laki-lakipun tidak akan saya sunat. Tetapi saya juga tidak bisa mengecam sunat, sebab Gereja Katolik tidak mengajarkan demikian. Saya berharap anda memakluminya. Jika anda tetap berkeberatan, silakan anda menulis surat ke Vatikan, ke Congregation for the Doctrine of the Faith (CDF) dan sampaikanlah keberatan anda. Jika nanti CDF mengeluarkan aturan larangan sunat, maka saya akan mematuhinya, namun sepanjang aturan larangan itu tidak ada, maka saya dengan ketaatan saya kepada Magisterium, saya tidak bisa mengecam sunat; apalagi untuk dituliskan di situs ini, karena sudah menjadi komitmen kami di Katolisitas untuk menyampaikan apa yang sesuai dengan ajaran Magisterium Gereja Katolik.

      Demikian keterangan saya akan komentar anda, dan saya mohon maaf bahwa saya tidak dapat memperpanjang diskusi ini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  4. Memang saat Perjanjian Lama (sebelum Yesus menggenapi Hukum Taurat) sunat dianggap tidak berdosa karena Allah menguji iman manusia yang pada saat itu terdapat banyak orang2 yang tidak benar menurut Allah sehingga Allah memberikan ujian untuk menguji ketulusan hati manusia untuk mengikuti-Nya yaitu dengan memberikan tanda sunat ini yang merupakan tindakan mengerikan.Jika manusia yang pada saat itu mau melakukan pengurbanan sunat yang mengerikan ini,maka Allah pun mengetahui bahwa hati manusia yang hendak mengikuti-Nya memang benar2 tulus.Pengujian iman juga pernah dialami oleh Abraham yaitu mengenai pengurbanan Ishak (Kejadian 22:2).Catatan,semua hal di atas terjadi pada zaman Perjanjian Lama.
    Sunat memang sudah dikenal pada saat sebelum Allah memberikan tanda sunat pada Abraham & sunat tersebut dilakukan oleh bangsa Afrika kuno yang terkenal tak beradab pada masa itu.
    Dengan adanya penebusan Kristus,maka kurban sunat lahiriah sudah dipenuhi & digantikan dengan pembabtisan oleh Kristus bagi mereka yang beriman pada Kristus.Makna sunat lahiriah pun telah diperjelas maknanya oleh Kristus,yaitu sunat hati.Sementara itu khusus bagi mereka yang beriman pada Kristus,tindakan sunat kembali kepada asalnya,yaitu tindakan berdosa,kecuali bagi umat Yahudi jika memang tanda sunat lahiriah masih berlaku bagi mereka.Dalam 1 Kor 7:18 telah jelas tertulis bahwa sunat janganlah dilakukan oleh umat Kristus baik untuk alasan apa pun untuk membuktikan perbuatan iman kita kepada Kristus.
    Dalam Hukum Kasih tertulis “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”,namun bagaimana mungkin tindakan kekerasan fisik seperti mutilasi alat kelamin ini atau sunat lahiriah dapat diartikan sebagai mengasihi sesamamu manusia?Sudah sangat jelas bahwa sunat melukai bahkan membuat orang menjadi cacat (kehilangan bagian tubuh secara permanen dianggap cacat) yang merupakan pelanggaran atas bunyi Hukum Kasih ini.Melakukan tindakan kekerasan untuk alasan apa pun meskipun untuk alasan yang baik tetaplah melanggar Hukum Kasih ini & berdosa.Memang wajar di luar lingkup Kristiani tidak melaksanakan Hukum Kasih ini karena mereka tidak mendapatkan Hukum Kasih ini dari Kristus bahkan Hukum Kasih dari Kristus ini tidak berlaku bagi mereka.
    Catatan,tindakan Allah memberikan tanda sunat dalam Perjanjian Lama tidaklah dianggap melanggar Hukum Kasih karena Allah hanya menguji iman & mempersiapkan manusia untuk makna sunat hati.
    Janganlah menjadi buta & bernafsu untuk menyunatkan orang lain!

    Saya mungkin tidak akan me-comment artikel ini lagi sebab saya telah jelas menjelaskan mengenai sunat ini kepada Anda & saya rasa tidak ada lagi yang akan saya tambahkan.
    Saya telah berusaha untuk memberikan kebenaran mengenai sunat ini,untuk setuju atau tidaknya,itu terserah Anda.Saya tidak peduli jika Anda tidak setuju karena saya telah berusaha,& saya akan senang jika Anda setuju.
    Untuk masalah sunat ini,saya tetap teguh pada iman saya meskipun hal ini berbeda dengan pandangan Gereja,& saya akan mengajarkan sunat menurut iman saya jika saya diminta untuk memberikan pengajaran rohani mengenai sunat ini.
    Saya mohon maaf atas jika terdapat tulisan yang kurang berkenan pada Anda serta membuat Anda kurang nyaman.

    Terima kasih,salam damai.

    • Shalom Yunus,

      Saya tidak mempertentangkan bahwa Perjanjian Lama, yaitu sunat lahiriah, telah digantikan dengan Kristus sendiri sebagai Perjanjian Baru. Dan Gereja mengimani hal ini. Yang menjadi masalah adalah, Tuhan tidak akan mungkin memakai sunat sebagai Perjanjian Lama, kalau ternyata di dalam Perjanjian Baru menjadi berdosa. Seolah-olah, Tuhan membuat manusia berdosa pada awalnya, dan kemudian menggantikannya dengan yang tidak berdosa. Namun, kita melihat bahwa tanda sunat tidaklah sempurna (bukan berdosa) dan tidak dapat membawa keselamatan dan kemudian digantikan dengan Perjanjian Baru yang membawa keselamatan dan sempurna.

      Sunat, di dalam Perjanjian Lama bukan sebagai ujian bagi umat manusia, namun sebagai tanda Perjanjian Lama. Kita melihat di kitab Kejadian "9. Lagi firman Allah kepada Abraham: "Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun. 10  Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat" (Kej 17:9-10). Lebih lanjut Katekismus Gereja Katolik mengatakan " Tanda-tanda perjanjian. Bangsa terpilih menerima dari Allah tanda-tanda dan lambang-lambang khusus, yang menandakan kehidupan liturginya. Mereka bukan lagi hanya gambaran tentang peraturan dalam kosmos dan bukan lagi hanya isyarat-isyarat sosial, melainkan tanda-tanda perjanjian dan lambang karya agung Allah untuk umat-Nya. Penyunatan, pengurapan, dan penahbisan para raja dan para imam, peletakan tangan, persembahan, dan terutama Paska, termasuk tanda-tlanda liturgis Perjanjian Lama ini. Gereja melihat di dalam tanda-tanda ini pratanda Sakramen-sakramen Perjanjian Baru." (KGK, 1150). Maksud saya, Tuhan tidak mungkin menggunakan tanda-tanda perjanjian dan lambang karya agung Allah yang sebenarnya merupakan suatu dosa di kemudian hari (kalau sunat dipandang sebagai dosa). Tanda-tanda sunat memang dilakukan di banyak tempat, sama seperti persembahan dilakukan hampir di semua masyarakat kuno. Hal ini dikarenakan Tuhan telah memberikan kepada manusia benih untuk menuju kepada Pencipta-Nya. Dan hal-hal seperti ini adalah merupakan bagian dari natural religion.

      Kembali ke sunat. Bagi orang-orang yang bersunat lahiriah dan masiih menaruh pengharapan akan keselamatan yang datang dari sunat, maka Gereja melarangnya, seperti yang terjadi dalam sejarah, waktu Gereja mengeluarkan larangan kepada gereja Coptic tentang hal ini. Konsep yang sama terjadi ketika Gereja melarang kremasi. Kalau ada orang yang melakukannya dengan alasan yang bertentangan dengan apa yang dipercayai oleh Gereja Katolik, misal: kebangkitan badan, maka Gereja melarangnya. Bagi yang mau bersunat untuk alasan kesehatan, silakan melakukan. Dan bagi yang percaya bahwa tidak ada kebaikan apapun dari segi medis untuk bersunat, maka tidak usah dilakukan. Keduanya tidaklah berdosa, karena baik bersunat maupun tidak bersunat, tidaklah berbeda di hadapan Allah, karena Kristus sendiri menggantikan tanda lahiriah ini. Hal ini bukanlah suatu dogma. Kalau sampai Gereja melihat di kemudian hari bahwa sunat adalah berdosa, maka saya akan mencabut pernyataan saya atas dasar ketaatan saya kepada pengajaran Gereja. Di dalam beriman, kita harus taat, baik kita setuju maupun tidak setuju. Sebagai contoh, Gereja mengatakan bahwa kontrasepsi adalah berdosa. Tidak menjadi masalah kalau  seseorang setuju atau tidak, namun sebagai orang beriman, dia harus mencoba menghindari dosa ini dengan sekuat tenaga.

      Semoga hal ini dapat memperjelas. Mungkin kita masih mempunyai perbedaan di dalam hal ini, namun marilah kita tetap mencurahkan tenaga kita untuk membangun Gereja Katolik yang kita kasihi.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org  

      • Jikalau itu memang pemikiran Anda,saya hormati pemikiran Anda tersebut.
        Saya sudah menjelaskan dari comment2 saya terdahulu untuk menjawab pemikiran Anda & saya tidak perlu untuk menulis ulang lagi.
        Saya pun akan tetap setia kepada Gereja Katolik Vatikan,namun untuk masalah sunat ini,meskipun Gereja mengharuskan umat Katolik untuk bersunat,saya tetap akan mengimani bahwa Alkitab Perjanjian Baru telah melarang sunat lahiriah.Saya tidak akan meninggalkan Gereja Katolik Vatikan.
        Saya akan terus mengusahakan tercapainya larangan sunat bagi umat Katolik Vatikan meskipun hal itu kelihatan mustahil karena saya yakin bahwa apa yang saya imani adalah kebenaran.

        Mungkin ada dari beberapa pembaca yang merasa kasihan atau jijik karena saya tidak bersunat,namun saya bangga menjadi orang tak bersunat karena saya mengetahui fakta2 yang sebenarnya bahwa sunat tak membawa keuntungan apa2 dari segi apa pun.

        Saya akhiri comment2 saya ini,saya tidak akan memperpanjang perselisihan pendapat di topik ini.
        Maafkan saya jika terdapat tulisan yang kurang berkenan.

        Salam damai.

        • Shalom Yunus,
          Terima kasih atas pengertiannya. Pendapat saya tidaklah penting. Yang terpenting adalah apa yang dikatakan oleh Gereja. Kita tidak perlu kuatir kalau ada orang yang merasa jijik karena seseorang tidak bersunat, karena yang penting apa yang dikatakan oleh Tuhan, lewat Gereja-Nya. Orang yang tidak bersunat tidaklah berdosa, sehingga tidak usah kuatir kalau kita tidak melakukannya. Dan Gereja tidak akan pernah untuk mengharuskan umat Katolik untuk bersunat.
          Sebenarnya, Yunus juga dapat menuliskan surat kepada “Congregation for the Doctrine of the Faith”, yang format pertanyaannya adalah yang dapat dijawab “ya” atau “tidak”. Dengan demikian, Yunus dapat memperoleh kepastian yang jelas.
          Tidak ada yang perlu dimaafkan jika kita mempunyai perbedaan pendapat. Mari kita menggunakan energi yang ada untuk membangun Gereja.
          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – http://www.katolisitas.org

  5. Salam damai,…
    Terima kasih kpd Romo Wanta & Sdr. Ingrid yg telah menjawab pertanyaan saya.

    Namun,saya jg mendengarkan pernyataan dr umat Katolik pula begini bahwa jika seorang Katolik menyunatkan dirinya utk alasan apapun (juga utk kesehatan),maka orang tersebut berdosa besar krn tdk menghargai kebaikan yg diberikan Allah spt yg tertulis dalam kitab Kejadian.
    Kejadian 1:31 “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.”
    Lalu pada Perjanjian Baru tertulis demikian :
    Galatia 5:2-3 “Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu.Sekali lagi aku katakan kepada setiap orang yang menyunatkan dirinya, bahwa ia wajib melakukan seluruh hukum Taurat.”

    Lalu dia melanjutkan bahwa orang Katolik kurang berpegang teguh pada Alkitab sehingga orang Katolik kurang mengamalkan ajaran kitab suci dalam kehidupan mereka.Contohnya,jika kita yakin bahwa Alkitab yg merupakan Sabda Allah melalui Roh Kudus mengatakan bahwa jangan ada sunat ,maka kita harus yakin bahwa tdk bersunat adalah hal yg baik bahkan utk kesehatan.
    Dia juga menginformasikan bahwa sebagian uskup atau imam di Vatikan telah melakukan investigasi mengenai kelebihan sunat di bidang kesehatan & ternyata hasilnya adalah sunat tdk ada gunanya utk kesehatan khususnya kebersihan.

    Berikut ini adalah link dr website Katolik yg menentang sunat beserta penjelasannya: (Dlm bahasa Inggris)
    http://www.catholicsagainstcircumcision.org
    Di link tersebut,jg terdapat link2 lain mengenai kekurangan sunat.Harap dibaca seluruhnya sampai link2 cabangnya jika ingin mengerti lebih lengkap.

    Saya juga pernah melakukan chatting dengan seorang Katolik dr Australia (dalam bahasa inggris tentunya).Secara iseng saya menanyakan mengenai sunat krn tdk ada lg yg mau dibahas.Namun,dia mengatakan bahwa sunat tdk ada gunanya utk kesehatan khususnya kebersihan & hal itu sdh diteliti oleh para ahli kedokteran serta seksolog.
    Saya menjadi heran,pernyataan di Indonesia jauh berbeda.Di Indonesia lebih mengagung2kan sunat utk kesehatan & kebersihan (hal ini pernah terjadi di USA & sekarang hal ini berangsur2 menjadi tak populer lagi).Saya menyimpulkan bahwa org Katolik di Indonesia yg melakukan sunat krn alasan kesehatan hanya terpengaruh oleh kebudayaan Indonesia saja yg mayoritasnya Islam.

    Bagaimana pendapat Romo atau Sdr2 sekalian?
    Mohon maaf jika terdapat tulisan saya yg kurang pantas,terima kasih.
    God bless you…

    • Shalom Yunus,
      Memang harus diakui, terdapat beberapa pendapat mengenai sunat ini, bahkan dalam kalangan umat Katolik. Sepanjang pengetahuan saya, Gereja Katolik tidak mengeluarkan pernyataan resmi secara definitif mengenai sunat ini.
      Mereka yang tidak setuju dengan sunat, umumnya mengutip beberapa pernyataan dari Rasul Paulus yang seolah melarang sunat (lih Gal 5:2; 1 Kor 18) dan Ketekismus Gereja Katolik no. 2297, dengan mengatakan sunat adalah bentuk pengudungan/ "mutilation" sehingga pada dasarnya merupakan pelanggaran hukum moral:
      KGK 2297    Penculikan dan penyanderaan menyebarluaskan rasa takut dan melakukan tekanan tidak halal melalui ancaman atas kurban; mereka tidak dapat dibenarkan menurut moral. Terorisme, yang mengancam, melukai, dan membunuh secara sewenang-wenang merupakan pelanggaran besar terhadap keadilan dan cinta kasih Kristen. Siksaan yang memakai kekerasan fisik atau psikis untuk memeras pengakuan, untuk menyiksa yang bersalah, untuk menakut-nakuti penentang atau untuk memuaskan kedengkian, melawan penghormatan terhadap manusia dan martabatnya. Kecuali kalau ada alasan-alasan terapi yang kuat, amputasi, pengudungan atau sterilisasi dari orang-orang yang tidak bersalah, merupakan pelanggaran terhadap hukum susila Bdk. DS 3722.
      Untuk menanggapi pandangan di atas, marilah kita melihat duduk permasalahannya secara objektif.
      1. Jika kita melihat pernyataan Rasul Paulus dengan konteksnya, maka kita akan mengetahui bahwa maksud Rasul Paulus adalah untuk mengajarkan kepada umat, bahwa keselamatan seseorang tidak diperoleh melalui pemenuhan hukum seremonial dalam hukum Taurat yaitu sunat, melainkan oleh iman di dalam Kristus Yesus. Rasul Paulus mengajarkan:
      "…..kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya….Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karen iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat…. Artinya kalau ada satu Allah, yang akan membenarkan baik orang-orang bersunat karena iman, maupun orang-orang tak bersunat juga karena iman. Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya." (Rom 3:28, 30-31).
      Maka, kita ketahui bahwa jika seorang Katolik disunat atau menyunatkan anak laki-lakinya dengan pemikiran bahwa keselamatan diperoleh melalui sunat, maka ia sesungguhnya tidak mengerti akan iman Katoliknya. Sebab, seperti ajaran Rasul Paulus,  kita diselamatkan oleh iman di dalam Kristus, dan bukan karena melakukan hukum Taurat, dalam hal ini sunat.
      Seperti yang pernah dituliskan dalam artikel di atas, silakan klik, kita mengetahui bahwa Kristus telah menggenapi seluruh hukum Taurat, yang terdiri dari hukum moral, seremonial dan yudisial. Setelah wafat dan kebangkitan Kristus dan pengajaran Injil, hukum moral dalam hukum Taurat, yaitu kesepuluh perintah Allah tetap berlaku, karena itu merupakan hukum kodrat; namun hukum seremonial yang mencakup sunat dan segala bentuk kurban persembahan (dan kurban hewan) tidak berlaku lagi, karena sudah digenapi di dalam Kristus. Kristus adalah kurban Paska yang sempurna, yang menjadi kurban penebus dosa kita, yang nilainya tak bisa dibandingkan dengan kurban hewan-hewan pada Perjanjian Lama. Demikian juga sunat lahiriah tidak berlaku lagi, sebab yang kemudian diajarkan dalam Perjanjian Baru adalah sunat rohaniah (lih. Rom 2:29; Kol 2:11), yang artinya "penanggalan akan tubuh yang berdosa", karena dengan Kristus kita dikuburkan dalam Baptisan, dan di dalam Dia kita turut dibangkitkan oleh kepercayaan kepada kerja kuasa Allah yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati (Kol 2:11-12). Maka di sini terlihatlah bagaimana pengajaran tentang sunat yang hanya merupakan gambaran/persiapan untuk Pembaptisan. 
      Namun demikian, selayaknya kita tidak menganggap sunat sebagai perbuatan yang melanggar moral. Umat Kristiani tetap dapat menyunatkan anak anak mereka untuk alasan kebersihan atau kesehatan [yang bagi kelompok tertentu alasan inipun masih dipertanyakan] ataupun alasan kebudayaan ataupun pertimbangan yang bijak lainnya. Rasul Paulus juga menyetujui agar St. Timotius disunat, demi pertimbangan agar tidak menjadi batu sandungan bagi umat Yahudi (Kis 16:3).
      Bahwa hukum seremonial dalam hukum Musa tidak lagi mengikat dalam Gereja,  bukan berarti semua hukum seremonial menjadi sesuatu yang immoral. Dari kisah para rasul kita mengetahui bahwa umat Kristen Yahudi pada abad-abad awal juga masih berdoa di Bait Allah dan melakukan hukum seremonial dalam banyak hal (Kis 21:20-24). Dokumen dari Paus Benediktus XIV pada abad ke-18 mungkin dapat memperjelas tentang bagaimana menyikapi hal ini. Dokumen tersebut adalah tentang persetujuan Paus terhadap doa-doa liturgi (Euchologion) yang dipergunakan dalam Gereja Timur Yunani Uniates. Buku doa liturgi tersebut mengandung elemen-elemen dari hukum seremonial Musa, yang masih umum dilakukan dalam Gereja Timur, meskipun tidak lagi diterapkan dalam Gereja Barat. Paus Benediktus menganggap, bahwa sepanjang hukum seremonial tersebut tetap dapat berguna maka dapat dipertahankan, tentu asal tidak bertentangan dengan pengajaran Gereja. Maka pengajaran Paus Benediktus dalam hal ini adalah menyerahkan keputusan kepada kebijaksanaan Gereja.
      2) Mari kita melihat konteks KGK 2297. Memang di sana dikatakan, "Kecuali kalau ada alasan-alasan terapi yang kuat, amputasi, pengudungan atau sterilisasi dari orang-orang yang tidak bersalah merupakan pelanggaran terhadap hukum susila." Namun konteksnya di sini adalah dalam kondisi penculikan dan penyanderaan. 
      Lagipula sunat sebenarnya tidak dapat dilkatakan sebagai pengudungan/ mutilasi, sebab definisi mutilasi/ mutilation is: an act or physical injury that degrades the appearance or function of any living body.… (sumber: Wikipedia)
      Nah, kita mengetahui bahwa sunat secara objektif tidak termasuk dalam definisi tersebut, sebab tidak mengakibatkan pengrusakan/ penurunan fungsi dari tubuh. Maka sesungguhnya sunat tidak dapat dikatagorikan sebagai perbuatan mutilasi. Sebab tidak semua pemotongan bagian tubuh dikatakan sebagai mutilasi, seperti contohnya pemotongan kutil, potong kuku, potong rambut.
      Pada akhirnya, fakta menunjukkan bahwa praktek sunat ini telah lama dilakukan bahkan dalam kalangan rumah sakit Katolik, dan pihak Magisterium tidak melarangnya. Maka, saya ingin mengutip kesimpulan yang disampaikan oleh pakar ethic Katolik dalam hal ini, yang bernama John Paul Slosar, Ascension Health, St, Louis, USA, yang menyampaikan pandangannya dalam hal sunat ini dalam The American Journal of Bioethics, Spring 2003, volume 3, number 2:
      1) Maka para orang tua Katolik mempunyai kebebasan apakah akan menyunatkan bayi/ anak-anak laki-laki mereka. Rumah sakit Katolik yang memberikan fasilitas sunat tidak melanggar hukum moral.
      2) Alasan kebudayaan, sosial, religius dapat saja menjadi alasan yang legitimate walaupun bukan alasan mutlak bagi pelaksanaan sunat.
      Demikian jawaban saya, yang mengikutsertakan jawaban dari pembimbing Teologis situs ini, Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. Semoga dapat memberikan penjelasan yang lebih obyektif dan dapat bermanfaat bagi anda.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

      • Jika Sdr.Ingrid mau berdebat masalah sunat,saya bisa layani,tp tdk di situs ini.

        Saya melihat bahwa Sdr.Ingrid sangat mengagung2kan (pro) terhadap sunat baik bidang kesehatan & keagamaan (Katolik).Saya tdk heran bahwa masyarakat baik Islam maupun non-Islam di negara Islam kebanyakan pro terhadap sunat & tdk memperhatikan kenyataan yg ada.Banyak jg para ibu non-Islam yg memaksakan anak laki2nya atau org laki2 utk menyunatkan dirinya.Sebagai catatan bahwa para ibu tdk dapat merasakan apa yg sebenarnya dirasakan oleh laki2 saat atau setelah disunatkan.Saya percaya bahwa sunat tdk mendatangkan keuntungan apa pun dr segi agama maupun kesehatan krn saya melihat kenyataan dalam keluarga besar saya.Keturunan ke atas saya (kakek,buyut,dsb) tdk melaksanakan sunat & tidak pernah ada kejadian buruk akibat tak sunat dalam keluarga saya,bahkan buyut saya hidup sampai 111 tahun tanpa sunat & almarhum tdk pernah mengalami masalah akibat tak sunat.Itulah kenyataan yg saya alami & membuat saya percaya bahwa sunat sangat tdk relevan dengan kesehatan.Sunat pun sama sekali tidak menguntungkan.
        Mutilasi adalah tindak pemotongan bagian tubuh secara permanen.Sunat adalah termasuk tindak mutilasi (worst genital mutilation) & arti multilasi tersebut dikemukakan oleh para ahli dr luar negeri.Bagaimana pun juga sunat adalah tindak mutilasi karena menghilangkan kulit secara permanen.
        Jika kita melakukan sunat,berarti kita percaya bahwa Tuhan memberikan kutukan berupa kulit sehingga harus dibuang & itu bertentangan dengan ajaran bahwa Allah menciptakan segala sesuatu baik adanya sampai akhir.Mutilasi pun bertentangan dengan hukum cinta kasih krn termasuk tindak kekerasan.

        Sunat pun adalah tindakan tak-bersyukur atas apa (termasuk kulit yg dibuang tersebut) yg diberikan Bapa.

        Orangtua tidak berhak menentukan apakah anak laki2 mereka disunatkan atau tidak karena hal itu akan melanggar hak asasi manusia (kebebasan dalam menentukan nasib dirinya).

        Yg saya heran adalah kita percaya bahwa segala sesuatu yg diciptakan Bapa baik adanya sampai akhir,namun di sisi lain kita percaya bahwa kulit yg disunat (yg diberikan Bapa pula) harus dibuang.Hal ini sangat bertentangan.
        Memang Allah pernah berfirman tentang kewajiban sunat dlm kitab Kejadian,namun Allah telah menggantikan kurban sunat dengan darah Kristus utk meyakinkan lagi bahwa apa yg Allah ciptakan memang baik adanya sampai akhir.

        Yg menjadi pertanyaan besar saya adalah :
        MENGAPA UMAT MANUSIA SANGAT TIDAK SUKA TERHADAP KELENGKAPAN TUBUH KHUSUSNYA KELENGKAPAN TUBUH LAKI2 & BERUSAHA DENGAN BERBAGAI CARA & ALASAN UTK MEMBUAT TUBUH MANUSIA MENJADI TIDAK LENGKAP?
        Maksud dari kelengkapan tubuh adalah menjadi tak bersunat.

        Saya mohon maaf jika terdapat tulisan yg kurang pantas.
        Saya menyadari bahwa saya adalah manusia yg tidak sempurna apalagi di bidang iman Katolik.Oleh karena itu,jika ada pemikiran saya yg salah,harap diarahkan ke jalan yg benar.

        Harap tanggapannya,terima kasih.
        Saya mengharapkan tanggapan yg tdk ada unsur promosi (spt promosi keuntungan sunat,dsb).

        [Dari Admin Katolisitas: Tanggapan tambahan dari Yunus ini kami gabungkan dengan tulisan Yunus yang terdahulu di atas]

        Sebagai tambahan :
        “Mutilation or maiming is an act or physical injury that degrades the appearance or function of any living body.” (Wikipedia)

        Mutilasi bertentangan dengan ajaran Katolik yg berdasarkan atas kasih.Jika mutilasi tersebut dilakukan utk menyelamatkan nyawa spt mengamputasi bagian tubuh yg membusuk utk menyelamatkan nyawa,maka mutilasi diizinkan.Akan tetapi,sunat tdk dilakukan demi menyelamatkan nyawa manusia,tapi sunat hanya menurunkan fungsi bagian tubuh saja & kenyataan yg saya alami tdk menguntungkan sama sekali sehingga sebenarnya sunat termasuk mutilasi yg tak diizinkan.Hal ini adalah pengertian yg diungkapkan oleh kedokteran dunia yg terpercaya.

        Banyak dokter di negara kita atau negara yg menganut sunat sebagai perintah agama yg menyembunyikan informasi mengenai ini.
        Pedoman utama kita sebagai umat Kristus adalah perjanjian baru sehingga kita janganlah mempromosi2kan sunat yg terdapat dalam perjanjian lama.
        Banyak orangtua yg memaksakan kehendak utk menyunatkan anaknya meskipun anaknya tdk mau sehingga anak tdk memiliki kebebasan atas dirinya,hal ini juga terjadi di zaman kitab suci di mana para org bersunat menyiksa,menghina,atau menindas org tak bersunat.

        Galatia 6:12 Mereka yang secara lahiriah suka menonjolkan diri, merekalah yang berusaha memaksa kamu untuk bersunat, hanya dengan maksud, supaya mereka tidak dianiaya karena salib Kristus.
        Dari, Yunus

        • Shalom Yunus,

          Pertama- tama, mari kita saling menyampaikan apa yang kita ketahui dengan maksud untuk berdiskusi dengan baik dan obyektif. Saya ingin meluruskan di sini bahwa yang saya tuliskan dalam tanggapan saya terdahulu bukan merupakan pandangan pribadi saya sendiri. Saya telah mendiskusikannya dengan pembimbing Teologis pada situs ini Dr. Lawrence Feingold STD, dan saya juga mengutip pandangan pakar bio-ethic yang membahas masalah ini. Saya mengutip pandangan yang berbeda dengan pandangan anda, agar anda dapat melihat secara objektif bahwa memang terdapat perbedaan pandangan mengenai hal sunat ini.

          Dan karena pada saat ini Magisterium Gereja Katolik belum memberikan pengajaran definitif mengenai sunat, apakah mutlak tidak boleh atau boleh, maka silakan saja anda mengikuti apa yang anda pandang baik. Jadi tidak benar, jika anda berpikir saya bahwa saya meng-agung-agungkan sunat.

          1. Kebanyakan yang menentang sunat beranggapan bahwa sunat adalah tindakan mutilasi, dengan mengutip KGK 2297. Berikut ini saya kutip sekali lagi:

          KGK 2297    Penculikan dan penyanderaan menyebarluaskan rasa takut dan melakukan tekanan tidak halal melalui ancaman atas kurban; mereka tidak dapat dibenarkan menurut moral. Terorisme, yang mengancam, melukai, dan membunuh secara sewenang-wenang merupakan pelanggaran besar terhadap keadilan dan cinta kasih Kristen. Siksaan yang memakai kekerasan fisik atau psikis untuk memeras pengakuan, untuk menyiksa yang bersalah, untuk menakut-nakuti penentang atau untuk memuaskan kedengkian, melawan penghormatan terhadap manusia dan martabatnya. Kecuali kalau ada alasan-alasan terapi yang kuat, amputasi, pengudungan atau sterilisasi dari orang-orang yang tidak bersalah, merupakan pelanggaran terhadap hukum susila Bdk. DS 3722.

          Mari kita melihat secara obyektif bahwa konteks KGK 2297 ini adalah dalam hal penculikan dan penyanderaan. Sedangkan, sunat yang dibicarakan di sini bukan dalam konteks siksaan, penculikan ataupun penyanderaan, walaupun juga bukan sebagai alasan terapi yang kuat. Jadi secara obyektif memang sunat tidak termasuk di sini. Dasar saya mengatakan bahwa sunat selayaknya tidak dianggap sebagai tindakan mutilasi, adalah bahwa fakta bahwa Allah sendiri pernah mensyaratkan sunat kepada bangsa Israel. Allah yang Maha baik tentu tidak akan memerintahkan sesuatu hal yang dianggap mutilasi/ atau kekejaman bagi bangsa pilihan-Nya sendiri. Sunat jasmani dalam PL ini hanya diberikan supaya umat dapat menghayati penggenapan maknanya dalam PB, di mana setelah kedatangan Kristus, sunat di sini bermakna rohani, dan bukan jasmani.

          Rasul Paulus mengajarkan, "Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah emmbangkitkan Dia dari orang mati." (Kol 2:12)

          Maka, seperti juga diajarkan oleh St. Thomas Aquinas (lihat Summa Theologica, III, q. lxx, a.1), kita mengetahui, bahwa sunat merupakan pre-figurasi (gambaran) dari Baptisan. Karena Baptisan merupakan penanggalan manusia lama dan pengenaan manusia baru (lih. Kol 3:5-10), atau, mati terhadap dosa, dan hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus (Rom 6:11). Maka bagi kita yang percaya kepada Kristus, maka sunat memang tidak diperlukan lagi, sebab keselamatan kita adalah melalui iman kepada Kristus dan bukan karena sunat.

          2. Jika mau disebut adanya unsur "pemaksaan" dalam sunat mungkin adalah adanya fakta bahwa bayi yang masih kecil  yang disunat atas kemauan orang tuanya. Namun, maksud orang tua yang menyunat bayinya, dapat diperkirakan tidak bermaksud negatif. Walaupun menurut pandangan orang di luar keluarga tersebut, seperti anda dan keluarga anda, dapat melihat bahwa tindakan tersebut tidak ada gunanya.

          Jangan lupa bahwa Tuhan Yesus juga disunat pada hari ke-8 setelah kelahiran-Nya (Luk 2:21). Tentu bukan karena Dia ‘perlu’ disunat untuk diselamatkan, karena sesungguhnya Ia sendiri adalah jalan keselamatan kekal itu. Yesus disunat untuk menggabungkan Diri-Nya sebagai keturunan Abraham, dan dengan demikian menjadi satu saudara dengan kita semua umat beriman, untuk menyelamatkan kita. Dengan kenyataan ini saya rasa kita tidak bisa secara ekstrim mengatakan sunat adalah tanda bahwa seseorang tidak bersyukur atas kelengkapan tubuh manusia yang dianugerahkan oleh Allah. Sebab jika demikian, tuduhan ini ditujukan juga kepada Tuhan Yesus, Bunda Maria dan Santo Yusuf, dan semua para nabi sebelum Yesus.Mereka melaksanakan sunat justru untuk memenuhi hukum yang mereka imani berasal dari Allah.

          3. Karena Magisterium Gereja saat ini belum mengeluarkan pengajaran tentang sunat, yang saya sarankan agar kita bersikap netral terhadap hal sunat ini. Apalagi dikatakan dengan jelas oleh Rasul Paulus dalam Alkitab: "Sebab sunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting adalah menaati hukum- hukum Allah." (1 Kor 7: 19).

          4. Gal 6:12 yang anda kutip konteksnya adalah pada waktu itu orang-orang Kristen disunat karena takut dianiaya oleh orang Yahudi, yang menganggap sunat adalah pemenuhan salah satu hukum mereka. Saat sekarang ini, memang tak ada keharusan untuk sunat, apalagi penganiayaan jika tidak disunat. Sunat merupakan keputusan sendiri dari orang yang bersangkutan atau orang tua dari bayi/ anak laki-laki mereka. Maka jika anda tidak merasa kegunaan sunat, tidak apa-apa tidak melakukan sunat.

          Demikian Yunus, saya menyampaikan apa yang saya ketahui tentang sunat ini. Semoga tidak menyinggung perasaan anda.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

          • Terima kasih Sdr. Inggrid atas tanggapannya.

            Saya mohon maaf juga jika terdapat tulisan saya yang kurang berkenan dalam tanggapan saya.
            Sebenarnya,saya tidak bermaksud negatif dalam membahas masalah sunat ini.
            Saya sebenarnya hanya ingin menanyakan ajaran Gereja mengenai sunat ini,namun saya mungkin terbawa emosi saja.
            Saya pun tidak tega saat melihat orang khususnya anak laki2 disunatkan (saya pernah melihat prosesnya yang dilakukan pada anak laki2 tetangga saya kira2 setahun yang lalu,saya makin tidak tega saat melihat itunya digunting meski sudah terbius lokal) apalagi orangtuanya membujuknya dengan menakut2i anak tersebut (spt di kitab Kejadian yang mengatakan bahwa jika tidak sunat harus dilenyapkan) dengan ajaran Alkitab & hanya ayat kitab yang mendukung sunat saja yg diberitaukan saja kepada anak itu.Lalu saya mencari informasi2 mengenai sunat dari segi agama Katolik & kedokteran (yang mendukung sunat biasanya informasi lokal saja,yang luar negeri kebanyakan tidak setuju akan sunat).
            Lalu saya membandingkan antara informasi yang mendukung & menentang sunat serta mencari kebenarannya secara tak asal2an & saat itu saya berpikir netral,jika apa yang saya temukan ini sudah jelas (informasi itu mengalahkan informasi yang menentang) bahwa sunat memang benar2 bermanfaat,maka saya pun membiarkan orang2 melakukan sunat meskipun saya tidak tega.
            Lalu saya temukan bahwa sebenarnya sunat tidak mempengaruhi kesehatan sama sekali (apa yang saya temukan ini bukan asal2an saja & terbukti pada keluarga besar saya) & apa yang tertulis dalam situs2 atau informasi2 khususnya yang dibuat oleh dalam negeri (yang sangat mendukung sunat) ternyata banyak yang merupakan kebohongan belaka atau memiliki kelemahan dalam informasi tersebut serta ada juga yang tidak logis.
            Jujur saja,saya orangnya memang tidak tegaan.

            Beberapa saat yang lalu (1-2 minggu) saya menanyakan & membahas bersama romo di Paroki saya mengenai Hukum Taurat & Hukum Cinta Kasih (intinya apakah Hukum Taurat diberikan & masih berlaku bagi umat Katolik) & saya pun telah mengerti penjelasan romo saya.Saya menanyakan topik itu karena sunat pun juga termasuk dalam pembahasan Hukum Taurat,tapi bukan sunat yang merupakan inti pembahasan tersebut.

            Terima kasih.
            Salam damai.

          • Maaf,saya ada sedikit tambahan.

            Beberapa situs dalam negeri (yang saya ketahui) yang mendukung sunat yang pasti dibuat oleh orang2 penentang sunat menuliskan bahwa Paulus (rasul yang membahas bahwa sunat sebenarnya tidak perlu dilakukan umat Kristiani) tidaklah pernah bertemu dengan Kristus & merupakan rasul palsu & penjelasan mengenai sunat yang tertulis di situs mereka sama sekali tidak logis & memiliki banyak kelemahan serta kebohongan yang intinya menakut2i orang lain agar menyunatkan dirinya.
            Apa yang saya tambahkan ini adalah suatu kenyataan.

            Salam damai.

        • Dear Pak Yunus,
          Kalau memang Pak Yunus tetap memegang tuntunan dari alkitab maka apa yang difirmankan Allah dalam kitab taurat untuk sunat harus dijalankan. soal ada manfaat ataupun tidak hanya Allah yang tahu dan sebagai ummatnya kita harus patuh kepada syariat yang dibawa oleh Musa maupun Isa.

          Regards,
          Adrian

          • Apa yang saya pegang teguh adalah ajaran Kristen (Katolik) yang diajarkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus & ajaran tersebut lebih berfokus pada Perjanjian Baru.
            Namun,saya juga memegang ajaran Perjanjian Lama sebagai firman Bapa,namun dengan makna yang telah diperjelas oleh Tuhan kita Yesus Kristus bahwa Tuhan Yesus telah menggenapi Hukum Taurat & membebaskan kita dari belenggu dosa & kebiasaan2 yang tidak penting dalam Perjanjian Lama salah satu contohnya adalah sunat lahiriah yang sudah diperjelas oleh Kristus menjadi sunat hati.

            Bapa melalui Roh Kudus yang diberikan kepada Santo Paulus telah berfirman untuk melarang sunat pada umat Kristiani & itulah salah satu firman2 yang saya imani & pegang teguh meskipun Gereja tidak mengajarkan untuk melarang sunat lahiriah & firman2 tersebut telah jelas melarang sunat lahiriah sehingga tidak perlu penjelasan macam2 lagi & saya akan melaksanakan larangan sunat lahiriah pada keluarga saya serta tidak peduli apa kata Gereja mengenai hal ini.

            Ada seorang Romo mengatakan “iman tanpa perbuatan adalah sia2” kepada saya.Saya melakukan apa yang Romo tersebut katakan bukan karena saya hanya ikut apa kata Romo,tapi karena saya mau bersungguh2 untuk beriman kepada Bapa meskipun saya melakukan dengan tidak sempurna.
            Saya meyakini bahwa Bapa telah melarang sunat lahiriah & hal itu pastilah bermanfaat bagi umat-Nya & meskipun ilmu medis mengatakan bahwa sunat lahiriah memberikan banyak keuntungan bagi kesehatan,dsb,saya tidak peduli & tidak percaya serta menganggapnya sebagai omong kosong belaka.Saya pun telah mencari dari sumber2 yang realistis dan rasional & saya pun menemukan bahwa sebenarnya sunat lahiriah sama sekali tidak membawa keuntungan apa2 selain kerugian fisik & materiil.

            I Korintus 7:18-19 : “Kalau seorang dipanggil dalam keadaan bersunat, janganlah ia berusaha meniadakan tanda-tanda sunat itu. Dan kalau seorang dipanggil dalam keadaan tidak bersunat, JANGANLAH IA MAU BERSUNAT.Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting.Yang penting ialah mentaati hukum-hukum Allah.”

            Ralat :

            Beberapa situs dalam negeri (yang saya ketahui) yang mendukung sunat yang pasti dibuat oleh orang2 pendukung sunat menuliskan bahwa Paulus (rasul yang membahas bahwa sunat sebenarnya tidak perlu dilakukan umat Kristiani) tidaklah pernah bertemu dengan Kristus & merupakan rasul palsu & penjelasan mengenai sunat yang tertulis di situs mereka sama sekali tidak logis & memiliki banyak kelemahan serta kebohongan yang intinya menakut2i orang lain agar menyunatkan dirinya.
            Apa yang saya tambahkan ini adalah suatu kenyataan.

            Salam damai.

          • Shalom Yunus,
            Terima kasih atas masukannya tentang sunat. Gereja Katolik tidak melihat bahwa perjanjian dengan Allah dilakukan dengan sunat setelah kedatangan Kristus, namun di satu sisi Gereja Katolik tidak melihat bahwa sunat adalah berdosa. Di dalam 1 Kor 7:18-19, Rasul Paulus ingin menegaskan bahwa keselamatan bukanlah disebabkan karena sunat. Dan kalau ada orang yang beranggapan bahwa rasul Paulus kurang mempunyai otoritas, maka pendapat ini juga tidak benar. Mari kita berpegang pada apa yang dikatakan oleh rasul Paulus “dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” (Kol 3;11). Saya menghormati keputusan Yunus untuk tidak bersunat. Namun, saya juga tidak dapat mengatakan bahwa bersunat adalah berdosa.
            Semoga dapat dimengerti.
            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            stef – http://www.katolisitas.org

          • Terima kasih pada Sdr. Stefanus.

            Bagaimanapun juga,saya tetap mengimani bahwa Alkitab telah melarang sunat lahiriah secara jelas dalam 1 Korintus 7:18 & saya akan memberitakan mengenai hal sunat lahiriah ini sekuat tenaga saya.
            Selain pemberitaan omong kosong mengenai banyaknya keuntungan sunat ini bagi kesehatan,sampai saat ini pun masih cukup banyak orang tak bersunat yang dianiaya baik secara mental maupun fisik agar orang tersebut mau disunat.Contohnya adalah beberapa saudara Katolik kita di Filipina yang tak bersunat & menjadi minoritas di sana,mereka dihina2 oleh penduduk Filipina lainnya agar mereka mau disunat,saya dapat email dari teman internet saya.Selain di Filipina,di Indonesia pun juga yang menyebarkan sunat dengan cara2 tercela tersebut seperti hinaan,dsb,tidak perlu pura2 tidak tahu karena saya pun laki2 & melihat hal tersebut terjadi pada teman saya dahulu.
            Cara2 tercela tersebut telah membuktikan bahwa sebagian orang bermaksud untuk membuat umat Katolik menyimpang dari ajaran Alkitab yang telah mengatakan secara jelas tentang larangan sunat lahiriah.

            Matius 24:4 : “Jawab Yesus kepada mereka: “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu!”
            Matius 24:9 : “Pada waktu itu kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci semua bangsa oleh karena nama-Ku,”

          • Shalom Yunus,
            Terima kasih atas komentarnya. Saya telah mencoba untuk menjelaskan bahwa Gereja Katolik tidak melarang sunat, karena Gereja Katolik tidak melihat bahwa ini adalah suatu perbuatan dosa. 1 Kor 7:18 menekankan bahwa sunat lahiriah tidak membawa keselamatan. Pada waktu itu banyak orang Yahudi yang menjadi Kristen mengatakan bahwa semua orang Kristen, termasuk non-Yahudi harus disunat. Dan inilah yang menjadi topik pada waktu para rasul berkumpul di dalam konsili I di Yerusalem, yaitu bagaimana untuk mengatasi kemelut ini. Akhirnya mereka memutuskan bahwa sunat bukanlah merupakan persyaratan. Rasul Paulus yang menjadi rasul yang dikirim oleh Yesus untuk melayani orang-orang non-Yahudi mengatakan bahwa orang-orang non-Yahudi yang menjadi Kristen tidak perlu disunat, karena sunat tidak membawa keselamatan. Namun, rasul Paulus juga tidak mengatakan bahwa sunat adalah berdosa. Kita juga dapat memberikan argumentasi bahwa Tuhan tidak akan mungkin menggunakan sunat sebagai tanda Perjanjian Lama, kalau sunat ternyata berdosa di dalam Perjanjian Baru.
            Saya pernah tinggal di Filipina selama 3 tahun, dan dalam pergaulan saya dengan orang-orang di Filipina, maka saya tidak menemukan adanya penghinaan kepada orang-orang yang tidak disunat. Mungkin orang-orang yang dihina tinggal di daerah Muslim, yang percaya bahwa sunat adalah baik.
            Jadi, dalam hal ini kita memang mempunyai perbedaan pendapat. Mengatakan bahwa sunat adalah tidak dosa bukanlah ajaran yang sesat, karena Gereja tidak pernah menyatakan bahwa sunat adalah berdosa. Semoga dapat dimengerti.
            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            stef – http://www.katolisitas.org

          • Khusus untuk pandangan mengenai sunat ini,saya memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan Gereja.Saya meyakini bahwa sunat tidak boleh dilakukan oleh umat Katolik khususnya keturunan & keluarga saya kelak karena saya memegang teguh 1 Korintus 7:18 & itulah yang saya ajarkan jika ada yang menanyakan mengenai hal sunat kepada saya.
            Saya pun melaksanakan kalimat “iman tanpa perbuatan adalah sia2” sehingga saya melakukan perbuatan sesuai 1 Korintus 7:18 tersebut yang juga saya imani.
            Untuk masalah Filipina,tergantung dari pergaulan Sdr.Stefanus.Mayoritas penduduk Filipina adalah orang yang telah disunat sehingga pergaulan Anda pun pasti bersama orang bersunat semua serta penduduk Filipina yang tidak disunat pun cukup sedikit kecuali anak yang berumur kurang dari 10 tahun karena tradisi sunat di Filipina biasanya dilakukan pada usia 10-14 tahun sesuai dengan pengaruh tradisi Islam pada sekitar abad ke-14 di Filipina.

            Saya mohon maaf jika terdapat tulisan saya yang kurang berkenan serta pandangan saya yang berbeda.Saya berpikir secara rasional bahwa tidaklah mungkin sunat yang merupakan tindakan pemotongan atau lebih tepatnya mutilasi alat kelamin dapat membawa banyak keuntungan & kebaikan dan saya pun tidaklah percaya pada dokter akan hal itu karena saya telah menemukan sendiri faktanya.
            Terima kasih,salam damai.

            Tambahan :
            Saya telah mengatakan sebelumnya bahwa Tuhan memberikan kewajiban sunat dalam Perjanjian Lama sebagai tanda bukti ketulusan hati manusia saat itu dengan ketulusan dalam pengorbanan salah satu bagian tubuhnya yang merupakan tindakan sangat mengerikan untuk menunjukan ketulusan hatinya untuk mengikuti Tuhan Allah.Selain itu,Allah Bapa memberikan perjanjian sunat lahiriah sebagai penghayatan dan persiapan sunat hati dalam Perjanjian Baru.
            Penebusan Tuhan Yesus termasuk penebusan dari perjanjian sunat lahiriah membuktikan bahwa Allah Bapa sangat mencintai umat-Nya sehingga manusia diharapkan tidak melakukan tindakan mengerikan tersebut yaitu sunat lahiriah.
            Mungkin sebagian orang melihat bahwa sunat lahiriah tidaklah mengerikan karena sunat sudah dianggap biasa dilakukan.
            Catatan : Penelitian2 sunat yang mengatakan bahwa sunat dapat menurunkan resiko penularan HIV,kanker penis,kanker serviks,flu burung,dsb adalah omong kosong karena saya mengerti kelemahan2 yang masuk akal & terdapat dalam penelitian tersebut yang bertujuan untuk menipu orang banyak dalam promosi sunat.Jangan percaya kepada dokter mengenai keuntungan2 sunat.

          • Shalom Yunus,
            Terima kasih atas tanggapannya tentang sunat. Ingrid dan saya telah mencoba memberikan beberapa argumentasi bahwa Gereja Katolik tidak melihat sunat berdosa. Saya tidak memaksa Yunus untuk mengikuti argumentasi yang saya paparkan. Di situs ini saya tidak akan membahas sisi positif dan negatif sunat dipandang dari sisi kesehatan, namun yang dapat saya bahas adalah dari sisi teologis. Saya telah memberikan argumentasi apa yang dimaksud di ayat 1 Kor 7:18 dan saya juga telah mengatakan bahwa Tuhan tidak akan memakai tanda Perjanjian Lama dengan sunat, kalau kemudian di dalam Perjanjian Baru dipandang berdosa. Bagaimana mungkin tanda Perjanjian Lama adalah berdosa? Silakan direnungkan kembali.
            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            stef – http://www.katolisitas.org

  6. Saya seorang Katolik Roma,ingin menanyakan beberapa hal mengenai sunat atau sirkumsisi (sunat lahiriah) menurut iman Katolik.Sebelumnya,maafkan saya jika pertanyaan ini kurang pantas bagi para pembaca.Saya ingin dijawab oleh Romo sehingga jawaban tersebut lebih meyakinkan & jelas.Begini :

    1. Menurut Iman Katolik,apakah sunat atau khitan pria diharuskan atau diwajibkan?
    2. Ayat Alkitab yang mana yang menjadi dasar jawaban pertanyaan nomor 1?
    3. Dalam kitab Kejadian 17,dibicarakan kewajiban sunat.Namun,dalam kitab Galatia 5,dibicarakan sunat tidak diwajibkan lagi.Bagaimana penjelasannya?
    4. Saya pernah mendapatkan jawaban dari seorang Katolik Roma juga bahwa Gereja Katolik tidak mewajibkan sunat bahkan Gereja Katolik menganggap sunat adalah dosa besar,apakah menurut iman Katolik sunat adalah dosa besar?Ayat Alkitab mana saja yg menjadi dasar pernyataan itu jika ada?

    Harap jawaban juga dikirimkan ke email yg telah saya cantumkan jika Admin berkenan.
    Tolong jawaban tidak perlu sampai merambat ke luar topik Ajaran Katolik spt keuntungan sunat menurut kalangan medis,dsb.
    Terima kasih,salam damai.

    • Yunus Yth.

      1. Sunat bukan kewajiban bagi orang Katolik tetapi merupakan demi kesehatan dianjurkan.
      2. Tidak ada ayat untuk itu.
      3. Sunat adalah aturan tradisi Israel (Yahudi) bukan kewajiban bagi orang katolik sebagai aturan umum.
      4. Tidak dosa besar, sekali lagi sunat untuk kesehatan tidak ada hubungan dengan iman Katolik.
      salam
      Rm Wanta

      Tambahan dari Ingrid:
      Shalom Yunus,
      Sebenarnya, sunat yang ada dalam Perjanjian Lama adalah merupakan gambaran dari Pembaptisan pada Perjanjian Baru. Melalui sunat, seseorang dikukuhkan dalam bilangan bangsa Israel sebagai bangsa pilihan, sesuai dengan hukum Taurat Musa. Sedangkan melalui Pembaptisan, seseorang digabungkan dalam Gereja, sebagai Bangsa Pilihan Allah yang baru, sesuai dengan hukum Kasih Kristus.
      Maka, sebenarnya, yang dipermasalahkan oleh rasul Paulus dalam surat-suratnya kepada jemaat di Roma (lih. Rom 3: 28) dan di Galatia (lih. Gal 5:6), adalah untuk mengajar kepada jemaat bahwa seseorang diselamatkan bukan karena disunat yang merupakan ‘perbuatan sesuai dengan hukum Taurat’, namun karena iman yang bekerja oleh kasih.
      Jadi kita sebagai orang Katolik, harus yakin bahwa keselamatan bagi kita adalah melalui Pembaptisan, di mana kita menyatakan iman kita kepada Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, dan bukan karena sunat. Jika seorang Katolik disunat, lalu ia berpikir bahwa sunat inilah yang menyelamatkannya, maka ia sesungguhnya tidak mempunyai iman yang benar. Di sinilah letak kesalahan/ dosanya, yaitu, ia tidak memahami iman Katoliknya dengan baik. Namun jika ia disunat hanya demi alasan kesehatan, dan ia mengimani bahwa iman akan Yesus Kristus yang dinyatakan dalam Pembaptisanlah yang membawanya kepada keselamatan kekal, (bukan sunat), maka ia tidak melakukan dosa.
      Semoga menjadi lebih jelas, ya Yunus.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  7. Halo Pak Stefanus dan Ibu Inggrid, apa kabar? Saya ingin bertanya lagi:
    1. Bolehkah kita menganggap bahwa Perjanjian Lama adalah buku yang tak sempurna? Karena kita tahu bahwa ada beberapa denominasi non Katolik seperti Gereja Advent Masehi Hari Ketujuh banyak mengambil tata cara hidup mereka seperti apa yang tertulis di PL, misalnya hari Sabbath, pelarangan makanan yang dituliskan di Immamat. Mengapa kita sebagai Katolik tidak mengikuti tradisi yang tertulis di PL?
    2. Sebenarnya bagaimana pembentukan tata cara liturgi? Saya pernah membaca bahwa tata cara misa yang ada tidak lepas dari keterlibatan dari keputusan Paus. Apa alasan Paus dalam menambahkan hal-hal dalam tata cara liturgi?
    3. Apa artinya menggenapi hukum Taurat oleh Yesus tanpa membuang satu titik pun di Matius 5:17-20?

    Terima kasih ya =)
    Ohya apa kabar progres bukunya, tidak sabar nih menunggunya ^^

    [dari katolisitas: telah dijawab disini – silakan klik]

Comments are closed.