“Urapilah Hati, Pikiran, dan Mulutku, Ya Tuhan” merupakan inti dari tema retret bagi seratus tiga puluh Para Pemandu Umat Lingkungan (PPUL) Paroki Santa Monika- Serpong. Aku mendampingi retret itu dari tanggal 30 sampai dengan 31 Agustus 2014. Para Pemandu Umat Lingkungan ini adalah istimewa. Mereka istimewa karena dipanggil Tuhan untuk menyampaikan Firman-Nya dengan menterjemahkannya dalam bahasa sehari-hari sehingga dapat dimengerti. Nabi Yeremia menjadi modelnya. Tuhan mengurapi hati, pikiran, dan mata mereka dengan penyembahan salib sebagai tanda penyertaan-Nya. Penyertaan Tuhan diyakini akan menyentuh kekurangan mereka, yaitu yang berat lidah menjadi fasih berbicara dan yang minder karena belum berpengalaman (digambarkan dengan masih muda) menjadi bijaksana (digambarkan dengan menjadi dewasa). Pengurapan Tuhan juga dipercayai akan menjadikan hati peka terhadap hamparan Firman di depan mata sehingga mata mampu menangkap Sabda Tuhan itu dalam segala hal yang mereka jumpai. Mereka akhirnya bisa menyampaikan Firman Tuhan dalam bahasa sederhana, mudah diterima, dan menguatkan jiwa. Kemampuan ini nampak dalam sebuah renungan yang mereka buat selama dua puluh lima menit berdasarkan dari apa yang mereka temui. Sungguh luar biasa bahwa mereka bisa merumuskan refleksi teologis (merumuskan tentang Tuhan) yang menarik, seperti Tuhan adalah Tukang Sapu, yaitu Tuhan yang setia membersihkan hati kita, Tuhan adalah Pohon Beringin sebagai Tuhan adalah Sang Pengayom, dan Tuhan adalah Kran Air sebagai Tuhan, Sang Pemberi Berkat.
Puncak dari pengalaman tentang kehadiran Firman Tuhan di sekitar kehidupan adalah semangat dan ketabahan dari seorang peserta. Ia adalah seorang kakek yang berusia tujuh puluh dua tahun. Ia harus merawat istrinya yang harus menjalani cuci darah setiap lima jam dalam sehari. Dalam usia yang seharusnya sudah menikmati masa tuanya, ia harus tetap bekerja untuk memenuhi biaya pengobatan istrinya. Hal ini sudah dilakukannya selama bertahun-tahun. Ia sangat merindukan retret ini untuk menimba kekuatan Tuhan sehingga ia meminta adik iparnya untuk menjaga istrinya. Doa dari para peserta retret untuknya mengalirkan kekuatan ilahi dalam jiwanya sehingga ia berkata:“Di dalam salib Tuhan, aku tidak akan pernah menyerah dengan kelelahan dan kesulitan dalam merawat istriku yang tak berdaya. Firman Tuhan dalam Roma 8:3 ‘Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?’ menguatkan imanku bahwa Tuhan senantiasa bersamaku dalam menjaga istriku yang sakit”. Setelah diam beberapa saat, ia melanjutkan sharingnya: “Istriku yang sakit merupakan undangan Tuhan bagiku untuk menikmati Firman-Nya. Firman-Nya selalu nyata dalam diri istriku yang terbaring lemah. Setiap hari Tuhan menyampaikan Firman-Nya yang baru melalui keadaan istriku. Firman-Nya memberikan kepada hatiku sukacita pada saat aku mendampingi istriku yang menderita. Senyuman “trimakasih” dari istriku merupakan ungkapan kebahagiaan Tuhan karena setetes cinta dari kedalaman hati. Aku senantiasa diingatkan akan usapan kasih dari Veronika atas wajah Tuhan Yesus yang lelah karena memanggul Salib menuju Golgota. Karena itu, aku senantiasa ingin membahagiakan istriku. Membahagiakan istriku yang sakit berarti membahagiakan Tuhan sendiri”. Sharing imannya mengingatkan kepadaku atas Firman Allah yang begitu indah: “Apabila aku bertemu dengan perkataan-perkataan-Mu, maka aku menikmatinya; firman-Mu itu menjadi kegirangan bagiku, dan menjadi kesukaan hatiku, sebab nama-Mu telah diserukan atasku, ya TUHAN, Allah semesta alam” (Yeremia 15:16).
Kehidupannya sebagai pesan Tuhan dapat aku rumuskan dalam sebuah bahasa yang puitis :
Istriku, engkau adalah orang yang paling aku cintai
Di setiap darah dalam tubuhmu yang dicuci, ada darah Kristus di salib.
Di setiap nafasmu yang tersengal-sengal, ada nafas Tuhan Yesus yang menahan derita di Golgota.
Di setiap gerakan tubuhmu yang berat, aku lihat Tuhan Yesus menggeliat untuk mengurangi kekakuan tubuh-Nya yang terpaku.
Ketika aku memandangmu, aku mensyukurimu sebagai perhiasan yang termulia.
Perhiasan yang termulia dari mahkota duri Tuhan yang tertancap di kepalamu.
Tancapan mahkota duri itu menyemburkan cahaya cinta dan pengorbananmu kepadaku.
Tetesan-tetesan darah di kepalamu berubah menjadi butir-butir berlian iman yang memancarkan kemilau indah
Engkau tak tergantikan oleh apapun dan siapapun.
Engkau tak terhapuskan dengan apapun.
Bersabarlah, kita akan meninggalkan kesuraman ini
dan bersama-sama bahagia menuju Sang Terang pada saatnya.
Kesimpulan yang dapat menjadi sebuah renungan : Mentari adalah bola besar yang bercahaya dan akan padam pada masanya. Namun, cinta tak akan pernah pudar walaupun bumi bergoncang. Cinta tak akan pernah gersang walaupun dunia kering kerontang karena kemarau yang panjang. Namun, cinta senantiasa hidup karena bersatu dengan cinta Tuhan. Kebersatuan cinta itu senantiasa memancar keluar sebagai Firman yang ingin ditangkap sebagai jalan dan terang kehidupan yang bahagia walaupun mungkin harus merasakan duri kehidupan: “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! (Mazmur 34:39a).
Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC