Keluarga sedang “diserang”
Mungkin kalimat “keluarga sedang diserang” terlihat terlalu bombastis dan tidak realistis, karena ada sebagian dari kita yang merasa bahwa keluarganya baik-baik saja. Namun, kalau kita mengetahui hakekat dan tujuan keluarga Katolik yang sebenarnya, maka sudah seharusnya kita melihat bahwa ancaman terhadap keluarga- keluarga Katolik adalah sesuatu yang nyata terjadi di sekitar kita. Terlebih lagi, jika kita juga menyadari tanggung jawab orang tua dalam pendidikan iman anak, maka kita akan semakin waspada akan ancaman ini, dan mengusahakan semampu kita agar jangan sampai kita jatuh dan ‘menyerah’ pada keadaan.
Jika kita melihat dunia di sekitar kita, kita dapat dengan jujur melihat bahwa ada begitu banyak perkawinan yang hancur. Kehancuran perkawinan ini bukan hanya menimpa teman atau kerabat yang jauh, namun juga telah menimpa sahabat dan saudara yang dekat dengan kita. Berapa banyak dari kita yang melihat bahwa anak-anak teman atau saudara kita yang kehidupannya berantakan, terjebak narkoba dan seks bebas, bahkan sampai pernah dipenjara. Mungkin kita juga sering melihat ada begitu banyak anak yang lahir dari keluarga Katolik, namun akhirnya berpindah ke gereja lain atau mungkin ke agama lain, atau mungkin menjadi ateis. Inilah kondisi yang dialami oleh orang tua di zaman sekarang, yang akarnya adalah karena orang tua tidak cukup melaksanakan pendidikan iman Kristiani kepada anak- anak sejak sedini mungkin. Memang dapat dikatakan bahwa di jaman sekarang, membesarkan anak-anak dan menanamkan iman Kristiani dalam diri mereka menjadi lebih sulit, karena kondisi dunia sekarang memang sering bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Bahkan dinamika kehidupan di dalam rumah kita sendiri sering menambah sulitnya penerapan nilai- nilai Kristiani. Kondisi macet, kesibukan orang tua, pengaruh mass media, pola hidup konsumtif, mental ‘tidak mau repot’, adalah beberapa contohnya, mengapa orang tua menghadapi tantangan yang besar untuk melaksanakan peran mereka sebagai pendidik utama bagi anak- anak dalam keluarga, terutama dalam hal iman.
Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak- anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, “Jaman sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya dapat mendoakan…. ”
Ungkapan ini adalah suatu ironi, namun menyiratkan keputus asaan orang tua, atau penyesalan bahwa segala sesuatunya sudah terlanjur. Kita harus mengusahakan sedapat mungkin agar jangan sampai anak- anak kita bertumbuh menjadi semaunya dan ‘tak terkendali’, lalu kita hanya dapat menyesalinya. Selalu ada yang dapat kita lakukan untuk mencegah hal- hal yang buruk terjadi pada anak- anak kita, dan kita dapat memulainya dengan langkah sederhana: yaitu dengan setia menanamkan iman kepada anak- anak kita sejak mereka masih kecil. Harapannya ialah, setelah mereka tumbuh remaja dan dewasa, mereka dapat menjadi pribadi- pribadi yang utuh, beriman dan bertanggungjawab.
Bagaimana melawan serangan dari luar dan membangun keluarga kristiani dari dalam?
Ibarat sebuah rumah, maka keluarga juga harus dibangun atas dasar yang kuat. Dan dasar pondasi yang kuat itu adalah iman akan sabda Tuhan dan penerapannya di dalam perbuatan kita (lih. Mat 7:24-27). Keluarga adalah tempat pertama bagi anak- anak untuk menerima pendidikan iman dan mempraktekkannya. Dalam hal ini orang tua mengambil peran utama, yaitu untuk menampakkan kasih Allah, dan mendidik anak- anak agar mengenal dan mengasihi Allah dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dimulai dengan mengasihi orangtua, kakak dan adik, teman- teman di sekolah, pembantu rumah tangga dan sopir, dst. Jadi adalah tugas orang tua, untuk membentuk karakter anak sampai menjadikan mereka pribadi yang mengutamakan Allah dan perintah- perintah-Nya. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan sebagian besar waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan bagi anak- anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka? Atau jika orang tua ada di rumah, apakah mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh mana orang tua mengarahkan anak- anak, agar ingat akan kehadiran Tuhan di dalam hidup mereka, supaya anak- anak dapat dengan spontan bersyukur, memohon perlindungan dan pertolongan kepada-Nya?
Agaknya perlu kita ingat bersama, mengapa semua hal ini menjadi penting dan harus kita lakukan. Ya, karena kita semua, baik masing- masing maupun sebagai keluarga, kita harus mengingat bahwa tujuan hidup kita yang terakhir adalah Surga. Kita percaya bahwa Tuhan menghendaki kita bersatu dengan Dia di surga, maka kita harus berjuang bersama- sama untuk mencapainya, tentu dengan bantuan rahmat Tuhan.
Tujuan utama pendidikan Kristiani
Dengan tujuan akhir manusia adalah kehidupan kekal bersama Allah di Surga, ((lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 1: “Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembentukan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, di mana ia sebagai manusia, adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa ia akan mengambil bagian menunaikan tugas kewajiban di dalamnya.)) maka pendidikan anak secara umum harus mengarah kepada pembentukan pribadi manusia secara utuh, baik dari segi fisik, moral, intelektual agar anak- anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi kehidupan ini, agar kelak mereka dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Jadi tugas orang tua adalah menghantar anak- anak agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sudahkah para orang tua menyadari tugas yang mulia ini?
Selanjutnya, mungkin kita bertanya, jika tujuan pendidikan Kristiani adalah surga, bagaimanakah cara untuk mencapainya? Gereja Katolik, melalui Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa anak- anak dapat dihantar untuk mencapai surga, jika mereka diperkenalkan kepada misteri keselamatan, iman, kekudusan agar siap memberikan kesaksian akan pengharapan imannya. Dan dalam hal ini, penerimaan sakramen dan perayaan liturgi menjadi penting, karena di sanalah kita semua menerima rahmat Allah yang menguduskan itu:
“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Selain itu hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan dunia menurut tata-nilai Kristiani …” ((Ibid))
Di samping itu, orang tua juga harus mendidik anak- anak agar mengenal dan menerapkan nilai- nilai yang paling esensial dalam hidup manusia, yaitu bahwa setiap manusia itu berharga di mata Tuhan, tidak peduli apakah rasnya, agamanya, atau pekerjaannya. Dengan demikian, anak- anak diajar untuk menghargai orang- orang di sekitarnya, terutama yang kurang beruntung dibandingkan dengan mereka. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan demikian:
“Bahkan di tengah kesulitan- kesulitan karya pendidikan, kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar dewasa ini, para orang tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak mereka tentang nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia. Anak- anak harus tumbuh dengan sikap yang benar tentang kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap barang- barang materi, dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana dan bersahaja, yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia daripada karena apa yang dia miliki.” ((Paus Yohanes Paulus II, Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio 37))
Adalah suatu permenungan, sejauh manakah kita sebagai orang tua mengajarkan hal ini kepada anak- anak? Jangan sampai anak- anak kita hanya menghargai orang berdasarkan penampilan, atau anak- anak begitu tergiur dengan barang- barang yang mahal- mahal, sehingga tidak mampu lagi menghargai kesederhanaan dan ketulusan.
Orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak- anak
Mengingat pentingnya tujuan pendidikan, dan bagaimana seharusnya dilaksanakan secara Kristiani, maka penting digarisbawahi di sini peran orang tua sebagai pendidik utama anak- anak. Gereja Katolik mengajarkan demikian:
“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak mereka” ((Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3, lihat juga KGK 1653 dan Familiaris Consortio 36)). Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi anak- anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah. Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan kepada orang lain ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio 36, 40)).
Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak- anak berarti orang tua harus secara aktif mendidik anak- anak dan terlibat dalam proses pendidikan iman anak- anaknya. Orang tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak sendiri membentuk keluarga di kemudian hari.
Sebagai pendidik utama, maka orang tua harus terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah, dan orang tua bertugas membentuk anak- anaknya. Orang tua harus mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku- buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman- teman anak- anaknya, dan sebagainya. Tugas dan tanggungjawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada pembantu rumah tangga ataupun guru les. Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka sendiri, dan kurang mempedulikan atau kurang mau terlibat dalam pendidikan anak- anak. Mengirim anak- anak untuk les pelajaran, atau menyekolahkan anak di sekolah national plus, tidak menjamin pembentukan karakter anak dengan baik.
Demikian pula dalam hal iman. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman, maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di sekolah, guru les ataupun guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun orang tua tetaplah yang harus melakukan tugasnya sebagai pendidik utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya tidak sulit, karena dapat dimulai dari hal- hal sederhana. Namun dibutuhkan komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua, misalnya: berdoa bersama anak- anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam, membawa anak- anak ikut Misa Kudus dan sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya, mendorong anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan, memberi koreksi jika anak berbuat salah namun setelahnya tetap merangkul dengan kasih, dan seterusnya.
Bagaimana menanamkan pendidikan iman pada anak- anak
1. Doa bersama sekeluarga dan mendampingi anak- anak menerima sakramen- sakramen
Doa adalah nafas iman. Maka jika kita ingin menanamkan iman kepada anak- anak, pertama- tama adalah kita harus mengajari mereka berdoa, dan bukan hanya mengajari saja, kita perlu berdoa bersama- sama dengan mereka. Dalam setiap keadaan, baik susah ataupun senang di dalam keluarga, kita perlu berdoa. Dalam keadaan bersuka cita kita mengucap syukur kepada Tuhan; dan dalam keadaan berduka, kesulitan, sakit, kita memohon pertolongan-Nya. Firman Tuhan mengajarkan, “… nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Flp 4:6) Selanjutnya, para orang tua juga perlu mempersiapkan anak- anak untuk menerima sakramen- sakramen. Paus Paulus VI mengajarkan:
“Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak- anak doa- doa Kristiani? Apakah engkau bersama dengan para imam, mempersiapkan anak- anak untuk … sakramen- sakramen Pengakuan dosa, Komuni, dan Penguatan? Apakah ketika mereka sakit engkau mendorong mereka untuk merenungkan penderitaan Kristus, untuk memohon pertolongan dari Bunda Maria dan para orang kudus? Apakah keluarga berdoa rosario bersama? Dan engkau, para bapa, apakah engkau berdoa bersama dengan anak- anakmu…? Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan perbuatan, yang disertai dengan doa bersama, adalah pelajaran kehidupan, dan sebuah tindakan penyembahan yang bernilai tunggal. Dengan cara ini engkau membawa damai ke rumahmu… Ingatlah bahwa dengan cara ini kamu membangun Gereja.” ((Paus Paulus VI, Audiensi Umum, 11 Agustus 1976, Familiaris Consortio, 60))
Di samping penting bagi pertumbuhan iman anak, doa keluarga juga memegang peran yang penting untuk mempersatukan keluarga. Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan hal yang serupa, dengan mendorong keluarga- keluarga untuk bersama- sama membaca dan merenungkan Kitab suci, mempersiapkan diri sebelum menerima sakramen- sakramen, melakukan doa pernyerahan keluarga kepada Hati Kudus Yesus, doa penghormatan kepada Bunda Maria, doa sebelum dan sesudah makan dan doa devosi lainnya. ((lih. Familiaris Consortio 61)). Mengulangi ajaran Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan pentingnya doa rosario bersama keluarga untuk memupuk kerukunan dan menumbuhkan kehidupan rohani dalam keluarga. Doa bersama sekeluarga merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab dengan melaksakan hal ini, firman Allah digenapi dalam keluarga itu, “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:19-20) Tak heran, Bunda Teresa mengajarkan, “Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.” ((Mother Teresa’s Address to the United Nations, October 26, 1985)).
Sayangnya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah keluarga tidak menyediakan waktu yang khusus untuk berdoa apalagi merenungkan firman Tuhan bersama- sama. Padahal sejak usia dini, anak- anak umumnya mempunyai kehausan untuk mengenal firman Tuhan. Ada banyak keingintahuan anak- anak tentang banyak hal, terutama juga tentang Tuhan dan kisah- kisah di dalam Kitab Suci. Sebagai orang tua, kita harus menanggapi kerinduan jiwa mereka untuk mengenal Tuhan. Orang tua adalah pewarta Injil yang pertama bagi anak- anak mereka. ((lih. Familiaris Consortio 39)) Sekolah ataupun Bina Iman dapat membantu, namun tidak dapat menggantikan peran orang tua dalam hal ini.
Demikian pula, perhatian terhadap sakramen juga perlu ditingkatkan di dalam kehidupan keluarga. Sebab nampaknya ada kecenderungan bahwa orang tua tidak memberi perhatian khusus untuk mempersiapkan batin anak- anak sebelum mereka menerima sakramen- sakramen. Berapa banyak orang tua yang membimbing anak- anaknya memeriksa batin sebelum menerima sakramen Pengakuan Dosa? Banyak orang tua merayakan ulang tahun anak- anaknya, bahkan di hotel berbintang sekalipun, namun berapa banyak orang tua yang merayakan ulang tahun anaknya dengan mengajukan ujud ucapan syukur pada Misa Kudus? Atau merayakan Baptisan anak-anaknya, Komuni Pertama ataupun sakramen Penguatan, walaupun hanya dengan doa sederhana di rumah? Padahal makna Baptisan jauh lebih berharga dan bahkan tak bisa dibandingkan dengan makna perayaan ulang tahun. Karena Baptisan menghantarkan ke kehidupan surgawi yang kekal, bukan hanya merayakan pertambahan tahun kita hidup di dunia ini. Lalu, ada banyak orang tua mementingkan acara ‘berkeliling makan’ setiap minggunya, di satu restoran ke restoran yang lain, mall yang satu ke mall yang lain, namun apakah orang tua rajin mempersiapkan batin anak- anaknya, dan diri mereka sendiri, untuk mengikuti perayaan Ekaristi? Misalnya dengan merenungkan bacaan Injil hari Minggu pada hari Sabtu malam ataupun Minggu pagi sebelum ke gereja?
Dalam hal ini, peran ayah/ bapa cukup penting, yaitu sebagai imam di dalam keluarga. Para bapa dipanggil untuk memimpin keluarganya untuk tetap tinggal di dalam Tuhan. Hal ini dapat diwujudkan dengan cara- cara sederhana, misalnya; para bapa memimpin doa keluarga, entah pada pagi atau malam hari; bapa memberkati anak- anaknya dengan tanda salib di dahi sebelum anak berangkat ke sekolah; bapa membacakan kisah Kitab Suci kepada anak- anak dan menjelaskannya, bapa menyiapkan anak- anak untuk menerima sakramen dengan penuh rasa syukur dan seterusnya. Tentu saja, ini mensyaratkan bahwa para bapa (dan juga ibu) menghayati iman Katolik agar penghayatan ini dapat dibagikan kepada anak- anak.
2. Orang tua harus mengusahakan suasana kasih dan kebersamaan di rumah
Kasih orang tua merupakan elemen dasar dan sumber yang menentukan kualitas peran orang tua sebagai pendidik ((lih. Familiaris Consortio, 36)). Suasana kasih harus ada di dalam rumah kita, agar kita dapat mendidik anak- anak kita dengan baik. Maka para orang tua harus menciptakan suasana di rumah yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan sesama -dalam hal ini para anggota keluarga di rumah- sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak- anak dapat ditumbuhkan. ((lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3))
Selanjutnya, maksud bahwa kasih orang tua adalah dasar bagi pendidikan anak, adalah kasih itu harus menjiwai semua prinsip pendidikan anak, disertai juga dengan nilai- nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan pengorbanan. ((lih. Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 36)) Kasih yang rela berkorban ini menjadi dasar yang menghidupi keluarga, sehingga keluarga menjadi gambaran akan Gereja yang dihidupi oleh kasih pengorbanan Kristus di kayu salib. Inilah antara lain, yang menjadikan keluarga menjadi Ecclesia domestica (Gereja kecil/ Gereja rumah tangga). ((lih. Familiaris Consortio, 49)) Atas prinsip ini, kita sebagai orang tua harus memikirkan apakah yang terbaik bagi anak menurut kehendak Tuhan, dan bukan sekedar apakah yang disenangi anak. Sebab umumnya apa yang terbaik bagi anak menuntut pengorbanan dari orang tua. Sebagai contohnya adalah bahwa orang tua perlu meluangkan waktu bagi anak- anak, agar dapat mendengarkan dan berkomunikasi dengan mereka dari hati ke hati. Komunikasi antara anak dan orang tua adalah sangat penting, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga. Waktu kebersamaan ini memang idealnya dilakukan setiap hari, misalnya setiap makan malam, atau sebelum doa malam. Namun juga pada waktu akhir pekan, pada hari Minggu, atau terutama juga pada saat liburan sekolah, orang tua perlu menyediakan waktu untuk anak- anak, berlibur bersama anak- anak. Tidak perlu di tempat yang mahal- mahal, namun perlu diusahakan waktu kebersamaan, di mana anak- anak dapat bermain bersama orang tua, tertawa bersama, saling curhat dan mendengarkan satu sama lain.
Dalam saat- saat seperti inilah umumnya, orang tua dapat sedikit demi sedikit ‘masuk’ dalam memberikan pengajaran, entah dari kata- kata atau dari teladan, tentang kebaikan Tuhan, tentang kehadiranNya dalam hidup kita, dan tentang pentingnya iman dalam kehidupan ini. Saat- saat inilah orang tua dapat mengajarkan tentang kehadiran Allah dalam hal- hal yang sederhana, lewat alam ciptaan di sekitar kita dan lewat orang- orang yang kita jumpai. Inilah kesempatan orang tua mengajarkan kepada anak- anak untuk mengucap syukur, jika melihat pemandangan yang indah, jika dapat makan makanan yang enak, jika dapat bermain dengan seru dengan teman- teman yang baru, dan seterusnya. Jika anak- anak sudah dapat mengalami kehadiran Tuhan dalam hal- hal sederhana, maka besar kemungkinan mereka akan mempunyai kepekaan untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan dan berkeinginan untuk melaksanakan kehendak-Nya.
3. Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebajikan Kristiani
Dalam suasana kasih inilah, keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dan seterusnya. Orang tua selayaknya memberikan teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya melalui perkataan saja.
Untuk menanamkan kebajikan Kristiani inilah orang tua mengambil bagian di dalam otoritas Allah Bapa dan Kristus Sang Gembala; dan juga di dalam kasih keibuan Gereja. ((lih. Familiaris Consortio 38)) Artinya, orang tua tidak boleh enggan untuk memberi koreksi jika anak melakukan kesalahan, namun tentu saja koreksi itu diberikan dengan motivasi kasih. Jadi dalam penerapannya adalah, orang tua boleh tegas, tetapi jangan sampai kehilangan pengendalian diri pada waktu menegur anak kita. Selanjutnya, setelah memberikan koreksi, dan anak telah menyadari kesalahannya; penting sekali anak itu kembali dirangkul dan menerima peneguhan bahwa kita sebagai orang tua tetap mengasihinya. Maka tujuan koreksi tersebut adalah pertama- tama bukan supaya mereka takut kepada kita orang tuanya, tetapi supaya anak- anak dapat mengetahui bahwa perbuatan salahnya itu mendukakan hati Tuhan.
4. Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam hidup manusia.
Selanjutnya, dari orang tualah anak- anak belajar akan nilai- nilai yang esensial dan terpenting di dalam hidup. Nilai- nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II adalah:
1) keadilan yang menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang termiskin dan yang paling membutuhkan bantuan;
2) hukum kasih: memberikan diri untuk orang lain dan memberi adalah suka cita,
3) pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh, emosi maupun jiwa;
4) pendidikan tentang kemurnian (chastity);
5) pendidikan moral yang menjamin anak- anak bertindak dengan penuh tanggungjawab. ((lih. Familiaris Consortio 37)).
Maka, pertama- tama, orang tua perlu mengajarkan tentang prinsip keadilan yang menghormati setiap orang, terutama mereka yang memerlukan perhatian dan bantuan kita secara khusus. Contohnya, anak- anak yang lebih besar harus diajarkan untuk melindungi adik- adiknya atau anak- anak yang lebih kecil. Atau anak- anak harus diajarkan untuk menghormati dan memberi perhatian kepada opa dan oma, terutama jika opa dan oma sudah tua. Menggandeng tangan mereka, mengajak mereka bicara adalah suatu contoh yang sederhana. Anak- anak juga harus diajarkan untuk bersikap sopan kepada orang- orang yang lebih tua, termasuk juga pembantu rumah tangga dan sopir. Anak- anak juga perlu diajarkan untuk bersikap peka untuk membantu orang- orang yang memerlukan bantuan, misalnya menghibur jika ada anggota keluarga yang sakit, mendoakan orang- orang lain yang sedang kena bencana, memberi sedekah kepada orang miskin dan seterusnya. Anak- anak juga perlu diajarkan untuk menghargai kehidupan manusia, dan bahwa manusia terbentuk sejak dalam kandungan ibu, sehingga kelak anak- anak memahami bahwa bukan hak mereka untuk mengakhiri hidup manusia, entah melalui aborsi atau euthanasia.
Kedua, orang tua perlu memberikan teladan kepada anak- anak, bahwa ‘memberi adalah suka cita’. Ini sangat penting, untuk membentuk karakter anak agar murah hati dan tidak egois. Anak- anak perlu diingatkan bahwa mereka bukan ‘pusat dunia’, atau king or queen of the universe. Anak- anak perlu diajarkan agar senang berbagi, sebab segala yang dimilikinya adalah berkat ‘titipan’ Tuhan. Ingatkan kepada anak- anak bahwa: “… Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2 Kor 9:7) ‘Memberi’ di sini, mempunyai arti luas, tidak hanya benda materi, namun juga suka cita, kasih, dan pengampunan. ((lih. KGK 1657))
Ketiga, pendidikan seksualitas pada anak juga perlu mendapat perhatian, yang dapat disampaikan sesuai dengan umur anak. Jangan sampai seksualitas dibatasi menjadi sensualitas; namun harus mencakup keseluruhan pribadi seseorang, tubuh, jiwa maupun emosi. Penghayatan macam ini melihat bahwa secara kodrati ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan, yang bukan saja berkaitan dengan jenis kelaminnya, tetapi menyangkut keseluruhan pribadinya. Jadi sejak kecil anak- anak laki- laki harus diajarkan untuk misalnya, tidak memukul perempuan, namun harus melindungi anak- anak perempuan. Anak- anak harus diajarkan untuk menghormati “privacy“, menghormati tubuh dengan tidak mempermainkan organ- organ seksual. Anak- anak perlu diingatkan bahwa tubuh ini adalah bait Allah, tempat kediaman Roh Kudus, seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, -dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor 6:19-20, 3:16). Dalam hal ini anak- anak perlu diingatkan bahwa tubuh mereka adalah milik Allah, jadi kita harus menghormati dan menggunakannya sesuai dengan kehendak Allah. Penghormatan terhadap tubuh ini menghantar kepada prinsip berikutnya, yaitu tentang kemurnian.
Maka prinsip keempat tentang pendidikan tentang kemurnian/chastity berhubungan dengan seksualitas. Jika anak- anak sudah diajarkan bahwa tubuh ini adalah bait Allah, selanjutnya anak- anak perlu diingatkan untuk menjaga kekudusan tubuhnya sebagai bait Allah ini; dan selanjutnya juga untuk menghormati kekudusan tubuh orang lain. Hal ini dapat dimulai dengan memberikan pengarahan sederhana kepada anak- anak, terutama kepada anak- anak perempuan agar memakai pakaian yang sopan, yang tidak serta merta mengikuti mode pakaian yang tidak mendukung anak untuk menjunjung tinggi kemurnian. Dalam hal ini penting pendekatan ibu kepada anak- anak perempuan, dan bapa kepada anak- anak laki- laki, agar mereka dapat diarahkan untuk memandang tubuh mereka sebagai anugerah dari Tuhan yang harus mereka jaga kesuciannya sesuai dengan kehendak Tuhan yang menciptakannya. Menjadi relevan di sini adalah jika kita mendorong mereka untuk mencontoh teladan Bunda Maria dan Santo Yosef, yang menjaga kemurnian tubuh mereka, demi mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan.
Terakhir, orang tua perlu memberikan pengarahan tentang pendidikan moral kepada anak- anak, supaya anak- anak dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Pegangan yang paling praktis memang adalah kesepuluh perintah Allah, dan orang tua dapat membaca penjabarannya dalam Katekismus Gereja Katolik, no. 2083- 2557. Namun yang terpenting adalah, bagaimana menyampaikan intinya kepada anak- anak dengan bahasa yang dapat dipahami oleh anak- anak, agar anak- anak dapat memahaminya dan menjadikannya sebagai pegangan hidupnya. Selanjutnya tentang menanamkan tanggung jawab pada anak- anak, dapat dimulai dari hal- hal yang sederhana, seperti merapikan tempat tidur sendiri, membawa piring kotor maupun pakaian kotor ke tempat cuci, merapikan buku- buku ataupun mainan yang baru selesai dipakai, dst. Anak- anak juga perlu dilatih untuk menerima konsekuensi atas perbuatan yang dilakukannya, terutama jika mereka melakukan kesalahan. Konsekuensi ini bukan semata- mata untuk menghukum, tetapi untuk menyadarkan bahwa setiap keputusan yang kita ambil dan perbuatan yang kita lakukan mempunyai akibat, dan kita harus menanggungnya. Kesadaran ini akan membuat anak melakukan segala sesuatunya dengan penuh tanggungjawab, karena sejak kecil anak terbiasa untuk berpikir jauh ke depan sebelum bertindak. Contoh yang paling umum untuk menerapkan konsekuensi pada anak adalah menahan ‘privilege‘ mereka untuk sementara waktu; misalnya jika mereka berkata kurang ajar/ melawan orang tua, maka konsekuensinya, mereka tidak mendapat uang jajan/ uang jajan dikurangi untuk beberapa hari. Namun, sebelum diberikan sangsi, orang tua sudah harus memberitahukan ‘aturan main’ ini pada anak, sehingga mereka tidak terkejut dan protes. Pada saat aturan ini diberlakukan, orang tua harus tetap menunjukkan kasih kepada anak- anak, sehingga anak- anak tahu bahwa konsekuensi ini dilakukan bukan karena orang tua membenci anak, tetapi karena orang tua sedang membentuknya untuk menjadi orang yang lebih baik.
5. Pengajaran tentang iman dapat dilakukan di setiap kesempatan dan dapat dikemas menarik
Pengajaran tentang Allah dan perintah- perintah-Nya tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih hidup dan menarik, sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain tebak- tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci bergambar, atau sama-sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana sekalipun dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya pada saat anak jatuh ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi, sebelum akhirnya kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ kerabat/ saudara yang membutuhkan pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka. Atau mengajak anak- anak bermain bersama, entah main monopoli, main kartu, atau main bulutangkis, namun kemudian mengajarkan anak- anak untuk bersikap sportif; mengakui kelebihan orang lain -jika ia kalah-, dan tidak boleh sombong dan meremehkan orang lain, jika ia menang.
Setelah anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan lebih mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan kebajikan tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang kesabaran. Dengarkan pengalaman anak dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu untuk menjadi orang yang sabar. Baik jika sharing ini ditutup dengan doa. Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik orang tua maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.
6. Orang tua bertanggungjawab untuk membentengi anak terhadap pengaruh buruk lingkungan sekitar
Menyadari akan kuatnya pengaruh negatif dari mass media maupun lingkungan pergaulan di sekitar kita, orang tua harus mempunyai perhatian untuk turut menyeleksi hal- hal tersebut demi anak. Terlalu banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi jika anak- anak menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak- tembakan, pembunuhan, dst, yang secara tidak langsung merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti kemarahan, kekerasan, tidak mau mengalah, dst. Orang tua juga perlu menyeleksi bacaan/ majalah yang ada di rumah; misalnya para bapa tidak membeli majalah/ bacaan kaum pria yang seolah menyajikan tubuh wanita sebagai ‘obyek’ sensualitas, dst.
Mungkin perlu juga mendapat perhatian, adalah kebiasaan ber FB (Face book) di kalangan anak- anak dan remaja. Jika memungkinkan, silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk memata- matai anak, namun untuk mengetahui sekilas lingkungan pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi, yaitu jika anak terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau sejenisnya, maka lama kelamaan ia menjadi tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di dalam pergaulan, kurang dapat membawa diri, dan terlalu berpusat kepada diri sendiri. Tidak berarti bahwa TV, game internet dan FB memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi jika yang ditonton, atau yang dimainkan tidak sesuai dengan ajaran iman dan moral; atau yang diajak berkomunikasi adalah orang- orang yang tidak membangun iman, atau malahan menjerumuskan mereka; atau jika hal menonton TV dan bermain komputer tersebut sampai menyita hampir semua waktu luang. Mengapa? Sebab jika ini yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya.
7. Orang tua mengarahkan anak- anak untuk mempersembahkan diri dan talenta yang dimilikinya untuk membangun Gereja.
Adalah penting bagi orang tua untuk mengenali bakat dan kemampuan khusus anak- anaknya dan mengarahkan mereka untuk mengembangkannya demi kemuliaan Tuhan. Maka jika anak berbakat musik, entah menyanyi atau bermain alat musik, gabungkanlah mereka kepada kelompok koor di gereja. Jika anak pandai berolah raga, gabungkanlah ia dalam grup olah raga anak- anak dan remaja; jika belum ada di paroki anda, mulailah bersama dengan beberapa keluarga yang lain. Jika anak pandai menulis/ mengarang, doronglah anak untuk mengirimkan karangannya ke redaksi majalah di paroki. Jika anak berminat untuk berorganisasi, gabungkan mereka dalam kegiatan organisasi paroki, seperti putra- putri altar/ SEKAMI (Serikat Kepausan Anak dan remaja Misioner), Legio Mariae (mini), dst. Anak- anak perlu diajarkan untuk mengenal, mencintai iman Katolik agar mereka dapat hidup sesuai dengan imannya, mempertahankan imannya dan mewartakannya. ((lih. Familiaris Consortio, 54))
Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan saudara- saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak- anak untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan, ataupun kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Sedini mungkin mereka harus menyadari bahwa selain menjadi anggota keluarganya sendiri, ia merupakan anggota keluarga Allah yang lebih besar, yaitu Gereja. Sehingga jika ia aktif mendukung Gereja, artinya ia turut memuliakan Allah yang mendirikannya.
8. Orang tua mengarahkan anak untuk menemukan panggilan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan sejatinya
Akhirnya, penting bagi orang tua untuk membantu anak- anak menemukan panggilan hidupnya, entah panggilan hidup berkeluarga maupun hidup selibat untuk Kerajaan Allah. Walaupun nampaknya masih ‘jauh’ ke depan, namun orang tua perlu mempersiapkan anak- anak tentang hal ini. Orang tua perlu memiliki kelapangan hati untuk memperkenalkan panggilan hidup membiara kepada anak- anak; dan memupuk hal tersebut, jika orang tua melihat adanya benih panggilan itu tumbuh dalam diri sang anak. Katekismus jelas mengajarkan demikian, “…. Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani.” ((KGK 1656, lih. Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 11,2)). Tentu dalam hal ini, kita orang tua perlu memiliki sikap kemurahan hati, dan kesadaran bahwa anak- anak adalah titipan Tuhan, sehingga jangan sampai kita berpandangan, “Semoga Tuhan memanggil banyak orang muda untuk menjadi imam, tetapi jangan anak saya….” Mari kita memohon kepada Tuhan agar kita dimampukan untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang, manakah yang terbaik demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita sekeluarga dan sekalian umat beriman. Sebab dengan demikian, kita akan mempunyai sikap yang lebih terbuka dalam mengarahkan anak- anak menemukan panggilan hidup mereka; dan dengan lapang hati dan suka cita, mendukung keputusan mereka, tanpa memaksakan kehendak kita sebagai orang tua. Berbahagialah para orang tua yang mendukung anak- anaknya jika mereka terpanggil untuk mempersembahkan diri seutuhnya untuk Kerajaan Allah; sebab sesungguhnya dengan demikian, orang tua juga mempersembahkan yang terbaik, yaitu buah hati mereka, kepada Tuhan. Percayalah Tuhan akan melipatgandakan suka cita dan kebahagiaan sejati bagi keluarga- keluarga tersebut, baik di dunia ini maupun di Surga kelak.
Kesimpulan: Mari memohon rahmat Tuhan untuk melaksanakan tugas mulia ini
Sungguh besarlah peran orang tua dalam mendidik anak- anak, membentuk karakter dan membina iman mereka, serta mengarahkan mereka kepada Kerajaan Surga. Namun kita percaya bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Rahmat-Nya selalu tercurah kepada kita melalui Gereja-Nya, yang secara khusus kita terima di dalam sakramen- sakramen, dalam doa dan permenungan akan Sabda-Nya. Dengan rahmat Tuhan inilah kita dimampukan untuk membangun keluarga kita atas dasar yang kuat. Oleh kasih karunia-Nya, kita dimampukan untuk teguh di dalam iman dan melaksanakannya dengan suka cita. Pengalaman akan kasih Allah dan mengasihi Allah inilah yang menjadi tali pengikat di dalam keluarga, sehingga apapun serangan dari luar tidak akan menggoyahkannya.
Catatan: Artikel ini ditulis untuk rekoleksi orang tua dari anak-anak penerima komuni pertama, tanggal 22 Mei 2011 di Paroki Santo Thomas Rasul, Bojong.
Shalom,
Saya ingin mengajak anak saya ke acara doa lingkungan, tapi mayoritas peserta di lingkungan saya adalah orang-orang yang berusia 50 tahun ke atas. Acaranya juga tanpa menggunakan alat musik sehingga tentunya terasa membosankan untuk anak-anak. Apakah memang dalam acara lingkungan dilarang menggunakan alat musik? Apakah ada larangan untuk menjadikan acara doa lingkungan sebagai acara yang lebih meriah seperti dalam acara persekutuan doa?
Terima kasih.
[Dari Katolisitas: Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada larangan untuk menggunakan alat musik dalam pertemuan lingkungan. Maka, silakan Anda mengusulkannya kepada para pengurus lingkungan, dan jika diinginkan, silakan mengusahakannya, agar pertemuan lingkungan menjadi semakin menarik bagi semua anggota lingkungan.]
Saya kira arti doa secara perkataan artinya permohonan, tapi bagi saya berdoa artinya berkomunikasi dengan Bapa. Doa lingkungan bagus tapi alangkah baiknya kalau kita memberikan contoh doa dengan roh, Karena doa yang baik membuat kita semakin deket dengan Bapa yang artinya semakin mendekati citraNya. Doa berarti perbuatan juga bagi saya. Berilah contoh doa dan anak akan mau mengikutinya.
Dear tim Katolisitas,
Membaca artikel di atas membuka mata saya akan pentingnya tanggung jawab orangtua dalam membantu anak untuk hidup dalam iman Katolik dan saya memberanikan diri untuk menulis ganjalan yang ada di hati saya yang sudah ada sejak dulu.
Saya seorang ibu, dan anak saya baru berumur 1 tahun. Kebetulan saya sedang menjalani kuliah di luar negeri.
Menjadi ibu di usia muda, sembari menjadi seorang mahasiswa di negeri merupakan hal yang yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh saya. Saya bersyukur suami saya bersedia berkorban untuk mendukung berkumpulnya keluarga kecil kami. Saya sangat bersyukur sekali. akan tetapi saya mempunyai ganjalan tersendiri, dari dalam diri saya sendiri. Dengan ketidakmatangan umur dan iman saya (yang masih penuh dengan luka batin) dan dengan berbagai alasan ketidakmampuan saya yang menghadang, Saya tidak punya cukup percaya diri untuk bisa membesarkan iman anak saya.
Saya berusaha untuk mengajak anak saya ke gereja setiap minggunya.
Bolehkah saya meminta pendapat dari Katolisitas, harus dari mana saya memulai untuk bisa menjadi ibu penyokong iman Katolik untuk anak saya?
Terimakasih.
May God bless you.
Shalom Kai,
Apapun yang Anda lakukan untuk mewariskan iman kepada anak Anda, lakukanlah bersama dengan suami Anda yang adalah kepala keluarga Anda. Biarkan suami Anda menjalankan peran sebagai imam dan pemimpin dalam keluarga Anda, baik dalam doa keluarga, dalam memberkati anak (-anak) setiap hari, dan secara umum dalam memimpin keluarga Anda.
Maka doa bersama (suami Anda, Anda, dan anak Anda) merupakan langkah awal yang paling sederhana namun yang terpenting. Ingatlah pesan Mother Teresa, “A family that prays together stays together”. Jadi mulailah itu dari sekarang, walau mungkin doanya pendek dan sederhana. Jika anak Anda telah bertambah umurnya, doa keluarga Anda akan berkembang, entah dengan doa-doa devosi, doa-doa spontan ataupun dengan permenungan Kitab Suci.
Apakah anak Anda sudah dibaptis? Jika belum, silakan mengatur agar ia dapat dibaptis.
Selanjutnya, tak kalah penting adalah sebelum Anda dapat menyampaikan/ memberi ajaran iman kepada anak Anda, mulailah terlebih dahulu untuk mempelajari, mendalami dan melakukan ajaran iman itu sendiri dalam kehidupan Anda. Ini sesuai dengan rumusan umum: “kita tidak dapat memberi kalau tidak lebih dahulu mempunyai.” Maka dalam hal ini, Anda perlu menjadikan iman sebagai milik Anda, yaitu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Anda sendiri, dan baru setelah itu Anda dapat berharap bahwa hal itu akan dapat “menular” kepada anak Anda. Sebab contoh teladan iman dalam perbuatan berbicara lebih lantang daripada perkataan.
Di atas semua itu, mohonlah selalu pertolongan Tuhan, baik agar Anda memperoleh kesembuhan batin, maupun juga agar Anda dapat mendidik anak Anda dengan baik sesuai dengan kehendak Tuhan. Semoga Anda dan suami Anda dimampukan Allah untuk menjadi orang tua yang baik, yang menampakkan kasih Tuhan kepada anak (-anak) yang dipercayakan oleh Tuhan kepada Anda berdua.
Tambahan dari Triastuti :
Shalom Kai,
Niat Anda untuk menanamkan pendidikan iman Katolik bagi anak Anda sangat mulia, serta perlu segera direalisasikan dengan setia pada setiap kesempatan perjalanan hidup keluarga. Tuhan pasti akan selalu menyertai niat dan usaha baik Anda. Saya ikut bersyukur atas pengertian suami dan kekompakan keluarga kecil Anda. Jangan khawatir dengan perasaan ganjalan dan luka batin yang masih Anda rasakan. Justru dalam perjalanan menyerahkan keluarga Anda kepada Tuhan dalam doa harian sekeluarga, membaca Firman Tuhan bersama, dan merayakan Ekaristi seperti yang ingin Anda lakukan dengan rutin bersama anak dan suami, Tuhan akan bekerja memulihkan Anda sambil menyertai pertumbuhan iman Anda sekeluarga.
Sambil merayakan Ekaristi, Anda dapat memberikan contoh yang baik kepada si kecil untuk mengikuti dengan khidmat dan serius, sambil menjelaskan perlahan-lahan kepadanya berbagai hal mengenai kurban kasih Tuhan bagi kita di dalam perayaan itu. Seiring dengan bertambahnya usianya, bacaan rohani untuk anak-anak atau kisah-kisah Kitab Suci yang dikemas khusus untuk anak dengan berbagai gambar yang menarik dapat menjadi perkenalan pertama yang menyenangkan bagi dia dengan Firman Tuhan. Bacakanlah di waktu-waktu tertentu dan khusus misalnya sebelum tidur malam atau di saat-saat santai favoritnya sehingga saat-saat membaca kisah Kitab Suci bersama Anda akan menjadi saat yang ditunggu-tunggu olehnya.
Sebagaimana yang dituliskan dalam artikel di atas, bawalah setiap peristiwa yang Anda alami sekeluarga dalam doa kepada Tuhan, baik doa pribadi maupun doa-doa devosi seperti Rosario, novena kepada Para Kudus, doa Koronka, doa Malaikat Tuhan, dan lainnya. Ajarkanlah kata-kata singkat dan sederhana kepada anak untuk diucapkannya kepada Tuhan saat bangun pagi, sebelum bermain, sebelum dan sesudah makan, sebelum dan sesudah bepergian, sebelum tidur, pada saat sakit, pada saat ulang tahun, juga pada saat ada orang lain yang membutuhkan doa. Selanjutnya pelan-pelan ajaklah dia berkomunikasi dengan Tuhan setiap saat di dalam hatinya, kapan pun ia ingin berbicara kepada Tuhan, terutama untuk bersyukur, dan lalu juga untuk mengadu, serta meminta petunjuk dalam segala hal. Dengan demikian anak akan merasakan bahwa Tuhan adalah sosok yang paling penting dan paling utama dalam kehidupan keluarga Anda.
Suasana doa dan kedekatan yang terus menerus kepada Tuhan menyelimuti keluarga Anda dalam kehangatan kasih Allah yang selalu memelihara, dengan kasih dan pengampunan yang tiada henti. Karena selalu menjadi kegiatan utama kehidupan keluarga, anak Anda pun tidak akan asing lagi untuk senantiasa mencari Tuhan dalam setiap peristiwa hidupnya sampai ia dewasa kelak. Selamat mengisi hari-hari kehidupan keluarga bersama dan dalam Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati dan Triastuti – katolisitas.org
Pak Stefanus, saya punya anak kembar laki2 berumur 3 tahun. Mereka setiap Minggu saya ajak Misa ke gereja dan sering saya ajarkan cara berdoa setiap malam. Satu dari mereka sangatlah nakal dan sering dgn sengaja suka memukul dan menendang orang2 di sekitarnya termasuk kami org tuanya, pengasuhnya dan saudaranya. Pengasuhnya sering mengatakan kpd anak saya: tuh awas Tuhan Yesus marah ya kalau kamu nakal (sambil menunjuk kepada salib yg tergantung di tembok). Pertanyaan saya: apakah cara seperti ini tepat atau salah? Karena bila dibilang spt itu, dia akan diam untuk sementara dan kemudian mengulangi kenakalan yg sama. Mohon penjelasannya akan dampak baik buruknya dgn tindakan spt ini. Terima kasih. Tuhan berkati
Shalom Regina,
Masalah mendisiplinkan anak, merupakan hal yang tidak mudah bagi banyak orang tua. Sebab jika anak diberi disiplin yang terlalu keras, dapat terjadi malah anak bukannya menurut, tetapi memberontak. Namun kalau anak tidak pernah didisiplinkan, maka ketika ia besar ia akan cenderung bersikap seenaknya saja, dan akan sulit baginya kelak untuk membina relasi dengan siapa saja, termasuk dengan orang tua, dan ya, dengan Tuhan.
Oleh karena itu, peran mendisiplinkan anak adalah penting, walau caranya juga tak kalah penting. Jika Anda mau memperkenalkan Tuhan di sini, janganlah memperkenalkan-Nya sebagai Tuhan yang kejam seperti polisi, yang pemarah kepada anak-anak, sebab dapat menumbuhkan perasaan apriori anak terhadap Tuhan. Sebaliknya, perkenalkanlah Tuhan kepadanya sebagai sosok yang mengasihinya, dan karena itu jangan dibuat bersedih dengan kenakalannya. Sebab benar Tuhan itu Maha adil, maka Ia tidak menyukai kejahatan, tetapi Tuhan juga Maha Kasih, dan kasih-Nya itu sungguh tiada batasnya kepada semua orang.
Tetapi masalahnya, apakah Anda cukup meluangkan waktu untuk menceritakan kepada anak Anda akan kebaikan Tuhan dan betapa Tuhan Yesus mengasihinya? Jika belum, maka inilah yang harus Anda lakukan. Bawalah serta Yesus dalam pembicaraan Anda dengan anak-anak Anda. Tunjukkanlah gambar-gambar Yesus dan para orang kudus. Ajarkan anak-anak lagu-lagu rohani anak-anak. Tontonlah film-film (video/ DVD) rohani bersama anak-anak Anda. Bacakanlah kisah-kisah Kitab Suci sebelum tidur, dan terangkanlah artinya. Berdoalah bersama dengan anak-anak Anda. Ambillah contoh-contoh sederhana, agar anak-anak dapat memahami bahwa kalau kita mengasihi seseorang sudah sepantasnya kita tidak membuatnya bersedih dengan tingkah laku kita. Atau, pujilah anak-anak Anda jika mereka melakukan sesuatu yang baik, dan katakanlah kepada mereka bahwa Tuhan Yesus sangat senang jika mereka berbuat demikian. Ajarkan anak berpakaian rapi dan sopan ke gereja: jangan memakai sandal, jangan memakai pakaian seperti mau tidur (Dan Anda sendiri sepantasnya memberikan contoh, dengan berpakaian rapi dan sopan ke gereja, tidak datang terlambat ke gereja ataupun mengobrol di gereja, Anda bersikap hormat kepada Tuhan, turut beribadah dengan khusuk dalam perayaan Ekaristi). Pendeknya, anak-anak harus diajarkan akan sikap hormat dan taat akan Tuhan, dan untuk menghargai hal- hal surgawi, sehingga mereka dapat mempunyai minat ke arah sana. Jika orang tua tak pernah mengajarkan apapun tentang hal itu, maka tak heran jika anak-anak tak punya minat sama sekali tentang hal rohani, dan bahkan bersikap seenaknya saja di gereja, tak punya sikap yang layak di hadapan Tuhan.
Hal menunjukkan kepada anak-anak, apa yang baik dan apa yang tidak baik/ salah, itu merupakan sesuatu yang harus konsisten dilakukan oleh orang tua. Ini merupakan salah satu cara mendidik mereka agar dapat membedakan yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Hal pendidikan anak yang mendasar semacam ini harus sedapat mungkin dilakukan oleh orang tua dalam segala kesempatan, dan tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh para pengasuh anak, baik oleh pembantu, guru di sekolah atau oleh oma/opa. Walaupun mereka ini tentu dapat membantu, namun tugas utama pendidikan nilai-nilai dasar ini tetap harus dilakukan oleh orang tua.
Selanjutnya, silakan juga membaca jawaban kami kepada Kai, di sini, silakan klik.
Ada pepatah mengatakan: “Seorang anak adalah bagaikan selembar kertas kosong, sedangkan yang menuliskan kata-kata di atasnya adalah orang tuanya.” Jika benar demikian, mari kita usahakan agar yang tertulis di sana adalah kata-kata yang indah dan menyukakan hati Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dengan hormat,
Uraian sangat bagus, bahkan too good to be true untuk keadaan di negeri ini. Jika ada yg dapat melakukan itu saya kira hanya merupakan perkecualian. Untuk keluarga2 biasa di segala kelas masyarakat hal tsb masih merupakan impian, yg tak akan pernah dapat terjadi. Jika kita hendak membangun sesuatu tentu harus dilihat bahan2 dahulu. Dalam permasalahan yg kita hadapi, bahan2nya adalah manusia negeri ini bagaimana keadaannya [yg memimpin dan yg dipimpin]. Seberapakah katolisitas umat? Sesuatu yg tidak dpt dibina tanpa katekese yg sistematik dan terus menerus sesuai dgn kelas umur umat. Yg saya maksud dgn umur adalah umur dalam tahun dan kadar [ tingkat ] pengenalan/pengetahuan agamanya.
Saya kok belum pernah tahu ada paroki yg melakukan itu. Yg saya tahu adalah seksi katekese [kalau ada] berjalan dgn anggaran yg tak menentu kecilnya, dgn satu/dua guru agama [dgn honorarium yg astagah kecilnya] karena pekerjaannya memang hanya insidentil. Bgmn untuk remaja di sekolah? Tanpa membahas yg berada di sekolah negeri, murid2 di sekolah Katolik tidak memperoleh kesempatan mendapatkan katekese yg sesuai. Apakah katekese sebaiknya merupakan angka kredit untuk naik kelas dan lulus sekolah? Saya berpendapat : HARUS. Yg di universitas Katolik [dgn student ministrynya – kalau ada –] apakah memasang angka kredit utk katekese? Kita semua, termasuk uskup, harus tahu.
Sudah 4 th saya mengikuti Misa setiap hari Minggu di kapel universitas Katolik [Yesuit !] saya mengharapkan dapat nebeng mendengarkan kuliah katekese dlm bantuk khotbah. Saya heran, umat yg praktis begini homogen [90 % mahasiswa] kok tidak memperoleh kesempatan utk dapat memulai berkatekese mandiri dgn memanfaatkan khasanah yg ada di perpustakaan, khasanah yg begitu banyak, baik dan menarik. Saya sadar bhw berkhobah di paroki itu sangat sulit, karena menghadapi umat yg begitu heterogen [horisontal/vertikal]. Dapatkah kita mengharapkan alumni Katolik ini bernafaskan Katolik, berbau, dan beraura Katolik di tengah2 masyarakat yg begitu korup. Memasang nama Katoliknya saja sudah ogah [takut?]. Sbg anggota minoritas dlm masyarakat, saya merasa sejuk bila di jalan dapat melihat ikon2 dan atribut2 Katolik [pastor2 saja ogah memakai jubah dan “boord” di lehernya].
Sekarang si alumni Katolik boleh menikah secara Katolik setelah melewati kursus perkawinan, yg saya ragukan efektifitasnya, dgn waktu dan materi yg sangat2 minim. Yg saya maksud memang sekedar lewat dan tandatangan presensi Saya kasihan pd si alumni yg tidak siap menghadapi tuntutan sbg pembimbing yg tuntas spt yg terhampar dalam uraian yg sangat bagus di atas.
Jadi jawaban masalah itu sangat sederhana, yaitu back to basics, yg sangat sulit dijabarkan, karena menjabarkannya dibutuhkan sinergi antara uskup, komisi yg terkait, pastor paroki, dewan paroki dgn seksi2nya. Dan sulitnya lagi kata kerja sinergi tsb adalah modal yg sangat mahal dlm kehidupan sehari2, karena kita tidak pernah punya sejarah mempunyai itu. Belum lagi stakeholders dlm sinergi yg diharapkan yg tersebut di atas ini juga keadaannya masih harus di-back-to-basics-i lagi.
Ini bukan curhat saja ttp juga ratapan, dan Ratapan terdapat dlm buku Perjanjian Lama. Terimakasih.
Shalom Agustinus,
Terima kasih atas curhat anda, yang anda sebut sebagai ‘ratapan’. Sejujurnya, sesuai dengan prinsip: jika seseorang mau melangkah maju, ia perlu mengenali kekurangan dan kelebihannya sendiri; maka saya pikir adalah baik untuk melihat dengan jujur kekurangan kita, supaya kita dapat memperbaiki diri. Demikian pula, relevan juga jika kita memakai prinsip ini dalam kehidupan keluarga, maupun kehidupan menggereja.
Maka uraian di atas tentang peran orang tua dalam pembinaan iman anak, walaupun sekilas terkesan terlalu ‘ideal’ dan sulit diterapkan, namun kita tetap harus mengusahakannya, karena walaupun ‘langka’ di jaman sekarang, tetap ada keluarga- keluarga yang dapat menerapkannya, atau tepatnya, berjuang untuk terus menerapkannya. Pembinaan katekese umat yang dirasa kurang memadai memang merupakan suatu hambatan, namun janganlah dipandang sebagai sesuatu yang membuat pembinaan iman anak oleh orang tua menjadi tidak mungkin sama sekali. Ini tidak benar. Sebab sesungguhnya yang terpenting pertama- tama adalah niat yang kuat dari pihak orang tua untuk memulainya/ dengan konsisten melaksanakannya. Saya sering mendengar kesaksian, bahwa seorang ayah yang membacakan kisah- kisah Kitab Suci kepada anak-anak sebelum tidur, sesungguhnya juga belajar kembali tentang Kitab Suci yang tidak sempat dipelajarinya semasa kecil. Atau keluarga yang berusaha mengajak anak- anak untuk berdoa bersama setiap hari, walaupun hanya 10- 15 menit saja, ternyata dapat memetik hasilnya. Anak- anak tidak lagi sering bertengkar dan lebih mau mendengarkan orang tua. Semua ini berawal dari niat yang kuat dari orang tua, dan dengan bantuan rahmat Tuhan, mereka akan dimampukan oleh Tuhan, dan yang pertama- tama memperoleh buah/ manfaatnya adalah keluarga itu sendiri.
Jika iklim kehidupan rohani sudah berakar di dalam keluarga, maka hal ini akan dapat mempengaruhi kehidupan menggereja. Anak- anak yang sudah diarahkan untuk bersekutu dengan Tuhan dalam doa dan firman Tuhan, akan terus mempunyai dorongan untuk mempelajari dan mendalaminya, sejalan dengan pertambahan umurnya. Setidak-tidaknya, anak- anak/ orang muda itu sendiri sudah mempunyai minat ke arah pendalaman iman. Dalam hal ini pihak paroki, sekolah ataupun pihak universitas (terutama jika dari lembaga Katolik) mempunyai tugas untuk membina dan mengarahkan orang- orang muda ini. Memang kenyataannya hal ini tidak mudah. Ada banyak kendalanya, tetapi jangan lupa, bahwa di samping kendala, era sekarang ini juga menawarkan suatu kemungkinan yang baru, yaitu dengan adanya banyak kemungkinan untuk memperdalam iman Katolik, termasuk di antaranya adalah dengan membaca dan menggunakan informasi iman Katolik yang tersedia di internet, baik yang merupakan tulisan maupun yang berbentuk audio. Situs- situs Katolik, baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris; ataupun program TV Katolik seperti EWTN (Eternal World Television Network), dapat menjadi acuan untuk bahan- bahan pendalaman iman Katolik.
Membaca uraian anda, dan melihat kenyataan di lapangan, sayapun setuju bahwa Gereja Katolik di Indonesia perlu mengadakan semacam ‘pembenahan’ untuk memperbaiki sistem katekese, agar dapat berjalan dengan baik dan secara berkesinambungan, dari anak- anak sampai dewasa (termasuk dalam masa persiapan perkawinan). Namun, mari sebelum membuat seribu langkah, kita membuat langkah pertama terlebih dahulu, yaitu mulai dari keluarga kita sendiri. Dan jika keluarga kita tergantung dari kita para orang tua, mari kitalah yang pertama- tama berubah. Sebab seperti pepatah mengatakan bahwa anak itu seperti selembar kertas kosong, dan yang menuliskannya adalah orang tuanya, maka tentunya orang tua mempunyai tanggungjawab yang besar untuk menulis/ menggambarkan sesuatu yang baik pada kertas itu, dan bukan yang tidak baik. Dan yang terbaik dan bernilai abadi dalam hal ini, adalah iman kita. Maka walaupun kita tahu bahwa mungkin kita terbatas di dalam banyak hal untuk membina iman anak (itulah kekurangan kita) namun ini tidak mengubah kenyataan bahwa kita juga mempunyai banyak sumber dan cara untuk membantu kita mendalami iman Katolik yang sungguh dalam dan kaya (inilah kelebihan kita).
Mari bersama melangkah dalam iman untuk semakin mengenal dan mengasihi Tuhan di dalam Gereja Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
PS: Semoga oleh bantuan rahmat Tuhan, akan datang saatnya bahwa ratapan anda dapat berubah menjadi tari- tarian, seperti dikatakan dalam kitab Mazmur, “Aku yang meratap telah Kauubah menjadi orang yang menari-nari…” (Mzm 30:11)
Ibu Ingrid Yth.
Penilaian saya atas tulisan anda [ too good to be true ], sebenarnya juga merupakan compliment [ meskipun saya ada skeptisism juga ]. Bukankah apa yg diajarkan dan dilakukan Tuhan Yesus itu semuanya too good to be true, bagi kita yg tidak bermutu ini,
Kembali pd masalah PR yg besar sekali ttg katekese umat [ PR yg harus diselesaikan dulu sblm ratapan menjadi tarian puji syukur ], umat masih harus menunggu godot atas plan for action, sedang kita tahu katanya Gereja itu apostolik. Kewajiban hirarki yg pokok adalah juga mengajar sbg guru, dan umat mempunyai religious birthright utk mendapatkan katekese yg memadai.
Karena uskup&perangkatnya, paroki&perangkatnya, serta umat , yaitu semua stakeholder belum apa2 sudah bermasalah [ loyo ? ], keadaannya sepertinya buntu.
Rama Tom Jacobs, SJ pernah mengatakan bhw di mata Eropa, Indonesia itu mengidap penyakit kelainan, yaitu “penyakit Indonesia”; penyakit telah menjadi kebanggaannya, a.l.berwacana keterusan.
Dlm suasana yg sumpek ini, saya menemukan blog Keuskupan Agung Semarang, eh salah, maksudnya dari Washington, yg akan meng-elaborate tulisan anda, yg saya cuplik sebagian saja.
……………..
1. When Catholics attend to their own conversion and seek to grow in holiness, wisdom and knowledge of God.
2. When parents spend time praying with their children, reading them bible stories, the lives of the saints, and explaining the catechism.
3. When parents bring their children to Mass on Sundays without fail, and make famili prayers a priority.
4. When parents are seen to pray by their children, seen to go to confession, and seen to be devout and joyful at Mass.
5. When parents carefully monitor what their children are watching, listening, and viewing in the internet and other media and both are protecting them from evil and explain to them why certain things are wrong and to be avoided.
6 dst, dst sampai angka 16 [ see : blog.adw.org/2011/08/what-does-evngelisation-look-like/ ]
C.S.Lewis alm. dlm bukunya “Mere Christianity menyatakan a.l. Christianity is a fighting religion
krn Tuhan Yesus sendiri menyatakan Dia itu datang dgn pedang. Jadi menjadi Katolik itu berjihad dlm arti yg luas dan bukannya asal membunuh, meskipun agama Katolik juga pernah berjihad dgn serba membunuh utk bbrp abad lamanya -dlm perang Salib dan zaman inquisisi. [Dari Katolisitas: tentang Inkusisi sudah pernah dibahas di jawaban ini, silakan klik. Agaknya perlu dipahami bahwa hal tersebut diadakan demi mempertahankan ajaran iman yang benar yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia], sedang musuh agama Katolik yaitu Materialisme [dari Katolisitas: kami edit]. Meski terlambat, kita harus cancut taliwanda.; meski resolusi kita ini masih very very poor. Cukup sekian dulu, dan semoga rahmat Allah meneguhkan tekad kita.
[Dari Katolisitas: Terima kasih atas komentar anda, semoga dapat berguna bagi para pembaca, terutama mereka yang mempunyai kapasitas untuk mengadakan perubahan yang berarti dalam hal katekese umat bagi Gereja Katolik di Indonesia]
Yth Ibu/Bapak
artikel ini sangat bagus sekali, boleh saya ringkas untuk diterbitkan dibuletin paroki? saya akan cantumkan sumbernya. tkasih
salam,,
[Dari Katolisitas: silakan mengutipnya, dengan mencantumkan sumbernya, semoga berguna bagi yang membacanya]
Saya sedang gelisah krn semalam saya mendapatkan ipod anak saya laki2 kelas 2 SMP umur 14 tahun yang berisi video porno yang sangat tidak layak untuk dilihatnya. (maaf berisi seorang wanita melayani 2 orang laki2). Saya hanya bisa menangis, tanpa tahu apa yang harus saya lakukan. Sampai detik ini saya tidak bisa konsentrasi bekerja, dan rasanya mau nangis terus. Kata suami saya biarkan dulu, ipod saya simpan. Anak saya aktif ikut putra altar, termasuk anak yg aktif dibanyak kegiatan di sekolah, dia juga termasuk anak pandai. Saya merasa gagal sebagai ibu. Apa yang harus saya dan suami saya lakukan agar kami tidak salah langkah. Anak saya juga sudah punya pacar, tetapi saya anggap wajar, karena pertemuan mereka sebatas disekolah. Tolong bantu saya secepatnya. Tuhan memberkati…
Shalom Vera,
Saya juga turut terhenyak membaca surat anda, dan saya juga turut prihatin karenanya. Adalah suatu yang menyedihkan, jika anak- anak melihat video semacam itu. Jika menjadi kebiasaan, maka hal ini dapat mempengaruhi pikirannya atau bahkan mendorongnya untuk melakukan hal- hal serupa. Tentu ini tidak kita inginkan.
Menghadapi kenyataan ini memang saya bisa memahami jika anda merasa sedih sebagai ibu. Namun demikian, jangan terlarut dalam kesedihan, namun lakukan apa yang perlu untuk memperbaikinya. Pertama- tama, bersujudlah di hadapan Tuhan, untuk mohon ampun, seandainya anda lalai sebagai orang tua, misalnya kurang memperhatikan anak dan memberikan pendidikan iman yang memadai kepadanya. Atau jika anda terlalu memanjakan anak anda sehingga hampir selalu memberikan segala yang diinginkannya, termasuk ipod, yang juga bukan barang murah, kepada anak anda. Silakan anda mengaku dosa di hadapan imam dalam sakramen Pengakuan dosa, untuk mengakui kesalahan ini di hadapan Tuhan, dan memohon pengampunan-Nya.
Selanjutnya, silakan diskusikan dengan suami anda, tentang siapakah yang akan berbicara empat mata dengan anak anda. Nampaknya memang lebih baik, jika suami anda yang berbicara dengan anak anda (karena beberapa ahli psikolog menyarankan agar pendidikan seksualitas pada anak laki-laki diberikan oleh ayah, dan pada anak perempuan oleh ibu), dan di sinilah peran ayah/ bapa sangat penting untuk memberikan pendidikan tentang makna seksualitas pada anak. Anak anda perlu mendengar dari orang tuanya sendiri tentang keagungan makna hubungan seksual yang direncanakan Tuhan untuk dilakukan hanya oleh suami dan istri, sebagai ungkapan kasih yang total yang terbuka kepada kemungkinan kelahiran anak. Dengan demikian, hubungan seksual bukan untuk dilakukan dengan cara murahan atau dilakukan sebelum waktunya, hanya demi memuaskan keinginan seksual.
Maka anak perlu ditanya mengapa sampai ia menyimpan video porno itu di ipodnya. Dari mana ia memperoleh video itu? Berapa sering dia melihatnya? Ia perlu diberi tahu bahwa adegan di dalam video itu sungguh menyedihkan hati Tuhan, karena merupakan pelecehan terhadap makna hubungan seksual yang direncanakan oleh Tuhan sejak awalnya. Adalah baik jika anda menahan ipod anak anda, minimal untuk beberapa hari/ minggu (tergantung kebijaksanaan anda dan suami), agar ada ‘sense of consequence‘ dari anak, bahwa perbuatan yang buruk dapat mendatangkan akibat yang tidak enak. Namun tekankan di sini bahwa hal ini bukan semata- mata untuk menghukum, tetapi karena anda ingin membangunnya untuk menjadi seseorang yang lebih baik dan bertanggungjawab. Katakanlah juga kepadanya, bahwa kesempatan ini membuka mata anda juga, bahwa ia sekarang sudah beranjak dewasa, dan karenanya sampaikan juga komitmen anda untuk mendampingi dia dan menjawab pertanyaan- pertanyaannya yang mungkin mengganggunya, terutama dalam hal seksual, supaya ia tidak ‘mencari- cari’ lagi di sumber- sumber yang salah.
Silakan anda memberikan pengertian yang benar kepada anak anda, tanamkanlah kepadanya rasa tanggungjawab sebagai seorang muda yang beriman di hadapan Allah, agar dia dapat mempunyai komitmen untuk menjaga kemurnian tubuhnya dan tubuh pacarnya, sebab tubuh kita semua adalah bait Allah (1Kor 3:16; 6:19-20). Ingatkan dia bahwa ia adalah seorang putra altar, dan tentunya Tuhan menghendaki ia dapat hidup kudus, dan menjadi contoh yang baik dalam kehidupan nyata bagi anak- anak sebayanya. Lalu, setelah anak memahami kesalahan/ dosa yang dilakukannya, ajaklah anak anda untuk mengaku dosa di hadapan imam dalam sakramen Pengakuan. Selanjutnya, mulailah anda sebagai keluarga berdoa bersama sebagai keluarga; misalnya pada malam hari. Sesudah doa bersama, berkomunikasilah dengan anak anda, agar dia terbiasa untuk dengan terbuka menceritakan kegiatannya sehari itu kepada anda sebagai orang tua. Luangkanlah waktu untuk berkomunikasi dengan anak, siap sedialah untuk mendengarkannya, namun jadilah juga orang tua yang baik untuk mendidiknya dalam hal iman dan moral.
Silakan jika anda mau membekali diri anda sendiri, untuk membaca beberapa artikel di Katolisitas tentang seksualitas, perkawinan dan pendidikan anak di beberapa artikel ini:
Tentang Kemurnian
Indah dan dalamnya makna perkawinan Katolik
Kemurnian di dalam perkawinan
Peran orang tua dalam pembinaan iman anak
Misi khusus orang tua membesarkan anak secara Kristiani
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih semuanya,
Seperti yang kita ketahui dan sadari bersama bahwa dewasa ini the leadership role of parents di dalam situasi keluarganya akan lebih sulit daripada tampak/kelihatannya. Namun saya (baik sebagai anak atau pun sekarang sebagai orang tua) sangat merasakan sekali besarnya manfaat dalam pembinaan dan pendidikan iman katolik yang berdasarkan atas kesadaran akan respect, love and trust, dimana komunikasi dan kerjasama yang baik, benar dan jujur dapat dinikmati dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kita keduabelah pihak (orang tua dan anak) akan sama-sama merasa aman, dicintai dan diterima dengan terbuka sebagaimana adanya.
Shalom Pak Stef dan Ibu Ingrid,
Sungguh satu lagi tulisan yang sangat berarti buat saya dan keluarga…Sejujurnya, yang paling berat di point 8 itu… Tak bisa kubayangkan kalau semua anak saya memutuskan untuk menjadi selibat, yang artinya saya takkan bisa menggendong cucu… Oh, ini menakutkan… Saya tak punya iman sebesar itu untuk menyangkal diri seperti itu.
Salam,
Lukas Cung
Shalom Lukas Cung,
Mungkin bagi orang tua hal ini juga adalah suatu proses, namun saya percaya jika Tuhan merencanakan sesuatu, tentu Ia akan mempersiapkan juga agar kita dapat menerima dan melaksanakannya. Mungkin proses ini memakan waktu, namun akan menjadi indah pada waktu-Nya. Satu keyakinan saya, yang saya peroleh juga dari mendengar kesaksian dari para biarawan/ biarawati dan kesaksian orang tua mereka adalah:
Berbahagialah para orang tua yang mendukung anak- anaknya jika mereka terpanggil untuk mempersembahkan diri seutuhnya bagi Kerajaan Allah; sebab sesungguhnya dengan demikian, orang tua juga mempersembahkan yang terbaik, yaitu buah hati mereka, kepada Tuhan. Percayalah Tuhan akan melipatgandakan suka cita dan kebahagiaan sejati bagi keluarga- keluarga tersebut, baik di dunia ini maupun di Surga kelak (lih. Mat 19:29)
Jadi, percayalah, Lukas, bahwa jika kita bekerja sama dengan rahmat Tuhan, maka apapun rencana Tuhan bagi kita, akan dapat kita ikuti dengan suka cita. Dengan cara-Nya sendiri Ia akan mengambil segala ketakutan kita dan menggantikannya dengan damai sejahtera, yang tak dapat diberikan oleh dunia ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Damai Kristus,
Puji Tuhan…Alleluia…. Terimakasih tim Katolisitas (Bp. Stefanus & Ibu Ingrid Tay) atas tulisan ini, benar-benar memberikan berkat berupa inspirasi bagi saya.
Mari kita bersama berdoa untuk memohon Rahmat Tuhan agar kita dimampukan untuk membangun keluarga kita menjadi Ecclesia domestica.
Terimakasih dan Tuhan memberkati.
Salam di Dalam Kasih Karunia Kristus Tuhan,
Bernardus Aan
Kiranya tulisan ini dapat menjadi dorongan besar bagi saya untuk membentuk keluarga Kristiani. Dan semoga Tuhan memberkati anak kami yang sekarang masih dalam kandungan. Semoga karya kerasulan tim Katolisitas ini dapat menghasilkan buah-buah iman di setiap keluarga.
Comments are closed.