Latar belakang

Retorik adalah seni ekspresi baik dalam hal tulisan maupun khotbah. Sebagai suatu displin ilmu, retorik telah dikenal sejak zaman dulu, yaitu zaman keemasan Yunani sekitar 500 tahun sebelum zaman Yesus. Setelah kemenangan bangsa Yunani dari bangsa Persia, maka kota Atena dianggap sebagai pusat kejayaan dan ide-ide baru. Kota Atena kemudian dikenal sebagai pusat kebudayaan dan intelektual Yunani. Di sinilah berkembang karya-karya arsitektur, seni patung, seni rupa, drama dan filosofi. Itulah sebabnya saat Rasul Paulus mengunjungi Yunani, ia mengatakan, “Adapun orang-orang Atena dan orang-orang asing yang tinggal di situ tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu yang baru” (Kis 17:21). Retorik dikenal sebagai suatu seni yang penting di zaman itu, seiring dengan lahirnya kepemimpinan demokratis di mana pemimpin dipilih melalui pemilihan umum, dan keputusan pengadilan oleh pengambilan suara para juri, sehingga kemampuan untuk mempengaruhi pendengar menjadi salah satu kunci sukses seorang pemimpin.

Tiga unsur prinsip dalam retorik

Filsuf Plato (428-348 BC) adalah seorang ahli retorik. Ia mempelopori studi sistematik tentang retorik yang memungkinkan para pembicara dan penulis untuk menggunakan bahasa untuk mempengaruhi para pendengar ataupun pembaca, menuju kebenaran, keindahan dan kebaikan. Aristoteles, murid Plato yang terbaik, mengajarkan bagaimana kata-kata dapat mempengaruhi keyakinan seseorang. Menurutnya, ada tiga cara yang saling berhubungan, untuk mempengaruhi pendengar: 1) karakter pribadi sang pembicara; 2) meletakkan pembaca dalam kerangka pikir tertentu; 3) bukti yang kelihatan, yang disediakan oleh kata-kata dalam khotbah/ pidato/ tulisan itu sendiri. (Aristotle, Rhetoric, I.2). Ada tiga kata Yunani yang menggambarkan ketiga cara ini: 1) ethos (mempengaruhi melalui karakter moral; 2) pathos (mempengaruhi melalui emosi); 3) logos (mempengaruhi melalui logika).

Ketiga hal ini adalah penting dan tidak dapat diabaikan, agar sang pembicara dapat menggerakkan hati pendengarnya. Aristoteles mengajarkan bahwa akal budi itu penting, sebab itu menjadi bukti bagi karakter yang baik. Karakter itu adalah kuncinya. Sebab ketika seorang pembicara mempresentasikan alasan-alasan yang kuat untuk meyakini sesuatu yang ia sendiri yakini dan lakukan, maka perkataannya menjadi sesuatu bukti bahwa karakternya dapat dipercaya. Logika saja tidak cukup. Logika dan akal budi dapat menunjukkan bahwa dari suatu keyakinan, ada hal-hal lain yang mengikutinya untuk diterima sebagai konsekuensinya. Tetapi untuk mengerakkan hati pendengar, kepercayaan (trust) lebih penting daripada kebenaran (truth). Bukan berarti kebenaran tidak penting, tetapi maksudnya di sini adalah, kebenaran kalau tidak disampaikan oleh seseorang yang dapat dipercaya, maka tidak akan dapat menggerakkan/ berpengaruh. Selain itu, kepercayaan ini akan meningkat jika dicontohkan sebagai suatu kebenaran yang dipraktekkan di dalam hidup sang pembicara itu sendiri.

Maka, menurut Aristoteles, para pendengar akan lebih tergerak, karena karakter pembicara daripada karena alasan logis. Tetapi mereka akan lebih tergerak lagi ketika karakter maupun logika benar-benar dipadukan. Sedangkan emosi di sini bukan hanya perasaan senang atau susah, tetapi sebagai sesuatu yang mempengaruhi penilaian. Emosi mengubah cara kita memandang sesuatu, orang-orang maupun situasi. Maka untuk menggerakkan pendengarnya, pembicara perlu mempertimbangkan bagaimana menggunakan emosi untuk mempengaruhi penilaian akan sesuatu. Namun tidak berarti bahwa pembicara dapat terus menerus mengandalkan ataupun memanipulasikan emosi pendengarnya. Sebab tanpa dibarengi karakter yang baik dan alasan yang logis, maka pembicara hanya akan dapat menggerakkan pendengarnya sementara waktu saja, dan dalam jangka waktu panjang, tidak akan berhasil. Retorik macam ini kosong dan tidak berarti.

Kristus, Sang ahli retorik sejati

Kristus adalah seorang yang menerapkan prinsip retorik dalam pengajaran-Nya. Pada saat Ia memanggil para murid-Nya, Ia menampilkan diri-Nya sebagai Seseorang yang dapat dipercaya, “Mari, ikutilah Aku.” (Mrk 1:17). Para murid dapat melihat betapa Kristus merupakan sosok yang melaksanakan sendiri apa yang diajarkan-Nya. Kristus sendiri hidup dalam kemiskinan, kesederhanaan dan kerendahan hati, sehingga ketika Ia mengajarkan tentang kerendahan hati (lih. Mat 11:19), ajaran itu tidak menjadi ucapan kosong belaka, namun memberikan pengaruh yang kuat dalam hati pendengar-Nya. Demikian pula ketika Yesus mengajarkan tentang Delapan Sabda Bahagia (lih. Mat 5), ajaran itu begitu merasuk ke dalam hati para murid-Nya, karena Ia sendiri menghidupi atau melaksanakan apa yang dikatakan-Nya itu. Pengulangan kata, “Berbahagialah….” dalam Sabda Bahagia bukanlah pengulangan semata untuk menyentuh emosi pendengar-Nya, namun sungguh menjadi ajakan yang telah terbukti nyata di dalam diri Kristus. Ajaran Kristus menjadi suatu ajakan yang menggerakkan hati pendengar-Nya, sebab Kristus sendiri telah memberikan contohnya, dan terbukti menjadi seorang yang berbahagia. Bukti nyata juga nampak dalam ajaran Kristus tentang hukum kasih sebagai hukum yang terutama (lih. Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31; Luk 10:27). Kristus mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Allah Bapa (lih. Luk 6:12, Yoh 11:41), dan sangat mengasihi sesama-Nya, terutama mereka yang kecil, sakit, dan menderita. Demikian juga, ajaran-Nya tentang pengampunan digenapi oleh-Nya sendiri dengan mengampuni mereka yang telah menganiaya-Nya sampai wafat di kayu salib (lih. Luk 23:34). Sungguh, kurban Kristus di kayu salib merupakan penggenapan sempurna atas ajaran Kristus tentang cinta kasih, sehingga pengajaran tentang iman Kristiani yang sejati, selalu mengacu kepada kebenaran ini.

Retorik dalam khotbah para Rasul

Demikianlah, kita mengetahui bahwa dalam khotbah para Rasul, mereka kerap mengulangi pernyataan kebenaran yang diwahyukan oleh Kristus, yaitu bahwa Yesus adalah Kristus, yang diutus oleh Allah Bapa, sebagaimana dinubuatkan oleh kitab-kitab Perjanjian Lama, dan bahwa demi menyelamatkan umat manusia, Kristus menderita, disalibkan, wafat dan bangkit, dan bahwa Ia akan kembali lagi dengan mulia; dan karena itu setiap orang dipanggil untuk bertobat, percaya dan dibaptis, agar menerima Roh Kudus, dapat bergabung dalam keluarga umat beriman, dapat hidup dalam persekutuan, memecah roti, melakukan kebajikan, berdoa dan bersama memuji dan menyembah Tuhan.

Demikianlah, dalam retorik para Rasul, tema umum yang ditampilkan adalah Pribadi Allah di dalam Kristus, baik apa yang dilakukan-Nya ataupun yang diajarkan-Nya, sebagaimana muncul dalam khotbah ataupun pembicaraan para rasul (terdapat 24 khotbah), yang disebut dalam Kisah para Rasul:

Kis 1:16-22: Khotbah Rasul Petrus di hadapan 120 orang percaya, tentang rasul untuk menggantikan Yudas.
Kis 1:14-41: Khotbah Rasul Petrus di Yerusalem di hari Pentakosta.
Kis 3:12-26: Khotbah Rasul Petrus di Serambi Salomo.
Kis 4:8-12 :  Kesaksian Rasul Petrus dan Yohanes tentang Kristus di hadapan Mahkamah Agama.
Kis 5:29-32: Rasul Petrus dan para rasul memberi kesaksian tentang Yesus di hadapan Mahkamah Agama.
Kis 7:2-53: Stefanus memberikan jawab di hadapan Mahkamah Agama
Kis 8:26-38: Rasul Filipus mengajar sida-sida dari Etiopia yang melakukan perjalanan dari Yerusalem ke Gaza.
Kis 10:34-49: Rasul Petrus berkhotbah kepada keluarga Kornelius, perwira pasukan Romawi.
Kis 11:5-17: Rasul Petrus berkhotbah di hadapan golongan bersunat di Yerusalem.
Kis 13:16-41: Rasul Paulus dan Barnabas berkhotbah di jemaat yang berkumpul di sinagoga di Antiokhia.
Kis 14:15-17: Rasul Paulus dan Barnabas berkhotbah kepada kumpulan orang non- Yahudi tentang Allah.
Kis 15:7-11: Khotbah Rasul Petrus di Konsili Yerusalem.
Kis 15:13-21: Khotbah Rasul Yakobus di Konsili Yerusalem.
Kis 16:30-34: Rasul Paulus dan Silas berkhotbah kepada kepala penjara dan keluarganya di Filipi.
Kis 17:22-34: Rasul Paulus berkhotbah kepada penduduk Atena
Kis 19: 1-7: Rasul Paulus berkhotbah tentang Roh Kudus di Efesus.
Kis 20:17-35: Rasul Paulus memberikan khotbah perpisahannya di Miletus.
Kis 21:20-25: Rasul Yakobus berbicara kepada Paulus dan para penatua di Yerusalem.
Kis 22:1-21: Pembelaan diri Rasul Paulus di hadapan orang Yahudi di Yerusalem.
Kis 23:1-6: Pembelaan diri Rasul Paulus di hadapan Mahkamah Agama di Yerusalem.
Kis 24:10-21: Pembelaan diri Rasul Paulus di hadapan Gubernur Feliks.
Kis 26:1-23: Pembelaan diri Rasul Paulus di hadapan Raja Agripa.
Kis 27:21-26: Pembicaraan Paulus di kapal yang hempir kandas, agar mereka tidak putus harapan.
Kis 28:23-28: Rasul Paulus berbicara di hadapan para pemimpin Yahudi di Roma.

Retorik dalam pewartaan Sabda Allah dalam Gereja

Dalam sejarah Gereja, sejumlah para orang kudus menerapkan prinsip retorik, seperti St. Agustinus dan St. Yohanes Krisostomus. Yang dipelajari dalam prinsip retorik ini adalah seni mempengaruhi pendengar, bersamaan dengan tata bahasa dan logika, juga teologi, ilmu pengetahuan dan hukum. Di zaman Abad Pertengahan studi retorik dibagi menjadi empat bagian: seni menulis, membuat puisi, seni bicara secara persuasif dan seni berkhotbah. Di zaman ini, yaitu zaman St. Fransiskus dari Asisi dan saat St. Dominikus membentuk ordo pengkhotbah, maka studi retorik mencapai puncaknya. St. Thomas Aquinas juga merupakan salah satu tokoh retorik, yang sangat baik dalam menerapkan prinsip-prinsip retorik dalam tulisan-tulisannya.

Di abad ke-18, atas pengaruh Enlightenment yang menekankan segi pragmatis, maka pendekatan retorik diarahkan kepada rationalitas yang dapat dimengerti semua orang, dengan bahasa yang lebih sederhana, demi menghindari retorika yang kosong. Namun demikian, hal ini tidak mengubah kenyataan, bahwa terdapat jenis retorika yang tidak kosong, yaitu jika secara selaras memadukan ketiga prinsip sebagaimana disebutkan di atas.

Maka kesimpulannya, kita dapat memakai prinsip dasar retorika yang baik bagi pewartaan Sabda Allah agar berdayaguna; yaitu dengan menyampaikan prinsip karakter (ethos), emosi (pathos) dan alasan yang dapat diterima akal budi (logos). Tak dapat dipungkiri, argumen yang paling kuat dari seorang pembicara Kristiani adalah karakternya atau kesaksian hidupnya, bagaimana ia sendiri menjalani ajaran imannya. Ini terlihat jelas, misalnya dalam diri Paus Fransiskus yang baru saja terpilih. Ia seorang Paus yang sederhana, rendah hati, dan berpihak kepada kaum miskin. Maka jika ia mengatakan bahwa ia mendambakan Gereja yang berpihak kepada kaum papa (klik di sini) kita dapat mengharapkan bahwa banyak orang akan tergerak untuk menanggapinya. Atau juga, setelah Paus Fransiskus berkhotbah tentang pertobatan dalam doa Angelus tanggal 17 Maret 2013 yang lalu (klik di sini), kemudian dikabarkan banyak orang di Italia “menyerbu” sakramen Pengakuan Dosa (klik di sini). Dengan caranya sendiri, Paus Fransiskus menerapkan prinsip retorika, yang berdayaguna, sebab yang diwartakan adalah Kristus dan ajaran-Nya, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidupnya sendiri.

Maka, daya guna retorika hanya dapat dicapai jika pertama-tama sang pembicara telah mempunyai hubungan yang erat dan pribadi dengan Kristus. Paus Benediktus XVI pernah menulis dalam surat ensikliknya, demikian, “Menjadi Kristen bukanlah merupakan hasil dari pilihan etis ataupun ide-ide yang tinggi di awang-awang, tetapi merupakan suatu pertemuan dengan sebuah kejadian, sebuah Pribadi yang memberi hidup sebuah cakrawala baru dan sebuah arah yang menentukan.” (Paus Penedictus XVI, Deus Caritas Est, 1). Dan Pribadi istimewa itu adalah Yesus Kristus.

Sudahkah kita masing-masing memiliki hubungan yang erat dengan Kristus?

 

1 COMMENT

  1. Saya ingin bertanya Retorika dalam pewartaan kabar gembira Yesus untuk menghidupkan semangat rohani umat katolik apa saja materinya?

    Retorika atau seni komunikasi sendiri scara tidak lagsung ada dalam pewartaan murid Yesus, dan di temukan oleh seorang filsuf Yunani sblum masehi.

    Karena saya pernah bertanya, “Romo mengapa homili romo bisa memberi semangat kita semua, seperti diperbarui Tuhan, dan saya jadi semangat ke gereja skrang.” Romo trsbut mnjawab “Saya sangat lama belajar ttg cara homili yang baik, dan saya ingin terbuka sehingga terpanggil untuk dapat mewartakan kabar gembira seperti St petrus yg memberi semangat umatnya. Dan itu saya temukan dalam ilmu Retorika Gerejawi.” Akhirnya saya penasaran dengan Retorika.

    GBU..

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik]

Comments are closed.