Tak kenal maka tak sayang

Pada tanggal 1 April 2010, kami di Katolisitas menerima pesan yang sungguh tajam, yang diawali dengan kalimat demikian, “Salam dari Sydney, Australia. Saya adalah bekas pengikut agama Katolik yang sekarang pindah ke Kristen [Protestan]. Penyebabnya adalah dikarenakan karena pengajaran agama Katolik tidak benar-benar berdasarkan alkitab, tetapi lebih berdasarkan hukum kanonisasi…. hukum Kanon adalah buatan manusia belaka… bukan datang dari Tuhan. Tetapi Alkitab adalah datang dari Tuhan. Mungkin hal ini berat untuk dimengerti bagi kalian di Indonesia yang tidak pernah tahu tentang sejarah agama Katolik. Semoga suatu hari mata kalian terbuka.”

Demikianlah pesan yang kami terima dari Sherly, Australia. Komentar ini merupakan awal dari dialog yang panjang antara dia dengan kami di Katolisitas. Namun semua tanggapan- tanggapannya malah menunjukkan suatu fakta bahwa sesungguhnya, Sherly-lah yang belum sempat memahami ajaran Gereja Katolik yang sebenarnya, sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan Gereja Katolik. Demikianlah, pandangan Sherly ini menjadi pandangan umum yang mungkin dimiliki oleh banyak orang yang pindah dari Gereja Katolik ke gereja- gereja non- Katolik. Sayang memang, bahwa mereka pindah sebelum sungguh-sungguh mengenal iman Katolik mereka. “Tak kenal maka tak sayang”, nampaknya inilah yang terjadi. Banyak orang Katolik tidak dengan sungguh mengenal iman Katolik, sehingga mereka dengan mudah berpindah ke gereja- gereja lain.

Alasan orang pindah Gereja

Walaupun ada banyak alasan yang dikemukakan, namun setidaknya, berikut ini adalah beberapa alasan mengapa orang Katolik berpindah ke gereja lain. Umumnya, alasannya adalah karena mereka merasa imannya tidak bertumbuh di Gereja Katolik; mereka berpikir bahwa ajaran Gereja Katolik itu salah/ tidak sesuai dengan Alkitab; mereka merasa orang- orang Katolik hidupnya tidak baik dan mereka merasa tidak diperhatikan di dalam Gereja Katolik.

Alasan- alasan semacam ini sesungguhnya menunjukkan adanya kerapuhan akar iman Katolik dalam diri orang yang bersangkutan, di samping ada hal-hal yang memang perlu diperbaiki dalam kehidupan menggereja dan proses katekese di dalam Gereja Katolik. Namun, adalah satu kenyataan, bahwa mereka tidak sungguh- sungguh mengenal dan menghayati imannya, sehingga mudah terpengaruh, gampang ragu, atau akhirnya apatis sambil mengatakan, “ah, kan semua agama sama saja”. Secara obyektif harus diterima, bahwa akar permasalahan ini sesungguhnya berawal dari kurangnya pendidikan iman Katolik pada anak- anak Katolik, sejak usia dini, baik di dalam keluarga, paroki maupun sekolah. Sebab, jika iman sudah berakar sejak usia dini, sesungguhnya seseorang tidak akan pernah meragukan imannya atau dengan mudah berpindah gereja, atau bahkan berpindah agama.

Sekarang, mari kita lihat permasalahan pendidikan iman Katolik, mulai dari menggambarkan kondisi ideal dan membandingkannya dengan kondisi yang banyak dialami oleh keluarga, paroki dan sekolah. Setelah itu, kita akan melihat secara mendalam tentang tantangan di masing-masing tingkatan serta usulan-usulan untuk memperbaikinya.

Idealisme dan kenyataan

1. Seluruh bagian dari Tubuh Mistik Kristus saling bahu membahu

Adalah suatu impian dari Gereja, bahwa semua anggota dari Tubuh Mistik Kristus saling bahu membahu menciptakan suatu iklim, di mana setiap umat Allah dapat terus berjuang dalam kekudusan, sehingga pada akhirnya seluruh umat Allah dapat sampai pada Tanah Terjanji, yaitu Surga. Sungguh menjadi suatu kondisi yang begitu ideal, jika keluarga -sebagai Gereja yang terkecil- menjadi tempat di mana anak-anak mendapatkan pondasi yang kokoh dalam iman Katolik dan anak-anak dapat belajar untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Dengan kata lain, keluarga menjadi tempat di mana anak-anak dapat bertumbuh dalam kekudusan.

Situasi yang kondusif di dalam keluarga untuk bertumbuh dalam kekudusan seyogyanya berlangsung terus-menerus, juga ketika anak-anak berada di sekolah. Keluarga dan sekolah harus bersama- sama melakukan pembentukan dan pembinaan karakter anak- anak untuk menjadi seperti pribadi Kristus. Pendidikan sekolah yang baik berfokus pada pembentukan anak-anak untuk menemukan jati dirinya sebagai anak-anak Allah, dan membantu anak-anak untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan pikiran. Kasih kepada Tuhan ini juga dimanifestasikan dalam mengasihi sesama, yaitu anak-anak dilatih untuk menjadi seseorang yang tidak hanya memikirkan kepandaian/ kebaikan sendiri, namun juga mengusahakan kebaikan bagi orang lain. Sekolah menjadi suatu tempat, di mana anak-anak dapat memusatkan perhatian pada sesuatu yang benar- benar baik, benar, dan indah (the good, truth, and beautiful); dan bahwa di dalam kebersamaan, sesuatu yang baik, benar dan indah tersebut, semakin menampakkan buah- buahnya.

Selanjutnya, setelah mendapatkan pondasi iman di dalam keluarga dan sekolah, maka Gereja di tingkat paroki memberikan kesegaran kepada anak-anak dengan memperkuat pondasi iman, menyegarkan dan menguatkan anak-anak dengan sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Anak- anak yang mengikuti Bina Iman di paroki dilatih untuk mengetahui dan mengasihi Sabda Allah dan iman Katolik. Pada saat yang bersamaan, orang tua juga dapat memperdalam iman mereka dengan mengikuti berbagai kegiatan pembinaan iman di paroki, sehingga mereka dapat mengajarkan iman Katolik yang benar kepada anak-anak mereka di dalam keluarga.

Dengan kondisi yang kondusif di keluarga, sekolah dan paroki, anak-anak dapat dibentuk dan diarahkan untuk memberikan dirinya kepada Tuhan, dan masyarakat sekitarnya, sehingga pada akhirnya kekristenan dapat membentuk masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Kristiani.

2. Bagian-bagian dari Tubuh Mistik Kristus belum saling mendukung.

Namun, sayangnya kondisi yang kondusif  di keluarga, paroki maupun di sekolah, seperti yang digambarkan di atas, sering tidak kita jumpai; entah karena semua bagian kurang menjalankan fungsinya atau hanya satu atau dua bagian yang menjalankan fungsinya dengan baik. Betapa sering kita menjumpai keluarga-keluarga, di mana orang tua, yang walaupun keduanya Katolik, tidak memperhatikan pendidikan iman anak-anaknya, atau hanya seolah-olah mencukupi kebutuhan fisik anak-anak. Hal ini dipersulit dengan kondisi pekerjaan dan kemacetan di kota-kota besar, sehingga orang tua kurang mempunyai waktu yang cukup bagi anak-anaknya.

Kondisi yang kurang mendukung di dalam keluarga diperparah dengan kondisi yang cukup memprihatinkan di dalam pendidikan di sekolah. Sebagian sekolah non-Katolik tidak memberikan pendidikan Katolik dengan baik, bahkan kadang-kadang mengajarkan pokok-pokok iman yang bertentangan dengan iman Katolik. Sekolah Katolik sendiri mulai kehilangan identitasnya, di mana nama ‘Katolik’ seolah hanya diartikan sebatas memberikan pelajaran agama Katolik seminggu sekali dan Misa bersama sebulan sekali. Padahal sangatlah penting untuk melakukan pendekatan yang holistik untuk menyampaikan pendidikan iman yaitu: iman Katolik yang merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan di sekolah, di setiap mata pelajaran, dan di setiap kegiatan di sekolah untuk membentuk karakter anak dengan baik, sehingga mereka tidak hanya bertumbuh dalam hal intelektual, tetapi juga dalam hal kekudusan.

Kondisi yang kurang ideal dapat juga terjadi dalam kehidupan menggereja di tingkat paroki. Secara umum, paroki-paroki cenderung lebih menekankan akan banyaknya kegiatan tanpa memperhatikan kesinambungan pembinaan iman secara terus-menerus, dari tingkat anak-anak, remaja, dewasa.

Dikotomi dalam pendidikan iman Katolik

1. Kontinuitas vs hit and run

Kalau kita amati, ada banyak kegiatan-kegiatan di dalam gereja yang bersifat hit and run, artinya  program-program tersebut diselenggarakan sesekali dalam satu tahun dan kemudian selesai tanpa koordinasi dengan program-program yang lain, tanpa ada tindak lanjut dari program tersebut setelah acara selesai. Program-program seperti ini memang lebih mudah dilaksanakan dan dikoordinasikan, namun hanya mempunyai efek sesaat. Sedangkan, program-program yang bersifat berkesinambungan kurang mendapat perhatian yang serius. Kemungkinan sebabnya adalah karena program-program seperti ini membutuhkan komitmen yang besar, dan umumnya kurang memperlihatkan efeknya dalam waktu singkat, walaupun dapat memberikan efek jangka panjang yang lebih efektif. Sebagai contoh, program-program seminar sehari di paroki dengan topik yang bermacam-macam menjamur sepanjang tahun. Namun, program-program seperti pendampingan kehidupan perkawinan, pembinaan rohani komunitas basis, pembinaan iman OMK yang menuntut pengorbanan yang tinggi dan komitmen yang terus menerus dari para pembinanya tidak terlalu mendapatkan prioritas dalam kehidupan menggereja. Pembinaan ini sesungguhnya harus mengambil kekuatannya dari Kristus sendiri yang hadir dalam sakramen- sakramen, terutama Ekaristi dan Sakramen Tobat. Maka pertanyaannya menjadi semakin menjurus tajam: Sejauh mana paroki yang menginginkan pertumbuhan iman umat mengadakan Adorasi Sakramen Mahakudus? Adakah kapel adorasi di paroki? Sudahkah menggiatkan umat untuk mengikuti Misa harian di paroki maupun di Lingkungan? Sudahkah membuka kesempatan Pengakuan Dosa, sedapat mungkin setiap hari? Sudahkah menggiatkan doa rosario dan pendalaman Kitab Suci dalam keluarga? Tentunya, semua ini harus didasari oleh katekese yang baik kepada umat, sehingga umat dapat mengetahui manfaat yang luar biasa yang dapat mereka peroleh dari rahmat Tuhan yang tersedia bagi kita semua melalui doa, Sabda Tuhan, dan terutama melalui sakramen- sakramen, yang bersumber pada Misteri Paska Kristus.

Demikian juga, gejala ‘hit and run’ terjadi dalam keluarga dan sekolah. Lebih mudah bagi orang tua  untuk mengirim anak-anak mengikuti retret daripada membuat komitmen untuk setiap malam membacakan Alkitab kepada anak- anak, karena hal ini menuntut pengorbanan orang tua dalam hal waktu dan tenaga. Demikian juga kondisi di sekolah, mengirim murid- murid untuk mengikuti program live-in ke desa- desa akan terasa lebih mudah dilaksanakan, daripada mengintegrasikan iman Katolik secara konsisten dalam setiap sendi kehidupan sekolah. Padahal, bukankah penerapan iman yang baik tidak semata dicapai dengan cara “hit and run“, melainkan harus terus menerus menjadi bagian dari kehidupan seseorang, atau mungkin lebih tepat, menjadi gaya hidup umat beriman? Dan untuk menjadi gaya hidup, tidak ada cara lain, kecuali bahwa nilai- nilai iman harus diterapkan secara konsisten dari mulai hal-hal terkecil sampai ke hal-hal besar, di berbagai sendi kehidupan, dan dimulai dari anak-anak sejak usia dini.

Pernahkah kita berfikir, mengapa ada sebagian umat Katolik yang setelah mengikuti pelajaran agama selama satu tahun, namun pengetahuan Alkitabnya kurang dibandingkan dengan sebagian umat Kristen non Katolik yang tidak menjalani pelajaran agama namun langsung diterima di dalam jemaat? Melihat fakta ini, mungkin memang kualitas proses dan bahan katekese di Gereja Katolik secara umum kurang memadai. Sementara gereja Kristen non-Katolik giat melakukan proses pendidikan iman secara terus menerus dengan menerapkan komunitas basis/ cell-group, Gereja Katolik yang melakukan kegiatan katekese selama satu tahun itu kurang menindaklanjutinya dengan pembinaan iman yang bersifat terus menerus. Tentu saja, kita tidak dapat menutup mata bahwa ada paroki-paroki yang telah menjalankan pembinaan umatnya secara terus-menerus, namun adalah suatu tantangan agar semua paroki di tanah air juga dapat menerapkan hal serupa, agar semua umat Katolik dapat terus bertumbuh dalam iman dan kekudusan, sesuai dengan pesan Konsili Vatikan II, Lumen Gentium bab V: Panggilan kepada semua orang untuk hidup kudus.

2. Pembinaan spiritualitas vs aktivitas

Berapa sering kita mendengar diskusi yang seru untuk menyusun program dan aktivitas di dalam pertemuan dewan paroki harian maupun pertemuan besar dewan paroki pleno. Mereka merencanakan diadakannya seminar, pertemuan rutin, retret keluarga, dan segudang kegiatan lainnya. Program-program seperti ini adalah sesuatu yang baik. Namun, apakah pernah terlintas di pikiran kita bahwa pada akhirnya semua kegiatan ini harus mempunyai satu tujuan, yaitu membawa umat Allah untuk bertumbuh dalam kekudusan, yang menuntun kita masuk ke dalam Kerajaan Surga? Dengan demikian, apakah program-program berikut ini pernah dipikirkan: Bagaimana agar umat dapat terdorong untuk mengaku dosa secara teratur misalnya sebulan sekali? Bagaimana agar umat dapat sesering mungkin berpartisipasi dalam Sakramen Ekaristi? Bagaimana agar umat giat dalam menggali Sabda Allah; dan bagaimana agar umat dapat bertumbuh dalam kasih, dll?

3. Preventif vs kuratif

Ada banyak orang tua yang mengeluh, mengapa anaknya menjadi sulit diatur. Para guru di sekolah mengeluh bahwa anak jaman sekarang sungguh sulit dididik. Tidak ketinggalan romo paroki mengeluh, umat sekarang senantiasa ingin dimanja dan dituruti kemauannya. Para orang tua bertanya mengapa anaknya melakukan kenakalan di luar kewajaran. Pihak sekolah bertanya-tanya mengapa anak-anak tidak mempunyai semangat belajar dan kurang bertanggungjawab serta menganggap iman Katolik hanya sebatas slogan belaka. Dan pihak paroki mempertanyakan mengapa umat seolah-olah lesu darah, kurang mau berpartisipasi dalam kehidupan menggereja, terjadi pertentangan antara satu seksi dengan seksi yang lain. Pada saat semua ini terjadi, maka yang dilakukan adalah mulai mencari jalan bagaimana mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Dengan perkataan lain, kegiatan-kegiatan lebih bersifat kuratif dan bukan preventif. Kegiatan banyak yang bersifat jangka pendek, namun kurang memikirkan strategi jangka panjang.

4. Dibangun di atas batu vs dibangun di atas pasir

Ada banyak contoh dari umat yang berpindah dari Gereja Katolik ke gereja lain, karena mereka tidak benar-benar mengetahui pengajaran Gereja Katolik dengan baik, seperti yang ditunjukan oleh contoh di atas. Dalam konteks ini, maka seseorang tidak boleh hanya menghafal doktrin, namun harus mengerti alasan di balik doktrin Gereja Katolik, yang dapat dijelaskan dengan prinsip tiga pilar kebenaran, yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Namun, untuk mengajarkan hal ini kepada umat diperlukan pendekatan yang benar, dengan mempertimbangkan umur dan kondisi orang yang bersangkutan. Dengan mengerti alasan yang benar di balik pengajaran iman Katolik, maka seseorang tidak mudah untuk diombang-ambingkan oleh pengajaran-pengajaran lain, yang mungkin bertentangan dengan iman Katolik. Hanya tahu dan hafal doktrin tanpa mengetahui alasannya secara mendalam adalah sama saja dengan membangun rumah di atas pasir (lih. Mt 7:26-27). Dia tidak dapat bertahan terhadap hujan dan angin pengajaran yang bertentangan dengan iman Katolik, karena tidak mempunyai pondasi yang kuat.

Sebagai contoh, dalam buku “Ikutilah Aku” dari Pankat KAS, hal 131 dituliskan alasan mengapa umat Katolik menghormati Maria, yaitu: 1) Maria Bunda Allah, 2) Maria tetap perawan, 3) Maria tanpa noda, 4) Maria diangkat ke Sorga. Penjelasan tersebut tidak salah, namun kurang lengkap, sehingga kurang membekali para calon baptis (katekumen) dengan pengertian yang baik. Empat hal di atas memang menjelaskan tentang empat dogma tentang Bunda Maria, namun kurang menjelaskan alasan mengapa umat Katolik menghormati Bunda Maria. Apakah penghormatan kita kepada Maria diukur dari apakah kita percaya bahwa Maria diangkat ke Surga? Apakah umat Kristen non-Katolik dapat menerima penjelasan umat Katolik dengan empat alasan di atas? Mengapakah kurang ditekankan, bahwa kita menghormati Maria, karena Allah telah terlebih dahulu memilih dan menghormatinya? Mengapakah kurang diberitahukan dasar- dasar Alkitabiahnya yang menyatakan hal itu, dan bahwa Gereja sejak abad- abad awal juga telah menghormati Maria?

5. Isi vs cara

Sebenarnya isi dan cara bukanlah hal yang bertentangan, namun keduanya saling mendukung. Yang penting, pada akhirnya katekumen mendapatkan pengertian yang menyeluruh akan rencana keselamatan Allah ((Paus Yohanes Paulus II, Catechesi Tradendae, 30-31)). Dalam konteks pendidikan iman Katolik kepada anak-anak di keluarga, para orang tua yang telah memikirkan tentang isi dan caranya sudah maju selangkah, karena ada sebagian orang tua Katolik yang mungkin bahkan tidak memikirkan hal tersebut. Namun, dalam konteks paroki, seharusnya isi dan cara harus dipikirkan secara lebih serius, sehingga tercapai kualitas pembinaan iman yang baik, entah di tingkat anak-anak, remaja maupun dewasa, termasuk pasangan yang akan menikah. Apakah kita pernah mendengar keluhan dari orang tua yang mengatakan bahwa di Bina Iman anak hanya banyak diajari mewarnai dan menggambar? Cara memang penting untuk mengajarkan iman Katolik, sehingga anak-anak dapat mengerti iman Katolik dengan baik. Namun, cara yang baik tanpa ditunjang isi yang berbobot tidaklah dapat dibenarkan.

Dalam konteks katekese dewasa, kita dapat melihat bahwa materi yang ada sekarang, sebenarnya kurang memadai untuk memaparkan pokok-pokok iman Katolik secara menyeluruh. Hal ini dapat terlihat bahwa setelah pembinaan satu tahun, banyak umat masih belum memahami imannya dengan baik, sehingga dengan mudahnya mereka terbawa pada pengajaran yang tidak sesuai dengan iman Katolik. Ada yang mengusulkan bahwa cara katekese harus diperbaiki, entah dengan drama, dll. Namun, dari hasil pengamatan, sebetulnya cara-cara tersebut dapat menjadi bumerang, karena dapat mengambil waktu pengajaran yang memang jelas-jelas sangat minim. Sebagai contohnya, dalam kurikulum “Ikutilah Aku”, pembahasan tentang Trinitas (bab 34, hal. 100-102) hanya dilakukan satu sesi (sekitar 1-1,5 jam). Bagaimana seseorang dapat memahami esensi Trinitas dalam satu pertemuan yang harus ditambah dengan metode-metode yang dipandang menarik. Bagaimana dengan pendidikan iman Katolik di sekolah? Memang pendidikan iman Katolik di sekolah tetap harus memperhatikan cara, namun isi pengajaran juga harus diperhatikan. Memperhatikan cara lebih utama daripada isi adalah sama dengan terlalu memperhatikan kemasan dibandingkan dengan isi yang sebenarnya. General Catechetical Directory menegaskan bahwa tidaklah cukup untuk membangkitkan pengalaman spiritual tanpa dibarengi dengan perjuangan untuk mengerti keseluruhan kebenaran akan rencana Allah ((lihat Congregation for the Clergy, Ad Normam Decreti, General Catechetical Directory, 38)) dengan cara mempersiapkan umat beriman untuk mengerti Kitab Suci dan Tradisi yang hidup dalam Gereja. ((Ibid., 24))

6. Holistik vs sporadis

Salah satu kekuatan dari Gereja Katolik adalah hirarki yang tersusun sangat rapi, baik di tingkat stasi, paroki, keuskupan, satu negara dan tingkat dunia. Menjadi suatu kekuatan yang begitu besar, kalau di banyak tingkat, terutama di tingkat keuskupan dan seluruh keuskupan di negara yang sama dapat menyediakan materi dan sumber yang benar-benar dapat membantu proses pendidikan iman Katolik sejak usia dini. Namun, sering dijumpai bahwa banyak dari antara guru bina iman, katekis merasa tidak mempunyai materi yang memadai. Perlu dipikirkan bagaimana menggali potensi yang ada di dalam Gereja Katolik, sehingga memungkinkan kita mempunyai bahan dan metode pengajaran iman Katolik yang dapat dijangkau oleh seluruh umat beriman dari berbagai tempat. Yang perlu dipikirkan adalah memberikan informasi selengkap mungkin, sehingga memungkinkan katekis untuk memilih bahan yang ada dan menerapkannya secara kreatif pada peserta yang mempunyai latar belakang, umur, budaya dan pendidikan yang berbeda.

Kurangnya pendidikan iman anak sejak usia dini

Mari, kita melihat permasalahan dan tantangan ini secara lebih mendalam. Hal kurangnya pendidikan iman anak sejak usian dini terlihat tidak saja di rumah/ di tengah keluarga, tetapi juga di sekolah, bahkan di sekolah Katolik, dan juga di paroki. Seandainya sudah ada sekalipun, patutlah kita pertanyakan, apakah sudah cukup memadai, terutama jika ada cukup banyak umat Katolik yang meninggalkan Gereja Katolik.

1. Kurangnya pendidikan iman Katolik di dalam keluarga

Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak- anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, ‘Jaman sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya dapat mendoakan…. ’

Suatu ironi, sebab seharusnya tugas utama orang tua adalah mendidik anak- anak agar mereka mengenal dan mengasihi Allah, dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dan dengan demikian orang tua menghantar anak- anak mereka ke Surga. Jadi sesungguhnya pembentukan karakter anak sampai menjadikan mereka pribadi- pribadi yang mengutamakan Allah, merupakan tugas orang tua. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan sebagian besar waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan bagi anak- anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka? Atau jika orang tua ada di rumah, apakah mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh mana orang tua mengarahkan anak- anak, sehingga di tengah kesibukan mereka, anak- anak tetap mau berdoa dan membaca Kitab Suci?

2. Kurangnya pendidikan iman Katolik di sekolah

Pendidikan iman Katolik juga tidak mudah diperoleh di sekolah- sekolah, baik di sekolah negeri maupun juga di sekolah- sekolah Katolik sendiri. Adanya kondisi pluralitas di masyarakat kita menjadikan sekolah- sekolah Katolik sepertinya kehilangan jati diri dalam menyampaikan ajaran iman Katolik. Pendidikan iman Katolik umumnya diidentikkan dengan mata pelajaran Agama sekali seminggu, dan diadakannya Misa Kudus bagi semua murid sebanyak sebulan sekali. Dari pengalaman kami pribadi, penekanan yang lebih ditekankan adalah perbuatan baik, dan hanya sedikit pembahasan tentang iman Katolik. Akibatnya anak- anak tidak sungguh- sungguh mengenal iman Katolik, atau mengenalnya hanya sebatas hafalan dalam pelajaran Agama, namun kurang menangkap esensinya sebagai yang mendasari segala perbuatan mereka. Pengenalan akan Kristus relatif minim, sehingga anak- anak tidak atau kurang mempunyai hubungan yang pribadi dengan Kristus. Pengenalan tentang arti Gereja juga kurang memadai, sehingga mereka tidak merasa sebagai bagian di dalamnya dan tidak berkeinginan untuk membaktikan diri membangun Gereja demi kasih mereka kepada Kristus. Dalam kondisi semacam ini tak mengherankan jika angka panggilan imamat atau kehidupan religius merosot.

Pendidikan iman yang komprehensif juga nampaknya masih merupakan ‘barang langka’ di tanah air. Artinya, pendidikan iman Katolik yang terintegrasi dengan semua mata pelajaran yang lain, mulai dari sejarah umat manusia, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, kesenian, dst. Para guru juga mempunyai tanggung jawab untuk tidak hanya menjadi pengajar ilmu untuk mengisi otak, namun juga teladan iman untuk mengisi hati para murid mereka. Memang untuk melakukan hal- hal ini tidak mudah, dan memerlukan kerja keras dari pihak pengajar dan koordinator kurikulum di sekolah, namun jika dilakukan, sesungguhnya sangat baik.

3. Kurangnya pendidikan iman Katolik di paroki

Di paroki, pendidikan iman Katolik pada anak- anak juga mempunyai permasalahannya sendiri. Tantangan yang dihadapi oleh para orang tua dan guru di sekolah, sebenarnya juga dihadapi oleh para pengajar/ katekis di paroki. Bagaimana memperkenalkan Kristus dan misteri Paska-Nya kepada anak- anak se-efektif mungkin, menjadi PR (Pekerjaan rumah) para guru Bina Iman/ katekis dan juga para imam di paroki. Bina Iman bukan sekedar tempat berkumpulnya anak- anak untuk bermain dan mewarnai, melainkan sarana untuk menyampaikan pengajaran iman yang dapat masuk di dalam pikiran dan hati anak- anak, sehingga mereka dapat bersuka cita dan mensyukuri karunia iman yang Tuhan sudah berikan kepada mereka.

Dewasa ini tenaga pengajar Bina Iman ataupun katekisasi secara umum adalah tenaga sukarela, dan banyak di antaranya yang tidak secara khusus dibekali dengan latar belakang sebagai pengajar iman Katolik. Dengan demikian, sangatlah logis jika memang para katekis membutuhkan buku panduan yang dapat dijadikan acuan untuk mengajar. Di beberapa pertemuan guru- guru Bina Iman, evaluasi yang disampaikan antara lain menyebutkan kesulitan mereka untuk memperoleh bahan- bahan pengajaran (yang lengkap: dengan kisah, pembahasan, permainan, gambar, nyanyian, dari kisah- kisah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) untuk disampaikan kepada anak- anak. Umumnya mereka harus ‘meracik’ sendiri bahan pengajaran di antara tim pengajar. Dengan demikian, diperlukan waktu untuk membicarakannya dan mempersiapkannya, dan ini tidak selamanya hal ini mudah bagi para relawan pengajar, di tengah- tengah kesibukan mereka dalam pekerjaan/ keluarga.

Selain itu, jika diperhatikan, terdapat waktu jeda bagi pembinaan iman anak, yaitu periode antara waktu setelah Komuni Pertama sampai menjelang penerimaan Sakramen Penguatan/ Krisma. Ada beberapa paroki yang telah mengadakan Bina Iman Remaja, atau merekomendasikan anak- anak ini untuk bergabung dengan dalam komunitas Putera/i Altar. Namun kita mengetahui bahwa hanya sedikit prosentase jumlah anak- anak dalam paroki yang tergabung dengan kegiatan ini. Maka kelompok mayoritas anak- anak di paroki tidak ‘tertangani’ pendidikan imannya.

Dewasa ini kitapun perlu memberikan perhatian kepada anak- anak Katolik yang bersekolah di sekolah- sekolah National plus, yang juga kurang mendapat pengajaran tentang iman Katolik. Prosentase jumlah anak- anak ini nampaknya terus menanjak setiap tahunnya, dan banyak di antara mereka mempunyai kesulitan untuk bergabung dalam kegiatan Bina Iman di paroki, antara lain karena bahasa yang digunakan dalam proses katekese tersebut adalah bahasa Indonesia, sedangkan anak- anak ini lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.

Bagaimana seharusnya?

Konsili Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani (Gravissimum Educationis) menyatakan tujuan pendidikan secara umum, dan pendidikan Kristiani secara khusus, demikian:

1. Secara umum

“Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembentukan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, di mana ia  sebagai manusia, adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa ia akan mengambil bagian menunaikan tugas kewajiban di dalamnya.” ((Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 1))

Tujuan terakhir manusia yang dimaksud di sini adalah kehidupan kekal bersama Allah di Surga. Dengan demikian, pendidikan secara umum harus mengarah kepada pembentukan (formation) pribadi manusia secara utuh, baik dari segi fisik, moral, intelektual agar anak- anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi kehidupan ini, agar kelak dapat masuk dalam Kerajaan Surga.

2. Secara khusus

a. Pendidikan Kristiani bertujuan untuk pendalaman misteri keselamatan, iman, makna kekudusan, memberi kesaksian tentang pengharapan Kristiani.

“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Kecuali itu hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan dunia menurut tata-nilai Kristiani …” ((Ibid))

b. Pendidikan Kristiani harus menanamkan nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia

“Bahkan di tengah kesulitan- kesulitan karya pendidikan, kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar dewasa ini, para orang tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak mereka tentang nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia. Anak- anak harus tumbuh dengan sikap yang benar tentang kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap barang- barang materi, dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana dan bersahaja, yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia daripada karena apa yang dia miliki.” ((Paus Yohanes Paulus II, Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio 37))

Adalah suatu permenungan, sejauh manakah hal- hal yang disebutkan di atas dilakukan di dalam keluarga, di sekolah dan di paroki?

Pendidikan iman Katolik di dalam keluarga

a. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak- anak

“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius  untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak mereka” ((Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3, lihat juga KGK 1653 dan Familiaris Consortio 36)). Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi anak- anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah. Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan kepada orang lain. ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio 36))

Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak- anak berarti orang tua harus secara aktif mendidik anak- anak dan terlibat dalam proses pendidikan anak- anaknya. Orang tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak sendiri membentuk keluarga di kemudian hari.

Sebagai pendidik utama, maka orang tua harus terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah, dan orang tua bertugas membentuk  anak- anaknya. Orang tua harus mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku- buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman- teman anak- anaknya, dan sebagainya. Tugas dan tanggungjawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada pembantu rumah tangga ataupun guru les. Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka sendiri, dan kurang mempedulikan atau kurang mau terlibat dalam pendidikan anak- anak. Mengirim anak- anak untuk les pelajaran, atau menyekolahkan anak di sekolah national plus, tidak menjamin pembentukan karakter anak dengan baik.

Demikian pula dalam hal iman. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman, maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di sekolah, guru les ataupun guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun orang tua tetaplah yang harus melakukan tugasnya sebagai pendidik utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya tidak sulit, karena dapat dimulai dari hal- hal sederhana. Namun dibutuhkan komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua, misalnya: berdoa bersama anak- anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam, membawa anak- anak ikut Misa Kudus dan sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya, mendorong anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan, memberi koreksi jika anak berbuat salah namun setelahnya tetap merangkul dengan kasih, dst.

Orang tua juga harus mempunyai perhatian kepada pengaruh media massa ke dalam kehidupan anak- anak. Terlalu banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi jika anak- anak menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak- tembakan, pembunuhan, dst, yang secara tidak langsung merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti kemarahan, kekerasan, tidak mau mengalah, dst. Tak kalah seru, adalah kebiasaan ber FB (Face book) di kalangan anak- anak remaja. Jika memungkinkan, silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk memata- matai anak, namun untuk mengetahui sekilas lingkungan pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi, yaitu jika anak terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau sejenisnya, maka lama kelamaan ia menjadi tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di dalam pergaulan, kurang dapat membawa diri, dan terlalu berpusat kepada diri sendiri. Tidak berarti bahwa TV, game internet dan FB memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi  jika yang ditonton, atau yang dimainkan tidak sesuai dengan ajaran iman dan moral; atau yang diajak berkomunikasi adalah orang- orang yang tidak membangun iman, atau malahan menjerumuskan mereka; atau jika hal menonton TV dan bermain komputer tersebut sampai menyita hampir semua waktu luang. Mengapa? Sebab jika ini yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya.

b. Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam hidup manusia.

Dari orang tualah anak- anak belajar akan nilai- nilai yang esensial dan terpenting di dalam hidup. Nilai- nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II dalam Pengajaran Apostoliknya, Familiaris Consortio, adalah: 1) keadilan yang menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang termiskin dan yang paling membutuhkan bantuan; 2) hukum kasih: memberikan diri untuk orang lain dan memberi adalah suka cita, 3) pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh, emosi maupun jiwa; 4) pendidikan tentang kemurnian (chastity); 5) pendidikan moral yang menjamin anak- anak bertanggungjawab. ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio 37)).

c. Orang tua harus mengusahakan suasana kasih di rumah

Maka para orang tua harus menciptakan suasana di rumah yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan sesama, sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak- anak dapat ditumbuhkan ((Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3)). Kasih orang tua adalah dasar dari pendidikan anak, sehingga kasih itu harus menjiwai semua prinsipnya, disertai juga dengan nilai- nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan pengorbanan ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 36)). Dalam hal ini, komunikasi antara anak dan orang tua adalah sangat penting, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga.

d. Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebijakan Kristiani dan orang tualah yang memberikan teladan.

Keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dst. Orang tua selayaknya memberikan teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya melalui perkataan saja.

e. Pengajaran tentang iman dalam keluarga dapat dilakukan di setiap kesempatan dan dapat dikemas menarik

Pengajaran tentang Allah dan perintah- perintah-Nya ini tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih hidup dan menarik, sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain tebak- tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci bergambar, atau sama- sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana sekalipun dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya pada saat anak jatuh ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi, sebelum akhirnya kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ saudara yang membutuhkan pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka.

Jika anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan lebih mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan kebajikan tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang kesabaran. Dengarkan pengalaman anak dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu untuk menjadi orang yang sabar. Baik jika sharing ini ditutup dengan doa.  Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik orang tua maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.

f. Doa bersama sekeluarga merupakan hal yang harus dilakukan

Orang tua harus mengusahakan agar dapat melakukan doa bersama sekeluarga setiap hari, entah pada pagi hari atau sore hari. Mother Teresa pernah mengatakan, “A family that prays together, stays together” (Keluarga yang berdoa bersama, tetap bersatu bersama). Doa bersama juga dilakukan pada saat sebelum dan sesudah makan. Doa bersama dapat berupa Ibadat Harian, doa spontan, doa rosario, atau doa kaplet Kerahiman Ilahi, dan seterusnya, dan dapat juga dinyanyikan. Doa dapat dilanjutkan dengan renungan Kitab Suci, dan anak- anak dan orang tua dapat melakukan sharing iman sesuai dengan ayat- ayat yang direnungkan.

g. Orang tua mengarahkan anak- anak untuk bergabung ke dalam Gereja

Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan saudara- saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak- anak untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan, ataupun kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Orang tua juga harus memberikan dorongan kepada anak- anak untuk mengambil bagian dalam sakramen- sakramen Gereja, terutama Ekaristi dan Tobat.

Pendidikan iman Katolik di sekolah

Sekolah melaksanakan peran yang penting di dalam membantu para orang tua mendidik anak- anak mereka. Dalam hal ini, sekolah tidak hanya bertugas untuk membantu pertumbuhan intelektual anak, tetapi juga kemampuan untuk bertindak dengan bijak, memilah hal- hal yang baik dan yang buruk, meneruskan tradisi yang baik dari generasi sebelumnya, dan untuk mempersiapkan anak- anak untuk kehidupan sesuai dengan profesi mereka di masa datang.

Berikut ini adalah masukan tentang “Apakah yang menjadikan suatu sekolah adalah Sekolah Katolik?” yang kami peroleh dari Maria Brownell, salah seorang kontributor situs Katolisitas. Maria berdomisili di Wisconsin, Amerika Serikat, dan ia aktif terlibat dalam penyusunan kurikulum salah satu sekolah Katolik di sana:

“Apakah yang menjadikan suatu sekolah adalah Sekolah Katolik?

1. Sekolah Katolik adalah sekolah yang bertujuan untuk membentuk anak menjadi kudus

Tujuan dari sekolah tersebut adalah tidak hanya mengajar, melainkan juga membentuk anak- anak menjadi pribadi yang utuh. Sekolah tidak hanya harus mengajar mereka secara akademis, tetapi juga untuk harus bekerja keras untuk membawa mereka kepada kekudusan. Manusia terdiri atas tubuh dan jiwa, maka sekolah Katolik yang baik harus tidak hanya mengisi ‘kepala’ murid- muridnya dengan informasi, tetapi harus juga mengisi hati murid- muridnya dengan iman Katolik dan kasih. Sekolah Katolik harus menanamkan dalam hati murid- muridnya, hati yang mengasihi dan melayani: pelayanan kepada sesama, kepada negara dan kepada Tuhan.

2. Semua guru/ pendidik di sekolah harus Katolik dan bekerja sama dengan para orang tua murid untuk mendidik anak- anak, terutama dalam hal iman.

a. Semua guru di sekolah harus Katolik dan mereka harus mengenal/ mengetahui tentang iman Katolik dengan baik, dan melaksanakan ajaran iman mereka. Mereka harus percaya, setuju dan mengasihi semua ajaran Katolik. Guru- guru juga harus mengejar kekudusan dalam kehidupan mereka sehari- hari.

b. Adalah ideal jika sekolah mempunyai juga imam pembimbing rohani yang turut aktif membina sekolah tersebut. Atau suster (biarawati) yang juga dapat mengajar para murid. Imam, biarawan ataupun biarawati yang mengajar di sekolah -misalnya untuk mata pelajaran Agama atau mata pelajaran lain sesuai dengan keahlian masing- masing- dapat menjadi tokoh panutan bagi murid- murid dan membantu mereka untuk semakin meneladani Kristus.

c. Para guru juga harus menerapkan ajaran iman Katolik di dalam pengajaran mereka di dalam setiap mata pelajaran. Mereka harus mencari kesempatan- kesempatan untuk meng-integrasikan iman dalam pengajarannya kepada murid- murid.

d. Setiap murid harus dihargai martabatnya sebagai anak Allah, dan sebaliknya semua murid harus menghormati dan menaati para gurunya.

e. Sekolah harus bersama- sama dengan orang tua mendidik anak- anak dan membentuk karakter mereka, sebab pada akhirnya, orang tua-lah yang merupakan pendidik pertama dan utama dalam hal iman bagi anak- anak. Orang tua harus juga mendukung para guru, dan tidak cenderung mempunyai sikap curiga kepada guru yang memberikan koreksi ataupun teguran kepada anaknya.

3. Kurikulum sekolah harus Katolik:

a. Liturgi harus dimasukkan di dalam kurikulum sekolah, seperti perayaan Misa Kudus, adorasi Sakramen Mahakudus, dst.

b. Buku- buku yang dipergunakan harus baik secara akademis, namun juga setia terhadap ajaran Gereja. Ini tidak berarti bahwa semua buku harus merupakan buku- buku Katolik. Namun demikian, buku- buku tersebut harus tidak bertentangan dengan ajaran Gereja. Semua buku harus mengajarkan semua mata pelajaran secara akademis dengan baik.

c. Kurikulum harus mengajarkan kepada para murid, “Bagaimana untuk BELAJAR” dan “Bagaimana untuk BERPIKIR”, dan bukan hanya sekedar memberikan kepada mereka banyak informasi. Kurikulum harus mengajar anak- anak untuk berpikir kritis, analitis dan jika memungkinkan secara filosofis. Pada akhirnya, setelah luus SMA anak- anak harus dapat menjawab beberapa pertanyaan fundamental, seperti: Siapakah aku? Mengapa saya ada di dunia? Apakah tujuan hidupku? Siapakah Tuhan dan apakah rencana-Nya bagi dunia dan saya?

d. Iman harus diintegrasikan ke dalam kurikulum, di dalam semua mata pelajaran. Semua mata pelajaran berhubungan dan saling mendukung satu dengan lainnya. Sebagai contohnya, ketika mereka belajar sejarah, mereka perlu juga melihat sejarah dari sudut pandang Katolik. Kurikulum pelajaran sejarah harus juga mengajarkan tentang sejarah keselamatan dari Tuhan, peran para Santa/ Santo dalam kurun waktu/ sejarah tertentu.

e. Literatur dan buku- buku bacaan harus memasukkan buku- buku Katolik dan kisah- kisah klasik yang mengajarkan nilai- nilai kebajikan dan membedakan antara yang baik dari yang jahat, yang benar dari yang salah. Di mata Tuhan, pada akhirnya orang- orang yang baik akan menang dan mereka yang jahat selalu kalah. Contohnya, buku kisah the Chronicles of Narnia adalah lebih baik daripada Harry Potter, karena karena pada kisah Narnia, tokoh- tokoh utamanya adalah anak- anak yang baik, dan bukan penyihir. Dewasa ini banyak buku yang ingin mengacaukan konsep yang baik dan yang jahat pada anak-anak. Kejahatan dapat kelihatan bagus, menarik dan berani, namun kejahatan adalah kejahatan, dan kita tidak dapat membungkusnya dengan gula- gula seolah- olah itu baik.

f. Penekanan harus diberikan pada mata pelajaran dasar, seperti: membaca, menulis dan artimetika (matematika). Sekolah harus mengajarkan kepada anak- anak bagaimana membaca dengan baik, terutama buku- buku dengan banyak tulisan (bukan buku berupa komik yang memuat banyak gambar).

g. Contoh- contoh adalah sangat penting, terutama ketika guru mengajarkan matematika dan ilmu pengetahuan. Anak- anak dapat belajar dengan baik ketika mereka menggunakan indera mereka, tidak hanya dengan mata, telinga dan otak, tetapi juga dengan alat peraba (misalnya pengajaran penjumlahan, dipraktekkan dengan menghitung koin, dst). Kurikulum harus mengkaitkan buku- buku pelajaran dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, pengalaman praktis adalah sesuatu yang baik. Contohnya, ajarkan mereka untuk menghargai dan menyukai ilmu pengetahuan melalui pengalaman keluar melihat alam sekitar, tidak saja dari buku. Saat -saat seperti ini, adalah saatnya bagi para guru untuk mengajarkan tentang Tuhan dan keajaiban alam ciptaan-Nya.

4. Lingkungan di dalam sekolah harus Katolik:

a. Harus ditekankan dan dipelihara, suatu lingkungan sekolah yang menyatakan kasih dan saling menghormati, di antara para guru, murid dan staf di sekolah. Tidak diperkenankan saling berteriak/ marah- marah/ kasar satu sama lain (di antara guru, antara guru dan murid- murid ataupun di antara para murid). Jika seorang murid berbuat salah, jangan dipermalukan: tidak diperkenankan mengkoreksi murid di hadapan para murid yang lain.

b. Para murid harus merasa bahwa mereka dikasihi dan dihargai. Guru- guru ada di sana untuk membantu mereka untuk menjadi seseorang seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.

c. Tidak perlu menghargai mereka dengan banyak kado/ bingkisan. Para murid seharusnya di harapkan untuk melakukan yang terbaik menurut kemampuan mereka, dan untuk memberikan apa yang terbaik dari diri mereka kepada Tuhan.

d. Para Santa/ Santo harus menjadi teladan mereka, dan bukan para bintang film/ selebriti. Maka adalah tugas para guru untuk memperkenalkan teladan para Santa/o kepada para muridnya.

e. Para guru harus mengajar anak- anak bagaimana untuk berpikir sendiri, dan untuk memberikan dorongan/ inspirasi agar mereka menjadi yang terbaik bagi Tuhan, mencintai Tuhan dan sesama, dan mencintai Gereja. Ketentuan disiplin harus berdasarkan kebajikan. Ketentuan tersebut harus mendorong para murid untuk menjadi semakin berbudi dan kudus.

f. Persaingan dalam sekolah harus tidak hanya di bidang akademis, olah raga dan musik, tetapi juga dalam hal pembangunan karakter. Sebagai contohnya, penghargaan juga harus diberikan terhadap murid- murid yang mempunyai hati yang melayani, pekerja keras/ rajin, dan suka menolong, dst.”

Dengan demikian, memang ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjadikan sekolah benar- benar sekolah Katolik, yang sungguh- sungguh mengajarkan iman Katolik dan mengintegrasikannya di dalam seluruh kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.

Beberapa contoh konkret yang dapat dilakukan di Indonesia:

a. Doa bersama sebelum sekolah dimulai. Baik jika diterapkan doa Malaikat Tuhan (Angelus) pada jam 12 siang, dilanjutkan dengan renungan singkat Kitab Suci dan tentang kisah riwayat orang kudus (Santa/ santo) pada hari itu sesuai dengan kalender liturgi Gereja.

b. Diadakan Misa Kudus bersama minimal seminggu sekali (jika dapat diusahakan lebih sering lebih baik), dengan disediakannya kesempatan mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa sebelum Misa dimulai, dan Ibadah Tobat minimal sebulan sekali.

c. Diadakan kantin kejujuran (kantin tanpa penjaga, para pembeli harus dengan jujur membayar sesuai dengan jumlah yang dibeli). Tentu anak- anak perlu dilatih untuk dapat memahami cara kerja kantin ini.

d. Diadakan piket kebersihan digilir per kelas untuk melatih anak- anak saling melayani.

e. Pelajaran tentang iman Katolik diintegrasikan dengan seni: seni suara/ musik, seni lukis, menjahit, keramik, pidato dst.

f. Demikian juga pada pelajaran ilmu pengetahuan, hindari menggunakan buku- buku yang tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik, seperti evolusi Darwin (makroevolusi), atau buku sejarah yang mengatakan bahwa Abad Pertengahan adalah Abad kegelapan; atau buku yang mengatakan bahwa dunia sudah terlalu penuh, sehingga orang harus membatasi jumlah anak. Jika pemakaian buku- buku tersebut tidak dapat dihindari, minimal para guru dapat memberikan penjelasan yang meluruskannya.

g. Pendidikan seksualitas pada anak- anak sesuai dengan umurnya, dengan menyampaikan nilai- nilai Kristiani sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.

Pendidikan iman Katolik di paroki

Mengingat fakta secara umum, bahwa dewasa ini banyak orang Katolik tidak sungguh- sungguh mengenali imannya, maka pendidikan katekese sebaiknya dilakukan di semua lini, maksudnya adalah, kepada anak- anak, kaum muda, maupun orang tua. Katekese anak dapat dilakukan melalui Bina Iman, yang dilakukan sekali seminggu, menurut kelompok usia. Namun mungkin baik dipikirkan jika terdapat buku panduan dari pihak keuskupan setempat, agar memudahkan para guru untuk mempersiapkan pengajaran.

Alangkah baiknya, jika pastor paroki menghimbau dan mendukung Bina Iman, juga dalam hal mencari para pengajar yang kompeten untuk mengajar Bina Iman. Mungkin kaum muda/ OMK dapat dilibatkan dalam hal ini, setelah mereka menjalani semacam pelatihan untuk menjadi guru- guru Bina Iman. Jika keuangan paroki memungkinkan, dapat pula diusahakan adanya staf khusus yang menangani hal katekese umat, dalam hal ini untuk menjadi koordinator guru- guru Bina Iman, yang memberikan pengarahan kepada para guru setiap minggunya (atau dua minggu sekali) sebelum mereka mengajar; ataupun juga mengkoordinasikan para katekis lainnya yang bertugas mengajar katekumen, calon Krisma ataupun calon penerima Komuni pertama. Alangkah baiknya jika dalam pendidikan iman anak- anak ini, pihak orang tua dilibatkan, misalnya dengan secara periodik mengadakan rekoleksi/ retret keluarga ataupun semacam seminar setengah hari yang melibatkan orang tua, ataupun yang disertai dengan acara rekreasi keluarga.

Di samping itu perlu diperhatikan adanya kesinambungan dalam pendidikan iman Katolik dari masa kanak- kanak sampai usia dewasa. Jika tidak ada kelompok khusus antara usia Komuni pertama sampai usia mudika maka perlu diusahakan komunitas ‘antara’ tersebut. Komunitas ini tidak selalu harus baru, tetapi bisa juga mendayagunakan komunitas yang sudah ada, seperti Putra- Putri Altar, Legio Maria Junior, Kelompok koor anak/ remaja, yang diberi pandampingan rohani.

Komunitas OMK atau pasangan muda juga dapat disemangati dengan katekese tentang pendalaman iman Katolik. Selanjutnya, kelompok ini dapat didayagunakan untuk juga menjadi para guru Bina Iman Anak dan Remaja. Jika memungkinkan, dipupuk juga pelatihan OMK untuk menjadi kelompok yang berguna bagi kegiatan membangun kehidupan menggereja, seperti menjadi relawan yang mengunjungi  dan mendoakan umat paroki yang sakit, menjadi guru Bina Iman termasuk mengajar Bina Iman dalam bahasa Inggris, menggiatkan kelompok Bible Study/ Bible Sharing untuk pendalaman iman, kelompok diskusi apologetik, kelompok musik/ orkestra rohani dan seterusnya.

Hal yang juga dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas katekisasi adalah prinsip sponsor/ pendukung dalam proses katekumenat calon baptis. Sesungguhnya prinsip ini bukan hal yang baru, melainkan sudah diterapkan oleh Gereja sejak jaman dulu, dan kini diterapkan kembali di banyak paroki di negara- negara lain. Dalam  proses ini, setiap katekumen didukung oleh seorang sponsor (dari salah seorang umat yang sudah dibaptis), yaitu pendukung yang mendampingi katekumen sepanjang proses katekumenat. Tugas seorang sponsor adalah membantu agar katekumen dapat semakin memahami iman Katolik, membantunya menemukan motivasi yang lebih murni untuk menjadi Katolik dan mendampinginya dalam pergumulan yang mungkin dihadapi dalam proses katekumenat. Maka para sponsor adalah “mereka yang telah mengetahui dan membantu calon baptis dan berdiri sebagai saksi baginya dalam hal karakter moral, iman dan intensi”. ((Rite of Christians Initiantion for Adults, 10)). Kemungkinan, para lulusan kursus evangelisasi di paroki dapat diarahkan untuk menjadi sponsor bagi para katekumen. Selain sponsor, setiap katekumen juga mempunyai wali baptis yang mendampinginya, membantu pertumbuhan imannya dan selalu mendoakannya setiap hari. “Para wali baptis adalah orang- orang yang dipilih oleh para katekumen atas dasar teladan yang baik, persahabatan …. Adalah tanggung jawab dari para orang tua baptis untuk memperlihatkan kepada para katekumen bagaimana mempraktekkan Injil di dalam kehidupan pribadi dan sosial, untuk menguatkan mereka di saat- saat mereka ragu/ enggan dan kuatir, untuk menjadi saksi dan untuk membimbing kemajuan katekumen dalam kehidupan sebelum dan sesudah baptisan.” ((Rite of Christians Initiantion for Adults, General Introduction, 11)). Karena peran sponsor dan para orang tua baptis sangatlah penting, maka pentinglah pula dipersiapkan beberapa umat di paroki agar dapat melakukan tugas ini. Diperlukan katekese umat dalam hal ini, agar mereka dapat terpanggil untuk menjadi sponsor [dan wali baptis] dan melakukan tugas mereka dengan suka cita. Sponsor dan para katekis harus bersama- sama saling bahu- membahu untuk mempersiapkan calon baptis menerima Kristus dalam sakramen- sakramen Inisiasi. Perlu dipikirkan juga bagaimana menerapkan penggabungan para katekumen ke dalam kehidupan seluruh umat beriman dalam liturgi, seperti yang ditetapkan dalam the RCIA (Rites of Christian Initiation of Adults) yang disusun berdasarkan the Order of Christian Initiation of Adults yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1972.  Hal ini terlihat dalam beberapa ritual dalam liturgi yang mencerminkan beberapa tahapan dalam masa katekumenat, sejak masa penerimaan sampai dibaptis, seperti: Rite of Acceptance, Rite of Welcoming, Rite of Election, Rite of the Call to Continuing Conversion, Scrutinies, Sacraments of Initiation. Dan akhirnya, perlu dipikirkan bagaimana seluruh umat di paroki menyambut mereka, sehingga mereka dapat masuk ke dalam kehidupan menggereja. Untuk membantu umat yang baru dibaptis, maka mistagogi juga harus disusun secara serius.

Para katekis awam juga perlu terus memperdalam pengetahuan dan penghayatan mereka akan iman Katolik, sehingga mereka dapat mengajar sesuai dengan pengajaran Magisterium Gereja; setelah menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupannya pribadinya sendiri. Alangkah baiknya jika seksi Katekese KWI secara berkala mengadakan sesi pengajaran khusus tentang beberapa topik khas Katolik secara mendalam (misalnya Maria, tentang Gereja, Sakramen, dst) yang dapat diikuti oleh semua katekis. Harapannya agar para katekis menjadi semakin memahami ajaran iman Katolik, yang selalu mengambil dasar dari Kitab Suci dan Tradisi Suci. Lebih lanjut, seksi Katekese KWI juga dapat memberikan kursus kepada para katekis, yang nantinya menjadi dasar untuk pemberian sertifikat mengajar kepada para katekis.

Selanjutnya, katekese lanjutan bagi kelompok umat yang baru dibaptis juga sangat penting. Mereka yang baru dibaptis sebenarnya adalah ‘anak- anak’ dalam hal rohani, yang memerlukan pembinaan iman lebih lanjut agar iman mereka dapat terus bertumbuh. Pembinaan lanjutan ini idealnya tidak hanya dilakukan satu atau dua kali, tetapi seterusnya, sampai mereka dapat menjadi sponsor bagi para calon baptis dalam angkatan berikutnya. Dengan demikian, harapannya proses katekese  dapat  berjalan berkesinambungan dan ada proses regenerasi dalam proses tersebut.

Kesimpulan

Bahwa ada banyak umat Katolik yang tidak sungguh- sungguh mengenali imannya, menjadi tantangan bagi kita untuk memperbaiki proses katekese di dalam Gereja Katolik. Proses katekese atau pendidikan iman ini harus dimulai sejak dini, baik di keluarga, sekolah maupun di paroki. Di dalam semua proses tersebut, harus tetap dipahami dan diterapkan bahwa orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak- anak mereka dalam hal iman dan pembentukan karakter. Dalam melakukan tugas ini, orang tua memperoleh bantuan dari sekolah dan paroki dan ketiga pihak ini harus bersama- sama berusaha untuk membentuk anak untuk mengasihi Tuhan dan sesama, dan menjadi pribadi yang bertanggungjawab di dalam hidup ini, agar kelak dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Dewasa ini  ada begitu banyak tantangan yang harus dihadapi untuk melaksanakan pendidikan iman sejak usia dini, karena ada banyak tawaran dunia yang dapat lebih menarik perhatian anak-anak dan generasi muda. Maka orang tua, pihak sekolah dan paroki harus bersatu padu untuk bersama- sama berusaha untuk malaksanakan tugas pendidikan iman ini, dengan memperhatikan isi dan cara penyampaiannya. Jika usaha terpadu ini dapat dilakukan secara berkesinambungan,  dari usia dini sampai dewasa, maka besar harapan kita bahwa semakin banyak umat Katolik dapat mengenal dan mengasihi imannya, dan dapat pula menjadi saksi- saksi iman yang hidup untuk membangun Gereja dan masyarakat. Janganlah kita lupa akan prinsip dasar dalam hal pendidikan iman ini : “Jangan biarkan dunia ini yang mendidik dan membesarkan anak- anak kita, sebab sebagai orang tua, guru dan Gereja, kitalah yang harus mendidik anak- anak agar mereka dapat masuk surga.” Mari kita bersama sebagai anggota Tubuh Kristus secara bahu membahu bekerja bersama Kristus sang Kepala kita untuk mewujudkan kehendak-Nya yang “mengendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim 2:4). Semoga pendidikan iman dalam keluarga, sekolah dan paroki mengarah kepada pengetahuan akan kebenaran ini, yang menghantar kita sampai kepada kehidupan kekal.

Catatan:
Artikel ini dibuat untuk acara Temu Darat Katolisitas 2, dengan tema “Pendidikan anak sejak usia dini di dalam keluarga, paroki dan sekolah”, yang diselenggarakan pada tanggal 29 Januari 2011 di Paroki Hati Kudus – Kramat, Jakarta.

Lampiran:

Beberapa contoh yang diterapkan dalam Sekolah Katolik St. Adalbert, Rosholt, Wisconsin, USA:

1. Liturgi:

a. Misa Kudus, (seminggu 3x)
b. Doa Rosario bersama (seminggu 2x)
c. Benediction/ penghormatan kepada Sakramen Maha Kudus (seminggu 1x)
d. Program berdasarkan kebajikan, menurut Santa/o dalam bulan itu
e. Pengakuan Dosa (sebulan sekali)

2. Program khusus:

a. Hari Para Orang Kudus 2 November (presentasi, buku laporan, dengan peragaan kostum para santa dan santo).
b. Menanam kebun sekolah (Planting garden for Mother Mary, bulan May)
c. Operation Baby Bottle, memberikan donasi bagi kegiatan pro-life sepanjang masa Prapaska (pada masa Adven).
d. Jalan salib/ Devosi Kerahiman Ilahi (Sepanjang masa Prapaska dan Paska)
e. Field trip yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan (contoh: ke Taman Kota, Kebun Binatang, dst)
f. Field trip yang berhubungan dengan iman (contoh ke tempat ziarah, gua Maria, dst)
g. Field trip yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan sosial (contoh: ke museum)
h. Minggu Kompetisi Sekolah (pameran ilmu pengetahuan, aneka perlombaan, dst)
i. Pelayanan masyarakat (contohnya menanam pohon- pohon, mengumpulkan sampah pada hari the Earth Day, mengumpulkan sembako untuk dibagikan ke warga miskin, etc)
j. Mengundang pembicara untuk memberikan pengarahan (i.e. Pastor, Polisi, pera petugas pelindung hutan, veteran/ pensiunan pegawai negeri).
k. Perlombaan olah raga
l. Membuat/ mencetak buku sekolah (anak- anak SMA)
m. Malam Dana bagi Sekolah (Harvest Dinner, Church Picnic, bake sales, dst)
n. Pertunjukan Natal
o. Pertunjukan bakat anak- anak

43 COMMENTS

  1. Syalom bu ingrid,

    Senang bisa berbagi dengan anda..
    Bu bagaiman cara kita menanggapi pertanyaan pertanyaan menyangkut siapa Tuhan Yesus dan siapa Bapa itu? Saya sering merasa dikucilkan oleh pertanyaan itu.
    Terimakasih bu

    [Dari Katolisitas: Silakan pertama-tama membaca artikel-artikel ini, klik di judul berikut:
    Trinitas, Satu Tuhan dalam Tiga Pribadi
    Aku Percaya akan Allah
    Aku Percaya akan Allah Bapa yang Maha Kuasa
    Aku Percaya akan Yesus Kristus, Putera Allah yang Tunggal
    Aku Percaya akan Roh Kudus

    Jangan pertama-tama merasa dikucilkan dengan pertanyaan itu. Kenalilah ajaran iman Anda, dan jika Anda ditanya tentang iman Anda, jawablah dengan santun. Anggaplah ini sebagai kesempatan untuk memperkenalkan Kristus, Sang Juru Selamat kita.]

  2. Shalom,

    Sebelumnya saya mohon maaf jika saya menyertakan masalah pribadi dalam topik ini. Saya dan suami sangat setuju bahwa pendidikan iman Katolik harus dimulai sejak dini. Saat ini kami sedang khawatir dengan anak kami. Sejak kecil hingga saat ini berusia 10 tahun sifat dan perilakunya sangat mengkhawatirkan. Menurut pandangan kami ia membutuhkan sekolah Katolik seperti sekolah alam yang dibina dengan penuh kasih oleh frater/suster Katolik supaya ia tidak salah jalan nantinya. Kami mengharapkan bantuan baik dari tim katolisitas maupun pembaca yang mempunyai informasi mengenai sekolah alam tersebut.
    Terima kasih.

  3. Mungkin di paroki2 sekarang sudah ada kursus evangelisasi pribadi (KEP) atau sekolah evangelisasi pribadi (SEP)…
    jujur pacar saya seorang protestan dan dia selalu mempertanyakan iman katolik saya…dan saya tidak bisa menjawab dan sampai titik dalam diri saya mengatakan saya mau mencoba berpindah ke protestan saja…. Walaupun saya sampai sekarang belum pernah ke gereja protestan..
    Singkat cerita tiba2 saya lagi makan di rumah makan dan saya melihat ada patung Bunda Maria di situ…saya mulai berbicara tentang katolik..dan dia menanjurkan saya ikut kegiatan KEP kalo mau tau lebihndlam lagi akan iman katolik
    Akhirnya saya mengitkuti kata2 tmn baru saya tadi…
    Singkat cerita setelah saya mengikuti KEP tanpa disadari saya mulai bertumbuh dalam iman katolik dan bertumbuh akan Yesus…dan teman2 juga memperkenalkan situs katolisitas kepada saya yang bagi saya pribadi sangat2 membantu dalam memperdalam iman katolik saya…
    pertanyaan2 yang sempat pacar saya Tanya ke saya, saya mulai bisa menjawab. Dan jawaban saya itu sangat memuaskan dia…singkat cerita sekarang pacar saya puji Tuhan sudah katekumen…dan dulu mungkin Bunda Maria yg jadi masalah besar bagi dia, sekarang jadi tidak ada masalah lagi… Dia sudah mulai berdoa rosario dll…
    Ini hanya sebuah sharing kepada teman2. Saya hanya bisa memberi pesan, jika kalian ragu akan iman katolik kalian maka carilah jawaban di romo atau org yg sama2 beriman katolik…jangan mencari jawaban di gereja lain karena pemahaman akan ajarannya sangat2 berbeda… Dan jika di paroki teman2 ada kursus evangelisasi pribadi saran saya daftarlah…
    Sekian yg bisa saya sharingkan… Tuhan memberkati kalian semua

    [Dari Katolisitas: terima kasih atas sharing Anda, semoga menguatkan para pembaca sekalian.]

  4. Bu Inggrid dan pak Stef yang terkasih
    terimakasih untuk artikelnya.
    Saya sering mengikuti tulisan bapak dan ibu, saya belajar banyak darinya.

    Artikel ini sangat menarik buat saya, karenanya saya tergelitik untuk ikut share…..
    Artikel ini menjadi cermin bagi kita semua ketika menghadapi keprihatinan yang kurang lebih sama terhadap kehidupan iman umat dewasa ini.
    Beberapa saat lalu ada beberapa hal yang mengusik dan sungguh membuat saya prihatin.

    Pertama, dalam sebuah diskusi di forum tertutup seorang teman menyampaikan pandangannya tentang Gereja Katolik juga kebosanannya. Bahkan teman tersebut yang merasa Gereja Katolik hanya ‘begitu-begitu’ saja menyampaikan bahwa dia tidak akan memaksakan anaknya untuk terus mengimani Kristus dalam Gereja Katolik.
    Betapapun hal itu membuat saya terkejut, saya berusaha untuk melihatnya sebagai ‘wajah’ sebagian uamt yang perlu kita perhatikan pula.
    Nampaknya banyak diantara umat yang melupakan tugas orangtua sebagai pendidik utama dan pertama, lebih dari itu keberadaan keluarga sebagai Gereja mini dengan lima panca tugasnya pun belum dihayati.
    Mohon kiranya pak Stef dan bu Inggrid berbagi tentang panca tugas gereja dalam keluarga.

    Kedua, di paroki saya yang terletak di sebuah kota kecil di keuskupan Surabaya banyak mengalami kekurangan pemerhati. Mereka yang terlibat dalam kegiatan hanya itu-itu saja. Lebih memprihatinkan lagi justru tidak sedikit guru-guru sekolah katolik yang menarik diri dari kegiatan menggereja, bahkan dalam doa lingkungan pun mereka tidak pernah hadir.
    Di sisi lain sekolah katolik menghadapi tantangan yang tidak sedikit, termasuk secara politis. Sekolah katolik semakin ditinggalkan umat, hingga jumlah murid katolik tak lebih dari 10%.
    Umat lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri atau di sekolah katolik yang terletak di luar kota dengan mutu yang lebih baik(dan biaya lebih tinggi, tentu). Sebenarnya keterlibatan guru sekolah katolik dalam hidup menggereja dapat membuat sekolah katolik lebih dekat dengan umat, sekaligus menjadi promosi untuk sekolah katolik. Sekolah katolik di paroki saya mendapat tugas liturgi secara rutin, sayagn sekali hal tersebut tidak disiapkan sungguh-sungguh. Nampak sekali asal-asalan, sehingga saat ekaristi dengan petugas dari sekolah katolik justru nampak amburadul (meski sebenarnya ketika liturgi bukan petugas dan indahnya tampilan mereka ayng utama, namun ketika semua dipersiapkan dengan serius tentu sangat berbeda hasilnya).

    Ketiga, dalam pertemuan komdik keuskupan Surabaya terdapat keprihatinan mahalnya sekolah katolik di kota besar sehingga keinginan orangtua menyekolahkan putra-putrinya di sana tak terwujud. Di sisi yang lain, sekolah katolik di kota kecil dengan biaya kecil kekurangan murid karena kualitas dan ciri khas katolik yang luntur.

    Keempat, di paroki saya terutama di stasi-stasi yang terletak jauh dari kota mencari umat dengan pendidikan cukup dan SDM memadai tidaklah mudah.
    Ada stasi-stasi dengan umat berpendidikan SMP pun sudah baik. Dengan kondisi seperti itu apa yang dapat kita harapkan dalam pemahaman ketekese? Terlebih jumlah umat yang tertarik dan mau terlibat dalam katekese tidaklah banyak. Yang terjadi di stasi-stasi cukup banyak penurunan jumlah umat, beberapa stasi dengan komposisi penduduk tua.
    Dengan kondisi demikian tak sedikit umat yang menolak membaptis putra-putrinya dengan alasan kebebasan atau mengantisipasi jika nanti putra-putrinya mendapat jodoh berbeda agama.

    Berkaitan dengan keprihatinan-keprihatinan tersebut, saya senang jika pak Stef, bu Inggrid, juga sahabat-sahabat lainnya bersedia berbagi pengalaman dalam forum ini.

    Salam kasih.

    • Shalom Septina,

      1. Bosan dalam Gereja Katolik?

      Memang mungkin saja ada orang yang merasa bosan dalam Gereja Katolik, namun seseorang yang sungguh memahami ajaran iman Katolik, seharusnya tidak akan pernah merasa bosan menjadi Katolik. Kemungkinan orang menjadi bosan, karena kurang paham akan imannya. Maka yang perlu diusahakan adalah, bagaimana supaya umat Katolik lebih memahami ajaran iman Katolik. Di sinilah peran keluarga menjadi penting, dan besarlah tugas dan tanggung jawab orang tua, agar anak-anak dapat memahami ajaran imannya dan karena itu tidak ‘bosan’ menjadi Katolik.

      Hal panca tugas Gereja dalam keluarga, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

      2. Kurang pemerhati?

      Umat yang aktif di gereja hanya itu-itu saja, nampaknya menjadi problem yang umum terjadi. Ini merupakan keprihatinan dan tantangan bersama. Maka perlu diusahakan penggiatan umat. Silakan, jika Anda mempunyai keprihatinan ini, untuk mendiskusikannya dengan pastor paroki.

      Sesuatu yang dapat dicoba adalah membuat semacam rencana untuk mengembangkan umat basis di lingkungan, entah melalui Misa lingkungan ataupun doa rosario, pendalaman Kitab Suci ataupun kegiatan bersama lainnya, yang dapat menjadikan umat bertemu dalam kelompok kecil dan dalam waktu yang teratur, agar umat dapat bertumbuh dalam komunitas dan memperoleh siraman rohani.

      Jika Anda mempunyai masukan terhadap guru-guru sekolah Katolik di lingkungan Anda, silakan menyampaikannya secara tertulis, mungkin kepada pimpinan sekolah tersebut. Semoga dapat direnungkan dan dapat ditindaklanjuti.

      3. Sekolah Katolik mahal?

      Ya, ini juga merupakan keprihatinan bersama. Tidak mudah menyiasati keadaan ini, dan mungkin diperlukan terobosan baru untuk memperoleh dana operasional sekolah. Sayang Katolisitas tidak berkompeten untuk memberikan solusi dalam hal ini. Problem ini tak hanya dialami di Indonesia, namun juga di negara-negara lain, di mana sekolah-sekolah Katolik harus secara kreatif menggalang dana agar proses pendidikan dapat berlangsung.

      4. Sulit mencari umat dengan pendidikan yang cukup- dalam hal katekese?

      Mungkin ini adalah fakta yang harus membuat kita semua prihatin, namun tidak untuk membuat kita berputus asa. Mari melakukan apa yang menjadi bagian kita dalam hal katekese. Pertama, kita memulainya dalam lingkungan keluarga kita, dan lalu jika sudah dilakukan, dan bersamaan dengan itu kita dapat melibatkan diri dalam kegiatan di lingkungan dan paroki. Mari mengingat pepatah ini, “Daripada mengutuki kegelapan, mari bersama menyalakan lilin”. Tiada hal yang terlambat untuk memulai sesuatu yang baik. Mari kita membekali diri dengan pengetahuan dan penghayatan iman yang baik, supaya dengan cara yang sederhana, kita dapat meneruskannya kepada orang-orang di sekitar kita.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • bu Inggrid,,senang saya bisa berjumpa dengan anda.. saya begitu prihatin dengan debat2 yang menjelek jelekkan kita,, di fb terutama,,apa yang bisa saya buat untuk hal ini ?? ikut dalam debat atau bagaimana Bu?

        [Dari Katolisitas: Pertama-tama kenalilah terlebih dahulu ajaran iman kita, sehingga jika kesempatan itu datang untuk memberi pertanggungjawaban akan ajaran iman kita, kita dapat melakukannya, dengan kasih (lih. 1 Pet 3:15). Tidak perlu membalas orang yang menjelek-jelekkan agama kita, orang tersebut sudah menunjukkan sendiri kualitas imannya dari perbuatannya itu. Kita tidak perlu menjelek-jelekkan iman orang lain, dalam kehidupan kita sebagai seorang murid Kristus].

      • Syalom bu Ingrid,
        Mengenai bosan ke gereja. Ada yang sedikit saya pertanyakan
        Mengapa di gereja katolik homilinya tidak seperti di gereja-gereja protestan yang kotbahnya berapi2?
        Terima kasih

        [Dari Katolisitas: Nampaknya, secara umum memang ada perbedaan cara penyampaian homili di Gereja Katolik dan khotbah di gereja-gereja non-Katolik. Umumnya khotbah para pastor itu lebih ‘kalem’ dan apa adanya. Namun sesungguhnya yang lebih penting adalah isinya, dan bukan semata-mata cara penyampaiannya. Memang cara penyampaian itu penting, tetapi mari kita fokuskan kepada apa yang disampaikan dan tidak hanya kepada cara penyampaiannya. Mari kita mendukung para imam dengan doa-doa kita, agar mereka dapat menyampaikan homili dan pengajaran iman dengan baik, sehingga dapat dimengerti oleh umat.]

  5. Para pengasuh yang baik,
    Mohon izin menggunakan artikel ini untuk bahan tulisan saya. Saya mendapat tugas dari Tim Litbang Paroki untuk melakukan analisis terhadap pendampingan iman anak di Paroki kami. Hasil analisis kami pergunakan untuk kepentingan sendiri. Terima kasih. Tuhan memberkati

    [Dari Katolisitas: Silakan menggunakannya, dan mohon menyebutkan sumbernya, yaitu dari situs katolisitas.org. Terima kasih.]

  6. Team Katoliksitas yang baik,

    Saya senang dengan mengikuti Misa bersama yang terdiri dari bayi, anak-anak, remaja dan orang tua seperti masa kecil saya dulu bergabung jadi satu. Tapi sekarang, kenapa ada gereja katolik yang mengadakan misa (dihari minggu),… dalam waktu bersamaan orang tua terpisah dengan anak-anak (dipisahkan) diruangan berbeda. Memang sih tidak diwajibkan. Terus terang hati kecil saya mengatakan bahwa tidak setuju dengan cara yang demikian. Apakah bisa begini? Bukankah MISA itu diikuti oleh semua Umat katolik? Terlepas dia bayi, anak-anak, remaja dan atau orang tua? Disini kita sebagai orang tua wajib memberikan contoh buat mereka anak-anak dan remaja khususnya bagaimana sikap kita dalam Misa dan atau Ibadat. Untuk Anak-anak dan remaja katolik, kita berikan waktu terpisah untuk pembinaan Iman anak dan remaja.

    Maaf merepotkan dan saya sangat mengharapkan nasihat atau tanggapan yang bijak dari katoliksitas

    Terima dan Salam Damai Kristus buat kita semua

    • Shalom Aurelia,

      Memang di satu sisi, kalau anak-anak ikut Misa maka mereka dapat mulai terbiasa dengan Misa. Orang tua yang baik akan mencoba membimbing anak-anak mereka sehingga anak-anak dapat semakin mengenal dan mengasihi Ekaristi. Namun, di satu sisi, kalau orang tua tidak dapat membimbing dan menjadi anak-anak dengan baik, maka Misa akan menjadi gaduh dan dapat mengganggu konsentrasi umat yang lain. Jadi, memang diperlukan kerjasama dari orang tua agar dapat mengatur anak-anaknya dengan baik. Kalau anak-anak terbiasa dengan Misa dan dibimbing dengan baik, maka anak-anak juga dapat dengan tenang mengikuti Ekaristi. Menurut pengalaman saya pribadi, anak-anak akan berlaku lebih baik jika mereka duduk di bagian depan, sehingga mereka dapat melihat dan memperhatikan apa yang terjadi di altar. Di satu sisi, memang sekolah minggu juga sesuatu yang baik, karena menjadi kesempatan bagi anak-anak untuk dapat bersosialisasi dengan teman-teman gereja serta belajar iman yang dipresentasikan sesuai dengan tingkatan mereka.

      Kalau memang Anda sungguh berniat untuk membawa anak-anak ke gereja untuk mengikuti Misa dan juga menginginkan anak-anak Anda untuk bergabung dalam sekolah minggu, maka Anda dapat mengikuti Misa sebelumnya bersama-sama dengan anak-anak dan kemudian membiarkan anak-anak untuk bergabung dalam sekolah minggu setelah misa selesai.

      Pada akhirnya, orang tua adalah pendidik anak-anak yang utama dalam keluarga. Oleh karena itu, kalau Anda memutuskan untuk membawa anak-anak ke Misa tanpa sekolah minggu, maka menjadi kewajiban Anda dan pasangan untuk memberikan pendidikan iman Katolik bagi anak-anak. Sebaliknya Anda juga dapat dibantu oleh guru-guru sekolah Minggu ketika Anda mengirimkan anak-anak Anda untuk mengikuti sekolah Minggu, walaupun Anda juga tetap menjadi pendidik utama bagi anak-anak Anda. Bicarakan hal ini dengan pasangan Anda, sehingga diperoleh jalan keluar yang baik untuk memberikan pendidikan iman Katolik yang terbaik bagi anak-anak Anda. Semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  7. Yth. Pengasuh Katolisitas.org serta para pembaca yang budiman.

    Kita dan/atau sebagian orang barangkali sering mendengar ungkapan bahwa hidup ini adalah perjuangan, pilihan, pengorbanan, peziarahan, atau ungkapan lainnya. Sejatinya kita tidak bisa memilih di mana, bagaimana, dan saat kapan kita terlahir ke dunia ini. Segala sesuatu yang baik untuk kehidupan ada baiknya dan memang harus senantiasa kita upayakan demi mencapai kesempurnaan hidup tidak terkecuali persiapan akan kehidupan kelak(mencapai surga kekal).

    Jika saya kembali di mana dan bagaimana saya dilahirkan, saya sangat bersyukur terlahir dalam keluarga Katolik dan terbaptis di Gereja Katolik. Seiring waktu saya tumbuh dan berkembang dengan latar belakang ekonomi orang tua dikatakan pas-pasan pun tidak (tdk salah kalau disebut gali lobang tutup lobang). Dengan realitas seperti itu saya (kami anak-anak dari orang tua) mengalami sendiri adalah suatu kenyataan yang jauh dari harapan bahwa orang tua mampu untuk menjadi pelaku utama dalam membina iman anak. Bisa dikatakan hampir seluruh waktu (karena tuntutan situasi) terpakai untuk bekerja serta memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup, di samping tingkat pendidikan yang rendah yang kemungkinan besar bagi orang tua (kami) akan kewalahan dalam penguasaan juga dalam mengutarakan maksud/berkomunikasi dalam bentuk bahasa logika (penalaran) yang terstruktur.

    Sampai pada masa usia remaja pertumbuhan iman ke-Katolikan saya, saya peroleh dengan mengikuti rutinitas Gereja (stasi) lewat ibadah hari Minggu (dulu masih ada sekolah Minggu), doa lingkungan di samping perayaan-perayaan Gereja lainnya. Di sisi lain di lingkungan sekolah (sejak kelas I SD hingga kelas I SMA) pelajaran agama yang saya ikuti adalah pelajaran agama Kristen (Protestan). Sekilas saya masih ingat ada buku (agama atau sejarah) yang berisikan materi timbulnya perpecahan gereja yang melahirkan Protestan adalah akibat Paus menjual surat pengampunan dosa dan yang berisikan materi abad pertengahan adalah abad kegelapan, juga pelajaran Biologi tentang teori evolusi Darwin.

    Satu hal yang mau saya katakan….,sejak saya mampu untuk menyadari peranan akal budi (anggaplah sejak awal umur puluhan tahun) serta tuntunan hati nurani yang tulus (sebab kata hati tidak pernah berdusta) dalam menjalani keseharian hidup, menjadi salah satu faktor dominan yang mengisi dan memperkaya kehidupan iman saya.

    Syukur kepada Allah.., bahwa saat ini (dan sampai akhir hayat nanti) saya akan tetap dalam kesatuan hirarki Gereja Katolik, walaupun kerap muncul pertanyaan dalam sanubari kenapa saya mendapat pasangan (istri) non-Katolik dan puluhan tahun silam.., patut disayangkan 2 dari 7 orang anak-anak orang tua memilih pindah gereja (Pentakostal). Sejak saya menemukan dan sering mengakses website ini saya banyak mendapat pencerahan, iman Katolik saya makin teguh.

    Bagaimana, di mana, dan kapan kita terlahir adalah hakikat yang tidak bisa kita ubah. Kendati demikian..,bagi kita yang mengaku beriman memang seharusnya kita mempersiapkan “dan sejak awal pada anak” ke mana tujuan hidup ini kelak. Bagi saya iman Katolik adalah jawabannya.

    Salam kasih dalam Kristus Tuhan.

    Palar

    Tuhan Allah yang maha baik, kiranya penyertaan-Mu senantiasa mengiringi rubrik Katolisitas.org ini, sebagaimana motto yang diusung: mengetahui dan mengasihi iman Katolik tersampaikan dan masuk ke hati setiap pembacanya. Demi Yesus Kristus Tuhan dan Pengantara kami. Amin

  8. Berkah Dalem..^^

    Bagaimana Cara yang benar untuk memberikan pengenalan “Tubuh dan Darah Kristus” kepada anak – anak calon komuni pertama?

    Terima kasih..

    __________________________________________________________________________

    Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu.
    Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.
    Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”
    Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka. ( Mrk 10:13 – 16)

    __________________________________________________________________________

    Fiat Voluntas Tua^^

    • Shalom Yohanes,

      Tentang pengenalan akan Tubuh dan Darah Kristus kepada anak-anak, intinya adalah pihak orang tua harus dengan jelas mengajarkannya kepada anak, “Itu Tubuh Kristus” setiap kali mengikuti Misa Kudus. Jadi cara yang terbaik adalah mengajak anak- anak untuk mengikuti Misa Kudus, dan jelaskan maknanya, terutama makna konsekrasi.

      (Silakan membaca kesaksian Romo Santo, klik di sini)
      sebab cara inilah yang dilakukan oleh ibu Romo Santo, yang masih membekas di ingatan Romo, bahkan mungkin perkataan ini yang turut menabur benih panggilan di hati Romo, yaitu untuk menjadi imam yang oleh kuasa Roh Kudus dapat mengubah roti itu menjadi Tubuh Tuhan.

      Cara kedua adalah, berikan teladan yang baik dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mengikuti Misa Kudus. Hal ini akan ditangkap oleh anak dengan lebih baik daripada khotbah/ penjelasan yang panjang. Silakan orang tua membaca dan merenungkan bacaan Misa sebelum mengikuti Misa. Berpakaian yang sopan ke gereja. Berdoa ataupun doa hening menjelang mengikuti Misa. Menyiapkan persembahan sejak dari rumah. Berpuasa minimal sejam sebelum Misa Kudus. Jika anak menanyakan alasan dari semua ini, katakanlah sebab kita hendak menyambut Tuhan sendiri (Tubuh dan Darah-Nya), sehingga kita perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

      Ketiga adalah mengikuti dengan sungguh-sungguh pada saat Perayaan Ekaristi. Tidak mengobrol ataupun berBBM/ sms. Dengan sendirinya juga tidak memperbolehkan anak untuk makan dan minum saat Misa di gereja, ataupun membawakan anak mainan atau buku komik untuk dibaca di gereja.

      Keempat adalah dengan mencari kesempatan untuk mengadakan pembicaraan dengan anak perihal iman Katolik, dan dalam kesempatan ini silakan menjelaskan misteri kasih Tuhan ini. Penekanannya adalah karena Tuhan Yesus adalah Allah yang mampu melakukan segalanya, maka Ia mampu juga untuk mengubah roti dan anggur itu menjadi Tubuh dan Darah-Nya, agar dengan demikian Ia dapat masuk ke dalam tubuh kita dan dekat bersatu dengan kita.

      Keempat hal ini lebih baik daripada bermain simulasi komuni-komunian. Sebab jika permainan simulasi itu tidak disambung dengan katekese yang baik, maka sesungguhnya hal itu juga tidak memberikan pemahaman iman yang baik kepada anak.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati – katolisitas.org

  9. Dear Bu Inggrid & Pak Stef,

    Di lingkungan, saat ini saya diminta untuk membantu mengaktifkan BIA yang “hidup segan mati tak mau”, tapi saya bingung harus memulai dari mana.
    Meskipun saya memiliki pengalaman mengurusi Pembinaan Kaum Muda di gereja Protestan, tapi saya masih belum diteguhkan menjadi Katolik. Saya memang tidak sendirian dalam hal tersebut, tapi bersama sama dengan anggota lain dalam mengurusi BIA, dan saya ingin membantu memberi perhatian bagi perkembangan BIA di lingkungan kami.
    Di mana saya bisa memperoleh bahan2 seperti misalnya panduan/rencana kerja BIA keuskupan Agung Jakarta dan lain lain yang bisa dijadikan pedoman bagi BIA.

    Tuhan memberkati.

    • Salam Nien,

      Ibu Liria Tjahaya, dosen di fakultas Teologi Universitas Atma Jaya Jakarta yang juga ahli dan aktivis bidang Kateketik menjawab begini:

      “Mengenai buku-buku bina iman anak yang dikeluarkan oleh KAJ memang masih sangat terbatas. Buku yang memang dikeluarkan oleh Komkat KAJ adalah buku berjudul “Bina Iman Anak” yang ditulis oleh Sr.Veronika OP dan juga yang berjudul “Tuhan Sumber Gembiraku” disusun Liria Tjahaya. Kedua buku tersebut stocknya sudah lama habis dan belum dicetak lagi. Kalau arsipnya mungkin ada di kantor Komkat KAJ. Kalau diperlukan, bisa saja difoto copy. Sedangkan buku-buku bina iman anak lainnya yang selama ini sering digunakan guru-guru bina iman di KAJ adalah buku terbitan KKI yang disusun oleh mahasiswa-mahasiswa saya dari Prodi I.P Teologi Atma Jaya. Saya agak lupa judul persisnya, tapi kalau tidak salah “Sahabat Yesus”. Lalu ada beberapa lagi buku BIA yang diterbitkan KKI yang ditulis oleh Tan Mariam (bukunya agak besar). Kalau memang ingin mendapat info lebih lengkap, dapat menghubungi sekretariat KKI-KWI Jl Cut Mutia 10 Jakarta Pusat.

      Mengenai program ataupun pelatihan guru BIA KAJ, dapat menghubungi Ibu Paula Soemasta di Divisi BIA Komkat KAJ. Sekarang ini koordinator Divisi sudah digantikan oleh Ibu Lidya dari Jakarta Timur. Namun karena Ibu Lidya masih sangat baru, maka masih dapat menghubungi Ibu Paula ketua divisi terdahulu. Nomer telepon Ibu Paula akan dikirimkan ke alamat email Anda secara japri. Mudah-mudahan informasi ini cukup membantu.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

    • Salam Nien,

      saya tambahkan informasi untuk Anda, ada buku kumpulan nyanyian anak-anak. Judul “Bahtera Nuh – Lagu-lagu rohani dan Ibadat untuk anak-anak”, terbitan PML (Pusat Musik Liturgi), Yogyakarta.

      Ada pula buku “Minggu Ceria” susunan Tiffany Gunawan Putri, penerbit Pustaka Nusatama Yogyakarta.

      Carilah buku “Kreasi Cerita Alkitab dari Kertas dan Flanel” karangan Anita Henderrina, penerbit OBOR Jakarta.

      Juga buku “Samuel Kecil” – Modul Pertemuan dan Lagu Baru untuk Bina Iman Anak, karangan FX. Didik Bagiyowinadi, Pr,

      Silahkan dicari di toko buku Katolik.

      Salam
      RD. Yohanes Dwi Harsanto

  10. Syalom all,

    Salam damai di dalam Tuhan Yesus Kristus,

    Sangat menarik melihat apa yang diberbincangkan di atas dan saya yakin bahwa semua yang berpartisipasi di sini adalah yang ingin membuat kita menjadi lebih baik lagi sesuai dengan ajaran Kristus sendiri.

    Perihal pendalaman ajaran Kristiani, bagaikan membicarakan “yang mana lebih dulu, telur atau ayam?”. Ajaran Kristiani berpusat pada KASIH ALLAH; kita mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi kita dan kita juga mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri sendiri. Sebenarnya, kalau menurut saya, maaf, agak kurang tepat bila dikatakan bahwa tanggung jawab utama pendidikan Kristiani dalam keluarga diletakkan pada punggung orang tua. Makna orang tua di sini adalah orang dewasa yang sudah memiliki anak. Menurut saya, pembangunan karakter Kristiani sudah dibentuk sejak sebelum mereka menjadi orang tua, bahkan sebelum mereka menikah. Dasar dari pernikahan adalah juga cinta kasih Allah kepada manusia dan kita sebagai partner Allah juga menjadikan keluarga ‘nantinya’ adalah sebagai kerajaan Allah sehingga seluruh anggota keluarga dapat menghadirkan Pribadi Yesus di tengah-tengah keluarga maupun masyarakat.
    Banyak pasangan yang menurut saya kurang melihat dasar perkawinan ini sehingga mereka menganggap bahwa ‘Kristus’ hanya sebagai pihak ketiga yang terpisah dari keluarga sehingga banyak yang kurang menerapkan norma-norma Kristiani di dalam keluarga dan pada akhirnya juga ‘diadaptasi’ oleh sang anak.

    Sebaiknya menurut saya, kekristenan bukanlah sekedar melakukan apa yang baik menurut kehendak Allah TANPA TAHU MAKSUD dari kita melakukan segala perbuatan baik itu. Motivator utama kita melakukan perbuatan baik (mengasihi sesama) adalah karena Allah sudah lebih dahulu mengasihi kita, dan karena begitu besarnya rasa terima kasih kita kepadaNya, secara otomatis perilaku dan sikap hidup kita berarah kepada kebenaran yang diajarkan oleh Kristus. Untuk itu, sangat penting utk dilakukan pembacaan dan pendalaman Alkitab setiap hari bersama seluruh anggota keluarga dan berdoa bersama. Kita semakin mengerti apa rancangan, rencana, dan apa yang Tuhan mau dalam hidup kita, bagaimana kita harus bersikap, bertindak, dan berpikir, dan semua dibangun di dalam komunitas keluarga. Semua itu adalah semata-mata untuk pembentukan pribadi kita menjadi SERUPA dengan KRISTUS.

    Salam damai,
    Tuhan Yesus Kristus memberkati kita semua.

    Anna Clara
    (salah satu OMK St. Markus Depok II Timur)

    • Shalom Anna Clara,

      Nampaknya mungkin Anda salah paham di sini. Sebab memang ada banyak pihak yang dapat berperan dalam pendidikan Kristiani bagi anak- anak, namun pendidik utama dan terpenting bagi anak- anak adalah orang tua dari anak- anak tersebut. Ini adalah ajaran Gereja Katolik, yang jelas disebutkan di dalam Katekismus Gereja Katolik:

      KGK 1653    Kesuburan cinta kasih suami isteri terlihat juga di dalam buah-buah kehidupan moral, rohani, dan adikodrati, yang orang-tua lanjutkan kepada anak-anaknya melalui pendidikan. Orang-tua adalah pendidik yang pertama dan terpenting bagi anak- anak mereka (Bdk. Gravissimum Educationis, 3). Dalam arti ini, maka tugas mendasar dari perkawinan dan keluarga terletak dalam pengabdian kehidupan (Bdk. Familiaris Consortio 28).

      Namun apa yang anda sampaikan adalah benar bahwa ajaran Kristiani berpusat pada kasih Allah, dan dalam hal inilah orang tua memiliki peran yang sangat besar untuk menghadirkan kasih Allah ini di tengah keluarga. Hubungan kasih antara suami istri dalam keluarga (yang menjadi ayah dan ibu) harus mengikuti teladan Kristus yang memberikan diri seutuhnya kepada Mempelai-Nya yaitu Gereja-Nya, dan demikian pula sebaliknya, sehingga kasih yang total ini membuahkan anak- anak, dan dengan kasih yang total ini pula orang tua membesarkan dan mendidik anak- anak mereka.

      Mungkin Anda benar, bahwa ada banyak pasangan suami istri Katolik yang tidak menghayati makna perkawinan dan tugas perutusan mereka sebagai orang tua, dan karena itu Gereja mempunyai tugas untuk mengajar dan mengingatkan hal ini kepada umatnya. Tentu saja Gereja tidak hanya mengajarkan supaya orang berbuat baik, tanpa tahu maksud di balik perbuatan baik itu. Jika kita mempelajari dokumen pengajaran Gereja, kita akan mengetahui bahwa Gereja sungguh telah mengajarkan apa yang Anda sebutkan, bahwa kita semua dipanggil untuk hidup mengasihi, karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita.

      Apa yang Anda usulkan yaitu doa bersama keluarga dan pendalaman Kitab Suci dalam keluarga hanya mungkin dilakukan jika orang tuanya juga melakukannya [Orang tua harus menanamkan pendidikan iman kepada anak- anak mereka sedini mungkin, agar mereka dapat terdorong untuk berakar di dalam doa, Sabda Tuhan dan sakramen- sakramen], dan kemudian mendorong anak- anak untuk melakukannya bersama- sama dengan mereka.  Hal ini diajarkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Ekshortasi Apostoliknya, Familiaris Consortio.

      Sebab Kitab Suci tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri kepada anak- anak; orang tualah yang pertama- tama perlu memperkenalkan Kitab Suci kepada anak-anak dan mengajari anak- anak mereka untuk berdoa dan pergi ke gereja.

      Saya mengundang Anda untuk membaca beberapa artikel tentang perkawinan Katolik dan pendidikan iman anak yang ada di situs ini (silakan klik di judul berikut), jika Anda ingin mengetahui apakah sebenarnya yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang hal ini:

      Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik
      Dengarkanlah Seruan Familiaris Consortio
      Perkawinan Katolik vs Perkawinan Dunia
      Kemurnian di dalam Perkawinan
      Misi khusus Orang Tua: membesarkan anak secara Kristiani
      Peran Orang tua dalam pembinaan iman Anak

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  11. shallom: tentang pendidikan iman anak dan kenapa banyak umat katolik jajan rohanipindah gereja. Menurut saya akar masalah adalah terletak dalam bagaimana pendidikan iman kekaktolikan dalam keluarga. tentang hal ini ada beberapa hal inganin saya sampaikan;
    1. Menurut pengalaman saya di Stasi dan di paroki dibnyak umat kita pendidikan iman anak dalam keluarga itu merupakan tanggungjawab orangtua tapi kenyataannya orangtua dimaksud hanya ibu saja atau sebaliknya. Hal ini menyebabkanpenddikaniman anak pincaang dan tidak maksimal.
    2. Tanggungjawab umat bahwa pendidikan iman anak itu merupakan panggilan sehingga teladan hidup, kata dan perbuatan umat tidak memberikan pendidikan kepada smua anak Katolik.
    3. Soal banyak umat katolik pindah agama diantara umat beberapa alasan :a. Liturgi yang kurang menarik, b. Khotbah pastor ang kurang menarik. atau alasan lain. Akan tetapi menurut saya dan saya harap kita semua sepakat bahwa soal pindah agama itu tidak lah karena alasan di atas tetapi funamen iman yang kurang kokoh. Liturgi Gereja katolik bukanlah hiburan tetapi perayaan hidup, perayaan iman akan misteri paskah.

  12. Salam kasih semuanya,

    Ya benar sekali pak stef and bu ingrid. Saya pribadi amat sangat setuju dan mendukung dengan kutipan ke 7 dan 8 di atas bahwa
    “Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak mereka”[7].
    Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi anak- anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah. Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan kepada orang lain.[8]

    Menyadari pula bahwa kehidupan dan gaya hidup jaman sekarang adalah suatu tantangan, namun bukan suatu kompetisi. Mendidik anak tentunya memerlukan kerendahan hati, usaha keras dan kerjasama dalam menjalankannya. Sungguh amat disayangkan apabila kesempatan emas tersebut tidak dinikmati sebagai suatu anugerah Allah dan menjadi sia-sia bila hanya dipercayakan kepada orang lain begitu saja.

  13. iya neh…saya kan punya sebuah FORUM TK dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). bisa klik di sini:

    http://www.facebook.com/home.php?sk=group_162447820470702&ap=1

    dan situs pendidikan anak usia dini saya di: http://www.lagu2anak.blogspot.com

    saya heran, kok yang gabung kebanyakan bunda2 yang berjilbab ya? Temen2 dari Katolik hampir tidak ada…

    Di tempat saudara2 kita yang muslim, ada banyak pendongeng profesional yang mengajar rohani kepada anak2 melalui media dongeng…dan banyak pula pengembangan2 lain sebagai sarana pendidikan anak usia dini lewat seminar2 (dan tiap saya hadir, saya lihat lebih banyak dikunjungi pendidik2 anak usia dini yang berjilbab)…

    tapi di tempat kita kok jarang saya mendengar…sepertinya berjalan gitu2 aja….kalau ada..saya pengen tahu, gimana perkembangannya?

    Siapa yang peduli dengan dunia anak-anak bisa gabung di FORUM TK dan PAUD….
    kebetulan saya adalah pencipta lagu anak…saya ingin sekali mengembangkannya menjadi sebuah pelayanan rohani lewat lagu2 yang saya ciptakan..siapa tahu ada saudara seoman yang mau diajak kolaburasi…Kebetulan saya juga bekerja sebagai guru spesialis anak TK dan SD… :)

    Terima kasih..

    Berkah Dalem

    [Dari Katolisitas: Terima kasih atas informasi ini. Semoga ada banyak pembaca yang juga dapat bergabung di sana]

  14. Barusan ini saya membantu menyusun program anak-2 untuk retret, kita ambil banyak bahan dari catholicmom.com. Saya rasa bahan ini bisa dipakai dan disesuaikan untuk dipakai di rumah dan mungkin juga untuk bina iman. Untuk mengajar anak-2 tentang Misa, ada workbook dari http://www.therealpresence.org/eucharst/mir/emc_book_002.htm
    Kalau anak-2 tahu ada Yesus di Tabernakel, ada Yesus di Misa, saya rasa mereka akan sadar pentingnya Misa. Pergi ke Misa sekeluarga bisa jadi tradisi keluarga, saya sendiri suka kangen pergi Misa sekeluarga (orang tua tinggal di kota lain).
    Sakramen tobat bisa diajarkan sebagai uluran kasih Alah, supaya tidak takut mengaku dosa. Ada teman saya yang mengajari anaknya kalau mengaku dosa itu seperti duduk dipangku Yesus dan mereka bisa cerita apapun kesalahan/kelemahan mereka. Kalau orang tua rajin mengaku dosa, saya rasa anak-2 juga akan ikut, jadi orang tuanya memang perlu kasih contoh.

    Saran untuk tim katolisitas: mungkin topik katekesis untuk anak-2 bisa dikembangkan dengan bahan-2 yang bisa dipakai untuk orang tua dan paroki/sekolah? (bahan untuk anak TK, SD, …)

    [dari katolisitas: Memang idealnya ada bahan-bahan katekesis untuk anak-anak. Topik pendidikan dalam keluarga akan dibahas pada temu darat katolisitas 3, nanti bulan Mei. Yang menjadi kendala adalah sumber daya yang benar-benar mau membantu untuk menangani bidang katekesis ini. Semoga saja, suatu saat ada orang yang ahli di bidangnya dan mau membantu. Mohon doanya.]

  15. Dear Antonius H,

    Saya memahami apa yg anda tentang, namun saya hanya mengkritisi kelemahan tehnik/cara berpidato para imam kita……Mengapa hal itu sy kemukakan karena kita tidak sendirian, ada persaingan yg nyata didalam kehidupan kita dalam hal iman ( Katolik dan Protestan ). Pertanyaannya mengapa mereka Protestan berhasil dalam menggaet /mempengaruhi umat kita sehingga pindah ? Saya rasa sampeyan sudah tahu WHY ? Ada dua yaitu secara External dan Internal.
    Sy mau melihat dari sisi internalnya dulu baru nanti suatu saat ke externalnya.
    Nah sisi internal ini yg sy bahas adalah technik berkotbah imam kita. Cat walopun masalah internal lain masih banyak.

    Saya tidak yakin kalo penkotbah yg ulung/jago tidak banyak umatnya ato pengikutnya. Sy tidak tahu apakh pendeta yg anda ceritakan itu hanya meyenangkan sampeyan. karena sampeyan menyebutkan asumsi “buat apa berkoar2 tapi tidak ada yg mendengar” Yakinkah anda ? ini namanya fatamorgana,apalagi klo kotbatnya asal2an….mungking tidur kali ye umatnya…..
    Pasti mereka mendengar……..sy yakin 100%. Jadi memang sy berasumsi salah kepada anda.
    Sy maafin khok.

    Hipnotize..? Ngeri…? hemmmm rupanya anda memahami bahwa hipnotize adalah black magic di pikiran anda. Maksud sy adalah bagaimana anda berbicara sehingga apa yg anda kehendaki/harapkan terhadap orang tersebut orang itu melakukannya tidak dengan cara black magic,namun dengan mempengaruhi pikiran mereka sehingga mereka terhanyut dengan pikiran dan kehendak anda.

    Anda menulis bahwa “Seorg romo pernah berucap ke saya : Saya bukan entertainer dan penghibur telinga kamu, saya bertugas menjadi corong suara kebenaran ajaran gereja Katolik. Yg tdk suka dengar saya, saya tdk peduli”.

    Nah disinilah letaknya kelemahan statement tersebut. Kiat tahu dan paham romo adalah bukan entertainer bagi orang umum tapi Romo menurut pandangan saya harus seorang entertainer rohani/suara kebenaran/firman Tuhan/Iman Katolik dan bukan eternainer hiburan….

    Sungguh sangat disayangkan peryataan romo tersebut untuk tidak peduli terhadap yg tidak mendengar.
    Mungkin romonya suaranya kaga jelas kali yaa…
    Sebaiknya dievaluasi mengapa tidak mendengar..?

    Demikian teman….Lov u

  16. Dear Iso Inigo,

    Thank untuk tanggapan sampeyan.
    Sampeyan berkata :
    Saya tidak setuju kalo kotbah imam Katolik diwajibkan gaya hipnotis-brainwash-provokatif ataupun seperti pendeta evangelis pentakostal atau protestan aliran tertentu yang berapi-api.
    Tanggapan : OK sy memahami cara pidato yg menurut anda setujui. Tapi mungkin sy perlu jelaskan gaya hynotize disini bukan dengan cara black magic ato sejenisnya,tentu sangat dilaranag dalam iman kita.
    Yg saya maksud adalah bagaimana anda berbicara sehingga apa yg anda kehendaki/harapkan terhadap orang tersebut orang itu melakukannya.
    Brainwash adalah cara firman Tuhan itu dapat tertanam dengan baik didalam pikiran setiap orang dan dapat menggugah hati untuk melakukan firmanNya. Cat : sekarang sdh agak banyak umat nancap/hafal/tahu firman2 Tuhan bahkan ayat2nya serta paham esensi/maknanya. Tapi juga masih banyak yg kaga ngerti.
    Provokatif, artinya adalah harus ada breakthrough/greget/gebrakan apa didalam pesan firman/injil yg dibawakan kepada umat sehingga benar2 Heboh gitu….
    Saya tidak ngambil dari para pendeta2 tapi dari training2 yg saya dapat yg hasilnya memang sungguh luar biasa. Cuma sayang hand-outnya pada ilang.
    Sampeyan berkata : lebih baik isinya dari pada bungkusnya…….
    Hemmm bagaimana kalo keduanya isi maupun bungkusnya OK ? sayang cincin berlian dibungkus pake daun pisang,sayang anda ganteng n cakep pake celana/baju gembel…dll.

    Selebihnya saya setuju dengan apa yg anda ceritakan tentang keberhasilan karya2 imam/pastor kita.
    Hal itu makin sempurna kalo dilengkapi dengan senjata tehnik/cara2 kotbah yg meyakinkan bukan.

    Salom mas untuk umat diSemarang……

    • Dear Saudaraku budiaryotejo. Salam dari Semarang.
      Saya paham keprihatinan sampeyan. Tapi saya juga paham konteks Sampeyan dan konteks saya beda jauh. Saya dulu pengembara gereja-gereja protestan dan evangelis, selain mormon. Sebelum itu pun pernah di klenteng-klenteng seluruh Semarang. Tapi saya lalu ke Katolik dan damai di sini. Makanya konteks saya beda dengan konteks sampeyan yang di katolik terus. Mungkin sampeyan iri pada cara pewartaan pendeta, saya malah […. dari Katolisitas: kami edit. Mungkin maksudnya ‘tidak suka’] pada cara mereka. Mungkin Sampeyan kuatir pada Katolik yan akan direbut oleh pendeta-pendeta [dari Katolisitas: kami edit]. Saya tidak kuatir karena saya malah kebalikannya, saya dari gereja-gereja tak jelas lalu ke Gereja Katolik yang didirikan Kristus.
      Saya merasa cara kotbah pastor Katolik adalah yang pas untuk saya. Karena misa pun dibatasi jamnya. Kotbah hanya sekitar 10 menit. Pendeta bisa 2 jam, plus tata ibadatnya yang gonta-ganti corak tiap minggu bisa 4 jam. Opo Tumon??? Saya rasa Katolik sudah baik. Kalau mau ditingkatkan, saya setuju saja. Tapi saya berikan ke pastor paroki saya tentang pendapat Sampean, dan saya setuju jawabannya. Kata dia: pewartaan itu pake seluruh hidup dan telanta serta fisik pemberian Tuhan. Bisa dilatih tapi tak selalu berhasil. Tak bisa dipaksakan. Kalau dipaksakan malah jadi aneh, tidak alamiah lagi. Kalau ada pastor yang bisa begitu, baguslah. Tapi tentu tak akan jadi PASTOR SEJUTA UMAT, atau PASTOR SELEBRITI. karena tak mungkin ada di Katolik. Pendeta saya dulu ada yang sudah tua. Beda cara omongnya antara hidup harian dan di mimbar. Sehari-hari suaranya rendah saja. Tapi aneh, di dalam kotbah nadanya tinggi terus, tidak a lamiah. Bagi saya itu aneh, melelahkan. Justru yang alamiah ialah yang apa adanya dan saya suka. Homili imam paroki saya ialah seperti kata romo itu ialah seperti arti homili itu sendiri, artinya bincang-bincang mengenai Sabda Tuhan. Maka bukan teriak-teriak seperti jualan jamu di pasar Johar. Bagi saya, itu sudah bungkus yang pas. Apakah Sampeyan mengira bahwa orang protestan puas juga dengan cara pendetanya? Cobalah survey. Gak bakalan puas. Karena kalau soal bungkus, tetaplah bungkus. Isinya itu-itu saja, Mas.
      Mungkin di kesempatan bukan homili misa, imam boleh bila bisa tampil lebih heboh. Karena ada pula imam-imam yang pintar nyanyi, pintar orasi, pintar MC, pintar main musik dan sering tampil di pesta Imlek Natal, Tahun Baru, Ulang Tahun dan lain-lain dan mereka memukau. Tapi untuk misa tidak bisa begitu. Saya belum paham dengan ide sampeyan… Maaf.
      Keuskupan kami dulu ada uskup Ignatius Suharyo yang lalu dipindah ke Jakarta. Beliau bicara pelan dengan membaca kisah-kisah yang kena pada hidup sehari-hari dikaitkan dengan konteks Alkitab hari itu. Saya suka. Banyak juga yang terkesan. Homilinya singkat dan damai menggerakkan hati. Itu salah satu yang baik. Kalau Saudara Budiaryotejo kecewa dengan cara bicara atau public speaking imam-imam, silahkan ke seminari saja dan menawarkan itu di sana. Atau saran saya, segera saja hubungi pastor paroki Sampeyan lalu melatih beliau. Atau, biayai pastor untuk ikut training-training motivasi agar bisa belajar. Semoga imam-imam itu akan mewartakan dengan gaya yang berbeda. Tapi saya haqul yakin mereka akan kembali ke gayanya sendiri. Bahkan kalau saya sendiri diminta kotbah, saya pasti akan nyaman dengan gaya saya sendiri, yang bukan ikut-ikutan para motivator yang memang kerjaannya seperti itu… Menurut saya, dan saya yakin didukung banyak orang, pastor Katolik bukan kerjaan untuk cari keuntungan profesional. Tapi saya setuju untuk meningkatkan Public Speaking mereka, misalnya kalau bicara/ homili tekanan kata mesti pas, mata melihat ke umat, gerakan tangan dikit-dikit. Tapi tak lebih dari itu. Tak pantas kalau mereka bersikap seperti para motivator dan pendeta ketika dalam misa, pakai tanya-tanya orang segala, pake percobaan aneh-aneh, cari perhatian. Malah tidak hormat dan murahan di hadapan Sakramen Mahakudus dan tak hormat pada kami yang sudah berumur setengah abad lebih. Saudara Budiaryotejo, saran saya, sampeyan hubungi langsung saja imam-imam untuk latihan Public Speaking. Syukur-syukur jika ada beberapa yang lalu bisa meningkatkan mutu public speakingnya. Wassalam: Isa Inigo

      • saya sedih kaliyan berdebat saling mempertahankan pendapat masing-masing.jika bicara dalam nada seperti ini menyenangkan iblis dan setan-setannya. Allah, para malikat-Nya dan para kudus sangat sedih. mbok coba mari kita berdoa hening-relaks-tenang mendengarkan sabda Allah. apa kehendak-Nya yang sebenarnya bagi kita. yang saya dalami selama 53 tahun dengan mendengar-Nya melalui doa, meditasi,puasa, tapa, doa zikir-kalimat doa yang sama diulang-ulang ratusan-ribuan kali, membaca buku-termasuk Injil, Magisterium-Ajaran Gereja, katekese, Tradisi, membaca alam, hipnoterapi, Neuro Language Program dan terutama mendengar Tuhan melalui orang lain yang berbicara-berpendapat termasuk para pendeta, dll ternyata Tuhan menyediakan tak berhingga cara untuk membawa Kabar Baik. masing-masing punya kelebihan dan keterbatasan. namun masing-masing saling isi mengisi dan melengkapi. sebelum berpendapat coba lebih dulu berdoa, berpuasa, membaca/mende-ngarkan baik-baik pendapat dalam doa yang sehening-tenang-relaks mungkin. jauhkan emosi. kita ini bersaudara seiman yang sama-sama dengan caranya masing-masing mau digunakan Allah untuk menyalurkan rahmat Allah bagi sesama. bahwa soko guru Gereja: Injil, Ajaran Gereja dan Tradisi Gereja memang yang diajarkan supaya bertahan. caranya boleh menggunakan apa saja boleh asalkan bisa membawa jiwa bertobat kepada Kristus, termasuk hipnoterapi: merelaks-tenang-heningkan suasana masing-masing hati dan perasaan maupun suasana umum, sehingga yang pastor/katekis/pembawa kabar baik sampaikan dapat tertanam dalam di benak umat, hingga umat bertobat dan selamat jiwanya. bukankah keselamatan jiwa yang Allah inginkan, bukan? saya sebenarnya juga sudah membuat artikel pendidikan iman dan Kitab Suci sejak dini untuk presentasi umat di Purworejo yang idenya sudah saya lontarkan di tingkat Keuskupan Purwokerto dan sudah saya sharekan kepada teman dan kenalan, tinggal buat foto/vedio clip yang membuat umat langsung dong/faham. satu hal lagi tolong pelajari/jika perlu ikut Kursus Evangelisasi Pribadi-kita akan diajari dan dilatih: berteman, sharing iman, mengkisahkan Kristus, mengajak bertobat dan mengintegrasikan jiwa ke komunitas/Gereja tanpa ditolak, didoakan,dicurahi Roh Kudus, diberi teman dalam membawa Kabar Baik, sehingga kita dapat membawa Kabar Baik dengan berhasil dan kebutuhan hidup kita dicukupkan oleh Allah. tolong jangan menanggapi sebelum mempelajari sengguh-sungguh dalam keheningan, ketenangan, kesabaran, relaks lebih dahulu.

        • Shalom Ignatius Suntara, Isa Inigo, dan Budiaryotejo.

          Terima kasih atas masukan Anda, Ignatius. Sesungguhnya memang benar, sebaiknya mari, dalam pembicaraan kita di sini, kita menerapkan prinsip kelemahlembutan dan saling menghargai. Kami di Katolisitas juga sudah berusaha menyaring komentar yang masuk dan mengedit juga kata- kata yang kami pandang kurang mendukung dialog. Tetapi memang kadang setiap pembaca mempunyai gayanya tersendiri dalam mengungkapkan pandangannya. Marilah kita jangan lekas berprasangka, sebab kita percaya bahwa masing- masing pihak yang menulis komentar di sini, sebenarnya bermaksud baik.

          Benar bahwa Tuhan dapat memakai berbagai macam cara untuk menyapa kita, bahkan lewat orang- orang yang tidak seiman dengan kita. Maka mari kita mengasah kepekaan jiwa, agar kita dapat mengenali sapaan Tuhan dan menanggapinya dengan baik. Caranya yang paling sederhana adalah dengan mengadakan pemeriksaan batin, minimal sekali sehari, yaitu pada malam hari, di mana kita merenungkan perbuatan kita sepanjang hari itu (yang baik dan yang buruk/ bisa diperbaiki) dan apakah kita menyadari bahwa Tuhan ingin kita belajar sesuatu melalui pengalaman kita hari itu. Selanjutnya, meditasi, doa hening dan merenungkan firman Tuhan memang merupakan hal yang sangat membantu untuk pertumbuhan iman kita.

          Namun hal hipnoterapi sebenarnya kita harus berhati- hati, sebab Gereja Katolik tidak menganjurkannya. Tentang topik hipnoterapi ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

          Demikian tanggapan saya, semoga berguna.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

        • Salam, Ignatius Suntara, Isa Inigo, Antonius H, dan Budiaryotejo

          Saya sangat senang memperhatikan diskusi anda sekalian dalam topik ini. Permasalahan mengenai homili memang menjadi suatu tantangan dalam Gereja Katolik karena merupakan salah satu mata air yang menghidupi iman kita. Saya secara pribadi juga merasa memiliki beban untuk meningkatkan kualitas Liturgi Sabda dalam Pesta Tubuh Kristus. Saya ingin berbagi beberapa hal yang menurut saya dapat kita usahakan bersama untuk mewujudkan kepedulian kita :

          Masukan kita untuk pihak Gereja :
          Kita dapat menyumbangkan suara kita pada dewan paroki /imam dengan penuh kasih dan sopan. Seandainya ada hal yang perlu dibangun dari setiap imam, saya yakin kita boleh menyampaikannya kepada setiap imam dalam bentuk usulan konkret. Bisa saja, imam yang ditugaskan dalam setiap paroki berasal dari daerah lain sehingga wajar bila terjadi perbedaan cara penyampaian. Bisa pula, homili kurang menyentuh ranah realitas sehari-hari sehingga boleh kita minta imam menyampaikan contoh konkret dalam homili. Setiap perbaikan yang diperlukan adalah kasuistis dari satu imam ke imam lain. Oleh sebab itu, masukan umat sangatlah berharga.

          Masukan kita untuk diri dan sesama kita :
          Liturgi Sabda adalah kesiapan dari kedua belah pihak. Saya selalu menuntut dan mengingatkan diri saya dalam Misa Kudus bahwa saya sedang mempersembahkan diri pada Allah sekaligus menerima karunia Allah.

          Dalam hal mempersembahkan diri, berarti saya menyiapkan hati untuk berusaha mendengarkan dan mencari apa kehendak Allah dalam setiap homili.
          Terkadang memang sulit dilakukan, terutama bila imam kurang menarik dalam menyajikan homili. Mata mengantuk, jeritan anak kecil, dan topik homili yang tidak jelas merupakan tantangan yang harus saya antisipasi. Oleh sebab itu, saya selalu mengingatkan diri bahwa, selain datang untuk memohon rahmat melalui Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi, saya termasuk dalam pelayan dalam Misa. Saya memberikan diri saya karena itulah yang bisa saya berikan.

          Dalam hal menerima karunia Allah, saya selalu berusaha mensyukuri apa yang Allah beri pada saya setiap misa : termasuk para imam yang membuat ngantuk (hahahaha). Saya berusaha menempatkan hati pada posisi percaya penuh bahwa apa yang terhidang di Misa hari ini adalah anugerah dari Allah. Mungkin, dengan homili yang tidak jelas, saya dipacu untuk mempelajari Kitab Suci lebih baik. Mungkin, dengan imam yang membuat ngantuk, saya dipacu untuk membaca dan mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum Misa Kudus agar tidak mengantuk. Apapun yang Allah berikan pada setiap Misa, pasti bermakna. Sekalipun dalam Misa yang dipenuhi jeritan balita, imam yang menidurkan, dan ruangan berjejal tanpa AC.

          Sekedar beberapa ide, mungkin kita yang memiliki talenta berbicara dapat menyumbangkan kemampuan dengan membagikan pengalaman cara berbicara di depan publik dengan para imam. Kita juga dapat bergabung dengan Gereja menjadi katekis atau pewarta Sabda di komunitas paroki atau lingkungan. Kita juga dapat melatih anak-anak kita untuk bersikap santun paling tidak selama Misa Kudus berlangsung. Berdasarkan kesaksian imam-imam misionaris, beberapa daerah terpencil yang merindukan datangnya imam mampu melatih anak-anak mereka yang berusia dibawah 5 tahun untuk bersikap sopan dan bernyanyi dengan lantang selama Misa Kudus. Saya yakin kita juga mampu melakukannya. Yang jelas, menurut saya memisahkan anak-anak dari Misa Kudus adalah ide yang kurang baik.

          Demikian ide-ide yang dapat saya bagikan. Terima kasih.

          Pacem,
          Ioannes

          [Dari Katolisitas: Terima kasih atas masukan yang baik ini. Semoga berguna buat kita semua]

  17. Shalom,

    Saya adalah seorang mahasiswa katolik yang tumbuh di sekolah Katolik dari sejak TK-SMA, namun tidak mendapat pengertian yang mendalam mengenai dasar iman katolik selama bersekolah. Apa yang tertulis dalam artikel ini sungguh amat sesuai dengan fakta yang terjadi. Dalam sekolah Katolik itu sendiri, mayoritas tidak mengajarkan secara mendalam mengenai Iman Katolik. Tidak ada kekhasan daripada ajaran kristiani itu sendiri. Malah yang saya alami adalah guru agama katolik yang sudah lebih ke arah pluralis. Menurut saya pribadi, ini sungguh berbahaya, karena pada akhirnya akan terjadi seperti peristiwa diatas, yaitu perpindahan seorang katolik yang tidak memahami secara mendalam iman Katoliknya ke gereja non-katolik. Kalau boleh jujur, saya juga pernah mengalami dillema untuk berpindah ke Kristen non-katolik. Namun, puji Tuhan saya berdoa dan belajar lebih mendalam secara mandiri mengenai Iman Katolik melalui buku-buku dan website-website (Terutama website ini) sehingga saya menjadi lebih mengerti dan mengurungkan niat untuk berpindah.

    Menurut saya pribadi, perlu ada gerakan pembaharuan! Mungkin, usul saya pribadi, perlu diadakan seminar-seminar dalam pengajaran untuk para guru katolik. Kontribusi dari guru agama Katolik sangat signifikan dalam pengetahuan akan Iman Katolik.

    Ini hanya sekedar sharing dan usul. Terima Kasih

    • profisiat saudaraku, sentuhan Allah kita untuk ambil bagian dalam peningkatan/pembaharuan iman agar kita makin dalam dalam misteri kasih-Nya dan dapat makin menyadari, merasakan, dan bersyukur atas kebaikan dan cinta kasih-Nya kau rasakan, setidaknya dengan ambil bagian dalam rubrik ini. hal ini sedikitpun tidak ada ruginya, tetapi justru sebaliknya, kita sangat diuntungkan dan menguntungkan semua fihak.
      pendalaman iman dapat dapat ditempuh berbagai macam cara. antara lain melalui situs ini, buku, ikut misa harian pagi-kita dapat menghirup udara pagi yang sejuk, segar, dan jernih,dapat mengahayati, merasakan dan menyadari kehadiran Allah secara istimewa dalam Ekaristi, mendapat renungan sedikit-sedikit jika sering makin akan menjadi bukit, mengalami kebersamaan dengan Allah dan sesama, selesai misa kita dapat sedikit berdiskusi dengan pastor dan teman-teman, dan masih banyak hal lain yang dapat kita petik dalam misa harian.
      akan lebih dalam lagi bila mau ambil bagian dalam kegiatan gerejani. anatara lain secara berkala kumpul dalam temu lingkungan, kumpul bareng kaum muda, kumpul bareng mahasiswa katolik, pendalaman iman. di sana kita dapat menerima banyak hal sekalian berbagi banyak hal yang kita punya kepada yang butuh.
      akan lebih dalam dan kuat lagi, jika melakukan doa hening untuk mendengarkan dan mengendapkan sabda Allah, nilai-nilai iman dan ajaran Gereja, berdoa zikir-sabda atau nilai iman yang sama didoakan berulang-ulang(lectio divina) bukan saja 3x melainkan puluhan -ratusan-ribuan kali, sehingga hafal, sungguh hidup dalam diri hati, pikiran,dan perasaan kita, serta menyemangati hidup kita baik dalam bersikap, bertutur kata maupun bertindak.
      dalam doa hening kita hanya relaks, diam, tenang, membuka diri dan mengosongkan hati dan pikiran dari berbagai hal yang tidak berkait dengan Allah, segenap pikiran dan perhatian dibawa ke dalam hati, menghadap Allah yang bertahta di dalam hati kita, menyembah-Nya, bertobat, dan mendengarkan sabda Allah-yang kita ingat/hafalkan, orang lain bacakan, atau semata-mata diam mendengarkan sabda Allah, serta merenungkannya. bukankah Allah maha cerdas,pencipta, pemilik, dan sumber segala pengetahuan, tahu segalanya, termasuk jawaban semua masalah kita? walaupun saat hening sabda-Nya belum kita dengar / fahami, pada suatu saat akan dapat kita dengar dan fahami, entah melalui otak kita, orang lain atau alam sekitar-kepada siapa atau dimana Allah juga hadir.
      akan jauh lebih kuat lagi, jika secara berkala perut kita puasakan dan kegiatan kita kosongkan dan kita isi dengan hal-hal rohani di atas, antara lain doa hening, zikir, merasakan dan merasakan kehadiran Allah. pada saatnya saudara akan diberi kekuatan luar biasa. pernah pada tahun 2000 ada dua puluhan orang muda berkopiah putih, yang sedang mengamuk melempari kaca-kaca sekolah saya, lari terbirit-birit sangat ketakutan saat saya datangi dalam doa dan kebetulan saat itu saya berpuasa. puji Tuhan, hingga saat ini dan mudah-mudahan tidak lagi mereka tidak demo merusak sekolah dan kami lagi. sebenarnya,banyak peristiwa indah yang boleh saya alami setelah saya menjalani pendalaman iman dan kitab suci, doa hening dan zikir dan puasa dan tapa. di dalam dan bersama rahamat-Nya, segalanya tersedia dan tidak ada yang perlu ditakutkan.
      sebenarnya saudara juga dipanggil untuk lebih dalam mendalami dan menghidupi iman dan Kitab Suci dan mendalamkan dan menghidupkan iman dan Kitab Suci bagi yang lain.
      salam.

  18. Salom Lucas,
    saya berkeinginan untuk membangun iman yg kuat bagi para orang tua. Pertanyaannya sederhana :
    mengapa banyak sdr kita yg katolik pindah ke protestan? Pasti jawaban anda sederhana saja ,mereka belum mengerti dan memahami iman katiolik bukan. Nah siapakah yg bertanggungjawab dalam hal ini. Ingat bahwa kita umat katolik yg ada pemim pinnya bukan, yi imam ato pastor kita.
    Nah klo perpindahan ini disebabkan tidak adanya dasar yg kuat iman katolik maka sdh brg tentu perpindahan itu gampang terjadi.
    Iman itu sendiri salah satu isinya adalah firman Tuhan bukan. Nah disinilah letaknya kelemahannya para pengkotbah kita.
    Sy sendiri tdk menghendaki cara kotbah yg ber-kobar2 n ber-api2 namun pengaturan tempo kadang diperlukan dalam setiap kotbah ato pidato dan sy setuju yg anda katakan dan terlebih adalah konteknya isi kotbah sesuai dengan firman yg dibawakan serta dapat memotivasi umat, punya pengaruh kuat dalam pikiran dan hati bagi umat (sy analogkan dengan hypnotis yg positif tanpa ada unsur blackmagic dsb), punya unsur provokatif artinya punya breakthrough point dari isi kotbah itu /firmanNya.

    Saat ini sdh mulai banyak para imam mulai melakukan perbaikan dlm kotbah walo blm semua

    Konten lain seperti prosesi dlm ekaristi, arti dan makna tentu hrs pula dipahami mengapa harus demikian dan juga diberikan penjelasan dan pengertiannya disertai dgn referensi/hostoris.

    Saya sangat yakin bila cara dan tehnik kotbah para imam demikian sangat membawa perubahan yg sangat besar bagi umat dan khususnya orang tua. Bilamana para orang tua sdh demikian fanatiknya maka sangat mudah mempengaruhi anak2nya dalam perkembangan iman mereka.

    Demikian pula dlm hal pemberitaan melalui media masa seperti tv/radio dsb klo perlu setiap imam diminta untuk expose kotbah mereka. Pengaruh media masa sangat2luar biasa,maka kitapun umat katolik harus melakukan hal yg sama dgn protestan klo kaga mau bersaing bisa berdampak buruk seperti yg sy duga.
    Sebenarnya ini adalah masalah persaingan iman berdasarkan sumber pengajaran yg sama tapi beda institusi.
    Nah manakah institusi yg aggresive dan promotitive tentu akan punya pengaruh yg besar.

    Salom Lucas ,love u

    • Maaf Sdr Budiaroyotejo, saya menambahkan satu faktor yang kurang Anda singgung yaitu penghayatan iman dalam hidup. Saya dulu ke gereja-gereja protestan dan sekte-sekte pantekostal evangelis lainnya. Saya ke sana hanya berdasarkan melihat dan mendengar lapisan kulit luar pembungkus. Nama Yesus dan Halleluya Amin disebut keras-keras seolah dengan itu semua beres. Padahal Alkitab sendiri tidak mengajarkan keberesan persoalan nyata di keluarga-keluarga, sakit penyakit dan problem sosial masyarakat hanya dengan menyebut keras-keras Yesus, Alleluia dan Amin. Saya muak. dengan gegap gempita gebyar-gebyar nada tinggi pengajaran para pendeta/evangelis yang asal kutip ayat tanpa tahu maksud penulis Alkitab. Saya justru merasakan penghayatan Gereja Katolik yang dengan rendah hati dan bijaksana mengatur ketat imam-imamnya dengan Hukum Kanonik dan disiplin demi pewartaan kebenaran Kristus itulah yang menarik saya. Bukan kulitnya saja yang memang menbuat saya pun tertarik ingin tahu (jubah imam, kasula misa, dupa, dll yang di protestan tak terlihat), tetapi keseluruhan hidup Katolik dan tata kebiasaannya hidup orang Katolik yang damai, serta tradisi yang indah mengalir sepanjang tahun liturgi (Adven-Natal-Biasa-Prapaskah-Paskah-Biasa, diseling Hari Raya, Pesta). Lagipula mengandalkan misa sebagai pelajaran agama tentu tidak pada tempatnya toh? Hanya satu jam dengan homili 10 menit mana mungkin menambah pengetahuan Katolik yang 2000 tahun itu. Maaf, menurut saya Misa bukan untuk pelajaran agama. Di luar misa-lah justru harus ada pelajaran agama. Di situlah pertemuan lingkungan dan pertemuan pelajaran kelompok-kelompok penting untuk pendalaman tema-tema tertentu di samping doa bersama. Saya setuju jika imam mengajar, seperti di paroki saya di Semarang. Imam mengajar agama beberapa session di samping session dari katekis-katekis untuk para calon baptis dewasa, ortu calon baptis bayi, penerima komuni I, calon krisma. Dan saya tidak setuju jika ini Anda sebut sebagai persaingan seolah seperti jualan obat. Gereja Katolik itu bagian dari kebenaran Ilahi, Kerajaan Allah dan karena itu dia mewartakan kebenaran itu saja. Soal yang lain mau mewartakan kebenarannya sendiri, ya terserah mereka. Saya tahu sendiri mereka ada yang dengan UUP (Ujung-ujungnya persepuluhan), itu bukan urusan kita. Saya tahu betul bahwa gereja-gereja saya dulu UUP. Mengapa? Karena Sumber pengajarannya mereka lain daripada Katolik. Sumber Pengajaran Protestan hanyalah Alkitab dan Iman pada Yesus, itupun sudah disesuaikan dengan selera pendeta. Sumber Katolik Alkitab, tradisi dan magisterium yang memang Alkitab sendiri ialah produk Gereja. Gereja Katolik menurut saya bagus menghormati orang lain dan cara-caranya. Tak pernah ada dokumen Katolik yg menyerang keyakinan agama lain. Bahkan dalam dokumen Konsili Vatikan II Katolik menghormati agama-agama lain dengan tetap mewartakan kebenaran secara santun. Soal latihan berkotbah para imam saya setuju. Kalo Anda bisa melatihnya, mengapa tidak langsung saja melatih imam tersebut? Saya kira justru tugas kita kaum awamlah untuk mewartakan kebenaran Injil dalam gereja Katolik secara lebih bersemangat, sedangkan imam -imam di bawah pengawasan uskup dan paus ialah penjaga kebenaran iman dan moralnya saja serta menjadi penjaga kesatuan Gereja Katolik. Misalnya, kita bisa mengadakan seminar-seminar dan pendalaman topik ajaran Katolik. Di situ saya yakin imam-imam kita bisa memberi masukan dengan lebih lama waktunya dan fokusnya daripada dalam misa. Bisa pula ahli seperti Pak Stef dan Bu Ingrid memberi masukan. Prosesnya direkam dan VCD/DVD nya diedarkan tanpa menjadi bisnis cari keuntungan. Tapi penyelenggaranya kita kaum awam atau Dewan paroki. Dengan itu semoga orang Katolik sendiri makin paham imannya dan menghayati iman baik dalam misa dan doa-doa maupun melibatkan diri dalam masyarakat dengan nyata. Sekali lagi cara agresif dan promotive seperti yang saya usulkan itu sajalah yang masuk akal saya. Bukan dengan biaya besar hanya untuk koar-koar “Yesus Allelua Amin” dengan meminjam stadion atau membayar mahal stasiun televisi untuk siaran heboh. Koar-koar macam itu omong kosong, tidak menyentuh kenyataan masyarakat dan hati yang dengan jujur mengasihi dan mencari kebenaran. Saya jadi ingat sindiran Yesus Luk 6:46. Mohon maaf karena jika tidak berkenan, karena sepertinya usulan Anda memang agak ekstrem. Salam saya: Isa Inigo.

      • Shalom Isa Inigo dan Budiaroyotejo,

        Terima kasih atas masukan dan tanggapannya. Secara prinsip kita semua setuju bahwa ada ruang untuk perbaikan, baik cara kotbah pastor, kehidupan umat yang tidak jarang kurang menjadi saksi Kristus yang baik, maupun proses katekese, juga kelalaian dalam melayani sesama, dll. Kembali ke kotbah pastor. Yang terpenting dalam hal ini bukanlah kotbah yang berapi-api, namun kotbah yang memaparkan kebenaran yang sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Adalah menjadi suatu tantangan bagaimana kebenaran ini dapat disampaikan dengan baik, sistematis, down to earth, sehingga umat dapat mengerti kebenaran yang disampaikan dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kebenaran tentu saja dapat disampaikan dengan gaya yang kalem maupun dengan berapi-api, dengan serius maupun agak lucu. Dua-duanya tidaklah salah – karena itu hanyalah masalah gaya. Yang terpenting, jangan mengutamakan gaya yang berapi-api dan lucu namun di satu sisi kurang mempunyai isi. Sebaliknya kebenaran juga tidak boleh disampaikan dengan bahasa yang terlalu tinggi, sehingga tidak dapat ditangkap oleh pendengar. Jadi, harus ada keseimbangan antara cara dan isi. Cara yang baik namun tidak berisi hanya akan mengupas kulit dari kebenaran dan sebaliknya isi yang berbobot tanpa cara yang baik akan membuat umat tidak dapat mengerti kebenaran tersebut. Semoga saja, para pastor dapat diberikan karunia untuk berkotbah, sehingga Sabda Allah dapat menjadi hidup dan semuanya dapat dengan tekun melaksanakan Sabda Allah dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, sebagai umat, mari kita berdoa agar kita diberi hati seorang hamba, yang membuka hati agar Sabda Tuhan dapat tumbuh dan berkembang dalam kehidupan kita.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        stef – katolisitas.org

  19. Menanggapi tentang pendidikan iman katolik bagi anak-anak sejak ini, menurut saya adalah menjadi tanggungjawab kita bersama, terutama keluraga sebagai miniatur gereja itu sendiri. Tidak hanya menjadi tanggung jawab bagi para klerus. Oleh sebab itu ketika kita sudah berusaha dengan sekuat tenaga namun ternyata godaan akhir jaman kini semakin kuat. Artinya kini kita lagi diseleksi yang taat akan mendapatkan keselamatan seperti yang dijanjikan-Nya. Walaupun kita tahu keselamatan diberikan kepada semua orang, namun ketika unsur keduniaan yang mempengaruhi untuk menjauh dari-Nya menyesal selalu datang terlambat…… Ingat! St. Petrus adalah fakta sejarah. Tuhan untuk memegang otoritas gereja-Nya.

    Salam dalam Kristus,

    Darius Leka Lawo
    Sie Komsos Gereja Katolik St. Paulus Depok

  20. Topik yang sangat bagus.
    Mohon ijin dari team katolisitas untuk disebar di paroki saya.
    Terimakasih

    Dari Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau.

    [dari katolisitas: silakan memakai artikel ini dan yang lain, dengan menyebutkan sumbernya, yaitu: http://www.katolisitas.org]

  21. Pendidikan untuk anak Katolik mengenai iman Katolik menurut saya harus meluas, semua harus bekerja sama dalam urusan yang penting ini, orangtua, guru agama Katolik di sekolah Katolik dan sekolah non-Katolik , pastor paroki, Dewan Paroki. Saya tidak mengalami pendidikan iman Katolik sejak anak-anak, merasakan betapa kekatolikan saya masih sangat jauh dari ideal di usia dewasa. Syukurlah Tuhan memampukan saya untuk secara otodidak mencari dan menemukan website-website termasuk katolisitas ini. Bagaimana jika Ortu bersikap masabodoh? Anak teman saya anaknya disekolahkan di International School pintar bahasa Inggris tetapi malah tak tahu tanda salib. Saya ejek dia bahwa nanti anakmu jadi atheis dan bagaimana tahu Yesus Jalan Kebenaran dan Hidup kekal? Eh, dia malah bilang, “yang penting minimal anakku bisa bertanggungjawab atas keputusannya?” Lhoh? Tak mungkin anak bisa bertanggungjawab jika ortunya tak bertanggungjawab. Semoga dibukalah pintu taubat bagi orangtua-orangtua Katolik yang membiarkan anak-anaknya terlantar iman Katoliknya . Terima kasih Pak Stef dan Bu Ingrid atas artikel ini. Saya harap pengajaran iman Katolik untuk calon baptis, calon komuni pertama, calon krisma, calon mempelai juga bisa ditayangkan. Terima kasih. Salam: Isa Inigo

  22. Dear bu Inggrid/Pak Pak Stef,

    saya cenderung melihat secara struktural komunitas katolik sendiri yaitu pimpinan gereja
    yang paling dekat dengan umat,yi para imam.
    Kalo kita para orang tua adalah daun dari sebuah pohon,dimana Yesus sebagai pokok pohon otu sendiri
    dan imam ato pastur/romo sebagai ranting ato dahan maka jelas disini peran para
    imam dan pastor sangat esensial didalam perkembangan iman umat/ para orang tua.
    Bagaimana orang tua dpt memberikan pencerahan/pendalaman iman kalo imam ato
    pastornya tdk dpt memberikan pencerahan/pendalaman iman.

    Sy sering mendengar dan melihat para imam/pastor dlm kotbat di misa2 sangat tidak
    kontekstual membahas injil yg dibacakan dlm misa,cara kotbah yg sangat menjemukan
    yang bikin ngantuk, dan sarana dan sarana gereja yg sangat tdk memadai.

    Nah apa impactnya? Sdh jelas hasilnya respons ato hasil yg didapat para orang tua
    setelah mereka pulang! hampa? ya sunggup menyedihkan.
    Nah bagaimana para orang tua ini dapat menjelaskan kepada anak2. kita.

    Kelemahan cara mengajar/kotbah para pastor/romo ini harus dikembangkan agar
    pengajaran itu punya kekuatan sebagai ;
    1, motivator yg kuat bagi umat khususnya buat ortu
    2, kontekstual
    3, provokatif
    4, punya sifat brainwash/cuci otak.
    5, punya sifat hypnotise

    demikian tanggapan sy.

    Salam

    Submitted on 2011/01/31 at 1:44pm

    Sekali lagi kriti sy kepada para imam/pastor/romo2

    rubah/reform cara dan tehnik kotbah yg selama ini tidak memenuhi kreteria yg sudah
    sy sebut sebelumnya. Catatan : tentu ada juga para imam yg sdh memenuhi syarat tersebut. Dipertahankan.

    tidak usah malu2 meniru gaya/tehnik para pendeta protestan yang penting hasil dari
    kotbah tersebut sangat membamgun iman para umat khususnya ortu sehingga para ortu ini
    punya fanatisme yg muncul dalam hati dan pikiran mereka akan firman Tuhan,iman katolik.

    Dengan fanatisme yg tinggi maka para orang tua akan dengan mudah membangun iman kapada
    anak2nya.

    salom

    • Shalom Budiaroyotejo,

      Terima kasih atas tanggapan dan kehadirannya dalam acara “Temu Darat Katolisitas 2“. Semoga pertemuan ini dapat berguna untuk perkembangan iman Katolik. Secara prinsip para imam adalah imamat jawaban dan kita semua yang telah dibaptis mempunyai imamat bersama. Lumen Gentium, 10 mengatakan:

      Adapun imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda hakekatnya dan bukan hanya tingkatnya, saling terarahkan. Sebab keduanya dengan cara khasnyamasing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus[16]. Dengan kekuasaan kudus yang ada padanya imam pejabat membentuk dan memimpin umat keimaman. Ia menyelenggarakan korban Ekaristi atas nama Kristus, dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama segenap umat. Sedangkan umat beriman berkat imamat rajawi mereka ikut serta dalam persembahan Ekaristi[17]. Imamat itu mereka laksanakan dalam menyambut sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif.

      Dengan demikian, baik imamat jabatan maupun imamat bersama berpartisipasi dalam imamat Kristus. Yang satu memperolehnya dengan Sakramen Imamat dan yang lain dengan Sakramen Baptis. Tugas dari imamat jabatan adalah melayani imamat bersama, terutama dalam sakramen-sakramen (terutama Ekaristi dan Pengakuan Dosa), sehingga imamat bersama dapat memperoleh kekuatan untuk menjadi saksi Kristus yang hidup dalam lingkungan dan komunitas mereka masing-masing.

      Tentang kotbah pastor, memang sudah seharusnya seorang pastor dapat menyampaikan kotbahnya dengan baik, sehingga Sabda Allah dapat dimengerti oleh para pendengarnya dan kemudian dijalankan dalam kehidupan nyata. Kotbah tidak harus dilakukan dengan berapi-api seperti kebanyakan pendeta. Namun, kotbah yang berisi harus benar-benar disampaikan secara sistematis, sehingga pesan dari kotbah dapat tertangkap dengan jelas. Romo Wanta pernah menuliskan tentang homili di sini – silakan klik. Apakah ada ruang untuk perbaikan dalam berkotbah? Tentu saja. Menurut saya pribadi, selain memang perlu mempelajari teknik berkotbah, seorang Romo memang harus benar-benar mempunyai hubungan yang begitu erat dengan Kristus, sehingga hasil dari hubungan yang istimewa ini, akan keluar dalam homilinya. Tentu saja, Romo perlu mempersiapkan kotbahnya dengan baik, sehingga dia dapat mengupas Sabda Allah dan sekaligus memberikan pemaparan bagaimana mengaplikasikan Sabda Allah dengan kehidupan sehari-hari. Dia juga harus mempraktekkan apa yang dikotbahkannya. Dengan demikian, umat dapat mendengar dan sekaligus menyaksikan romo sebagai saksi Kristus yang baik.

      Namun, sebaliknya umat juga dapat membantu dengan mendoakan para imam, agar mereka dapat terus bertumbuh dalam kekudusan. Dukunglah mereka dan dalam kesempatan yang baik ucapkan terima kasih kepada mereka, karena mereka telah menjawab panggilan Kristus menjadi imam.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

    • Shalom Budiaroyotejo,

      Anda menulis:
      Sy sering mendengar dan melihat para imam/pastor dlm kotbat di misa2 sangat tidak kontekstual membahas injil yg dibacakan dlm misa,cara kotbah yg sangat menjemukan yang bikin ngantuk, dan sarana dan sarana gereja yg sangat tdk memadai.
      Tanggapan saya:

      Setuju sekali! Saya sering menemukan keadaan seperti ini. Tetapi itu dulu…yang membuat saya merasa tidak mendapatkan apa-apa dari Misa Kudus.
      Sekarang, mau khotbahnya bagus, koornya bagus, lektornya bagus, ya syukur. Tapi kalau ndak, ya tak apa-apa. Walau khotbahnya jelek (tak sesuai konteks), koornya jelek, lektornya jelek, anak-anak kecil bikin gaduh, yang paling penting adalah saya bisa menerima Tuhan Yesus dalam rupa Sakramen Ekaristi. Itulah yang menguatkan saya.
      Khotbah yang bagus memang sangat penting, namun yang paling penting adalah kehadiran nyata Tuhan Yesus dalam Sakramen Ekaristi.
      Maka, saya tidak berani lagi menghadiri Misa Kudus dengan mengenakan sandal. Saya memutuskan haruslah layak untuk itu (terlebih lagi layak secara “hati”). Menghadiri pesta atau menemui pejabat penting saja saya rela berpakaian rapi plus sepatu, masa menghadiri Misa Kudus yang mana saya menerima Tubuh dan Darah Kristus, saya malah berpakaian sembarangan saja.
      Rasanya saya harus berterima kasih kepada seorang pastor yang dalam khotbahnya, dengan tenang dan lemah lembut telah menyampaikan kepada saya, bahwa Misa Kudus adalah pesta, dan Tuan Pestanya adalah Tuhan Yesus sendiri.
      Kata-katanya yang tak berapi-api ini telah cukup membuat saya berpikir: kalau begitu, saya menghadiri pestanya Tuhan Yesus, berarti saya dijamuNya makan hosti yang adalah benar-benar Tubuh dan DarahNya, berarti saya harus menghormati Tuan Pesta dengan berpakaian yang pantas dan sikap diri/hati yang pantas. Khotbah yang bagus…asalkan saya memberikan perhatian lebih untuk mendengarkan. Karna kata-katanya lembut, gaya bahasanya tidak memaksa.

      Jadi, menurut saya, respons ato hasil yg didapat para orang tua setelah mereka pulang tidak akan hampa, kalau kita sebagai orang tua telah “menghayati” Ekaristi sebagai yang paling penting di antara semua liturgi.

      Dan, agaknya saya kurang setuju kalau imam kita harus belajar gaya khotbah dari “mereka”. Menurut saya, biarlah imam kita berkhotbah dengan gayanya yang kalem, lembut dan tidak memaksa ini. Menurut saya – yang barangkali Anda tidak akan setuju – bukan imam yang harus belajar bagaimana berkhotbah yang benar dan baik, namun kita sebagai umatlah yang harus belajar bagaimana mendengarkan khotbah dengan benar dan baik. Sama halnya dengan: bukan Misa Kudus yang harus berubah agar dapat diterima oleh saya, namun seluruh hidup saya yang harus berubah, agar saya dapat menerima keistimewaan dari Misa Kudus.

      Salam,
      Lukas Cung

    • Budiaroyotejo ytk, perkenankanlah ikut menanggapi. Saya tidak setuju kalo kotbah imam Katolik diwajibkan gaya hipnotis-brainwash-provokatif ataupun seperti pendeta evangelis pentakostal atau protestan aliran tertentu yang berapi-api. Saya ini dulu ke gereja-gereja itu. Saya tidak damai ketika menerima kotbah emosional nada tinggi seperti itu, selain rasa sesak di dada, seperti mau meledak dan merasa paling benar di hadapan Allah dan sesama. Namun dalam homili/kotbah para imam Katolik, saya merasakan kedamaian. Ini saya kira bukan soal selera, karena saya pun memergoki imam Katolik yang berkobar-kobar seperti pendeta aliran evangelis namun tetap isinya bikin damai serta mendorong ke niat pembaharuan diri. Saya lebih mementingkan isi daripada bungkus, gaya public speaking ataupun lelucon imam. Isi kotbah pastor Katolik selalu runtut menurut bacaan dan misteri perayaan liturgi Gereja yang dirayakan. Saya kira 10-15 menit untuk homili (di kota) akan mengantar secara cukup ke misteri ekaristi yaitu Kristus sendiri yang akan umat katolik terima dalam Doa Syukur Agung dan komuni. Maaf, saya kira soal selera bisa diperdebatkan. Namun sekali lagi bagi saya, imam-imam Katolik serta uskup-uskup memang harus lebih ke isi daripada ke bentuk. Bentuk penyampaian (teknik gaya, public speaking/public appearance) memang saya setuju harus bisa dan para imam tetap harus mempelajarinya. Namun sayang sekali jika lalu dibuat-buat, apalagi “”meniru-niru” barang luaran itu. Namun segi isi, lebih-lebih KOTBAH YANG HIDUP / KESAKSIAN HIDUP IMAM tersebutlah yang lebih mengena untuk saya. Saya kenal imam-imam paroki saya di Semarang yang dengan tekun memelihara jiwa-jiwa umatnya dan mengajar calon baptisan baru. Mereka suka berkunjung ke umat yang sakit dan kesepian, mendengarkan keluhan umat, mendoakannya. Mereka membina Dewan Paroki dengan sabar. Kotbah mereka walaupun singkat dan sederhana sungguh kena di hati umatnya termasuk saya. Dalam hal ini, pendeta seterkenal apapaun sebagus apapun kotbahnya tak menandingi imam-imam yang dikasihi umat dan mengasihi umatnya itu karena mereka hidup dalam semangat kemiskinan wadat dan taat pada uskup serta benar-benar menyatu dengan umat yang susah. Mereka tak suka publikasi dan rendah hati dan suka cita melayani sakramen-sakramen untuk umatnya.Mereka tak punya kepemilikan pribadi entah mobil atau rumah apalagi istri seperti pendeta dan evangelis. Mereka memang harus tampil wajar dalam hidup harian dan berwibawa dalam mewartakan injil , namun bukan oleh karena kepemilikan barang duniawi atau teknik public speaking. Ada pula imam yang sakit, jalannya pun kaki diseret, suaranya kurang bertenaga. Namun bagi saya, di situlah saya melihat kasih mereka yang luarbiasa pada Kristus dalam diri umat. Bagi saya, persiapan diri sebelum misa pun sangat berarti karena persiapan diri untuk membuka diri terhadap sabda Tuhan hari itu, membuat saya tetap bersyukur entah kotbahnya secara teknik public speaking jelek atau baik, karena saya telah menerima sabda Tuhan dan Tubuh Kristus dalam misa. Ini hanya pendapat berdasarkan pengalaman. Tentu Anda pun punya pengalaman sendiri. Namun 2000an tahun Gereja Katolik telah berpengalaman dan saya tahu kalau ada pelajaran public speaking di seminari-seminari. Namun yang pokok ialah isi dan kesaksian hidup. Semoga membantu Saudaraku Budiaroyotejo dan mohon maaf bila tidak berkenan atau tidak sesuai yang dimaksud. Terima kasih Pak Stef dan Bu Ingrid. Salam: Isa Inigo.

    • Shalom pak Budiartotejo,
      Maaf, saya ikut komentar krn MASALAH ini yg justru oleh sebagian teman2 di katolisitas mau diluruskan agar proses katekese umat kembali ke rel yg sesuai Ajaran.
      Sama seperti bpk Isa dan Bpk Lucas Cung, maaf saya tidak setuju dgn anda. Justru pola pikir spt inilah yg amat saya tentang saat ini.
      Saya barusan bertemu dgn teman2 lama2 sdh 30 thn tdk jumpa. Salahsatu teman baikku sdh menjadi pendeta senior di suatu aliran gereja besar. Dia berucap : “Buat apa khotbah sok berisi dan berbobot spt pendeta anu di gereja anu, tapi sedikit/ tdk ada yg mendengarkan. Domba2 itu yg datang kesini termasuk encim2 dan orgsakit, org yg sdg kesusahan, sdg bangkrut bisnisnya. Mereka penuh kesesakan dan hiburan, spy saat pulang keluar gereja hati mrka dpt penghiburan”
      Saya tanya balik : “lalu selama 20 thn pelayanan ini doktrin kristologi apa yg dianut gerejamu yg sdh diajarkan dan menancap di benak umat2 mu? Apakah selama 20 thn pelayananmu kamu sdh sukses cuma sbg entertainer, motivator, dan proklamator teriakan YESUS, YESUS, HALELUYA,dll, lalu si encim2 tadi mendpt pemahaman lengkap apa ttg Yesus yg kau maksud?? Setiap teman2 komentarnya sama bahwa teman pendeta kami orator dan pengkhotbah ulung. Tdk heran jika umat yg datang pdnya juga bukan dari kalangan yg (sorry) cukup cerdas dan minat belajar teologi. Yg penting sebut dulu saja nama Yesus sekeras2nya, soal pemahaman ttg kristologi urusan tdk penting, dianggap tdk “marketing” oriented.
      Saya terus terang tdk begitu jelas orientasi Bpk, komentar saya cuma berdasatkan posting bbrpa surat Bpk saja yg blm tentu mencerminkan keseluruhan pandanagn Bpk, jadi maaf jika saya salah berasumsi ttg Bpk. Saya juga agak terkejut dgn ide bpk sokal pastor yg disarankan pakai metode Hipnotis, saya agak ngeri dengar ide ini.
      Khotbah pastor bukan utk menyenangkan telinga atau menghipnotis pendengar shg kehilangan akal budinya. khotbah pastor yg penting berbobot dlm isi, sistematis, secara audio cukup terdengar jelas, dan paling penting harus sesuai Doktrin Gereja Katolik dan menyuarakan KEBENARAN, meskipun kebenaran itu tidak populer dan tdk disukai umat.
      Beberapa romo yg saya kenal dan kagumi memiliki kualitas ini. Seorg romo pernah berucap ke saya : Saya bukan entertainer dan penghibur telinga kamu, saya bertugas menjadi corong suara kebenaran ajaran gereja Katolik. Yg tdk suka dengar saya, saya tdk peduli”. Saaya mendukung Katolisitas juga krn alasan ini bukan krn situs ini terkenal atau menghibur.
      Demikian pandanagn pribadi saya, terima kasih.
      Antonius H

  23. Artikel ini nampaknya wajib dibaca bagi para orang tua, guru agama, dan segenap aktivis Gereja baik awam maupun klerus. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan terkait masalah di atas :
    1. Dalam website Departemen Agama RI, dari 5 Bimas yang ada hanya Bimas Katolik saja yang tidak memiliki website sendiri. Yang saya temukan hanyalah struktur para pejabat. Sedangkan Bimas agama lain memiliki website yang menarik sebagai ajang promosi agamanya masing – masing. Apa kerjanya Bimas Katolik ini? Koq sepertinya tidak pernah terlihat aktivitasnya. Bimas Katolik seharusnya memikirkan bersama dengan KWI dalam hal pendidikan iman Katolik secara kongkrit. Kalau mau malas sedikit taruh saja link ke website katolisitas ini.

    2. Pelajaran Agama Katolik di sekolah terkesan hanya hafalan saja. Tidak pernah guru – guru itu mencoba menjelaskan dengan cara – cara seperti pengasuh website ini dalam menjelaskan iman Katolik. Dari pengalaman pribadi waktu SD, saya harus menunjukkan tanda tangan pastor sebagai bukti saya mengikuti Misa Minggu. Pelajaran Agama waktu itu pada hari Senin dan diberikan oleh seorang biarawati. Kalau tidak dapat menunjukkan maka akan dihukum dan seringkali berupa hukuman fisik seperti di cubit. Bagaimana seorang anak kecil dapat mengerti bahwa Yesus itu penuh kasih kalau biarawati saja seperti itu. Tidak pernah diajarkan pentingnya Misa Minggu atau menghadiri Misa harian.

    3. Masih dalam konteks sekolah, dari TK – SMA saya belajar di sekolah Katolik. Tentunya sekolah Katolik biasanya mengadakan Sakramen Tobat pada masa adven dan prapaskah. Suatu hal yang baik tapi dilakukan dengan cara yang salah. Karena yang setiap kali terjadi adalah pengumuman yang mendadak. “Bagi yang Katolik sekarang juga ke kapel untuk antri Sakramen Tobat !” Sakramen Tobat seperti yang diajarkan di website ini juga menuntut rasa menyesal dan pertobatan mendalam dari pelakunya terlebih dahulu. Rasa menyesal itu tidak bisa dibuat dalam hitungan menit. Bagaimana bisa menyesal kalau masih menikmati dosa tersebut. Tidak pernah juga diajarkan efek ilahi dari Sakramen Tobat tersebut. Hal ini sungguh amat disayangkan. Menerima Sakramen Tobat hanya seperti tentara yang disuruh wajib donor darah. Bahkan pernah sekali waktu, saat sedang antri untuk mengaku dosa, teman saya mengatakan, “Saya sebenarnya males nih ngaku dosa. Ga percaya ah manusia bisa ngampunin dosa!” Tapi karena ada wali kelas yang mantau, dengan terpaksa masuk ruang pengakuan dengan rasa penyesalan yang dibuat – buat dan juga daftar dosa yang instan.

    4. Pengalaman saya aktif di mudika menunjukkan banyak orang tua yang keberatan anaknya ikut acara Mudika walaupun kedua orangtuanya adalah Katolik. Saya bertanya dengan serius dimana komitmen orangtua dalam mendidik iman Katolik anak??

    5. Menurut KHK juga, wali baptis haruslah seseorang yang dapat menjadi teladan. Tapi seringkali yang menjadi wali baptis hanyalah om/tante dari si anak yang hanya dipakai untuk formalitas surat baptis saja. Belum pernah saya menemukan wali baptis yang sadar akan tanggung jawabnya untuk ikut mendidik iman Katolik anak tersebut.

    6. Dalam doa – doa di lingkungan sangat jarang orang tua yang membawa seluruh anaknya untuk ikut hadir dalam rosario bersama atau pendalaman lingkungan. Biasanya hanya kedua orangtua yang datang dengan alasan anak – anaknya sibuk mengerjakan tugas sekolah atau orang tuanya malas datang dengan seribu alasan sehingga anaknya yang diutus untuk mewakili keluarga tersebut untuk datang. Tidak jarang pula, kesempatan doa bersama di lingkungan tidak dipakai untuk menumbuhkan iman sesama tetapi menjadi ajang gosip ibu – ibu dan seringkali mulut ibu – ibu ini kalau sudah gosip jahatnya bukan main. Hal ini yang membuat saya pribadi malas datang ke doa bersama di lingkungan.

    7. Banyak orang tua juga yang tidak menganggap penting untuk hadir dalam Misa Minggu. Kalau sempat datang ya syukur, kalau tidak sempat ya sudah minggu depan lagi. Juga banyak orang tua yang mengijinkan anaknya tidak ikut ke Gereja dengan alasan tugas sekolah. Hari Minggu baru mengerjakan tugas sekolah, kemarin ngapain saja?

    Semoga menjadi perhatian kita bersama untuk saling mengingatkan.
    Damai Kristus

Comments are closed.