Home Blog Page 33

Vitamin B1-7 rohani: Berharap, berjaga, bertobat, berdoa, bermatiraga, belajar, berbuat kasih

0
Sumber gambar: http://www.sacristies-of-the-world.com/wp-content/uploads/2013/12/Advent-Wreath-week-2.jpg

[Hari Minggu Kedua Adven: Bar 5:1-9; Mzm 125:1-6; Flp 1:4-6,8-11; Luk 3:1-6]

Adven adalah masa Gereja memulai kembali siklus perjalanannya merenungkan misteri kehidupan Kristus, suatu misteri yang begitu dalam dan tak habis- habisnya untuk diresapkan dalam kehidupan umat beriman. Sebab sesungguhnya, hidup kita di dunia merupakan masa Adven yang panjang untuk menantikan kedatangan Kristus yang kedua di akhir zaman. Sebagaimana kedatangan Kristus yang pertama telah dinanti-nantikan oleh bangsa pilihan Allah, demikian juga, kedatangan-Nya yang kedua dinanti-nantikan oleh Gereja, sebagai bangsa pilihan Allah yang baru. Sebagaimana kedatangan Kristus yang pertama merupakan peristiwa yang nyata dalam sejarah, kedatangan-Nya yang kedua juga demikian. Karena itu, kita mempunyai suatu harapan yang nyata dan pasti, bahwa Kristus akan datang kembali untuk mengambil bagi-Nya, kita semua yang telah menjadi milik-Nya. Namun demikian, Kristus menyatakan pengharapan ini harus diwujudkan dengan sikap berjaga-jaga (lih. Mat 24:42; Mrk 13:33). Sebagai umat beriman kita berjaga-jaga, baik untuk menantikan kedatangan-Nya di akhir zaman, maupun di saat kematian kita, ataupun saat kita merenungkan tiap-tiap tahun menjelang peringatan hari kelahiran-Nya di dunia.

St. Yohanes Paulus II dalam salah satu khotbahnya tentang Adven tahun 2001 mengatakan, “Syukur kepada-Nya [Kristus], sejarah umat manusia berjalan sebagai ziarah menuju penggenapan Kerajaan Allah yang telah dimulainya dengan Inkarnasi-Nya dan kemenangan-Nya atas dosa dan maut. Untuk alasan ini, Adven sama artinya dengan pengharapan: bukan penantian sia-sia… tetapi kepercayaan yang nyata dan pasti tentang kedatangan kembali, Ia yang telah mengunjungi kita… Ini adalah sebuah harapan yang mendorong sikap berjaga-jaga, kebajikan khas dari masa liturgis yang khusus ini. Berjaga-jaga dalam doa, yang dibantu oleh harapan penuh kasih; berjaga-jaga dalam dinamika belas kasih yang nyata, dengan kesadaran bahwa Kerajaan Allah datang mendekat bilamana orang-orang belajar hidup sebagai saudara” (St. Paus Yohanes Paulus II, Homili, 2 Des 2001). Namun kenyataannya, hidup sebagai saudara tidak selamanya mudah bagi semua bangsa dan bagi semua orang. Karena itu, di masa Adven tahun yang sama itu, Paus Yohanes Paulus II mengkhususkan satu hari bagi seluruh umat beriman untuk melakukan doa puasa, dengan ujud memohon perdamaian kepada Allah. Hal puasa atau matiraga bagi Gereja bukan merupakan sesuatu yang baru, melainkan sudah menjadi ungkapan umum yang diajarkan dalam Kitab Suci sebagai ungkapan pertobatan. Ini sejalan dengan makna masa Adven. Paus mengatakan, “Puasa menyatakan penyesalan dari suatu kesalahan, tapi juga maksud untuk mengambil tanggung jawab dengan mengakui dosa-dosa kita dan bertekad untuk mengembalikan hati dan perbuatan kita kepada keadilan yang lebih besar, terhadap Allah dan sesama. Dengan berpuasa, kita mengakui dengan kerendahan hati yang meyakinkan, bahwa pembaruan diri dan masyarakat hanya dapat berasal dari Allah… Di luar bentuk-bentuk kesalehan yang palsu…, puasa memungkinkan orang untuk membagi rezeki sehari-hari dengan mereka yang tidak memilikinya.” (St. Paus Yohanes Paulus II, Homili, 9 Des 2001). Demikianlah, seorang yang sungguh bertobat juga adalah seorang yang berdoa, yang mau bermatiraga demi melakukan silih bagi dosa-dosanya dan dosa-dosa sesamanya. Di masa Adven ini, Gereja mendorong kita untuk menjadi semakin reflektif, memeriksa diri kita, apakah kita sudah mempunyai kekudusan untuk memandang Allah, jika Allah datang di hadapan kita pada saat ini. Jika belum, kita dipanggil untuk merendahkan hati di hadapan-Nya, dan mengakui segala kesalahan dan dosa-dosa kita. Memasuki Tahun Kerahiman Ilahi tanggal 8 Desember ini, kita diingatkan bahwa kerahiman Allah jauh melampaui dosa-dosa kita. Asalkan kita sungguh bertobat—dan mengakui dosa-dosa kita dalam sakramen Tobat—Tuhan akan menerima kita kembali dan memperbarui hidup kita. Kita akan “dituntun dengan sukacita oleh Allah, oleh cahaya kemuliaan-Nya dan dengan belas kasihan dan kebenaran-Nya” (Bar 5:9). Dalam belas kasih dan kebenaran Allah inilah kita menyongsong kedatangan Kristus, yang akan kita rayakan pada hari Natal, maupun kelak saat Ia datang kembali di akhir zaman.

Belas kasih dan kebenaran Allah inilah yang diwartakan dalam Berita Injil. Dan karena itu, Rasul Paulus mengingatkan kita untuk bertumbuh dalam kasih dan kebenaran Allah itu. Ia mendoakan kita, “Semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga  kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus…” (Flp 1:9-10). Setelah kita diampuni dan menerima rahmat belas kasih Allah, kitapun dipanggil untuk meneruskan belas kasih Allah itu dalam kebenaran dan kebaikan kepada sesama. Dan hanya dengan demikian kita dapat bertumbuh dalam kekudusan yang dikehendaki oleh Allah. Nyatalah bahwa sikap kerendahan hati yang diajarkan oleh Yohanes Pembaptis dalam Injil maksudnya tidak hanya untuk memangkas kesombongan kita, tetapi juga untuk mengisi kekosongan hati kita dengan pengertian yang benar akan belas kasih dan kebenaran Allah. Kerendahan hati membuat kita selalu bersedia memperbaiki diri, namun juga bersedia belajar untuk mengisi pundi-pundi hati kita dengan pengetahuan yang benar akan perintah dan kehendak Allah. Sebab dengan pengertian yang benar akan kehendak-Nya, kita akan dimampukan untuk melakukan apa yang sungguh baik dan kudus, yang berkenan kepada Tuhan dan mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya.

Adven adalah masa penantian akan kedatangan Tuhan, sebuah kesempatan bagi   kita untuk berharap, berjaga, bertobat, berdoa, bermatiraga, belajar dan berbuat kasih. Semua ini adalah vitamin rohani yang mempersiapkan jiwa kita untuk bertemu dengan Tuhan Yesus. Paus Fransiskus dalam homili Adven tahun 2013 lalu mengatakan, “Apakah kalian ingin bertemu Yesus dalam hidup kalian? Ya? Hal ini penting dalam kehidupan Kristiani. Hari ini, dengan meterai Roh Kudus, kalian akan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk perjalanan itu, untuk perjumpaan dengan Yesus itu. Ambillah keberanian, jangan takut! Hidup adalah perjalanan ini. Dan hadiah yang paling indah adalah untuk bertemu Yesus. Majulah, beranilah!” (Paus Fransiskus, 1 Des 2013)

Hai, jiwaku, berharaplah dan berjalanlah dalam menyongsong Tuhan Yesus, dengan kekuatan yang berasal daripada-Nya.

Bagaimana kita menantikan Tuhan?

0
Sumber gambar: http://www.emorycatholic.org/wp-content/uploads/2014/12/AdventWreath1.jpg

[Hari Minggu Pertama Adven: Yer 33:14-16; Mzm 25:4-14; 1Tes 3:12-4:2; Luk 21:25-28,34-36]

Melihat berita dunia di televisi belakangan ini memang dapat membuat kita merenung. Akankah saat akhir zaman segera tiba? Sebab di beberapa ayat sebelum perikop bacaan Injil hari ini Yesus menyebutkan tentang tanda-tandanya yang sepertinya terjadi sekarang ini, “Bangsa akan bangkit melawan bangsa dan kerajaan melawan kerajaan… dan akan terjadi juga hal-hal yang mengejutkan dan tanda-tanda yang dahsyat dari langit. Tetapi sebelum itu,” kata Yesus, “kamu akan ditangkap dan dianiaya… kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku… dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku… Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu” (Luk 21:10-12, 17,19). Ayat-ayat ini jelas menunjukkan bahwa Yesus tidak meluputkan para murid-Nya dari penganiayaan, namun menjanjikan keselamatan kepada siapa yang bertahan dalam iman. Meskipun demikian, dewasa ini ada paham yang dipegang kuat-kuat oleh sejumlah orang, bahwa Tuhan Yesus akan mengangkat orang-orang pilihan-Nya secara rahasia, untuk meluputkan mereka dari penderitaan. “Kamu percaya nggak, kamu akan diangkat? Kalau kamu nggak percaya, nanti kamu nggak diangkat lho sama Tuhan Yesus….!” [dan dengan demikian tertinggal di bumi serta mengalami penderitaan]. Demikian  topik pembicaraan yang mungkin pernah kita dengar. Seakan-akan yang menjadi tolok ukur orang diselamatkan atau tidak, adalah apakah ia percaya atau tidak, tentang teori pengangkatan (rapture) ini. Kalau teori ini benar-benar benar, mengapa baru terdengar sekitar 1800 tahun setelah zaman Yesus, dan belum pernah diajarkan oleh para Bapa Gereja? Mengapa hal ini tak secara eksplisit diajarkan oleh Kristus dan para Rasul? Dan mengapa penjelasan tentang teori ini pun berbeda-beda dan menimbulkan perdebatan di kalangan para penganut teori ini sendiri? Roh Kudus, bantulah kami melihat dan membedakan manakah ajaran yang sungguh berasal dari-Mu dan manakah yang bukan.

Akankah ada ‘secret rapture, pengangkatan rahasia’ umat pilihan? Sedikitnya ada hal-hal yang dapat kita renungkan di sini. Pertama, soal kerahasiaan kedatangan Kristus. Umumnya, ayat yang paling sering dianggap sebagai acuan sebagai dasar dari adanya pengangkatan rahasia adalah, “Pada waktu itu, kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain ditinggalkan….” (Mat 24:40-41). Namun jika dibaca dengan jujur, ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan adanya pengangkatan rahasia itu, yang dipahami bahwa Yesus akan datang secara diam-diam/ rahasia mengangkat orang-orang pilihan-Nya. Sebab ayat-ayat itu sesungguhnya berhubungan dengan kalimat selanjutnya, “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang” (ay. 42) Maka Yesus mengambil contoh tersebut untuk menekankan betapa tiba-tiba dan tidak diketahui-nya saat kedatangan-Nya yang kedua. Karena itu, Yesus meminta kita supaya berjaga-jaga dan siap sedia (ay. 44). Kalau ada orang mengartikan bahwa Yesus akan datang secara diam-diam/ rahasia untuk mengangkat umat pilihan-Nya berdasarkan ayat-ayat itu, nampaknya ide ‘pengangkatan rahasia’ tersebut telah lebih dulu dimasukkan ke dalam teks, dan bukannya diperoleh langsung dari teks itu. Di perikop paralelnya dalam Luk 17:22-37, Yesus juga menggunakan contoh air bah dan kehancuran kota Sodom untuk menjelaskan kedatangan-Nya kembali, yang sifatnya tiba-tiba dan tidak disangka-sangka. Namun ayat-ayat tersebut tidak menyatakan kerahasiaan kedatangan Yesus, ataupun membagi kedatangan-Nya itu menjadi dua tahap, yang satu rahasia dan yang kedua tidak rahasia. Sebaliknya, yang dikatakan oleh Yesus tentang kedatangan-Nya kembali adalah: “Akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang… kuasa langit akan goncang. Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya” (Luk 21:27, 17:24). Dari ayat ini, kita ketahui bahwa Yesus akan datang kembali dengan mulia di akhir zaman, tanpa didahului olah tahap-tahap rahasia, namun oleh tanda-tanda di langit yang dapat dilihat semua orang.

Kedua, apakah benar Yesus akan mengangkat umat pilihan-Nya untuk meluputkan mereka dari penderitaan? Seandainya demikian, ini tidaklah sesuai dengan apa yang kerap dikatakan oleh Yesus sendiri, dan juga di begitu banyak ayat lain dalam Kitab Suci. Sebab penderitaan adalah suatu ujian yang harus dilalui oleh para murid Kristus, agar dapat dibangkitkan bersama Kristus (lih. Kol 1:24, Rm 8:17-18, Yak 1:2-4, Yoh 16:33). Para rasul mengajarkan, “untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami banyak sengsara” (Kis 14:22). Mereka tidak mengatakan bahwa umat beriman yang hidup di zaman ini atau di zaman akhir akan dikecualikan. Sayangnya, sejumlah orang, bahkan umat Katolik sendiri, meyakini paham pengangkatan rahasia untuk meluputkan umat dari penderitaan. Mungkin karena pengaruh klaim wahyu pribadi dari orang-orang tertentu.  Namun Wahyu Umum yang dinyatakan oleh Kristus dalam Kitab Suci menyatakan sebaliknya. Yesus mengatakan bahwa menjelang kedatangan-Nya yang kedua, akan terjadi berbagai penganiayaan dan kecemasan, namun justru siapa yang bertahan melaluinya dan berpegang kepada nama-Nya itulah yang akan diselamatkan-Nya. Ini sejalan dengan ajaran Yesus sebelumnya, yaitu agar kita menyangkal diri, memikul salib kita, dan mengikuti Dia (lih. Mat 16:24). Tentu mengikut Yesus tidak untuk diartikan hanya sampai di Kalvari, tetapi justru untuk mengikuti-Nya sampai ke Surga. Maka kita justru harus bertahan memikul salib kita terlebih dahulu, dan bukannya meyakinkan diri sendiri bahwa kita akan diluputkan dari salib itu. Memang orang pada umumnya tidak menyukai salib ataupun penderitaan. Tetapi salib ataupun penderitaan merupakan bagian dari kehidupan kita di dunia sebagai manusia, sehingga kita tak mungkin dapat luput darinya; atau beranggapan bahwa Allah akan meluputkan kita darinya. Sebab justru adalah kehendak Tuhan bahwa melalui penderitaan itulah iman kita diuji (lih. Yes 48:10; 1Ptr 4:12-13; Rm 5:3-5). Supaya dengan demikian, janji-Nya ini dapat digenapi, “Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat” (Mat 24:13). Dalam khotbah-Nya tentang akhir zaman, Yesus memperingatkan para murid-Nya, bahwa sebelum saat itu tiba, akan ada penyiksaan, murtad, nabi-nabi palsu, ajaran sesat, kedurhakaan, kebencian semua orang kepada kita karena kita mengimani Dia (lih. Mrk 13:13, 2Tes 2:1-12), dan juga langit akan goncang (lih. Mrk 13:24-27; Mat 24:24-31). Ayat-ayat tersebut menyatakan bahwa Yesus tidak meluputkan orang-orang pilihan-Nya dari penderitaan. Ketika Ia berkata, “Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kau tahan berdiri di hadapan Anak Manusia” (Luk 21:36); ‘kekuatan untuk luput’ ini maksudnya adalah bertahan agar tidak terjatuh dalam  pesta pora, dan hal-hal duniawi (lih. Luk 21:35), dan bertahan di tengah kesulitan dan penderitaan. Yesus mengingatkan agar kita berjaga-jaga, dan tetap bertahan sampai akhir—meski dalam keadaan kacau tersebut (lih. Mrk 13:13). Dan jika kita didapati-Nya “tak bercacat pada hari Tuhan” (1Kor 1:8) yaitu hari kedatangan-Nya itu, kita akan diselamatkan oleh-Nya.

Ketiga, jadi apa yang dimaksud Rasul Paulus tentang orang-orang yang diangkat dalam 1Tes 4:16-17? Kita umat Katolik tentu percaya—seperti yang disampaikan oleh ayat-ayat itu—bahwa umat beriman yang masih hidup di saat akhir zaman “akan diangkat bersama-sama dengan mereka [yang telah mati dalam Kristus] dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa.” Pengangkatan ini tidak diam-diam ataupun rahasia, sebab akan didahului seruan malaikat dan sangkakala Allah (ay. 16). Dan pengangkatan ini maknanya adalah untuk menyongsong ataupun menyambut Yesus sebagai Raja, yang akan datang menghakimi semua bangsa di dunia dalam Pengadilan Terakhir. Ayat-ayat tersebut tidak mengatakan adanya “jeda seribu tahun” antara kedatangan Yesus ini dengan Pengadilan Terakhir—sebagaimana yang umum diyakini oleh teori pengangkatan ini. Tak ada pernyataan apa pun di sana yang menyatakan bahwa pengangkatan itu adalah untuk mengangkat orang-orang pilihan ke Surga sehingga terluput dari bencana ataupun ke suatu tempat untuk menunggu sampai sekian waktu. Yesus menyatakan bahwa Kedatangan-Nya dan Pengadilan tersebut terjadi berurutan seketika: “Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya” (Mat 16:27). Dan lagi kata Yesus, “Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya. Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing….” (Mat 25:31-32).

Paham pengangkatan rahasia sebelum masa kesengsaraan/ tribulation memang tak bisa dipisahkan dari tokoh yang mempopulerkannya, yaitu John Nelson Darby (1800-1882) dan C.I. Scofield (1843-1921). Keduanya menganut paham premillennialism. Dalam paham ini sendiri terdapat perbedaan pandangan tentang kapankah terjadinya pengangkatan itu. Sebelum tahun 1800 dikatakan bahwa pengangkatan terjadi sesudah masa kesengsaraan atau penganiayaan umat. Lalu Darby dan Scofield mengatakan bahwa pengangkatan terjadi sebelum kesengsaraan. Namun dewasa ini juga sudah ada pandangan lain, yaitu bahwa waktu pengangkatan itu akan terjadi di tengah-tengah masa kesengsaraan. Ada juga pandangan yang lain lagi bahwa pengangkatan itu tidak akan terjadi serentak, tetapi pada saat yang berbeda-beda. Ini malah tidak cocok dengan arti literal dari ayat 1Tes 4:17 yang jelas mengatakan bahwa umat beriman yang masih hidup di akhir zaman akan “diangkat bersama-sama” menyongsong Kristus.

Sesungguhnya jika kita jujur mendengarkan hati nurani, kita akan dapat mengetahui, bahwa semakin ingin dijelaskan, teori rapture/ Pengangkatan ini malah semakin membingungkan, karena semakin banyak variasinya berdasarkan pandangan para tokoh yang berbeda, dan semakin tidak koheren dengan ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci. Ini semakin membuktikan kekeliruan teori “sola scriptura/ hanya Kitab Suci saja.” Sebab, orang-orang yang membaca Kitab Suci dan ayat-ayat yang sama ini, dapat sampai kepada kesimpulan yang berbeda-beda. Juga, para penganut teori rapture—yang umumnya berpegang kepada prinsip “sola scriptura/ hanya Kitab Suci saja”—ternyata kemudian melanggar prinsipnya sendiri, sebab mereka toh akhirnya tidak saja berpegang kepada Kitab Suci, tetapi juga kepada klaim-klaim wahyu pribadi orang-orang tertentu, sebagai tolok ukur kebenaran yang mereka yakini.

Karena itu, menyikapi berbagai pandangan tentang akhir zaman, lebih baik kita berpegang kepada ajaran Rasul Petrus: “Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari. Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat. Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup… Sebab itu, saudara- saudaraku yang kekasih, sambil menantikan semuanya ini, kamu harus berusaha, supaya kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya, dalam perdamaian dengan Dia” (2Ptr 3: 8-14).

Firman ini meneguhkan kita tentang inti kebenaran yang harus kita yakini untuk menyambut kedatangan Tuhan Yesus. Yaitu karena Kedatangan-Nya tidak terduga, maka untuk menyambut-Nya kita harus secepatnya bertobat dan mengusahakan kesucian dan kesalehan. Sikap inilah yang mestinya kita miliki untuk memasuki masa Adven. Adven adalah masa kita mempersiapkan hati menyambut peringatan hari kelahiran Tuhan Yesus di dunia. Menjelang Adven bacaan-bacaan liturgi memang mengingatkan kita akan Kedatangan-Nya yang mulia di akhir zaman. Kita pun diajak untuk merenungkan, bahwa Kristus yang akan datang kembali dengan mulia itu, dahulu pernah datang ke dunia dalam kesederhanaan-Nya. Ia yang adalah Tuhan yang mengatasi segalanya, telah merendahkan diri-Nya dengan mengambil rupa hamba, dan lahir di sebuah kandang hewan. Ini adalah suatu teladan kerendahan hati Sang Tuhan yang semestinya membuat kita ‘berkaca’. Sebab umumnya sebagai manusia sering kita meninggikan diri, ataupun tak mau direndahkan orang. Ya, masa Adven adalah masa kita memeriksa diri kita sendiri, seberapa miripkah kita dengan Tuhan yang kita imani. Semoga kita memiliki kerendahan hati untuk bertobat, dan mengejar kesucian, kesalehan, seperti yang diajarkan oleh Rasul Petrus itu. Sudahkah kita melakukannya? Sebab jangan sampai malah yang kita lakukan atau pikirkan di masa Adven ini adalah sebaliknya, yang dikecam oleh Yesus sendiri, yaitu “pesta pora, kemabukan dan kepentingan-kepentingan duniawi….” (Luk 21:34). Inilah saat kita berjaga-jaga, melakukan usaha yang terus menerus agar tidak terikat dengan hal-hal duniawi—yaitu keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup (1Yoh 2:16).

Di awal masa Adven ini, mari kita memohon kepada Tuhan agar kita dapat memiliki kerinduan akan kedatangan-Nya. Menantikan Tuhan Yesus dalam kesederhanaan dan keheningan. Menantikan Dia dalam pertobatan dan kesadaran akan Kerahiman Ilahi-Nya. Menantikan Dia dalam doa dan ucapan syukur, serta dalam ungkapan kasih kepada sesama yang membutuhkan. Semoga dengan sikap sedemikian, kita dapat tahan berdiri di hadapan Yesus, kapan pun dan dengan cara apa pun Dia memutuskan untuk datang menjemput kita.

Marilah kita berdoa supaya kita dapat menyambut Yesus di hari Natal, tidak dalam palungan dingin dari hati yang egois, tetapi dalam hati yang penuh cinta, bela rasa, sukacita dan damai sejahtera, hati yang hangat penuh kasih, satu sama lain.” (Bunda Teresa dari Kalkuta)

Tuhan Yesus, Engkaulah Rajaku!

0
Sumber gambar: http://fssp.com/press/wp-content/uploads/2014/10/Christ-the-King-Gallego-1492.jpg

[Hari Raya Kristus Raja: Dan 7:13-14; Mzm 93:1-5; Why 1:5-8; Yoh 18:33-37]

Belakangan ini ramai diberitakan rupa-rupa kejahatan manusia yang membuat kita terpana. Penembakan oleh para teroris, pembunuhan dengan penganiayaan yang kejam, korupsi para elit, penyimpangan seksual yang dilegalkan, … dan seterusnya, seolah berlomba-lomba meyakinkan kita akan betapa ‘rusaknya’ dunia. Nampaknya hal-hal tersebut telah menjadi bagian dari dunia, terutama di abad-abad belakangan ini. Itulah sebabnya Paus Pius XI menuliskan surat ensikliknya Quas Primas di tahun 1925, saat pertama kalinya ia menetapkan Perayaan Kristus Raja untuk menutup kalender liturgi Gereja. Di awal suratnya, Paus mengatakan, “…. bermacam kejahatan di dunia berhubungan dengan kenyataan bahwa kebanyakan orang telah menolak atau mengesampingkan Yesus Kristus dan hukum-Nya yang kudus dari kehidupan mereka; sehingga Ia dan hukum-Nya tidak mendapat tempat, baik di kehidupan pribadi maupun politik. Dan kami katakan lebih lanjut, bahwa sepanjang orang-orang secara pribadi atau sebagai negara menolak untuk tunduk kepada ketentuan Penyelamat kita, tak akan ada kemungkinan penuh harap yang sesungguhnya untuk damai sejahtera yang bertahan lama di antara bangsa-bangsa….” (Quas Primas 1). Dengan peringatan Hari Raya Kristus Raja yang dirayakan setiap tahun di ujung akhir kalender liturgi, kita diingatkan akan kemuliaan Kristus yang menjadi tujuan akhir kehidupan kita sebagai umat beriman. Dan bahwa kita pun dapat mengambil bagian dalam kemuliaan-Nya itu, jika kita mau membiarkan diri kita dipimpin olehNya dan menaati perintah-perintah-Nya semasa kita hidup di dunia.

Tidak menjadi soal bahwa perayaan Kristus Raja baru dimasukkan dalam kalender liturgi di tahun 1925, tepat 16 abad setelah Konsili Nicea di tahun 325. Sebab perayaan tersebut hanya meneguhkan kembali Syahadat Nicea, bahwa Kristus adalah Putra Allah yang tunggal, sehakikat dengan Allah Bapa, dan bahwa “kerajaan-Nya takkan berakhir.” Selain itu, sebutan Kristus sebagai Raja bukanlah ajaran baru. Kitab Suci tak pernah kekurangan ayat dalam menyatakan bahwa Kristus adalah Raja. Kitab-kitab para nabi Perjanjian Lama menubuatkannya (Bil 24:19, Yes 9:6-7; Yer 23:5, Dan 2:44; 7:13-14; Za 9:9), dan kitab Mazmur menggambarkannya (Mzm 2; Mzm 45; Mzm 72). Kitab Perjanjian Baru bahkan dengan lebih jelas menyatakannya. Malaikat Tuhan yang memberi kabar gembira kepada Bunda Maria telah mengatakannya (lih. Luk 1:32-33). Dan Tuhan Yesus sendiri memberitahukan tentang hal tersebut dalam perikop tentang Penghakiman terakhir (Mat 25:31-40); dalam jawaban-Nya kepada Pilatus (Yoh 18:37); dalam pesan terakhir-Nya kepada para murid-Nya sebelum Ia naik ke Surga (Mat 28:18).

Apakah artinya menjadikan Kristus sebagai Raja dalam kehidupan kita? Demikianlah penjelasan Paus Pius XI, “Ia [Kristus] harus memerintah di pikiran kita, yang semestinya setuju dengan kepatuhan sempurna dan kepercayaan yang teguh kepada kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dan kepada ajaran-ajaran Kristus. Ia harus memerintah di kehendak kita, yang semestinya menaati hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Allah. Ia harus memerintah di hati kita, yang harus membuang keinginan-keinginan kodrati dan mengasihi Allah di atas segalanya, dan berpaut kepada-Nya saja. Ia harus memerintah di tubuh kita dan anggota-anggotanya, yang harus melayani sebagai alat bagi pengudusan jiwa kita dari dalam—atau meminjam perkataan Rasul Paulus—sebagai ‘senjata-senjata kebenaran’ (Rm 6:13)” (Quas Primas, 33). Sejujurnya, tak mudah menjadikan Kristus sebagai Raja di dalam diri dan hidup kita sepenuhnya. Karena kita mempunyai kecenderungan untuk menjadi raja di dalam diri sendiri. Kenyataannya, lebih mudah memikirkan kepentingan dan kehendak sendiri daripada kepentingan dan kehendak Kristus. Atau lebih tepatnya, adalah suatu perjuangan sampai kita dapat selalu menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak Kristus. Aku jadi bertanya kepada diriku sendiri, seberapa sering aku mengingat Kristus dalam keseharianku, menyapa dan menghormati-Nya dan berjuang untuk menyenangkan hati-Nya dengan perkataan dan perbuatanku? Di Hari Raya Kristus Raja ini, Gereja mengingatkan kita untuk menerapkan dalam hidup sehari-hari, bahwa Kristus adalah sungguh Tuhan dan Raja kita. Gereja bahkan memberikan indulgensi penuh kepada umat yang pada hari ini mendaraskan secara publik, doa Iesu dulcissime, Redemptor, tentu jika syarat-syarat lainnya terpenuhi (menerima sakramen Ekaristi, berdoa bagi intensi Bapa Paus,  mengaku dosa dalam sakramen Tobat, dan tidak mempunyai keterikatan terhadap dosa bahkan dosa ringan sekalipun). Semoga dengan mendaraskan doa ini, kitapun turut berusaha mewujudkannya.

Mari bersama-sama kita mendaraskan doa Iesu dulcissime Redemptor:

“Yesus yang mahabaik, Penebus umat manusia,
pandanglah kami yang tersungkur di hadapan-Mu.
Kami adalah milik-Mu, dan kami berharap
untuk terus menjadi milik-Mu.
Tetapi untuk lebih teguh bersatu denganMu,
lihatlah kepada setiap kami yang hari ini menyerahkan diri
kepada Hati-Mu yang Mahakudus.
Memang banyak orang belum mengenal Engkau;
banyak juga yang dengan merendahkan perintah-perintah-Mu,
telah menolak Engkau.
Yesus yang sangat berbelas kasih, kasihanilah mereka semua,
dan tariklah mereka kepada Hati Kudus-Mu.
Jadilah Raja, ya Tuhan,
tidak hanya bagi umat beriman
yang tidak pernah meninggalkan Engkau,
tetapi juga bagi anak-anak yang hilang,
yang telah meninggalkan Engkau;
tolonglah agar mereka dapat secepatnya kembali
ke rumah Bapa mereka,
jika tidak, mereka mati karena kemalangan dan kelaparan.
Jadilah Raja bagi mereka
yang terperdaya oleh pendapat-pendapat yang salah,
atau mereka yang karena perselisihan menjauhkan diri,
dan panggillah mereka kembali
kepada pelabuhan kebenaran dan kesatuan iman,
sehingga segera mereka menjadi satu kawanan
dengan satu Gembala.
Berilah, ya Tuhan, kepada Gereja-Mu,
jaminan kemerdekaan dan terbebas dari bahaya;
berilah keteraturan yang damai kepada semua bangsa;
buatlah dunia bergema dari kutub ke kutub
dengan satu seruan, pujian kepada Hati Ilahi
yang mengerjakan keselamatan kami:
Kemuliaan dan hormat bagiNya selamanya. Amin.”

[Diterjemahkan dari Manual of Indulgences, p. 44, doa Iesu dulcissime, Redemptor.]

Pertolongan Tuhan Tidak Pernah Terlambat (Bagian 2)

0

Bantu aku Tuhan Yesus, untuk memikul salib kecilku ini sebagai silih atas dosa-dosaku.

Tulisan ini adalah tulisan ke-dua saya dalam situs katolisitas (dari editor: tulisan Widi yang pertama berjudul “Kasih setia Tuhan tak pernah terlambat – silakan klik). Sungguh sebuah kesempatan dan Puji Tuhan seluas-luasnya bagi seluruh karya-Nya dalam hidup saya hingga saat ini. Terima kasih untuk dukungan tim Katolisitas sehingga akhirnya saya memberanikan diri menuliskan bagian ke-dua dari kesaksian hidup saya ini. Terima kasih Bu Inggrid, Pak Stef, Mba Uti juga semua tim Katolisitas. Tuhan pasti memberkati kalian semua.

Puncak karir dan ajakan Tuhan untuk hidup menghayati sengsara-Nya.

Setelah selesai menimba pengalaman dari perusahaan telekomunikasi selama tahun 2008-2010, Tuhan menuntunku untuk berkarya di sebuah kantor majalah wanita di ibukota. Lokasi pekerjaan baru ini tidak jauh dari kantor yang lama. Pekerjaan baru ini menantangku. Bukan karena aku harus beradaptasi lagi, namun karena harus melayani staf dan karyawan yang hampir semuanya adalah wanita muda dan ibu-ibu muda. Oh Tuhan apakah Engkau ingin mendidikku untuk memahami wanita? Mempersiapkan aku untuk menjalin sebuah bahtera keluarga?

Pekerjaan di kantor baru ini tidak berbeda dengan yang lama. Masih di seputar dunia teknologi informasi (IT). Rutinitas lembur, overtime dan shift malam berkali-kali kulakukan. Hingga menjelang awal tahun 2012 tubuhku mulai limbung, aku mulai sering sakit dan tidak teratur makan. Mungkin tekanan kerja dan siklus tidur yang tidak teratur membuatku jatuh berkali-kali dalam kondisi sakit.
Puncaknya menjelang Idul Fitri 2012, di awal bulan Juli 2012 badanku lunglai sekali. Untuk berjalan pun susah. Nafas serasa mau habis. Aku periksakan ke dokter kantor dan dirujuk ke RS Carolus. Indikasi awal adalah penurunan fungsi ginjal.

Shock dan kaget bercampur marah dan sedih langsung menghinggapi hati dan kepalaku. Mana mungkin aku sakit ginjal? Mabok tidak, narkoba tidak, sex bebas tidak, minum air putih malah menjadi hobi setiap hari, diabetes tidak, tekanan darah tinggi juga tidak. Ah.. Tuhan bercanda nih… Aku sudah sering ikut pelayanan di Theresia, berusaha rutin mengikuti Misa harian di katedral. Kenapa bisa ya?

Pikiran yang berkecamuk itu terus menghantui dan membayangi setiap hariku selama bulan Juli 2012. Sampai pada akhir bulan Juli, sebuah mimpi meneguhkanku. Entah itu benar atau hanya khayalanku yang sedang stres dan banyak pikiran, tiba tiba dalam mimpi, Bunda Maria memelukku, menepuk pundaku dan memandangku dengan senyum optimis. Aku tidak tahu apa maknanya. Aku hanya bisa membawanya dalam doa dan Novena Hati Kudus favoritku.

Sejak hidup di ibukota, jarang sekali aku bisa menyelesaikan doa Rosario seperti ibuku yang sangat tekun di Jogja. Selalu saja ada godaan. Hanya frasa “Hati Kudus Tuhan Yesus, kasihanilah kami” yang menjadi favoritku setiap hari. Kudaraskan frasa itu di setiap aktifitas kerjaku. Nyaman sekali rasanya ketika bisa mengulang-ulang frasa itu.

Sejak mimpi itu, aku berusaha mencari maknanya dan membawanya dalam doa. Berkali-kali kuusahakan hadir dalam Misa harian sore di katedral. Sepulang kerja, berjibaku dengan kemacetan ibukota, kukendarai sepeda motorku menuju katedral. Nyaman sekali rasanya mengalami suasana hening di sana. Mendengarkan sabda-Nya, lantas mengucap doa, bertanya, “Apa maksud-Mu Tuhan? Peristiwa apa yang akan aku lalui? Sanggupkah aku? Bantu aku Tuhan untuk mengerti petunjuk-petunjukMu.

Berkali-kali cek medis kulakukan. Terakhir di bulan Agustus awal, badanku semakin lunglai. Habis tenaga. Masih ingat waktu itu temanku, rekan kerjaku Mbak Jovita namanya, menawarkanku makan malam di dekat kostnya hanya agar aku bisa makan enak. Karena memang rasanya sangat tidak enak makan. Makan apa pun rasanya ingin muntah.

Dokter di RS Carolus berkata, bahwa kemungkinan terburuk aku harus cuci darah, namun dengan diet protein yang ketat dan pengobatan yang bagus, bisa dicegah untuk tidak sampai ke tahap cuci darah. Kuturuti apa pun nasehatnya. Aku berobat ke rumah sakit itu. Tanpa sepengetahuan dokter kantorku.

Puncaknya adalah menjelang selesainya bulan puasa, Agustus 2012. Aku drop. Sepulang kerja dari visit pekerjaan ke Tangerang, aku muntah-muntah hebat. Atasanku pun tahu. Aku pucat. Kebiruan malah. Jalan sempoyongan. Hanya satu dalam batinku. Aku tidak mau jatuh dan drop di ibukota. Aku harus pulang. Aku harus bersama ibuku disampingku.

Awal libur lebaran, aku nekat untuk pulang. Aku relay perjalananku. Karena susahnya mendapat tiket pesawat langsung dari Jakarta ke Jogja, aku menaiki travel Jakarta-Bandung. Sampai di Bandung, kulanjutkan dengan pesawat turboprop (baling-baling) dengan biaya berapa pun. Aku ingin segera sampai dan bertemu bundaku.

Kumulai salib kecil baruku ini. Tuhan tolonglah aku.

Sesampainya di Jogja, aku sudah tidak kuat. Tepat tanggal 20 Agustus 2012, aku dilarikan ke IGD RS Panti Rapih, Jogja. Vonis opname dan observasi dokter dilanjutkan di sana. Dan memang benar. Kondisiku semakin kronis. Dari gagal ginjal stage I menjadi stage V. Dan harus cuci darah.

Oh Tuhan… inikah peristiwa yang Kau maksud?

Inikah yang Bunda Maria coba teguhkan hatiku? Sedemikian berat dan besarnya sakit ini. Apakah aku sanggup Tuhan? Bunda Maria, bagaimana ini? Tidakkah engkau mendengarkan doaku, banyak rencana yang sudah kususun dalam tahun-tahun ini. Bertunangan, mempunyai rumah di Jogja, dan mempersiapkan pernikahanku. Kenapa ini harus terjadi?

Aku ndak sanggup Tuhan… Aku ndak kuat. Aku ingin mati saja. Itu yang aku teriakkan di awal-awal mendengar vonis cuci darah. Protes, penolakan, amarah, bahkan dendam. Entah dendam kepada siapa. Begitu sangat terasa.

Namun Tuhan tidak begitu saja membiarkan aku berjalan sendirian. Dalam kondisi yang demikian terpuruknya, lagi-lagi ibuku adalah salah satu sosok Bunda Maria yang hidup. Beliau berdoa tidak putus-putusnya. Bahkan hingga saat ini. Agar aku sembuh. Aku kuat melalui semua ini. Di masa-masa awal cuci darah, beliau hanya bisa pergi ke kapel di rumah sakit untuk menangis sambil membawa rosario kesayangannya. Sedangkan adikku, seperti tidak kenal lelah, menyiapkan segala keperluan transfusi darah, obat, dan urusan administrasi rumah sakit lainnya.

Tuhan tidak pernah terlambat. Pun dalam kondisi yang di dalam mata manusia itu sudah terlambat. Dia menghadirkan sosok-sosok teman dan sahabat yang membantuku. Silih berganti begitu luar biasanya Dia mengirim malaikat-malaikat baik di awal-awal vonis cuci darahku. Dalam kondisi masih terbaring opname, Tuhan tidak tinggal diam. Dia hadirkan teman-teman luar biasa banyaknya terutama terasa sekali ketika aku membutuhkan transfusi darah.

Sungguh luar biasa. Tuhan tidak pernah kekurangan akal. Dia gerakkan seluruh hati temanku, bahkan teman TK-ku pun, hadir menemaniku, berusaha ke sana ke mari membantuku mencari donor darah. Tidak terkecuali dukungan finansial dan moril dari teman-teman di kantor Jakarta, yang mengalir terus-menerus.

Selama opname di rumah sakit, aku tidak pernah kekurangan kasih dari sahabat dan rekan-rekan. Luar biasa. Tuhan boleh ambil ginjalku, namun, Dia beri aku sahabat banyak sekali. Mereka hadir membantu. Saat itu hanya rasa haru bercampur marah dan sedih melihat kondisiku. Kenapa Tuhan, Engkau pilih aku. Bukan mereka atau dia? Why me?

Cuci darah, perjuangan finansial, dan hilangnya rencana tunangan

Bersyukur, Tuhan masih peduli. Masih mendekapku. Dia masih beri aku kesempatan untuk hidup. Biaya cuci darah tidaklah sedikit. Di awal-awal cuci darah, asuransi swasta memang masih mengcoverku. Juga dukungan finansial dari teman-teman dan kerabat. Namun seiring dengan bergulirnya waktu, perlahan tapi pasti, beban finansial mulai terasa.

Perjuangan pun dimulai. Dari Jamkesmas, Jamkesda, pindah KTP, surat keterangan tidak mampu semua dilakukan. Hanya demi bisa cuci darah di RS Panti Rapih. Rumah sakit yang aku sudah merasa nyaman dan aku pilih, selain karena catatan medisku di sana, juga karena aku merasa selalu dekat dengan dukungan doa dan karya dari Suster CB (Carolus Borromeus-red) setiap hari.

Luar biasa. Tuhan pun tidak tinggal diam rupanya. Setelah berjuang ke sana ke mari, Jamkesda Kota Jogja pun kurasakan. Luar biasa.. Benar-benar luar biasa. Ini rasanya berserah total kepadaNya. Tanpa jaminan apa pun. Tanpa kepastian apa pun. Namun Dia pasti tidak akan meninggalkan kita, umat-Nya yang terus berdoa meminta, mengetuk pintu-Nya.

Dalam kondisi serba pontang-panting dan tidak pasti tersebut, kekasihku entah bagaimana, aku merasakan ia berubah. Dia tidak lagi seperti dulu. Entah mengapa, namun aku merasa terlalu jauh. Hatiku terasa sudah terlalu jauh. Beberapa kali perjumpaan kami, aku sudah tidak merasakan ‘klik’ di hatinya. Fokusnya sudah berubah. Hufff, ada apa lagi ini Tuhan? Apakah Engkau tidak rela aku bertunangan dengannya? Atau Engkau mau aku fokus terlebih dahulu dalam misi sakit gagal ginjalku ini?

Rasa berkecamuk dan tidak enak mulai bergelora lagi, kali ini bukan karena sakitku, namun karena rasa penolakan dan ditinggalkan oleh kekasihku. Ada rasa sedih, kecewa, merasa tidak berguna, dan tidak bisa apa-apa. Tuhan amat kejam rasanya waktu itu. Aku sudah seperti ini, kenapa Engkau beri lagi Tuhan?

Akhir 2013 kami sudah jarang berkomunikasi lagi. Aku memilih untuk mundur. Diam. Berkonsentasi pada sakitku. Mengelola rasa jenuh, penat, dan sedihku. Memilih untuk berkelana ke tempat tempat hening, Ganjuran, Sendang Sono, Ambarawa, menjadi tujuan langkahku. Aku merasa diteguhkan. Pelan namun pasti, Tuhan membimbingku untuk lebih tabah. Lebih sumeleh. Lebih nrimo. Lebih ikhlas.

Hanya ibu dan adikku yang setia menemaniku. Yang terus mendukungku. Merekalah pejuang sejatiku. Dalam keseharian hidupku, Tuhan hadir melalui senyum wajah mereka. Aku sangat berterima kasih, hadir dalam sebuah keluarga yang baik, harmonis, dan tangguh dalam iman akan Yesus. Tuhan juga tunjukkan kasih-Nya melalui sahabat sahabatku. Hilir mudik mereka hadir menghibur. Menemani dalam cuci darah, juga dalam kunjungan ke rumahku. Bantuan moril, finansial, juga dukungan sarana dan senyum. Luar biasa.

Tuhan ingin aku benar-benar setia

Di medio awal 2014, Tuhan mengujiku lagi. Ada infeksi dan abses di punggungku. Gejala awalnya aku tidak bisa berjalan dan kaki kiri seperti linu dan sakit ketika digerakkan. Berbagai cara dilakukan. Pijat, terapi, refleksi, bahkan fisioterapi kulakukan. Namun tidak ada hasilnya.

Tuhan, apa lagi ini? Aku sudah habis-habisan cuci darah, ditinggal kekasih, juga habis finansial dan karir. Kenapa Engkau masih hendak memberikan cobaan lagi? Tidak cukupkah? Pertanyaan itu menggelora dalam doa malamku. Dalam doa di setiap Ekaristi dan dalam setiap perenungan malamku. Ah.. aku capek Tuhan… Ini tidak segera selesai, Kau beri yang lain. Tolong Tuhan… beri aku waktu untuk rehat sejenak.. mengelola hidupku kembali.

Pertengahan 2014, dokter memvonisku untuk segera operasi karena absesku semakin besar dan merusak jaringan sekitarnya. Indikasi awal adalah infeksi dan isi dari abses adalah nanah. Aku pun panik. Terbayang akan operasi besar, bius total dan resiko pendarahan setelah operasi. Karena aku rutin cuci darah, maka obat-obatan anti pembekuan darah rutin aku terima selama cuci darah.

Setelah berdiskusi dengan ibu dan adik, aku pun siap. Dokter menerangkan kondisi terburuk pasca operasi yaitu tidak sadarkan diri berkepanjangan karena tingginya kreatinin dan ureum pada pasien gagal ginjal, juga pendarahan pasca operasi karena bertemunya dengan obat anti pembekuan darah setiap kali cuci darah. Dengan berat hati, namun mantap dan pasrah seutuhnya, aku siap. Aku tanda tangani surat pernyataan itu. Aku siap, pun ketika nanti Tuhan memanggilku dalam proses operasiku nanti. Hanya ibu dan adik yang tampaknya tidak siap melepasku masuk dalam ruangan operasi. Terlihat guratan sedih, tidak ikhlas dan pedih yang mendalam melihat putera satu-satunya dibawa masuk ke ruang operasi. Doakan aku ya Ibu.. Adek. maafkan Widi kalau banyak salah dan kurang selama ini. Itu kata-kata yang terakhir aku ucapkan kepada mereka sebelum masuk ruang operasi.

Operasi pun berlalu, aku terbangun lebih lama dari yang diprediksi dokter. Sadar namun tidak sepenuhnya karena beberapa bagian tubuhku tidak terasa dan tidak dapat digerakkan. Terutama kaki kiri dan tangan. Aku pasrah. Ibu gembira menyambutku keluar dari kamar operasi. Sungguh, Tuhan ajaib. Pertolongan-Nya tidak pernah terlambat. Dalam tangan-Nya, semua berjalan sesuai rencana-Nya. Kadang manusia teramat khawatir, berkeluh kesah, tidak sepenuhnya menyerahkan pada penyelenggaraan-Nya. Padahal, rencana-Nya jauh lebih sempurna. Dia tahu apa yang kita butuhkan, apa yang kita paling butuhkan. Bukan kita inginkan.

Pemulihan pasca operasi juga bukan sebuah hal yang mudah. Ibu yang lagi-lagi benar-benar menghadirkan kasih Tuhan sebenarnya. Dengan setia, beliau membersihkan luka, merawat perbanku, terkadang membimbingku untuk mandi, untuk membersihkan badan. Luar biasa. Tuhan hadirkan ibu yang begitu tulus mengasihiku. Begitu kuat. Bunda Maria sendirilah sebenarnya yang merawatku saat itu. Mimpi saat sebelum sakit dahulu, mungkin ini artinya. Bunda akan selalu menguatkan aku, akan selalu hadir dalam apa pun kondisiku. Benar. Dan itu terjadi. Terima kasih Bunda Maria. Engkau teladan sejati dalam pelayanan dan kasih.

Pasca operasi, berkali-kali HB (haemoglobin)ku turun, karena masih adanya rembesan pasca luka operasi, juga reaksi dengan heparin (obat anti pembekuan darah) setiap kali dilakukan cuci darah. Seminggu dua kali. Dan itu terakumulasi hingga puncaknya, pada pertengahan 2014. Menjelang pemilu presiden, HBku drop hingga titik 3.8. Tidak bisa melakukan apa pun. Hanya terbaring lemah. Bahkan menggerakkan kedua tangan pun tidak sanggup. Sonde (pemberian makanan dari selang) pun aku sempat rasakan.

Namun, Tuhan lagi-lagi menguatkanku. Melalui semua itu, dihadirkanNya orang-orang dan sahabat yang tidak henti-hentinya membantuku. Mensuport aku dan keluargaku. Baik itu finansial, motivasi, pendampingan psikologi, juga sarana dan prasarana. Banyak yang aku bahkan tidak bisa menghitung lagi hingga saat ini. Terima kasih Tuhan. Hanya itu yang aku bisa ucapkan.

Memasuki tahun 2015 ini, begitu luar biasanya Tuhan membimbingku. Perlahan demi perlahan, Dia ingin menuntunku untuk bangkit. DihadirkanNya orang-orang yang membantuku untuk mewujudkan usahaku sendiri di Jogja. Sedikit demi sedikit, walaupun belum besar Dia membantuku memulai usaha sendiri. Sambil terus cuci darah dan melayaniNya dalam hidup doa dan novena setiap hari.

Peneguhan dalam Spiritualitas Ignatian

Tuhan tampaknya tidak ingin aku jatuh berkali-kali. Dia menuntunku untuk benar-benar hanya Dia sajalah harapanku. Tidak lain. Dia membimbingku untuk belajar bagaimana mengelola iman, keyakinan, dan harapan. Menaruh harapan hanya padaNya.

Tahun 2015 ini juga sebagai tahun Latihan Rohani-ku. Aku diperkenalkan dengan komunitas Magis Jogja. Sebuah komunitas di mana kita menghidupi spiritualitas ignatian. Bersumber dari Santo Ignatius Loyola, pendiri Serikat Jesus, dengan Latihan Rohaninya. Tuhan tampaknya ingin menyiapkan aku untuk sungguh-sungguh memaknai penyakit dan penderitaanku ini bukan hanya sebagai sakit medis belaka, namun sebagai rahmat. Rahmat untuk semakin dekat dan pasrah padaNya. Semakin menghayati panggilan hidup untuk melayaniNya dalam sepenggal hidup selanjutnya dengan cuci darah ini. Dalam komunitas ini, hingga saat ini aku masih belajar, bagaimana menemukan rahmat-Nya setiap hari, dalam setiap aktifitas hidupku, dalam setiap momen-momen cuci darahku.

Terima kasih Tuhan, Engkau luar biasa. Pertolongan-Mu tidak pernah terlambat. Juga tidak pernah terlalu terburu-buru. Banyak hal yang harus aku siapkan untuk benar-benar mengikutiMu. Terkadang Engkau mendidikku dengan keras, dengan tamparan penderitaan, juga dengan sentuhan lembut sahabat, sapaan hangat teman dan relasi.

Tuhan, aku serahkan seluruh sisa hidupku dengan cuci darah ini kepadaMu. Pakailah seluruh sisa hidupku hanya untuk kemuliaan-Mu. Jadikan aku siap, jadikan aku tangguh mewartakan bahwa Engkau, benar-benar luar biasa. Engkau benar-benar ada. Engkau benar-benar mencintai manusia seutuhnya.

Sapaan-sapaan-Mu dalam penderitaanku dari tahun 2012 hingga saat ini semoga menguatkanku untuk meneruskan memanggul salib kecilku ini, sambil mewartakan kasih-Mu pada sesamaku.

Terimakasih Ibu, luar biasa pengorbananmu, kasihmu, teladan kesetiaanmu melalui doa Rosario, kepercayaanmu padaNya. Terimakasih atas seluruh karya dan suport yang hadir dalam wajah rentamu itu. Juga adek dan seluruh sahabat. Semoga seluruh karya, dukungan dan pengabdianmu Tuhan berikan yang lebih baik.

Teriring doa dan kasih dalam keheningan tengah malam, 10 November 2015 01.05 WIB. Perum Bumi Mandiri Wirokerten No. E2 Banguntapan Bantul.

Benedictus Widi Handoyo

Akhir dunia: membuat takut atau rindu?

0
Sumber gambar: http://www.praise-and-worship.com/images/550xNxjesus-second-coming.jpg.pagespeed.ic.L-LabynhLy.jpg

[Hari Minggu Biasa ke XXXIII: Dan 12:1-3;  Mzm 16:5-11; Ibr 10:11-18; Mrk 13:24-32 ]

“Sebab Aku mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan… Apabila kamu berseru… maka Aku akan mendengarkan kamu…..” demikianlah petikan Antifon Pembuka hari ini, yang diambil dari kitab Yeremia (lih. Yer 29:11,12,14). Firman Tuhan ini mengingatkan kita akan rencana Allah untuk membawa kita kepada tujuan akhir kehidupan di Surga yang penuh kebahagiaan. Untuk itu, Allah Bapa telah mengutus Kristus Putera-Nya. Dan Kristus telah menyelesaikan misi penyelamatan yang diterima-Nya dari Allah Bapa. Namun kesempurnaan rancangan Allah memang baru sepenuhnya tergenapi di akhir zaman kelak, saat Allah ditinggikan, dan kepada Yesus Putera-Nya diberikan “nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:9-11) Sungguh menakjubkan saat itu, ketika kita berlutut menyembah Tuhan bersama dengan berlaksa-laksa umat manusia, yang tak terhitung banyaknya…. “Alleluia…  Terpujilah Yesus Kristus Tuhan!” Maka seharusnya kita menantikan dengan rindu, saat Kristus datang kembali ke dunia dengan kemuliaan-Nya di akhir zaman. Tapi apakah kita benar-benar merindukan kedatangan-Nya … atau malah takut membayangkannya… nah, itulah yang menjadi persoalannya.

“Kitab Suci memberitahu kita bahwa ada dua kedatangan Putera Allah: pertama, ketika Ia mengambil rupa manusia demi keselamatan kita, dalam rahim seorang perawan; dan kedua, ketika Ia datang kembali di akhir dunia untuk mengadili semua manusia. Yang kedua ini disebut dalam Kitab Suci sebagai Hari Tuhan” (Katekismus Konsili Trente, I,8,2). Walaupun saat kedatangan-Nya yang pertama ke dunia, Yesus tidak menampakkan kebesaran-Nya; di kedatangan-Nya yang kedua, langit dan bumi akan menampakkannya. Yesus menyatakan bahwa saat itu “Matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya dan bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan goncang…” (Mrk 13:24). Pada saat itu Ia akan mengumpulkan semua orang, akan mengadili mereka dan menyatakan keadilan-Nya. Ia akan menyatakan kemuliaan-Nya kepada para hamba yang setia, maupun juga kepada mereka yang telah menolak dan menganiaya-Nya serta menganiaya para murid-Nya. Di saat itu kebenaran dan kebaikan akan memperoleh penghargaan; sedangkan kesalahan dan kejahatan memperoleh hukuman. Nabi Daniel telah menubuatkan saat itu, di mana sejumlah orang akan memperoleh hidup kekal, sedangkan sebagian yang lain memperoleh kengerian kekal. Namun bagi orang-orang benar tak ada yang harus ditakutkan, sebab “orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan orang-orang yang menuntun banyak orang kepada kebenaran akan bersinar seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya” (lih. Dan 12:3). Ayat ini mendorong kita agar dalam hidup sehari-hari berjuang  untuk melakukan apa yang baik dan benar, dan membawa serta orang-orang di sekitar kita untuk mengenal Kristus dan kebenaran-Nya. Sebab Allah telah mempersiapkan upah bagi mereka yang melakukannya sampai akhir. Mereka akan bercahaya dalam terang Tuhan untuk selamanya! Ini merupakan penghiburan yang mendatangkan sukacita bagi kita dalam menantikan Hari Tuhan itu, yaitu saat kedatangan-Nya kembali dalam terang kemuliaan-Nya.

Tuhan Yesus yang kita nantikan itu adalah sungguh Allah yang telah mengambil rupa manusia. Oleh sebab itu, meskipun Yesus mengatakan bahwa tentang Hari dan saat itu, “tak seorang pun yang tahu…. dan bahkan Anak pun tidak, hanya Bapa saja” (Mrk 13:32); Ia sebenarnya mau mengatakan bahwa Ia tidak mengetahuinya dari kapasitas-Nya sebagai manusia. Paham yang mengajarkan bahwa Yesus tidak tahu akan hari dan saatnya akhir dunia dikenal dengan ajaran sesat Agnoetae di abad ke-6. Sayangnya kini paham serupa muncul kembali di kalangan sejumlah umat Kristen. Dengan menganggap Yesus tidak tahu hari dan saatnya, mereka secara tak langsung memandang Yesus tak sehakikat dengan Bapa, dan malah menentang apa yang dinyatakan dalam Kredo, “Aku percaya akan Yesus Kristus…. Putra Allah yang tunggal. Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad… Ia… sehakikat dengan Bapa…” Menanggapi paham ini, Paus St. Gregorius Agung telah menjelaskan, “Allah Putera yang Mahatahu mengatakan bahwa Ia tidak tahu harinya [akhir zaman], yang menyebabkan Ia tidak menyatakannya, bukan disebabkan oleh karena Ia sendiri tidak tahu, tetapi karena Ia tidak mengizinkan hal tersebut diketahui sama sekali…. Putera Tunggal Allah yang menjadi manusia sempurna bagi kita, sungguh mengetahui hari dan saatnya Penghakiman Terakhir di dalam diriNya sebagai manusia, namun demikian Ia tidak mengetahui hal itu dari kapasitasnya sebagai manusia…. Sebab untuk maksud apa bahwa Ia yang menyatakan DiriNya sebagai Kebijaksanaan Allah yang menjelma, jika ada sesuatu yang tidak diketahui olehNya sebagai Sang Kebijaksanaan Allah? … Juga tertulis bahwa, …. Allah Bapa menyerahkan segala sesuatu ke dalam tanganNya [Yesus Kristus di ayat Yoh 13:3]. Jika disebutkan segala sesuatu, tentu termasuk hari dan saat Penghakiman Terakhir. Siapa yang begitu naif untuk mengatakan bahwa Allah Putera menerima di dalam tangan-Nya sesuatu yang tidak diketahui olehNya?” (Denz 248).

Demikianlah, jika kita sungguh mengimani bahwa Yesus adalah Putera Allah yang sehakikat dengan Allah Bapa, sudah selayaknya kita memahami ayat Mrk 13:32 ini seturut penjelasan Paus St. Gregorius ini. Tentu Kristus mengetahui tentang hari dan saat akhir zaman. Namun Dia tidak mengetahuinya dari kodrat-Nya sebagai manusia, dan bahwa saat berkhotbah tentang akhir zaman tersebut Ia tidak mau Hari-Nya diketahui. Sungguh, bukan bagian kita untuk mencari tahu kapan Hari dan saatnya Kristus akan datang kembali. Yesus sudah berkata, bahwa tak seorang pun yang mengetahuinya. Namun demikian, dalam sejarah, juga bahkan sampai sekarang, kita sering mendengar ada banyak orang yang meramalkannya. Injil hari ini mengingatkan agar kita tidak lekas terpengaruh akan berbagai ramalan akhir zaman. Yang lebih penting adalah agar kita “berhati-hati dan berjaga-jaga” (Mrk 13:33), sebab kita tidak tahu kapankah waktunya tiba. Sikap ini membuat kita bertumbuh dalam kerendahan hati, dan memusatkan hati untuk melakukan hal-hal yang perlu kita lakukan, dan bukannya menyibukkan diri menghitung hari yang bahkan tidak mungkin kita ketahui, menurut firman Tuhan. Bahkan hari terakhir kita hidup di dunia pun kita tidak tahu, apalagi hari akhir seluruh dunia! Ya, Tuhan arahkanlah hatiku kepada perkara-perkara yang sederhana! (Rm 12:16)

Menjelang akhir tahun liturgi, mari kita berefleksi. Bahwa jika kita sungguh mengasihi Tuhan dan hidup seturut dengan kehendak-Nya, bukankah selayaknya kita bergembira jika Ia datang? Jika ada rasa takut, maka besar kemungkinan itu karena kita tahu kita belum hidup sepenuhnya melakukan kehendak-Nya. Kembalilah, hai jiwaku, dalam tobat yang sejati, sehingga dapat kau serukan dengan segenap hati,  “Datanglah Tuhan Yesus!” Sebab kita tak akan pernah dapat dipuaskan oleh segala yang berasal dari dunia ini. Hati kita mendambakan karunia mendatang yang telah dipersiapkan Tuhan, yang lebih tinggi melampaui apa pun di dunia ini. Kita merindukan Tuhan, sebab kita telah diciptakan untuk Dia. “Ya Tuhan, datanglah, aku rindu melihat wajah-Mu…., Vultum tuum, Domine, requiram.”

Refleksi Menjelang Tahun Kerahiman: Senyuman Kerahiman

0

Tuhan,

Senyuman sekarang sangat mahal,

seperti harga kebutuhan hidup

yang semakin hari semakin meroket,

yang tak terjangkau tangan manusia biasa.

Senyuman semakin sulit ditemui.

Semua asyik dengan dirinya sendiri.

Jari-jari kanan dan kiri menari-nari di android,

sambil tersenyum sendiri.

Manusia bisa tersenyum dengan barang mati,

tetapi tiada interaksi dengan sesama di sekitar kehidupan ini.

Manusia sudah menjadi seperti mannequin, patung pemajang pakaian,

cantik dan indah karena penampilan, tetapi tanpa jiwa.

Manusia dingin tanpa hati.

Tuhan,

Ijinkan aku memandang luka-luka-Mu sebagai refleksi,

untuk menyembuhkan kebekuan hati.

Mahkota duri di kepala-Mu,

melambangkan luka di pikiran,

karena dosa–dosa lahir dari pikiran.

Engkau menginginkan pikiran,

terisi belas kasihan, jauh dari pikiran jahat,

yang akan membawa kebencian.

Engkau menginginkan aku berpikir baik tentang sesamaku,

sebagai awal bersemayamnya kasih.

Luka di tangan kanan-Mu,

melambangkan luka-luka manusia

yang ditanggungnya akibat pencurian, tamparan

dan pukulan karena kemarahan atau kebencian.

Luka di tangan kiri-Mu,

melambangkan luka orang-orang kecil

karena dianggap tidak penting sehingga tidak dipedulikan,

ketika berteriak minta tolong.

Luka di kedua kaki-Mu,

melambangkan hilangnya keselamatan,

dari mereka yang meninggalkan Gereja dan ajaran-Mu.

Itu terjadi karena kefrustasian terhadap kehidupan

dan tiada teladan dari sesama pengikut Tuhan.

Kematian-Mu di Salib,

menyatukan diri-Mu dengan semua orang yang menghadapi jalan buntu.

Luka di lambung-Mu yang mengalirkan darah dan air,

melambangkan bangkitnya daya kehidupan yang telah hilang.

Daya kehidupan itu kini nyata dalam senyuman.

Senyuman adalah harta termahal

yang dapat kita bagikan dengan sangat mudah.

Senyuman itu menyehatkan,

senyuman itu adalah ibadah.

Senyuman adalah satu-satunya persembahan yang dapat diberikan kepada sesama

di saat kesukaran.

Senyuman menggugah yang tertidur.

dan menguatkan yang loyo.

Darah dan Air, yang telah memancar dari hati Yesus sebagai sumber Kerahiman bagi kami,

Engkaulah andalanku.

Tuhan Memberkati

Oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab