Home Blog Page 30

Seberapa dalam kucintai sabda Tuhan?

0
Sumber gambar: http://media.ldscdn.org/images/media-library/jesus-christ/jesus-teaching-in-synagogue-olsen-82887-gallery-notice.jpg

[Minggu Biasa III: Neh 8:3-11; Mzm 19:8-15; 1Kor 12:12-30; Luk 1:1-4;4:14-21]

Aku senengnya sama Romo yang itu… soalnya khotbahnya ringkas, cara bicaranya ekspres, jadi Misa cepet selesai…,” demikian komentar salah seorang umat. Komentar spontan yang menggelitik. Benarkah jika kita menginginkan ibadat   yang “cepat selesai”?

Bacaan Pertama hari ini mengisahkan cerita yang sebaliknya. Yaitu ibadat bangsa Israel yang baru saja kembali pulang ke tanah air mereka, setelah bertahun-tahun berada di tanah pembuangan di Babilonia. Setelah tiba, mereka berkumpul untuk bersyukur dan menyembah Tuhan. Imam Ezra membacakan dan menjelaskan isi kitab Taurat yang telah mereka lupakan ketika mereka berada di tanah asing. Sabda Tuhan itu dibacakan, dari pagi sampai tengah hari, pastinya lebih dari satu atau dua jam. Namun umat mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Setelah sabda Tuhan selesai dibacakan, mereka sujud sampai ke tanah, dan bahkan dikatakan bahwa semua orang yang mendengarkannya menangis. Mari kita berhenti sejenak di sini. Kapankah atau pernahkah kita menangis setelah mendengarkan sabda Tuhan dibacakan? Sebab jangan- jangan yang lebih sering terjadi adalah bacaan sabda Tuhan yang dibacakan itu berlalu begitu saja, sedangkan pikiran kita melayang ke tempat yang lain…. Rindukah kita agar Tuhan menyapa kita melalui sabdaNya? Jika ya, apa yang sudah kita lakukan untuk sungguh mendengarkan Dia?

Bacaan Injil hari ini mencatat perkataan Yesus setelah Ia selesai membacakan nas Kitab Yesaya di rumah ibadat, “Pada hari ini genaplah nas tadi sewaktu kamu mendengarnya,” demikian sabda Yesus. Yesus-lah penggenapan janji Allah untuk membebaskan orang-orang yang tertawan dan tertindas dan penglihatan pada orang-orang buta. Yesus-lah yang datang membawa rahmat Tuhan (lih. Luk 4:18-19). Dapatkah penggenapan janji ini kualami, jika aku tidak mendengarkannya? St. Agustinus mengatakan, “Kita harus mendengarkan Injil, seperti seolah-olah Tuhan sendiri yang hadir dan berbicara kepada kita. Kita harusnya tidak berkata, ‘berbahagialah mereka yang dapat melihat Dia’, sebab banyak dari mereka yang melihat Dia [malah] menyalibkan Dia. Dan banyak yang tidak melihatNya telah percaya kepadaNya…” (St. Augustine, Commentary on St. John’s Gospel, 30).

Katekismus—seolah mengulangi ajaran St. Agustinus ini—mengatakan, “… Ia [Kristus] hadir dalam sabda-Nya sebab Dia-lah sendiri yang berbicara ketika Kitab Suci dibacakan di dalam Gereja…” (KGK 1088). Perkataan- perkataan ini menggugah kita untuk memeriksa batin, sejauh mana kita telah mendengarkan sabda Tuhan seperti seolah-olah Tuhan sendiri yang menyampaikannya  kepada kita. Atau, kalau kita ditugaskan untuk membacakan sabda Tuhan ataupun menyanyikan Mazmur dalam liturgi, sejauh mana kita mempersiapkannya dan menyadari bahwa  kita dipakai Tuhan untuk menyuarakan sabda-Nya di tengah umat-Nya? Ah, seandainya kita semua memiliki kesadaran ini, tentunya tak ada orang yang mengobrol atau bermain Hp saat sabda Tuhan dibacakan; dan tak ada orang yang boring (bobo miring) saat homili. Sebab semua umat menyadari bahwa saat itu Tuhan sedang berbicara kepada umat-Nya. Ya, perhatian penuh terhadap sabda Tuhan tidak hanya milik para imam yang membacakan Injil dan menjelaskannya di homili, tetapi juga kepada semua umat—baik para petugas liturgi maupun umat lainnya—yang mendengarkannya. Yaitu, agar kita tidak mendengarkan sabda sambil lalu dan ingin agar cepat berlalu. Tetapi untuk mendengarkannya dengan sepenuh hati, dan kemudian merenungkannya sepanjang hari.  Sebab hal mendengarkan sabda Tuhan ini tidak hanya terbatas pada saat Misa Kudus. Melainkan seharusnya, kita sudah membaca bacaan sabda dalam Misa Kudus itu, bahkan sebelum kita menghadirinya setiap hari, dan kemudian merenungkannya. Sabda Tuhan, walau mungkin sudah pernah kita dengar, tetaplah selalu baru dan dapat menyentuh hati kita dengan cara yang berbeda dalam setiap kesempatan. Jika kita sungguh mengasihi Tuhan, sudah selayaknya kita rindu mendengarkan sabda-Nya dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentangnya. Sebab dengan demikian, kita dapat semakin mengenal dan mengasihi Dia, dan karena itu, kita semakin terdorong untuk mengasihi sesama, terutama sesama anggota Tubuh Kristus.

Sabda-Mu ya Tuhan, adalah Roh dan kehidupan…” demikian kalimat Mazmur yang meresap ke dalam hatiku hari ini. “Ya Tuhan, semoga Engkau berkenan akan renungan hatiku, dan menyalakan di dalamnya Api cinta Roh Kudus-Mu. Amin.”

Doa ibu besar kuasanya

0
Sumber gambar: http://www.canadiancatechist.com/wp-content/uploads/2015/12/00-00-vasili-nesterenko-the-marriage-feast-at-cana-in-gallilee-2001.jpg

[Minggu Biasa II: Yes 62:1-5; Mzm 96:1-10; 1Kor 12:4-11; Yoh 2:1-11]

Sebagai intensi Misa Kudus hari ini, kita turut bersyukur bersama dengan salah seorang saudara kita yang mengucap syukur atas terkabulnya permohonan melalui doa novena Tiga Salam Maria…,” demikian ucap Romo Paroki kami di salah satu perayaan Ekaristi. Mungkin ungkapan syukur semacam ini telah sering kita dengar, atau malah kitapun pernah mengajukannya. Tak bisa dipungkiri, besar kuasa doa Bunda Maria, yang memang bukan baru terjadi di masa ini, tetapi juga di masa ketika ia masih hidup di dunia. Bacaan Injil hari ini menyatakannya, yaitu di pesta perkawinan di Kana. Ketika itu, Bunda Maria melihat bahwa pasangan itu kekurangan anggur. Ia lalu berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur.” Suatu kalimat sederhana, tanpa meminta, tanpa mendesak. Tetapi selanjutnya seolah ada seruan tanpa kata, yang mungkin hanya dipahami oleh Tuhan Yesus, “Tetapi aku percaya kepadaMu, Anakku. Aku menaruh harap kepadaMu. Yesus, aku tak meminta apapun untuk diriku sendiri, tetapi ini untuk mereka.” Dan kita semua mengetahui bagaimana kisah selanjutnya. Yesus menanggapi permohonan ibu-Nya, dan melakukan mukjizat-Nya yang pertama.

Dari perikop Injil Yohanes ini, kita mengetahui bahwa Bunda Maria adalah seorang ibu yang peka akan kebutuhan sesamanya. Dan Tuhan menghendaki bahwa mukjizat Yesus yang pertama itu didahului oleh permohonan ibu-Nya, yang tertuang dalam kalimat pendek, “Mereka kehabisan anggur”. Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa kalimat singkat semacam itu menjadi doa yang begitu besar kuasanya? St. Alfonsus Liguori dalam salah satu khotbahnya mengatakan, “Mengapa doa-doa Maria begitu berdaya guna di hadapan Tuhan? [Sebab] doa-doa para orang kudus [yang lain] adalah doa-doa dari para hamba, tetapi doa-doa Maria adalah doa dari seorang Ibu, yang dengan demikian berdaya guna dan besar kuasanya. Karena kasih Yesus kepada ibu-Nya tidaklah terbatas, maka permohonan ibu-Nya tidaklah mungkin tidak didengarkan… Tak ada seorang pun yang meminta Bunda Maria untuk memohon kepada Puteranya atas nama pasangan yang bermasalah itu. Di atas semua itu, hati Maria, yang tak pernah gagal untuk berbelas kasih kepada orang yang tidak beruntung… mendorongnya untuk mengambil bagi dirinya sendiri, tugas untuk memohon mukjizat kepada Puteranya, meskipun tidak diminta…. Jika Bunda Maria bertindak demikian tanpa diminta, apa yang akan terjadi, jika mereka memintanya?” (St. Alphonsus Liguori, Abbreviated Sermons, 48: On Trust in the Mother of God).

Ya, apa yang terjadi, jika kita sebagai umat beriman mau memohon kepada Bunda Maria untuk mendoakan kita? Tentu, ia akan bersegera membawa permohonan kita ke hadapan Kristus Puteranya. Memang yang mengabulkan permohonan kita tetaplah Tuhan saja, tetapi alangkah beruntungnya kita, jika bunda-Nya turut menjadikan ujud doa kita sebagai permohonannya sendiri, sebagaimana yang dilakukannya di pesta di Kana itu. Sebab walau bisa saja kita tidak “kekurangan anggur”, tetapi adakalanya kita kekurangan cinta kasih, dan manisnya kehidupan. Mungkin ada saatnya hidup kita terasa rutin dan hambar, entah dalam perkawinan, keluarga maupun di tempat kerja, di sekolah, ataupun di gereja. Sejujurnya, hanya Tuhan yang dapat mengubah hal yang biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang sungguh berarti dan mendatangkan kebahagiaan. Hanya Tuhan yang dapat mengubah duka menjadi suka, pahit getir kehidupan menjadi pengalaman yang memperkaya iman. Bunda Maria telah sejak awal memahami pergumulan hidup di dunia. Kini di Surga ia terus menerus mendoakan kita, dan doa syafaatnya menjadi pelayanannya yang tertinggi yang diberikannya kepada Allah. Itulah karunia yang diberikan Allah kepada Bunda Maria, dan juga kepada para kudus-Nya. Bunda Maria menjadi pendoa bagi kita, yaitu anak-anaknya yang masih berziarah di dunia ini. Sebab Tuhan Yesus memang membagi-bagikan karunia-Nya untuk kepentingan bersama (lih. 1Kor 12:4-7). Ia mengikutsertakan  anggota-anggota Tubuh-Nya untuk turut melaksanakan karya keselamatan-Nya. Ia memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya (1Kor 12:11), demi kemuliaan nama-Nya. Dan seperti Bunda Maria, jika kita telah mengalami penyertaan dan pertolongan Tuhan, kitapun dipanggil untuk menjadi pendoa bagi mereka yang membutuhkan, supaya mereka pun mengalami belas kasih-Nya.

Maka marilah kita mensyukuri karya agung Tuhan untuk menyelamatkan kita. Kita bersyukur atas berbagai karunia yang diberikan-Nya kepada anggota-anggota Gereja demi kebaikan bersama. Termasuk di dalamnya, kita bersyukur untuk karunia-Nya kepada Bunda Maria, yang menjadikannya pendoa syafaat bagi kita semua. Dengan melihat kepada Bunda Maria, yang telah menerima penggenapan janji keselamatan Allah, kita pun terdorong untuk mengikuti teladan imannya. Teladan iman ini, dimulai dengan ketaatan dan kesediaan untuk melaksanakan kehendak dan perintah Tuhan. Bukankah Bunda Maria telah lebih dahulu menunjukkan ketaatan imannya ketika ia menerima sabda Allah yang disampaikan oleh malaikat itu? Kini, Bunda Maria mendorong kita untuk taat kepada Tuhan, dengan berpesan, “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” (Yoh 2:5) Dan dengan demikian, kita berharap bahwa Tuhan Yesus akan mengubah apa yang hambar dalam hidup kita menjadi apa yang manis bagi kemuliaan nama Tuhan!

Kami mohon ya, Tuhan, semoga kami dapat memperoleh pertolongan dari doa-doa syafaat Bunda Maria. Agar kami, yang diperkaya oleh bantuannya, dapat dilepaskan dari segala marabahaya dan memperoleh rahmat kasih dan kesatuan di dalam Engkau, Tuhan dan Juruselamat kami. Amin.

Refleksi awal tahun baru: Bergaya

0

“Relakah aku memberikan liburan tahun baruku untuk menghibur yang berduka?” Itulah pergulatan batinku di saat seorang ibu memohon dengan sangat agar aku memimpin Misa Requiem untuk ayahnya pada tanggal 01 Januari 2016. Ia bukan umat parokiku sehingga aku bisa membenarkan diri untuk menolaknya. Untunglah suara hatiku masih peka terhadap kelelahannya. Ia pasti telah menghubungi banyak pihak dan jawabannya pasti sama “aku tidak bisa”. Aku pun mengatakan “siap”. Kata “siap” dariku ternyata membuatnya lega karena ia hampir putus asa. Kelegaannya nampak jelas dari air matanya yang deras.

Misaku hanya dihadiri oleh segelintir umat. Keadaan ini dapat dimaklumi karena banyak orang menyambut pergantian tahun baru di luar kota atau masih pulas setelah merayakan detik-detik perubahan tahun.

Aku tidak menghakimi keadaan itu. Keadaan itu menyadarkan aku bagaimana menjadi seorang Katolik yang bermutu. Seorang Katolik yang bermutu terangkum dalam puisi ini. Semoga tidak ada yang tersinggung karena ini hanyalah refleksiku.

Katolik bukanlah sekedar sebuah “aksi”.

Salib tergantung di leher biar nampak keren.

Kemaki dan penuh gaya dengan membawa Kitab Suci ke sana ke mari.

Semua kursus Kitab Suci diikuti biar nampak sebagai ahli.

Ayat Kitab Suci dihafal dan digunakan kapan saja

agar semua orang tahu bahwa ia adalah sumber kebijaksanaan.

Nyanyian dengan keras digemakan,

dan kata “Yesus” yang diserukan berkali-kali agar nampak suci.

Katolik adalah perbuatan cinta yang nyata.

Yang haus diberi minum.

Yang lapar diberi makan.

Yang berduka dihibur.

Yang lemah dilindungi.

Yang takut ditemani.

Semuanya perlu pengorbanan diri agar cinta itu terjadi.

Jawaban atas refleksiku kudapat dari anjing pittbullku yang nampak lelah tertidur di samping gereja. Ia lelah karena berjaga semalam suntuk ketika kebanyakan orang larut dalam kegembiraan dan semaraknya kembang api sehingga mungkin lupa untuk peduli. Ia peka terhadap ketakutan satpam atas hal buruk yang mungkin terjadi sehingga ia rela duduk di samping pos satpam di tengah hujan rintik-rintik. Aku belai kepalanya sambil mengucapkan terimakasih: “Bourbon, jangan-jangan kamu itu Katolik ya… karena kamu telah memberi teladan kesetiaan, kepekaan, dan pengorbanan. Trim ya Bon. Selamat tahun baru Bon. Hebat kamu Bon, sudah berkorban dan tak perlu balasan. Memang kamu adalah teladan cinta yang nyata bagiku”.

Tuhan Memberkati

Sharing refleksi akhir tahun: Tak Kandas

0

Sharing refleksi rohani oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

“Manusia boleh menentukan jalan hidupnya, tetapi Tuhanlah yang menentukannya. Jalan Tuhan pasti terbaik bagi anak-anak-Nya”. Itulah pesan rohani yang aku peroleh dalam perjalanan rohaniku. Perjalanan rohani ini merupakan retret pribadiku sebagai ucapan syukur atas tahun 2015, seperti yang biasa aku lakukan pada akhir tahun.

Awalnya aku merencanakan untuk bermeditasi di gua-gua Maria di sekitar Yogyakarta. Macetnya kota Yogyakarta dalam liburan Natal ini tanpa kusadari menuntun perjalananku ke arah Solo. Aku sampai di kota itu pada tengah malam tanggal 27 Desember. Aku tak tahu mau ke mana. Ketika aku diam dalam keadaan hampir putus asa, Tuhan terasa berbicara dalam hatiku: “Pergilah ke Tawangmangu, di sana engkau akan bertemu denganKu”.

Aku bertekad berjiarah ke Gua Maria Sendang Pawitra di Tawangmangu. Berjalan ke sana tidaklah mudah. Selain jalannya jauh, aku harus melewati jalan-jalan berliku-liku di tengah hutan. Suasana gelap dan sepi membuat perjalananku agak mencekam. Ketika terang tiba, pemandangan menjadi indah. Pegunungan yang dipenuhi dengan pepohonan hijau dan sungai-sungai yang mengalirkan air bersih mengingatkan akan Tuhan, Sang Sumber kehidupan, bagi yang mengandalkanNya: “Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah” (Yeremia 17:8). Mereka yang sepenuhnya mengandalkan Tuhan akan diberkati. Mereka tidak akan takut atau kuatir kehidupannya karena akar mereka tertanam sangat dalam di dalam Tuhan.​

Setelah menginap semalam di tengah hutan, tanggal 28 Desember, aku melanjutkan perjalanan ke gua Maria itu. Nama gua Maria itu melambangkan Tuhanlah Sumber Berkat. Sendang berarti sumber air dan Prawita adalah tempat penyucian. Tuhan akan mengalirkan berkat-Nya bagi orang yang suci hatinya. Orang yang suci hatinya adalah orang yang mengandalkan Tuhan.​

Teladan hidup yang mengandalkan Tuhan ini aku dapatkan dari seorang bapak yang menjaga dan membersihkan Gua Maria itu. Bapak itu bukan bergama Katolik. Nama bapak tersebut adalah Bapak Sutarno dan usianya enam puluh lima tahun. Ia bekerja di situ sejak Gua Maria tersebut dibangun pada tahun 1985, berarti sudah tiga puluh tahun. Aku bertanya kepadanya: “Pak, mengapa bapak rela begitu lama menjaga dan membersihkan Gua Maria itu”. Jawabannya: “Dengan membersihkan dan menjaga gua Maria itu, saya menjadi dekat dengan Tuhan. Dekat dengan Tuhan membuat saya tidak kuatir dengan rejeki dari Tuhan. Tuhan sudah mengatur rejeki bagi setiap ciptaan-Nya. Ketiga anakku sudah selesai sekolahnya dan kini sudah bekerja tanpa aku tahu darimana uang untuk biayanya itu”. Aku melanjutkan pertanyaan kepadanya: “Pak, mengapa bapak tidak kuatir dengan rejeki, kan hidup sekarang itu susah”. Jawabannya sangat mengagumkan: “Jangankan manusia yang hidup di atas tanah, makhluk yang ada di dalam tanah saja sudah disediakan rejekinya oleh Allah. Pohon pun yang tidak berpindah pun sudah disiapkan pula rejekinya oleh Yang Mahakuasa. Karena itu, mengapa kita yang berakal dan berpindah-pindah tidak percaya bahwa Allah sudah menyediakan rejeki bagi kita ? Yang penting aku senantiasa bersyukur kepadaNya. Dengan bersyukur kepadaNya, hati ini terasa tentram dan hidup menjadi tenang bersama dengan pohon-pohon dan binatang-binatang di sini karena mendapatkan rejeki yang sama dari bumi yang sama”. Luar biasa, bapak yang tidak Katolik ini melaksanakan tema Natal kita, yaitu Membangun Hidup Bersama Sebagai Keluarga Allah.​

Sebelum pulang, aku membasuh mukaku dengan air yang keluar dari sendang di samping gua Maria itu. Semoga kekudusan Tuhan tetap mengiringi hidupku dan umatku dipenuhi dengan berkat karena mengandalkan dan menaruh harapan kepadaNya.​

Setelah selesai melakukan meditasi di Gua Maria Prawita, aku meluncur ke Pertapaan Gedono di Salatiga. Di tempat pertapaan itu, aku merenungan seluruh kehidupanku dan kehidupan umatku selama tahun 2015 dan menghaturkan syukur atas perlindungan-Nya serta mohon berkat-Nya untuk tahun yang akan datang.

Aku tiba ke Pastoran Citra Raya tanggal 30 Desember pagi. Yang aku sapa pertama kali adalah anjing pittbull, yang sebelumnya aku benci dan takuti. Aku belai kepalanya dan aku beri minum sambil berkata kepadanya: “Bonbon, maafkan aku selama ini aku membencimu. Pasti kamu sedih dengan sikapku. Kita berdamai ya karena kita mendapatkan sumber kehidupan yang sama”. Setelah aku mengatakan hal itu, pittbul ini begitu manis dan menjadi sahabatku. Benarlah kata Pak Sutarno bahwa dengan bersyukur, hati menjadi tentram dan dapat berdamai dengan siapa saja.​

Kesimpulan dalam perjalanan rohaniku terungkap di dalam doaku, yaitu doa penutup tahun yang lalu dan menyambut tahun yang akan datang :

Tuhan,
Jalan hidupku rumit.
Tapi aku terus berjalan melaluinya.
Aku senantiasa mencoba melangkah
walau sulitnya luar biasa.

Tuhan,
aku sering menangis dan mengeluh.
Kakiku capai untuk melangkah,
tetapi aku mencoba
agar semua harapanku tak pernah kandas.

Engkaulah sumber berkat kehidupan,
yang membuat hati tenang dan tentram,
karena hidup berdamai dengan semua ciptaan.

Tuhan memberkati

Disatukan dengan Kristus melalui Baptisan, dijadikan serupa dengan-Nya dalam kehidupan

0

[Pesta Pembaptisan Tuhan: Yes 40:1-11; Mzm 104:1-1,4, 24-30; Ti 2:11-14;3:4-7; Luk 3:15-16, 21-22]

Walaupun keluargaku tidak mendukung, aku tetap memutuskan untuk dibaptis… Aku sudah lelah hidup tanpa pegangan, dan aku tahu, telah lama Tuhan Yesus menantikan aku agar menjadi murid-Nya…,” demikian ujar seorang teman kami. Ia kemudian membagikan kisah perjuangannya untuk mengikuti kelas katekumenat, dan bagaimana ia harus selalu mencari akal untuk membaca kembali di rumah, bahan yang baru diajarkan di kelas. Suatu perjuangan yang tidak mudah, dan tentunya mensyaratkan ketekunan. Di hari Baptisannya, kami hadir. Gereja penuh sesak turut merayakan peristiwa Baptisan baru yang mencapai lebih dari seratus orang itu. Di akhir perayaan Misa, kami menghampiri teman kami. Ada tetes air mata haru, dan senyum bahagia tak terkira. Hari ini, Gereja bersukacita menyambut kelahiran anak-anaknya, yaitu mereka yang telah menjadi percaya akan Allah Tritunggal Mahakudus—Bapa, Putera dan Roh Kudus serta mereka yang mau bertobat dan memperoleh kehidupan baru di dalam Kristus.

Setiap dari kita memiliki ceritanya sendiri-sendiri, bagaimana sampai kita dibaptis. Ada yang dibaptis sejak bayi, namun ada pula yang dibaptis setelah remaja ataupun dewasa. Ada yang dibaptis tanpa “tantangan yang berarti”, namun ada pula yang harus bersusah payah dalam masa persiapan sebelum Baptisan, entah karena tidak didukung keluarga ataupun karena tantangan lainnya. Tetapi, setelah kita semua dibaptis, hal yang perlu kita renungkan adalah, apakah kita sungguh-sungguh telah menghayati makna Baptisan itu? Sudahkah kita senantiasa bersyukur kepada Tuhan atas rahmat Baptisan itu? Apakah kita sudah hidup sesuai teladan Kristus Penyelamat kita?

Rasul Paulus mengatakan, bahwa melalui Baptisan atau permandian kelahiran kembali, kita menerima rahmat Allah yang menyelamatkan (lih. Ti 3:4). Kita dilepaskan dari perhambaan dosa, dan kesalahan kita diampuni (lih. Yes 40:2). Kita dibebaskan dari segala kejahatan dan dikuduskan untuk menjadi umat milik Tuhan sendiri (Ti 2:14). Dan sebagai orang yang dibenarkan oleh Tuhan, kita dapat “menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita” (Ti 3:7). Itu semua karena melalui Baptisan kita disatukan dengan Kristus, yang telah wafat dan bangkit bagi kita. Di awal pelayanan publik-Nya, Yesus telah menggambarkan peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya dengan Baptisan-Nya oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan. Tuhan Yesus yang tidak berdosa, rela merendahkan diri-Nya dan menghendaki agar Ia dibaptis, agar menunjukkan kepada kita pentingnya Baptisan. Sebab melalui Baptisan kita dilahirkan kembali dalam air dan Roh (lih. Yoh 3:5), agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Saat kita dibaptis, sesungguhnya, kita menerima rahmat Allah yang menyelamatkan itu. Dalam Baptisan, perkataan sabda-Nya yang dahulu dinyatakan kepada Yesus Putera-Nya, kini ditujukan kepada kita. Allah yang sama menyatakan kepada kita,  “Engkaulah anak-Ku yang Kukasihi, kepadamulah, Aku berkenan.” Dan Roh Kudus-Nya turun atas kita, dan kita diangkat menjadi anak-anak-Nya. Betapa kita perlu berhenti sejenak merenungkan hal ini: kita diangkat menjadi anak-anak Allah. Betapa tak terbayangkan! Allah yang demikian kudus, merangkul kita semua. Ia mengampuni segala dosa dan kesalahan kita, dan mengaruniakan Roh Kudus-Nya agar kita boleh mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya. Supaya kita dapat dibentuk-Nya menjadi semakin mirip dengan Putera-Nya, Yesus Kristus.

Saat kita mensyukuri rahmat Baptisan yang kita terima, mari kita daraskan doa yang disusun oleh Beato Kardinal John Henry Newman, doa mohon keserupaan dengan Kristus:

Tuhan Yesus yang terkasih,
bantulah aku menyebarkan keharuman-Mu ke mana pun,
penuhilah jiwaku dengan semangat dan hidup-Mu.
Resapilah dan milikilah keseluruhan diriku sepenuhnya,
sehingga seluruh hidupku semata-mata
menjadi pantulan cahaya-Mu.
Bersinarlah melalui aku dan jadilah demikian dalam diriku,
supaya setiap jiwa yang kutemui,
dapat merasakan kehadiran-Mu dalam jiwaku.
Biarlah mereka melihat, tidak lagi diriku,
tetapi hanya Engkau, ya Yesus.
Amin.

Refleksi Kerahiman Allah: Pembawa Berkat

0

Banyak manusia sekarang ini dikenal “cuek” terhadap sesamanya. Kata-kata “terserah kita lah, suka-suka gua lah…, itu bukan urusan loe ….” sering terdengar di telinga kita. Kecuekan manusia ini membuat Paus Fransiskus mempunyai niat. Niat Bapa Suci itu adalah memiliki waktu bagi sesama. Niat Paus Fransiskus ini dapat kita terjemahkan sebagai pembawa berkat bagi sesama. Menjadi berkat bagi sesama merupakan salah satu pancaran wajah Kerahiman Allah.

Menjadi berkat bagi sesama terwujud dalam perbuatan baik. Perbuatan baik satu terhadap yang lain akan membuat dunia kita menjadi indah. Rumah, sekolah, dan tempat kerja kita akan menjadi tempat yang nyaman.

Perbuatan baik itu diajarkan oleh Kitab Suci: “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman”, (Galatia 6:10). Untuk dapat berbuat baik, kita tidak hanya menunggu orang datang kepada kita untuk meminta bantuan. Banyak orang yang perlu bantuan kita sering malu datang kepada kita. Mereka ini berprinsip lebih baik mati daripada menanggung malu. Untuk dapat berbuat baik, kita harus proaktif. Artinya adalah kita setiap hari harus bertanya: “Siapa yang dapat saya “berkati” hari ini?” Untuk dapat proaktif dalam perbuatan baik, kita harus peka dengan keadaan sesama kita. Orang yang menerima pertolongan kita secara tak terduga ini pasti sangat bahagia. Kebahagiaan mereka ini akan menjadi kebahagiaan kita juga karena hidup kita terasa lebih bermakna.

Kepekaan terhadap keadaan sesama ini semakin lama semakin berkurang karena manusia sekarang terjebak dalam kesibukannya sendiri. Banyak di antara kita sibuk pada kebutuhannya sendiri. Kita terperangkap dalam dunia kita sendiri: “Maaf saya tidak bisa membantu Anda karena sudah terlanjur ada acara lain”. Kita mempunyai banyak alasan untuk tidak membantu orang lain.

Kehendak untuk berbuat baik bagi sesama ini dapat dibangun kembali dengan kesadaran bahwa kita diciptakan bukan untuk hidup egois. John Bunyan mengatakan: “Anda belum hidup hari ini sampai Anda telah melakukan sesuatu untuk seseorang yang ia tidak dapat membayar kembali”. Artinya, kita belum hidup kalau kita belum berbuat baik kepada sesama. Dengan berbuat baik kepada sesama, kita disadarkan bahwa kita diciptakan bukan untuk hidup yang memikirkan diri kita sendiri.

Ketika kita memberikan pertolongan kepada sesama yang membutuhkan, kita sesungguhnya melakukannya bagi Tuhan: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40). Tuhan akan membalas kebaikan kita itu: “Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu” (Amsal 19:17).

Kita tidak harus melakukan hal-hal yang besar untuk dapat menjadi berkat bagi sesama. Perbuatan baik seperti berikut ini bisa menjadi insprasi bagi kita. Ketika kita membayar karcis parkir, jangan terima kembalinya dengan mengatakan: “Untuk Anda ya”. Demikian juga, dengan pelayan restoran yang membawa uang kembalinya kepada kita. Kita memberi waktu satu hari “off” dalam seminggu untuk pembantu kita dan mengerjakan pekerjaan mereka. Kita sekali-kali memberi nasi kotak kepada para penjaga karcis di gardu tol. Mereka pasti sangat gembira menerimanya. Kalau tidak ada uang atau barang lain sebagai ungkapan kebaikan kita, kita bisa mengucapkan terimakasih atas pelayanan mereka. Kasih terlihat dalam tindakan kita. Tindakan kasih adalah kotbah yang sejati dan dapat dimengerti oleh setiap orang.

Ketika kita menunjukkan kasih, kita menunjukkan Allah kepada dunia. Tindakan kasih merupakan kesaksian yang terbaik. Mereka tidak akan tahu bahwa kita ini adalah Katolik hanya dengan menenteng Kitab Suci ke sana ke mari. Mereka tidak akan paham bahwa kita ini adalah Katolik dengan sekedar memakai kalung salib di leher. Mereka tidak akan mengenal kita sebagai orang Katolik dengan sekedar rosario yang dipasang di mobil. Tanpa tindakan kasih, perbuatan-perbuatan itu hanya sebagai sebuah gaya/aksi, dan bukannya Katolik sejati. Orang-orang akan benar-benar tahu bahwa kita adalah murid Tuhan Yesus ketika kita menjadi pembawa berkat: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:35). Orang akan tahu kita adalah Katolik sejati dengan melihat buah kita: “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri?” ( Matius 7:16).

Ketika kita setiap hari berpikir bagaimana menjadi berkat dan tidak hanya berpikir bagaimana mendapatkan berkat, Tuhan pasti akan memenuhi hidup kita dengan banyak berkat pula. Tuhan memenuhi kita dengan banyak berkat karena Ia ingin berkat-Nya itu terus mengalir kepada banyak orang melalui kita.

Kesimpulan dari pembahasan ini terangkum dalam doa di bawah ini. Doa ini merupakan tawaran inspirasi:

Tuhan,

Engkau telah mengajarkan kepada kami tentang kasih.

Kasih yang bukan sekedar kata,

tetapi pengorbanan.

Maafkan kami, ya Tuhan,

karena wajah-Mu kami sayat dengan kecuekan.

Rasa peduli dikebiri dengan sikap egois.

Persaudaran ditikam dengan arogansi.

Tiada teman dan saudara lagi.

Hidup sebatang kara dijalani sendiri.

Derita kehidupan menjadi sekedar cerita,

yang mengundang air mata.

Tobatkan kami sebelum terlambat,

dengan mengingat surga,

yang disediakan bagi pembawa berkat.

Dengan menjadi pembawa berkat, Allah dihadirkan.

Itulah kesaksian yang terindah bagi dunia

Tuhan Memberkati

Oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab