Home Blog Page 259

Misa Imlek: Bolehkah?

33

Pertanyaan:

shalom,mohon tanggapan :
Berikut adalah Wawancara dengan Bapa Uskup Surabaya yang dimuat di Jawa Pos hari ini (Minggu, 14 Februari 2010), bagian Metropolis, hal. 30 (atau alamat situsnya: http://jawapos.co.id/metropolis_weekend/index.php?act=detail&nid=117218)

[ Minggu, 14 Februari 2010 ]
Monsiyur yang Larang Misa Imlek
“BUKAN salah bunda mengandung, tapi salah bapak nggak pakai sarung,” celetuk Uskup Surabaya Monsigneur (baca: monsinyur-Mgr) Vincentius Sutikno Wisaksono tentang ke-Tionghoa-annya. Dia lantas tertawa kencang.

Ya, pemimpin gereja Katolik yang meliputi 15 kota di Jatim plus dua kabupaten di Jateng itu memang berdarah Tionghoa. Tapi, sejak kecil dia tak menerapkan tradisi leluhurnya secara sakelijk (baca: saklek). Bahkan, saat ditemui di kantor Keuskupan Surabaya, Jalan Polisi Istimewa, Monsinyur Tik berterus terang bahwa dia kurang antusias berbincang soal Imlek yang jatuh hari ini.

Kegairahan tahun baru Tionghoa itu memang tak meletup-letup dalam diri Sutikno. Sejak umur lima tahun, dia mengaku tak lagi disentuhkan dengan tradisi Tionghoa. “Masiyo Tionghoa aku blas nggak iso ngomonge. Nggak tahu diuruki. (Meskipun orang Tionghoa saya tidak bisa berbahasa Tionghoa. Tidak pernah diajari),” katanya. Dia lantas tertawa lagi.

Di samping itu, Sutikno juga menganggap bahwa dia sudah nggak cocok jadi Tionghoa. “Kulitku nggak putih, mripatku yo nggak sipit-sipit banget (kulit saya tidak putih, mata saya juga tidak sipit, Red),” imbuhnya sambil menarik kelopak mata dengan telunjuknya agar terlibat lebih sipit.

Suktikno lalu mengambil secarik kertas. Dia lalu menuliskan: Oei Tik Haw. “Ini nama Tionghoa saya. Sekarang jadi Sutikno Wisaksono,” kata arek Suroboyo asli yang terkenal sangat ceplas-ceplos itu. Sutikno lalu menuliskan nama kedua orang tuanya. Yakni Oei Tik Tjia, ayahnya dan Kwa Siok Nio, ibunya.

Meski benar-benar berasal kalangan Tionghoa, Sutikno mengaku tidak berperan banyak untuk kebudayaan Tionghoa. Bahkan dengan ketegasannya sebagai Uskup, pemangku gereja, Sutikno menegaskan peraturan yang dia sadari bisa memancing cibiran umat dari kalangan Tionghoa. Yakni, membebaskan liturgi (tata perayaan) Katolik dari pernik-pernik Imlek.

Memang, sejak Sutikno ditahbiskan menjadi Uskup Surabaya pada 29 Juni 2007, tidak ada lagi gereja-gereja Katolik di bawah Keuskupan Surabaya yang berani memasang pernik-pernik khas Imlek. Tentu saja sudah tidak ada lagi misa Imlek. “Sudah saya larang keras. Sekarang sudah bersih,” katanya.

Pria 56 tahun itu lalu menceritakan, sebelum dia menjabat Uskup, ada beberapa gereja Katolik yang terang-terangan mengadakan misa Imlek. Perayaannya pun terkesan megah. Misalnya ada tarian-tarian barongsai, kolekte (persembahan, Red) pun dengan barang-barang wah. Selain itu, bagi-bagi angpau juga dilakukan di dalam gereja. “Masak waktu misa ada tari-tariannya. Sing siao se sa saui,” katanya menirukan logat Tionghoa awur-awuran. Sutikno lalu berdiri, tangannya digerak-gerakkan mencoba menirukan gerakan tarian Barongsai. “Kan nggak ada hubungannya dengan Ekaristi (misa). Nek kecekluk piye,” imbuhya lalu tertawa kencang.

Dia lalu menyempatkan masuk ke ruangannya untuk mengambil buku. Buku hijau itu berjudul Redemtionis Sacramentum yang berarti Sakramen Penebusan. Mengenakan kacamata bacanya, Sutikno meneliti daftar isi. “Mmmm mana ya,” gerutunya sambil memicingkan mata. “Nah ini dia halaman 44,” ucapnya.

Setelah menemukannya dia lalu membacakan isi buku. “Tidak diizinkan mengaitkan misa dengan peristiwa-peristiwa profan atau duniawi atau mengaitkan dengan situasi-situasi yang tidak dengan sepenuhnya sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Juga perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut upacara-upacara lain,” tuturnya.

“Nah sudah jelas kan?” imbuhnya. Sutikno menerangkan bahwa pelarangan misa Imlek bukanlah tanpa dasar. Tapi itu sudah diatur dalam peraturan Gereja Katolik. Aturan itu dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen pada Hari Raya Kabar Sukacita kepada Santa Perawan Maria pada 25 Maret 2004.

Sebenarnya, Sutikno bukan anti kebudayan Tionghoa. Dia sangat menghargai dan mendukung perayaan Imlek oleh orang yang merayakan. Tapi itu tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan Gereja Katolik. Dia mempersilakan umatnya untuk merayakan Imlek di luar gereja..

Tak hanya urusan peribadatan saja yang pernah membuat Sutikno menuai cibiran. Berkaitan statusnya yang Tionghoa, Sutikno dicap sebagai Uskup yang pelit dan sangat perhitungan dalam hal keuangan. “Oh pantes lha wong Uskupe Tionghoa,” ucap Sutikno menirukan beberapa pihak yang menggerutu.

Menurutnya, saat kursi Uskup Surabaya kosong beberapa tahun lalu, laporan keuangan gereja-gereja Keuskupan Surabaya sangat amburadul. Bahkan beberapa gereja tidak pernah melaporkan keuangannya ke keuskupan. “Padahal itu kan uang umat yang harus dipertanggungjawabkan,” katanya.

“Katanya saya mata duiten lah, mau cari untung lah. Tapi cuek saja. Yang penting saya benar. Ini untuk dipertanggungjawabkan ke umat,” kata Uskup yang ditahbiskan menjadi imam pada 21 Januari 1982 itu. “Mungkin ini untungnya punya uskup Tionghoa. Teliti masalah keuangan,” imbuhnya. Kembali, tawanya meledak.

Sutikno menceritakan sejak kecil, dirinya tidak pernah dicekoki kedua orang tuanya tentang kebudayaan Tionghoa. Sebab, kata Sutikno, meski keturunan Tionghoa asli, latar pendidikan kedua orang tuanya lebih mengarah ke budaya Belanda. Ayahnya yang bernama Indonesia Widiatmo Wisaksono dulu bersekolah di sebuah SMK milik Belanda yang terletak di kawasan Pasar Turi.

Bahkan kedua orang tuanya lebih kuat menanamkan kebudayaan Indonesia kepada Sutikno. “Kita ini orang Indonesia yang hidup dari Indonesia dan harus berbuat banyak untuk negara Indonesia,” tutur Sutikno menirukan wejangan ayahnya.

Menurutnya Tionghoa, Jawa, Betawi dan ras lainnya hanyalah sebuah kebetulan yang sudah ditentukan oleh Tuhan. “Tapi pada hakikatnya kita adalah manusia yang sama di mata Tuhan,” terangnya. “Jadi saya menjadi Tionghoa bukan karena salah bunda mengandung, tapi salah bapak nggak pakai sarung,” selorohnya. Uskup itu lantas cekikikan. (kuh/dos)

Jawaban:

Shalom Robert Indargo,

Pertama- tama kami mohon maaf atas keterlambatan jawaban kami.

Demikianlah tanggapan kami terhadap pernyataan di atas:

1. Jika Bapa Uskup Sutikno telah melarang diadakannya Misa Imlek, maka sebagai umat Katolik (baik imam maupun awam) yang berdomisili di keuskupan Surabaya wajib menaatinya. Mari kita menghargai kebijaksaan Bapa Uskup yang mungkin bermaksud mencegah terjadinya percampuran budaya yang simpang siur, di mana ada barongsai masuk gereja, yang tentu tidak sesuai dengan ajaran Kristiani.

2. Di lain pihak, kita mengetahui di beberapa negara yang merayakan Imlek, seperti di Singapura, dan China, umum dilakukan Misa untuk merayakan Imlek. Imlek di sini dianggap semata- mata hanya perayaan syukur, apalagi di China sana, Imlek itu juga berkonotasi dengan musim semi. Jadi datangnya musim semi ini dirayakan sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Jika ini motivasinya, maka tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik, karena perayaan Ekaristi intinya juga adalah ucapan syukur. Namun demikian, terjadi pertentangan kalau dimasukkan unsur- unsur budaya seperti barongsai/ tarian naga, dst, yang memang rancu, karena di Kitab Suci, naga menggambarkan Iblis (lih. Why 12). Dan demikian jadi aneh dan tidak pada tempatnya, jika naga menari-nari di dalam gereja.

Namun perayaan Misa Imlek di Singapura, seperti yang pernah juga saya ikuti, tidak melibatkan tarian barongsai ataupun dekorasi lampion. Misanya sederhana saja, seperti pada hari Minggu biasa, paling-paling ada dekorasi dengan kain merah dan bunga- bunga. Setelah Misa selesai, umat menerima jeruk, sebagai tanda syukur atas berkat Tuhan.

Jadi jika di keuskupan lain Uskup memperbolehkan diadakannya Misa Imlek, maka silakan saja bagi yang merayakannya untuk mengikutinya. Hanya saja memang perlu dicermati, agar di dalam Misa tidak dicampuradukkan budaya yang tidak pada tempatnya. Tidak perlu gereja “disulap” dengan lampion seperti klenteng, ataupun ada tari- tarian barongsai di Misa. Jika sampai mau diadakan pembagian jeruk, silakan dilakukan setelah Misa selesai, setelah berkat dan lagu penutup.

Kesimpulannya, mari kita menaati apa yang telah ditetapkan oleh pemimpin Gereja Katolik, di mana kita berada. Kita percaya, para Uskup memutuskan segala sesuatu sesuai dengan keadaan umat di wilayahnya, dan mari kita dengan lapang hati menaatinya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Yesus yang turun ke tempat penantian

47

Apa yang dilakukan Yesus selama tiga hari dari Jumat sore sampai Minggu pagi? Di dalam syahadat para rasul disebutkan “Aku percaya akan Allah…dan akan Yesus Kristus, ….. yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat, dan dimakamkan, yang turun ke tempat penantian, pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati, yang naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Mahakuasa….

Di sini memang benar dikatakan tempat penantian, karena pada waktu itu orang-orang benar yang meninggal dari jaman Adam sampai ke jaman sebelum Kristus belum dapat masuk ke surga, karena Yesus belum “membuka” pintu surga dengan penderitaan, wafat dan bangkit dan kenaikan-Nya ke Sorga. Maka sebelum korban Yesus di salib, memang jiwa-jiwa mereka masih menanti di pangkuan Abraham, seperti yang kita ketahui dari Luk 16:22. Maka tempat ini memang layak disebut tempat penantian karena jiwa- jiwa orang benar mereka akan menanti di pangkuan Abraham/ the bosom of Abraham. Setelah kebangkitan-Nya, Yesus datang untuk menjemput jiwa-jiwa orang benar ini untuk membawa mereka ke surga, sebab Yesuslah yang disebut yang Sulung dan lebih utama dari segala yang diciptakan, yang Sulung yang bangkit dari antara orang mati, yang oleh korban salib-Nya mendamaikan umat manusia dengan Allah dan memimpin mereka untuk masuk ke surga (lih. Kol 1 :15-20). Berikut ini adalah yang diajarkan oleh Gereja Katolik dalam Katekismus Gereja Katolik:

KGK 633 Kitab Suci menamakan tempat perhentian orang mati, yang dimasuki Kristus sesudah kematian-Nya “neraka”, “sheol” atau “hades” (Bdk. Flp 2:10; Kis 2:24; Why 1:18; Ef 4:9)., karena mereka yang tertahan di sana tidak memandang Allah (Bdk. Mzm 6:6; 88:11-13).. Itulah keadaan semua orang yang mati sebelum kedatangan Penebus, apakah mereka jahat atau jujur (Bdk. Mzm 89:49; I Sam 28:19; Yeh 32:17-32.). Tetapi itu tidak berarti bahwa mereka semua mempunyai nasib sama. Yesus menunjukkan hal itu kepada kita dalam perumpamaan tentang Lasarus yang miskin, yang diterima (Bdk. Luk 16:22-26.)”dalam pangkuan Abraham“. “Jiwa orang jujur, yang menantikan Penebus dalam pangkuan Abraham, dibebaskan Kristus Tuhan waktu Ia turun ke dunia orang mati” (Catech. R. 1,6,3). Yesus tidak datang ke dunia orang mati untuk membebaskan orang-orang terkutuk dari dalamnya (Bdk. Sin. Roma 745: DS 587)., juga tidak untuk menghapuskan neraka (Bdk. DS 1011; 1077.), tempat terkutuk, tetapi untuk membebaskan orang-orang benar, yang hidup sebelum Dia (Bdk. Sin. Toledo IV 625: DS 485; bdk juga Mat 27:52-53.).

Jiwa-jiwa orang benar yang berada di tempat penantian hanya mempunyai satu tujuan setelah kedatangan Kristus, yaitu ke Surga. Yang masuk ke Api Penyucian pasti pada akhirnya akan masuk ke Surga. Namun, Setelah Kristus turun ke tempat penantian, maka pangkuan Abraham atau bossom of Abraham tidak ada lagi. Setelah kebangkitan Kristus hanya ada: 1) Sorga, 2) Api Penyucian, dan 3) Neraka.

Conventio Scripta

4

(Perjanjian tertulis Uskup diosesan dengan Tarekat/Serikat)

Missio ad gentes

Sejarah Misi Gereja Katolik di Indonesia diawali dengan karya misi para imam, bruder dan suster dari tarekat religius yang berasal dari Eropa. Hal itu bisa kita pahami karena Gereja yang hidup dalam sejarang bersifat misioner (missio ad gentes) menurut hakekatnya sendiri (bdk AG, 2). Awal misi sebelum konsili Vatikan II bercirikan pada karya misi dibawah tarekat/serikat (ius commisionis) dimana Gereja Universal dibawah pimpinan Paus memberikan kewenangan kepada Tarekat/Serikat meluaskan karya pewartaan sampai ke ujung-ujung dunia. Kini setelah Konsili Vatikan II, kewenangan pada tarekat beralih dari ius commisionis ke ius mandatum yang kewenengan karya misioner penuh diberikan kepada otoritas Uskup diosesan. Sejalan dengan perkembangan sejarah misi atas permintaan para superior maiore tarekat/serikat kepada Kongregasi Evangelisasi Bangsa Bangsa, pada tgl 03 Juli 2004 mengeluarkan surat kepada para Uskup dan Superior General tentang perjanjian tertulis antara Uskup diosesan dengan Tarekat yang bekerja di Gereja lokal. Disadari bahwa tarekat hidup bakti dan serikat hidup kerasulan selalu memberi terus menerus sumbangan kuat untuk proses evangelisasi, baik dalam missio ad gentes maupu dalam konsolidasi hidup komunitas kristiani. Sumbangan berharga itu sesuai dengan kharisma tarekat/serikat haruslah dikembangkan di dalam Gereja lokak dibawah kepemimpinan Uskup (bdk kan. 678, §1). Kerjasama yang baik antara Uskup diosesan dan pelabagai tarekat/serikat perlu untuk mengembangkan lebih lanjut rekasa pastoral dalam keuskupan tersebut.

Kerjasama Tarekat/Serikat dengan Keuskupan

Kerja sama demikian itu antara pelbagai Tarekat dan Uskup perlu untuk mengembangkan lebih lanjut reksa pastoral dalam keuskupan. Karisma khas setiap Tarekat dapat memberi sum-bangan untuk mengembangkan kasih dalam Gereja setempat (bdk.VC 48). Dengan menghargai karismanya sendiri yang khas dalam Gereja, kegiatan misioner Tarekat harus mendapatkan tempat dalam rencana pastoral Keuskupan di mana mereka ada dan berkarya; Di lain sisi Gereja setempat harus tumbuh dalam kesa-daran akan cita-cita hidup bakti dan memajukan panggilan memeluk status hidup ini (bdk. Ecclesia in Asia, 44d). Masing-masing mempunyai kewajiban untuk rajin beru-saha dan dengan seksama membangun Tubuh Mistik Kristus, dan untuk bekerja bagi kesejahteraan Gereja-Gereja setempat (bdk.CD 33). Para anggota Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, baik tingkat ke-pausan maupun tingkat keuskupan, termasuk, menurut suatu aspek khas, keluarga Keuskupan dan memberi sumbangan yang amat berharga kepada hirarki. Dalam konteks kebutuhan yang makin besar akan kerasulan, mereka dapat dan harus mem-berikan sumbangan yang makin besar (bdk.CD 34). Dengan memperhatikan semestinya apa yang benar bagi Gereja universal dan keuskupan, mereka harus menyesuaikan karyanya menurut kebutuhan waktu dan tempat, di mana mereka hidup. Semangat misioner mereka menurut hakikatnya, harus dipelihara dan dise-suaikan dengan kondisi modern, sehingga pewartaan Injil kepada semua bangsa menjadi lebih efektif (bdk.PC 20). Untuk koordinasi partisipasi pelbagai Tarekat dalam kegiatan pastoral Keuskupan, Gereja telah memberi pedoman yang jelas (bdk.kan.675, §3, 678-683).Perlu berpegang pada norma-norma itu untuk mengembangkan integrasi yang lebih mudah Tarekat ke dalam rencana pastoral umum Keuskupan dan kerasulan yang lebih efektif. Dalam konteks ini, di manapun seorang Uskup mempercayakan kegiatan pastoral kepada suatu Tarekat, Gereja mewajibkan perjanjian tertulis antara Uskup diosesan dan Pemimpin yang berwenang Tarekat ybs. (bdk.kan.681, §2). Perjanjian tersebut harus menggariskan dengan jelas dan tepat setiap rincian mengenai karya yang harus dilakukan, orang-orang yang akan ditunjuk untuk kerasulan dan aspek-aspek ekonomis.

Norma-norma kanonik mengenai beberapa hubungan antara Gereja setempat dan Tarekat Religius

  • Sehubungan dengan kepemimpinan dan tata tertib religius Tarekat diatur oleh kann. 593, 594; kerasulan mereka oleh kann. 678, 650.
  • Pengusiran seorang religius dari Keuskupan diatur oleh kan. 679.
  • Karya dipercayakan menurut kan. 681.
  • Pemberian jabatan diatur oleh kan. 682.
  • Sehubungan dengan hak Uskup atas kunjungan, bdk.kan. 683.
  • Untuk pendirian komunitas religius dalam keuskupoan, bdk.kan.609, §1
  • Untuk pemercayaan paroki kepada Tarekat Religius atau Serikat Hidup Kerasulan, bdk.kan. 520.
  • Untuk pendirian asosiasi oleh Tarekat Religius, bdk.kan. 677, §2
  • Akhirnya, penting memperhatikan kan. 591 untuk pengecualian yang mungkin.

Bidang – bidang karya dan personalia

Bidang yang terbuka bagi kerja sama: Uskup diosesan meminta kepada Tarekat atau Serikat untuk berkarya di keuskupannya, terutama untuk membantu dalam evangelisasi pertama. Tarekat bisa diminta untuk memperhatikan beberapa bidang khas, seperti:

  • Bekerja sama di bidang pendidikan dan pengajaran dalam struktur pendidikan yang dijalankan keuskupan;
  • Memberi sumbangan untuk bentuk-bentuk baru kerasulan, seperti komunitas penyembuhan, sekolah atau unika, upaya kesehatan dsb.;
  • berpartisipasi aktif dalam prakarsa atauy organisasi keuskupan.

Pemimpin Tarekat religius yang berwenang (Pemimpin Tertinggi atau Pemimpin Tinggi) memperkenalkan kepada Uskup para anggota Tarekat atau Serikat yang akan menjalankan paroki atau stasi misi.Tugas Uskup ialah membuat pengangkatan, mungkin menyetujuinya sebelumnya dengan orang-orang yang bersangkutan.

Norma-norma yang mengatur hubungan antara Tarekat dan Keuskupan harus ditetapkan dengan jelas, terutama yang menyangkut aspek ekonomi.

Lamanya perjanjian

Lamanya perjanjian biasanya, 3-6 tahun. Tarekat atau Serikat harus mempunyai kemungkinan, setelah masa waktu yang masuk akal, untuk mengembalikan paroki atau stasi misi kepada Uskup. Bila timbul kasus-kasus konkret, yang menuntut kehadiran kaum religius dalam kerasulan untuk waktu yang agak lama, haruslah masing-masing satu demi satu dievaluasi p;eh penandatangan perjanjian. Juga perlu menetapkan waktu untuk memberitahukan modifikasi perjanjian.

Contoh

Perjanjian antara Keuskupan dan Tarekat klerikal Hidup Bakti atau Serikat Hidup Kerasulan

    Perjanjian antara Keuskupan……………………………….dan Tarekat Hidup Bakti (Serikat Hidup Kerasulan)……………………………….. untuk pemercayaan karya atau paroki.
Art.1
    Yang Mulia Mgr………………………….., Uskup…………………………memercayakan kepada Tarekat (Serikat)…………………………………., yang menurut Konstitusinya, diwakili oleh Pemimpin saat ini, Romo…………………………….menerima kegiatan kerasulan……………………………berkedudukan di……………………. menurut persyaratan dan keadaan dewasa ini.
Art.2
    Para anggota Tarekat boleh mengungkapkan identitas karismanya dengan kesaksian hidup mereka, dengan tetap setia pada warisan rohani tarekatnya dalam kegiatan pastoralnya, seraya menaruh perhatian khusus terhadap keadaan kemiskinan, penderitaan dan kemelaratan yang melanda banyak daerah dunia ini.
Art.3
    Pemimpin yang berwenang wajib mengangkat sekurang-kurangnya………..imam atau bruder purnawaktu untuk karya ini, dengan suatu stabilitas yang memadai. Tetapi meskipun diangkat untuk karya tersebut, mereka tetap akan dianggap sebagai anggota penuh Tarekat; Pengangkatan dan perpindahan mereka diatur menurut norma-norma hukum universal dan Tarekat.
Art.4
    Pengangkatan dan pemberhentian orang yang bertanggungjawab serta para rekannya akan dilaksanakan menurut Kitab Hukum Kanonik (kan.682).
Art.5
    Karya atau kegiatan kerasulan khas mempunyai pengelolaan terpisah dari pengelolaan Tarekat yang mendapat kepercayaan, meskipun Tarekat mempunyai status badan hukumnya sendiri. Pelayanan yang dijalankan para anggota Tarekat tunduk berada dalam yurisdiki Uskup Diosesan, dengan tetap menghormati kom-petensi Pemimpin religius, berdasarkan kan.678.
Art.6
    Pemercayaan paroki kepada Tarekat Hidup Bakti atau Serikat Hidup Kerasulan diatur kan.520. Paroki dipimpin dan dijiwai Pastor Paroki yang mengkoordinasi semua kegiatan paroki, menurut peraturan yang ditetapkan Ordinaris Keuskupan. Pastor paroki bertanggungjawab atas reksa pastoral kepadanya, dengan tetap menghormati kan.678. Biarawan yang diangkat untuk paroki harus melaksanakan pelayanannya secara serasi dengan rencana pastoral keuskupan, dengan kerja samapersaudaraan dengan klerus diosesan, dalam semangat dan gaya yang layak bagi Tarekat masing-masing.
Art.7
    Kehadiran Tarekat dalam konteks diosesan merupakan pemerkayaan bagi keuskupan sendiri. Kaum religius mengungkapkan identitas karismatis mereka melalui kesaksian hidup, dengan tetap setia pada semangat Tarekat, dengan evangelisasi bagi kalangan nonkristiani dan melalui kegiatan pastoral lainnya. Mereka akan mendapat kesem-patan untuk memajukan panggilan bagi Tarekat mereka.
Art.8.
    Dalam menjalankan karya atau kegiatan kerasulan, demikian pula dalam mengelola harta benda, kaum religius mempunyai kewajiban yang sama dan hak yang sama seperti imam diosesan. Mereka harus berpegang pada norma-norma hukum kanonik dan hukum Tarekat sendiri.
Art.9
    Para anggota Tarekat mempunyai hak atas cuti……hari setiap tahun. Mereka juga mempunyai hak atas waktu yang perlu untuk retret, pertemuan komunitas dan pertemuan yang dikembangkan Pemimpin yang berwenang.
    Setiap anggota Tarekat boleh menikmati sejumlah waktu bebas dari karya pastoral setiap pekan.
Art.10
    Dalam batas-batas Perjanjian, Keuskupan dan Tarekat harus menetapkan komitmen ekonomis yang disepakati bersama (penghidupan para anggota, perjalanan, partisipasi anggota dalam kursus pendidikan berkelanjutan dsb.pemeliharaan kesehatan, biaya kekdoteran dan perjalanan yang perlu, dsb.) menurut kemungkinan dan keadaan konkret.
Art.11
    Pihak-pihak saling menyetujui bahwa tanah dan gedung yang dicantumkan di sini merupakan milik (Keuskupan, Paroki, Tarekat atau Serikat), dan disediakan bebas biaya (atau dengan persyaratan sbb.) kepada…., yang diminta memeliharanya. Perabotan adalam milik………., menurut inventaris yang dilampirkan di sini.
Art.12
    Pengelolaan karya atau paroki harus dijalankan sesuai dengan norma-norma hukum kanonik dan keuskupan. Pengelolaan demikian itu haruslah sama sekali terpisah dari pengelolaan milik komunitas (Tarekat). Seperti diatur peraturan Keuskupan, rencana anggaran belanja pengelolaan paroki harus diajukan kepada kantor Kuria yang ber-wenang, dengan tetap menghormati hak atas pengawasan oleh Pemimpin Tarekat (kan.672).
Art.13
    Sumbangan kaum beriman harus diberikan untuk karya atau paroki, kecuali bila dinyatakan lain oleh donatur.
    Pengelolaan memperhitungkan semua pengeluaran pemeliharaan biasa harta milik, pengeluaran untuk jasa dan personil (kecuali kediaman komunitas), pengeluaran bagi kegiatan pastoral dan sumbangan bagi keuskupan.
Art.14
    Para pohak menyetujui balas karya para anggota yang diangkat untuk karya atau paroki menurut ketetapan hukum umum (Kanon dan perdata) bagi imam diosesan.
    Pengeluaran untuk makanan, akomodasi dan hidup sehari-hari para anggota, semua pengeluaran bagi pelayanan kediaman komunitas dan personil dibebankan pada pengelolaan rumah Tarekat.
Art.15
    Para pihak setuju bahwa karya-karya luarbiasa di tempat ibadat atau tempat lain harus dibayar dengan sumbangan kaum beriman, dengan persetujuan Ordinaris wilayah, yang merupakan otoritas gerejawi berwenang, dan wakil legal entitas yang memiliki premis (klausula lain dapat ditambahkan bagi gereja atau premis yang bernilai khusus.
Art.16
    Pemercayaan karya kepada Tarekat dengan persyaratan yang disebut di atas, berlaku sejak……. untuk seterusnya (untuk jangka waktu yang tidak ditentukan): namun bia dibatalkan oleh salah satu pihak yang memberitahukannya setahun sebelumnya; (untuk…..tahun dan diperbaharui secara otomatis, kecuali jika salah satu pihak menghendaki lain).
    Perjanjian ini boleh diubah setiap waktu dengan persetujuan kedua belah pihak.
    Tempat….
    Tanggal…
    (Tanda tangan)

Uskup……….. Pemimpin Tarekat

(sumber: Surat Kongregasi Envangelisasi Bangsa-Bangsa tgl 3 juli 2004)

Perjanjian antara Keuskupan dan Tarekat non-klerikal

Perjanjian antara Keuskupan………………………dan Tarekat atau Serikat…………………….. ……………………untuk pemercayaan……………………….

Art.1

Yang Mulia Mgr……………………………………..Uskup…………………………………….dan Br.atau Sr………………………………..Pemimpin Jenderal/Provinsial……………………………….setuju dan menandatangani perjanjian ini dalam semangat kerja sama dan sesuai dengan norma-norma Gereja.

Art.2

Perjanjian ini ingin menggariskan dengan jelas tanggung jawab timbali balik mengenai pemercayaan kerasulan yang disebut dalam perjanjian ini, untuk menjamin kesejahteraan komunitas Gereja setempat dan para anggota Tarekat (Tarekat Hidup Bakti atau Serikat Hidup Kerasulan)………..

(Di sini layak ditambahkan deskripsi pendek “karisma” Tarekat)

Art.3

Pemercayaan yang disebut dalam perjanjian ini menyangkut……………..(karya pastoral, sekolah, rumah sakit, pusat pastoral, kantor, dsb):

Di bawah ini diberikan deskripsi pemercayaan……….(disebut tujuan, periode perkembangan, orang-orang yang dikerahkan, bidang karya, dsb.)

Inventaris benda-benda disertakan pada perjanjian ini.

Art.4

Uskup mempunyai otoritas sepenuhnya untuk memberi pedoman mengenai karya tsb. Pedoman seperti itu harus diberikan sesudah konsultasi sewajarnya dengan badan-badan keuskupan yang berwenang, yang sebaiknya juga dihadiri Pemimpin Tarekat.

Art.5

Uskup berkepentingan melindungi dan memelihara Konstitusi Tarekat, dengan menghormati otoritas Pempimpin setempat, yang diangkat menurut Konstitusi, mengenai disiplin internal Tarekat, tanpa mengurangi norma-norma Kitab Hukum Kanonik. Sehubungan dengan karya yang dipercayakan, Uskup harus selalu menghormati aspek-aspek yang paling khas Konstitusi yang menyangkut:

    hidup doa;
    hidup komunitas;
    formasio; dsb.
Art.6

Atas permintaan Uskup, Pemimpin Tarekat menunjuk (no…..) anggota-anggota bagi karya yang disetujui dalam perjanjian ini.

Art.7

Bila ada perpindahan, penggantian atau pemberhentian personil yang diangkat untuk karya itu, Pemimpin dan Uskup berjanji untuk:

    memberi perhatian wajar kepada mereka yang tersangkut;
    bertindak setelah berkonsultasi;
    menurut persyaratan sbb.:
    bila Pemimpin yang berwenang ingin menarik seorang atau lebih anggota yang diserahi karya, hendaknya ia lebih dulu…bulan sebelumnya memberitahukannya kepada Uskup.
Art.8

Uskup menerima bahwa orang yang dipercayai karya itu akan mendapat:

a) …….hari libur per tahun, termasuk waktu yang perlu untuk retret; biaya perjalanan akan disediakan oleh Pemimpin (oleh Uskup)

b) tahun sabat, tidak sebelum…..tahun pelayanan dalam karya, dan biaya perjalanan akan disediakan oleh Pemimpin (oleh Uskup);

    perjalanan pada kesempatan kematian sanak-saudara, biaya perjalanan akan disediakan oleh Pemimpin (0leh Uskup).
Art.9
    Untuk menjalankan karya, Uskup berjanji untuk:
    menyediakan akomodasi dengan perabot dan dilengkapi untuk komunitas seperti ditetapkan dalam inventaris terlampir;
    menyediakan kendaraan ke dan dari tempat kerja seperti disebut dalam inventaris terlampir;
    menyediakan biaya Rp…………… setiap bulan untuk penghidupan setiap orang;
    menyediakan biaya Rp…………….setiap bulan untuk karya, sarana pengangkutan, bahan bakar dsb.;
    menyediakan biaya Rp…………….setiap bulan untuk balas karya karyawan;
    menyediakan biaya Rp…………….setiap tahun untuk pemeliharaan umum (gedung, perlengkapan dsb.)
Art.10

Pemimpin menerima bahwa para anggota yang dipercayai karya bertanggungjawab kepada Uskup mengenai pemasukan yang berkaitan dengan karya yang dipercayakan kepada mereka, dan bahwa mereka akan mengikuti pedoman Uskup mengenai pengelolaannya. Atas milik dan donasi mereka harus bertanggungjawab kepada Pemimpin mereka.

Art.11

Perjanjian ini berlaku untuk…..tahun dan dianggap diperbaharui secara otomatis, kecuali jika salah satu pihak setahun sebelumnya memberitahu akan membatalkannya.

Art.12

Uskup dan Pemimpin harus menilai kegunaan dan efektivitas artikel-artikel perjanjian ini

menjelang pertengahan lamanya.

Tempat……..

Tanggal………..

(Tanda tangan)

Uskup…………… Pemimpin Jenderal/Provinsial

Bertekun dalam penderitaan (Yak 5:7-11)

13

Pertanyaan:

Berkah dalem bu ingrid dan Bpk Stef
Langsung saja saya mau menanyakan tentang Yakobus 5;7-11 itu berbicara tentang apa ya
Terima kasih – DGT

Jawaban:

Shalom DGT,

Terima kasih atas pertanyaannya tentang Yakobus 5:7-11. Untuk mengerti konteks dari ayat-ayat tersebut, kita harus melihatnya dari ayat 1. Kalau kita melihat ayat 1-6, maka kita melihat rasul Yakobus memberikan teguran yang begitu keras kepada orang-orang kaya yang tidak menunjukkan kasih. Teguran ini, bukan karena mereka kaya, namun karena mereka menggunakan kekayaannya untuk (a) menimbun kekayaan untuk diri sendiri (ay. 1-3), (b) perlakuan mereka yang tidak adil terhadap buruh (ay.4), (c) menggunakan kekayaan untuk berfoya-foya dan untuk kepuasan sendiri, sementara mereka juga menindas buruh mereka (ay.4-5), (d) mereka menghukum dan membunuh orang-orang benar dengan menggunakan kekayaan dan kekuasaan mereka (ay.6). Dari sini, kita melihat bahwa kekayaan yang tidak digunakan secara benar dapat menjadikan seseorang melawan Allah. Kita mengingat apa yang dikatakan oleh Yesus “Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.” (Lk 12:48)

Dan setelah rasul Yakobus memberikan teguran yang begitu keras kepada orang-orang kaya yang menyalahgunakan kekayaannya, maka dia memberikan penghiburan kepada orang-orang miskin di ayat 7-11. Di sini, rasul Yakobus memberikan nasihat, agar mereka yang miskin, yang tertindas dapat dengan sabar menanggung segala penderitaan mereka (ay. 8), dengan tidak bersungut-sungut (ay.9), melainkan dengan senantiasa menaruh pengharapan kepada Sang Hakim Agung. Semua penderitaan di dunia ini bersifat sementara dan akan datang suatu pengadilan yang adil. Dan hal ini terjadi pada saat kedatangan Kristus yang kedua. Rasul Yakobus juga menekankan pentingnya untuk senantiasa bertekun. Dan kita mengingat apa yang dikatakan oleh rasul Paulus dalam Rm 5:3-5:

3 Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,
4  dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.
5  Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.

Dan orang yang senantiasa menaruh pengharapan pada Kristus tidak akan dikecewakan, walaupun dia mengalami kesulitan, kemiskinan, maupun penderitaan. Semoga dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

Lagu pop dinyanyikan di Misa?

49

Pertanyaan:

Shalom Bu Ingrid,
Bagaimana dengan lagu pop yang dinyanyikan untuk lagu pembukaan (awal misa) dan/atau lagu penutup misa? Apakah juga tidak diperbolehkan? Jika tidak adakah ketentuan KHK atau peraturan yang lain yang menyatakannya demikian?
Terima kasih.
Abin.

Jawaban:

Shalom Abin,

Saya tidak mengerti akan apa yang anda maksud dengan lagu pop untuk dinyanyikan di Misa. Sebab sebenarnya yang boleh dinyanyikan di Misa adalah lagu-lagu rohani, yang memang ditujukan untuk pujian dan penyembahan kepada Allah, jadi tentunya tidak termasuk lagu-lagu pop sekular, yang liriknya kemungkinan tidak sesuai dengan maksud tersebut.

Dokumen Vatikan II, tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium (SC), mengajarkan pentingnya peran musik yang sakral untuk digunakan pada perayaan Liturgi. Musik yang sakral ini merupakan kesatuan antara melodi dan lirik/ perkataannya yang memang merupakan satu kesatuan dengan keseluruhan  liturgi (lihat SC 112). Jika anda ingin membaca selengkapnya tentang musik yang sakral ini, silakan klik di sini, dan silakan membaca paragraf nomor 112 sampai 121.

Jika yang anda maksud di sini lagu-lagu yang berirama seperti lagu pop namun syairnya adalah lirik lagu rohani, untuk dinyanyikan sebagai lagu pembuka atau penutup, mungkin masih dapat didiskusikan. Sebab lagu-lagu yang ada di Puji Syukur, juga ada yang bernada gembira, dan seperti lagu-lagu rakyat popular. Mungkin diperlukan kebijaksanaan juga untuk menentukan sejauh mana irama tersebut masih dapat membawa umat untuk berdoa, dan bukannya malah membawa pikiran melayang untuk memikirkan hal- hal sehubungan dengan irama lagu pop tersebut.

Selanjutnya perlu diingat bahwa yang harus diperhatikan juga adalah syair dari lagu itu, sebab dikatakan, “Syair-syair bagi nyanyian liturgi hendaknya selaras dengan ajaran Katolik, bahkan terutama hendaklah ditimba dari Kitab suci dan sumber-sumber liturgi.” (SC 121). Maka lagu- lagu yang dinyanyikan dalam liturgi harus mempunyai irama yang membawa ke suasana doa, namun juga syairnya sesuai dengan ajaran Katolik. Sebab prinsip yang dipegang oleh Gereja Katolik adalah “Lex orandi, lex credendi“: apa yang didoakan adalah apa yang dipercaya/ diimani (lih. KGK 1124). Jadi apa yang dinyanyikan (yaitu doa yang dimadahkan), itu harus menjadi ungkapan kepercayaan iman kita.

Dengan prinsip ini maka lagu-lagu pop dengan syair yang tidak berkaitan dengan iman Katolik atau syair yang tidak sesuai dengan iman Katolik, tidak dapat dinyanyikan di dalam liturgi Gereja Katolik.

Semoga uraian singkat di atas menjawab pertanyaan anda.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Hidup bersama sebelum menikah?

11

Pertanyaan:

Demi pertimbangan efisiensi dan kepraktisan serta dalam rangka menjajagi kecocokan hidup bersama, pasangan anak-anak muda tinggal bersama dulu sebelum nikah resmi di catatan sipil dan gereja. Praktek seperti itu nampaknya sudah banyak dilakukan di dunia barat (Eropa, Amerika dan Australia). Gimana pandangan gereja katolik dalam hal demikian?

Jawaban:

Shalom Herman Jay,

Gereja Katolik tidak pernah menyetujui gejala “hidup bersama/ tinggal bersama” (co-habitation) sebelum menikah. Pertama, karena hal “tinggal bersama” yang umumnya disertai dengan hubungan seksual memerosotkan nilai-nilai luhur perkawinan; dan kedua, hal “tinggal bersama” sebelum menikah ini dapat menjurus kepada “de facto union“, yaitu persatuan yang tidak disertai dengan keinginan untuk saling terikat dalam komitmen yang bertanggung jawab. Maka hal “tinggal bersama” ini hanya berlangsung sepanjang hubungan dapat dipertahankan.

Berikut ini adalah kutipan dari dokumen Gereja Katolik yang dikeluarkan oleh the Pontifical Council for the Family yang berjudul, Family, Marriage and “de facto” Unions (FMDU), sebagai berikut:

“Beberapa hubungan “de facto” jelas merupakan hasil pilihan yang diputuskan.  Hubungan- hubungan “percobaan” adalah umum di antara mereka yang merencanakan perkawinan di masa mendatang, tetapi dengan kondisi bahwa mereka telah mengalami pengalaman persatuan tanpa ikatan perkawinan. Ini adalah semacam “tahap yang dikondisikan” untuk perkawinan, mirip dengan “perkawinan percobaan”….Beberapa orang lain yang hidup bersama membenarkan pilihan ini karena alasan- alasan ekonomi atau untuk menghindari kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan hukum. [Namun] motif yang sesungguhnya seringkali lebih dalam…. Terdapat mentalitas di baliknya yang memberi nilai rendah terhadap seksualitas. Ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pragmatisme dan hedonisme, seperti juga pengertian bahwa cinta kasih dipisahkan dari tanggung jawab. [Di sini] komitmen dihindari yang mengarah pada stabilitas, tanggung jawab, hak dan kewajiban yang ada dalam kasih suami istri.” (FMDU 5)

Tidak mengherankan banyak dari mereka yang mendukung gaya hidup “de facto” union ini akhirnya menolak konsep perkawinan, seperti yang sekarang terjadi di beberapa negara maju. Mereka menganggap perkawinan sebagai halangan untuk mencapai kebahagiaan ataupun kenikmatan seksual. Hal ini tentu merupakan ekspresi yang menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang makna kasih yang tulus dan pengorbanan, dan keluhuran makna kesetiaan dalam hubungan antar manusia.

Namun demikian harus juga diakui bahwa tidak semua “de facto” union merupakan suatu keputusan yang dibuat atas kehendak sendiri. Adakalanya terdapat pengaruh lain, seperti misalnya kemiskinan yang sangat, yang menyebabkan halangan bagi sejumlah orang untuk membentuk keluarga (lih. FMDU 6). Apapun alasannya, Gereja Katolik harus memperhatikan fenomena ini dengan melakukan langkah pastoral untuk menanganinya, tanpa harus menyetujuinya.

Salah satu hal yang harus menjadi perhatian Gereja Katolik adalah untuk memberikan pembekalan bagi para pasangan yang akan menikah. Para pasangan harus diberitahukan akan makna luhur perkawinan Katolik, seperti yang dituliskan di artikel ini, silakan klik. Panggilan untuk hidup menikah dan membentuk keluarga adalah suatu panggilan untuk membentuk suatu komunitas Gereja terkecil, yang dibangun dan dihidupkan atas dasar kasih, yang menimba kekuatannya dari janji setia antara seorang pria dan seorang wanita yang saling memberikan diri mereka tanpa syarat dan keduanya bekerjasama dengan Allah untuk mendatangkan karunia kehidupan yang baru. (lih. FMDU 12)

Maka kehidupan perkawinan tidak bisa ‘ditawar’ menjadi hanya ‘jalan untuk melakukan hubungan seksual’ atau hanya sebagai ‘ekspresi cinta sentimental antara dua orang’. Makna Perkawinan jauh lebih mulia daripada hal- hal semacam itu! Perkawinan adalah hubungan kasih yang total antara seorang pria dan wanita, yang melibatkan keseluruhan diri dan hakekat pribadi yang bersangkutan, yaitu yang melibatkan pemberian diri dan transmisi kehidupan (lih. FMDU 22). Kedua hal inilah sesungguhnya yang jelas dicontohkan oleh Yesus kepada Gereja-Nya, yang adalah mempelai-Nya (lih. Ef 5:22-33).

Justru karena dalam hal ‘tinggal bersama” atau “de facto” union, hal pemberian diri (self- giving) dan transmisi kehidupan (transmission of life) tidak dilakukan dengan sepenuhnya, karena masih ada yang “dikondisikan”, maka sesungguhnya pasangan yang melakukannya tidak berada dalam persatuan “union” yang sesungguhnya, seperti yang dikehendaki oleh Allah. Dengan perkataan lain, ini adalah sikap yang mengartikan persatuan kasih antara pria dan wanita, sesuai dengan kehendak manusia, dan bukannya mengikuti kehendak Allah. Persatuan kasih menurut manusia ini masih merupakan kasih kondisional/ bersyarat: yang kalau tidak cocok bisa bubar, ataupun yang superfisial: yang mau menikmati enaknya, namun tidak mau menanggung tanggungjawab dan komitmennya. Hubungan yang demikian merendahkan martabat manusia, karena menjadikan manusia menjadi semacam ‘obyek’ saja untuk saling memuaskan keinginan jasmani. Sedangkan persatuan kasih menurut Tuhan adalah kasih yang tidak bersyarat dan yang melibatkan komitmen yang total selamanya, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri kepada Gereja-Nya. Hubungan kasih ini mengangkat martabat manusia, karena membentuk manusia menjadi ‘subyek’ yang dapat mengalahkan keinginan daging demi mewujudkan kasih yang tulus sesuai dengan rencana Allah.  Maka panggilan kehidupan perkawinan selayaknya juga dimengerti sebagai panggilan luhur manusia yang diciptakan sesuai dengan gambaran Allah (Kej 1: 26), untuk dapat mengasihi seperti teladan Allah mengasihi umat-Nya.

Melihat uraian di atas, maka tidak ada satupun alasan yang dapat menjadi pembenaran tentang hal “tinggal bersama” sebelum pernikahan.  Masa penjajagan sebelum perkawinan memang perlu dilakukan, tetapi tidak perlu sampai tinggal bersama, apa lagi jika sampai melakukan hubungan seksual. Alasan efisiensi dan kepraktisan juga bukan alasan yang layak dijadikan alasan utama untuk menggantikan nilai-nilai luhur persatuan perkawinan. Alasan- alasan tersebut sebenarnya dipenuhi motivasi pribadi yang lebih mengarah kepada cinta diri daripada cinta yang tulus kepada pasangan dan kepada Tuhan.

Demikian tanggapan saya mengenai pertanyaan anda semoga bermanfaat.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab