Home Blog Page 253

Mengapa berpindah dari Gereja Katolik ke gereja lain?

535

Pertanyaan:

Dear,

Salam dari Sydney, Australia.
Saya adalah bekas pengikut agama Katolik yg sekarang pindah ke Kristen.
Penyebabnya adalah dikarenakan krn pengajaran agama Katolik tdk benar2 berdasarkan alkitab, tetapi lebih berdasarkan hukum kanonisasi.
Karena itu saya melihat banyak org2 Katolik yg berperilaku kasar dan berhati jahat. Saya mengerti karena mereka tidak pernah membaca alkitab, sebagaimana di agama Kristen, karena itu mereka tdk tahu bagaimana cara hidup Kristiani yg benar.
Banyak sekali rekan2 Katolik di Sydney Australia yg pindah agama karena alasan yg sama.

Tentang pemujaan patung2, kita tdk perlu bingung. Karena pada saat penghakiman terakhir nanti kita harus mempertanggung jawabkan perbuatan kita di hadapan Tuhan. Semoga kalian bisa menjelaskan kepada Tuhan alasan kalian memuja/menggunakan patung2 sebagai alat untuk bisa percaya.
Sebab kalau kalian belajar sejarah, kaisar Constantinus memerintahkan untuk membuat patung2 tersebut supaya bangsa Romawi tidak lagi memuja dewa2 mereka dan pemujaan dewa2 mereka digantikan dgn pemujaan patung santo-santa.
Bahkan ahli2 skrg mencoba membuktikan muka asli Yesus berdasarkan kain kafannya.
Bagaimana jika muka Yesus yg kita buat patung bukanlah muka aslinya? tetapi hanya muka seseorg yg saat itu dibayar utk dijadikan contoh pembuatan patung? maka kita memuja manusia biasa (spt diketahui Kaisar Constantinus memerintahkan artist2nya utk membuat patung Yesus – dan mereka hidup 1 decade setelah Yesus wafat.)
Mungkin hal ini berat untuk dimengerti bagi kalian di Indonesia yg tidak pernah tahu ttg sejarah agama Katolik. Semoga suatu hari mata kalian terbuka.

Bagi saya pribadi, beruntunglah saya bisa percaya tanpa harus melihat rupa nyata Tuhan.
Beruntunglah saya bisa bercakap2 dengan Tuhan tanpa harus berlutut didepan patung2 siapa yg tidak dikenal.
Beruntunglah saya tidak lagi terperangkap dalam ritual2 agama Katolik yg berdasarkan hukum Kanon – dimana hukum Kanon adalah buatan manusia belaka… bukan datang dari Tuhan.
Tetapi alkitab adalah datang dari Tuhan.

So we fix our eyes not on what is seen, but on what is unseen. For what is seen is temporary, but what is unseen is eternal. (2 Corinthians 4:18)

BERBAHAGIALAH ORANG YANG TIDAK MELIHAT NAMUN PERCAYA
Yohanes 20:24-31

Sherly.

Jawaban:

Shalom Sherly,

Selamat datang di site ini dan terima kasih atas beberapa tanggapan anda. Saya akan mencoba untuk menjawab beberapa pertanyaan dan tanggapan yang anda berikan. Saya juga percaya bahwa anda membuat tanggapan tersebut karena anda mengasihi Yesus Kristus. Dan karena anda menganggap bahwa Gereja Katolik tidak menjalankan perintah Kristus secara murni, maka anda mencoba memperingatkan kami agar kami tidak percaya akan dogma dan doktrin dari Gereja Katolik. Hal ini ditunjang dengan anda sendiri yang sebelumnya adalah anggota Gereja Katolik yang akhirnya “sadar” dan berpindah ke gereja Protestan atau denominasi yang lain. Untuk itu, mari kita berdiskusi dengan hormat dan lemah lembut (lih. 1 Pet 3:15). Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya berikan untuk keberatan-keberatan yang anda ajukan:

1. Berpindah karena pengajaran Gereja Katolik tidak sesuai Alkitab.

Anda mengatakan “Saya adalah bekas pengikut agama Katolik yg sekarang pindah ke Kristen. Penyebabnya adalah dikarenakan krn pengajaran agama Katolik tdk benar2 berdasarkan alkitab, tetapi lebih berdasarkan hukum kanonisasi.

a) Saya tidak tahu apakah alasan sebenarnya mengapa anda berpindah dari Gereja Katolik ke gereja lain. Saya percaya bahwa kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik. Untuk itu, silakan anda membaca artikel ini – silakan klik.

b) Saya tidak tahu, pada waktu anda mengatakan “Penyebabnya adalah dikarenakan krn pengajaran agama Katolik tdk benar2 berdasarkan alkitab, tetapi lebih berdasarkan hukum kanonisasi.” apakah anda benar-benar telah mencari tahu dan mempelajari apa yang sebenarnya diajarkan oleh Gereja Katolik. Untuk mengatakan pengajaran agama Katolik tidak benar-benar berdasarkan Alkitab, maka anda perlu membuktikan lebih jauh. Bahkan untuk mendasarkan pengajaran HANYA pada Alkitab (sola scriptura) justru tidak Alkibiah, karena Alkitab tidak pernah mengatakan hal ini. Untuk itu, silakan melihat beberapa link berikut ini: silakan klik, silakan klik. Untuk membuktikan klaim anda bahwa Gereja Katolik tidak mendarkan ajarannya pada Alkitab, maka anda harus menunjukkan ajaran yang mana yang tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab. Anda dapat melihat semua arsip di katolisitas.org – silakan klik – dan silakan melihat semua artikel dan jawaban dari kami yang mendasarkan pengajaran pada Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja.

c) Untuk mengatakan bahwa ajaran gereja Katolik berdasarkan ajarannya pada hukum kanonik adalah salah besar. Saya tidak tahu darimana anda mendapatkan keterangan seperti ini. Hukum Kanonik adalah merupakan manifestasi dari apa yang dipercayai oleh Gereja. Dengan demikian, Gereja mendasarkan kebenaran dogma dan doktrin berdasarkan tiga pilar kebenaran: 1) Kitab Suci, 2) Tradisi Suci, 3) Magisterium Gereja. Dan Hukum kanonik adalah merupakan refleksi dari kebenaran-kebenaran yang telah dirumuskan – artinya: kalau kita percaya A, maka kita melakukan 1,2,3, contoh: kalau kita percaya bahwa perkawinan adalah tak terceraikan, maka Kitab Hukum Kanonik (KHK) mengatur bagaimana perkawinan yang sah, kondisi yang membuat perkawinan tidak sah, dll. Pembahasan tentang hukum kanonik dapat dilihat di sini – silakan klik. Kalau gereja anda mempunyai pengikut 1,3 milyar dan tersebar di seluruh dunia, maka gereja anda juga akan memerlukan semacam KHK.

2. Berpindah karena umat Katolik berperilaku kasar dan berhati jahat.

Anda memberikan tuduhan “Karena itu saya melihat banyak org2 Katolik yg berperilaku kasar dan berhati jahat. Saya mengerti karena mereka tidak pernah membaca alkitab, sebagaimana di agama Kristen, karena itu mereka tdk tahu bagaimana cara hidup Kristiani yg benar. Banyak sekali rekan2 Katolik di Sydney Australia yg pindah agama karena alasan yg sama.

a) Saya mengerti ada sebagian umat Katolik yang hidup tidak sesuai dengan iman Katolik, dan saya rasa ini berlaku juga bagi seluruh umat Kristen-non Katolik, yang sebagian dari mereka juga hidup tidak sesuai dengan pesan Kristus. Dengan demikian, perjuangan untuk hidup kudus merupakan tantangan bagi semua umat beriman. Jadi, kalau ada umat Katolik yang anda lihat berlaku kasar dan berhati jahat, maka anda tidak dapat mengatakan bahwa semua umat Gereja Katolik adalah kasar dan berhati jahat. Saya mengundang anda untuk membaca riwayat para kudus, santa-santo dari Gereja Katolik, sepanjang sejarah Gereja. Saya pribadi menyadari bahwa kehidupan saya tidaklah berarti apa-apa dibandingkan dengan mereka. Mereka membuktikan kasih mereka kepada Tuhan secara luar biasa. Apakah komentar kita akan orang-orang seperti yang terberkati ibu Teresa dari kalkuta – yang melayani orang-orang miskin, St. Maximilian Kolbe – yang menyerahkan nyawanya untuk menyelamatkan seorang tawanan Yahudi yang mempunyai keluarga? Kalau mau melihat orang-orang yang benar-benar menjalankan ajaran Gereja Katolik, lihatlah figur seperti ibu Teresa dari Kalkuta, St. Maximilian Kolbe, dan santa-santo yang lain. Semakin seseorang berakar pada dogma dan dokrin dari ajaran Gereja Katolik, maka kehidupannya akan semakin mirip dengan para santa-santo yang telah dibuktikan dalam sejarah Gereja Katolik, dan tentu saja yang paling utama adalah semakin mirip dengan Yesus. Janganlah mengukur pengajaran Gereja Katolik dari orang-orang yang tidak menjalankan iman Katolik dengan baik.

b) Apalagi, kalau anda memberikan tuduhan bahwa mereka tidak pernah membaca Alkitab sebagaimana di agama Kristen, maka ini adalah kesimpulan yang perlu dibuktikan kebenarannya. Apakah “mereka” yang anda maksudkan adalah orang-orang Katolik yang jahat atau semua orang Katolik? Kalau anda mempelajari kanon Kitab Suci, maka sudah seharusnya kita semua berterima kasih kepada Gereja Katolik yang menentukan buku-buku mana yang menjadi bagian dari Kitab Suci. Anda dapat membaca diskusi tentang hal ini di sini – silakan klik. Bagaimana anda menerangkan orang-orang Kristen non-Katolik yang tidak baik dan tidak mencerminkan Kristus? apakah penyebabnya?

Anda mengatakan “karena itu mereka tdk tahu bagaimana cara hidup Kristiani yg benar.” Untuk mengerti pengajaran Gereja Katolik tentang kehidupan kristiani, maka silakan anda membaca artikel tentang kekudusan – silakan klik dan klik ini, dan klik ini dan kerendahan hati – silakan klik. Sekali lagi, ukurlah Gereja Katolik dari orang-orang yang menjalankan apa yang diajarkan Gereja Katolik. Kita tidak dapat menyalahkan seorang dokter karena pasiennya tidak sembuh-sembuh, yang disebabkan karena si pasien tidak mengikuti nasehat dan resep dari dokter tersebut.

Kalau anda mengatakan “Banyak sekali rekan2 Katolik di Sydney Australia yg pindah agama karena alasan yg sama.“, maka alasan anda dan rekan-rekan di Sydney Australia berpindah dari Gereja Katolik adalah karena melihat kasus-kasus yang tidak benar dan kemungkinan salah mengerti akan apa yang sebenarnya diajarkan oleh Gereja Katolik. Apakah kalau anda melihat ada orang-orang Kristen non-Katolik yang tidak baik, maka anda akan berpindah ke agama lain? Memeluk suatu agama bukanlah hal yang main-main, yang saya yakin Sherly juga menyadarinya. Oleh karena itu, dasar untuk pindah ke agama lain karena hanya melihat kasus-kasus yang jelek (mungkin hal-hal yang baik tidak dilihat) tidaklah cukup. Perpindahan seseorang dari Gereja Katolik ke gereja lain, tidak boleh hanya berdasarkan kasus, kotbah yang baik, komunitas yang akrab, dll, melainkan harus berdasarkan alasan untuk mencari kebenaran sejati, untuk mengasihi Kristus secara penuh. Saya mengundang anda untuk membaca artikel ini – silakan klik.

3. Tentang pemujaan patung dan hal-hal lain.

Anda mengatakan “Tentang pemujaan patung2, kita tdk perlu bingung. Karena pada saat penghakiman terakhir nanti kita harus mempertanggung jawabkan perbuatan kita di hadapan Tuhan. Semoga kalian bisa menjelaskan kepada Tuhan alasan kalian memuja/menggunakan patung2 sebagai alat untuk bisa percaya.

a) Seperti yang dijelaskan di artikel ini – silakan klik, maka Gereja Katolik tidak menyembah patung. Patung hanyalah sarana yang membantu kita agar dapat berfokus pada Tuhan. Sama seperti kadang kita menggunakan lilin, salib, dll. Silakan melihat contoh di Perjanjian Lama, bagaimana Tuhan sendiri memerintahkan umat-Nya untuk membuat ular tedung (lih. Bil 21:8), dua kerub dari kayu (1 Raj 6:23-35).

b) Tentu saja masing-masing dari kita harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita di hadapan Tuhan pada saat pengadilan terakhir. Dan hal ini bukan hanya masalah patung, namun juga dalam keputusan kita untuk memilih agama, dan seluruh perbuatan kita, atau dengan kata lain seluruh iman, pengharapan dan kasih.

c) Kalau anda memberikan argumentasi “Sebab kalau kalian belajar sejarah, kaisar Constantinus memerintahkan untuk membuat patung2 tersebut supaya bangsa Romawi tidak lagi memuja dewa2 mereka dan pemujaan dewa2 mereka digantikan dgn pemujaan patung santo-santa.“, maka silakan mencari di google dengan kata kunci “christian art in catacombs“, karena itu adalah apa yang dilakukan oleh jemaat perdana sebelum masa kaisar constantine membuat peraturan bahwa agama Kristen boleh diajarkan secara bebas melalui edict of Milan tahun 313. Di dalam katakombe, kita juga melihat adanya gambar-gambar, simbol-simbol agama Kristen. Silakan melihatnya di sini – silakan klik.

d) Anda mengatakan “Bahkan ahli2 skrg mencoba membuktikan muka asli Yesus berdasarkan kain kafannya. Bagaimana jika muka Yesus yg kita buat patung bukanlah muka aslinya? tetapi hanya muka seseorg yg saat itu dibayar utk dijadikan contoh pembuatan patung? maka kita memuja manusia biasa (spt diketahui Kaisar Constantinus memerintahkan artist2nya utk membuat patung Yesus – dan mereka hidup 1 decade setelah Yesus wafat.)” Kami telah membahas hal ini sebelumnya, dimana dituliskan:

1. Maka bukti ilmiah dari wajah Yesus memang kita ketahui dari bukti sejarah. Misalnya, bukti gambar wajah Yesus dalam “the Shroud of Turin”/ kain kafan Turin, yang selengkapnya dapat anda baca di link ini, silakan klik. Dan temuan gambar- gambar Yesus di katakombe (gereja bawah tanah) Domitilla. Uraian lebih lanjut dapat anda baca di link ini, silakan klik. Berikut juga temuan gambar-gambar wajah Yesus di abad-abad pertama.

Mengenai gambar wajah dan tubuh Yesus di kain kafan Turin memang masih menjadi topik perdebatan para ahli sampai saat ini, justru karena memang tidak bisa dijelaskannya mengapa sampai ada gambar tubuh dan wajah Yesus ‘tercetak’ pada kain itu. Para skeptik mengatakan bahwa itu lukisan yang diciptakan oleh seorang genius di abad pertengahan, walaupun kemudian para scientist membuktikan bahwa warna yang tertera di situ bukan pigmen cat, tetapi darah manusia. Lalu teori bahwa itu hasil fotografi juga sebenarnya tidak mungkin, karena teknik reproduksi fotografi untuk menghasilkan gambar sedemikian (kalau misalnya-pun anggapan ini benar) baru ada 400 tahun sesudahnya. Silakan anda membaca di link yang saya sertakan di atas, untuk melihat penjelasan secara ilmiah mengenai Kain kafan Turin tersebut.

Namun terlepas dari kontroversi Kain Kafan Turin ini, kita mengakui bahwa gambar Yesus yang kita kenal sekarang ber-evolusi dari apa yang digambarkan pada gambar ini, dan gambar Yesus yang ditemukan di abad- abad pertama.

2. Menurut perkembangannya, memang ditemukan beberapa versi gambar wajah Yesus. Walaupun umumnya wajah Yesus yang kita kenal menggambarkan-Nya sebagai seorang dari Timur Tengah, namun adapula yang menggambarkannya sesuai dengan budaya setempat. Hal ini sesungguhnya tidak menjadi masalah, karena yang terpenting bukan gambarnya, namun Siapa yang digambarkan oleh gambar itu.

Dalam memahami hakekat Yesus yang digambarkan oleh lukisan/ gambar/ patung itu, kita harus memahami bagaimana pikiran/ imajinasi manusia menangkap essensi dari sesuatu/ seseorang. Setiap orang, dapat menangkap universalitas dari sesuatu yang digambarkan dalam imaginasinya. Sebagai contoh, mendengar kata ‘kucing’ secara otomatis, kita menggambarkan kucing di dalam imaginasi kita. Kemampuan untuk menangkap universalitas, membuat manusia dapat menangkap hakekat kucing, yang tidak ditentukan oleh ukuran, apakah itu kecil, besar, atau oleh warna, ukuran dll. Contoh ini juga dapat diterapkan di semua agama pada saat seseorang berdoa. Mungkin umat dari agama lain dapat mengatakan bahwa yang tergambar dalam pemikirannya pada waktu berdoa adalah cahaya, atau huruf, atau yang lain. Namun bagi umat Kristen, sebagian besar yang tergambar dalam pikiran kita pada saat berdoa adalah wajah Yesus, karena umat Kristen mempercayai bahwa Yesus, adalah Tuhan yang datang menjadi manusia. Itu adalah latar belakang dari seni atau gambar yang mempresentasikan Yesus.

Nah, sekarang permasalahannya adalah bagaimana kita mengetahui apakah wajah Yesus yang sesungguhnya adalah Yesus seperti yang ada pada gambar-gambar yang kita kenal? Maka di sini kita harus melihat prinsip manusia menangkap ‘hakekat’ sesuatu/ seseorang seperti pada contoh di atas. Kita manusia mampu menangkap hal-hal yang bersifat accidental (‘kulit’ luar) dan essensi. Accidental dari manusia adalah berkumis, berjenggot, tinggi/pendek, kulit hitam atau putih, rambut panjang atau pendek, dll. Namun essensi dari manusia adalah manusia yang diciptakan menurut gambaran Allah, mempunyai tubuh danjiwa, dimana jiwanya adalah bersifat kekal dan spiritual. Spiritualnya karena manusia mempunyai akal budi (intellect) dan juga kehendak bebas. Selanjutnya, kesempurnaan manusia ditunjukkan dengan bagaimana manusia dapat bersikap untuk mencapai tujuan akhirnya, yaitu Tuhan. Di sinilah, Yesus sebagai Tuhan datang ke dunia ini untuk memberikan jalan kepada manusia dan menunjukkan bagaimana seharusnya manusia bersikap sebagaimana layaknya manusia menurut gambaran Allah (yaitu dengan kasih kepada Allah dan sesama), sehingga manusia pada akhirnya akan memperoleh persatuan dengan Allah. Jadi dari sini, tidaklah terlalu penting apakah Yesus berjenggot atau tidak, karena jenggot, warna kulit, dll. Itu semua hanyalah accidental, yang tidak menentukan kualitas dari Yesus. Yang menentukan kualitas/esensi dari Yesus, yaitu Tuhan yang menjadi manusia, yang menunjukkan kepada kita manusia untuk hidup sesuai dengan gambaran Allah, agar kita dapat sampai kepada Allah. Jadi dalam seni, yang paling penting adalah mempresentasikan dan mengekspresikan tentang sosok tersebut, misalkan Yesus terlihat sebagai Seseorang yang lemah lembut, penuh kasih, dll.

3. Dengan pengertian di atas, seperti apa detail gambar Yesus, yang mungkin berbeda antara satu gambar dengan yang lainnya, tidak menjadi masalah. Yang terpenting, umat menangkap hakekat Yesus yang digambarkannya. Gambar itu bukannya saingan Allah, karena akhir penghormatan kita bukan kepada gambar itu, tetapi pada Siapa yang digambarkannya. Dan bukannya menjadi sesuatu yang aneh jika gambaran wajah Yesus dalam imajinasi saya berbeda dengan gambaran wajah Yesus dalam imajinasi anda. Ini tidak berarti bahwa Yesus yang kita sembah adalah Yesus yang berbeda atau Yesusnya ada dua dan bersaing satu sama lain. Tidak demikian. Yesusnya tetap sama, hanya imajinasi kita dalam menggambarkannya itu yang bisa berbeda, dan itu tidak apa- apa.

e) Pernyataan “Mungkin hal ini berat untuk dimengerti bagi kalian di Indonesia yg tidak pernah tahu ttg sejarah agama Katolik. Semoga suatu hari mata kalian terbuka.” mungkin terlalu cepat untuk dituliskan, karena kita belum membuktikan kebenaran argumentasi masing-masing pihak. Kalau anda benar-benar mengerti sejarah perkembangan Gereja Katolik, maka saya yakin anda akan tetap berada di dalam Gereja Katolik. Cardinal John Henry Newman, yang berpindah dari Anglikan ke Katolik mengatakan “To be deep in history is to cease to be Protestant

4. Tentang beruntung tidak lagi terperangkap dalam ritual-ritual agama Katolik.

Akhirnya anda mengatakan “Bagi saya pribadi, beruntunglah saya bisa percaya tanpa harus melihat rupa nyata Tuhan. Beruntunglah saya bisa bercakap2 dengan Tuhan tanpa harus berlutut didepan patung2 siapa yg tidak dikenal.
Beruntunglah saya tidak lagi terperangkap dalam ritual2 agama Katolik yg berdasarkan hukum Kanon – dimana hukum Kanon adalah buatan manusia belaka… bukan datang dari Tuhan. Tetapi alkitab adalah datang dari Tuhan.

a) Bagi Gereja Katolik, penyembahan yang tertinggi adalah Sakramen Ekaristi. Mau ada patung atau tidak, Sakramen Ekaristi tetaplah sah. Ini menunjukkan bahwa ibadah Gereja Katolik tidaklah tergantung dari patung-patung. Patung dan simbol-simbol yang lain hanyalah untuk membantu umat Allah untuk dapat berfokus pada Kristus. Lihatlah bagaimana detailnya Tuhan memberikan perintah kepada Raja Salomo untuk membuat bait Allah. (lih. 1 Raj 6).

Apakah Gereja anda mempunyai salib kayu? Apakah pada saat praise and worship anda menggunakan gambar-gambar Yesus di dalam slide? Apakah ada lilin di dalam Gereja anda? Kalau anda melihat gereja-gereja Lutheran (pengikut Martin Luther), maka anda akan kaget, karena ada begitu banyak christian art (gambar, patung) sama seperti di dalam Gereja Katolik. Apakah mereka juga salah? Apakah anda pernah ke gereja Lutheran, yang juga mempunyai ritual dan liturgi yang hampir mirip dengan Gereja Katolik? Apakah anda pernah melihat ritual dari gereja Anglikan? Mereka tidak masuk dalam Gereja Katolik, namun mempunyai ritual, liturgi tersendiri. Apakah mereka salah? dan apakah alasannya? Apakah dengan demikian Martin Luther telah salah karena tidak menghancurkan patung-patung di gereja Lutheran?

b) Setelah anda membaca tentang pengertian Kitab Hukum Kanonik, maka anda tidak akan mengatakan “Beruntunglah saya tidak lagi terperangkap dalam ritual2 agama Katolik yg berdasarkan hukum Kanon – dimana hukum Kanon adalah buatan manusia belaka… bukan datang dari Tuhan“. Silakan membaca pengertian tentang Hukum Kanonik di sini – silakan klik. Dan silakan anda membaca KHK (Kitab Hukum Kanonik) dan silakan menunjukkan bagian mana yang bertentangan dengan Alkitab. KHK memang merupakan disiplin dari Gereja, namun bersumber pada Alkitab, Tradisi Suci, dogma dan doktrin dari Gereja. Untuk mengatakan bahwa semua itu bukan datang dari Tuhan, maka anda harus membuktikan bahwa semuanya itu bertentangan dengan kebenaran Allah, karena tidak mungkin yang datang dari Tuhan saling bertentangan.

5) Dari tulisan anda, maka anda telah memberikan tuduhan yang begitu banyak kepada Gereja Katolik, walaupun anda sebelumnya adalah umat Katolik. Kalau anda memang serius untuk berdiskusi tentang dogma dan doktrin dari Gereja Katolik yang membuat anda berpindah ke gereja lain, maka dengan senang hati saya mau untuk berdialog dengan anda. Pilihlah satu dogma, dan kemudian kita dapat membahasnya secara mendalam. Terlalu banyak topik yang ingin disampaikan tidak memberikan diskusi yang mendalam. Semoga dari pemaparan di atas, minimal Sherly mempunyai pandangan yang lebih baik terhadap Gereja Katolik.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org

lisitas.org/2008/06/10/apa-itu-kekudusan/

Tentang Perkembangan diskusi:

1. Sembilan point diskusi dengan Sherly – silakan klik

a. Hidup selibat bagi para imam – silakan klik

b. Maria tetap perawan – silakan klik

c. Maria, ratu Sorga – silakan klik

d. Mengapa menyebut paus sebagai Bapa Suci – silakan klik

e. Tentang Api Penyucian – silakan klik

f. Apakah Gereja Katolik menyembah berhala – silakan klik

g. Tentang Sakramen Ekaristi – silakan klik

h. Tentang Yesus mendirikan Gereja Katolik – silakan klik

i. Tentang Sakramen Pengakuan Dosa – silakan klik

2. Sembilan point diskusi dengan Indah – silakan klik

a. Tentang Sakramen Ekaristi – silakan klik

b. Apakah Gereja Katolik menyembah berhala – silakan klik

c. Tentang doa berulang (rosario) – silakan klik

d. Tentang persekutuan para kudus – silakan klik

e. Tentang konsep Gereja (ekklesiologi) – silakan klik

f. Tentang Gereja yang kudus – silakan klik

g. Tentang mukjizat santa-santo – silakan klik

h. Tentang nubuat – silakan klik

i. Tentang agama – silakan klik

Mrk 1:34, Yesus tidak ingin diketahui sebagai Mesias?

2

Pertanyaan:

Di Mark 1:34 disebutkan bahwa Yesus tidak ingin orang orang mengetahui jati dirinya (sebagai anak Allah). Mengapa? bukankah bila orang orang percaya bahwa dia adalah Mesias mungkin dia tidak disalibkan?

Terima kasih,
Cleo

Jawaban:

Shalom Cleo,

Berikut ini adalah keterangan arti ayat Mat 1:34, menurut The Navarre Bible:

Iblis/ setan- setan mempunyai pengetahuan supernatural sehingga mereka mengenali Yesus sebagai Mesias (Mrk 1:24). Karena itu orang- orang yang kerasukan setan dapat menyatakan hal ini di hadapan umum. Tetapi Tuhan Yesus melarang mereka mengatakan hal ini. Dalam kesempatan lain Yesus juga melarang para murid-Nya untuk menyatakan bahwa Ia adalah Mesias (Mrk 8:30; 9:9). Ia juga memerintahkan orang- orang yang Ia sembuhkan untuk tidak membicarakan kesembuhan mereka (Mrk 1:4; 5:43; 7:36; 8:26). Ia bertindak demikian untuk mendidik umat-Nya agar tidak mempunyai gambaran duniawi dan politis tentang Sang Mesias (lih. Mat 9:30).

Pertama- tama dalam misi penyelamatan-Nya, Yesus memang melakukan mukjizat- mukjizat, namun selanjutnya ia memberikan pengajaran- pengajaran, untuk memberitahukan jatidiri-Nya sebagai Mesias. Ia berkehendak untuk menyatakan diri-Nya secara bertahap sebagai Mesias, Sang Allah Putera. Ia tidak ingin mendahului kejadian- kejadian sebelum saatnya tiba, sebab Ia tidak ingin orang- orang mulai memuji dan meninggikannya sebagai Raja Mesias. Sebab gambaran mereka tentang mesias adalah seseorang yang seperti pahlawan nasional, dan bukan mesias secara rohani. Yesus selalu menghindar dari desakan ini (untuk diangkat sebagai raja duniawi). Hal ini jelas terjadi setelah Yesus mengadakan mukjizat pergandaan roti, dalam Yoh 6:14-15,

“Ketika orang-orang itu melihat mujizat yang telah diadakan-Nya, mereka berkata: “Dia ini adalah benar-benar nabi yang akan datang ke dalam dunia.” Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.”

Yesus, yang memusatkan kehendak-Nya untuk menggenapi rencana keselamatan Allah, telah mengetahui sejak awal mula bahwa Ia menjelma menjadi manusia untuk menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Justru karena Ia ingin menunaikan misi ini, maka Ia tidak ingin diangkat menjadi raja dunia, yang tidak mengarah kepada salib. Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Ibrani bab 10, menjabarkan bahwa sejak awal mula, Yesus sudah mengetahui bahwa penjelmaannya menjadi manusia akan menghantarkan-Nya menjadi korban penghapus dosa manusia.

Silakan anda membaca renungan Salib tanda kasih Kristus, silakan klik. Semoga dalam Pekan Suci ini kita semakin menghayati akan kasih Allah yang tak terbatas, yang dinyatakan dengan kurban Kristus di kayu salib demi menebus dosa- dosa kita.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Kolekte sebagai kegiatan liturgis: Bawa Pasar ke Altar dan Altar ke Pasar?

41

Belajar memberi

“Mama, mana uang kolektenya, adik yang akan masukkan ke dalam kantong kolekte ya Ma?” Itulah keinginan seorang anak usia lima tahun. Luar biasa. Sudah sejak kecil seorang anak yang biasa mengikuti perayaan Ekaristi Hari Minggu merasakan dorongan untuk memberi sumbangan berupa kolekte. Patut dipuji kalau ada dorongan seperti itu untuk belajar memanfaatkan kesempatan yang tersedia untuk memberi sesuatu bagi orang lain. Apalagi kalau dorongan itu disalurkan dengan ikhlas hati tanpa pamrih.

Dalam Injil, Yesus telah memuji keikhlasan hati seperti itu yang diperlihatkan oleh seorang janda miskin ketika ia memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan. Menurut Yesus si janda miskin itu memberi lebih banyak karena ia memberi dari kekurangannya, bukan dari kelebihannya (bdk Luk 21:1-4). Mengapa?

Umumnya manusia cenderung merasa kekurangan ini dan itu. Karena itu ada keinginan kuat juga untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan keyakinan semakin banyak memiliki, semakin terjamin hidup hari ini dan masa depan. Maka dapat timbul rasa haus akan harta yang semakin banyak dari waktu ke waktu dan dapat berkurang rasa rela memberi atau membagi apa yang dimiliki kepada orang lain yang berkekurangan. Selain itu keberhasilan dalam mengumpulkan lebih banyak dapat menimbulkan rasa perasaan bangga atas karya sendiri, semacam rasa mengandalkan kekuatan diri sendiri, rasa sukses karena kerja keras dan bisa saja pada akhirnya mengurangi kepekaan akan anugerah daya kekuatan dari atas, dari Allah sebagai sumber hidup.

Pemberian si janda miskin dalam Injil itu amat bermakna karena sebenarnya mengungkapkan pemberian seluruh diri. Si janda miskin itu tidak menunda kesempatan untuk memberi sesuatu kepada orang lain meskipun ia tidak mengenal orang-orang itu. Ia tidak menanti sampai ia berkecukupan atau berkelebihan. Kesempatan yang tersedia untuk memberi dimanfaatkannya dengan segera. Kebiasaan menunda-nunda dalam memberi karena macam-macam pertimbangan dapat membuat manusia kehilangan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain yang sangat mendesak. Setiap pemberian (termasuk derma atau kolekte) selain bermaksud menolong orang yang berkekurangan, sebenarnya pertama-tama menjadi suatu tanda untuk menyampaikan pujian dan syukur kepada Tuhan, sumber hidup yang memberi kepada semua makluk anugerah berlimpah yang menguatkan dan menghidupkan.

Dua persepuluhan dan kolekte

Kolekte dalam liturgi mengingatkan kita akan kebiasaan orang Israel untuk mempersembahkan kepada Tuhan hasil karya yang pertama, baik hewan maupun hasil panen perdana (Kel 27:7; Im 1:3; Im 23:10-13; Ul 26:2). Orang-orang Israel mengenal kebiasaan memberi dua persepuluhan, yang menjadi tanda syukur atas anugerah dari Tuhan berupa hasil ternak dan panen. Secara konkret pemberian itu digunakan untuk memberi makan kepada kaum Lewi yang menjalankan fungsi pelayanan sebagai imam. Sebagian lagi diberikan kepada orang-orang miskin yang sangat membutuhkan pertolongan.

Kebiasaan mempersembahkan persepuluhan ini diteruskan juga oleh para pengikut Kristus. Banyak Gereja mempraktekkan cara persembahan ini. Besarnya persembahan itu bisa  tepat sebagai persepuluhan, tetapi ada juga pemberian yang kurang atau bahkan lebih dari persepuluhan. Ada yang memberikannya di luar perayaan liturgis tetapi ada yang melakukannya sebagai bagian utuh dari perayaan liturgis. Kita mengenal bentuk pemberian sebagian dari hasil karya atau pendapatan kita pada saat perayaan liturgis dengan nama kolekte.

Pada hari Minggu, Hari Raya atau hari-hari perayaan khusus, biasanya dibuat kolekte untuk disatukan dengan bahan persembahan roti dan anggur serta bahan persembahan lain yang diarak ke altar agar diambil oleh pemimpin perayaan yang bertindak selaku Kristus yang menghargai setiap pemberian sekecil apa pun (bdk. Mat. 14:15-19). Kolekte bersama bahan persembahan lainnya seharusnya diterima dengan penuh sukacita dan dihargai dengan meletakkannya di suatu tempat yang pantas, sebaiknya dekat altar (bukan di atas meja altar), karena di atas altar hanya diletakkan bahan korban syukur Yesus Kristus yaitu roti dan anggur ((Pedoman Umum Misale Romawi no. 73 dan 140 (terj. dari Institutio Generalis Missalis Romani, editio typica tertia 200, oleh Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2002), hlm. 53 dan 75. Selanjutnya disingkat PUMR.)) yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus.

Meremehkan kolekte

Sikap penghargaan atas bahan-bahan persembahan dan kolekte itu tidak selalu diungkapkan oleh imam pemimpin perayaan. Bahkan bisa muncul kekecewaan atau kemarahan kalau imam melihat bahan-bahan persembahan sangat minim dan tak berharga di hadapan matanya. Pernah terjadi dalam suatu perayaan Ekaristi imam pemimpin merasa jengkel sekali melihat kurangnya bahan persembahan yang dihantar oleh umat. Serta merta imam itu mengubah teks nyanyian persiapan persembahan yang sedang dinyanyikan oleh umat untuk mengiringi perarakan. Teks nyanyian sebenarnya adalah:

Trimalah roti anggur persembahan diri kami ((Teks nyanyian liturgi berjudul “Trimalah ya Bapa” dalam Yubilate: Buku Doa dan Nyanyian Katolik, no. 262, Disusun Oleh Komisi Liturgi Keuskupan Senusa Tenggara, Seksi Musik Liturgi (Penerbit Nusa Indah, Ende, 1991), hlm. 426. ))
Trimalah ya Bapa trimalah
Pralambang karya kami suka duka hidup ini
Trimalah ya Bapa trimalah.
(Trimalah syukur kami atas sgala kurnia-Mu
Trimalah ya Bapa trimalah): 2x

Secara spontan teks itu diubah oleh imam yang menyanyikannya dengan suara sangat lantang sehingga didengar oleh seluruh umat (teks yang diubah dicetak dengan huruf tebal):

Tidak ada ya Tuhan persembahan diri kami
Tidak ada persembahan
Pralambang karya kami suka duka hidup ini
Tidak ada persembahan
(Tak ada syukur kami atas sgala kurnia-Mu
Tidak ada persembahan): 2x

Spontanitas yang kreatif ini (semoga tak terulang!) memang menimbulkan kegaduhan dalam gereja. Umat bersungut-sungut karena pemberian mereka sama sekali dipandang hina tak berarti bahkan dipandang “tidak ada” oleh sang pastor. Bagi umat spontanitas sang pastor itu tidak mewakili sikap Kristus yang penuh rasa penghargaan terhadap semua bahan persembahan. Yesus Kristus sendiri memberi contoh yang patut ditiru oleh semua imam, yang sebenarnya bertindak dalam setiap perayaan liturgi “selaku Kristus” (in persona Christi). ((PUMR, no 27; Sacramentum Caritatis (Sakramen Cinta Kasih), Anjuran Apostolic Pasca-Sinode dari Bapa Suci Benedictus XVI kepada Para Uskup, Imam, Biarawan-Biarawati, dan Kaum Beriman Awam, mengenai Ekaristi sebagai Puncak Kehidupan serta Perutusan Gereja (Terj. Komisi Liturgi Konferensi Waligereja, Jakarta, 2008), no. 23.)) Yesus sendiri menerima dengan sukacita lima ketul roti dan dua ekor ikan dari seorang anak kecil, lalu mengucap syukur atas roti dan ikan itu (bukan mengeluh dan menolak karena terlalu sedikit dan justru diberi oleh anak kecil), Ia memecah-mecahkan dan membagi-bagikannya kepada ribuan orang (bukan memakannya sendiri) dan mereka semua yang berjumlah ribuan makan sampai kenyang, bahkan masih ada sisa duabelas bakul penuh (bdk. Yoh 1:1-14).

Menghargai dengan tulus dan gembira setiap pemberian, bersyukur atas setiap bentuk pemberian dan kerelaan memecahkan serta membagi-bagikannya untuk banyak orang lain yang membutuhkan, akan sungguh membuat banyak orang kagum dan bahagia. Itu berarti mengambil bagian dalam melestarikan mujizat Yesus. Setiap kali kita merayakan Ekaristi, peristiwa itu dan maknanya kita kenangkan dan alami kembali.

Menghargai dengan tulus

Dalam sharing pengalaman liturgi di Taipei (Taiwan) pada sidang para pemerhati liturgi Asia Tenggara dan Asia Timur tahun 2004, seorang imam dari wilayah pedalaman Kamboja berceritera sebagai berikut:

Dalam salah satu perayaan Ekaristi di sebuah desa yang terpencil, saya melihat seorang anak kecil aktif menolong sebagai salah satu petugas pengumpul kolekte. Anak itu mengedarkan kotak kolekte kepada teman-temannya yang masih kecil. Ia memperlihatkan dengan wajah gembira kotak kolekte kepada semua anak dengan harapan dapat diisi oleh mereka. Namun ternyata kotaknya kosong tak terisi. Anak itu tidak malu karenanya. Bahkan ia berani berarak bersama para petugas kolekte lain menuju altar dan menyerahkan kotak yang kosong itu kepada sang imam. Saya menerimanya dengan senyum. Lalu secara spontan saya mengangkat kotak kolekte yang kosong itu dan berdoa, “Pandanglah kami umat-Mu ya Tuhan yang mahamurah, berkenanlah menerima apa yang ada pada kami, diri kami seadanya, juga kekosongan dan kekurangan kami, terimalah dan penuhilah sesuai dengan kehendak-Mu”.

Itulah sikap yang terpuji, sikap penghargaan yang tulus seperti Yesus sendiri yang tidak pernah menolak pemberian yang tulus. Cerita contoh ini tidak bermaksud mendorong kita untuk tidak memberi apa-apa dalam kesempatan kolekte, tetapi sebaliknya mau menyemangati kita untuk mempersembahkan sesuatu sebagai bagian utuh dari diri kita dengan semangat “kenosis”, semangat pengosongan diri di hadapan Tuhan sumber pemenuhan hidup manusia baik rohani maupun jasmani.

Makna kolekte

Apa saja yang dikumpulkan untuk dipersembahkan dan apa maknanya? Dalam praktek Gereja abad III, selain roti dan anggur untuk Ekaristi, dipersembahkan juga minyak, lilin, gandum, buah anggur dan barang bernilai lainnya. Pada abad pertengahan muncul kebiasaan mengumpulkan derma dalam bentuk uang sebagai bagian dari persiapan persembahan. ((P.Visentin, “Eucaristia”, dalam Domenico Sartore e Achille M.Tricca (ed.), Nuovo Dizionario di Liturgia (Edizioni Paoline, Roma, 1983), hlm 497;  Bdk. P.Bernard Boli Ujan, SVD, Mendalami Bagian-bagian Perayaan Ekaristi (Yogyakarta, 1992), hlm. 44-48.)) Pengumpulan uang derma dapat dilakukan sebagai awal persiapan persembahan. Inilah yang disebut kolekte. ((Tata Perayaan Ekaristi (Ordo Missae), Buku Imam (Terj. Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2008), no. 19, hlm. 37. Selanjutnya disingkat TPE.)) Selain asal usul kata kolekte, juga konteks liturgis persiapan persembahan ini turut memberi makna pada kegiatan kolekte itu.

Kata kolekte berasal dari collecta (bahasa Latin) yang berarti sumbangan untuk makan bersama, pengumpulan, rapat atau sidang. ((P. Th. L Verhoeven, SVD, dan Marcus Carvallo, Kamus Latin-Indonesia (Ende, Penerbit Ledalero, Maumere 1969), hlm. 163.)) Istilah yang sama ini (collecta) dalam tradisi liturgi dipakai untuk persekutuan beriman yang terbentuk sebagai satu kelompok doa di suatu tempat (gereja). Di Roma pada abad-abad pertama biasanya umat berkumpul di salah satu gereja “statio”. Di sana mereka berdoa bersama lalu berarak bersama-sama menuju tempat perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Paus di sebuah gereja lain sambil berdoa dan bernyanyi. ((Mengenai sejarah Ekaristi di gereja statio di Roma, lihat Marcel Metzger, “The History of the Eucharistic Liturgy in Rome” dalam Anscar J.Chupungco, O.S.B. (ed.), Handbook for Liturgical Studies: The Eucharist (A Pueblo Book, The Liturgical Press Collegeville, Minnesota, 1997), hlm. 110-114)) Selanjutnya istilah collecta dipakai juga sebagai nama untuk Doa Pembuka dalam perayaan Ekaristi, karena doa itu yang diucapkan secara lantang oleh imam pemimpin sebenarnya mengumpulkan dalam rumusan yang singkat-padat semua intensi atau maksud hati dari umat beriman yang hadir (yang berdoa dalam hati dalam keheningan sesudah ajakan imam: “Marilah berdoa”). ((PUMR, no. 54; Bdk. Vincenzo Raffa, Liturgia eucaristica, mistagogia della messa: dalla storia e dalla teologia alla pastorale practica (Edizioni Liturgiche, Roma, 1998), hlm. 68-69; P.Bernard Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm. 23-24.)) Maka collecta dalam arti pengumpulan uang (kolekte) sebagai bagian dari persiapan persembahan mempunyai hubungan erat sekali dengan persatuan-persaudaraan dan dengan doa.

Kolekte tidak hanya sekedar memberikan sesuatu dari diri sendiri kepada orang lain, tetapi kolekte itu mempererat persatuan-persaudaraan antara kita dengan orang lain yang menerima sesuatu dari diri kita. Kolekte adalah bagian dari doa yang mempersatukan kita sebagai saudara saudari dalam Tuhan. Kita bisa berdoa dengan kata-kata, dengan nyanyian, dengan sikap-gerak, tetapi juga dengan pemberian (kolekte). Aspek penting dari doa yang seharusnya mewarnai juga pemberian (kolekte) adalah syukur-pujian atas anugerah yang telah diterima dan atas kesempatan untuk berbuat baik dengan meneruskan anugerah itu kepada orang lain yang membutuhkannya meskipun orang-orang itu tidak kita kenal. Inilah makna liturgis penting dari kolekte: bersama-sama mengumpulkan sesuatu untuk kepentingan banyak orang lain. Maka semakin kita rela memberi (kolekte) semakin kita tahu bersyukur (dalam Doa Syukur Agung), semakin kita bersatu padu dengan saudara-saudari yang lain dan dengan Tuhan sendiri sebagai sumber anugerah (dalam komuni).

Menurut tradisi liturgi memang pernah ada semacam syarat untuk boleh menerima komuni (menyambut Tubuh dan Darah Yesus Kristus), yaitu selain berada dalam keadaan pantas-layak karena penuh rahmat dan tidak berdosa berat, juga kalau penerima komuni itu telah membawa dan memberi sesuatu sebagai bagian dari kolekte pada saat persiapan persembahan. ((“Dalam sinode Elvira (awal abad IV) ditegaskan bahwa umat yang membawa persembahan adalah umat yang ikut komuni. Maka persembahan itu dibawa hanya oleh orang yang telah dipermandikan dan mau berpartisipasi lebih penuh sebagai umat beriman yang sudah dipilih menjadi imam rajawi. Di daerah Gallia terdapat kebiasaan menyebut nama orang yang membawa pesembahan dalam doa persembahan. Tetapi di Roma tidak ada tradisi itu.” P.Bernard Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm. 45-46.)) Ada hubungan yang erat antara kolekte dan komuni dalam perayaan Ekaristi. Dalam hal ini kolekte tidak “membeli komuni”. Kalau kita memberi dengan penuh rasa syukur, dengan sendirinya kita mengalami persaudaraan-persatuan sejati bersama sesama dan Tuhan yang dirayakan secara sakramental dalam komuni.

Semangat yang benar

Dalam konteks persiapan persembahan, membuat kolekte berarti memberikan bagian dalam mempersiapkan bahan kurban syukur Yesus Kristus. Maka urutan perarakan dan penyerahan bahan-bahan persembahan adalah: pertama-tama roti dan anggur (yang akan menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus) lalu bahan-bahan lain dan kolekte. ((Bdk. Peter J. Elliott, Ceremonies of the Modern Roman Rite: The Eucharist and the Liturgy of the Hours, A Manula for Clergy and All Involved in Liturgical Ministries (Ignatius Press, San Francisco, 1995), hlm. 100-105.)) Itu berarti kita tidak mengandalkan atau mengutamakan pemberian-kurban kita, tetapi menomorsatukan pemberian-kurban Yesus Kristus. Bila demikian kita terhindar dari sikap “memberi sambil menuntut balasan dari Tuhan” alias do ut des (Latin = saya beri supaya engkau membalas). Yesus sendiri memberi seluruh diri-Nya sebagai kurban syukur pujian kepada Bapa, tanpa menuntut apa-apa dari Bapa sebagai gantinya. Maka ganti memberi sambil menuntut, kita akan memberi dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan yang selalu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kita. Kehadiran orang yang berkekurangan bisa menjadi kesempatan bagi kita untuk meneruskan kebaikan dan perhatian Tuhan yang berlimpah-limpah itu seraya mendorong orang-orang lain untuk selalu bersyukur kepada Tuhan, dan bukan terutama kepada kita. Itulah sebabnya Yesus mengingatkan kita untuk memberi dengan tangan kanan sedemikian rupa sehingga tangan kiri tidak mengetahuinya (bdk Mat 6:3).

Bila dirayakan Ibadat Sabda tanpa Ekaristi, ada kemungkinan membuat kolekte pada Ritus Penutup ibadat sebelum pengutusan dan berkat. Itu berarti kolektenya diberikan dalam konteks pengutusan ke tengah dunia. Kolekte lalu menjadi satu bentuk dari kesaksian iman bagi banyak orang lain yang dilayani dalam hidup harian. Selanjutnya dengan kolekte itu orang yang menerimanya dapat semakin percaya dan berharap pada Tuhan sumber kekuatan dan hidup. Maka kita tidak memberi kepada orang lain untuk membuat mereka menjadi malas dan kurang berusaha berdikari. Patut disesali bila kita enggan memberi kolekte hanya karena berprasangka bahwa pemberian cuma-cuma itu akan membuat si penerima kurang bersemangat untuk mencari jalan keluar mengatasi kekurangannya.

Untuk siapa?

Untuk siapa kolekte itu digunakan? Sejak abad-abad pertama umat beriman membuat kolekte dengan tujuan menopang hidup para pelayan altar, mengatasi kemiskinan orang-orang papa, dan memenuhi kebutuhan rumah Allah atau tempat ibadat. Para pelayan altar yang menjalankan tugas-tugas pengabdian bagi banyak orang lain termasuk memimpin perayaan-perayaan liturgis sepantasnya mendapat dukungan materi dan keuangan selain dukungan moril serta rohani agar dapat sehat, kuat dan tekun memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Bagi orang-orang miskin dan berkekurangan kolekte itu dapat membantu menciptakan keadilan untuk lebih banyak orang. Santo Yustinus dalam abad ke-tiga mengingatkan orang Kristen untuk tidak melalaikan kewajiban menolong orang miskin. Ia menulis dalam Apologia I, no. 65: “Orang-orang yang berada dalam kelimpahan kalau ingin menyumbang hendaknya meletakkan itu di dekat si pemimpin yang akan menggunakannya untuk membantu yatim piatu dan para janda, orang miskin yang sakit, para narapidana, orang-orang asing disekitarnya dan semua orang yang sangat membutuhkannya.” ((Lihat terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R.C.D. Jasper & G.J.Cuming, Prayers of the Eucharist, 2nd ed. (New York, 1980), hlm. 20. Bdk. Herman Wegman, Christian Worship in East and West: A Study Guide to Liturgical History (terj. Gordon W. Lathrop dari teks asli Geshiedenis van de Christelijke Eredienst in het Westen en in het Oosten, Pueblo Publishing Company, New York, 1985), hlm. 42.)) Kemudian St. Agustinus kembali mencanangkan kewajiban orang Kristiani untuk memberi kolekte buat orang miskin. ((Bdk. Joseph A. Jungmann, The Mass of the Roman Rite: Its Origins and Development Vol. Two (Benzinger Brothers, Inc., New York, 1955) hlm. 1-41.))

Kolekte merupakan tanda solidaritas dengan orang-orang kecil, juga dengan keluarga, lingkungan, wilayah dan paroki bahkan keuskupan atau siapa saja yang menderita kekurangan tanpa batas wilayah maupun agama. Maka di beberapa tempat kolekte itu menjadi sumber untuk membentuk dana solidaritas. Ada banyak tempat yang membutuhkan dana untuk membangun dan memperlengkapi kebutuhan rumah sakit, panti asuhan atau rumah para lansia, selain rumah ibadat dan pastoran atau gedung paroki dan ruang serba guna untuk berbagai kegiatan umum.

Dalam kenyataan ada banyak paroki yang jumlah kolektenya setiap minggu mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Namun tidak dapat disangkal bahwa banyak paroki hanya berhasil mengumpulkan kolekte mingguan sebanyak ratusan ribu atau bahkan hanya puluhan ribu rupiah. Mengapa? Umumnya orang langsung menunjukkan sebab perbedaan itu dalam tingkat kesejahteraan hidup para anggota persekutuan beriman di paroki masing-masing. Kolektenya besar karena umatnya kebanyakan kaya raya, kolektenya sedikit karena umatnya sebagian besar terdiri dari orang miskin. Mungkin ada benarnya, tetapi belum tentu selalu demikian.

Meningkatkan kesadaran

Hal lain yang sebenarnya sangat menentukan besar kecilnya kolekte adalah “kesadaran” para peraya akan pentingnya memberi sebagian dari hasil karya (pendapatan) tiap minggu kepada Tuhan dan sesama yang sangat membutuhkan. Maka perlu ditempuh cara yang tepat dan bijaksana untuk menumbuhkembangkan kesadaran itu. Menanamkan motivasi yang kuat, membuat laporan yang jujur dan transparan, menggunakan hasil kolekte sesuai dengan tujuan sebenarnya, menerima dengan rela dan menghargai dengan tulus berbagai bentuk kolekte (uang dan barang), kesaksian hidup (cara hidup) yang jujur dan sederhana dari para petugas pastoral yang bertanggungjawab mengelola dan menggunakan hasil kolekte, membuat pengawasan yang teliti dan memberikan katekese yang memadai, adalah beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan “kesadaran” memberi dan sekaligus memperbesar jumlah hasil kolektenya.

Untuk menanamkan kesadaran dan motivasi yang kuat dalam diri umat agar rela membagi apa yang ada padanya untuk kepentingan banyak orang lain yang membutuhkan, ada seorang pastor paroki yang menceriterakan anekdot sbb:

Konon ada pertengkaran antara lembaran uang kertas limapuluh ribu dengan limaratus rupiah. Lembaran limapuluh ribu mengejek yang limaratus rupiah katanya: Wah saya ini paling laku dan bersih karena saya bisa naik ojek, bisa naik taksi, bisa masuk rumah makan dan bisa masuk tempat diskotek, tetapi kau limaratus rupiah tidak laku apa-apa, naik ojek saja tidak bisa, apalagi naik taksi, lebih sulit lagi kau masuk diskotek dan rumah makan. Saya sangat bersih tapi kau kotor dan hitam. Kau sungguh tidak laku.
Maka kata lembaran limaratus rupiah: Iya saya memang tidak bisa naik ojek, juga sulit untuk naik taksi, apalagi masuk rumah makan, bioskop atau diskotek dan hotel mewah. Namun saya paling rajin dan setia masuk gereja. Kau biar bersih tetapi takut tampil bahkan tidak laku di hadapan Allah dalam gereja. Tetapi saya biar hitam, kotor dan lusuh, toh paling laku di tempat kudus. Kalau kau tidak undang saya untuk sama-sama naik ojek dan  taksi atau untuk sama-sama masuk rumah makan, diskotek, bioskop dan hotel berbintang karena saya kotor dan hitam, maka saya dengan sangat senang hati mengundang engkau hai limapuluh ribu rupiah agar rajin-rajinlah bersama saya mengunjungi gereja dan masuk ke dalamnya. Ayo jangan lupa minggu depan datang ke gereja ya. Pasti kau akan senang dan bahagia karena kau membawa kegembiraan besar kepada banyak orang. Kalau saya saja telah menggembirakan banyak orang termasuk pastor dan pembantu di sekretariat dan dapur, apalagi kau yang bersih dan cerah pasti membuat wajah orang lain semakin cerah. Saya yakin kalau kau rajin ke gereja, seratus ribu juga bisa tergerak melihat kegembiraan yang kau bagi-bagikan kepada banyak orang. Ayooo kita rame-rame bagi kegembiraan. Mari kita setia pergi ke gereja.

Ketika sang Pastor menceriterakan anekdot ini kepada umatnya, ada tawa ria di dalam gereja. Umat menganggukkan kepala tanda tergelitik geli dan setuju. Mereka memahami makna ajakan sang Pastor yang jenaka. Pesan yang jelas, dibalut dengan cerita lucu, mampu memberi umat motivasi yang kuat untuk rela memberi. Perlahan-lahan tetapi pasti, kolekte pada kesempatan-kesempatan berikutnya meningkat dan sungguh menggembirakan seluruh umat serta petugas pastoralnya. Pastor menyadari bahwa suatu katekese mengenai makna dan manfaat dari kolekte dalam liturgi serta hidup Gereja perlu dilaksanakan bagi seluruh umat dalam paroki.

Bawa pasar ke Altar dan Altar ke pasar?

Kolekte sungguh menggembirakan tetapi bisa saja disalahpahami dan disalahgunakan. Ada orang yang memandang kolekte sebagai alat yang ampuh di tangan manusia untuk membeli kemurahan Tuhan. Semangat jual beli di pasar dibawa masuk ke dalam tempat perayaan, menyusup masuk sampai di panti imam. Ada yang merasa bahwa tempat panti imam dan suasananya amat tepat untuk menyampaikan macam-macam reklame. Altar jadi tempat tawar menawar barang jualan antara manusia, tempat tawar menawar dengan Allah untuk membeli anugerah-Nya. Terjadilah simonia (bdk. Kis. 8:18-24). Sadar atau tidak ada kecenderungan mencontohi Simon seorang tukang sihir di sebuah kota di Samaria yang berani menawarkan uang kepada Petrus dan Yohanes untuk membeli kuasa menumpangkan tangan supaya Roh Kudus turun atas orang-orang yang mendapat tumpangan tangan itu. Hati Simon tidak lurus karena ia mau membeli karunia Allah dengan uang.

Karunia adalah karunia bukanlah barang jual-beli. Bila karunia dipandang sebagai barang dagangan, dan kolekte dipergunakan sebagai alat untuk membeli karunia dari Tuhan, maka kita telah membuat kekeliruan. Petrus menamakan sikap ini “suatu kejahatan” dan ia berseru kepada Simon tukang sihir itu, “Bertobatlah dari kejahatanmu ini dan berdoalah kepada Tuhan, supaya Ia mengampuni niat hatimu ini; sebab kulihat, bahwa hatimu telah seperti empedu yang pahit dan terjerat dalam kejahatan.” Akhirnya Simon tukang sihir itu bertobat katanya, “Hendaklah kamu berdoa untuk aku kepada Tuhan, supaya kepadaku jangan kiranya terjadi segala apa yang telah kamu katakan itu” (Kis. 8:22-24). Beranikah kita mendengar dan menanggapi secara serius seruan Petrus itu? Maukah kita melihat kembali praktek-praktek kita dalam liturgi yang mengarah kepada simonia yaitu membeli karunia Allah dengan uang? Bukankah karunia-karunia Allah tidak boleh dibeli oleh manusia tetapi harus disyukuri terus menerus?

Ada petugas pastoral yang menggunakan kesempatan perayaan liturgi sebagai saat yang jitu untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan memperbanyak saat kolekte yang dikumpulkan dalam beberapa jenis kotak kolekte. Ada kotak satu, dua dan tiga atau dibedakan dengan warna: kotak abu-abu, kuning, merah dll disertai penjelasan tentang perbedaan peruntukannya. Liturgi dan gereja dapat berubah menjadi kesempatan jual beli, tempat pengumpulan dana sebesar-besarnya. Mengapa tidak diciptakan kesempatan non liturgis untuk mengumpulkan dana seperti bazar, malam dana dengan acara lelang dan jual suara? Ada banyak kalangan-kelompok dan paroki juga keuskupan yang telah melakukannya dan sangat berhasil tanpa mengorbankan perayaan liturgi dan ruang ibadat dalam gereja sebagai kesempatan transaksi.

Yesus pernah sangat marah karena pelataran Bait Suci di Yerusalem dijadikan tempat jual beli barang dagangan (bdk. Yoh. 2:13-16). Apalagi kalau bagian dalam gereja dipakai untuk mempromosikan barang-barang dan menjadi tempat jual-beli atau lelang-lelangan. Sangat disayangkan kalau gereja dan perayaan-perayaan liturgi khususnya Ekaristi menjadi tempat penawaran barang-barang jualan kepada umat dengan cara menggugah rasa religius umat. Kita harus cukup waspada terhadap kecendrungan membawa pasar kedalam gereja dan menggunakan Altar atau Mimbar Sabda sebagai tempat reklame barang-barang dagangan. Kewaspadaan yang sama perlu kita miliki bila mau membawa altar ke tengah pasar.

Di tengah pasar kita sebagai orang beriman mau bertransaksi dengan semangat penuh syukur dan kerelaan untuk saling membagi keuntungan dan kebahagiaan, bukan untuk mengeruk dan mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya seraya merugikan orang-orang lain secara tidak adil dalam bentuk apa saja entah sebagai penjual atau pembeli. Mampukah kita menghayati di tengah pasar semangat kurban-syukur yang kita rayakan di altar dalam gereja? Mampukah kita menghayati semangat yang sama dalam segala kegiatan tukar-menukar lain baik di rumah maupun di tempat kerja dan rekreasi? Sebagai orang beriman kita yakin bahwa dalam dan bersama Tuhan kita dapat menghayati semangat kurban syukur itu. Kalau kita menyadari dan menghayatinya dalam liturgi, kita diberi kekuatan juga untuk menjadi orang utusan yang berani memberi kesaksian tentang semangat ini dalam hidup sehari-hari.

Sacra comercia dan profana comercia

Dalam tradisi doa-doa liturgis digunakan satu ungkapan dari dunia pasar yang bisa menimbulkan salah kaprah. Ungkapan itu adalah sacra comercia (= perdagangan atau pertukaran suci) yang terdapat dalam kumpulan doa-doa Sacramentarium Veronense (abad V-VII) dan dipakai juga dalam Buku Misa Paulus VI edisi ke-tiga hasil revisi Paus Yohanes Paulus II tahun 2002, khususnya dalam doa-doa pada masa Natal dan Paskah. ((MISSALE ROMANUM, Ex Decreto Sacrosncti Oecumenici Concilii Vaticani II Instauratum Auctoritate Pauli PP. VI Promulgatum Ioannis Pauli PP. II Cura Recognitum, Editio Typica Tertia (Typis Vaticanis, A.D. MMII), hlm. 155, 163, 383, 384, 399-400, 406, 425)) Ungkapan “pertukaran suci” dipakai untuk menjelaskan tindakan Tuhan sebagai karya penyelamatan yang agung, anugerah terbesar bagi manusia ketika Yesus Putra Tunggal Allah turun ke dunia dan lahir menjadi manusia supaya kita ditebus dari dosa-dosa dan kematian abadi, dan ketika Yesus naik ke surga, kembali kepada Bapa, kita semakin diberi kemampuan untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi Allah. Itulah tindakan penyelamatan Allah: menukar dosa dan kematian kita dengan penebusan dan hidup dalam Yesus Kristus, menukar kemanusiaan kita dan hidup sementara di bumi ini dengan hidup ilahi dan abadi dalam Allah.

Jadi sacra comercia adalah tindakan Allah, adalah anugerah keselamatan dari Allah, bukanlah tindakan kita manusia ala profana comercia (manusia mau menukar barang dan jasanya dengan uang sesama bahkan dengan anugerah Allah). Profana comercia terjadi kalau kita memberi kolekte sesudah homili, dengan maksud untuk membayar jasa pengkhotbah, sehingga semakin hebat pengkhotbahnya semakin besar kolektenya. Kalau kita menghantar kolekte ke kaki altar, dengan tujuan utama untuk membayar jasa imam yang memimpin misa dan mau membeli anugerah kebaikan Tuhan di altar yang sebenarnya diberi kepada kita dengan cuma-cuma, itu juga profana comercia yang tidak lain adalah simonia. Apalagi kalau Mimbar Sabda dan Altar kita pakai untuk menjual produk-produk kegiatan manusia kepada para pembeli yang adalah umat beriman. Seraya menghindarkan profana comercia di dalam liturgi, kita mau mengalami dengan rasa kagum dan penuh syukur-pujian sacra comercia Allah sendiri, karunia penyelamatan cuma-cuma dari Allah. Maka kita akan memberi kolekte dengan rela dan tulus terutama untuk bersyukur kepada Tuhan atas anugerah Sabda-Nya dan mengambil bagian dalam kurban Syukur Yesus Kristus. Kita boleh memberi kolekte sambil menyampaikan permohonan-permohonan tetapi selalu dalam semangat penuh syukur bukan dalam semangat menuntut dan memaksa Tuhan.

Kiat-kiat

Untuk menghindarkan penyalahgunaan kolekte agar tujuan sebenarnya dapat terwujud, maka pemantauan tentang penggunaan kolekte serta laporan pertanggunganjawab yang transparan akan sangat berguna. Pemantauan yang teliti menolong membentuk satu sistim keuangan yang rapih dan teliti sekaligus menjauhkan kecenderungan untuk korupsi. Administrasi keuangan yang amburadul memberi peluang yang besar untuk menggelapkan uang dan barang-barang milik Gereja. Kalau hal itu terjadi, berdasarkan pengalaman di banyak paroki atau komunitas, semangat umat beriman untuk memberi kolekte akan menurun.

Laporan yang transparan dan jujur tidak hanya meliputi besarnya pemasukan dan pengeluaran, tetapi juga pengeluaran untuk pemakaian sesuai dengan tujuan awal pengumpulan kolekte itu. Kalau tujuan kolekte jelas dan pengeluarannya juga sesuai dengan sasaran yang dimaksud, maka kepercayaan umat akan bertumbuh dan kerelaan untuk memberi kolekte dengan sendirinya akan dipacu. Bagi semua orang yang telah dengan rela memberikan kolekte, pertanggunganjawab yang transparan merupakan satu tanda terima kasih yang ikhlas. Transparansi laporan keuangan turut memperlihatkan penghargaan yang tulus kepada semua orang yang telah memberi kolekte dengan rela dan tulus.

Kesaksian lewat cara hidup yang sederhana sangat berpengaruh dalam meningkatkan jumlah kolekte, sebaliknya gaya hidup yang serba mewah dari para petugas pastoral dapat mengurangkan kolekte. Demikian pula cara pemanfaatan uang atau barang-barang milik Gereja yang efektif demi kepentingan umum akan menanamkan kepercayaan dalam diri umat untuk rela memberi. Sebaliknya cara hidup boros dari para petugas pastoral turut memperlemah semangat umat untuk memberi. Bila petugas pastoral memiliki semangat tinggi untuk melayani orang lain dengan rendah hati, maka umat semakin percaya bahwa pemberian mereka tidak disia-siakan tetapi diteruskan oleh para hamba yang setia dalam melaksanakan tugas penggembalaan. Petugas pastoral seperti inilah yang selalu didukung oleh umat yang dilayani, misalnya lewat kerelaan dan kesetiaan memberi kolekte.

Semoga Nama Tuhan semakin dipuji karena kesaksian hidup orang beriman baik yang memberi maupun yang mengelola dan memanfaatkan kolekte yang diperoleh dalam liturgi. Kiranya orang-orang yang berkehendak baik memperoleh rahmat dan damai sejahtera dari Tuhan secara berlimpah-limpah dan berusaha meneruskan anugerah kebaikan Tuhan kepada lebih banyak orang lain yang berkekurangan agar dapat semakin mengalami sacra comercia Allah dan menjauhkan profana comercia yang mengarah kepada simonia baik dalam liturgi maupun dalam hidup harian.

Tentang ‘Petros’ dan ‘Petra’

14

Berikut ini adalah tanggapan atas keberatan-keberatan yang diajukan sehubungan dengan batu karang yang disebutkan di dalam Mat 16:18. Kalau ada pembaca yang mempunyai tambahan keberatan yang belum dibahas di sini, silakan untuk menambahkannya.

1. Yesus berbicara dalam bahasa Aram?

Pandangan Protestan di atas seolah mengatakan bahwa pada Mat 16:18, Yesus tidak berbicara dalam bahasa Aram, atau anggapan bahwa Yesus berbicara dalam bahasa Aram itu hanyalah suatu spekulasi. Namun jika kita membaca ayat- ayat Kitab Suci lainnya, kita mengetahui bahwa memang sesungguhnya nama yang diberikan oleh Tuhan Yesus kepada Simon Petrus adalah Kepha (= Kefas dalam terjemahan Indonesia), yaitu suatu kata bahasa Aram yang berarti batu karang. Ini disebutkan oleh Rasul Yohanes dalam Injilnya (Yoh 1:42), dan juga oleh Rasul Paulus dalam suratnya (Gal 1:18). Maka para rasul yang lain mengingat bahwa nama yang Tuhan Yesus berikan kepada Simon adalah ‘Kefas’, dari bahasa Aram. Maka, sebenarnya ayat  Mat 16:18 itu sesungguhnya mengatakan, “Kamu adalah Kefas, dan di atas Kefas ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku.” Dan Kefas ini adalah Rasul Simon Petrus.

Di Kitab Suci sendiri kita mengetahui perkataan lain, seperti “Eli, Eli, lama sabakhtani” (Mat 27:46; Mrk 15:34) yang juga adalah bahasa Aram. Dan dengan demikian bahwa Yesus berbicara dalam bahasa Aram bukanlah suatu spekulasi. Bahwa Kitab Suci kemudian dituliskan dalam bahasa Yunani, itu berhubungan dengan kondisi saat itu yang memang menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa dalam literatur (dan juga percakapan); namun itu tidak mengubah kenyataan bahwa Yesus sebenarnya memberikan nama “Kefas” dari kata Aram, kepada Simon, yang dalam bahasa Yunani-nya diterjemahkan sebagai “Petros”, sehubungan dengan gender maskulin yang ada dalam tata bahasa Yunani untuk nama seorang pria.

2.“Petros”= batu kecil; “Petra” = batu besar?

Paham Protestan umumnya mengatakan bahwa “Petros” artinya batu kecil dan “Petra” artinya batu besar/ batu karang. Sehingga, paham ini berkesimpulan bahwa perkataan Yesus, “Kamu adalah Petros, dan di atas petra ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku” menunjukkan bahwa ‘Petros’ dan ‘petra’ ini tidak sama. Petros adalah nama lain Simon, sedangkan ‘petra’ / batu karang adalah untuk diartikan sebagai Kristus sendiri ataupun pengakuan iman Simon.

Para apologist Katolik umumnya mengatakan bahwa sebenarnya ‘petros’ dan ‘petra’ mengacu kepada arti yang tidak berbeda, yaitu sama- sama batu besar. Hal ini juga dikatakan oleh ahli bahasa Yunani Protestan yaitu D.A Carson dalam bukunya “Matthew”. in Frank E. Gaebelein, ed. The Expositor’s Bible Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 1984), vol.8, 368; dan Joseph Thayer, dalam bukunya Thayer’s Greek- English Lexicon of the New Testament (Peabody: Hendrickson, 1996), 507.

Kata “batu kecil” yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah ‘lithos‘, bukan ‘petros‘. Maka kata ‘lithos‘ (bentuk jamaknya adalah ‘lithoi‘ yang dipakai dalam ayat Mat 4:3, pada saat Iblis mencobai Yesus, untuk mengubah batu- batu (lithoi) menjadi roti. Kata ‘lithoi‘ ini juga yang dipakai oleh Rasul Petrus pada saat menasihati jemaat agar hidup sebagai batu (‘lithoi‘) yang hidup yang membentuk sebuah rumah rohani (1 Pet 2:5). Kalau seandainya Yesus (dan Matius) menginginkan ditampilkan perbedaan ini (batu besar dan batu kecil) maka yang digunakan harusnya adalah, “Kamu adalah lithos (batu kecil) dan di atas petra (batu besar) ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku.” Jika demikian malah kalimatnya menjadi tidak logis bukan, karena sepertinya tidak ‘nyambung’.

Kita perlu melihat bahwa kalimat tersebut terdiri dari dua bagian kalimat yang dihubungkan oleh kata “dan”. Matius memilih kata “kai” untuk menghubungkan kedua bagian kalimat itu, di mana kata “kai” itu mengacu kepada “pronoun”/ subyek yang sama yang sudah disebut sebelumnya. Selanjutnya, digunakan kata ‘taute‘ yang kalau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “this very“, atau dalam bahasa Indonesianya adalah “dan inilah”. Maka sesungguhnya, yang ingin dikatakan oleh Yesus adalah, “Kamu adalah Petros (batu karang), dan di atas petra (batu karang) inilah, Aku akan mendirikan Gereja-Ku.”

Jika maksud Yesus adalah untuk membedakan keduanya, Matius seharusnya menggunakan kata “alla”  yaitu “tetapi” sehingga tidak mengacu kepada subyek yang sedang dibicarakan sebelumnya, atau dapat diartikan sebagai batu yang lain. Tetapi kita mengetahui tidak demikian halnya.

Maka untuk menjawab pertanyaan di atas: kalau memang Petros dan petra sama artinya, mengapa tidak ditulis “Engkau adalah Petros, dan di atas petros ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku”? Jawabannya adalah: karena dalam tata bahasa Yunani dikenal sistem gender, seperti halnya dalam bahasa Latin, di mana batu karang (secara literal) itu mempunyai gender feminin dengan akhirannya adalah “a”.  Maka Yesus memberi nama baru kepada Simon, untuk dihubungkan dengan karakter yang dilambangkannya yaitu batu karang (petra); yang memang terpampang di hadapan mereka pada saat Yesus mengatakan hal ini kepada mereka, di Kaisaria, Filipi. [Silakan anda klik di wikipedia atau sumber internet lainnya untuk melihat potret lokasi Caesarea, Phillipi, agar anda lebih memahami konteks yang dibicarakan di sini].

3. “Petra” di sini artinya “pengakuan iman Petrus” dan bukan Petrus?

Ada juga pandangan Protestan yang mengatakan bahwa “batu karang”/ petra yang dimaksud di sini adalah “pengakuan Petrus” dan bukannya Petrus sendiri. Pandangan ini sesungguhnya adalah pandangan yang hanya mengambil interpretasi alegoris/ simbolis tetapi tidak mau mengambil arti literalnya. Sebaliknya, Gereja Katolik mengambil keduanya, yaitu “petra”/ batu karang (Mat 16:18) tersebut mengacu kepada Petrus (arti literal) oleh sebab pengakuan imannya akan Kristus sebagai Anak Allah yang hidup (arti alegoris/ simbolis).

Banyak ahli Kitab Suci Protestan mengakui bahwa Petruslah “batu karang” yang dimaksud dalam pernyataan Yesus ini. Silakan klik di sini untuk membaca pengajaran mereka, antara lain Oscar Cullmann (Lutheran), Eduard Schweizer, Francis W. Beare dan Thomas G. Long (Reformed), D.A Carson, Herman Ridderbos, Craig Blomberg, Craig Keener (Evangelis Protestan), R. T France (Anglikan). Cullmann menuliskan, “Tapi apa yang dimaksudkan oleh Yesus ketika mengatakan: “Di atas Batu Karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku?” Ide para Reformer bahwa Ia [Yesus] mengacu kepada iman Petrus adalah sangat tidak terbayangkan (inconceivable)…. Sebab tidak ada referensi yang mengacu kepada iman Petrus. Yang ada, paralel/ perbandingan antara “Kamu adalah Batu Karang” dan “di atas Batu Karang ini Aku akan membangun” menunjukkan bahwa Batu Karang yang kedua adalah sama dengan Batu Karang yang pertama. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Yesus mengacu kepada Petrus, yang kepadanya Ia telah memberi nama Batu Karang. Ia telah menunjuk Petrus… Dalam hal ini exegesis Gereja Katolik benar, dan semua usaha gereja Protestan untuk menghapuskan interpretasi ini harus ditolak. (lihat Oscar Cullmann, dalam artikel “Rock̶1; (petros, petra) trans. and ed. by Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of the New Testament (Eerdmans Publishing, 1968), volume 6, p. 108).”

4. Hanya Tuhan saja yang dapat disebut “Batu Karang”?

Argumen lainnya dari umat Protestan adalah bahwa hanya Tuhan-lah yang layak disebut sebagai ‘Gunung Batu/ batu karang’, seperti yang ditulis dalam Yes 44:8, “Adakah Allah selain dari pada-Ku? Tidak ada Gunung Batu yang lain, tidak ada Kukenal!” dan 1 Kor 10:4, “sebab mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan batu karang itu ialah Kristus.”

Memang Tuhan disebut sebagai ‘Gunung Batu’/ ‘the Rock‘ di Yes 44:8, dan bahkan di banyak ayat lainnya. Namun juga di tujuh bab kemudian dalam kitab Yesaya, yaitu Yes 51: 1-2, dikatakan Abraham adalah gunung batu yang daripadanya bangsa Israel terpahat. Serupa dengan hal ini adalah: Yesus disebut sebagai dasar Gereja (1 Kor 3:11) tetapi dalam Why 21:14 dan Ef 2:20, dikatakan bahwa dasar Gereja adalah para rasul. Atau dikatakan bahwa Yesus adalah Terang Dunia (Yoh 9:5) tetapi Kitab Suci juga mengatakan bahwa kita sebagai murid- murid Kristus adalah terang dunia (Mat 5:14). Juga, Yesus adalah Sang Rabi/ guru pengajar, namun ada banyak pengajar di dalam Tubuh Kristus (Ef 4:11; Yak 3:1).

Maka bukanlah suatu kontradiksi untuk mengatakan jika dasar Gereja adalah para rasul, sebab mereka dapat menjadi dasar Gereja karena mereka ada di dalam Kristus, Sang Dasar/ Pondasi. Demikian juga, Gereja dapat menjadi terang dunia karena ia berada di dalam Kristus yang adalah Terang Dunia. Seorang guru pengajar dapat mengajar karena ia ada di dalam Kristus Sang Guru. Dengan pengertian ini kita mengartikan Petrus sebagai ‘batu karang’. Keberadaannya sebagai ‘batu karang’ tidak mengurangi makna Kristus sebagai ‘Batu Karang/ Gunung Batu’ sebab karakternya sebagai batu karang tersebut diperoleh dari Kristus.

5. Mari mengikuti ajaran St. Agustinus

Di komentar di atas, sang penjawab mengatakan agar kita kembali kepada ajaran St. Agustinus:

For on this very account the Lord said, ‘On this rock will I build my Church,’ because Peter had said, “Thou art the Christ, the son of the living God.’ On this rock, therefore, He said, which thou hast confessed, I will build my church. For the Rock (petra) was Christ; and on this foundation was Peter himself also built. For other foundation no man lay that this is laid, which is Christ Jesus.” (Augustine, Homilies on the Gospel of John).

Tentu saja Gereja Katolik juga setuju dengan ajaran ini, bahwa memang Kristus adalah Sang Batu Karang. Namun mengatakan bahwa Petrus adalah “batu karang” juga tidaklah bertentangan dengan ajaran ini, karena ‘batu karang’ yang dimaksudkan di sini juga tidak untuk diartikan terpisah dari Kristus. Maka Petrus sebagai ‘batu karang’ itu bukan untuk dianggap ‘saingan’ Kristus, seolah- olah Petrus adalah batu karang yang lain dengan Kristus. Petrus hanya menerima karakter batu karang dari Kristus Sang Batu Karang; sama seperti kita sebagai murid- murid Kristus menjadi terang dunia karena mengambil sumbernya dari Kristus Sang Terang Dunia.

Selanjutnya, jika mau konsisten, seharusnya sang penjawab surat di atas juga menerima ajaran St. Agustinus berikutnya tentang keutamaan Paus. Tentang ayat Mat 16:18, St. Agustinus menjelaskan kembali dalam bukunya Retractiones, 1, 20,1, demikian:

“…. Tetapi aku mengetahui hal itu sangat sering pada saat- saat berikutnya, sehingga aku menjelaskan apa yang Tuhan katakan: “Kamu adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku’, bahwa itu harus dimengerti sebagai dibangun di atas Dia yang kepada-Nya Petrus mengaku: “Engkau adalah Kristus, Anak Allah yang hidup,” dan oleh karena itu, Petrus, yang dipanggil ‘batu karang’ ini, mewakili Gereja yang didirikan di atas batu karang ini, dan telah menerima ‘kunci-kunci Kerajaan Surga‘….” (lihat St. Augustine: The Retractions, trans. Sister Mary Inez Bogan (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1968) 60:90-91).

Maka, St. Agustinus mengajarkan bahwa Sang Batu Karang adalah Kristus, di mana Petrus juga membangun di atasnya, namun itu tidak mengubah ajarannya tentang keutamaan Petrus [yang mewakili seluruh Gereja] dan para penerusnya. Ia bahkan menunjukkan pentingnya jalur apostolik ini untuk membuktikan Gereja sejati; untuk menolak ajaran sesat Donatism yang uskup- uskupnya tidak mempunyai jalur apostolik. Sayangnya Luther dan Calvin, yang sama- sama mempelajari St. Agustinus, rupanya ‘menganggap sepi’ ajaran ini, atau hanya memilih sebagian dari ajaran St. Agustinus yang mereka pandang mendukung pandangan mereka.

Berikut ini adalah ajaran St. Agustinus:

“Jika urutan episkopal secara turun temurun adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan, adalah lebih lagi dalam hal kepastian, kebenaran dan keamanan, kita mengurutkannya dari Petrus sendiri, yang kepadanya, sebagai seorang yang mewakili seluruh Gereja, Tuhan Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Petrus digantikan oleh Linus, Linus oleh Klemens, Klemens oleh Anacletus, Anacletus oleh Evaristus, Evaristus oleh Sixtus, Sixtus oleh Telesforus, Telesforus oleh Hyginus, Hyginus oleh Anicetus, Anicetus oleh Pius, Pius oleh Soter. Soter oleh, Alexander, Alexander oleh Victor, Victor oleh Zephyrinus oleh Callistus, Callistus oleh Urban, Urban oleh Pontianus, Pontianus oleh Anterus, Anterus oleh Fabian, Fabian oleh Cornelius, Cornelius oleh Lucius, Lucius oleh Stephen, Stephen oleh Sixtus, Sixtus oleh Dionisius, Dionisius oleh Felix, Felix oleh Eutychian, Eutychian oleh Caius, Caius oleh Marcellus, Marcellus oleh Eusebius, Eusebius oleh Melchiades, Melchiades oleh Sylvester oleh Markus, Markus oleh Julius, Julius oleh Liberius, Liberius oleh Damasus, Damasus oleh Siricius, Siricius oleh Anastasius. Dalam urutan ini tidak ada satupun uskup Donatist ditemukan.”(St. Augustinus, To Generosus, Letter 53, 2 Jurgens, Faith of the Early Fathers, 3:2)

Akhirnya, mari kita melihat argumen masing- masing dan menilai manakah yang lebih masuk akal dan sesuai dengan Kitab Suci dan Tradisi Suci. Walaupun rangkaian artikel Keutamaan Paus yang ada di situs ini belum lengkap (baru sampai bagian ke-4) namun saya percaya, jika kita mau membacanya dengan hati yang terbuka tanpa prasangka, maka sebenarnya kita semua dapat memahami bahwa ajaran Gereja Katolik tentang keutamaan Paus ini sungguh sangat berdasar, dan bukan sekedar ‘argumen yang kosong’, seperti yang dituduhkan di atas. Keutamaan Paus dan kepemimpinannya atas Gereja tidak hanya didasarkan atas Mat 16:18 saja, tetapi juga sudah dibuktikan dengan ayat- ayat lainnya dalam Kitab Suci,  dalam Tradisi Suci para rasul dan ajaran Bapa Gereja.

Perlu diketahui, bahwa banyak dari antara para Apologist Katolik sebelum menjadi Katolik adalah seorang Protestan yang sangat mempelajari Kitab Suci, dan bahkan banyak di antara mereka adalah bekas pendeta. Mereka adalah para ahli Kitab Suci yang selain menguasai bahasa aslinya (Yunani dan Ibrani) juga menguasai sejarah. Beruntunglah kita yang dapat belajar dari para Apologist tersebut yang membangun Gereja Katolik, justru dengan latar belakang mereka sebagai seorang Protestan. Ini justru merupakan bukti yang sangat kuat bahwa jika seseorang sungguh dengan tulus mencari kebenaran, maka ia akan sampai kepada Gereja Katolik. Kepindahan mereka ke Gereja Katolik merupakan bukti bahwa mereka mengasihi Allah, Sang Kebenaran itu, melebihi segala- galanya.

Adorasi Sakramen Maha Kudus

37

1. “Kami datang untuk menyembah Dia” (Mat 2:2)

Penghormatan kepada Sakramen Maha Kudus mempunyai dasar dari Kitab Suci, yaitu bagaimana kita ingin mengikuti teladan para gembala dan para majus yang menghormati Kristus yang telah lahir dan diam di tengah- tengah kita. St. Paus Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, (Ecclesia de Eucharistia/ The Church and the Eucharist/ Gereja dan Ekaristi) mengajarkan,

“… pandangan Gereja selalu terus terarah kepada Tuhannya, yang hadir dalam Sakramen di Altar, yang di dalamnya Gereja menemukan pernyataan sempurna akan kasih Tuhan yang tak terbatas.” (The Church and the Eucharist, 1)

…Adorasi Sakramen Maha Kudus adalah… praktek sehari- hari yang penting dan menjadi sumber kekudusan yang tidak pernah habis… Adalah menyenangkan untuk menghabiskan waktu dengan Kristus, untuk bersandar pada-Nya seperti yang dilakukan oleh murid yang dikasihi-Nya, dan untuk merasakan kasih yang tak terbatas yang ada di dalam hati-Nya.” (The Church and the Eucharist, 10 & 25)

2. Apakah itu Adorasi Sakramen Maha Kudus?

Adorasi Sakramen Maha Kudus adalah tindakan penyembahan kepada Tuhan yang hadir dalam rupa Hosti yang telah dikonsekrasikan. Berpegang pada janji yang diberikan oleh Yesus dalam Perjamuan Terakhir, yang mengatakan, “Inilah Tubuh-Ku” dan “Inilah Darah-Ku”, dan oleh kuasa Roh Kudus, maka dalam doa konsekrasi yang diucapkan para imam, hosti diubah menjadi Tubuh Kristus, dan anggur menjadi Darah Yesus. Dengan demikian hosti yang telah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan itu menjadi Tubuh Kristus, Sang Allah Putra. Dengan demikian, berdoa di hadapan Sakramen Ekaristi tersebut, sama dengan berdoa di hadapan Allah sendiri. Penghormatan terhadap Sakramen Maha Kudus ini dilakukan setiap kita berlutut ataupun memberikan hormat di hadapan tabernakel yang di dalamnya diletakkan sakramen Maha Kudus, menghormat sebelum menerima Ekaristi/ Komuni dalam Misa Kudus, ataupun pada saat Sakramen Maha Kudus ditahtakan.

3. Pentahtaan Sakramen Maha Kudus

Devosi ini diawali dengan pentahtaan Sakramen Maha Kudus. Imam atau diakon memindahkan hosti yang telah dikonsekrasikan ke dalam mostrans dan mentahtakannya di atas altar. Ketika hosti diletakkan di dalam mostrans, maka dikatakan sebagai pentahtaan Sakramen Maha Kudus.

4. Cara merayakan Adorasi Ekaristi

St. Alfonsus Liguori mengajarkan, “Dari semua devosi, penyembahan kepada Yesus dalam Sakramen Maha Kudus adalah devosi yang terbesar setelah sakramen- sakramen, dan sesuatu yang paling berkenan kepada Allah dan yang paling berguna bagi kita.”

Berikut ini adalah cara- cara untuk merayakan adorasi Ekaristi:

a) Pada saat Misa Kudus:
Kita berlutut pada saat imam mengangkat Sakramen Mahakudus tersebut sambil berkata, “Inilah Anak Domba Allah….” Sebelum menerima Komuni, tunduklah dan berilah penghormatan kepada Kristus yang hadir dalam rupa roti dan anggur.

b) Pada saat pentahtaan Sakramen Maha Kudus:
Pada paroki tertentu pentahtaan Sakramen Maha Kudus diadakan seminggu sekali, yang seringkali dilanjutkan dengan diperbolehkannya umat untuk datang dan menyembah Kristus dalam Sakramen Maha Kudus.

c) Devosi 40 jam:
Di beberapa paroki juga diadakan 40 jam Adorasi Ekaristi, diadakan setahun sekali.

d) “Perpetual Adoration”/ pentahtaan Sakramen Maha Kudus untuk adorasi tanpa putus selama 24 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu.

e) Mengunjungi/ singgah di gereja untuk memberikan penghormatan kepada Kristus yang hadir dalam tabernakel.

f) “Benediction”: Setelah pentahtaan dan adorasi, maka Sakramen Maha Kudus digunakan untuk memberkati umat. Umumnya diiringi oleh lagu O Salutaris Hostia, dan Tatum Ergo.

g) Prosesi: perjalanan parade umat dan imam dalam memberi penghormatan kepada Sakramen Maha Kudus.

5. Sejarah “Perpetual Adoration”

Walaupun hal kehadiran Yesus dalam Sakramen Maha Kudus telah diajarkan sejak jaman para Rasul, namun Adorasi tanpa henti baru dilakukan pada abad ke-6 yang dilakukan di katedral Lugo, Spanyol. Pada abad ke-12, St. Thomas Becket berdoa bagi Raja Henry II di hadapan “Tubuh Kristus yang maha agung” dan pada abad ke- 16 mulai dikenal devosi 40 jam di hadapan Sakramen Maha Kudus. Di abad ke-19 di Prancis, adorasi tanpa henti dilakukan di dalam komunitas para biarawati kontemplatif. Akhirnya devosi ini tersebar ke seluruh paroki di seluruh dunia.

6. Apa yang dapat dilakukan pada saat kita melakukan Adorasi Sakramen Maha Kudus?

Berikut ini adalah beberapa saran yang dapat dilakukan dalam Adorasi Sakramen Maha Kudus:

a) Ucapkanlah doa sebelum Adorasi, seperti yang pernah dituliskan di sini, silakan klik.

b) Berdoa dari kitab Mazmur atau membaca doa Ibadat Harian.
Kita dapat memilih Mazmur yang berisi pujian, ucapan syukur, permohonan ampun ataupun permohonan agar didengarkan Tuhan. Atau kita dapat pula mendoakan Ibadat Harian yang dibacakan oleh Gereja sepanjang tahun.

c) Mengulangi “Doa Yesus”
Mengulangi doa, “Tuhan Yesus, kasihanilah aku, yang berdosa ini.” Ulangilah terus, sampai hati dan pikiran anda tenang dan masuk dalam doa kontemplasi.

d) Merenungkan Kitab Suci (Lectio Divina)
Pilihlah salah satu perikop dalam Kitab Suci. Bacalah dan renungkanlah ayat- ayat tersebut. Pusatkan perhatian pada salah satu ayat yang menyentuh kita saat itu dan mohonlah agar anda dapat memahami apa yang Tuhan inginkan anda pahami akan ayat itu. Selanjutnya tentang Lectio Divina, klik di sini.

e) Bacalah riwayat hidup para Santa/ santo dan berdoalah bersama dengan mereka.
Banyak dari para orang kudus mempunyai devosi kepada Ekaristi, contohnya St. Teresia dari Lisieux ( Teresia Kanak- kanak Yesus), St. Katarina dari Siena, St. Fransiskus Asisi, St. Thomas Aquinas, dan Bunda Teresa dari Kalkuta. Kita dapat membaca riwayat hidup mereka dan berdoa bersama mereka di hadapan Sakramen Maha Kudus, semoga kitapun didorong untuk bertumbuh di dalam iman dan kekudusan seperti mereka.

f) Curahkan isi hati kepada Kristus dan sembahlah Dia.
Kita dapat pula datang dan mencurahkan isi hati kita kepada-Nya, menyadari bahwa kita berada di dalam hadirat-Nya. Kita berdoa seperti St. Fransiskus Asisi, “Aku meyembah-Mu, O Kristus, yang hadir di sini dan di semua Gereja di seluruh dunia, sebab dengan salib suci-Mu Engkau telah menebus dunia.”

g) Mohonlah ampun kepada Tuhan dan berdoalah bagi orang- orang lain
Kita dapat pula berdoa bagi mereka yang pernah menyakiti hati kita dan memohon rahmat Tuhan bagi mereka. Mohonlah agar Tuhan mengampuni kita, yang juga telah menyakiti sesama/ kurang memperhatikan mereka. Atau, seperti yang dianjurkan oleh St. Faustina Kowalska, kita dapat berdoa memohon kerahiman ilahi bagi seluruh dunia dan kita dapat mendoakan doa Kerahiman Ilahi tersebut.

h) Berdoalah rosario.
St. Paus Yohanes Paulus II mengajak kita untuk merenungkan tatapan Bunda Maria yang memandang bayi Kristus di pelukannya, saat kita berada dalam persekutuan dengan Kristus. Kita dapat pula berdoa rosario dan memohon agar bersama Bunda Maria kita dapat memandang Kristus di dalam Ekaristi.

i) Duduk sajalah dengan tenang dan alami hadirat Tuhan
Kita dapat pula duduk tenang dalam hadirat Tuhan seperti halnya kita sedang mengunjungi seorang sahabat. Duduk tenang di hadapan-Nya, dan nikmatilah hadirat-Nya. Daripada bercakap- cakap dengan-Nya, kita dapat pula diam, dan berusaha mendengarkan apa yang hendak disampaikan-Nya.

j) Di akhir Adorasi, dapat diucapkan doa penutup, silakan klik.

7. Adorasi tidak sama dengan devosi

Maka Adorasi yang artinya penyembahan tidak sama persis dengan devosi. Adorasi/ penyembahan hanya diberikan kepada Kristus, sedangkan devosi yang merupakan praktek religius, dapat berupa penyembahan kepada Kristus maupun juga penghormatan kepada para orang kudus.

Melihat penjabaran di atas, maka meditasi/ merenungkan tentang Kristus, sabda-Nya dan peristiwa hidup-Nya dapat merupakan bagian dari Adorasi. Namun Adorasi sendiri dapat dilakukan dengan beberapa cara yang lain, tidak harus meditasi.

Buah- buah yang diperoleh dari Adorasi adalah pertumbuhan rohani bagi mereka yang melaksanakannya, yang diperoleh karena rahmat dari Kristus sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa paroki- paroki yang rajin melakukan doa Adorasi, dan menyediakan “perpetual adoration” (Adorasi tanpa henti) akan diberkati Tuhan; panggilan imamat dari paroki tersebut akan meningkat, dan keluarga- keluarga dalam paroki tersebut dapat lebih bersatu dan bersemangat dalam melakukan tugas- tugas kerasulan.

Jadi, bagi pembaca katolisitas yang tinggal di paroki yang mempunyai kapel Adorasi, alangkah baiknya kita meluangkan waktu untuk setidaknya sekali seminggu melakukan 1 jam Adorasi di hadapan Sakramen Maha Kudus. Alamilah kasih Tuhan, dan alamilah juga buah- buah positifnya dalam hidup kita.

Sekali selamat tetap selamat?

67

Apakah kamu yakin sudah selamat?

Ketika saya tinggal di Filipina sekitar tahun 1998, saya pernah ditanya oleh seorang teman saya yang adalah anggota Bible study dari kelompok Protestan, “Apakah kamu yakin sudah selamat?” Dia mengatakan keheranannya mengapa umat Katolik sepertinya tidak yakin akan keselamatannya sedangkan kalau umat Protestan yakin dengan seyakin- yakinnya kalau pasti selamat. Mendengar hal ini mungkin kita bertanya- tanya kepada diri sendiri, sikap manakah yang benar? Mari kita melihat jawabannya  dari Kitab Suci, yang menjadi pegangan kita bersama sebagai murid- murid Kristus.

Beberapa ayat yang digunakan untuk mengatakan ‘sekali selamat tetap selamat’

Seringkali saudara- saudari kita yang Protestan mengutip ayat- ayat berikut ini untuk mendukung pemahaman mereka bahwa sekali selamat mereka tetap selamat (once saved, always saved):

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16)

“Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal (1 Yoh 5:13)”

Lalu umumnya mereka mengatakan, jadi yang perlu dilakukan sederhana saja, tinggal mengaku dengan mulut kita bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat kita, dan kita pasti diselamatkan, seperti yang tertulis dalam surat Rasul Paulus,

Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan (Rom 10:9-10).

Tanggapan kita umat Katolik

1. Terhadap Yoh 3:16
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Menurut Rm Pidyarto, O Carm, yang adalah seorang pakar Kitab Suci yang menguasai bahasa Yunani, kata “beroleh” di sini berasal dari kata ἔχω/ echō, echein, yang memang dapat diterjemahkan sebagai ‘beroleh’ (have), tetapi sebenarnya lebih tepat jika diterjemahkan sebagai ‘dapat beroleh’ (may have’), seperti yang terdapat dalam Kitab Suci edisi Douay Rheims/ Vulgate. Ini disebabkan karena digunakannya kata ‘me‘ (dalam bahasa Inggris terjemahannya adalah “lest)”,  pada kata ‘tidak binasa’ (should not perish) sehingga kata sambung ini menuntut / lebih tepat untuk diikuti oleh kata ‘may have‘. Kita mengetahui bahwa dalam bahasa Inggris sendiri kata ‘have‘ dan ‘may have‘  artinya tidak sama persis.

Namun demikian, jika diterjemahkan sebagai “beroleh”, kalimat ini tidak bermaksud mengatakan bahwa hanya dengan percaya/ beriman kepada Anak Allah saja maka seseorang pasti memperoleh hidup yang kekal. Maka kata kunci yang perlu dilihat adalah bagaimana memaknai kata “percaya” / beriman tersebut, sebab iman ini juga mensyaratkan penghayatan. Jadi kata ‘percaya’ di sini tidak boleh hanya diartikan pengakuan dengan mulut saja atau baptisan saja. Kita tidak dapat mengartikan satu ayat dalam Kitab Suci dan melepaskannya dengan ayat- ayat lainnya dalam Kitab Suci. Hidup yang kekal atau keselamatan ini diberikan oleh Allah karena kasih karunia, oleh iman/ kepercayaan yang bekerja oleh kasih (Ef 2:8; Gal 5:6); dan ini diberikan melalui Pembaptisan (Yoh 3:5, Mat 28:19-20) yang melibatkan pertobatan untuk melaksanakan perintah Tuhan (lih. Mat 7:21-23; Ibr 11;39; Yak 2:14.). Maka Gereja Katolik tidak pernah memisahkan kasih karunia, iman, perbuatan kasih, Pembaptisan dan pertobatan dalam ajaran Keselamatan ini. Silakan membaca diskusi mengenai hal ini, lebih lanjut di sini, silakan klik.

2. Terhadap 1 Yoh 5:13
“Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal.”

Kata “tahu” di sini berasal dari kata eidete (dari kata oida); sebenarnya berarti “kamu dapat tahu”/ you may know, yang tidak mengacu kepada sesuatu pengetahuan absolut yang pasti. Ini seperti jika kita mengatakan bahwa kita tahu kalau kita dapat nilai A dalam ujian, atas dasar kita sudah belajar dengan rajin dan saya merasa menguasai topiknya. Tetapi kenyataannya apakah pasti kita dapat nilai A atau tidak itu harus dibuktikan kemudian. Jadi “tahu” di sini tidak bersifat absolut, tetapi memang ada pengharapan besar bagi kita untuk mencapainya.

Untuk memahami arti kata eidete maka kita melihat pada ayat sesudahnya yaitu ayat 1Yoh 5: 14-15, yang berbunyi:

“Dan inilah keberanian percaya kita kepada-Nya, yaitu bahwa Ia mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya. Dan jikalau kita tahu (oidamen- dari kata oida), bahwa Ia mengabulkan apa saja yang kita minta, maka kita juga tahu, bahwa kita telah memperoleh segala sesuatu yang telah kita minta kepada-Nya.”

Di sini kita harus mengakui bahwa kita tidak dapat mempunyai kepastian yang absolut bahwa Tuhan akan menjawab setiap permintaan kita secara persis. Sebab Tuhan adalah Maha Baik dan Maha Kuasa dan Ia akan menjawab doa kita dengan cara yang dipandang-Nya baik bagi kita, yang sering kali tidak sama dengan yang kita minta/ yang kita pikirkan. Maka di sini kita harus menerima bahwa cara kita “mengetahui” dalam hal ini adalah bersifat kondisional dan bukan sesuatu yang pasti secara absolut.

Dengan pengertian yang sama kita mengartikan ayat 1 Yoh 3:21-22 yang mengatakan,

“Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah, dan apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari pada-Nya, karena kita menuruti segala perintah-Nya dan berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.”

Maka kita sebagai umat Katolik ‘mempunyai keberanian percaya‘ untuk menerima apa yang kita doakan, namun kita tidak dapat mengatakannya sebagai jaminan yang sudah pasti secara absolut. Sebab hal keselamatan kita ini juga melibatkan partisipasi kita dalam menyatakan iman kita dalam perbuatan, agar iman yang demikian dapat menjadi iman yang ‘hidup’ (Yak 2: 24, 26) dan menyelamatkan. Kenyataannya bahkan Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa pada akhir jaman akan ada orang- orang yang terkejut untuk mendapatkan bahwa sikap mereka yang tidak menujukkan perbuatan kasih dapat menghantar mereka kepada penghukuman (Mat 25:41-46).

3. Maka hal keselamatan tidak semata tergantung dari “pengakuan dengan mulut” untuk menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamat pribadi. Sebab yang tak kalah pentingnya adalah kita harus bertobat, seperti yang diajarkan oleh Rasul Yohanes kepada semua murid Kristus yang sudah menerima Yesus (lihat 1 Yoh 2:12-14). Ia mengatakan,

“Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yoh 1:8-9)

Perhatikanlah bahwa Rasul Yohanes menggunakan kata “kita”, sebab dirinya sendiri juga termasuk di dalamnya. Silakan bertanya kepada orang yang berpandangan “sekali selamat tetap selamat”, apakah mereka masih perlu bertobat atau tidak? Jika mereka menjawab ya, berarti pandangan mereka sebenarnya bukan “sekali selamat tetap selamat”. Tetapi jika mereka mengatakan “tidak perlu bertobat, sebab sudah pasti diampuni dan pasti masuk surga”, maka pandangan mereka ini bertentangan dengan ayat- ayat Kitab Suci lainnya yang mengatakan bahwa dosa/ kejahatan yang tidak disesali tidak akan diampuni dan tidak ada sesuatupun yang berdosa dan najis dapat masuk Kerajaan Surga (lih. Hab 1:13; Why 21:8-9, 27)

Rasul Yohanes kemudian mengklasifikasikan dosa, yaitu dosa yang mematikan (dosa berat) dan dosa yang tidak mematikan (dosa ringan) lih. 1 Yoh 5:16-17. Seseorang yang berdosa berat melepaskan diri dari Tubuh Kristus. Dalam hal ini bukan berarti Yesus kurang kuasa untuk menyelamatkannya, tetapi orang itu sendiri dengan kehendak bebasnya memilih untuk melepaskan diri dari Yesus dengan perbuatan dosanya yang berat. Dan jika ia tidak bertobat, maka ia sendiri menolak rahmat keselamatan yang sudah pernah diterimanya dari Allah.

Selanjutnya, pengakuan dengan mulut juga tidak ada artinya, jika tidak dibarengi dengan ketaatan melaksanakan perintah- perintah Tuhan. Oleh sebab itu Rasul Paulus mengajarkan ketaatan iman (Rom 1:5, 16:26). Yesus berkata,

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21, lih. Mat. 10:33, 18:35).

4. Rasul Paulus mengajarkan kepada kita akan kedua sifat Tuhan yang tidak bisa dipisahkan yaitu kemurahan-Nya namun juga kekerasan-Nya;

“Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamupun akan dipotong juga.” (Rom 11:22)

Maka di sini jelas dikatakan bahwa oleh kemurahan Tuhan kita diselamatkan, namun kita harus mengusahakan untuk selalu tinggal di dalam kemurahan-Nya. Kita harus bertahan untuk hidup sesuai dengan ajaran Kristus, sampai dengan kesudahannya, baru kita dapat selamat (lih. Mat 10:22). Kita harus berjaga- jaga dan tetap melaksanakan tugas- tugas dan pekerjaan Tuhan yang dipercayakan kepada kita dengan baik sampai pada akhirnya (lih. Luk 12:41-46, Why 2:25-26). Sebab memang benar oleh Injil kita diselamatkan tetapi kita harus tetap teguh berpegang kepadanya (1 Kor 15:1-2). Kita harus hidup kudus dan tidak bercela, dan tekun dalam iman dan tidak bergoncang (Kol 1:22-23); teguh berpegang pada kepercayaan dan pengharapan kita (Ibr 3:6). Kita harus setia sampai mati (Why 2:10).

5. Rasul Petrus malah memperingatkan agar kita yang sudah percaya jangan sampai jatuh ke dalam dosa seperti pada waktu belum percaya, sebab akibatnya malah akan lebih parah:

“Sebab jika mereka, oleh pengenalan mereka akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus, telah melepaskan diri dari kecemaran-kecemaran dunia, tetapi terlibat lagi di dalamnya, maka akhirnya keadaan mereka lebih buruk dari pada yang semula. Karena itu bagi mereka adalah lebih baik, jika mereka tidak pernah mengenal Jalan Kebenaran dari pada mengenalnya, tetapi kemudian berbalik dari perintah kudus yang disampaikan kepada mereka. Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.” (2 Pet 2:20-22)

Kondisi melepaskan diri dari kecemaran dunia ini adalah makna dari kelahiran kembali dalam Kristus yang kita alami pada waktu Pembaptisan. Maka di sini Rasul Petrus mengingatkan agar setiap umat yang sudah dibaptis tidak kembali lagi kepada kehidupan yang lama yang penuh dosa.

6. Yesus juga mengingatkan Dalam Mat 6:15, bahwa kita harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita, sebab jika tidak, maka Allah Bapa tidak akan mengampuni kesalahan kita. Di sini Yesus tidak memperhitungkan apakah kita sudah ‘lahir baru/ born again‘ atau belum; namun kalau kita tidak mengampuni maka kita akan kehilangan keselamatan kita.

7. Kitab Suci memperingatkan kita bahwa kita dapat ‘lepas dari Kristus, dan hidup di luar kasih karunia‘ jika hidup dalam kuk perhambaan dosa (Gal 5:1-5), agar jangan bermegah supaya tidak dipatahkan (lih. Rom 11:18-22), dicoret namanya dari buku kehidupan (Why 3:5; Mzm 69:28), karena melakukan dosa dan tidak bertobat (lih. Ef 5:3-5; 1 kor 6:9; Gal 5:19; Why 21:6-8).

Tak mengherankan bahwa Rasul Paulus kemudian mengajarkan demikian:

“Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” (1 Kor 9:27)

Jika Rasul Paulus yang sudah demikian kudus saja semasa hidupnya terus berjuang untuk melatih tubuhnya menghindari dosa, dan mengusahakan agar hidup sesuai dengan Injil agar tidak ditolak oleh Tuhan; apalagi kita- kita ini. Kalau Rasul Paulus sudah yakin “pasti” selamat, tentunya dia tidak perlu menuliskan ayat ini, sebab ia sudah yakin tidak akan ditolak Allah. Ayat ini membuktikan kerendahan hati Rasul Paulus yang selain berpengharapan teguh akan keselamatan yang dijanjikan Allah, namun juga menyadari bahwa ada bagian yang harus dilakukannya yaitu untuk berjuang hidup kudus sesuai dengan Injil yang diberitakannya.

8. Maka ayat Rom 10:9 tentang pengakuan iman akan Kristus yang menghantar kita kepada keselamatan itu tidak hanya untuk dilakukan sekali saja, tetapi harus terus menerus sepanjang hidup kita. Dalam Mat 10:22, 32-33, Tuhan Yesus mengajarkan,

“Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat…. Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.”

Maka konteksnya di sini adalah berpegang pada pengakuan akan Kristus sepanjang hidup kita (lih. Ibr 4:14, 10:23-26 dan 2 Tim 2:12). Kita mengetahui dari Kitab Suci, bahwa pengakuan akan iman kita tidak dilakukan hanya dengan perkataan tetapi terlebih dengan perbuatan. Demikian pula, penyangkalan akan Kristus juga dilakukan dengan perbuatan.

Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman. (1 Tim 5:8)

Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (1 Kor 6:9-10, lihat juga Ef 5:3-5; Gal 5:19; Why 21:8-9, 27)

Perbedaan kunci antara ajaran Gereja Katolik dan Protestan

Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa secara garis besar terdapat perbedaan ajaran antara pandangan Protestan dan Gereja Katolik. Bagi umat Protestan keselamatan adalah sesuatu yang sudah pasti, yang diterima pada saat mereka mengakui Yesus sebagai Juru Selamat, berpegang terutama pada Rom 10:9. Sedangkan Gereja Katolik, berpegang kepada keseluruhan ajaran Kitab Suci, percaya bahwa keselamatan adalah sesuatu proses: yang telah, sedang dan akan datang, yang diterima oleh umat beriman karena kasih karunia Allah, oleh iman yang bekerja oleh kasih:

 

  1. Telah diselamatkan (Rom 8:24; Ef 2:5,8; 2 Tim 1:9; Tit 3:5)
  2. Sedang dalam proses (1 Kor 1:18; 2 Kor 2:15; Fil. 2:12; 1 Pet 1:9)
  3. Akan diselamatkan (Mt 10:22, 24:13; Mk 13:13; Mk 16:16; Kis 15:11; Rm 5:9-10; Rm 13:11; 1 Kor 3:15; 2 Tim. 2:11-12; Ibr. 9:28).

Oleh karena itu, Gereja Katolik tidak dapat menerima pandangan Martin Luther yang mengajarkan bahwa manusia diselamatkan oleh iman saja, yang dipisahkan dari perbuatan. Sebab menurut Luther, setelah orang menerima Yesus, maka tak peduli apapun yang dilakukannya, entah ia membunuh atau berzinah beribu-ribu kali sehari, pasti akan tetap masuk surga. Dalam suratnya kepada muridnya, Melancthon, tanggal 1 Agustus, 1521, (translated by Erika Bullmann Flores for Project Wittenberg); online at http://www.iclnet.org/pub/resources/text/wittenberg/luther/letsinsbe.txt , lihat nomor 13, Luther mengatakan, “…Be a sinner, and let your sins be strong, but let your trust in Christ be stronger…. No sin can separate us from Him, even if we were to kill or commit adultery thousands of times each day…

Semoga kita semua dapat melihat bahwa ajaran Luther ini tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Maka Gereja Katolik, berpegang pada Kitab Suci, mengajarkan bahwa keselamatan diberikan karena kasih karunia Allah dalam Pembatisan, namun juga mensyaratkan iman dan pertobatan, hidup dalam Kristus, dan melaksanakan perbuatan kasih sebagai bukti dari iman yang hidup. Sebab jika sungguh mengimani Kristus dan mengasihi-Nya, pasti kita akan berusaha menghindari dosa, dan akan rajin berbuat kasih. Iman seperti inilah yang menyelamatkan, seperti yang diajarkan oleh Paus Benedictus tentang Sola Fide menurut ajaran Gereja Katolik, silakan klik di sini.

Ajaran Calvin “sekali selamat tetap selamat” vs. ajaran Bapa Gereja

Ajaran “sekali selamat tetap selamat” ini pertama kali diajarkan oleh John Calvin di pertengahan abad ke 16.  Sebelum Calvin, jemaat Kristiani umumnya mengetahui bahwa seseorang dapat kehilangan keselamatannya, jika melakukan dosa berat, seperti yang diajarkan dalam 1 Yoh 5:16-17.

1. Di abad pertama, Didache, yang dikenal sebagai Pengajaran dari ke- dua belas Rasul mengatakan,

Berjaga- jagalah demi hidupmu. Jangan biarkan terangmu padam, ikat pinggangmu longgar; tetapi selalu siap sedialah; sebab kamu tidak tahu saatnya kapan Tuhan datang. Tetapi seringlah bersekutu, carilah hal- hal yang sesuai dengan jiwamu: sebab imanmu sepanjang waktu tidak akan mendatangkan kebaikan bagimu, jika kamu tidak menjadi sempurna di waktu terakhir.” ((Didache 16 [A.D. 70])).

2. St. Ignatius dari Antiokia (35- 98)

“Jangan salah, saudara-saudaraku: orang- orang yang menyimpang tidak akan masuk dalam Kerajaan Surga. Jika, lalu, mereka yang hidupnya melakukan perbuatan- perbuatan daging akan binasa, maka terlebih lagi mereka yang dengan ajaran- ajaran sesat menyimpangkan iman akan Tuhan yang karenanya Yesus Kristus telah disalibkan… ((St. Ignatius dari Antiokia, Letter to the Ephesians, Ch. 16:1))

3. St. Irenaeus (189) menulis,

“Kepada Kristus Yesus, Tuhan dan Allah kami, sesuai dengan kehendak Bapa yang tidak kelihatan, ‘setiap lutut bertelut dan segala sesuatu di bumi dan di bawah bumi, dan setiap lidah mengaku’ (Flp 2:10-11) kepadanya, dan Ia akan memutuskan penghakiman yang adil kepada semua orang….  Seseorang yang tidak baik dan tidak benar, jahat dan profan akan pergi kepada api abadi, tetapi Ia [Kristus] dapat, memberikan rahmat-Nya, memberikan kekekalan kepada mereka yang benar, kudus, dan mereka yang melakukan perintah- perintah-Nya, dan bertahan dalam kasih karunia-Nya; beberapa dari mereka sejak awal mula [dalam kehidupan Kristianinya], dan yang lain, sejak saat pertobatan mereka, dan Ia dapat mengelilingi mereka dengan kemuliaan kekal.” ((Against Heresies 1:10:1 [A.D. 189])).

Dosa berat memisahkan manusia dari Allah dan keselamatan yang dijanjikan-Nya

Maka pengajaran Gereja Katolik sangatlah konsisten dalam hal ini, bahwa walau janji keselamatan yang diberikan Tuhan Yesus adalah sesuatu yang tetap dan pasti, namun pemenuhannya tergantung dari manusia itu sendiri. Sebab dosa berat memisahkan manusia dari Allah, memerampasnya dari kehidupan kekal.

KGK 1472     Supaya mengerti ajaran dan praktik Gereja ini, kita harus mengetahui bahwa dosa mempunyai akibat ganda. Dosa berat merampas dari kita persekutuan dengan Allah dan karena itu membuat kita tidak layak untuk kehidupan abadi. Perampasan ini dinamakan “siksa dosa abadi”… ((KGK 1472: Supaya mengerti ajaran dan praktik Gereja ini, kita harus mengetahui bahwa dosa mempunyai akibat ganda. Dosa berat merampas dari kita persekutuan dengan Allah dan karena itu membuat kita tidak layak untuk kehidupan abadi. Perampasan ini dinamakan “siksa dosa abadi”. Di lain pihak, setiap dosa, malahan dosa ringan, mengakibatkan satu hubungan berbahaya dengan makhluk, hal mana membutuhkan penyucian atau di dunia ini, atau sesudah kematian di dalam apa yang dinamakan purgatorium [api penyucian). Penyucian ini membebaskan dari apa yang orang namakan “siksa dosa sementara”. Kedua bentuk siksa ini tidak boleh dipandang sebagai semacam dendam yang Allah kenakan dari luar, tetapi sebagai sesuatu yang muncul dari kodrat dosa itu sendiri. Satu pertobatan yang lahir dari cinta yang bernyala-nyala, dapat mengakibatkan penyucian pendosa secara menyeluruh, sehingga tidak ada siksa dosa lagi yang harus dipikul (Bdk. K.Trente: DS 1712-1713; 1820).))

Dengan demikian kita harus berjuang dalam hidup ini agar jangan sampai  jatuh ke dalam dosa berat yang memisahkan kita dari Allah, sehingga kita tetap dapat menerima janji keselamatan Allah. Atau, jika sampai jatuh sekalipun, lekas- lekaslah bertobat, agar dapat kembali dalam persatuan dengan Kristus. Selanjutnya, kita harus berjuang untuk taat melaksanakan perintah- perintah-Nya dan setia sampai akhir.

Kesimpulan

Maka di manapun di dalam Kitab Suci tidak ada yang mengajarkan bahwa umat Kristen yang telah mengakui Kristus dapat melakukan dosa apapun, wafat dalam keadaan tidak bertobat, namun akan tetap dapat masuk surga juga. Prinsip ‘sekali selamat tetap selamat’ ini sesungguhnya tidak diajarkan dalam Kitab Suci. Selayaknya kita mempunyai kerendahan hati seperti Rasul Paulus yang mengajarkan demikian,

“Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir… ” (Flp 2:12)

Sebab memang kita harus berusaha untuk tetap taat dan setia mengerjakan keselamatan kita sebagai murid- murid Kristus, bukan karena Kristus kurang berkuasa menyelamatkan kita atau karena Ia tidak menepati janji-Nya; namun justru karena memang ada bagian yang harus kita lakukan jika kita benar- benar mengimani dan mengasihi Dia. Maka sebagai umat Katolik, kita mempunyai keberanian untuk berharap bahwa kita akan diselamatkan, namun mari dengan rendah hati kita serahkan kepada Tuhan yang telah berjanji menyelamatkan kita, sambil juga melatih diri agar tidak jatuh dalam dosa yang memisahkan kita dengan Allah. Dengan kerendahan hati ini kita berpengharapan, dan kita percaya bahwa pengharapan ini tidak mengecewakan oleh karena Roh Kudus telah dicurahkan kepada kita!

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab