Home Blog Page 25

Mukjizat Itu Nyata

0

Sharing Pelayanan Oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Ketika mengajar KEP (Kursus Evangelisasi Pribadi) Paroki Stella Maris – Pluit pada tanggal 15 Maret 2016, aku bertemu dengan pasutri, Indra dan Alicia, seorang warga Malaysia. Mereka menikah pada tahun 1999 dan menjadi Katolik pada bulan Desember 2009. Mereka mengalami kasih Allah secara pribadi. Walaupun banyak liku-liku kehidupan, mereka merasakan bahwa berkat-Nya melimpah tanpa pernah berakhir. Ketika mereka berpikir bahwa mukjizat-Nya tidak mungkin terjadi, Tuhan membuktikan bahwa mukjizat-Nya itu nyata.

Sejak pernikahan, Alicia sudah lima kali mengandung dan semuanya keguguran. Ia telah berusaha mempertahankan bayinya sampai ia rela bedrest selama berbulan-bulan demi keselamatan bayi-bayi dalam kandungannya. Ketika mengandung kelima kalinya, ia bahkan sampai dirawat di rumah sakit selama satu setengah bulan dan harus diinjeksi obat anti kontraksi setiap hari. Ia sempat kehilangan nafas dan pandangan. Keluarga dan teman-temannya mengira bahwa ia akan meninggal dunia. Akan tetapi, ia tidak meninggal dunia. Setelah mendapatkan transfusi darah, ia diperbolehkan pulang, namun tanpa bayi.

Keguguran yang bertubi-tubi itu telah membuatnya menjadi seorang pribadi yang berbeda. Ia mencoba menghilangkan kesedihannya dengan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja. Keadaannya ini juga mempengaruhi suaminya. Perkawinannya mulai tergoncang sehingga mereka memutuskan untuk bercerai.

Tuhan tidak diam terhadap persoalan mereka walaupun mereka bukan orang Katolik. Tuhan mengirimkan kepada mereka seorang anak perempuan yang ibunya tidak menginginkan kelahirannya. Kehadirannya menyembuhkan kesedihan mereka dan menyatukan mereka kembali. Mereka mengapdosinya dan memperlakukannya sebagai anaknya sendiri.

Setelah anak perempuannya itu berusia satu tahun, suaminya ingin pergi ke Gereja. Mereka kemudian mengikuti kelas katekumen untuk mempelajari iman Katolik. Mereka kemudian dibaptis pada tahun 2009. Setelah menjadi Katolik, hidup mereka semakin bersandar kepada Tuhan.

Setelah bertahun-tahun berlalu, mereka sudah dapat menerima kenyataan bahwa Alicia tidak akan bisa mengandung lagi. Jadi, anak mereka satu-satunya adalah putri mereka itu. Apa yang mereka pikirkan ternyata bukan apa yang Allah rencanakan. Kasih Allah begitu besar sehingga Ia mempunyai rencana yang indah bagi Alicia. Satu bulan setelah Paskah tahun 2014, ia mendapatkan dirinya mengandung ketika ia berusia empat puluh satu tahun. Ia sangat bahagia, sekaligus takut dan bingung. Ia bahagia karena ini adalah bayi pertama yang ia kandung setelah mengikuti Tuhan Yesus Kristus. Ia takut karena mengandung dalam usia demikian adalah high risk/resiko tinggi. Ia takut menjalaninya, tetapi juga takut dosa kalau mengaborsinya. Mereka telah mencari nasihat dari seorang ahli dan ia menyarakan agar ia melupakan kandungannya. Akan tetapi, mereka tidak setuju. Pada akhirnya, Allah menuntunnya kepada seorang dokter. Ia tidak menyarankan untuk aborsi. Ia mengajak mereka bekerjasama sehinga kandungan Alicia dapat berjalan baik sampai pada kelahiran. Dokter tersebut mengatakan kepada Alicia untuk tidak usah khawatir.

Ketika kandungannya berusia empat bulan, ia mengalami kontraksi lebih awal. Ia dirawat di rumah sakit selama satu setengah minggu. Dokter mengijinkannya pulang dan menjalani bedrest selama dua bulan dengan tetap kontrol setiap minggunya. Seminggu kemudian, ia datang ke dokter. Ia mengatakan kepada dokter bahwa bayi di dalam kandungannya tidak bergerak banyak. Detak jantung bayi itu ternyata telah menurun. Ia diminta untuk berpuasa karena akan menjalani operasi darurat untuk melahirkan bayinya. Ia tidak mampu berbicara satu patah kata pun. Ia meminta seorang perawat untuk memanggil suaminya yang menjaga puterinya di rumah. Pada pukul 06.50, suaminya datang pada saat ia sedang dibawa ke kamar operasi. Ia meminta suaminya memberikan nama bagi bayinya dari Kitab Suci. Suaminya memberikan nama kepada bayinya itu Elnathan Ezekiel. Satu jam kemudian bayi Elnathan Ezekiel dilahirkan dengan berat 765 gram. Bayi Elnathan Ezekiel kecil sekali, sebesar botol aqua. Dokter yang menanganinya menggendong Elnathan Ezekiel itu. Alcia kemudian mencium bayinya itu dan memintanya untuk kuat. Ia bersyukur kepada Tuhan atas bayinya itu. Dokter itu mengatakan kepadanya: “Alicia, engkau harus bersyukur kepada Tuhan karena engkau telah berada dalam tahap yang sangat bahaya dan bisa meninggal dunia. Engkau selamat karena kasih Tuhan yang luar biasa kepadamu”.

Ia kemudian diperbolehkan pulang setelah mendapatkan transfusi darah. Namun, bayinya harus berada di inkubator. Dua minggu kemudian, bayinya mengalami muntah-muntah dan diare sehingga beratnya menjadi 650 gram. Setiap hari, suaminya membawa susu untuk bayinya. Kemudian, berat banyinya itu bertambah 2-10 gram setiap harinya. Setelah perawatan selama hampir tiga bulan, bayinya itu pulang dari rumah sakit dengan berat 2,35 kilogram. Sekarang usia Elnathan Ezekiel adalah 1 tahun enam bulan dengan berat 8 kilogram. Ia aktif dan sehat. “Puji Tuhan karena semuanya ini adalah mukjizat dari Tuhan”, serunya.

Pesan yang disampakan Alicia kepada kita semua: Jangan pernah berhenti berharap. Ketika Tuhan mengulurkan tangan-Nya, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghentikanNya. Kita harus beriman kepadaNya dalam keadaan apapun. Tuhan kita jauh lebih besar dari apapun. Dia akan menolong kita tepat pada waktunya: “Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku” (Mazmur 34:4).

Tuhan Memberkati

Tekun Berdoa

0

Refleksi Tahun Kerahiman Allah Oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Paus Fransiskus berniat secara terus menerus untuk menjadikan doa sebagai bagian dalam kehidupannya. Tuhan Yesus menjadi teladan bagaimana doa telah menyatu dalam kehidupan-Nya. Tuhan Yesus pagi-pagi berdoa di tempat yang sunyi: “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana” (Markus 1:35). Tuhan Yesus berdoa bagi para murid-Nya: “Aku berdoa untuk mereka. Bukan untuk dunia Aku berdoa, tetapi untuk mereka, yang telah Engkau berikan kepadaKu, sebab mereka adalah milik-Mu” (Yohanes 17:9). Di dalam doa-Nya, Tuhan Yesus memancarkan kerahiman Allah karena Dia mendoakan orang-orang yang menghina dan menyalibkanNya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Dengan demikian, tekun berdoa diartikan menjadikannya kebutuhan dalam kehidupan kita.

Tuhan Yesus meminta kita juga bertekun dalam doa karena doa merupakan jalan dalam menjalin relasi dengan Allah: “Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu” (Lukas 18:1). Tekun dalam doa ini juga diajarkan oleh Santo Paulus: “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!” (Roma 12:12). Tekun berdoa berarti pagi, siang, dan malam serta dalam keadaan susah atau senang kita bersujud di hadapan Tuhan Allah. Alsannya: doa menumbuhkan pengharapan dan pengharapan memberikan sukacita. Karena itu, berdoa seharusnya menjadi sebuah kebutuhan bagi kita dan bukannya sekedar sebagai kewajiban dan kebiasaan.

Untuk melihat apakah doa sudah merupakan sebuah kebutuhan dalam hidup kita, kita bisa mengajukan pertanyaan berikut ini. Apakah kita pernah berdoa? Jawabannya pasti begini: “Ya, tentu saja pernah”. Berapa kali kita berdoa dalam sehari? Jawabannya mungkin seperti ini: “Saya berdoa sebelum makan dan sebelum tidur”. Berapa lama kita berdoa? Pasti ada yang menjawab pertanyaan itu seperti ini: “Saya berdoa secepat mungkin dengan cukup membuat tanda salib dan berharap akan mendapatkan banyak berkat”. Bayangkan berdoa satu menit saja kita mungkin sudah berat dan mengantuk, tetapi kita bisa berjam-jam melihat layar smartphone untuk membaca dan membalas WhatsApp. Banyak di antara kita bisa berdoa agak lama jika sedang menghadapi pergumulan untuk memohon pertolongan dari Tuhan. Akan tetapi, ketika doa kita sudah terjawab, kita biasanya “back to the basic”, kembali seperti semula. Jawaban-jawaban tersebut menunjukkan bahwa berdoa belum menjadi kebutuhan bagi banyak di antara kita, tetapi masih pada taraf kebiasaan.

Bagaimana menjadikan doa sebagai sebuah kebutuhan? Ingat awal mula kita menggunakan smartphone. Pada awalnya kita akan merasa biasa-biasa ketika ketinggalan smartphone kita. Akan tetapi, ketika kita hampir setiap hari menggunakan smartphone kita, kita akan merasa gelisah dan cemas ketika ketinggalan smartphone itu. Dengan demikian, menggunakan smartphone sudah menjadi kebutuhan hidup kita. Demikian juga dengan doa. Kita harus berdoa setiap hari sehingga kita akan merasa bahwa hidup kita kurang lengkap ketika satu hari saja tanpa doa.

Apa ciri doa yang sudah menjadi sebuah kebutuhan? Ciri dari doa yang sudah menjadi kebutuhan adalah bersifat otentik. Sekarang ini banyak barang tiruan atau KW, banyak pula pria dan wanita tidak asli karena banya pria nampak sebagai wanita dan wanita nampak sebagai pria, dan banyak doa jiplakan. Doa yang otentik tidak dibuat-buat dengan bahasa yang puitis agar enak didengar orang. Doa yang otentik adalah doa apa adanya yang muncul dari hati kita. Doa dari seorang anak berikut ini merupakan contoh sebuah doa yang otentik:

“Ya Allah berkatilah mama, dan ya Allah berkatilah papa dan ya Allah berkatilah anjing saya. Dan ya Allah, jagalah diri-Mu baik-baik, karena jika sesuatu terjadi kepadaMu kami semua akan kacau”.

Apa dampak dari doa yang sudah menjadi kebutuhan? Dampak dari doa dapat dibandingkan dengan kebutuhan makan dan minum. Ketika kita dipaksa untuk makan dan minum, makan dan minum menjadi beban. Dampak dari keterpaksaan untuk makan dan minum adalah kita akan merasa mual dan muntah melihat makanan sehingga tubuh kita justru semakin kurus dan lemah. Sebaliknya, ketika makan dan minuman merupakan sebuah kebutuhan, makan dan minum merupakan kegiatan yang mendatangkan sukacita dan berdampak pada kesehatan tubuh kita. Dampak dari yang sudah menjadi kebutuhan dalam hidup kita:

1. Kita akan menjadi kuat.

Melalui doa, kita akan memperoleh kekuatan untuk menolak segala keinginan daging yang ingin menguasai hidup kita: “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Matius 26:41).

2. Kemampuan untuk menjalani kehendak Allah.

Melalui doa, kita mendapatkan kekuatan luar biasa untuk menjalani pergumulan hidup karena percaya bahwa kehendak Allah pasti terbaik bagi kita: “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya,…. (Pengkotbah 3:11).

3. Hati kita damai

Hidup kita dipenuhi dengan kedamaian dalam segala situasi karena percaya bahwa di dalam Allah tidak akan pernah sia-sia: “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia.” (Ibrani 10:23).

4. Peneguhan bagi orang lain

Melalui doa, kita mengalirkan Roh Kudus yang memberi peneguhan dan kekuatan bagi yang kita doakan.

Kesimpulan dari perbincangan tentang tekun berdoa dapat disimpulkan dalam doa permohonan berikut ini:

Bapa,

Berikanlah kepadaku kehendak untuk tekun berdoa,

sehingga doa sungguh–sungguh menjadi kebutuhan dalam hidupku.

Melalui doa yang tekun, aku mendapatan kekuatan

untuk mengalahkan segala godaan.

Hidupku pun akan senantiasa dilingkupi dengan kedamaian,

dan kekuatan bagi yang aku doakan.

Tuhan Memberkati

Cinta Yang Tak Pernah Pupus

0

Sharing Retret Penyembuhan oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Retret Penyembuhan, yang diadakan pada tanggal 01-03 April 2016 di Cikanyere, memberikan kepadaku sebuah pengalaman iman tentang “Cinta yang Tak Pupus Oleh Kematian”. Retret penyembuhan ini dikoordinir oleh KELASI (Keluarga Alumni Sekolah Evengelisasi Pribadi Shekinah) dan diikuti oleh 467 orang (termasuk panitia). Mereka ini datang dari berbagai daerah seperti Jakarta, Kalimantan, Solo, Lampung, bahkan ada dari Timur Leste. Peserta retret bukan hanya dari kalangan umat Katolik, tetapi ada beberapa dari keyakinan lain.

Aku mendapatkan pengalaman akan “Cinta yang Tak Pupus Oleh Kematian” itu dari Ibu Santi Triwati. Ibu Santi lahir pada tanggal 29 Mei 1966. “Cinta yang Tak Pupus Oleh Kematian” merupakan hasil permenungannya atas sebuah kehilangan yang ia alami. Ia kehilangan suaminya yang sangat ia cintai dalam tragedi hilangnya pesawat MH 370 di hari Sabtu, tanggal 08 Maret 2014 dini hari. Pada waktu itu, pesawat MH 370 sedang mengadakan penerbangan dari Kuala Lumpur menuju Beijing.

Ketika mendengar kejadian itu, ia sangat tergoncang. Ia menelepon maminya yang tinggal di Semarang untuk memberitahukan kepadanya tentang apa yang terjadi pada suaminya. Sebelum menghubungi maminya, ia berdoa: “Tuhan, berilah aku kekuatan untuk tidak menangis pada saat aku menyampaikan kejadian itu kepada mamiku. Aku tidak mau mamiku tahu bahwa aku sedang sangat sedih karena kesedihanku akan membuat mamiku juga ikut sedih”. Setelah berdoa demikian, Tuhan memberikan kepadanya ketegaran untuk menceritakan kejadian itu kepada maminya dengan tidak menangis. Ia hanya meminta kepada maminya untuk mendoakan suaminya dan penumpang lain agar bisa segera ditemukan.

Sejak pesawat MH 370 itu hilang, ia tidak bisa tidur selama 24 jam selama berhari-hari karena belum ada berita yang jelas tentang pesawat dan para penumpangnya itu. Ia terus menerus menangis setiap hari karena mengenang kebaikan suaminya. Suaminya itu senantiasa memberikan kasih secara tulus kepadanya selama dua puluh tahun walaupun mereka belum mendapatkan anak. Ia mengatakan kepadaku: “Romo, suamiku itu tidak Katolik. Akan tetapi, suamiku itu mengajarkan kepadaku tentang kasih, keromantisan, dan keharmonisan. Suamiku hampir tidak pernah marah. Sebelum dan sesudah bangun, ia selalu memelukku dan mencium pipi kiri dan dan kanan sebagai ungkapan kasih sayangnya. Dan apabila ia mau berangkat kerja, kami juga saling berpelukan dan saling mencium pipi kiri dan kanan. Aku teringat bahwa ia menyelipkan sebuah surat cinta untukku pada hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama. Isinya bahwa suamiku menginginkan hidup bersamaku sampai kakek dan nenek”.

Ia sangat shock ketika mendengar kabar dari Malaysia bahwa pesawat MH 370 berakhir di Samudera Hindia. Ketika ia mengalami kesedihan itu, Tuhan memberikan kekuatan kepadanya melalui saudara-saudara yang setia menemaninya dan teman-teman kantor yang selalu memberi semangat hidup kepadanya. Melalui dukungan mereka itu, ia bisa kuat. Di dalam kesendiriannya, ia kini merasakan bahwa Tuhanlah yang mendampingi dan menjaganya.

Pendampingan dan penjagaan Tuhan itu membuatnya terpanggil menjadi seorang Katolik. Ia telah mengenal agama Katolik ketika mengenyam pendidikan di SMP dan SMA yang dikelola Yayasan Katolik. Pada pertengahan bulan Januari 2016 ia memutuskan untuk mengikuti kelas katekumen, yaitu belajar agama Katolik

Keputusannya untuk menjadi seorang Katolik dimantapkan dalam retret penyembuhan yang baru saja ia ikuti. Retret penyembuhan ini telah membuatnya semakin percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana yang indah bagi dirinya dan suaminya yang telah tiada: “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pengkotbah 3:11). Ia mengungkapkan imannya kepada Tuhan atas kepergian suaminya dalam sebuah doa berikut ini:

“Tuhan,

hanya Engkau yang tahu rencana yang terbaik bagiku.

Aku memasrahkan hidupku pada rencana-Mu

sehingga aku bisa menjalaninya dengan tenang.

Aku yakin bahwa Engkau telah memanggil suamiku

untuk pulang ke rumah Allah Bapa di Surga

karena suamiku telah menyelesaikan tugasnya di dunia,

yaitu sebagai suami yang sangat baik.

Terimakasih Tuhan atas suami yang sangat baik yang telah Engkau berikan kepadaku. Amin”.

Kini lagu “Indah Rencana-Mu” yang dinyanyikan pada waktu retret menjadi nyanyian rohaninya setiap hari yang memberi penghiburan:

Indah rencana-Mu Tuhan, di dalam hidupku
Walau ‘ku tak tahu dan ‘ku tak mengerti semua jalan-Mu
Dulu ‘ku tak tahu Tuhan, berat kurasakan
Hati menderita dan ‘ku ‘tak berdaya menghadapi semua

Tapi ‘ku mengerti s’karang, Kau tolong padaku
Kini ‘ku melihat dan ‘ku merasakan indah rencana-Mu
Kini ‘ku melihat dan ‘ku merasakan indah rencana-Mu

Pesan yang dapat kita timba dari pengalaman ibu Santi: “Kehadiran orang yang mengasihi kita akan mendatangkan sejuta harapan dan kepergiannya dari dunia meninggalkan sejuta kenangan dalam hati kita. Itulah makna cinta yang tulus tidak pupus oleh kematian.

Kasih adalah hakekat dari Tritunggal Maha Kudus

0
Sumber gambar: https://doctrinalart.files.wordpress.com/2014/07/2-3-the-trinity-adored-by-the-duke-of-mantua-and-his-family.jpg?w=519&h=420

[Hari Raya Tritunggal Maha kudus: Ams 8:22-31; Mzm 8:4-9; Rm 5:1-5; Yoh 16:12-15]

Dear Pope Francis. Demikian judul buku unik terbitan Loyola Press dengan cover putih bergambar karikatur Paus berdiri di tengah-tengah anak-anak dengan baju warna warni. Di buku itu tertulis jawaban Paus Fransiskus terhadap 30 pertanyaan anak-anak dari berbagai belahan dunia. Salah satu pertanyaan menarik datang dari Canada, yaitu dari Ryan, umur 9 tahun. Bunyinya demikian:

Paus yang terkasih,

Adalah suatu kehormatan untuk menanyakan pertanyaanku kepadamu. Pertanyaanku adalah: apakah yang Allah lakukan sebelum menciptakan dunia?

Salam,
Ryan

Terhadap pertanyaan kritis ini, Paus Fransiskus menjawab:  

Ryan yang terkasih,

Ada keindahan dalam penciptaan. Dan ada kelembutan dan belas kasih Allah yang tak terbatas dan kekal. Allah mulai membuat sesuatu ketika Ia menciptakan dunia. Tetapi kalau saya mengatakan kepadamu bahwa Allah tidak melakukan apa-apa sebelum Ia menciptakan dunia, saya salah. Kenyataannya, Allah juga menciptakan waktu—yaitu keadaan “sebelum” dan “sesudah.” Tetapi saya tidak mau membuat kamu bingung dengan istilah-istilah ini. Pikirkanlah demikian: sebelum menciptakan apapun, Allah mengasihi. Itulah yang dilakukan oleh Allah: Allah sedang mengasihi. Allah selalu mengasihi. Allah adalah kasih. Sebelum melakukan apapun yang lain, Allah adalah kasih dan Allah sedang mengasihi.

Fransiskus.

Mari merenungkannya: Sebelum Allah melakukan apapun, Allah adalah kasih dan Allah sedang mengasihi. Dari kalimat sederhana inilah kita memahami hakekat Allah yang satu dengan tiga Pribadi. Allah Tritunggal Mahakudus, yang kita rayakan pada hari Minggu ini. Sebab pada saat belum ada sesuatupun yang diciptakan, hanya ada Allah. Sedangkan dalam perbuatan mengasihi, selalu ada pihak yang mengasihi, pihak yang dikasihi, dan kasih itu sendiri. Oleh karena itu, Allah yang satu itu adalah: Allah Bapa dan Putra yang saling mengasihi, dan Roh Kudus—yang adalah kasih sempurna antara Allah Bapa dan Putra.

Bacaan pertama hari ini menjabarkan adanya Tuhan dan Kebijaksanaan-Nya: “Tuhan telah memiliki aku sebagai permulaan pekerjaaan-Nya” (Ams 8:22).  LAI menerjemahkan kata kerja ָקָנה/  qānāh dengan kata menciptakan. Dalam kamus dapat dilihat bahwa kata tersebut artinya “membeli, memperoleh, memiliki, menciptakan.”  Dengan demikian, kita pahami bahwa Kebijaksanaan telah ada bersama dengan Allah sebagai milik-Nya. Di sini kata “menciptakan” maksudnya adalah ungkapan  penggambaran dari sesuatu yang ada sebagai milik Allah: yang sudah ada dalam diri Allah sebelum segala sesuatu diciptakan. Pemahaman ini penting, sebab pengertian sempit tentang arti “menciptakan” dapat mengarah kepada pandangan yang keliru, yaitu menyamakan Sang Kebijaksanaan sebagai suatu ciptaan. Ayat inilah yang dijadikan patokan oleh Arius di permulaan abad ke-4, dengan paham Arianisme, yang menganggap bahwa Yesus sebagai Putra tidak setara dengan Allah Bapa. Tentu interpretasi ini tidak benar, karena hanya melandaskan pada perikop ini saja, tanpa melihat kepada ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci yang menyatakan kesetaraan Kebijaksanaan dan Sang Sabda Allah itu dengan Allah sendiri, yang dalam Perjanjian Baru dinyatakan oleh Kristus dan di dalam Kristus. Sebab Kristus yang ada sebelum Abraham ada (Yoh 8:58) adalah Sang Firman yang telah ada sejak awal mula bersama-sama dengan Allah dan Ia adalah Allah. Oleh Sang Firman itu segala sesuatu diciptakan (lih. Yoh 1:1-2). Oleh karena itu dalam setiap penciptaan, didahului dengan, “Berfirmanlah Allah” (lih. Kej 1).

Selanjutnya, Rasul Paulus mengajarkan bahwa Sang Firman yang telah menciptakan kita, juga adalah Ia yang membenarkan dan menyelamatkan kita. Kita dibenarkan karena Tuhan kita Yesus Kristus. Oleh Dia kita beroleh jalan masuk kepada Allah Bapa, karena iman akan kasih karunia Allah (lih. Rm 5:1-2). Ini sejalan dengan perkataan Yesus sendiri, bahwa Ia adalah jalan, kebenaran dan hidup, dan bahwa tak ada seorangpun dapat datang kepada Bapa kalau tidak melalui Dia (lih. Yoh 14:6). Dalam kasih karunia Allah ini, kita berharap akan menerima kemuliaan Allah. Dan pengharapan ini tidak mengecewakan, sebab kita telah menerima curahan kasih Allah yaitu oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. Dari Bacaan Kedua ini terlihat adanya kesatuan tak terpisahkan antara Yesus Kristus sebagai jalan masuk kepada Allah Bapa, dan  Roh Kudus yang dicurahkan untuk meneguhkan pengharapan kita sebagai orang beriman.

Bacaan Injil kembali meneguhkan akan kesatuan Yesus dengan Bapa sebab segala sesuatu yang Bapa punya—yaitu Roh-Nya—adalah kepunyaan Yesus juga (lih. Yoh 16:15). Oleh karena itu, Yesus berjanji kepada para murid-Nya, bahwa Ia akan mengutus Roh Kudus, yaitu Roh Kebenaran—Roh-Nya sendiri, sebab Yesus adalah Kebenaran—agar dapat memimpin para murid-Nya kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:12). Janji Yesus ini ditepati-Nya, dan kita baru saja merayakannya secara meriah minggu lalu di Hari Raya Pentakosta.

Di Hari Raya Tritunggal Mahakudus ini, mari kita menyadari bahwa Allah adalah Kasih yang dalam kekekalan selalu mengasihi. Karena itu Allah menghendaki kita masuk ke dalam kehidupan ilahi-Nya—yaitu kesatuan Bapa Putra dan Roh Kudus—yang penuh kasih. Dan bahwa Allah adalah Kebenaran—yang membenarkan kita oleh iman akan kasih karunia Allah itu.

Di hari istimewa ini, mari kita ucapkan doa yang disusun oleh St. Katarina dari Siena:

“… O Tritunggal Mahakudus, Engkau bagai misteri yang dalam seperti lautan. Di dalam Engkau, semakin aku mencari, semakin aku menemukan; dan semakin aku menemukan, semakin aku mencari. Sebab bahkan ketika aku terbenam di dalam kedalaman-Mu, jiwaku tak pernah puas, selalu lapar akan Engkau, Trinitas yang kekal, berharap dan rindu untuk melihat Engkau, Sang Terang Sejati… Engkau memberi kami makan dengan manisnya Engkau, rasa manis yang daripadanya tidak ada sedikitpun jejak kepahitan. O Tritunggal yang kekal! Amin.”

Roh Kudus yang membimbing, membarui, dan memberi buah

0
Sumber gambar: http://66.media.tumblr.com/aeaa869bc37bc6ceb619dce511f4983b/tumblr_mmy25xFO8Y1qfvq9bo1_1280.jpg

[Hari Raya Pentakosta: Kis 2:1-11; Mzm 104:1,24-34; 1Kor 12:3-7, 12-13; Yoh 14:15-16, 23-26]

Minggu ini ‘kan Pentakosta, ya? Tapi sebenarnya bukankah kita sudah menerima Roh Kudus waktu dibaptis, dan menerima sakramen Penguatan. Lalu sebenarnya di perayaan Pentakosta ini, mengapa kita minta Roh Kudus lagi, ya? Kan sudah dicurahkan…”

Pertanyaan serupa mungkin pernah kita dengar. Atau bahkan suatu kali juga menjadi pertanyaan kita sendiri. Sabda Tuhan membantu kita memahami, bahwa Roh Kudus memang dapat dicurahkan berkali-kali atas kita. Sebab di malam hari Kebangkitan-Nya, ketika Kristus   menampakkan diri kepada para murid-Nya, Ia telah menghembuskan Roh Kudus kepada mereka, “Seperti Bapa telah mengutus Aku, kini Aku mengutus kamu… Terimalah Roh Kudus” (Yoh 20:21-22). Namun di hari Pentakosta, Roh Kudus kembali dicurahkan, kali ini dengan cara yang lebih mengagumkan, yaitu dengan tiupan angin keras yang mengguncang tempat para murid berkumpul, dan lidah-lidah api yang hinggap pada mereka, dan merekapun dapat berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain (Kis 2:1-4).

Para Bapa Gereja menjelaskan bahwa Roh Kudus yang diutus itu membuat kita yang menerimanya dapat “recipere Deum atau capax Dei, artinya menerima Allah dan diberi kemampuan untuk melakukan karya-karya Allah. Paus Fransiskus dalam homili Pentakosta tahun 2015 yang lalu, menjelaskan bahwa Roh Kudus memberi kita kemampuan tersebut, dengan tiga cara, yaitu membimbing kita pada seluruh kebenaran (lih. Yoh 16:13), memperbarui muka bumi (Mzm 103:30) dan  memberi kita buah-buah-Nya (lih. Gal 5:22-23).    

Pertama, dalam Injil, Yesus menyebut Roh Kudus sebagai Roh Kebenaran (Yoh 14:17) yang akan membawa para murid-Nya kepada pengertian akan apa-apa yang telah Yesus katakan dan lakukan, terutama tentang kematian dan kebangkitan-Nya. Kita melihat betapa ini memang terjadi pada rasul. Setelah kematian Yesus, para rasul sangat ketakutan dan mengunci diri di suatu ruangan, untuk melindungi diri mereka sendiri. Namun setelah Roh Kudus dicurahkan, mereka tidak takut lagi, dan tidak malu menjadi murid Kristus. Dipenuhi Roh Kudus, mereka kemudian memahami “seluruh kebenaran” bahwa kematian Yesus bukanlah kekalahan, namun pernyataan tertinggi dari kasih Allah. Kasih Allah itu, dalam Kebangkitan Kristus telah mengatasi kematian dan meninggikan Yesus sebagai Tuhan dan Penebus umat manusia. Kebenaran ini menjadi Kabar Gembira bagi seluruh umat manusia.

Kedua, Roh Kudus membarui muka bumi, karena Ia adalah Roh yang sama yang telah memberikan hidup kepada semua makhluk ciptaan. Dengan pembaruan ini, kita diingatkan untuk menghargai semua ciptaan Tuhan. Sebab Allah telah menempatkan kita manusia, dalam sebuah “taman” di mana kita hidup, bukan untuk dieksploitasi dan dirusak, tetapi untuk dijadikan subur dan dikelola dengan baik (lih. Kej 2:15). Sebab di setiap makhluk ciptaan, kita dapat melihat kemuliaan Allah Pencipta, sebagaimana dikatakan dalam Mazmur, “Ya Tuhan Allah kami, betapa  mulianya nama-Mu, di seluruh bumi!” (Mzm 8:2,10)

Ketiga, Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia menunjukkan buah-buah yang dinyatakan dalam hidup orang-orang yang berjalan dalam tuntunan Roh Kudus (lih. Gal 5:22). Di satu sisi, Rasul Paulus menjabarkan kehidupan menurut daging, dari orang-orang yang menutup diri terhadap Tuhan; namun kemudian St. Paulus menjabarkan pula buah-buah Roh dalam kehidupan orang-orang yang berjalan dalam pimpinan Roh Kudus (Gal 5:6,25).

Dunia ini membutuhkan orang-orang yang tidak menutup diri sendiri, tetapi orang-orang yang mau membuka diri untuk dipenuhi dengan Roh Kudus. Kita menjadi orang-orang yang “tertutup” jika kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, orang yang terlalu cepat menghakimi orang lain, orang yang sudah merasa benar sendiri sehingga mengabaikan apa yang Tuhan Yesus ajarkan, orang yang tidak mau melayani orang lain, dan seterusnya. Kita memerlukan Roh Kudus untuk dapat menjadi orang-orang yang mampu mewujudkan iman, harap, kasih, dalam tindakan nyata. Dunia sekitar kita membutuhkan buah-buah Roh Kudus, “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan pengendalian diri” (Gal 5:22). Semoga Roh Kudus yang dicurahkan atas kita dan yang akan kembali dicurahkan kepada kita, memampukan kita untuk hidup dalam iman yang hidup dan kasih yang nyata, supaya kita selalu dapat hidup dalam damai dengan semua orang.

Datanglah Roh Kudus, penuhilah hati umat-Mu
dan nyalakanlah di dalamnya api cinta-Mu.
Utuslah Roh-Mu dan semuanya akan dijadikan baru.
Dan Engkau akan membaharui muka bumi.
Ya, Allah, yang dengan terang Roh Kudus,
telah mengajar hati umat-Mu,
berilah agar dengan Roh Kudus yang sama,
kami dapat menjadi benar-benar bijaksana, dan
senantiasa menikmati penghiburan-Nya,
melalui Kristus Tuhan kami. Amin.

Kesatuan kasih memberi kemuliaan bagi Allah

0
Sumber gambar: http://photoblog.statesman.com/wp-content/uploads/2013/04/005.jpg

[Minggu Paskah VII: Minggu Komunikasi Sedunia, Kis 7:55-60; Mzm 97: 1-9; Why 22:12-20; Yoh 17:20-26]

Hari-hari ini kita memperingati dan masuk dalam doa Novena yang berasal dari tradisi doa Gereja perdana. Yaitu, doa sembilan hari—sejak hari Kenaikan Yesus sampai dengan hari Pentakosta. Gereja berdoa menantikan Roh Kudus, sebagaimana dahulu dilakukan oleh para murid Kristus dan Bunda Maria. Kita semua menantikan curahan Roh Kudus, yaitu Roh Kudus yang sama yang telah kita terima saat Baptisan. Roh Kudus itulah yang mengikat kita semua dengan Kristus dan mengikat kita satu sama lain. St. Sirilus berkata, “Kita semua yang telah menerima … Roh Kudus, telah dipadukan satu sama lain dan dengan Allah. Sebab jika Kristus, bersama dengan Roh Bapa dan Roh-Nya sendiri, datang dan tinggal di dalam diri kita masing-masing, maka meskipun kita banyak, tetaplah Roh Kudus itu satu dan tak terbagi-bagi. Ia mengikat jiwa setiap kita bersama… dan membuat kita semua satu di dalam Dia. Sebab seperti kuasa Tubuh Kristus yang suci mempersatukan mereka yang di dalamnya ia tinggal, menjadi satu tubuh, … dengan cara yang sama, Roh Allah yang satu dan tak terbagi, yang tinggal di dalam semua [umat beriman], memimpin kepada kesatuan rohani” (St. Sirilus dari Aleksandria,  In Jo. ev., 11,11, KGK 738). Dalam kesatuan rohani inilah Roh Kudus membantu Gereja untuk berdoa menyambut Tuhannya (lih. Why 22:17), yaitu Kristus Sang Alfa dan Omega.

Maka kesatuan Gereja menjadi tanda yang paling jelas mencerminkan kesatuan kasih antara Kristus dan Allah Bapa, sebab Roh Kudus adalah  Kasih yang dengan-Nya Bapa mengasihi Kristus Putera-Nya dan sebaliknya.  Kristus yang tak terpisahkan dari Gereja-Nya, menjadikan Roh Kudus ini juga tinggal dalam Gereja-Nya untuk  mempersatukan anggota-anggotanya. Karena itu, St. Yohanes Krisostomus mengatakan, “Sebab tak ada skandal yang begitu besar seperti perpecahan, sedangkan kesatuan antara umat beriman adalah alasan yang kuat untuk percaya; sebagaimana dikatakan Yesus di awal ajaran-Nya. ‘Dengan ini semua manusia akan mengetahui bahwa kamu adalah murid-Ku, jika kamu mengasihi satu sama lain.’ Sebab jika mereka berkelahi, mereka tidak akan dipandang sebagai para murid dari Guru yang membawa damai. ‘Dan Aku’, kata-Nya, ‘[jika] tidak menjadi Pembawa damai, mereka tidak akan mengenaliKu sebagai yang diutus Allah…. [Maka] dengan ‘kemuliaan’ (ay. 22,24), yang dimaksudkan Kristus adalah mukjizat-mukjizat, ajaran-ajaran-Nya dan kesatuan; dimana kesatuan adalah kemuliaan yang lebih besar. Sebab semua yang percaya melalui pemberitaan para rasul menjaga kesatuan. Jika barangsiapa terpisah, itu adalah karena kecerobohan orang itu sendiri, bukan karena bahwa Tuhan kita telah mengharapkannya demikian” (St. John Chrysostom, in Catena Aurea, John 17:20-23).

Sebagaimana kesatuan dalam keluarga kita juga harus selalu dipupuk dan dipelihara, demikian pula, Kristus mencurahkan Roh Kudus-Nya kepada Gereja sebagai “keluarga umat beriman”, agar kesatuannya terus terjaga. Itulah sebabnya kita merayakan sakramen-sakramen, dan Novena Roh Kudus. Katekismus Gereja Katolik mengatakan, “…Kristus, sebagai Kepala Tubuh, memberikan Roh Kudus kepada anggota-anggota-Nya, untuk memelihara mereka, menyembuhkan mereka, menyelaraskan mereka dalam fungsinya yang berbeda-beda, memberi mereka hidup, mengutus mereka untuk memberi kesaksian, dan mengikutsertakan mereka dalam penyerahan diri-Nya kepada Bapa dan dalam doa permohonan-Nya untuk seluruh dunia. Oleh sakramen- sakramen Gereja, Kristus membagi-bagikan Roh Kudus-Nya yang menguduskan kepada anggota Tubuh-Nya” (KGK 739).  

Di hari Minggu ini, yang juga adalah hari Minggu Komunikasi sedunia, mari kita memeriksa diri kita, sejauh mana kita telah menjadi saksi bagi kehadiran Roh Kudus yang mempersatukan Gereja. Apakah kita senantiasa menjaga kesatuan dalam keluarga kita, lingkungan, komunitas ataupun paroki kita? Sikap menjaga kesatuan diuji dalam perbedaan pendapat, atau kalau ada kesalahpahaman. Apakah kita lekas marah, ‘ngedumel di belakang’ atau kita lebih suka berdialog dengan semangat kasih dan mencari penyelesaiannya?  Apakah kita gigih mengusahakan persatuan dan menolak perpecahan? Sebab kesatuan kasih di antara kita sebagai umat beriman merupakan kesaksian yang paling lantang menyatakan bahwa Kristus adalah Sang Putera Allah yang diutus oleh Allah Bapa untuk membawa damai kepada umat manusia. Melalui kesatuan kasih dalam Gereja, dunia yang sudah tercerai berai oleh dosa, kejahatan dan kebencian, dapat mengenali wajah Allah yang penuh kasih, yang menyatakan kasih-Nya di dalam Kristus. Jika kita sungguh mengasihi Kristus, kita harus juga menginginkan dan mengusahakan kesatuan kasih ini, sebagaimana Kristus menghendakinya. Dengan demikian kita memuliakan Allah. Karena itu marilah kita berdoa:

Tuhan Yesus Kristus, di malam menjelang sengsara-Mu, Engkau berdoa kepada Bapa, agar semua orang yang percaya kepada-Mu menjadi satu. Utuslah Roh Kudus-Mu kepada semua yang menyebut diri sebagai murid-Mu dan pelayan-Mu. Teguhkanlah iman kami akan Engkau, dan pimpinlah kami untuk saling mengasihi dalam kerendahan hati. Semoga kami yang telah dilahirkan kembali dalam satu Baptisan dapat dipersatukan dalam satu iman di bawah satu Gembala. Amin.”

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab