Penasaran ga sih, kalo seandainya nih ya, Adam dan Hawa engga berdosa, Yesus akan tetap datang ke dunia ga ya?
Coba kita liat teks Pujian Paskah (Exultate)
Bahwasanya perlu dosa Adam, untuk memperoleh Kristus, yang dengan wafat-Nya meniadakan dosa itu. Sungguh mujurlah kesalahan itu, sebab memberi kita Penebus yang demikian ini!
NAH LOH PERLU DOSA ADAM! KALO GAADA DOSA ADAM GIMANAA?
Sejujurnya ga ada jawaban definitif dari Gereja soal ini.Yang diajarkan oleh Gereja, dan tertulis di teks liturgi di atas adalah: karena dosa Adamlah Kristus datang ke dunia untuk menebus dosa manusia itu.Kitab Suci membandingkan Adam dengan Kristus, begini:
..jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus. (Rm 5:15).
Nah, tapi tentang bagaimana kalo ngga ada dosa Adam, apakah Kristus tetap akan datang? –Mari kita melihat ke argumen dari orang-orang kudus! Argumen pertama datang dari St. Thomas Aquinas. Ia berpendapat bahwa kalau Adam dan Hawa tidak berdosa, ya Kristus tidak perlu menjadi manusia, karena Inkarnasi adalah respon dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Kristus datang untuk menyelamatkan pendosa. Kalau tidak ada pendosa, siapa yang diselamatkan? Ibaratnya, kalau orangnya ngga sakit, ya buat apa dikasi obat?
Tapi ada argumen lain dari Beato John Duns Scotus! Ia berpendapat bahwa Kristus akan tetap menjadi manusia bahkan apabila Adam, dan bahkan Iblis (note: malaikat yang berbuat dosa, menentang Allah, now is called iblis) sekalipun, tidak berdosa. Mengenai ini, Paus Benediktus ke-16 menjelaskan kalau maksud Beato Scotus adalah bahwa inkarnasi itu karya Allah yang terbesar dan paling indah dalam sejarah keselamatan! Juga bahwa inkarnasi adalah aksi dari kemauan Allah untuk menyatukan seluruh ciptaan-Nya dengan Diri-Nya lewat pribadi dan daging Putra-Nya [yang mengambil rupa manusia]. Nah lewat argumen ini, ditunjukkan kalau alasan Yesus datang ke dunia itu bukan cuma untuk menyelamatkan pendosa, tapi juga untuk bersatu dengan alam ciptaan-Nya.
Sekarang, kita liat bahwa buah dari Inkarnasi adalah pengampunan dosa manusia dan karena itu, kita bisa ambil bagian dalam kodrat ilahi (2 Petrus 1:4). Sebab lewat pengorbanan-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya, Kristus telah memberikan hidup ilahi-Nya kepada kita.
The Word became man, and the Son of God became the Son of man: so that man, by entering into communion with the Word and thus receiving divine sonship, might become a son of God – St. Irenaeus
Dengan mengambil bagian dalam kodrat ilahi-Nya itu, kita tidak menjadi sama dengan Kristus, melainkan, kita diangkat oleh Allah menjadi anak-anak-Nya di dalam Kristus Putra-Nya.Untuk maksud inilah Kristus datang ke dunia. Luar biasa banget, kan. Terpujilah Tuhan kita!
Beberapa waktu lalu, aku dapet beberapa pertanyaan tentang siapa sih yang nulis Kitab Suci dan gimana prosesnya sampe Kitab Suci itu bisa terbentuk jadi satu buku kaya yang kita kenal sekarang. Tapi sebelom kita bahas ke sana, kenapa sih kita perlu tau lebih dalem tentang Kitab Suci?
Ada pepatah yang mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang” dan inilah kenapa aku mau ajak temen-temen, buat kita mengenali lebih dalam tentang Kitab Suci, dimana dengan mengenali Kitab Suci, kita bisa lebih mengenal tentang Allah, tentang PutraNya yang menjelma menjadi manusia, yaitu Yesus Kristus, dan tentang Pribadi Allah yang diutus ke dalam Gereja dan ke dalam hati kita, yaitu Roh Kudus. Tentunya dengan semakin mengenal Allah Tritunggal, semoga kita juga bisa semakin mengasihi Allah yang udah nyiptain kita semua.
Kitab Suci atau dalam bahasa Inggris bible, berasal dari kata Yunani yaitu biblos atau biblon. Di abad ke-4, St. Hieronimus menyebutnya ta biblia atau the Books atau the Holy Books, yang mengacu pada kitab-kitab yang dikenal sebagai Sabda Allah yang merupakan satu kesatuan dalam kesinambungan ilahi.
Karena Kitab Suci adalah Sabda Allah sendiri, maka Penulis utama Kitab Suci, tentunya, adalah Tuhan. Katekismus ngajarin ke kita bahwa, “Allah adalah Penyebab Kitab Suci.” Tapi, Allah ngelibatin orang-orang yang Ia pilih buat menulis Kitab Suci, dikatakan dalam Katekismus juga, “Allah memberi inspirasi kepada manusia penulis Kitab Suci.” Jadi dalam penulisan Kitab Suci, ada dua pengarang, yaitu Allah dan manusia, di mana Allah adalah penulis utama atau principle author dan manusia yang nulisin Kitab Suci adalah penulis yang dipakai Allah atau instrumental author. Karena Penulis utamanya adalah Allah, jadi manusia menuliskan Kitab Suci, seperti apa yang diinginkan Allah buat ditulis.
Dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, 5 kitab pertama, yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan, dituliskan oleh Nabi Musa atau oleh penerusnya sesuai dengan ajaran Nabi Musa yang diteruskan secara lisan. Penerusan ajaran secara lisan ini bakal kita bahas lebih dalem setelah ini. Selain itu juga ada kitab-kitab nubuat para nabi yang dituliskan oleh nabi yang bersangkutan, misalnya ada Kitab Yesaya yang ditulis oleh Nabi Yesaya, atau Kitab Amos yang ditulis oleh Nabi Amos. Dalam Perjanjian Baru sendiri, ada 4 Injil yang dituliskan oleh Matius Rasul, Markus, Lukas, dan Yohanes Rasul. Dan ada banyak surat-surat para rasul, seperti surat-surat Rasul Paulus, Rasul Petrus, dan lain-lain.
Nah tadi aku juga mention ya, kalo Kitab Suci itu ga langsung jadi kaya yang kita kenal sekarang. Karena di jaman duluuuu banget, belom umum media tulis kaya yang kita kenal sekarang. Kalo sekarang kan kita udah biasa texting, atau nyatet sesuatu di notes. Nah tapi jaman dulu tuh belom ada media tulis, jadi mereka banyak berkomunikasi dengan cara lisan dan sangat ngandalin kekuatan memori mereka. Begitupun juga dengan ajaran-ajaran dan hukum-hukum yang ada saat itu, diterusin secara lisan, dengan banyak cara, misalnya dalam bentuk kisah narasi, atau disampein dengan pola-pola tertentu, kaya dengan ritme atau puisi bersajak, rangkaian kata-kata bijak yang sederhana, atau pengulangan kata tertentu yang sama, supaya lebih mudah diinget. Jadi kalo bahasa kita tuh kaya semacam bikin “jembatan keledai” gitu.
Mungkin buat kita ini satu hal yang kaya rada mustahil ya, ga mungkin orang bisa nginget ajaran full sampe sedetail itu, apalagi ini kan ajarannya panjang banget ya. Tapi buat masyarakat di zaman itu tuh termasuk normal banget, sejalan sama budaya, spiritualitas, dan sastra di masyarakat saat ini. Karena pada masa itu, masyarakat terbiasa buat berbicara dengan fasih berdasarkan kemampuan mereka nginget suatu fakta atau kebenaran dan sistem pendidikannya saat itu ya supaya para murid punya ingatan yang kaya sumur, yang ga membiarkan setetes pun dari ajaran gurunya hilang.
Nah dari mengetahui tentang kondisi masyarakat di zaman itu, kita bisa bilang kalo memang pada zaman itu, wajar aja kalo penerusan ajaran dilakukan secara lisan, walaupun memang masih ada elemen tertulis, seperti dalam kitab Yosua disebutin adanya “Kitab Orang Jujur”, yaitu dalam Yosua 10:13. Tapi elemen tertulis ini sifatnya adalah sebagai alat bantu buat nginget, sebelom kemudian dikompilasi jadi kitab-kitab kaya yang kita kenal sekarang. Nah bahkan sampe jaman Gereja perdana pun, jemaat awal masih berpegang pada ajaran lisan ini, kaya St. Papias, Uskup Hierapolis di Phyrgia negasin bahwa ia lebih menghargai suara atau ajaran lisan para rasul yang udah hidup dan berakar dalam Gereja. Tapi akhirnya, demi kepentingan membimbing orang-orang yang nerusin kitab Injil, dan buat tujuan menghindari penyimpangan, kesalahan, dan distorsi, akhirnya Injil ditulisin.
Sekarang gimana ceritanya Kitab Suci yang terdiri dari banyak kitab-kitab itu bisa dikompilasi jadi satu buku?
Sebenernya kanon Perjanjian Lama udah ada jauh sebelom kanon Perjanjian Baru, bisa diliat dari udah adanya Kitab Suci yang dipake oleh umat Yahudi saat itu. Para ahli memperkirakan bahwa Yesus dan para rasul menggunakan kitab Septuaginta, yaitu terjemahan kitab-kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani yang ditulis sekitar abad ke-2 dan ke-3 sebelom Masehi. Ini ngebuktiin udah adanya kanon Perjanjian Lama dari sejak zaman Yesus.
Selanjutnya, Kitab Suci yang kita tau sekarang, yang terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dibentuk pertama kali menurut kanon yang ditetapkan oleh Paus Damasus I di tahun 382, diteguhkan dalam Konsili Hippo tahun 393, Konsili Karthago tahun 397, dan Konsili Kalsedon tahun 451, dan juga diteguhkan dalam banyak konsili sampai Konsili Trente tahun 1545 sampai 1563.
Maka Kitab Suci yang kita kenal sekarang dibentuk oleh Magisterium Gereja, yang atas ilham Roh Kudus, menentukan kitab-kitab mana aja yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, jadi bisa masuk dalam Kitab Suci. Dari saat pertama kali ditentuin oleh Paus Damasus I, kanon Kitab Suci terdiri dari 73 kitab, yaitu 46 kitab Perjanjian Lama termasuk dengan kitab-kitab yang sekarang disebut Deuterokanonika, dan 27 kitab Perjanjian Baru. Karena Gereja baru nentuin kanon Kitab Suci ini menjelang akhir abad ke-4, jadi sebelom ada kanon Kitab Suci, Gereja ngandalin Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan dari Kristus dan para rasul. Ini bukti bahwa Gereja-lah tiang penopang dan dasar kebenaran, sesuai yang dituliskan dalam 1Tim 3:15. Oleh kuasa Roh Kudus yang adalah jiwa dari Gereja, Gereja nentuin kanon Kitab Suci. Maka Gereja punya otoritas buat nginterpretasiin Kitab Suci sesuai maksud yang mau disampein oleh Roh Kudus yang mengilhami penulisan Kitab Suci itu.
Setelah kita memahami bahwa Magisterium Gereja-lah yang membentuk Kitab Suci dan bahwa sebelom ada Kitab Suci, Gereja berpegang erat pada pengajaran lisan Kristus dan para rasul, yaitu dalam Tradisi Suci, semoga kita memahami juga pentingnya Tradisi Suci dan peran Magisterium Gereja yang juga adalah pilar-pilar pokok kebenaran iman Gereja Katolik. Sampai ketemu lagi di video lainnya ya teman-teman, terima kasih dan Tuhan memberkati, babaii
Ada yang bertanya, kalau saya sudah mengaku dosa, tapi tidak melakukan penitensi, apakah dosa saya diampuni?
Hi saya Stefanus Tay. Selamat datang di katolisitas.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus tahu syarat agar suatu sakramen dapat disebut sah, yaitu: materi dan forma haruslah terpenuhi. Sebagai contoh, dalam Sakramen Baptis, materinya adalah air dan formanya adalah “Aku membaptis engkau…. [disebutkan namanya] dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus; serta disertai dengan intensi sebagaimana intensi Gereja untuk membaptis, yaitu untuk mendatangkan rahmat keselamatan kekal”. Nah dalam Sakramen Tobat, materinya bukanlah satu materi yang dapat kita sentuh dengan panca indera kita. Maka materinya disebut sebagai “quasi matter”, atau “seperti/ menyerupai materi”. Jadi, materi dalam sakramen Tobat adalah tindakan dari yang mengaku dosa, yang terdiri dari: penyesalan (contrition), pengakuan (confession) dan penitensi (satisfaction). Sedangkan formanya adalah perkataan imam yang bertindak sebagai Kristus, yaitu: “…. Aku mengampuni engkau…”
Penyesalan atau contrition berasal dari bahasa latin, contritio, yang artinya dihancurkan. Di Kitab Suci tertulis, “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.” (Mzm 51:17) Jadi penyesalan yang baik, setidaknya harus disertai rasa benci akan dosa dan kesedihan jiwa (compunction of heart) karena telah berdosa dan gagal mengasihi Allah, serta niat yang teguh untuk tidak berbuat dosa lagi. Penyesalan ini, yang disebabkan oleh kesadaran telah menyedihkan hati Allah, dan yang diikuti niat untuk mengaku dosa dalam sakramen Tobat, disebut sesal sempurna. Sedangkan penyesalan yang dilatarbelakangi ketakutan akan hukuman Allah, disebut sesal yang tidak sempurna.
Tentu saja, hendaknya kita sungguh menyesali dosa-dosa kita, dan mengakui dosa-dosa tersebut di depan seorang imam dalam Sakramen Tobat. Lalu imam akan memberi nasehat dan penitensi. Nah, pertanyaannya: apakah kalau seseorang telah menyesal (walaupun tidak sempurna) dan telah mengakukan dosanya di depan imam, tetapi kemudian tidak melakukan penitensinya, apakah dosanya tetap diampuni? Jawaban singkatnya adalah: Ya dosanya diampuni walaupun tidak melakukan penitensi. Hal ini disebabkan karena pengampunan datang dari Tuhan dan bukan dari penitensi.
Pengakuan dan penyesalan atas dosa memberikan efek utama, yaitu penghapusan siksa dosa selamanya di neraka. Sedangkan, penitensi memberikan efek sekunder, yaitu penghapusan dari siksa dosa sementara entah sebagian atau seluruhnya, yang bisa terjadi di dunia ini dan atau di Api Penyucian. Sebagai analogi, pengakuan dan penyesalan disertai pengampunan yang diberikan imam, seperti mencabut panah dari tubuh seseorang. Kalau tidak dicabut akan menyebabkan kematian. Namun, walaupun sudah tercabut, bekas dan luka perlu disembuhkan. Nah, penyembuhannya adalah dengan melakukan penitensi.
Untuk memperjelas, pengakuan dan penyesalan dari peniten, yang kemudian diampuni dalam Sakramen Tobat, meluputkan orang itu dari hukuman kekal, walaupun orang tersebut tidak melakukan penitensi. Tetapi karena tidak melakukan penitensi, hukuman temporal akan tetap ditanggung, yang bisa terjadi di dunia ini atau kalau belum selesai, akan diselesaikan di Api Penyucian. Dan tambahan lagi, orang tersebut sebenarnya juga melakukan dosa yang baru, yaitu tidak melakukan penitensi yang diberikan oleh imam.
Namun, cara terbaik ketika kita berdosa adalah mempunyai penyesalan yang sempurna, mengakukan dosa di depan imam dengan jujur, dan melakukan penitensi yang diberikan imam dengan sungguh-sungguh sebagai tanda penyesalan dan pertobatan kita.
Salah satu permenungan yang indah tentang Natal adalah misteri kelahiran Tuhan Yesus ketika mengambil rupa manusia. Kelahiran-Nya begitu agung, tanpa merusak keutuhan ibu-Nya, Bunda Maria. Bagaimana kita memahami hal ini? Mari kita bahas ya.
Hai! Salam Katolisitas! Saya Ingrid Tay.
Mungkin tidak begitu sulit bagi kita untuk menerima bahwa konsepsi Tuhan Yesus—ketika mengambil rupa manusia—tidak melibatkan campur tangan laki-laki. Artinya Bunda Maria tetap perawan ketika mengandung Kristus. Tetapi kemudian, mungkin orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin Bunda Maria tetap perawan pada saat melahirkan Kristus? Sungguh, kebanyakan orang merasa sulit untuk menerima hal ini, karena menghubungkannya dengan apa yang umumnya terjadi pada manusia biasa. Kalau kita berpikir seperti ini, sebenarnya kita menganggap Tuhan Yesus dan Bunda Maria berdosa, karena proses kelahiran yang menimbulkan rasa sakit itu terjadi sebagai akibat dari dosa asal, sebagaimana tertulis di Kejadian 3:16. Padahal nyatanya baik Tuhan Yesus maupun Bunda Maria, tidak berdosa, maka keduanya tidak tunduk pada hukum kodrati ini. Kristus tidak berdosa tertulis dalam Ibr 4:15; 1Ptr 2:22. Dan karena Allah menghendaki bahwa Kristus harus tanpa noda dan terpisah dari orang-orang berdosa (Ibr 7:26), maka ibu yang mengandung dan melahirkan-Nya juga mesti tanpa noda dosa—dan karena itu, tidak mengalami sakit melahirkan yang merupakan konsekuensi dosa.
Lagipula, Bunda Maria yang melahirkan Kristus tanpa sakit juga merupakan penggenapan sempurna nubuat Nabi Yesaya,
“Sebelum menggeliat sakit, ia sudah bersalin, sebelum mengalami sakit beranak, ia sudah melahirkan anak laki-laki” (Yesaya 66:7).
Memang ayat ini, kalau dihubungkan dengan ayat ke 12, dapat diartikan sebagai kiasan pertobatan bangsa-bangsa, yang seolah-olah dilahirkan secara tiba-tiba oleh Jemaat Allah yang disebut juga Sion atau Yerusalem. Tetapi secara lebih penuh dan bukan lagi kiasan, ayat ini tergenapi dalam diri Kristus, yang memang kedatangan-Nya adalah untuk mempertobatkan semua orang, semua bangsa. Kristus dilahirkan ke dunia oleh seorang perempuan yaitu seorang Putri Sion, yang tidak mengalami sakit bersalin.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan,
“Pendalaman iman akan keperawanan Bunda Maria membuat Gereja mengakui keperawanan Bunda Maria yang sejati dan kekal, bahkan dalam tindakan melahirkan Putra Allah yang menjadi manusia. Bahkan, kelahiran Kristus “tidak mengurangi keperawanan Bunda-Nya, tetapi menguduskannya.”…. (KGK 499).
St. Thomas Aquinas telah lebih dahulu menjelaskan tentang cara kelahiran Kristus (lih. Summa Theologica III, q. 35, a. 6). Mengutip St. Agustinus, ia berkata tentang Bunda Maria,
“Ketika mengandung, engkau murni, ketika melahirkan, engkau tidak merasakan sakit.”
Rasa sakit saat melahirkan disebabkan oleh bayi yang membuka jalan keluar dari rahim. Kristus keluar dari rahim Bunda-Nya yang tertutup, dan, karena itu, tanpa membuka jalan keluar. Akibatnya tidak ada rasa sakit saat melahirkan itu, karena tidak ada kerusakan; sebaliknya, ada banyak sukacita di dalamnya karena Allah yang menjadi manusia
“dilahirkan ke dunia”….
Rasa sakit saat melahirkan pada wanita juga terjadi karena akibat hubungan seksual. Karena itu di Kejadian 3:16, setelah kata-kata,
“dengan susah payah engkau akan melahirkan anak,”
ditambahkan:
“dan engkau akan berada di bawah kekuasaan suamimu.”
Akan tetapi…kita harus mengecualikan St. Perawan Maria; yang,
“karena ia mengandung Kristus tanpa pencemaran dosa, dan tanpa noda pergaulan seksual, maka ia melahirkan-Nya tanpa rasa sakit, tanpa melanggar keperawanannya, tanpa merusak kemurnian keperawanannya.”
Lagipula, dalam Lukas 2:7 dikatakan Bunda Maria sendirilah yang
“membungkus dengan lampin”
Anak yang telah dilahirkannya,
“dan membaringkannya di palungan.”
Akibatnya, narasi dalam kitab apokrif itu tidak benar. [Kitab Apokrif yang dimaksud kemungkinan adalah Protoevangelium of James] St. Hieronimus berkata (Adv. Helvid. iv): “Tidak ada bidan di sana… Ia [Sang Perawan Maria] adalah ibu sekaligus bidan.
“Ia membungkus Anak itu dengan lampin, dan membaringkannya di palungan.”
Selanjutnya St. Thomas mengajarkan (lih. Summa Theologica, III, q.28, a. 2),
“Tanpa ragu sedikit pun, kita harus menegaskan bahwa Bunda Kristus adalah perawan bahkan pada saat kelahiran Kristus: karena nabi Yesaya tidak hanya berkata: “Lihatlah, seorang perawan akan mengandung,” tetapi menambahkan: “dan akan melahirkan seorang anak laki-laki.” Jadi ini memang pantas karena tiga alasan.
Pertama, ini sesuai dengan sifat Kristus, sebagai Sang Firman/ Perkataan Allah. Karena perkataan tidak hanya dikandung dalam pikiran tanpa kerusakan, tetapi juga keluar dari pikiran tanpa kerusakan. Oleh karena itu, untuk menunjukkan bahwa tubuh itu—maksudnya tubuh yang dilahirkan itu—adalah tubuh Firman Allah sendiri, sudah sepantasnya tubuh itu dilahirkan oleh perawan yang tidak rusak. Oleh karena itu, dalam khotbah Konsili Efesus… dikatakan:
“Barangsiapa melahirkan daging belaka, tidak lagi menjadi perawan. Tetapi karena ia melahirkan Firman yang menjadi daging, Allah menjaga keperawanannya untuk menyatakan Firman-Nya. Karena melalui Sang Firman itu, Allah menyatakan diri-Nya sendiri. Karena sama seperti perkataan kita, ketika dilahirkan/ dikeluarkan, tidak merusak pikiran; maka Tuhan, Sang Perkataan Firman yang hakiki, yang berkenan dilahirkan, tidak menghancurkan keperawanan.”
Kedua, ini sesuai dengan dampak dari Inkarnasi Kristus: karena Kristus datang untuk tujuan menghapuskan kerusakan kita, maka tidaklah tepat kalau dalam Kelahiran-Nya Ia merusak keperawanan Ibu-Nya. St. Agustinus berkata:
“Tidaklah benar bahwa Ia [Kristus] yang datang untuk menyembuhkan kerusakan, dengan kedatangan-Nya melanggar keutuhan.”
Ketiga, sudah sepantasnya bahwa Ia yang memerintahkan kita untuk menghormati ayah dan ibu kita, tidak boleh dalam Kelahiran-Nya mengurangi penghormatan yang seharusnya diberikan kepada Ibu-Nya.
Semoga kita punya sikap batin sebagaimana dimiliki oleh para Bapa Gereja, yang merenungkan misteri kelahiran Kristus Sang Sabda Allah dengan sikap khidmat dan hormat. Semoga Tuhan Yesus memberikan rahmat-Nya kepada kita agar kita dapat dibawa masuk ke dalam misteri ilahi yang demikian luas tak terbatas, yang sempurna tanpa cacat cela, termasuk yang berkenaan dengan kelahiran-Nya ke dunia. Sebab Yesus Kristus Penyelamat kita, adalah Allah yang sempurna dan kudus, dan kesempurnaan ini sampai kepada perwujudannya dalam proses perkandunganNya, kelahiran-Nya, dan seterusnya, sampai akhir hidup-Nya di dunia.
Selamat merayakan Natal, teman-teman semuanya. Semoga terang Kristus yang menyinari dunia, menyinari pikiran dan hati kita untuk menerima dengan rasa syukur misteri kelahiran Kristus di tengah kita, yang begitu agung dan sempurna. Terpujilah Kristus!
Ada pertanyaan, mengapa pertobatan itu penting dan bagaimana mewujudkannya? Mari kita belajar dari St. Faustina tentang hal ini
Hai, Salam Katolisitas!
Saya Ingrid Tay. Pertobatan itu penting, karena dengan pertobatan itulah dosa-dosa kita diampuni Tuhan. Pengampunan itu sendiri merupakan bukti nyata akan belas kasih Tuhan. Nah, maka pertobatan berkaitan erat dengan Kerahiman Allah karena Tuhan Yesus berkata, kalau kita bertobat, kita akan mengalami mukjizat kerahiman ilahi-Nya secara sepenuhnya. Pertobatan yang dimaksud adalah penyesalan yang sungguh atas dosa-dosa kita, dan permohonan agar Tuhan mengampuni kita. Ini secara khusus diwujudkan dalam penerimaan sakramen Baptis, dan setelah Baptisan, melalui penerimaan sakramen Tobat.
Kata Yesus kepada St. Faustina,“Tulislah, berbicaralah tentang kerahiman-Ku. Tunjukkanlah kepada jiwa-jiwa di mana mereka harus mencari penghiburan; yakni dalam Sidang Kerahiman [yaitu Sakramen Tobat]. Di sana mukjizat yang terbesar terjadi, [dan] tak henti-hentinya diulangi. Untuk mengalami sendiri mukjizat ini, tidak perlu orang pergi menempuh perjalanan ziarah yang jauh atau melaksanakan sejumlah upacara lahiriah; cukuplah ia datang ke kaki wakil-Ku dan dengan penuh iman mengungkapkan kepapaannya [yaitu dosa-dosanya]; maka mukjizat Kerahiman Ilahi pun akan tampak sepenuhnya.
Meskipun suatu jiwa tampaknya sudah seperti mayat yang membusuk sehingga dari sudut pandang manusia tidak ada [harapan untuk] pemulihan … tidaklah demikian dengan Allah. Mukjizat kerahiman Ilahi sepenuhnya memulihkan jiwa itu. Oh, betapa memprihatinkan mereka yang tidak memanfaatkan mukjizat kerahiman Allah ini! Kalian akan berteriak dengan sia-sia, tetapi semua itu sudah terlambat.” (BHSF 1448)
Teman-teman terkasih, Dari perkataan ini, kita tahu bahwa Tuhan Yesus menghendaki kita mengalami mukjizat kerahiman-Nya dalam sakramen Tobat. Jangan sampai, kita—seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus—-termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak memanfaatkan mukjizat Kerahiman Ilahi-Nya, sehingga kelak akan menyesal karena segalanya sudah terlambat. Tuhan Yesus mau agar kita datang kepada para wakil-Nya—yaitu para imam—untuk mengakukan dosa-dosa kita, dengan penuh kerendahan hati. Kalau kita memiliki sikap tobat seperti ini, maka bahkan andaikan kita memiliki dosa yang paling berat sekalipun, kita akan menerima pengampunan Allah.
Sebab Tuhan Yesus bermaksud menguduskan kita melalui pertobatan kita. Rahmat pengampunan-Nya akan dapat membantu kita bertumbuh dalam kasih, yang membuat kita bisa menjadi alat belas kasih Tuhan bagi orang lain.
Santa Faustina memberikan tiga sikap utama untuk mengaku dosa dengan baik. Yang pertama: Ketulusan dan keterbukaan penuh. Tanpa ketulusan dan hati yang terbuka untuk mengakui dosa-dosa kita, seseorang tidak dapat bertumbuh secara rohani. Tuhan Yesus sendiri tidak akan memberikan diri-Nya pada tingkat yang lebih tinggi, kepada jiwa yang seperti ini.
Yang kedua adalah kerendahan hati. Jiwa yang sombong tidak akan dapat memetik manfaat dari sakramen Tobat. Jiwa itu tidak tahu dan tidak ingin memeriksa dengan cermat dosa-dosa dan kesalahannya.
Ketiga, ketaatan. Jiwa yang tidak taat tidak akan memperoleh kemenangan, bahkan kalau Tuhan Yesus sendiri secara pribadi yang mendengarkan pengakuan dosanya. Jiwa yang tidak taat, juga tidak akan memperoleh kemajuan dalam kehidupan rohani (lih. BHSF 113).
Artinya apa?
1) Saat mengaku dosa, kita harus terbuka, dan tidak menyembunyikan dosa kita;
2) Kita harus rendah hati mengakui kesalahan kita, dan tidak menyalahkan orang lain atau keadaan.
3) Kita juga taat melakukan nasihat dan penitensi yang diberikan oleh imam, yang di dalam sakramen, bertindak sebagai Kristus sendiri.
Selanjutnya, St. Faustina memberikan semacam tips untuk mengaku dosa, sebagaimana yang dilakukannya sendiri. Katanya:
“Aku akan memilih apa yang paling sulit diakui dan paling merendahkan diriku. Kadang-kadang sesuatu yang sepele lebih sulit diakui daripada sesuatu yang besar. Dalam setiap pengakuan dosa, aku akan mengingat-ingat Sengsara Yesus untuk membangkitkan penyesalan dalam hatiku. Aku akan selalu mengupayakan sesal sempurna, dan meluangkan lebih banyak waktu untuk penyesalan ini. Sebelum masuk ke kamar pengakuan, aku akan lebih dahulu masuk ke dalam Hati Juru Selamat yang terbuka dan maharahim. Ketika meninggalkan kamar pengakuan, aku akan membangkitkan dalam jiwaku rasa syukur yang mendalam kepada Allah Tritunggal yang mahakudus atas mukjizat kerahiman yang mengagumkan dan tak terselami yang terjadi dalam jiwaku….” (BHSF 225)
Jadi tahapannya adalah:
Sebelum masuk ke dalam kamar pengakuan dosa, kita renungkan sengsara Kristus dan kasih-Nya yang begitu besar kepada kita, sampai Ia rela menyerahkan nyawa-Nya demi menebus dosa-dosa kita, termasuk dosa-dosa yang sebentar lagi akan kita akui. Kita renungkan ini dengan sungguh-sungguh dan tidak terburu-buru. Kita dapat memandang Salib Kristus… Di sanalah Ia tergantung demi menebus dosa-dosa kita. Semoga permenungan ini menambah rasa sesal kita akan segala dosa kita hingga kita punya sesal sempurna. Dengan penyesalan ini, kita masuk ke dalam Hati Yesus yang Mahakudus dan berlindung dalam naungan sinar kerahiman-Nya.
Pada saat mengaku dosa dalam sakramen Tobat, kita mengakui dosa-dosa kita dengan tulus dan rendah hati, mulai dari dosa-dosa yang paling memalukan. Kita dengarkan nasihat imam dengan penuh perhatian, sebab Kristus sendiri yang berbicara kepada kita melalui dia.
Setelah menerima absolusi, kita bersyukur kepada Allah atas kerahiman-Nya yang baru saja kita terima.
Kita pun taat melakukan nasihat dan penitensinya, serta berusaha agar tidak jatuh dalam dosa yang sama.
Selanjutnya, kita wartakan kerahimanNya kepada orang-orang di sekitar kita.
Semoga dengan demikian, pengakuan dosa yang kita lakukan berkenan kepada Allah dan mendatangkan buahnya, yaitu kita dibawa semakin dekat dengan Kristus dan semakin siap menyambut kedatangan-Nya.
Teman-teman, yuk kita ikuti tahapan ini dan jangan ragu untuk bertobat dan menerima sakramen Tobat.