Home Blog Page 183

Mendayagunakan Kemampuan Intangibles di Lembaga Pendidikan Katolik

5

Usaha dan persiapan yang matang

Seorang warga negara Italia bernama Vincenzo Lombardi mengatakan: “Setiap orang memiliki hak untuk menjadi pemenang, tetapi sedikit sekali yang menyiapkan dirinya sunguh-sungguh untuk menjadi pemenang”. Keberhasilan seseorang atau sebuah lembaga khususnya pendidikan Katolik tidak mungkin terjadi tanpa sebuah usaha dan persiapan yang matang. Sebagai contoh: kalau anda mencermati tayangan TV dalam judul American got talent atau Indonesian got talent anda akan melihat dengan jelas kemampuan luar biasa dari seseorang atau kelompok yang diragukan dan diremehkan baik oleh dewan juri maupun penonton menjadi pemenang dalam acara tersebut oleh karena sebuah faktor yang tidak tersentuh. Contoh, siapa menyangka seorang ibu rumah tangga bernama Susan Boyle berumur 47 tahun, wajahnya mirip seorang nenek, tubuhnya gemuk dan bongsor mengikuti kontestan Britain’s got talent memesona dewan juri dan penonton dengan suaranya yang indah dan merdu mengingatkan akan artis Josh Groban. Dia mengatakan: “Kalau saya berhasil saya ingin mengubah dunia, mengubah pandangan orang-orang”. Demikianlah dalam dunia lembaga pendidikan Katolik (LPK) perlu adanya usaha dan persiapan yang matang dalam mengelola pendidikan terutama mendayagunakan kemampuan yang tidak tersentuh (intangibles).

Melakukan perubahan mulai dari yang inti

Para filsuf modern (George Axtile, William O. Stanley, Lawrence B. Thomas) yang tergabung dalam aliran filsafat pendidikan progresivisme mengatakan  bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang maka diperlukan perubahan. Bagi mereka, perubahan itu adalah sesuatu yang tetap. Walau prinsip ini dapat mengacu kepada konsep relativism (yaitu kebenaran menjadi sesuatu yang relatif dan berubah- ubah) dan karena itu ditolak oleh Paus Pius X dan Paus Benediktus XVI, namun dalam lingkup dunia pendidikan, perubahan itu mutlak diperlukan untuk kebaikan dan kemajuan sesuai dengan konteksnya. Maksudnya adalah perubahan dibutuhkan agar kebenaran yang diajarkan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan inti pendidikan. Perubahan itu dimulai dari melihat dan berpijak pada jati diri pendidikan yang tidak lain adalah inti (core) pendidikan. Apa itu?  Inti pendidikan Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) sesuai dengan Nota Pastoral KWI tentang Pendidikan tahun 2008 adalah : (1) setia terhadap pencerdasan kehidupan bangsa, (2) setia terhadap ciri khas Katolik, dan (3) setia terhadap semangat luhur (spiritualitas)  pendiri. (Untuk memahami hal ini bacalah: UU 20/2003 Sistem Pendidikan Nasional, Dokumen Konsilili Vatikan II, 1965 tentang Deklarasi Pendidikan Kristen Gravissimum Educationis, Dokumen Kongregasi Suci  untuk Pendidikan Katolik, 1977 tentang Sekolah Katolik, Dokumen Kongregasi Suci 1982 tentang Awam Katolik di Sekolah: Saksi-Saksi Iman, Dokumen Kongregasi Suci, untuk Pendidikan Katolik, 1988 tentang Dimensi Religius Pendidikan di Sekolah Katolik, Kitab Hukum Gereja 1983 tentang Pendidikan Katolik dan Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik, Ex Corde Ecclesiae tentang Universitas Katolik).

Bila kita telisik lebih jauh kesetiaan terhadap pencerdasan kehidupan bangsa itu merupakan tugas dan tanggungjawab Gereja Katolik juga, khususnya LPK. Tanggungjawab itu terwujud dalam partisipasi masyarakat Katolik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain tanggungjawab dalam partisipasi itu, tugas dan tanggungjawab ikut mencerdaskan bangsa merupakan wujud kesetiaan terhadap ciri khas Katolik. Itu berarti harus mengindahkan pedoman dan ajaran Gereja Katolik pada tingkat universal dan lokal. Kesetiaan terhadap ciri khas tercermin pula dalam kesetiaan terhadap semangat luhur (spiritualitas) pendiri. Berarti pula, LPK berkewajiban mengemban visi dan misi pendiri masing-masing sesuai dengan konteks zamannya.

Namun perlu diingat bahwa perubahan yang hanya terjadi pada aspek fisik (yang kasat mata bisa tersentuh) tidak akan bertahan lama. Perubahan yang dibutuhkan adalah menyangkut tata nilai yang menjadikan brand image LPK di mata masyarakat. Untuk itu hanya bisa dilakukan pada aspek non- fisik (yang tidak kasat mata, yang tidak tersentuh). Banyak hal pengembangan LPK dilihat dari sisi fisik (yang tersentuh) saja seperti bangunan, dan kita belum melihat sisi non- fisik (yang tidak tersentuh). Padahal sekarang ini yang membuat lembaga, perusahaan, tetap eksis dan bermutu adalah pengembangan (development) dari sisi yang tidak tersentuh (intangibles). Kekuatan daya saing di era kompetisi untuk keunggulan pendidikan terletak pada sisi intangibles. Apa itu?

Intangibles apa itu?

Intangibles adalah sesuatu tata nilai yang melekat secara utuh dalam diri seseorang dan membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan sesuatu peningkatkan kinerja (performance) dalam diri seseorang (bdk. Prof. Rhenald Kasali: “Myelin mobilisasi intangibles menjadi kekuatan perubahan”, PT. Gramedia Jakarta 2010, p.45). Mutatis mutandis dalam dunia lembaga pendidikan Katolik seperti sekolah akan berkembang dengan kualitas yang luar biasa dan memiliki daya saing yang kuat dengan Lembaga pendidikan lain jika membangun intangibles dalam bentuk tata nilai seperti: disiplin, kerja keras, kejujuran, bertangungjawab dan lainnya menjadi sebuah brand image lembaga pendidikan di mata masyarakat. Salah satu cara menanamkan tata nilai dalam pribadi-pribadi yang bergiat di LPK adalah dengan pelatihan (training). Training tersebut berintikan pada tata nilai yang harus dimiliki dan menjadi habitus bagi insan pendidikan sehingga mampu mendayagunakan untuk pengembangan diri dan lembaga dimana dia bekerja. Intangibles itu terdiri dari dua hal yakni internal intangibles dan external intangibles. Internal lebih kepada pembentukan karakter pribadi seseorang karena dari dalam dirinya, perubahan dimulai dari motivasi dirinya sedangkan eksternal lebih karena latihan dari luar dirinya (adanya faktor pemicu atau daya dongkrak) yang harus dilakukan secara ketat dan rutin. Lama kelamaan yang eksternal akan menjadi miliknya sendiri (internal) meski tanpa ada latihan berikutnya

Membangun intangibles dalam bentuk tata nilai

Seorang penggiat bidang pendidikan sebelum melakukan aktivitas di LPK hendaknya menjalankan proses penanaman nilai yang menjadi brand image LPK tersebut. Dalam pelatihan membangun intangibles dalam bentuk tata nilai menempuh tiga tahapan. Tahap pertama disampaikan pentingnya nama baik LPK di mata masyarakat. Karena nama baik LPK menyangkut citra lembaga. Guru misalnya diimbau untuk menjunjung tinggi citra lembaga pendidikan (sekolah Katolik) di mana dia bekerja. Guru wajib memahami pentingnya image branding, dan jangan sampai citra sekolah dirusak oleh tindakan guru yang berperilaku tidak baik. Tata nilai ini harus ditanamkan sejak dini ketika dia memasuki dunia pendidikan Katolik. Karena memakai nama Katolik, berarti secara hukum (bdk. kan. 803, §3, KHK 1983) mengatasnamakan Gereja Katolik, maka wajib nilai-nilai spiritual dan moral agama Katolik diajarkan kepada seluruh insan pendidikan. Seperti misalnya nilai kejujuran adalah suatu ibadah sehingga diharapkan tidak ada korupsi waktu maupun uang. Guru misalnya diharapkan bekerja dengan tujuan beribadah mengamalkan nilai-nilai iman Katolik di lembaga tersebut. Tahap kedua adalah pelatihan pengembangan diri (development training). Di sinilah diadakan diskusi, pelatihan pengajaran bermutu, pelbagai macam masalah pendidikan disosialisasikan dan diberi ketrampilan tentang menjadi guru Katolik yang bermutu. Tahap ketiga adalah pelatihan evaluasi kinerja. Guru dibekali dengan ketrampilan mengevaluasi kinerja pendidikan, membahas tentang bagaimana secara sadar melakukan evaluasi kinerja pribadi dan sekolah guna mencapai mutu pendidikan Katolik sesuai dengan visi misi LPK tersebut.

Ketiga tahapan ini hendaknya dijalankan secara ketat dan berkelanjutan, niscaya LPK menjadi lembaga pendidikan Katolik yang bukan hanya baik, melainkan menjadi hebat karena memiliki kekuatan yang tidak tersentuh (intangibles) dan dapat menghasilkan insan-insan pendidikan yang bermutu. Salah satu kunci dari keberhasilan setelah melalui ketiga tahapan tersebut adalah bagaimana setiap insan pendidikan memiliki budaya disiplin. Budaya disiplin adalah salah satu kunci keberhasilan perubahan LPK yang hebat dan bermutu. Budaya disiplin itu meliputi: bekerja sesuai dengan perencanaan dan menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk bekerja, melakukan proses kerja yang teratur dan terencana, meningkatkan kualitas kinerja setiap insan pendidikan, melakukan hubungan/komunikasi yang positif guna membangun lembaga pendidikan, bekerja untuk menghasikan sesuatu sesuai target. Teori ini dapat diringkas ke dalam PDCA circle: plan, do, check, action.

“Pekerjaan merupakan kebanggaan dan rasa bangga itu muncul ketika seorang insan pendidikan melakukan pekerjaannya dengan baik”.

 

Penulis: Pemerhati bidang pendidikan, alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Biologi Universitas Udayana Denpasar 1982.

Dapatkah wanita menjadi imam?

21

Dewasa ini ada sekelompok orang Katolik yang mendukung tahbisan wanita, walaupun pihak Vatikan dengan jelas mengajarkan bahwa tahbisan imam (imam jabatan) hanya diberikan kepada pria. Pembahasan tentang hal ini sesungguhnya bisa sangat panjang, yaitu tanggapan akan semua keberatan mereka, dan apakah dasarnya baik dari Kitab Suci maupun dari Tradisi Suci/ pengajaran Magisterium. Mungkin di lain kesempatan, kami dapat menuliskan artikel khusus tentang hal ini. Namun sementara ini, kami hanya dapat menyampaikan tinjauan secara umum saja.

1. Ajaran Katekismus Gereja Katolik dan Magisterium

Mereka yang mendukung tahbisan imam wanita umumnya menampilkan interpretasi mereka sendiri tentang apa yang tertulis di Kitab Suci, maupun Tradisi Suci namun meeka tidak mau menerima pengajaran Magisterium yang tertulis dalam oleh dokumen- dokumen Gereja Katolik. Tuntutan akan tahbisan wanita, yang seolah- olah menyatakan bahwa wanita ‘berhak’ menjadi imam, adalah menyalahi pengertian imamat sendiri. Sebab panggilan imamat itu bukanlah soal hak untuk dipenuhi, tetapi sebagai panggilan dari Tuhan melalui otoritas Gereja yang didirikan-Nya.

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian, tentang siapakah yang dapat menjadi imam:

KGK 1577 “Hanya pria [vir] yang sudah dibaptis, dapat menerima Tahbisan secara sah” (CIC, can. 1024). Yesus Tuhan telah memilih pria-pria [viri] untuk membentuk kelompok kedua belas Rasul (Bdk. Mrk 3:14-19; Luk 6:12-16), dan para Rasul pun melakukan yang sama, ketika mereka memilih rekan keja (Bdk. 1 Tim 3:1-13; 2 Tim 1:6; Tit 1:5-9), yang akan menggantikan mereka dalam tugasnya (Bdk. Klemens dari Roma, Kor 42:4; 44:3). Dewan para Uskup yang dengannya para imam bersatu dalam imamat, menghadirkan dewan kedua belas Rasul sampai Kristus datang kembali. Gereja menganggap diri terikat pada pilihan ini, yang telah dilakukan Tuhan sendiri. Karena itu, tidak mungkin menahbiskan wanita (Bdk. MD 26-27; CDF, Pernya. “Inter insigniores”).

KGK 1578 Seorang pun tidak mempunyai hak untuk menerima Sakramen Tahbisan. Sungguh tidak seorang pun [dapat] menuntut tugas ini bagi dirinya. Untuk itu seorang harus dipanggil oleh Allah (Bdk. Ibr 5:4). Siapa yang beranggapan melihat tanda-tanda bahwa Allah memanggilnya untuk pelayanan sebagai orang yang ditahbis, harus menyampaikan kerinduannya itu dengan rendah hati kepada otoritas Gereja yang mempunyai tanggung jawab dan hak untuk mengizinkan seorang menerima Tahbisan. Seperti setiap rahmat, maka Sakramen ini juga hanya dapat diterima sebagai anugerah secara cuma-cuma.

KGK 1579 Kecuali diaken-diaken tetap, semua pejabat tertahbis Gereja Latin biasanya diambil dari para pria beriman, yang hidup secara selibater dan mempunyai kehendak menghayati selibat “demi Kerajaan surga” (Mat 19:12). Dipanggil untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dan “tugas-Nya” secara tidak terbagi Bdk. 1 Kor 7:32., mereka menyerahkan diri secara penuh kepada Allah dan sesama. Selibat adalah tanda hidup baru yang demi pelayanannya ditahbiskan pelayan Gereja; bila diterima dengan hati gembira, ia memancarkan Kerajaan Allah (Bdk. Presbyterorum Ordinis 16).

Paus Yohanes Paulus II dalam surat Apostoliknya, Ordinatio Sacerdotalis, dengan jelas menyatakan bahwa tahbisan imam hanya dapat diberikan kepada para pria. Selengkapnya, silakan membaca surat apostolik tersebut di sini, silakan klik. Di surat itu mislanya Paus mengutip Paus Paulus VI, yang mengatakan alasan sesungguhnya, yaitu bahwa, “Kristus menentukan demikian.” (lih. OS 2). Paus Yohenes Paulus II juga menegaskan kembali pernyataannya sebagaimana pernah disebutkan dalam surat Apostoliknya Mulieris Dignitatem:

“Dengan memanggil hanya pria sebagai para rasul-Nya, Kristus bertindak dalam cara yang sepenuhnya bebas dan berdaulat. Dengan berbuat demikian, Ia melaksanakan kebebasan yang sama yang dengannya dalam semua tingkah laku-Nya, Ia menekankan martabat dan panggilan hidup, para wanita, tanpa menyesuaikan dengan kebiasaan- kebiasaan yang berlaku dan tradisi-tradisi yang disetujui oleh perundang-undangan pada zaman itu.” (MD 26)

Akhirnya sebagai kesimpulan, Paus Yohanes Paulus II menyatakan demikian di akhir surat Apostoliknya, yang menutup segala keraguan akan apakah boleh wanita ditahbiskan menjadi imam,

“Meskipun ajaran bahwa tahbisan imam yang hanya dikhususkan untuk para pria saja telah dipertahankan oleh Tradisi Gereja dan diajarkan dengan teguh oleh Magisterium dalam dokumen-dokumen yang lebih baru belakangan ini, namun dewasa ini di sejumlah tempat hal ini  dianggap masih dapat diperdebatkan, atau penilaian Gereja bahwa para wanita tidak dapat diterima dalam tahbisan dianggap hanya memiliki kekuatan disipliner saja.

Oleh karena itu, agar semua keraguan dapat dilenyapkan tentang hal yang sangat penting ini, hal yang berkenaan dengan konstitusi ilahi Gereja itu sendiri, berdasarkan atas jabatan saya untuk meneguhkan saudara-saudara saya (lih. Luk 22:32) saya menyatakan bahwa Gereja tidak memiliki otoritas apapun untuk menyampaikan tahbisan imamat kepada para wanita dan bahwa keputusan ini harus dipegang secara definitif oleh semua umat beriman di Gereja.” (OS 4)

Maka Magisterium Gereja Katolik jelas telah menentukan bahwa yang dapat ditahbiskan menjadi imam adalah pria, yang mau mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Kerajaan Allah, dengan hidup selibat. Pengkhususan panggilan imam hanya kepada kaum pria bukan disebabkan karena Gereja merendahkan kaum perempuan, atau bahwa perempuan dianggap tidak mampu. Gereja mengakui adanya persamaan derajat antara pria dan wanita, namun mengakui adanya perbedaan peran antara keduanya di dalam masyarakat dan Gereja.

Katekismus yang sama mengajarkan:

KGK 369  Pria dan wanita diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. “Kepriaan” dan “kewanitaan” adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah: keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya (Bdk Kej 2:7.22) Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama “menurut citra Allah”. Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan Pencipta.

KGK 2334  “Ketika menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Allah menganugerahkan kepada pria dan wanita martabat pribadi yang sama dan memberi mereka hak-hak serta tanggung jawab yang khas” (FC 22, Bdk. GS 49,2) “Manusia bersifat pribadi: itu berlaku sama untuk pria dan wanita; karena kedua-duanya diciptakan menurut citra dan keserupaan Allah pribadi” (MD 6).

Jadi sungguhlah keliru jika ada pandangan yang menyangka bahwa Gereja Katolik tidak mengakui persamaan martabat antara pria dan wanita. Namun demikian, persamaan martabat ini tidak untuk diartikan bahwa peran, tugas dan tanggung jawab antara pria dan wanita di dalam Gereja harus sama persis.

2. Benarkah ada banyak diaken tertahbis wanita di jaman abad- abad awal?

Link tersebut menyebutkan adanya nama- nama yang konon adalah diaken wanita di jaman abad- abad awal. Namun sepanjang pengetahuan saya, dari riwayat hidup mereka (seperti St. Genevieve, St. Irene, St. Justina, St. Apollonia, dst), tidak disebutkan secara jelas/ eksplisit bahwa mereka adalah diaken yang ditahbiskan, apalagi imam. Sebagai contohnya, Phoebe (Febe) yang disebut oleh Rasul Paulus di Rom 16:1. Di sana tidak disebutkan Febe ini sebagai diaken, namun sebagai ‘saudari kita yang melayani jemaat di Kengkrea’. Para wanita yang menjadi pelayan jemaat awal ini merawat orang sakit, orang miskin, orang asing dan mereka yang di penjara. Mereka mengajar para wanita yang lebih muda dan anak- anak (lih. Tit 2:3-5). Maka di surat Rasul Paulus tidak dikatakan bahwa Febe adalah seorang diakon wanita, apalagi sebagai imam. Rasul Paulus juga tidak memperbolehkan wanita mengajar dalam pertemuan- pertemuan ibadat (lih. 1 Kor 14:34), maksudnya di sini adalah menjalankan kuasa/ wewenang mengajar Gereja yang dikhususkan bagi para rasul dan para penerus mereka, yang adalah pria.

Argumen bahwa Maria Magdalena adalah imam, tidak dapat dibuktikan. Umumnya mereka yang berpandangan demikian adalah kaum Gnostics (ajaran sesat di abad- abad pertama) yang mengutip injil Tomas, yang bukan injil kanonik dan tidak dapat dibuktikan ke-otentikannya.

Maka ada suatu pernyataan tentang tahbisan imam wanita, silakan diperiksa, apakah link/ berita tersebut menampilkan data/ dasar yang valid? Dan apakah sumbernya dokumen resmi dari Vatikan atau bukan, sebab besar kemungkinan bukan dari Vatikan, dan karenanya tidak memiliki dasar yang kuat.

3. Imamat khusus bagi kaum pria adalah ajaran Gereja di Abad Pertengahan?

Maka adalah keliru, pandangan yang mengatakan bahwa imamat yang eksklusif hanya untuk kaum pria hanya merupakan ajaran Gereja di Abad Pertengahan. Tertullian, seorang Bapa Gereja di abad ke-2 sudah menuliskan demikian, “Bahkan para bidat wanita, betapa kelirunya mereka! Mereka yang dengan berani mengajar, berdebat, mengadakan eksorsisme, menjanjikan kesembuhan, juga kadang membaptis! Pentahbisan mereka adalah sembrono, tidak serius, tidak konsisten….” (Tertullian, The Prescription of Heretics, chapter 41)

4. Wanita tidak dapat menjalankan peran ‘in persona Christi’ dalam ibadat

Di atas semua itu yang menyebabkan bahwa wanita tidak dapat menjadi imam, adalah karena wanita tidak dapat menjalankan peran imam ‘in persona Christi‘, terutama pada saat mempersembahkan Misa Kudus. Sebab di dalam perayaan Ekaristi, Kristus sebagai Mempelai Pria mempersembahkan Diri-Nya kepada Gereja yang adalah Mempelai wanita-Nya (lih. Ef 5:22-33). Ekaristi menjadi lambang persatuan kasih antara Kristus dan Gereja, seperti halnya persatuan antara suami dengan istri dalam perkawinan kudus. Maka menjadi tidak cocok/ fitting di sini, jika gambaran Kristus itu diambil oleh seorang imam wanita, sebab perkawinan yang diajarkan oleh Kristus adalah antara seorang pria dan wanita. Menjadi aneh di sini, jika di dalam ibadah/ sakramen yang menjadi sumber dan puncak kehidupan Kristiani, malah menerapkan gambaran yang keliru tentang makna perkawinan dalam hubungannya dengan kesatuan Kristus dan Gereja. Jadi masalahnya di sini bukan wanita tidak dapat atau tidak boleh menampakkan Kristus, sebab setiap orang baik pria dan wanita sama- sama dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dan menampakkan wajah Kristus kepada sesama. Tetapi dalam hal ibadah, terdapat ketentuan seperti yang telah diterapkan oleh Kristus sendiri dan para rasul, dan sudah selayaknya kita hormati ketentuan ini.

Dalam hal ini, sangatlah relevan untuk mengingat apa yang diajarkan dalam KGK 1578, yaitu bahwa seseorang tidak dapat menuntut haknya untuk ditahbiskan menjadi imam, tetapi bahwa seseorang menerima panggilan sebagai imam dari Tuhan sendiri, melalui Gereja-Nya. Jadi tidak bisa seseorang menahbiskan dirinya sendiri terlepas dari Gereja, atau membuat orang lain menahbiskan dirinya, tanpa persetujuan dari pihak pimpinan Gereja universal. Prinsipnya, imamat jabatan itu adalah rahmat yang diberikan cuma- cuma oleh Kristus melalui Gereja-Nya, dan bukan sebagai suatu ‘hak’ yang bisa dituntut untuk harus diberikan kepada semua orang terlepas dari pihak otoritas Gereja. Yang diberikan kepada setiap umat adalah peran imamat bersama (lih. 1 Pet 2:9), namun imamat jabatan dikhususkan bagi orang- orang tertentu yang dipanggil Allah untuk melaksanakan tugas tersebut.

5. Maria, seorang perempuan yang mengambil tempat istimewa dalam Gereja walaupun bukan imam.

Akhirnya marilah mengingat bahwa di antara semua orang kudus, para anggota Gereja, Maria menempati tempat yang istimewa dan memperoleh penghormatan tertinggi setelah Kristus, walaupun ia bukan imam. Ini membuktikan bahwa bukan hanya pria yang dapat mengambil peran penting dalam Gereja. Kaum perempuanpun dapat mengambil peran yang penting dalam Gereja, hanya saja perannya bukan sebagai imam.

Bolehkah Prodiakon Wanita Menerimakan Komuni?

5

Sebenarnya istilah yang lebih tepat bukan prodiakon tetapi adalah Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim (Extra-ordinary minister of the Holy Communion). ‘Diakon’ (permanent deacon) adalah pelayan tertahbis, dan ini tidak ada yang wanita. Sedangkan wanita dapat ditunjuk oleh imam paroki untuk menjadi petugas Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim, dan jika demikian, ia diizinkan untuk membagikan Komuni kudus dalam kondisi tak lazim, yaitu jika tidak terdapat cukup Pelayan yang Lazim [yaitu uskup/imam/diakon tertahbis] untuk membagikan Komuni. Ketentuan ini berlaku juga bagi semua Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim (termasuk pria). Jadi misalnya pada misa konselebrasi, saat jumlah imamnya cukup, atau pada saat Misa harian pagi hari, saat jumlah umat tidak terlalu banyak, maka tidak diperlukan pelayan pembagi Komuni Tak Lazim untuk bertugas. Jadi pada prinsipnya petugas Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim bertugas hanya jika keadaannya tak lazim (misalnya Misa dihadiri oleh banyak orang sehingga kuranglah jumlah Pelayan Pembagi Komuni yang Lazim untuk melayani umat).

Pertanyaan serupa pernah ditanyakan kepada Konsili Pontifikal tentang topik yang sedang kita bicarakan ini, dan demikianlah jawaban resmi dari Konsili Pontifikal tersebut, yang memberikan interpretasi yang otentik tentang teks legislatif tersebut:

1. KHK kan. 230.2: Kaum awam, laki-laki dan perempuan, dapat memenuhi tugas-tugas liturgis tertentu.

Pertanyaan: Dapatkah pelayanan di altar juga dianggap sebagai tugas-tugas liturgis sehingga kaum awam, baik perempuan atau laki-laki, dapat memenuhi/ melaksanakannya sesuai dengan Kan 230.2?

Jawab: Ya, sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Tahta Suci.

11 Juli 1992
AAS 86 (1994) 541-542. Communicationes 26 (1994) 159-160. Origins 23 (1994) 777-779

2. KHK kann. 910 dan 230.3: Tentang Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim

Pertanyaan: Apakah Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim, yang ditugaskan sesuai dengan ketentuan Kann 910.2 dan 230.3, dapat melaksanakan tugas mereka (baik yang laki-laki ataupun yang perempuan) untuk membantu bahkan ketika (para) Pelayan yang Lazim, yang tidak terhalang, hadir di gereja meskipun tidak mengambil bagian di dalam perayaan Ekaristi?

Jawaban: Tidak.

1 Juni 1988
AAS 80 (1988) 1373. Periodica 78 (1989) 269-277

Dengan demikian, menurut Konsili Pontifikal, jika keadaannya tak lazim dan diperlukan petugas tambahan untuk membagikan Komuni, maka para Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim (baik pria maupun wanita) dapat melaksanakan tugasnya untuk membagikan Komuni. Tetapi jika keadaaannya tidak memerlukan (karena jumlah imamnya cukup atau kalau jumlah umatnya tidak banyak) maka Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim tidak perlu bertugas.

 

Perjumpaan Iman dan Akal Budi

19

“Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah…dan juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa” (Kis 17:17-18)

 

Kalimat di atas menunjukkan bahwa sejak zaman para Rasul: awal pewartaan iman kristiani telah terjadi perjumpaan iman dengan aliran-aliran filsafat yang berkembang saat itu. Dalam teks Kis. 17:17-18 diperlihatkan bagaimana mereka mengadakan diskusi tentang iman dan akalbudi (ilmu pengetahuan) untuk mencari kebenaran. Para rasul dan jemaatnya berdiskusi bahkan berdebat dengan para ahli filsafat seperti Stoa dan Epikuros.

Ilmu membebaskan dari ketakutan (Epikuros)

Epikuros adalah seorang filsuf Yunani yang dilahirkan tahun 341 SM. Epikuros berbeda dengan Aristoteles yang mengutamakan penyelidikan ilmiah. Epikuros menggunakan pengetahuan yang diperolehnya dan penyelidikan ilmu yang sudah dikenal sebagai alat untuk membebaskan manusia dari ketakutan agama. Ketakutan terhadap agama dimaksud adalah adanya rasa takut kepada dewa- dewa yang ditanam dalam hati manusia oleh agama orang Yunani lama. Menurut Epikuros ketakutan kepada agama itulah yang menjadi penghalang besar untuk memperoleh kesenangan hidup. Jadi aliran filsafat Epikuros diarahkan kepada satu tujuan memberikan jaminan kebahagiaan kepada manusia. Bagi Epikuros logika melihat kehidupan adalah semua yang kita pandang/ lihat itu adalah benar. Logika harus melahirkan norma untuk pengetahuan dan kriteria tentang apa itu kebenaran. Pandangan adalah kritetia yang paling tinggi untuk menentukan kebenaran. Kebenaran dicapai dengan pemandangan dan pengalaman. Pemikiran kedua Epikuros adalah fisika. Teori fisika diciptakan oleh manusia untuk membebaskan manusia dari kepercayaan sia-sia kepada dewa-dewa. Dia berpendapat bahwa dunia ini bukan dijadikan dan dikuasai oleh dewa-dewa melainkan oleh gerakan hukum fisika. Segala yang terjadi dan dipandang di dunia ini disebabkan oleh penyebab kausal dan mekanis. Manusia harus merdeka menentukan nasibnya sendiri dan tidak dikuasai oleh dewa-dewa. Epikuros dalam Kisah Para Rasul itu berdebat dengan orang beriman soal kehadiran Allah. Epikuros dengan tegas mengajarkan bahwa manusia sesudah mati tidak hidup lagi (bertentangan dengan paham iman Kristiani yang percaya adanya kebangkitan orang-orang mati). Hidup adalah peristiwa yang sementara saja yang tidak bernilai harganya, maka hidup ditujukan untuk mencari kesenangan. Pemikiran ketiga dari Epikuros adalah etik. Ajaran etik tidak terlepas dari ilmu fisika yang ia ciptakan. Pokok ajaran etikanya adalah mencari kesenangan hidup, yang diartikan sebagai kesenangan ragawi dan kepuasan batin.

Penyempurnaan moral manusia (Stoa)

Stoa dalam Kisah para rasul 17:17-18 adalah seorang filsuf Yunani yang hidup tahun 340 SM. Dia seorang saudagar yang belajar filsafat di akademi dibawah pimpinan Xenocrates murid Plato yang terkenal. Stoa artinya ruangan, karena di ruangan penuh ukiran dia mengajarkan pelbagai ilmu pengetahuan. Tujuan utama dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan moral manusia. Pokok ajaran filsafat Stoa adalah bagaimana manusia hidup selaras dengan keharmonisan dunia sehingga kebajikan adalah akal budi yang lurus. Akal budi yang sesuai dengan keselarasan/ keharmonisan dunia. Pada akhirnya manusia akan mencapai citra hidup manusia yang bijaksana yaitu hidup sesuai dengan jalan pikir alam semesta. Tentang logika, pemikiran Stoa tidak jauh berbeda dengan Epikuros yakni untuk memperoleh kriteria tentang kebenaran. Kebenaran adalah pemandangan yang menggambarkan barang yang dipandang sehingga orang yang memandang itu membenarkan dan menerima isi yang dilihatnya. Fisika kaum Stoa memberi pelajaran tentang alam tetapi juga tentang Teologi. Tentang etik Stoa, ini adalah inti dari filsafatnya. Maksud etiknya adalah mencari dasar-dasar umum untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian melaksanakan dasar-dasar itu dalam penghidupan. Kemerdekaan moral seseorang adalah dasar dari segala etik Stoa.

Iman dan Akal budi saling melayani

Pengetahuan kodrati dari Epikuros dan Stoa dapat menjerumuskan manusia ke dalam paham atheis, dengan pandangan mereka yang menolak adanya paham kebangkitan orang-orang mati. Epikuros dan Stoa memiliki pandangan yang hedonis, yaitu mencari kesenangan badani dalam hidup, dan ini berlawanan dengan ajaran iman kristiani. Sebagai umat kristiani kita tidak boleh melupakan dua hal pokok menanggapi pelbagai kemajuan akal budi manusia yakni pengertian kodrati akan Allah dan suara hati nurani. Seperti ditulis dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma. “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka… Apa yang tidak nampak dari pada-Nya yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Roma 1: 19-20). Perjumpaan akal budi (pengetahuan) dalam aliran filsafat sejak Gereja perdana dengan Teologi (pewartaan iman Kristiani) menjadi penting untuk disimak. Pemikir Kristiani bersikap kritis dalam menjawab gagasan filsafat Yunani. Adalah Origenes [Bapa Gereja di abad ke-2] yang menggunakan filsafat Platonis untuk menyusun argumen dan bentuk teologi Kristiani. Dia unggul dalam menangkis serangan filsuf Yunani dengan gagasan Teologi yang bernalar rasional. Kebenaran ilmu pengetahuan bertumpu pada akal budi tetapi teologi Kristiani bertumpu pada wahyu Kristiani. Kebenaran kristiani membawa penyelamatan dan berpuncak pada pewahyuan tentang Kristus. Karena itu perjumpaan ilmu pengetahuan (akal budi) dan pemahaman akan Allah (Teologi) harus saling melayani dan mendukung. Sebab jika tidak, keduanya akan menuai kepicikan dan ketimpangan ilmu yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kebaikan umat manusia.

Ada Berapa Jumlah Injil?

31

Kata ‘injil’ umumnya diartikan sebagai rekaman tertulis akan perkataan dan perbuatan Yesus. Asal katanya dari bahasa Yunani, ‘euaggelion’, atau dalam bahasa Latin ‘Evangelium‘, yang artinya adalah “Kabar Gembira”. Maka kisah yang dituliskan di sana adalah kisah yang berhubungan dengan kehidupan Kristus. Menurut New Advent Catholic Encyclopediaklik di sini, terdapat sekitar 50-an karya-karya tulis di abad- abad awal yang menulis tentang Pribadi dan karya Kristus, dan ada 20 karya yang disebut ‘injil’ walaupun hanya empat kitab Injil yang disebut Injil kanonik, artinya dinyatakan oleh Gereja sebagai Injil yang ditulis atas ilham Roh Kudus. Keduapuluh Injil tersebut adalah:

1-4. Injil Kanonik: Injil Matius, Markus, Lukas, Yohanes
5. Injil menurut jemaat Ibrani
6. Injil Petrus
7. Injil menurut jemaat Mesir
8. Injil Matias
9. Injil Filipus
10. Injil Tomas
11. Proto-evangelium Yakobus
12. Injil Nicodemus (Acta Pilati)
13. Injil Keduabelas Rasul
14. Injil Basilides
15. Injil Valentinus
16. Injil Marcion
17. Injil Hawa
18. Injil Yudas
19. Tulisan Genna Marias
20. Injil Teleioseos

Namun dari keduapuluh Injil ini hanya empat yang diakui oleh Gereja sebagai Injil yang ‘diilhami oleh Roh Kudus’, yaitu Injil Matius, Markus, Lukas, Yohanes. Keempat Injil tersebut ditulis sendiri oleh rasul Kristus (Matius dan Yohanes) atau oleh murid rasul Kristus (Markus, murid Rasul Petrus dan Lukas, murid Rasul Paulus). Keempat Injil tersebut: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes ini ditetapkan sebagai Injil Kanonik/ termasuk dalam Kanon Kitab Suci Perjanjian Baru, pertama- tama oleh Paus Damasus I (382) dan kemudian diteguhkan oleh Konsili Hippo (393) dan Carthage (397) dan konsili- konsili berikutnya, sebagaimana pernah diulas di sini, silakan klik.

Kesaksian tentang keempat kitab Injil ini diberikan oleh beberapa Bapa Gereja di abad-abad awal, terutama oleh Papias, St. Irenaeus, Origen, Eusebius dan St. Jerome (Hieronimus):

1. Kesaksian St. Irenaeus tentang keempat Injil

St. Irenaeus adalah murid St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam bukunya yang terkenal Against the Heresies, St. Irenaeus (180) menggarisbawahi asal usul apostolik kitab Injil, sebagai berikut:

“Kita telah mengetahui bukan dari siapapun tentang rencana keselamatan kita kecuali dari mereka yang melaluinya Injil telah diturunkan kepada kita, yang pada suatu saat mereka ajarkan di hadapan publik, dan yang kemudian, sesuai dengan kehendak Tuhan, diturunkan kepada kita di dalam Kitab Suci, untuk menjadi dasar dan tonggak dari iman kita…. Sebab setelah Tuhan kita bangkit dari mati [para rasul] diberikan kuasa dari atas, ketika Roh Kudus turun [atas mereka] dan dipenuhi oleh semua karunia-Nya, dan mempunyai pengetahuan yang sempurna: mereka berangkat menuju ujung-ujung bumi, mengajarkan kabar gembira yang diberikan oleh Tuhan kepada kita…. Matius… menuliskan Injil untuk diterbitkan di antara orang Yahudi di dalam bahasa mereka, sementara Petrus dan Paulus berkhotbah dan mendirikan Gereja di Roma…. Markus, murid dan penerjemah Petrus, juga meneruskan kepada kita secara tertulis, apa yang biasanya dikhotbahkan oleh Petrus. Dan Lukas, rekan sekerja Paulus, juga menyusun Injil yang biasanya dikhotbahkan Paulus. Selanjutnya, Yohanes, murid Tuhan Yesus ….juga menyusun Injil ketika tinggal di Efesus, Asia Kecil.” ((St. Irenaeus, Against the Heresies, book III, ch. 1,1))

2. Kesaksian St. Klemens tentang keempat Injil, sebagaimana dikutip oleh Eusebius

Tentang keempat Injil, St. Klemens dari Aleksandria (150-215) sebagaimana dikutip Eusebius mengatakan, “Injil-Injil yang memuat silsilah Yesus [yaitu Matius dan Lukas], ditulis lebih dahulu. Injil Markus ditulis sedemikian, “Ketika Petrus telah berkhotbah di hadapan umum di Roma, dan mewartakan Injil oleh Roh Kudus, banyak orang yang hadir meminta agar Markus, yang telah mengikuti dia [Petrus] untuk waktu yang lama dan mengingat perkataannya, agar menuliskan perkataan-perkataan tersebut. Dan setelah menyusun Injil itu, ia memberikannya kepada mereka yang memintanya. Ketika Petrus mengetahui hal ini, ia tidak secara langsung melarang ataupun mendukungnya. Tetapi, pada akhirnya, Yohanes, merasa bahwa fakta- fakta yang nampak dari luar telah dinyatakan dengan jelas di Injil, [karena] didorong oleh teman-temannya, dan diilhami oleh Roh Kudus, menyusun Injil rohani.” ((St. Klemens sebagaimana dikutip oleh Eusebius, Ecclesiastical History 6.14.5-7))

3. Kesaksian Origen tentang keempat Injil

Origen (185-254) juga menulis tentang asal usul Injil, demikian:

“[Injil] yang pertama dituliskan oleh Matius, yang adalah seorang publikan tetapi kemudian menjadi rasul Yesus Kristus, yang menerbitkannya untuk umat Yahudi, dituliskan dalam bahasa Ibrani. [Injil] kedua oleh Markus, yang disusun di bawah bimbingan St. Petrus, yang telah mengangkatnya sebagai anak… (1 Pet 5:17). Dan ketiga, menurut Lukas, yang menyusunnya untuk umat non-Yahudi, Injil yang dibawakan oleh Rasul Paulus; dan setelah semuanya itu, [Injil] menurut Yohanes.” ((Origen, In Matthew. I, sebagaimana dikutip Eusebius, Ecclesiastical History 6.25.3-6))

Dari kesaksian para Bapa Gereja, yaitu Papias, St. Irenaeus, Origen, Eusebius dan St. Jerome (Hieronimus), kita mengetahui asal usul apostolik keempat Injil, yang bersumber dari pengajaran para Rasul. Para Bapa Gereja ini menjadi saksi yang meneguhkan bahwa Injil Matius ditulis oleh Rasul Matius, Injil Markus ditulis oleh Markus, Injil Lukas oleh Lukas, dan Injil Yohanes, oleh Rasul Yohanes. Keempat Injil tersebut saling melengkapi, karena dalam menyampaikan suatu fakta yang sama, pengarang Injil menulis dari sisi yang berbeda sesuai dengan latar belakangnya, dan juga sesuai dengan ilham Roh Kudus yang dinyatakan kepada mereka.

Maka, otentisitas ke-empat Injil ini diketahui dari tulisan para Bapa Gereja yang menjadi penerus para Rasul. Para Bapa Gereja itulah yang mengkonfirmasi bahwa keempat Injil tersebut memang sungguh ditulis oleh orang yang namanya disebutkan sebagai pengarang Injil tersebut. Sedangkan injil-injil lainnya tidak dapat dikonfirmasi ditulis oleh rasul ataupun orang yang namanya diasosiasikan dengan injil itu. Artinya, walaupun tulisan itu diatributkan kepada rasul tertentu atau orang-orang yang hidup di zaman para Rasul, namun umumnya dituliskan di abad-abad sesudahnya- yaitu abad ke-dua atau abad-abad sesudahnya; dan dengan demikian tidak dapat disebut sebagai Injil yang otentik ditulis oleh pengarangnya, dan karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa tulisan itu diinspirasikan oleh Roh Kudus. Sedangkan Gereja selalu menekankan bahwa Injil yang otentik itu adalah Injil yang asli berasal dari pengajaran para Rasul yang dituliskan, dan tentang ini hanya ada empat Injil, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.

Konsili Vatikan II mengajarkan: “Selalu dan di mana-mana Gereja mempertahankan dan tetap berpandangan, bahwa keempat Injil berasal dari para rasul. Sebab apa yang atas perintah Kristus diwartakan oleh para rasul, kemudian dengan ilham Roh ilahi diteruskan secara tertulis kepada kita oleh mereka dan orang-orang kerasulan [apostolic men], sebagai dasar iman, yakni Injil dalam keempat bentuknya menurut Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes.” (Konsili Vatikan II, tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 18).

Apa keutamaan Rasul Yohanes?

8

Rasul Yohanes dicatat di dalam Kitab Suci sebagai “murid yang dikasihi Yesus” (Yoh 13:23; 19:26; 20:2; 21:7,20). Kitab Suci tidak menyebutkan secara eksplisit mengapa Rasul Yohanes dikasihi oleh Tuhan Yesus, namun kita dapat melihat dengan jelas, akibat kasih Yesus itu terhadap Rasul Yohanes, yaitu bahwa ia dapat mengajarkan/ menjabarkan tentang kasih Allah itu secara mendalam. Sebab walaupun ketiga Injil lainnya (Matius, Markus, dan Lukas) juga menuliskan tentang kasih Allah, namun tema kasih Allah yang adalah Sang Kasih itu sendiri merupakan tema sentral tulisan Rasul Yohanes, baik Injil maupun surat-suratnya.

Tema kasih Allah dalam tulisan Rasul Yohanes dan tidak disebutkannya alasan eksplisit tentang mengapa Rasul Yohanes dikasihi oleh Tuhan Yesus, mengajarkan kepada kita beberapa hal:

1. Allah tidak memberi persyaratan tertentu terlebih dahulu sebelum Ia dapat mengasihi kita.

Allah mengasihi kita terlebih dahulu tanpa syarat, baru kemudian kita diundang untuk menanggapi kasih-Nya itu. Allah-lah yang pertama-tama mengambil inisiatif untuk mengasihi kita. Melalui kesaksian Rasul Yohanes, kita mengenal kasih Allah yang disebutkannya demikian, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (1Yoh 4:10)

“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” (1Yoh 4: 19)

2. Kasih Allah ditunjukkan dengan Allah yang mengutus Putera-Nya Yesus Kristus, agar kita diangkat menjadi anak-anak Allah dan dapat beroleh kehidupan kekal.

Rasul Yohanes mengajarkan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16)

“Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah.” (1Yoh3:1)

3. Setelah menerima kasih Allah, maka seseorang dapat mengasihi Tuhan dan sesamanya dengan lebih penuh.

Hal ini juga diajarkan dalam surat Rasul Yohanes, “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih…. Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi.” (1Yoh 4:7-11)

“Saudara-saudara yang kekasih, bukan perintah baru yang kutuliskan kepada kamu, melainkan perintah lama yang telah ada padamu dari mulanya… Namun perintah baru juga yang kutuliskan kepada kamu, telah ternyata benar di dalam Dia dan di dalam kamu… Barangsiapa berkata, bahwa ia berada di dalam terang, tetapi ia membenci saudaranya, ia berada di dalam kegelapan sampai sekarang. Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada di dalam terang, dan di dalam dia tidak ada penyesatan…” (1Yoh 2:7-10)

4. Kasih kepada Tuhan dan sesama ini diwujudkan dengan melaksanakan perintah-perintah Tuhan, sebagaimana telah dicontohkan oleh Kristus.

Yesus berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.” (Yoh 15:13-14)

Rasul Yohanes mengajarkan, “Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran. Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia. Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.” (1Yoh 2:4-6)

5. Jika dunia telah menganiaya Kristus, maka dunia juga akan menganiaya kita yang mengasihi Kristus.

Kristus mengatakan, “Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya. Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu; jikalau mereka telah menuruti firman-Ku, mereka juga akan menuruti perkataanmu. Tetapi semuanya itu akan mereka lakukan terhadap kamu karena nama-Ku, sebab mereka tidak mengenal Dia, yang telah mengutus Aku.” (Yoh 15:20-21)

6. Bahwa kasih Tuhan itu akan suatu saat nanti mengubah kita menjadi serupa dengan Kristus.

Rasul Yohanes mengajarkan bahwa jika kita setia untuk tinggal di dalam Kristus maka kita akan memandang Allah, “Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya.” (1Yoh 3:2)

7. Kasih Allah itu tidak terlepas dari keadilan-Nya.

Namun kasih Tuhan tidak terlepas dari keadilan-Nya, sebab, “Barangsiapa berbuat baik, ia berasal dari Allah, tetapi barangsiapa berbuat jahat, ia tidak pernah melihat Allah.” (3 Yoh 1:11) Jika ‘melihat Allah dalam keadaan-Nya yang sebenarnya’ kita alami di surga, maka mereka yang tidak melihat Allah adalah mereka yang, oleh keputusannya sendiri berbuat jahat, dan kerenanya tidak masuk surga. Keadilan Allah menentukan demikian.

Maka yang perlu dilakukan oleh kita manusia adalah bertobat dan mengakui dosa kita di hadapan Allah yang setia dan adil, agar kita memperoleh pengampunan-Nya (lih. 1Yoh1:9)

Selanjutnya, Rasul Yohanes menjabarkan tentang keadilan Allah secara lebih rinci dalam Kitab Wahyu, di mana pada akhirnya kejahatan akan dikalahkan oleh Kristus.

Jika kita menghubungkan prinsip- prinsip ini dengan kehidupan Rasul Yohanes sendiri, maka kita dapat memperkirakan bahwa Rasul Yohanes telah mengalami kasih Kristus itu, dan inilah yang memampukannya untuk mengasihi Kristus, sebagaimana dituliskan dalam Injil. Rasul Yohanes mengalami bahwa Allah lebih dahulu mengasihi dia, sehingga ia terdorong untuk membalas kasih-Nya itu. Rasul Yohanes adalah sahabat Yesus di saat suka dan duka: ia mengikuti Yesus sejak awal mula, menjadi salah satu dari tiga orang murid Yesus yang terdekat. Bersama dengan Rasul Petrus dan Yakobus, Rasul Yohanes menjadi saksi kebangkitan anak perempuan Yairus (Mrk 5:27), saksi saat Transfigurasi -Yesus dimuliakan di atas gunung (Mat 17:1) dan saksi penderitaan Yesus di taman Getsemani (Mat 26:37). Rasul Yohanes duduk di sisi kanan Yesus dan bersandar kepada-Nya saat Perjamuan Terakhir (lih. Yoh 13:23,25). Yohanes adalah satu-satunya Rasul yang setia menyertai Kristus sampai wafat-Nya, berdiri bersama Bunda Maria di kaki salib-Nya, dan menerima Bunda Maria sebagai ibunya sendiri sebagaimana dikehendaki oleh Kristus (lih. Yoh 19:25-27). Setelah kebangkitan Kristus, Yohanes dan Petrus adalah Rasul pertama yang bergegas ke kubur Yesus, dan percaya bahwa Kristus telah bangkit (lih Yoh 21:2-10). Ketika Yesus menampakkan diri-Nya di danau Genesaret, Rasul Yohanes adalah yang pertama dari ketujuh murid itu yang mengenali Kristus (Yoh 21:7).

Selanjutnya, setelah menerima Roh Kudus, bersama dengan Rasul Petrus, ia mengambil tempat utama dalam membimbing jemaat. Ia menyertai Rasul Petrus, saat orang lumpuh di bait Allah disembuhkan (Kis 3:1-). Bersama Petrus, ia dimasukkan penjara (lih. Kis 4:3). Ia rela menerima resiko sebagai pengikut Kristus, yang dikejar-kejar dan diasingkan di pulau Patmos, di mana ia menerima wahyu ilahi (lih. Why 1:9). Ia diasingkan di Patmos di zaman kaisar Domitian (81-96). Sebelum itu (sekitar tahun 95), menurut kesaksian Tertullian (De praescript., xxxvi), Yohanes luput dari maut saat dibuang/ dicemplungkan di dalam minyak mendidih di Porta Latina, Roma, namun ia keluar tanpa luka, dan selamat. Setelah kaisar Domitian wafat, Rasul Yohanes kembali ke Efesus dan wafat sekitar tahun 100 di usia lanjut. Melihat tahun wafatnya, dan umur rata- rata manusia pada zaman Yesus umumnya tidak panjang, maka memang dapat diperkirakan bahwa Yohanes adalah murid Yesus yang muda usianya saat mengikuti Yesus. Atas dasar ini Rasul Yohanes sering diasumsikan sebagai murid yang termuda di antara para rasul, yaitu kemungkinan sekitar 20 tahun-an- pada saat menjadi murid Yesus di tahun 30-an.

Maka mungkin jika ingin disebutkan, keistimewaan Rasul Yohanes adalah ia adalah murid Yesus yang peka terhadap kasih Allah yang dialaminya di dalam Kristus, dan ia menanggapi dengan membalas kasih itu. Hal ini kita ketahui dari begitu indahnya ia mengungkapkan kasih Tuhan melalui tulisan-tulisannya maupun di dalam kesaksian hidupnya sendiri.

Sedangkan tentang keistimewaan Injil Yohanes, menurut para Bapa Gereja adalah, bahwa Injil tersebut pertama- tama dituliskan untuk mematahkan ajaran sesat Ebion dan Cerinthus di Asia di abad pertama itu, yang menolak ke-Allahan Yesus dan keberadaan-Nya sebelum kelahiran-Nya di dunia. Alasan lainnya adalah untuk memberikan penjelasan yang melengkapi penjabaran ketiga Injil sinoptik. Maka Rasul Yohanes lebih banyak menyampaikan pengajaran Kristus, dan lebih sedikit mencatat tentang mujizat-mujizat-Nya [sebab tentang mujizat telah banyak dicatat di ketiga Injil lainnya]. Karena tujuan utamanya adalah untuk menyatakan ke-Allahan Kristus, Rasul Yohanes memulai Injilnya dengan ‘pada awal mula kekekalan dan penciptaan dunia’. Subyek dan cara penyampaiannya sangatlah tinggi/agung dan penuh misteri/ rahasia, sehingga Theodoret mengatakan bahwa Injil Yohanes mengajarkan sebuah “Teologi yang tidak dapat diresapi dan ditemukan sepenuhnya oleh pemahaman manusia semata.” Oleh karena itu Rasul Yohanes digambarkan oleh para Bapa Gereja sebagai burung elang yang terbang tinggi menembus awan, di mana mata manusia yang lemah tidak akan sanggup mengikutinya.

Lebih lanjut tentang kisah hidup Rasul Yohanes, silakan klik di link ini, dan di link ini.

Keep in touch

18,000FansLike
17,700FollowersFollow
30,300SubscribersSubscribe

Podcasts

Latest sermons