Usaha dan persiapan yang matang
Seorang warga negara Italia bernama Vincenzo Lombardi mengatakan: “Setiap orang memiliki hak untuk menjadi pemenang, tetapi sedikit sekali yang menyiapkan dirinya sunguh-sungguh untuk menjadi pemenang”. Keberhasilan seseorang atau sebuah lembaga khususnya pendidikan Katolik tidak mungkin terjadi tanpa sebuah usaha dan persiapan yang matang. Sebagai contoh: kalau anda mencermati tayangan TV dalam judul American got talent atau Indonesian got talent anda akan melihat dengan jelas kemampuan luar biasa dari seseorang atau kelompok yang diragukan dan diremehkan baik oleh dewan juri maupun penonton menjadi pemenang dalam acara tersebut oleh karena sebuah faktor yang tidak tersentuh. Contoh, siapa menyangka seorang ibu rumah tangga bernama Susan Boyle berumur 47 tahun, wajahnya mirip seorang nenek, tubuhnya gemuk dan bongsor mengikuti kontestan Britain’s got talent memesona dewan juri dan penonton dengan suaranya yang indah dan merdu mengingatkan akan artis Josh Groban. Dia mengatakan: “Kalau saya berhasil saya ingin mengubah dunia, mengubah pandangan orang-orang”. Demikianlah dalam dunia lembaga pendidikan Katolik (LPK) perlu adanya usaha dan persiapan yang matang dalam mengelola pendidikan terutama mendayagunakan kemampuan yang tidak tersentuh (intangibles).
Melakukan perubahan mulai dari yang inti
Para filsuf modern (George Axtile, William O. Stanley, Lawrence B. Thomas) yang tergabung dalam aliran filsafat pendidikan progresivisme mengatakan bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang maka diperlukan perubahan. Bagi mereka, perubahan itu adalah sesuatu yang tetap. Walau prinsip ini dapat mengacu kepada konsep relativism (yaitu kebenaran menjadi sesuatu yang relatif dan berubah- ubah) dan karena itu ditolak oleh Paus Pius X dan Paus Benediktus XVI, namun dalam lingkup dunia pendidikan, perubahan itu mutlak diperlukan untuk kebaikan dan kemajuan sesuai dengan konteksnya. Maksudnya adalah perubahan dibutuhkan agar kebenaran yang diajarkan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan inti pendidikan. Perubahan itu dimulai dari melihat dan berpijak pada jati diri pendidikan yang tidak lain adalah inti (core) pendidikan. Apa itu? Inti pendidikan Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) sesuai dengan Nota Pastoral KWI tentang Pendidikan tahun 2008 adalah : (1) setia terhadap pencerdasan kehidupan bangsa, (2) setia terhadap ciri khas Katolik, dan (3) setia terhadap semangat luhur (spiritualitas) pendiri. (Untuk memahami hal ini bacalah: UU 20/2003 Sistem Pendidikan Nasional, Dokumen Konsilili Vatikan II, 1965 tentang Deklarasi Pendidikan Kristen Gravissimum Educationis, Dokumen Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, 1977 tentang Sekolah Katolik, Dokumen Kongregasi Suci 1982 tentang Awam Katolik di Sekolah: Saksi-Saksi Iman, Dokumen Kongregasi Suci, untuk Pendidikan Katolik, 1988 tentang Dimensi Religius Pendidikan di Sekolah Katolik, Kitab Hukum Gereja 1983 tentang Pendidikan Katolik dan Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik, Ex Corde Ecclesiae tentang Universitas Katolik).
Bila kita telisik lebih jauh kesetiaan terhadap pencerdasan kehidupan bangsa itu merupakan tugas dan tanggungjawab Gereja Katolik juga, khususnya LPK. Tanggungjawab itu terwujud dalam partisipasi masyarakat Katolik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain tanggungjawab dalam partisipasi itu, tugas dan tanggungjawab ikut mencerdaskan bangsa merupakan wujud kesetiaan terhadap ciri khas Katolik. Itu berarti harus mengindahkan pedoman dan ajaran Gereja Katolik pada tingkat universal dan lokal. Kesetiaan terhadap ciri khas tercermin pula dalam kesetiaan terhadap semangat luhur (spiritualitas) pendiri. Berarti pula, LPK berkewajiban mengemban visi dan misi pendiri masing-masing sesuai dengan konteks zamannya.
Namun perlu diingat bahwa perubahan yang hanya terjadi pada aspek fisik (yang kasat mata bisa tersentuh) tidak akan bertahan lama. Perubahan yang dibutuhkan adalah menyangkut tata nilai yang menjadikan brand image LPK di mata masyarakat. Untuk itu hanya bisa dilakukan pada aspek non- fisik (yang tidak kasat mata, yang tidak tersentuh). Banyak hal pengembangan LPK dilihat dari sisi fisik (yang tersentuh) saja seperti bangunan, dan kita belum melihat sisi non- fisik (yang tidak tersentuh). Padahal sekarang ini yang membuat lembaga, perusahaan, tetap eksis dan bermutu adalah pengembangan (development) dari sisi yang tidak tersentuh (intangibles). Kekuatan daya saing di era kompetisi untuk keunggulan pendidikan terletak pada sisi intangibles. Apa itu?
Intangibles apa itu?
Intangibles adalah sesuatu tata nilai yang melekat secara utuh dalam diri seseorang dan membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan sesuatu peningkatkan kinerja (performance) dalam diri seseorang (bdk. Prof. Rhenald Kasali: “Myelin mobilisasi intangibles menjadi kekuatan perubahan”, PT. Gramedia Jakarta 2010, p.45). Mutatis mutandis dalam dunia lembaga pendidikan Katolik seperti sekolah akan berkembang dengan kualitas yang luar biasa dan memiliki daya saing yang kuat dengan Lembaga pendidikan lain jika membangun intangibles dalam bentuk tata nilai seperti: disiplin, kerja keras, kejujuran, bertangungjawab dan lainnya menjadi sebuah brand image lembaga pendidikan di mata masyarakat. Salah satu cara menanamkan tata nilai dalam pribadi-pribadi yang bergiat di LPK adalah dengan pelatihan (training). Training tersebut berintikan pada tata nilai yang harus dimiliki dan menjadi habitus bagi insan pendidikan sehingga mampu mendayagunakan untuk pengembangan diri dan lembaga dimana dia bekerja. Intangibles itu terdiri dari dua hal yakni internal intangibles dan external intangibles. Internal lebih kepada pembentukan karakter pribadi seseorang karena dari dalam dirinya, perubahan dimulai dari motivasi dirinya sedangkan eksternal lebih karena latihan dari luar dirinya (adanya faktor pemicu atau daya dongkrak) yang harus dilakukan secara ketat dan rutin. Lama kelamaan yang eksternal akan menjadi miliknya sendiri (internal) meski tanpa ada latihan berikutnya
Membangun intangibles dalam bentuk tata nilai
Seorang penggiat bidang pendidikan sebelum melakukan aktivitas di LPK hendaknya menjalankan proses penanaman nilai yang menjadi brand image LPK tersebut. Dalam pelatihan membangun intangibles dalam bentuk tata nilai menempuh tiga tahapan. Tahap pertama disampaikan pentingnya nama baik LPK di mata masyarakat. Karena nama baik LPK menyangkut citra lembaga. Guru misalnya diimbau untuk menjunjung tinggi citra lembaga pendidikan (sekolah Katolik) di mana dia bekerja. Guru wajib memahami pentingnya image branding, dan jangan sampai citra sekolah dirusak oleh tindakan guru yang berperilaku tidak baik. Tata nilai ini harus ditanamkan sejak dini ketika dia memasuki dunia pendidikan Katolik. Karena memakai nama Katolik, berarti secara hukum (bdk. kan. 803, §3, KHK 1983) mengatasnamakan Gereja Katolik, maka wajib nilai-nilai spiritual dan moral agama Katolik diajarkan kepada seluruh insan pendidikan. Seperti misalnya nilai kejujuran adalah suatu ibadah sehingga diharapkan tidak ada korupsi waktu maupun uang. Guru misalnya diharapkan bekerja dengan tujuan beribadah mengamalkan nilai-nilai iman Katolik di lembaga tersebut. Tahap kedua adalah pelatihan pengembangan diri (development training). Di sinilah diadakan diskusi, pelatihan pengajaran bermutu, pelbagai macam masalah pendidikan disosialisasikan dan diberi ketrampilan tentang menjadi guru Katolik yang bermutu. Tahap ketiga adalah pelatihan evaluasi kinerja. Guru dibekali dengan ketrampilan mengevaluasi kinerja pendidikan, membahas tentang bagaimana secara sadar melakukan evaluasi kinerja pribadi dan sekolah guna mencapai mutu pendidikan Katolik sesuai dengan visi misi LPK tersebut.
Ketiga tahapan ini hendaknya dijalankan secara ketat dan berkelanjutan, niscaya LPK menjadi lembaga pendidikan Katolik yang bukan hanya baik, melainkan menjadi hebat karena memiliki kekuatan yang tidak tersentuh (intangibles) dan dapat menghasilkan insan-insan pendidikan yang bermutu. Salah satu kunci dari keberhasilan setelah melalui ketiga tahapan tersebut adalah bagaimana setiap insan pendidikan memiliki budaya disiplin. Budaya disiplin adalah salah satu kunci keberhasilan perubahan LPK yang hebat dan bermutu. Budaya disiplin itu meliputi: bekerja sesuai dengan perencanaan dan menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk bekerja, melakukan proses kerja yang teratur dan terencana, meningkatkan kualitas kinerja setiap insan pendidikan, melakukan hubungan/komunikasi yang positif guna membangun lembaga pendidikan, bekerja untuk menghasikan sesuatu sesuai target. Teori ini dapat diringkas ke dalam PDCA circle: plan, do, check, action.
“Pekerjaan merupakan kebanggaan dan rasa bangga itu muncul ketika seorang insan pendidikan melakukan pekerjaannya dengan baik”.
Penulis: Pemerhati bidang pendidikan, alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Biologi Universitas Udayana Denpasar 1982.