Home Blog Page 173

Tentang Fenomena Fr. Gobbi

3

Menurut informasi yang kami sarikan dari link EWTN (Eternal Word Television Network), silakan klik, dapatlah kita simpulkan dua hal yang berbeda, yang berkaitan dengan Fr. Stefano Gobbi: 1) Gerakan The Marian Movement of Priests yang diprakarsai/ didirikan oleh Fr. Gobbi di tahun 1972 merupakan gerakan yang diakui/ diterima oleh Tahta Suci. 2) Namun hal lokusi/ pengalaman rohaninya (interior locusions)-nya  belum mendapat pengakuan dari Tahta Suci.

The Marian Movement of Priests adalah sebuah asosiasi klerus Katolik dan kaum awam pembantu mereka, yang didirikan oleh Fr. Gobbi. Ketika mengunjungi tempat ziarah di Fatima, Portugal, ia terdorong untuk memulai karyanya ini yang menekankan kepada konsekrasi -terutama para imam- kepada Hati Maria yang tak bernoda, dan kesetiaan yang menyeluruh kepada Magisterium. Gerakan ini mempopulerkan doa senakel, yaitu doa bagi para imam, di seluruh dunia.

Namun demikian, gerakan ini juga mempunyai kontroversi dalam hal pernyataan Fr. Gobbi yang mengklaim telah menerima pesan-pesan dari Bunda Maria, yang dicatatnya dalam buku hariannya. Buku ini dicetak dengan judul To the Priests, Our Lady’s Beloved Sons (yang kemudian diganti menjadi Our Lady Speaks to Her Beloved Priests). Walaupun sudah dicetak, tidak berarti bahwa pesan yang tertulis di dalamnya otentik. Kongregasi Ajaran Iman di Vatikan mengeluarkan surat kepadanya, meminta agar Fr. Gobbi menyatakan secara eksplisit bahwa pesan-pesan itu hanyalah buah dari meditasinya sendiri. Namun Fr. Gobbi mengatakan bahwa ia mempercayainya bahwa apa yang dinyatakan kepadanya adalah benar.

Namun fakta menunjukkan bahwa beberapa pernyataannya tentang akhir dunia, terbukti salah. Pada tanggal 11 Sept 1988 Fr. Gobbi mengklaim bahwa Bunda Maria mengatakan, bahwa dalam waktu 10 tahun (yaitu 1998) selesailah masa ‘great tribulation‘ dan artinya terjadi akhir dunia. Namun faktanya, hal ini tidak terjadi. Beberapa pernyataan ‘locutions‘- nya yang lain, yang disebutkan juga di link yang Anda sertakan (atau juga di link ini, silakan klik),  juga tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Melihat kenyataan ini, seseorang dapat  mempertanyakan keotentikan lokusi-lokusi yang dialami Fr. Gobbi. Fakta ini juga menunjukkan bahwa seorang yang baik dan kudus hidupnya tetap dapat salah menginterpretasikan pengalaman rohaninya. Hal ini tidak dapat menjadi indikasi bahwa Fr. Gobbi menipu, namun faktanya saja, bahwa ia sebagai manusia, dapat salah menginterpretasikan pengalaman rohaninya, sekalipun ia bermaksud baik pada saat menyampaikannya.

Sebelum wafatnya di tahun 2011 yang lalu, Fr. Gobbi selalu bersikap kooperatif ketika diperiksa oleh pihak Vatikan, dan kini setelah ia wafat, pemeriksaan tentang keotentikan lokusi dan pesan- pesan dari Bunda Maria kepada para imamnya dan para awam yang mendukung mereka, akan terus berlanjut.

Mari kita percayakan hal pemeriksaan ini kepada pihak otoritas Gereja Katolik, yang pasti akan menelitinya dengan seksama, sebelum mengeluarkan suatu pernyataan sehubungan dengan fenomena yang dialami oleh Fr. Gobbi ini.

Memikul salib = berpegangan pada salib

1

Saya meletakkan gagang telepon dengan kesal, setelah sebelumnya mengakhiri percakapan dengan ketus. Kemudian saya tercenung, sesaat terbayang perasaan wanita yang menawarkan produk kepada saya tadi, dan seketika perasaan menyesal pun datang. Ya ampun, gagal lagi deh saya, pikir saya dengan sendu. Teringat tadi ketika bangun tidur, saya mengatakan kepada Tuhan dalam doa pagi, “Tuhan, hari ini saya hendak menyapa semua orang dengan lemah lembut dan tidak menghakimi siapapun juga”. Saya begitu bersemangat ketika menyampaikan tekad itu. Pasti Tuhan gembira bahwa dalam Masa Prapaskah ini, saya mengusahakan satu niat baik yang berbeda setiap hari untuk diusahakan sekuat tenaga, sehingga masa pantang dan puasa menjelang Paskah ini sungguh merupakan kesempatan untuk bertransformasi, berubah menuju pembaharuan budi, menyalibkan kebiasaan-kebiasaanku yang buruk bersama Yesus di kayu salib, supaya aku boleh ikut mati bagi dosa dan hidup bersama dan bagi Yesus. Tetapi kini saya merasa kecil dan malu. Semangatnya boleh, pikir saya, tapi baru dapat tantangan sedikit saja, sudah keok.

Pagi itu saya sedang banyak pekerjaan. Saat sedang sibuk membagi konsentrasi dan berjibaku membagi tangan saya yang hanya dua untuk mengurus beberapa kepentingan sekaligus, telepon berbunyi, dari seorang customer service bank di mana saya menabung. Ia memberikan informasi terkini mengenai produk-produk perbankan dan mengajak saya bicara sedikit mengenai investasi keuangan. Telepon yang amat sangat tidak penting, pikir saya, di saat pekerjaan sedang begitu menumpuk, ditambah uraian penjelasan staf bank itu, yang terpaksa harus saya dengarkan. Kelembutan bicara saya segera menguap entah ke mana dan saya menjawab penawaran staf itu dengan ketus, tanpa senyum, tanpa kasih sedikitpun. Saya gagal menahan diri dan berusaha tetap bersikap ramah, berusaha meluangkan waktu sedikit saja bagi sesama. Dengan kekasaran sikap saya itu, dalam hati saya telah menghakimi wanita itu seolah sebagai seorang customer service yang tak tahu sopan santun, padahal sebetulnya saya tahu, dengan sedikit kasih saja, saya akan berhasil mengerti dia sebagai seseorang yang sekedar tengah melakukan pekerjaannya. Kasih dan pengertian sesungguhnya selalu mampu mematahkan segala bentuk penghakiman negatif kepada sesama. Saya malu dan sedih bahwa janji saya pada Tuhan di awal hari itu segera menjadi teori belaka, padahal waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi, hari masih panjang, menanti saya membuktikan tekad-tekad saya berikutnya kepada Tuhan.

Menurut catatan saya, kisah niat baik yang dalam sekejap sudah gagal, karena pencetus yang sederhana, masih bisa panjang daftarnya. Kita mungkin mengalaminya juga. Niat untuk tidak bergosip mengenai kelemahan orang lain, yang segera runtuh ketika teman-teman sekantor mengeluhkan sikap salah seorang teman yang menyebalkan. Seolah-olah sikap seseorang yang menyebalkan menghalalkan saya untuk membicarakan keburukannya di belakang punggungnya. Atau gagal menahan laju mobil saya untuk memberi kesempatan pada pengendara sepeda motor yang hendak menyeberang. Gagal meredam nada tinggi suara saya saat si kecil menumpahkan makanannya secara tidak sengaja di atas meja. Gagal bersikap rendah hati dan mau mengakui kesalahan ketika orang serumah menegur saya. Dan masih banyak lagi. Lebih sering saya menganggap orang lain yang perlu diperbaiki, daripada mengintrospeksi diri untuk mengakui bahwa diri saya sendirilah yang sesungguhnya perlu untuk berubah dan diperbaiki. Kemudian, apakah aku telah memperhatikan apakah sesama di sekitarku membutuhkan sapaan kasih dan uluran tanganku, kadang kudapati diriku sibuk dengan urusan diriku sendiri saja. Kemudian apakah aku mampu mengenali perasaan iri hati dan mengendalikannya manakala orang lain lebih berhasil, apakah aku sudah mengendalikan diri untuk tidak terlalu larut dalam kesenangan duniawi misalnya dalam hal berbelanja atau menyantap makanan. Memang semua itu hanya hal-hal kecil saja, tetapi dari hal-hal kecil saya belajar untuk berdisiplin juga dalam hal-hal yang besar. Ketika kita setia dalam perkara kecil, Tuhan akan mempercayakan perkara yang lebih besar kepada kita (Mat 25:23). Lagipula, Yesus memanggil kita untuk menjadi sempurna, sama seperti Bapa di sorga adalah sempurna (Mat 5:48).

Demikianlah yang selalu saya alami bila saya hanya mengandalkan kekuatan dan hikmat saya sendiri, menjadi begitu mudahnya saya gagal dan jatuh lagi. Tadinya saya begitu bersemangat, merasa diri saya begitu penting, begitu yakin, bahwa peperangan hari itu akan menjadi milik saya. Saya lupa, bahwa Tuhan tidak pernah bermaksud meminta saya untuk seorang diri saja dalam melawan dosa, dengan segala kesombongan saya, kebijaksanaan saya yang sempit, dan perbuatan kasih saya yang masih sering berpamrih. Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. (Filipi 2 : 12-13)

Begitu saya bertumpu pada kekuatan diri sendiri, tak makan waktu lama untuk menyerah kalah pada dominasi ego dan bujukan si jahat yang sigap memanfaatkan kelengahan saya setiap saat. Tetapi bersama Firman-Nya, bersama hikmat kasih-Nya yang sabar dan lemah lembut, saya lebih mudah mengerti akan situasi yang tidak enak dan sesama yang sulit, bahagia mengendalikan diriku bersama Dia. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Mat 11 : 29-30).

Soal marah, memang ada kalanya saya juga harus marah bila situasi menuntut demikian, misalnya berhadapan dengan kemalasan atau ketidakadilan pada sesama, tetapi bersama Tuhan, saya marah dengan cara Tuhan, yang sangat jauh berbeda hasilnya bila saya marah dengan cara saya sendiri yang cenderung merusak dan melukai.

Minggu ini kita memperingati Tuhan Yesus yang lembut dan rendah hati, yang mengendarai seekor keledai memasuki kota Yerusalem, menyongsong dengan penuh kerelaan sengsara dan wafat-Nya di kayu salib, demi ketaatan-Nya kepada Bapa, demi cinta-Nya kepada kita. Tuhan sudah mati untuk saya, Ia telah menyerahkan segala-galanya supaya kita selamat dan bahagia, supaya kita belajar arti memikul salib dan menyangkal diri yang membawa kita kepada kemenangan dan kedamaian sejati. Semoga kita juga berusaha sekuat tenaga menyerahkan segala-galanya dalam kekuatan kasih-Nya, untuk memikul salib dan berubah oleh pembaharuan budi, supaya kurban Salib-Nya dan keselamatan yang telah disediakan-Nya bagi kita, mencapai tujuannya, menghasilkan buah-buah kehidupan, dan tidak sia-sia.

Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. (Yes 53 : 5)

Ya, berpegang pada salib Yesus, dan hanya bersama Yesus, kita bisa !
(Triastuti)

Sebuah Perjumpaan di Balik Badai

13

Pengantar dari Editor:

Menggembalakan umat Tuhan di tengah masyarakat yang berada di wilayah yang terpencil dengan tantangan alam yang berat adalah panggilan yang sangat khusus dari Tuhan. Hal inilah yang selama hampir empat tahun ini dijalani dengan penuh iman dan harapan oleh Romo Fransiskus Xaverius Hurint, Pr atau yang lebih sering disapa dengan Romo Pey Hurint. Bertugas sebagai pelayan Tuhan di sebuah paroki di Kepulauan Mentawai, yang terletak sekitar 150 km dari lepas pantai barat Pulau Sumatera, keterbatasan sarana dan prasarana menjadi salah satu tantangan rutin sehari-hari. Tingginya gelombang lautan di musim di mana cuaca buruk sering datang tanpa diduga, seolah menjadi gambaran beranekanya tantangan yang juga dialami dinamika umat Tuhan di sana. Namun kasih Bapa yang Maha Menyelenggarakan senantiasa melengkapi setiap perutusan dengan semua yang diperlukan oleh hamba-Nya. Terima kasih Romo Pey sudah berkenan berbagi dengan kami, kiranya perjuangan Romo senantiasa menjadi perhatian kami dan menjadi pergumulan ujud doa-doa kami semua sebagai anggota keluarga Kristus yang satu dan sama dalam Gereja-Nya.

 

Dari luasnya lautan, Tuhan memanggilku

Tantangan alam dan cuaca yang tidak menentu adalah bagian dari keseharian pelayananku semenjak Tuhan menempatkanku di antara umat-Nya di Kepulauan Mentawai. Berhadapan dengan laut lepas yang memisahkan wilayah-wilayah pengabdianku dalam cuaca yang kadang tak bersahabat, seakan turut menandai berbagai ujian iman yang harus senantiasa kuhadapi.

Aku adalah seorang imam projo yang berasal dari Keuskupan Larantuka yang selama empat tahun ini diutus untuk menjadi misionaris domestik di Keuskupan Padang, tepatnya di Paroki Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Aku mengawali masa baktiku pada tanggal 18 November 2008, sebagai bantuan tenaga imam untuk keuskupan/daerah yang kekurangan tenaga imam. Dalam Gereja tugas perutusan ini dikenal dengan sebutan Fidei Donum (hadiah iman) dari Keuskupan Larantuka untuk Keuskupan Padang. Selanjutnya Bapak Uskup Padang menugaskanku ke Paroki Sikakap di Mentawai.

Kepulauan Mentawai yang dipisahkan oleh Selat Mentawai dari Kota Padang, sebenarnya merupakan rangkaian tujuhpuluh pulau-pulau kecil. Dari kesemuanya itu, kepulauan ini mempunyai 4 pulau besar: Pulau Siberut di Utara, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan. Terdapat 4 paroki di Mentawai, yaitu: Paroki Sikabaluan (Siberut Utara), Paroki Muara Siberut (Pulau Siberut Selatan), Paroki Sipora (Pulau Sipora) dan Paroki St. Maria Assumpta, Sikakap (Pulau Pagai Utara dan Selatan). Di Sikakap ada 20 stasi yang tersebar di dua pulau ini. Penyebaran stasi berjauhan. Masih ada 4 stasi di Pagai Selatan yang harus ditempuh dengan perahu boat. Jarak terjauh ditempuh selama 2,5 jam dengan perahu boat bertenaga 40 PK dan terdiri dari 2 mesin. Ada ± 670-an KK, dengan jumlah jiwa ± 3500 orang.

Paroki Sikakap meliputi 2 pulau besar di kepulauan ini, yaitu Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan. Di daerah dua pulau inilah, pada tanggal 25 Oktober 2010 yang lalu, bencana gempa dan tsunami melanda, meluluhlantakkan Pagai Selatan dan Utara. Ada 400-an jiwa melayang. Ratusan KK kehilangan tempat tinggal dan ribuan orang mengungsi. Bencana ini menyebabkan semua masyarakat yang ada di pesisir pantai mengungsi ke pedalaman. Rumah hunian sementara dibangun oleh beberapa pÍhak yang bekerjasama dengan pemerintah. Pihak Gereja Katolik Keuskupan Padang dengan penuh cinta menolong semua warga dengan memberikan semua kebutuhan pokok masyarakat. Gereja hadir untuk semua, tanpa memperdulikan suku dan agama. Saat ini dalam kerjasama dengan pihak donatur, CARITAS Keuskupan Padang sedang membangun rumah hunian tetap untuk warga korban tsunami di 5 dusun di Pagai Utara dan Selatan. Gempa ini membawa beberapa dampak: transportasi laut nyaris tidak dipergunakan lagi, selain karena masyarakat sudah tinggal di tempat tinggi, juga sebagian karena merasa trauma. Masyarakat yang biasanya mencari sendiri ikan untuk konsumsi, sekarang harus membelinya di pasar.

Meretas kerinduan, menantang badai

Salah satu stasi kecil berada di ujung Pulau Pagai Selatan yang terdiri dari 17 KK. Sudah lama kami tim pastor membatalkan kunjungan ke stasi ini karena beberapa faktor: badai di pantai barat Mentawai, ketiadaan BBM, jalan darat yang tak bisa dilalui, dan juga karena sakit.

Kerinduan telah membuncah dalam hatiku dan hati umat yang menanti. Hari Sabtu kemarin dengan tekad membara, tanpa takut lagi kepada badai dan jalan yang buruk, saya dengan seorang kawan menempuh perjalanan ke selatan. Kami harus menempuh jalan darat kira-kira 56 km dan disambung dengan mempergunakan perahu boat 25 PK menuju ke ujung pulau, ke stasi Lakkau. Kami menempuh laut yang sedang menggelora. Waktu yang ditempuh kira-kira 1 jam. Di tengah badai seperti ini, ada rasa yang kuat untuk lebih dekat dengan Tuhan. Sepanjang jalan doa rosario dilantunkan, daripada berteriak ketakutan.
Maka berseru-serulah mereka kepada TUHAN dalam kesesakan mereka, dan dikeluarkan-Nya mereka dari kecemasan mereka, dibuat-Nyalah badai itu diam, sehingga gelombang-gelombangnya tenang. (Mzm 107:28-29)

Akhirnya boat yang kutumpangi tiba dengan selamat di pantai Lakkau. Badan seluruhnya basah kuyup. Kami harus menempuh perjalanan 2 km dengan sepeda motor menuju perbukitan, karena semua warga sudah mengungsi ke daerah tinggi. Begitu tiba, dengan gembira beberapa umat menyambut saya: “Akhirnya Romo sampai juga ke tempat kami. Kami sudah lama merindukan kedatangan Romo.” Air mataku hampir berlinang. Kutahan sekuat tenaga agar air mataku tak jatuh.

Malam hari kami berkumpul di gereja darurat: bekas gereja di kampung lama yang dibongkar dan dipindahkan ke kampung baru. Ada acara rosario dan berbincang-bincang dengan umat. Di sana kujumpa seorang ibu tua. Dengan terharu dia menyalamiku: “Ukkui, kurepdep ekkeu, nuoi minca ka laggaita ne’ne.” (= Bapa, kurindu engkau datang lagi di kampung kita ini). Saya menjadi lebih terharu lagi.

Kerinduan itu berpuncak pada perayaan tobat dan Ekaristi keesokan harinya. Hampir semua umat dewasa mengaku dosa. Dengan kerinduan yang membuncah mereka menerima Komuni Kudus. Selain Ekaristi dan pengakuan dosa, ada juga penerimaan resmi seorang umat GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai) yang menjadi Katolik, pembaptisan 6 orang anak, dan convalidatio/ perbaikan perkawinan pasangan yang sebelumnya sudah menikah namun belum pernah diberkati perkawinannya di Gereja.

Ada catatan kecil mengenai hal-hal yang kuceritakan di atas. Umat Protestan merupakan umat mayoritas di Kepulauan Mentawai, khususnya di pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Ada semacam pembagian “informal” di Mentawai: jika satu kampung adalah suatu kampung Katolik, maka orang luar yang mau tinggal di kampung itu wajib Katolik, tidak bisa tidak. Demikian juga sebaliknya. Kecuali jika kampung itu dari dulu merupakan campuran dari 2 gereja: Katolik dan Protestan. Akhir-akhir ini gereja-gereja denominasi Kristen dari aliran Pentekosta dan Baptis mekar bertumbuh di Mentawai.

Pukul 13.15 siang kami kembali ke paroki dengan melalui jalur yang sama: menempuh badai. Tapi rasa hati sudah berubah: kerinduan untuk berjumpa umat sudah terobati. Saya bertekad: tak boleh lagi ada yang menghalangiku untuk berjumpa dengan umat yang juga rindu akan gembalanya.

Demikian sekelumit sharing sederhana dari kami di pelosok barat Indonesia, yang belum sepenuhnya tersentuh kemajuan dunia ini. Mari kita saling mendoakan. Tuhan memberkati kita.

(ditulis oleh: Fransiskus Xaverius Hurint, Pr)

Epilog dari editor:

Bagaimanapun juga, walau didera kemiskinan dan tantangan alam yang kurang bersahabat, menurut Romo Pey Hurint, salah satu kekuatan orang- orang Mentawai adalah bisa bertahan; tantangan alam yang keras membuat mereka terlatih untuk sanggup menantang badai dan masalah yang dihadapi. Mereka hidup dari bercocok tanam berbagai komoditi, terutama nilam (diambil minyaknya), pisang, keladi, kelapa, dan lain-lain. Masyarakat juga sudah mulai menanam coklat (cacao). Namun mereka masih memerlukan bimbingan tenaga ahli supaya bisa mengembangkan kinerja mereka dalam mengolah hasil bumi. Dalam hal pelayanan pastoral, kebutuhan umat yang paling aktual saat ini adalah tenaga-tenaga pastoral (imam dan katekis) yang handal, tahan uji, serta tahan banting. Selain itu, perlu tersedianya sarana dan fasilitas pendidikan baik formal maupun informal yang cukup memadai untuk masyarakat. Dengan pendidikan yang memadai, kita bisa mendapatkan agen pastoral yang handal dan umat yang makin maju, dewasa dalam kehidupan, dan teguh dalam iman dan pengharapan kepada Kristus. Adakah dari para pembaca yang terpanggil untuk mengulurkan tangan, terutama untuk membantu dalam hal pendidikan umat Katolik di Mentawai?

Tentang teks Syahadat Katolik dan non-Katolik

3

Tentang teks syahadat yang digunakan oleh Gereja Katolik, Katekismus mengajarkan:

KGK 186    Sejak awal, Gereja apostolik sudah mengungkapkan dan meneruskan imannya dalam rumus-rumus yang singkat dan baku untuk semua (Rm 10:9; 1 Kor 15:3-5). Tetapi dengan segera Gereja juga hendak memasukkan inti sari dari imannya dalam ringkasan yang organis dan tersusun, yang dimaksudkan terutama untuk calon Pembaptisan:

“Bukan kesewenang-wenangan manusiawi telah menyusun ringkasan iman ini, melainkan ajaran-ajaran terpenting dari seluruh Kitab Suci dihimpun di dalamnya, menjadi ajaran iman yang satu-satunya. Bagaikan biji sesawi membawa banyak cabang dalam sebuah biji kecil, demikianlah ringkasan iman ini mencakup dalam kata-kata yang sedikit semua pengetahuan dari Perjanjian Lama dan Baru” (Sirilus d. Yerusalem, catech. ill. 5,12).

KGK 187    Ringkasan-ringkasan iman ini dinamakan “pengakuan iman” karena mereka meringkaskan iman yang diakui umat Kristen. Orang menamakannya juga “Credo”, karena dalam bahasa Latin mereka biasanya mulai dengan kata “Credo” [Aku percaya]. Nama lain ialah “Simbola iman”.

KGK 190    Dengan demikian, simbolon mempunyai tiga bagian pokok: “Dalam bagian pertama dibicarakan tentang Pribadi pertama dalam Allah dan tentang karya penciptaan yang mengagumkan; dalam bagian kedua tentang Pribadi kedua dan tentang rahasia penebusan manusia; dalam bagian ketiga tentang Pribadi ketiga, pangkal dan sumber pengudusan kita” (Catech. R. 1,1,4). Itulah “ketiga bagian pokok dari meterai [Pembaptisan] kita” (Ireneus, dem. 100).

KGK 192    Sesuai dengan kebutuhan aneka ragam zaman timbullah dalam peredaran zaman banyak pengakuan atau simbola iman. Simbola beberapa Gereja apostolik tua (Bdk. DS 1-64., “Quicumque” Bdk. DS 75-76) yang disebut simbolon Atanasian, pengakuan iman dari konsili dan sinode tertentu (Bdk. S. d. Toledo: DS 525-541; Konsili Lateran IV: DS 800- 802; Konsili Lyon II: DS 851-861; Konsili Trente: DS 1862-1870). atau Paus tertentu, umpamanya “Fides Damasi” (Bdk. DS 71-72). dan “Credo Umat Allah” (SFP) dari Paus Paulus VI 1968.

KGK 193    Tidak satu pun pengakuan dari berbagai zaman dalam kehidupan Gereja dapat dipandang sebagai kedaluwarsa atau tidak bernilai. Semuanya mencakup iman segala zaman secara singkat dan membantu kita sekarang untuk menangkapnya dan mengertinya dengan lebih dalam.Dua pengakuan mendapat tempat yang sangat khusus dalam kehidupan Gereja:

KGK 194    Syahadat apostolik, yang dinamakan demikian karena dengan alasan kuat ia dipandang sebagai rangkuman setia dari iman para Rasul. Itulah pengakuan Pembaptisan lama dalam Gereja Roma. Karena itu ia mempunyai otoritas tinggi: “Itulah simbolum yang dijaga Gereja Roma, di mana Petrus, yang pertama di antara para Rasul, mempunyai takhtanya dan ke mana ia membawa ajaran iman para Rasul itu” (Ambrosius, symb. 7).

KGK 195    Juga apa yang dinamakan Syahadat Nicea-Konstantinopel mempunyai otoritas besar karena ia dihasilkan oleh kedua konsili ekumenis yang pertama (325 dan 381) dan sampai hari ini merupakan milik bersama semua Gereja besar di Timur dan di Barat.

KGK 196    Penjelasan kita mengenai iman akan mengikuti pengakuan iman apostolik, yang boleh dikatakan merupakan “Katekismus Romawi tertua”. Namun penjelasan itu akan dilengkapi dengan selalu menunjuk kepada pengakuan iman Nisea-Konstantinopel yang sering lebih rinci dan lebih dalam.

Dengan demikian, dari adanya beberapa teks syahadat, terdapat dua teks yang paling umum digunakan dalam Gereja Katolik, yaitu syahadat para rasul dan syahadat Nicea- Konstantinopel. Kedua teks itu merupakan teks yang diturunkan oleh para rasul sebagaimana diajarkan oleh para Bapa Gereja sebagai penerus para rasul. Istilah Gereja yang “satu, kudus, katolik dan apostolik” berasal dari pernyataan syahadat Nicea- Konstantinopel.

Sebenarnya kedua syahadat yang digunakan oleh Gereja Katolik maupun oleh gereja-gereja non- Katolik berasal dari sumber yang sama, yaitu syahadat para rasul. Adanya perbedaan teks syahadat antara yang digunakan di gereja-gereja non Katolik dan yang digunakan oleh Gereja Katolik itu disebabkan karena perbedaan terjemahan, namun juga perbedaan terbesar ada pada pemahaman akan istilah Gereja yang “katolik” (universal) yang disebut sebagai “am” oleh gereja- gereja yang non- Katolik, dan juga, tentang gereja ‘apostolik’ sebagaimana disebut dalam syahadat Nicea. Tentang arti gereja yang katolik menurut Gereja Katolik, silakan klik di sini. Sedangkan ‘apostolik’ maksudnya adalah Gereja yang mengajarkan ajaran yang lengkap dari para rasul dan mempunyai jalur kepemimpinan dari para rasul. Pemahaman ini pertama-tama berasal dari pengajaran St. Irenaeus (abad ke- 2) dan St Agustinus (abad ke-4), yaitu:

St.Irenaues:
“Karena itu , penting untuk menaati para presbiter (imam) yang ada di dalam Gereja- [yaitu] mereka yang, seperti telah saya tunjukkan,  mempunyai suksesi dari para rasul, yaitu mereka yang, bersama dengan suksesi episkopat, telah menerima karunia kebenaran tertentu, sesuai dengan kehendak Bapa. Tetapi [adalah juga penting] untuk mewaspadai orang- orang lain yang meninggalkan suksesi apostolik yang asli, dan mendirikan perkumpulan sendiri di tempat manapun.” (Against Heresies, Bk 4, ch. 26)

St. Agustinus:
“… Kamu mengatakan hal yang pandai, ketika kamu mengurutkan asal usul nama Katolik, tidak dari keanggotaannya yang universal di seluruh dunia, seperti seolah kita mengandalkan arti dari kata itu untuk membuktikan bahwa Gereja tersebar di seluruh dunia; tetapi dari penerapan semua perintah Tuhan dan semua sakramen, atas apa yang dijanjikan oleh Tuhan, dan atas begitu banyak pemakluman kebenaran itu sendiri. …Gereja disebut Katolik, juga karena Gereja mengajarkan seluruh kebenaran dan bahkan ada beberapa serpihan kebenaran ini yang terdapat di beberapa ajaran sesat.” (Letters- to Vincent – ca. 408]

Ajaran dari Bapa Gereja ini nampaknya tidak dijadikan referensi oleh gereja- gereja yang memisahkan diri dari Gereja Katolik, sehingga memang terdapat pemahaman yang berbeda tentang Gereja yang ‘katolik dan apostolik’ tersebut, antara yang dipahami oleh Gereja Katolik dan oleh gereja- gereja non- Katolik, sehingga ini tercermin juga pada teks syahadat mereka.

Mengapa ‘berilah kami rezeki’?

3

Jika sampai ada perbedaan teks doa Bapa Kami (Mat 6:11; Luk 11:3), yaitu ‘berilah kami makanan yang secukupnya’ (yang umum digunakan di gereja-gereja non- Katolik di Indonesia) dan ‘berilah kami rezeki hari ini’ (yang digunakan Gereja Katolik di Indonesia), itu disebabkan karena perbedaan terjemahan, namun sebenarnya mengacu kepada kata asli yang sama. Kata aslinya, menurut terjemahan Vulgate/ Vulgata adalah, “panem nostrum supersubstantialem da nobis hodie/ Give us this day our supersubstantial bread” (Mat 6:11). Namun ‘bread‘ ini, adalah seperti kata idiom, mempunyai arti lebih luas dari sekedar makanan. Oleh karena itu Gereja Katolik menerjemahkannya dengan kata ‘rezeki’ yang lebih luas artinya dari sekedar ‘makanan’.

Prinsip umum dalam mengartikan Kitab Suci, Katekismus mengajarkan agar kita berusaha memahami maksud sang penulis pada saat menuliskan kalimat tersebut:

KGK 109 Di dalam Kitab Suci Allah berbicara kepada manusia dengan cara manusia. Penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan teliti, agar melihat, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan para penulis suci, dan apa yang ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka (Bdk. DV 12,1).

KGK 110 Untuk melacak maksud para penulis suci, hendaknya diperhatikan situasi zaman dan kebudayaan mereka, jenis sastra yang biasa pada waktu itu, serta cara berpikir, berbicara, dan berceritera yang umumnya digunakan pada zaman teks tertentu ditulis. “Sebab dengan cara yang berbeda-beda kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dalam nas-nas yang dengan aneka cara bersifat historis, atau profetis, atau poetis, atau dengan jenis sastra lainnya” (DV 12,2).

Atas prinsip ini, kita melihat konteks arti kata “bread” tersebut, yang menurut sastra (gaya bahasa) pada jaman itu, kata “bread (artos, Yunani)” tidak saja berarti roti makanan, tetapi juga adalah semua kebutuhan sederhana untuk hidup, yang terwakili dalam kata “bread/ artos” itu. Dengan demikian, jika ‘bread‘ diterjemahkan sebagai hanya ‘makanan’, maka malah menjadi tidak terlalu sesuai/ membatasi arti yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulisnya.

Dalam hal ini, agaknya kita perlu menyadari adanya keterbatasan dalam hal terjemahan, karena terjemahan ke dalam bahasa Indonesia memang nampaknya tidak dapat secara persis/ ideal menggambarkan maksudnya. [Sejujurnya ini umum dalam hal terjemahan, sebab ada banyak kata- kata dalam bahasa Jawa, misalnya, yang juga tidak mempunyai padanan kata persisnya dalam bahasa Indonesia]. Sebab jika mau diterjemahkan secara benar- benar literal, maka harusnya diterjemahkan “berilah kami roti…” (Sedangkan kata supersubstantial ini dapat mengacu kepada makna roti setiap hari/ daily, maupun roti ‘yang istimewa’ sehingga mengacu kepada Ekaristi). Sayangnya, bagi orang Indonesia dan menurut gaya bahasa Indonesia, kata ‘roti’ ini tidak ‘berbicara’, karena makanan pokok kita adalah nasi. Lagipula menurut gaya bahasa Indonesia, “berilah roti” ini tidak mempunyai arti sebagai idiom. Jadi jika diterjemahkan secara literal sebagai ‘roti’, menjadi tidak pas dan tidak kontekstual juga bagi kita orang Indonesia. Karena itu, gereja- gereja yang non- Katolik di Indonesia menerjemahkannya sebagai “makanan”, walaupun sebenarnya terjemahan ini juga tidak tepat, karena yang dikatakan itu “bread/ roti” bukan “food/ makanan”.

Maka Gereja Katolik di Indonesia menerjemahkannya sebagai ‘rezeki’, kemungkinan karena mempertimbangkan maksud arti yang lebih luas dari kata “bread” itu tadi. Terjemahan ini sudah disetujui oleh pihak otoritas Gereja Katolik, maka mari kita menerimanya dengan kerendahan hati. Perbedaan terjemahan ini dapat dimengerti jika kita memahami faktanya, yaitu: 1) sebab tidak ada padanan kata dalam bahasa Indonesia yang secara persis menyampaikan maksud dari kata aslinya; 2) terjemahan yang ada sekarang, entah diterjemahkan ‘makanan’ atau ‘rezeki’ adalah merupakan terjemahan yang relatif terdekat untuk mengartikan kata tersebut; 3) Gereja Katolik melihat bahwa ‘rezeki’ merupakan terjemahan yang lebih baik daripada makanan, karena mencakup makna yang tersirat dalam kata ‘bread‘ itu, menurut gaya bahasa/ sastra penulis pada saat itu. Maka dalam menerjemahkan, Gereja Katolik di Indonesia memperhatikan hal- hal ini. Sebab jika ‘give us this day our daily bread‘ ingin diterjemahkan secara literal tentu harusnya ‘berilah kami hari ini roti untuk sehari’, tetapi tentu menjadi kurang kontekstual bagi kita di Indonesia yang pada umumnya makan nasi setiap harinya.

Jadi, yang terpenting adalah: kita memahami maknanya, dan walau ada keterbatasan dalam hal penerjemahan kata, namun tidak mengubah pengertian ataupun iman kita.

Scott Hahn, seorang apologist Katolik menuliskan artikel di link ini, silakan klik, dan menjabarkan bermacam makna kata ‘roti’. Roti di sini mempunyai makna tidak terbatas hanya sebagai makanan jasmani. Berikut ini cuplikannya:

“Pemberian roti di jaman dahulu adalah tanda kesejahteraan suatu kerajaan. Ketika kerajaan itu sedang jaya atau menang perang, maka para warganya menerima cukup roti “tanpa uang dan tanpa bayar” (Yes 55:1). Maka sejak zaman Kristen awal, “our bread/ roti kami” dalam doa Bapa kami diartikan tidak hanya sebagai kebutuhan- kebutuhan material, tetapi juga kebutuhan mereka akan persekutuan dengan Tuhan. Maka pemecahan roti juga berarti Ekaristi. “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42).

St. Agustinus mengajarkan bahwa terdapat tiga macam arti kata ‘roti’, yaitu:1) segala sesuatu yang kita butuhkan; 2) Sakramen Tubuh Kristus, yang kita terima setiap hari; 3) Makanan rohani kita, Sang Roti Hidup, yaitu Yesus…..” (St. Augustine, Our Lord’s Sermon on the Mount, in Scott Hahn, Understanding “Our Father”: Biblical Reflections on the Lord’s Prayer (Steubenville: Emmaus Road, 2002), 143-44)

Dengan demikian, sebenarnya penerjemahan “give us this day our daily bread” menjadi “berilah kami rezeki pada hari ini” sesungguhnya lebih tepat, sebab di sini daily bread adalah semacam idiom yang menurut pengertian aslinya mempunyai makna lebih dari sekedar makanan. Pemberian roti setiap hari mempunyai makna luas, yaitu kesetiaan Tuhan kepada umat-Nya (KGK 1334). Selanjutnya “our bread” memang diterjemahkan sebagai ‘rezeki kami’ dalam Katekismus Gereja Katolik, demikian:

KGK 2830 Rezeki kami. Mustahil bahwa Bapa, yang menganugerahkan kehidupan kepada kita, tidak memberikan juga makanan serta segala kebutuhan jasmani dan rohani lainnya bagi kehidupan itu. Dalam khotbah-Nya di bukit Yesus mengajarkan sebuah kepercayaan, di mana kita merasa terjamin dalam penyelenggaraan Bapa (Bdk. Mat 6:25-34). Dengan itu Yesus tidak menghendaki kita untuk menerima nasib secara acuh tak acuh (Bdk. 2 Tes 3:6-13). Ia ingin membebaskan kita dari segala kesusahan dan kecemasan yang menekan hati. Anak-anak Allah selalu membiarkan diri dalam penyelenggaraan Bapa mereka.
“Mereka yang mencari Kerajaan dan keadilan Allah, akan juga mendapat segala sesuatu yang lain sesuai dengan janji-Nya. Karena bila segala sesuatu adalah milik Allah, maka orang yang memiliki Allah tidak akan kekurangan apa pun, kalau ia sendiri tidak lupa akan kewajibannya terhadap Allah” (Siprianus, Dom. orat. 21)

KGK 2835 Permohonan ini, dan tanggung jawab yang dituntutnya, berlaku juga untuk satu kelaparan lain, yang karenanya manusia binasa; “Manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4) (Bdk. Ul 8:3), artinya dari sabda dan dari napas Allah. Orang-orang harus melakukan segala upaya, supaya “mewartakan Injil kepada orang-orang miskin”. Di dunia ada satu kelaparan lain, “bukan kelaparan akan makanan, bukan kehausan akan air, melainkan akan mendengarkan firman Tuhan” (Am 8:11). Karena itu arti yang khas Kristen dari permohonan keempat [berilah kami rejeki hari ini] berhubungan dengan roti kehidupan. Itulah Sabda Allah yang harus kita terima dalam iman, dan tubuh Kristus yang kita terima dalam Ekaristi (Bdk. Yoh 6:26-58).

Dengan demikian, ‘berilah kami rezeki’ dimaksudkan juga sebagai rezeki jasmani; maupun rohani, yaitu Sabda Allah dan Kristus sendiri dalam Ekaristi. Maka “to give daily bread” itu mungkin menyerupai ungkapan “berilah kami sesuap nasi” yang memang walaupun menyangkut makanan, tetapi maksud di balik ungkapan itu tentu lebih dari sekedar nasi sesuap. Hal ini selain menyangkut gaya bahasa tetapi juga ‘common sense‘ yang berlaku dalam kehidupan jasmani kita sebagai manusia. Manusia memang tidak saja bisa hidup dari makanan, tapi juga minuman, udara, sandang, papan, dan semua itu tergabung dalam kata ‘rezeki’; walau ungkapan gaya bahasa yang dipergunakan itu hanya “bread“/ roti. Selanjutnya, kita mengingat Sabda Yesus bahwa manusia tidak hanya hidup dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Maka rezeki di sini tidak terbatas dalam hal jasmani, tetapi juga rohani. Hal inilah yang diajarkan oleh para Bapa Gereja, dan hal inilah yang diteruskan oleh Gereja Katolik; dan karena pemahaman inilah maka Gereja Katolik di Indonesia menerjemahkannya menjadi, ‘berilah kami rezeki pada hari ini’.

Tentang Fenomena Medjugorje

16

1. Sekilas tentang fenomena Medjugorje

Pada tanggal 24 Juni 1981, enam orang anak dari kota Medjugorje Yugoslavia (sekarang, Bosnia-Herzegovina), mulai mengalami fenomena yang mereka klaim sebagai penampakan Bunda Maria. Penampakan ini memberikan pesan damai bagi dunia, juga pertobatan, doa dan puasa. Penampakan ini juga menitipkan pesan-pesan tentang kejadian- kejadian yang akan digenapi di masa yang akan datang. Rahasia ini belum dinyatakan kepada publik. Penampakan-penampakan ini berlangsung sejak 1981 sampai saat ini secara regular, pada sebagian dari mereka yang telah menjadi orang muda sekarang, dan pada sebagian yang lain, sudah berhenti. Awalnya, menurut mereka, penampakan terjadi di puncak gunung dekat kota di mana terletak Salib yang besar yang memperingati Kebangkitan. Setelah itu penampakan-penampakan terjadi di tempat- tempat yang berbeda, termasuk di gereja St. Yakobus dan di manapun para visioner itu berada pada saat penampakan terjadi.

Kabar bahwa Bunda Maria kemungkinan telah menampakan diri di Medjugorje, mendorong banyak orang untuk berziarah ke sana.

(sumber dari http://www.ewtn.com/expert/answers/medjugorje.htm)

2. Tanggapan Otoritas Gereja lokal, dari Uskup Pavao Zanic tahun 1985

Pada 25 Maret 1985 surat resmi Uskup Pavao Zanic kepada romo paroki, Romo Tomislav Pervan, dari paroki St. Yakobus di Medjugorje, berisikan tidak hanya perintah-perintah dan instruksi-instruksi dari Ordinaris tetapi juga mengemukakan isu pastoral di mana klerus yang dimaksud dan para visioner telah melanggar dan tanggal dari pelanggaran mereka.

Dalam surat itu disebutkan salinan Notulen pertemuan terakhir dari Komisi Peristiwa Medjugorje yang diadakan di Mostar pada 7 Maret 1985. Disebutkan pula bahwa sebelum inipun, Ordinaris telah sampai pada kesimpulan yang pasti bahwa penampakan Bunda Maria di Medjugorje bukanlah suatu kenyataan. Sementara itu, di tahun 1982, Keuskupan telah membentuk Komisi untuk menyelidiki peristiwa itu dan untuk mempelajari kasusnya secara menyeluruh. Setelah pemeriksaan, Komisi peristiwa Medjugorje menyatakan bahwa personil pastoral dan para saksi di Medjugorje diminta untuk menarik diri dari segala bentuk pernyataan publik atau deklarasi kepada media tentang hal-hal yang terjadi dalam penglihatan itu dan klaim terjadinya penyembuhan secara mukjizat. Pada pertemuan kami, yang diselenggarakan di Kantor Uskup di Mostar pada 31 Oktober 1984, saya meminta bahwa peristiwa-peristiwa Medjugorje “diredakan dan dihilangkan sedikit demi sedikit.” Namun permintaan ini tidak dihiraukan.

Maka, dalam surat itu Uskup Zanic meminta agar Pastor Tomislav meminta agar tidak mengekspos para visioner/ pelihat dari pertunjukan publik. Demikian juga Bapa Uskup melarang publikasi pesan-pesan, devosi yang tumbuh dari “penampakan” tersebut, namun tidak melarang penerimaan Sakramen Tobat dan Misa Kudus. Namun demikian ia melarang Romo Jozo Zovko, Tomislav Vlasic dan Ljudevit Rupcic, untuk mempersembahkan Misa bagi umat beriman atau memberikan homili.

Selanjutnya Bapa Uskup meminta para visioner untuk menyerahkan tulisan-tulisan mereka kepada pihak Ordinaris untuk penyelidikan lebih lanjut.

(disarikan dari surat Uskup Zanic, selengkapnya ada di link http://www.ewtn.com/library/BISHOPS/ZANICMED.HTM)

3. Deklarasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Uskup Yugoslavia, 9-11 April 1991

DEKLARASI

Sejak awal, para Uskup telah mengikuti kejadian-kejadian Medjugorje melalui Uskup lokal, Komisi para Uskup dan Komisi Konferensi Uskup di Yugoslavia untuk Medjugorje.

Atas dasar penyelidikan sejauh ini, tidak dapat diteguhkan bahwa hal- hal ini menyangkut penampakan-penampakan yang supernatural/ adi kodrati ataupun pewahyuan-pewahyuan.

Namun berkumpulnya umat beriman dari bermacam bagian dunia ke Medjugorje, yang didorong oleh alasan iman atau maksud lainnya, mensyaratkan perhatian pastoral, pertama-tama, dari Uskup lokal dan lalu dari para uskup dengan dia, sehingga di Medjugorje dan semua yang terkait dengannya, dapat dikembangkan devosi yang sehat kepada Bunda Maria yang Terberkati, sesuai dengan ajaran-ajaran Gereja. Para Uskup juga akan menyediakan pengarahan- pengarahan liturgis dan pastoral sesuai dengan tujuan ini. Pada saat yang sama, mereka akan terus mempelajari semua kejadian tentang Medjugorje melalui komisi-komisi mereka.

Zadar, 10 April 1991
Para Uskup Yugoslavia.

(sumber dari situs Keuskupan Mostar: http://www.cbismo.com/index.php?mod=vijest&vijest=101)

4. Intervensi Tahta Suci Vatikan

Kongregasi Untuk Ajaran Iman, mengintervensi empat kali melalui dua dari Sekretarisnya, sementara itu Kardinal Ratzinger juga membuat sebuah pernyataan penting.

Pada tahun 1985, Msgr. Bovone memperingatkan Sekretaris dari Konferensi Uskup-uskup Italia untuk tidak mengorganisasi peziarahan resmi ke Medjugorje.

Pada tahun 1995, Msgr. Bertone menulis kepada uskup Lagres, Msgr. Taverdet, dan mengulangi hal yang sama kepada Msgr. Daloz dari Besançon, yang merasa tertarik untuk mengetahui posisi Tahta Suci terhadap Medjugorje.

Akhirnya, di tahun 1998, Sekretaris yang sama menulis kepada Msgr. Gilbert Aubry, uskup Reunion. Semua surat ini menekankan bahwa peziarahan-peziarahan, baik pribadi maupun publik, tidak diizinkan jika mereka menganggap otentik penampakan-penampakan tersebut, karena hal ini akan menjadi kontradiksi terhadap deklarasi dari Konferensi Uskup-uskup Yugoslavia. Namun demikian, para pendukung peristiwa Medjugorje berpegang erat kepada kata “ziarah” dan mengabaikan conditio sine qua non: bahwa mereka tidak mensyaratkan otentisitas penampakan tersebut.

(sumber dari situs Keuskupan Mostar: http://www.cbismo.com/index.php?mod=vijest&vijest=101)

5. Pernyataan Kardinal Ratzinger 1998

Ratzinger’s “frei erfunden” (freely invented/dikarang-karang). Di tahun 1998, ketika seorang Jerman mengumpulkan berbagai pernyataan yang diperkirakan dibuat oleh Paus dan Kardinal Prefek, dan kemudian meneruskannya kepada Vatikan dalam bentuk sebuah memorandum, Kardinal menjawab secara tertulis pada tanggal 22 Juli 1998: “Satu-satunya hal yang dapat saya katakan sehubungan pernyataan-pernyataan tentang Medjugorje yang dikaitkan dengan Bapa Suci dan saya sendiri adalah bahwa  pernyataan-pernyataan itu adalah buatan/ciptaan/rekayasa sepenuhnya” – frei erfunden / sesuatu yang dikarang-karang.

(sumber dari situs Keuskupan Mostar: http://www.cbismo.com/index.php?mod=vijest&vijest=101)

6. Pernyataan Uskup Mostar, Ratko Peric

Kunjungan Ad limina tahun 2006. Selama kunjungan resmi saya kepada Bapa Suci Benediktus XVI, saya tidak hanya menyatakan keraguan saya tetapi juga ketidakpercayaan saya dalam “penampakan” Medjugorje. Bapa Suci, yang sebelum terpilihnya sebagai Paus adalah Prefek dari Kongregasi Ajaran Iman, menjawab dengan pemikirannya: “Kami di Kongregasi selalu bertanya kepada diri kami sendiri bagaimana seorang yang percaya dapat menerima sebagai otentik, penampakan-penampakan yang terjadi setiap hari selama begitu banyak tahun (bertahun-tahun)?”

Kesimpulan. Tidak hanya pernyataan-pernyataan ini yang dikaitkan dengan Bapa Suci dan pernyataan Kardinal Ratzinger  [tentang] “buatan/ rekaan sepenuhnya”, tetapi juga begitu banyak pesan-pesan dari Medjugorje, yang dikaitkan dengan Bunda Maria, adalah buatan/ rekaan sepenuhnya. Jika iman kita dianggap obsequium rationabile – pelayanan rasional kepada Tuhan, penyembahan rohani yang sehat dan sejati, seperti seharusnya (Rm 12:1), maka ia tidak dapat merupakan fantasi pribadi atau ilusi sembarang orang. Gereja berkompeten untuk mengatakan hal ini. Dalam namanya, 30 dokter dan imam-imam terpilih, bekerja sama dalam tiga Komisi selama 10 tahun, dalam lebih dari 30 pertemuan, dengan penuh tanggungjawab dan dengan keahlian menyelidiki peristiwa-peristiwa Medjugorje dan mengemukakan penilaian mereka. Dan tidak satu, melainkan dua puluh uskup secara bertanggungjawab menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti bahwa peristiwa-peristiwa di Medjugorje melibatkan penampakan-penampakan yang supernatural. Umat beriman yang menghormati kedua prinsip: ratio et fides (akal budi dan iman), dan karena itu terikat kepada kriteria ini, yakin bahwa Gereja tidak menipu.

Berkaitan dengan Medjugorje, ada bahaya yang nyata bahwa Bunda Maria dan Gereja dapat diprivatisasi. Orang-orang dapat mulai merekayasa seorang Bunda Maria dan sebuah Gereja menurut selera pribadi mereka, persepsi mereka, dan kebohongan mereka: dengan tidak taat/ menyerahkan akal budi mereka sebagai orang beriman, kepada Magisterium resmi Gereja, melainkan memaksa Gereja untuk mengikuti dan mengakui fantasi mereka.

Orang-orang yang secara naif percaya dapat dengan mudah kemudian meninggalkan mata air rahmat yang hidup di paroki-paroki mereka sendiri untuk melakukan perjalanan jauh ke Medjugorje atau mengikuti para “pelihat” di seluruh dunia, yang, sebenarnya, berkat “penampakan-penampakan” tersebut, mempunyai rumah-rumah yang bagus dan keberadaan yang nyaman – setidaknya demikian yang dikatakan oleh media.

Ada sedikitnya 6 atau 7 komunitas-komunitas religius atau mendekati religius, dalam proses atau sudah terbentuk, dari keuskupan atau tidak mempunyai hak, yang telah mendirikan diri mereka sendiri di Medjugorje melalui kehendak mereka sendiri, tanpa menyerahkan diri dengan taat kepada Lembaga Keuskupan. Komunitas-komunitas ini adalah lebih merupakan lambang ketidaktaatan daripada sebuah tanda karismatik ketaatan dalam Gereja ini!

Dalam keuskupan Mostar-Duvno terdapat sebuah masalah yang dalam tahun-tahun belakangan ini praktis telah menjadi sebuah skisma. Sedikitnya sembilan imam-imam Fransiskan, yang telah dikeluarkan dari Ordo OFM Fransiskan dan diberhentikan sebagai seorang divinis (yang dari Tuhan), telah memberontak melawan keputusan Tahta Suci dan telah tidak mengizinkan transfer/perubahan beberapa paroki-paroki dari Fransiskan ke administrasi Keuskupan. Mereka menempati dengan paksa sedikitnya lima paroki, semuanya, sambil tetap menjalankan fungsi-fungsi keimamatan. Mereka secara tidak sah memberkati perkawinan, mendengarkan pengakuan umat tanpa kemampuan kanonik, beberapa dari mereka secara tidak sah memberikan sakramen penguatan  kepada kaum muda, dan di tahun 2001 mereka mengundang seorang diakon Katolik tua yang secara palsu menampilkan dirinya sebagai seorang uskup untuk “memberikan konfirmasi/Sakramen Krisma” kepada kira-kira delapan ratus orang muda di tiga paroki. Dua orang dari para Fransiskan yang dikeluarkan ini bahkan bertindak jauh dengan meminta uskup Katolik tua dari Swiss, Hans Gerny, untuk mentahbiskan mereka sebagai uskup-uskup, namun mereka tidak berhasil. Begitu banyak sakramen yang tidak sah, begitu banyak ketidaktaatan, kekerasan, sakrilegi, ketidakpatuhan dan ketidakteraturan, namun tidak satu “pesan” pun di antara puluhan ribu “penampakan” telah dikirimkan untuk mengurangi skandal-skandal ini. Suatu hal yang sungguh sangat aneh!

Gereja, dari tingkat lokal sampai tingkat yang tertinggi, sejak awal hingga sampai hari ini, telah dengan jelas dan konstan mengulangi: Non constat de supernaturalitate! Hal ini praktis berarti tidak ada peziarahan yang diperbolehkan yang menisyaratkan adanya karakter supernatural apapun, tak ada tempat peziarahan dari Bunda Maria dan tak ada pesan-pesan yang otentik, pewahyuan-pewahyuan, ataupun penampakan-penampakan yang sejati!

Ini adalah keadaan hal-hal ini pada hari ini. Bagaimana keadaan-keadaan ini esok? Kita akan menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan dan di bawah perlindungan Bunda Kita.

Mostar, 1 September 2007

+ Ratko Perić

Uskup Mostar-Duvno

Selengkapnya, penjelasan Uskup dapat dibaca di situs resmi Keuskupan Mostar, http://www.cbismo.com/index.php?mod=vijest&vijest=101)

7. Kabar terkini tentang Medjugorje

CNA (Catholic News Agency) sekitar tiga tahun lalu menuliskan berita tentang Medjugorje yang cukup memprihatinkan, demikian:

Vatican City, 27 Juli 2009/ 12:17 pm – Paus Benediktus XVI telah menyetujui untuk sepenuhnya menarik status ordinasi dari Pastor Tomislav Vlasic, seorang imam yang memberikan klaim bahwa Bunda Maria telah menampakkan diri di Medjugorje di Bosnia. Pastor tersebut dilaporkan telah memutuskan untuk meninggalkan imamatnya dan ordo religiusnya.
……
Ketika penampakan tersebut dikatakan mulai terjadi di tahun 1981, Pastor Vlasic disebut sebagai “pembuat” fenomena tersebut oleh uskup gereja lokal dari Mostar-Duvno, Pavao Zanic.

Pastor Vlasic menjadi “penasihat spiritual” dari enam anak yang terlibat dalam penampakan yang diceritakan itu. Anak-anak itu kini mengatakan bahwa Perawan Maria telah mengunjungi mereka 40.000 kali selama 28 tahun terakhir.

Pada 25 Januari 2008, Pastor Vlasic dihentikan kegiatannya oleh Kongregasi Ajaran Iman.

Serangkaian pertanyaan dibuat dalam tuduhan bahwa ia melebih-lebihkan kisah-kisah dari kemunculan Perawan Maria, mengajarkan “doktrin yang meragukan”, memanipulasi  hati nurani, terlibat dalam “mistikisme yang mencurigakan” dan tidak patuh pada perintah-perintah yang sah mengenai peristiwa tersebut. Ia juga diselidiki untuk perbuatan seksual imoral setelah ia dinyatakan telah membuat seorang suster mengandung, kata Daily Mail.

Pastor Vlasic dikirim ke sebuah biara di Lombardia, Italia dan dilarang untuk berkomunikasi dengan siapapun tanpa ijin superiornya. Ia juga diminta untuk mengambil kursus pembentukan spritual teologis dan membuat pengakuan iman yang khidmat.

Pada hari Minggu muncul kabar bahwa Pastor Vlasic telah memilih untuk melepaskan imamatnya dan ordo religiusnya.

Paus Benediktus menyetujui pelepasan status ordinasinya di bulan Maret, sehingga melepaskan status imamnya…..”

(sumber dari berita CNA: http://www.catholicnewsagency.com/news/pope_benedict_laicizes_priest_connected_to_alleged_medjugorje_apparitions/)

8. Apa yang dilarang dan apa yang diizinkan Gereja

Apa yang telah dilarang oleh Gereja. Dari pernyataan yang diberikan sampai hari ini oleh otoritas gereja, jelas bahwa tak seorangpun yang mengepalai sebuah jabatan di dalam Gereja (uskup, imam, rektor, diakon atau yang lainnya) boleh dengan wewenang dari badan itu memberikan berkat resmi kepada aktivitas-aktivitas yang cenderung menyetujui supernaturalitas dari Medjugorje, yaitu, untuk menentang keputusan yang telah dibuat oleh otoritas lokal yang kompeten. Pernyataan-pernyataan itu hanya mewakili peziarah-peziarah yang dikelola di bawah organisasi resmi; bagaimanapun juga, akal sehat mengatakan kepada kita bahwa sebuah konferensi atau aktivitas lain yang disponsori oleh keuskupan, paroki, atau institusi Katolik lainnya juga akan dilarang. Demikian juga, tidak dapat diadakan penyembahan publik (kultus) terhadap Perawan Maria Yang Terberkati di bawah gelar Bunda Kita dari Medjugorje, karena hal ini berarti menyiratkan kepastian bahwa Bunda memang menampakkan diri di sana. Namun demikian, gelar Ratu Damai, sudah menjadi bagian dari patrimoni Gereja.

Pernyataan Yugoslavia mengatakan petunjuk liturgis-pastoral memandu yang dapat dikembangkan. Umat Katolik harus mematuhi panduan baik positif maupun negatif dari konferensi para uskup atau uskup lokal yang dikeluarkan sehubungan dengan tempat ini.

Apa yang Gereja izinkan. Sebagaimana pernyataan-pernyataan yang telah dikutip mencatat, umat Katolik diperkenankan untuk mengunjungi Medjugorje. Peziarahan semacam itu bahkan dapat mengikutsertakan imam-imam yang bertugas sebagai pemandu, namun mereka tidak diizinkan untuk secara resmi mensponsori kunjungan itu. Juga, Gereja tidak melarang diskusi-diskusi mengenai Medjugorje, maka hal itu diperbolehkan. Namun, akal sehat, mengatakan bahwa umat Katolik dari kedua belah pihak tentang peristiwa Medjugorje [pro dan kontra] harus menerapkan kearifan dan kasih dalam memperbincangkan tentang pihak lain yang percaya secara berbeda. Medjugorje bukanlah sebuah parameter uji dari kebenaran iman, walau setiap umat Katolik akan mempunyai kewajiban moral untuk menerima penilaian Roma, dengan cara yang diterangkan oleh Bapa Paus Benediktus, bila hal itu memang harus dilakukan.

(sumber dari http://www.ewtn.com/expert/answers/medjugorje.htm)

9. Kesimpulan:

Membaca keterangan di atas, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa walaupun belum ada pernyataan resmi dari Vatikan, namun besar kemungkinan fenomena yang terjadi di Medjugorje tidaklah merupakan penampakan-penampakan yang sejati/ otentik; sebab sejauh ini yang telah dinyatakan kepada kita adalah Non constat de supernaturalitate! Artinya, tidak ada hal yang adikodrati/ supernatural pada fenomena Medjugorje tersebut. Namun demikian, dikatakan bahwa Gereja tetap terbuka terhadap bukti-bukti baru, dan jika memang hal itu otentik, tentu Tuhan sendiri akan menyatakannya.

Dengan demikian, memang tidak dilarang jika umat mau berdoa di Medjugorje, seperti halnya juga tak ada larangan bagi siapapun untuk berdoa di gereja Katolik manapun, namun selayaknya tidak disertai dengan anggapan bahwa apa yang terjadi di sana sudah diakui oleh Gereja Katolik sebagai sesuatu yang otentik.

(Oleh: Ingrid Listiati dan Caecilia Triastuti- katolisitas.org)

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab