Home Blog Page 168

Tentang Malaikat Pelindung dan Eksorsisme

136

1. Tentang Malaikat Pelindung

Di dalam Alkitab PL kita mengetahui bahwa para malaikat diutus Allah untuk menjaga umat-Nya, seperti contohnya dalam kisah Lot (lih. Kej 28-29); bangsa Israel (lih. Kel 12-13); Nabi Musa (Kel 32:34). Dalam kitab Mazmur 91:11, “sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu.”

Dalam PB, Yesus mengajarkan, “Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga.”(Mat 18:11) Maka kita mengetahui bahwa Allah mengirimkan malaikat-Nya untuk menjaga manusia, bahkan anak-anak kecil. Malaikat ini yang tak terbatas oleh tubuh, menjaga manusia, namun pada saat yang sama mereka memandang Allah.

Hidup Yesus sendiri tak terlepas dari para malaikat-Nya, di saat kelahiran-Nya, saat Ia berpuasa di padang gurun, dan saat ia berdoa di Taman Getsemani. Para rasulpun mengalami perlindungan para malaikat, contohnya saat Rasul Petrus dibebaskan dari penjara (lih. Kis 12:1-19). Maka Rasul Paulus mengajarkan, “Bukankah mereka semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan?” (Ibr 1:14) Dan ‘roh-roh yang melayani’ ini adalah para malaikat.

Maka Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

KGK 336     Sejak masa anak-anak (Bdk. Mat 18:10) sampai pada kematiannya (Bdk. Luk 16:22) malaikat-malaikat mengelilingi kehidupan manusia dengan perlindungan (Bdk. Mzm 34:8; 91:10-13) dan doa permohonan (Bdk. Ayb 33:23-24; Za 1:12; Tob 12:12). “Seorang malaikat mendampingi setiap orang beriman sebagai pelindung dan gembala, supaya menghantarnya kepada kehidupan” (Basilius, Eun. 3, 1). Sejak di dunia ini, dalam iman, kehidupan Kristen mengambil bagian di dalam kebahagiaan persekutuan para malaikat dan manusia yang bersatu dalam Allah.

KGK 352     Gereja menghormati para malaikat yang mendampingi Gereja dalam ziarah duniawinya dan melindungi setiap manusia.

Dalam buku Fundamentals of Catholic Dogma, oleh Dr. Ludwig Ott (p. 120), dikatakan tentang peran para malaikat yang baik, yaitu: 1) Tugas utama para malaikat yang baik ini adalah memuliakan dan melayani Tuhan; 2) Tugas sekunder dari para malaikat yang baik adalah melindungi manusia dan memperhatikan keselamatannya; 3) Setiap umat beriman mempunyai malaikat pelindung yang khusus sejak Baptisan.

Maka besarlah peran para Malaikat Pelindung bagi keselamatan manusia. Namun demikian, Gereja tidak pernah mengeluarkan pengajaran definitif tentang adanya Malaikat Pelindung yang khusus mendampingi setiap jiwa manusia, dengan nama-nama tertentu, apalagi mengharuskan kita untuk berkomunikasi dengan Malaikat Pelindung kita. Kecenderungan untuk ‘berkomunikasi’ dengan malaikat pelindung ini malah harus diwaspadai, agar tidak malah menjadi semacam tahayul.

Bahwa Malaikat Pelindung itu ada, ini memang diajarkan oleh para Bapa Gereja, seperti St. Basilius yang dikutip di KGK dan juga St. Jerome, yang mengajarkan, “Betapa besarnya martabat jiwa manusia, sebab setiap jiwa dari kelahirannya mempunyai satu Malaikat yang ditugaskan untuk menjaganya.” ((Commentary on Matthew xviii, lib.II)) Maka, memang dalam tradisi Gereja memang terdapat doa mohon perlindungan dari Malaikat pelindung karena mereka selalu ada dalam hadirat Allah, dan intinya memohon agar mereka melindungi kita. Tetapi yang mengabulkan doa itu hanya Allah saja, karena memang Allah sudah menugaskan malaikat itu untuk menjaga kita, dan peran malaikat pelindung itu hanya mungkin karena kuasa Allah:

Angel of God, My Guardian Dear
to whom God’s love commits me here.
Ever this day be at my side
to light and guard and rule and guide. Amen

Malaikat Tuhan, Pelindungku yang terkasih,
yang olehnya Kasih Tuhan bekerja padaku di sini
Selalu pada hari ini, tetaplah di sisiku
untuk menerangi, dan menjaga, dan memimpin dan membimbing. Amin

Jadi saya rasa, cukuplah bagi kita untuk mengetahui bahwa Tuhan mengirimkan malaikat-Nya untuk menjaga kita. Selanjutnya di dalam doa kita, komunikasi yang kita lakukan adalah antara kita dengan Tuhan. Maka prinsipnya adalah, sama seperti kita boleh memohon agar para orang kudus mendoakan kita, kitapun boleh (bukan harus) memohon kepada malaikat pelindung untuk mendoakan kita; namun tidak lebih dari itu.

2. Tentang Eksorsisme (pengusiran setan)

Menurut New Advent Encyclopedia, pengertian eksorsisme adalah: 1) tindakan pengusiran setan-setan atau roh-roh jahat dari orang-orang, tempat, atau benda-benda, yang diyakini kerasukan setan atau menjadi korban atau alat-alat tipu muslihat mereka; 2) sebagai cara-cara yang dilakukan untuk maksud ini, terutama pengusiran setan secara resmi (solemn and authoritative) di dalam nama Tuhan.

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan tentang eksorsisme sebagai berikut:

KGK 1673    Kalau Gereja secara resmi dan otoritatif berdoa atas nama Yesus Kristus, supaya seorang atau satu benda dilindungi terhadap kekuatan musuh yang jahat dan dibebaskan dari kekuasaannya, orang lalu berbicara tentang eksorsisme. Yesus telah melakukan doa-doa semacam itu (Bdk. Mrk 1:25-26); Gereja menerima dari Dia kekuasaan dan tugas untuk melaksanakan eksorsisme (Bdk. Mrk 3:15; 6:7.13; 16:17). Dalam bentuk sederhana eksorsisme dilakukan dalam upacara Pembaptisan. Eksorsisme resmi atau yang dinamakan eksorsisme besar hanya dapat dilakukan oleh seorang imam dan hanya dengan persetujuan Uskup. Imam itu harus melakukannya dengan bijaksana dan harus memegang teguh peraturan-peraturan yang disusun Gereja. Eksorsisme itu digunakan untuk mengusir setan atau untuk membebaskan dari pengaruh setan, berkat otoritas rohani yang Yesus percayakan kepada Gereja-Nya. Lain sekali dengan penyakit-penyakit, terutama yang bersifat psikis; untuk menangani hal semacam itu adalah bidang kesehatan. Maka penting bahwa sebelum seorang melakukan eksorsisme, ia harus mendapat kepastian bagi dirinya bahwa yang dipersoalkan di sini adalah sungguh kehadiran musuh yang jahat, dan bukan suatu penyakit. (Bdk. CIC, can. 1172).

Kita mengetahui adanya dua macam eksorsisme, yaitu:
1) eksorsisme sederhana yang dilakukan terhadap katekumen oleh imam yang membaptis,
2) eksorsisme yang resmi/ besar (pada kasus orang-orang yang kesurupan/ terkena pengaruh roh jahat). Bentuk eksorsisme ini hanya dapat dilakukan oleh imam yang ditunjuk secara khusus oleh Uskup. Ia haruslah seorang yang kudus, dalam artian berakar kuat dalam doa, Sabda Allah, sakramen, puasa, matiraga, dan rendah hati dengan mengandalkan kekuatan Tuhan saja. Sebelum melakukan ritus eksorsisme, imam itu sendiri haruslah mengaku dosa di Sakramen Tobat, atau setidak-tidaknya mengucapkan doa “act of contrition” dan sedapat mungkin mempersembahkan Misa, dan memohon pertolongan Tuhan dengan doa-doa yang khusuk.
Selanjutnya doa ritus eksorsisme yang hanya dapat diucapkan oleh imam dengan kuasa Gereja, yang ditujukan pada orang yang positif dinyatakan kerasukan setan, dapat dilihat di link ini, silakan klik, atau ritus khusus yang memang masih dalam bahasa Latin, De exorcismus et supplicationibus quibusdam, yang disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II tahun 1998. Gereja memang menyarankan agar kita berhati-hati untuk menyatakan bahwa seseorang benar-benar kerasukan, sebab di banyak kasus, orang yang kelihatan ‘terganggu’ bukan disebabkan oleh kerasukan setan tetapi oleh hal-hal lain, seperti gangguan kejiwaan, penyakit, atau tekanan emosional, dst. Untuk ini memang diperlukan ‘discerment’ dari pihak mereka yang melayani di lapangan.

Gereja Katolik mengajarkan bahwa eksorsisme besar tersebut yang berkaitan dengan kasus-kasus yang ekstrim dan berat, hanya dapat dilakukan oleh seorang imam, yang diberi kuasa oleh Uskup. Namun untuk kasus-kasus yang tidak ekstrim, umat yang bersangkutan ataupun awam yang lain dapat mendoakan doa pelepasan dari kuasa kegelapan, silakan klik di sini. Maksud Gereja membatasi pelaku eksorsisme besar tersebut juga adalah untuk kepentingan umat agar kuasa jahat tersebut tidak malah ‘memasuki’/ mengganggu orang yang mengusirnya. Kita ketahui bahwa Yesus sendiri juga tidak dengan sembarangan mengirim semua orang untuk mengusir setan (yang diberi kuasa adalah para murid-Nya); inipun harus dipersiapkan secara khusus, sebab dapat saja kasusnya cukup berat, yang hanya dapat diatasi dengan doa puasa.

Dalam kehidupan sehari-hari, dapat saja kita mengetahui adanya tempat-tempat, benda-benda atau orang-orang tertentu yang terkena pengaruh kuasa jahat dalam batas-batas yang dizinkan Tuhan. Untuk mengatasi hal ini maka para beriman dapat berdoa kepada Tuhan agar Ia sendiri berbelas kasihan kepada kita dan mengusir pengaruh jahat tersebut, atau jika memang kasusnya berat, silakan menghubungi pihak keuskupan untuk memohon bantuan dari imam yang khusus ditugaskan untuk itu.

Jadi pada prinsipnya, dalam doa mengusir kuasa jahat ini, yang boleh kita lakukan sebagai umat Katolik bukan dalam artian berkomunikasi/ menghardik iblis secara langsung, namun berupa doa permohonan kepada Tuhan dan doa syafaat dari para Orang Kudus dan para malaikat Tuhan untuk membantu kita mengusir setan, dan memohon kepada Yesus untuk mengusir kuasa jahat itu bagi kita. (Sedangkan untuk benda lebih baik dibakar/ dimusnahkan saja, sebagai tanda tiadanya keterikatan lagi dengan benda itu). Prinsip-prinsip ini diberikan, justru untuk kepentingan kita sendiri, berdasarkan akan iman dan kuasa Yesus yang masih tetap nyata bekerja pada saat ini, juga di dalam Para Kudus-Nya. Mereka (para kudus) di surga adalah mereka yang sudah jelas berhasil mengalahkan kuasa setan dalam hidup mereka, sedangkan kita di dunia ini masih dalam proses perjuangan mengalahkan kuasa jahat, karena kita masih bisa jatuh di dalam dosa. Maka memohon doa kepada Yesus untuk mengusir kuasa jahat, dan memohon agar para kudus mendoakan kita adalah bentuk kerendahan hati, suatu sifat yang paling tidak disukai oleh Iblis. Dengan kerendahan hati kita menolak dosa utama Iblis, yaitu kesombongan. Dengan berlindung kepada Yesus dan persekutuan para Orang Kudus-Nya, kita memperoleh bantuan dari seluruh bala tentara surgawi untuk menolak kuasa jahat apapun dalam hidup ini.

Maka, tak mengherankan, salah satu doa yang paling berkuasa untuk mengusir kuasa roh jahat adalah doa Rosario, karena Bunda Maria yang telah berhasil mengalahkan kuasa jahat dengan kekudusan, kerendahan hati dan ketaatannya kepada Tuhan sepanjang hidupnya. Jika diucapkan dengan disposisi hati yang benar, doa ini, beserta dengan doa litani para kudus, akan sangat besar kuasanya. Di samping doa, tentu yang sangat besar kuasanya untuk menolak kuasa jahat adalah sakramen Tobat dan Ekaristi.

Apa yang Menghimpit Gereja di Eropa?

16

Paus Yohanes Paulus II juga mempunyai keprihatinan yang sama dengan keprihatinan Anda. Dalam surat Ekshortasi Apostoliknya yang berjudul Ecclesia in Europe (Gereja di Eropa) ia menuliskan juga menurunnya kehidupan rohani jemaat di Eropa (dan juga di negar-negara barat lainnya). Silakan klik di link ini untuk membaca ringkasannya. Banyak orang hidup dalam kebingungan, tidak pasti dan tidak berpengharapan, walaupun secara jasmani tampak tidak berkekurangan. Walaupun di zaman dahulu benua Eropa dikenal dengan simbol-simbol kehadiran agama Kristen, kini simbol-simbol tersebut terancam hilang dan menjadi bekas jejak di masa lalu.

Sebabnya menurut Paus adalah adanya kemajuan sekularisme yang terus menekan dan mengancam kehidupan iman Kristiani. Sekularisme adalah suatu pandangan yang menekankan perkembangan fisik, moral, intelektual manusia sebagai titik tertinggi, terlepas dari pertimbangan religius. Dengan adanya kemajuan sekularisme ini, banyak orang mengalami kesulitan untuk menerapkan nilai-nilai Injil ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan dipisahkannya nilai-nilai iman dengan kehidupan sehari- hari, maka orang mengusahakan kemajuan visi manusia terpisah dari visi Tuhan. Pandangan sekularisme menempatkan manusia di pusat realitas kehidupan, menggantikan tempat Tuhan. Manusia mulai beranggapan bahwa kebenaran-pun ditentukan oleh manusia, dan bukan oleh Tuhan. Di sini timbul ide relativisme, segalanya relatif sebab tergantung dari pandangan manusia, yang bisa berbeda antara satu orang dan lainnya. Manusia mulai lupa bahwa bukan manusia yang menciptakan Tuhan, tapi sebaliknya Tuhanlah yang menciptakan manusia. Budaya Eropa yang mengagungkan manusia sebagai pusat dunia, terpisah dari Tuhan, membuat mereka hidup seolah- olah Tuhan tidak ada. Inilah yang disebut sebagai ‘silent apostasy’/ (kesesatan total secara diam-diam).

Terhadap sikap ini Paus Yohanes Paulus II berseru, mengutip kitab Wahyu, “Bangunlah, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati… (Why 3:2). Gereja di Eropa diserukan untuk bangkit dan bertumbuh dalam keyakinan bahwa Tuhan melalui Roh Kudus-Nya selalu hadir dan tetap berkarya di tengah sejarah manusia, dan Tuhan membuat Gereja-Nya sebagai aliran kehidupan yang terus mengalir menjadi tanda pengharapan bagi semua orang.

Cara-cara yang perlu dilakukan, menurut Paus adalah:

1) Re-evangelisasi (penginjilan kembali) di Eropa, bahkan kepada mereka yang sudah dibaptis, sebab dewasa ini banyak orang beranggapan bahwa mereka telah mengenal iman Kristiani, tetapi kenyataannya mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa. Seringnya mereka bahkan kurang/ tidak tahu elemen yang paling mendasar di dalam iman. Mereka melakukan devosi tapi tidak mengerti dasarnya. Dasar yang tidak kuat ini membuat orang semakin mudah terpengaruh oleh agnosticisme dan atheisme (tidak mengakui agama dan tidak mengakui Tuhan). Maka orang- orang Kristen dipanggil agar kembali menghayati imannya, iman yang secara kritis dapat menjawab tantangan zaman dan menolak segala godaan, yang memberikan pengaruh kepada keadaan dunia -dalam hal budaya, sosial, politik, dst- yang mempraktekkan bahwa persaudaraan antara kaum Katolik dan Kristen non-Katolik adalah lebih kuat daripada ikatan etnis; agar dapat mewariskan iman Kristiani kepada generasi berikutnya. Ini adalah tantangan Gereja di zaman akhir ini, sebab Kristus berkata, “Ketika Anak manusia datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Luk 18:8)

2) Sakramen Tobat harus dihidupkan kembali di Eropa, untuk menumbuhkan kembali hati nurani yang jernih. Sebab jalan seseorang untuk kembali kepada Tuhan adalah melalui pertobatan; dan agar seseorang dapat bertobat, ia pertama- tama harus menyadari dosanya, dan selanjutnya ia perlu menerima rahmat pengampunan Allah melalui imam-Nya.

3) Gereja perlu mewartakan secara baru, kebenaran tentang perkawinan dan keluarga. Di tengah-tengah pandangan dunia yang menentang ajaran Gereja tentang ikatan perkawinan yang tak terceraikan, tuntutan dunia agar hubungan de-facto diakui sebagai perkawinan yang sah, tuntutan agar perkawinan sesama jenis diakui, Gereja tetap harus menyuarakan hakekat perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan. Orang-orang perlu menemukan kembali kebenaran tentang keluarga sebagai persekutuan kehidupan dan persekutuan kasih yang terbuka terhadap kehidupan baru, sebagai Gereja kecil yang mengambil bagian di dalam misi Gereja dan di dalam kehidupan masyarakat. Maka kehidupan doa dan iman harus kembali ditumbuhkan di dalam setiap keluarga.

Mari berdoa agar jangan sampai kitapun terpengaruh oleh paham sekularisme ini, yang sedikit demi sedikit juga mulai merasuki pola pikir banyak orang di tanah air. Sebaliknya, mari kita berjuang untuk menerapkan nilai- nilai iman di dalam kehidupan kita sehari- hari, tentu dengan pertolongan Tuhan.

Tentang Panggilan dan Misi Kaum Awam

8

Salah satu dokumen Magisterium Gereja yang dapat dipakai sebagai dasar komunitas awam adalah Ekshortasi apostolik, Christifideles Laici (CL), tentang Panggilan dan Misi Kaum Awam, yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II yang Terberkati. Teks lengkapnya dapat dibaca di link ini, silakan klik.

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa dasar tugas panggilan dan misi kaum awam adalah persekutuan dengan Kristus (lih. CL 8). Misteri persekutuan dengan Kristus inilah yang menyatakan martabat panggilan dan misi kaum awam. Maka pelaksanaan tugas panggilan kaum awam pada dasarnya merupakan 1) partisipasi kaum awam dalam ketiga misi Kristus sebagai imam, nabi dan raja (lih. CL 14), yaitu misi yang kita peroleh setelah kita dibaptis- dan 2) sebagai langkah nyata yang dilaksanakan untuk dapat bertumbuh dalam kekudusan (lih. CL 16-17), yang menjadi panggilan semua umat Kristen.

Nah, Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa persekutuan dengan Kristus diperoleh di dalam Sabda Tuhan dan sakramen-sakramen, terutama sakramen Ekaristi (lih. CL 19). Juga karena Gereja adalah persekutuan para orang kudus dengan Kristus sebagai Kepalanya, maka persekutuan kita dengan Kristus juga harus mengakibatkan persekutuan kita dengan anggota-anggota Kristus lainnya (lih. CL 19), yang beragam dan saling melengkapi (lih. CL 20-21), di mana tiap-tiap anggota menjalankan perannya masing-masing untuk membangun Gereja, demi kebaikan umat manusia dan dunia (lih. CL 24). Terkait dengan persekutuan ini, maka semua komunitas umat beriman harus berkomitmen untuk mengatasi segala bentuk perpecahan dan pertentangan, sebab hal ini tidak sesuai dengan hakekat persekutuan dengan Kristus dan Tubuh-Nya (lih. CL 31)

Maka adalah hak awam untuk mendirikan komunitas awam (CL 29); namun terdapat kriteria-nya agar bentuk-bentuk ini dapat dikatakan otentik (lih. CL 30):

1. Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi panggilan setiap umat beriman kepada kekudusan.

2. Bertanggung jawab untuk mengakui iman Katolik yang sepenuhnya: kebenaran akan Kristus, Gereja dan umat manusia, sesuai dengan ajaran Magisterium.

3. Memberikan kesaksian akan persekutuan yang kuat dan otentik, dalam ketaatan kepada Bapa Paus dan pada iman Gereja.

4. Sesuai dan berpartisipasi di dalam tujuan karya kerasulan Gereja, yaitu evangelisasi dan pengudusan umat manusia dan pembentukan hati nurani umat Kristiani, agar dapat menanamkan semangat Injil di dalam sendi-sendi kehidupan manusia.

5. Berkomitmen untuk hadir dalam masyarakat untuk melayani martabat manusia- atas dasar bahwa semua manusia diciptakan menurut gambaran Tuhan- dan untuk melayani kehidupan.

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa kaum awam mempunyai panggilan dan misi untuk mewartakan Injil (lih. CL 33). Melalui evangelisasi, Gereja dibangun menjadi komunitas iman, yaitu komunitas yang mengakui iman yang setia penuh pada Sabda Tuhan, sebagaimana dirayakan dalam sakramen, dan komunitas yang hidup di dalam kasih yang menjadi prinsip ajaran moral Kristiani (lih. CL 33). Prinsip utama dari pewartaan kaum awam ini adalah membawa terang Kristus ke dalam dunia sekular, sehingga nilai-nilai kehidupan di dunia ini dapat diarahkan kepada Kristus. Titik awal dari panggilan dan misi ini dimulai dari keluarga yang adalah inti sel masyarakat yang terkecil (CL 40), dan tujuan dari misi ini adalah untuk melayani kehidupan masyarakat, demi kebaikan bersama (lih. CL 42).

Untuk melakukan tugas panggilan dan misi kaum awam, diperlukan proses formasi/ pendewasaan iman di dalam kesatuan dengan Kristus, sebagaimana ranting harus selalu melekat pada pokoknya (Lih. Yoh 15; CL 57). Tujuan yang paling mendasar dari proses ini adalah agar setiap orang yang terlibat dapat mengetahui dengan lebih jelas akan panggilan hidupnya dan berkemauan lebih besar untuk melaksanakan misinya (lih. CL 58). Untuk dapat mengetahui kehendak Tuhan di dalam hidup kita ini hanya dapat diperoleh melalui: 1) mendengarkan Sabda Tuhan dan Gereja, 2) doa yang sungguh-sungguh dan terus menerus, 3) bimbingan dari pembimbing rohani yang bijaksana, 4) discernment yang terus menerus tentang berbagai karunia dan talenta yang sudah diberikan Tuhan dan juga keadaan di mana kita tinggal (lih. CL 58). Proses formasi ini pada dasarnya adalah proses pembentukan diri agar dapat semakin terbuka terhadap karya Allah (lih. CL 63).

Bersumber dari panggilan dan misi sebagai umat Kristiani inilah, lahirlah karya-karya kerasulan awam. Salah satu dokumen Gereja (dari Konsili Vatikan II) yang mengatur kegiatan ini adalah dekrit tentang Kerasulan Awam yang berjudul Apostolicam Actuositatem yang teksnya dapat dibaca di sini, silakan klik

Kitab Suci dengan jelas mengisahkan keteribatan kaum awam, sejak awal mula terbentuknya Gereja (lih. Kis 11:19-21; 18:26; Rom 16:1-16; Flp 4:3). Sedangkan cara hidup komunitas jemaat/ Gereja awal ditulis dalam Kis 2:41-47.

Tentang tugas kerasulan kaum awam, Katekismus mengajarkan demikian:

KGK 900    Kaum awam, seperti juga semua umat beriman, telah menerima dari Allah tugas kerasulan berkat Pembaptisan dan Penguatan; karena itu mereka mempunyai hak dan kewajiban, baik sendiri-sendiri maupun dalam persekutuan dengan orang lain, untuk berusaha supaya semua manusia di seluruh dunia mengenal dan menerima berita keselamatan ilahi. Kewajiban ini lebih mendesak lagi, apabila orang tertentu hanya melalui mereka dapat menerima Injil dan mengenal Kristus. Dalam persekutuan gerejani kegiatan mereka sekian penting, sehingga kerasulan pastor sering tidak dapat berkembang sepenuhnya tanpa mereka.

KGK 910    “Kaum awam dapat juga merasa dirinya terpanggil atau dapat dipanggil,untuk bekeja sama dengan para gembala mereka dalam dalam melayani persekutuan gerejani, demi pertumbuhan dan kehidupan persekutuan itu. Dalam pada itu mereka dapat mengambil alih pelayanan yang sangat berbeda-beda, sesuai dengan rahmat dan karisma yang Tuhan anugerahkan kepada mereka (EN 73).

Selanjutnya tentang tugas penginjilan/ evangelisasi, dasarnya dapat dibaca di dokumen Ekshortasi Apostolik Evangelii Nuntiandi, oleh Paus Paulus VI, silakan klik.

Kristus yang Dikandung dari Roh Kudus, Dilahirkan oleh Perawan Maria

14

I. Dasar Inkarnasi dari Kitab Suci:

  • Yoh 1:1-14– Sang Firman itu ada bersama-sama dengan Allah pada mulanya dan Sang Firman itu adalah Allah
  • Yoh 1:14– Sang Firman/ Sang Sabda itu menjadi manusia
  • Mat 16:13-17– Yesus adalah Mesias, Sang Putera Allah
  • Mat 28:18-19– Kristus telah diberikan segala kuasa
  • Yoh 3:16– Karena begitu besar kasih Allah akan dunia, Ia mengutus Putera-Nya ….
  • Yoh 14:6– Yesus adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup
  • Yoh 15:12-27– Yesus menjelma menjadi manusia agar menjadi teladan kekudusan bagi semua orang yang percaya dan mengikuti-Nya
  • Flp 2:5-11– Dalam nama Yesus, semua orang akan bertekuk lutut
  • 2Pet 1:3-4– Sang Sabda menjadi manusia untuk membuat kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi.
  • 1Yoh 4:10 – Karena Tuhan mengasihi kita, Ia mengutus Putera-Nya yang Tunggal.

II. Dasar Inkarnasi dari Tradisi Suci:

  • St. Ignatius dari Antiokhia (35-117): “Ada seorang Tabib yang aktif, baik di dalam tubuh maupun jiwa …. Tuhan di dalam manusia, kehidupan sejati di dalam kematian, Anak Maria dan Anak Allah, yang pertama dapat menderita dan yang kemudian tidak dapat menderita, Yesus Kristus, Tuhan kita.” (Letter to the Ephesians, Chap.3)
  • St. Irenaeus (130-202): “[Gereja percaya] akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi …. dan akan Yesus Kristus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia untuk keselamatan kita; dan di dalam Roh Kudus, yang mewartakan rencana ilahi melalui para nabi…” (Against Heresies, Ch. I)
  • St. Klemens dari Aleksandria (150-215): “Sang Sabda ini adalah Kristus, penyebab keberadaan kita pada mulanya ….dan penyebab kesejahteraan kita. Sabda ini kini telah menjadi manusia – Pencipta segala rahmat…. telah diutus di jalan kita kepada kehidupan kekal … Ini adalah Sang Putera…, pernyataan Sabda yang sudah ada sejak awal mula dan sebelum awal mula. Sang Penyelamat, yang telah ada sebelumnya, kini telah muncul; sebab Sang Sabda yang telah ada bersama-sama dengan Allah dan yang melalui-Nya semua telah diciptakan, telah muncul sebagai Guru kita. Sang Sabda yang pada mulanya mengaruniakan kehidupan kepada kita sebagai Pencipta ketika Ia membentuk kita, mengajarkan kepada kita bagaimana untuk hidup dengan baik ketika Ia muncul sebagai Guru kita, sehingga sebagai Tuhan, Ia dapat mempimpin kita kepada hidup yang tanpa akhir. (Exhortation to Heathen, Chap I,7:1)
  • St. Gregorius dari Nissa (335-395): “Maka jika kamu bertanya dengan cara apa ke-Allah-an dicampurkan dengan kemanusiaan, kamu akan memperoleh kesempatan untuk pertanyaan awal tentang berbaurnya jiwa dengan tubuh. Tapi seandainya kamu tidak tahu caranya bagaimana jiwa bersatu dengan tubuh, jangan berharap bahwa pertanyaan lainnya itu harus berada dalam jangkauan pemahamanmu. Sebaliknya, seperti di dalam kasus persatuan antara jiwa dan tubuh, sementara kita memperoleh alasan untuk percaya bahwa jiwa adalah sesuatu yang berbeda dari tubuh – sebab tubuh jika terpisah dari jiwa, akan mati dan tidak aktif-, kita tidak memperoleh pengetahuan yang pasti tentang cara persatuan itu. Sehingga di dalam pertanyaan lainnya tentang persatuan antara ke-Allahan dan kemanusiaan, sementara kita menyadari bahwa terdapat perbedaan berkenaan dengan derajat kemuliaan antara kodrat ke-Allahan dan kodrat kemanusiaan yang fana, kita juga tidak dapat menangkap bagaimana elemen-elemen keilahian dan kemanusiaan dicampurkan bersama. Namun demikian, kita tidak dapat ragu bahwa Tuhan lahir di dalam kodrat manusia, oleh karena mukjizat -mukjizat yang telah disebutkan di atas.” (The Great Catechism, no.11)
  • St. Agustinus (354-430): “Tetapi ada orang-orang yang meminta penjelasan tentang bagaimana Tuhan dapat bersatu dengan manusia sedemikian sehingga menjadi seorang Pribadi Kristus, seakan-akan mereka dapat menjelaskan sesuatu yang terjadi setiap hari, yaitu bagaimana jiwa dapat bersatu dengan tubuh untuk membentuk seorang pribadi manusia. Sebab, seperti jiwa menggunakan tubuh seorang pribadi untuk membentuk manusia, maka Tuhan menggunakan seorang manusia di dalam seorang Pribadi untuk membentuk Kristus.” (Letters, no. 137:3)

III. Dasar Inkarnasi dari Katekismus Gereja Katolik:

  • KGK 457 – Sang Sabda menjadi manusia untuk mendamaikan kita dengan Tuhan
  • KGK 158 – Inkarnasi: supaya kita kita dapat mengenal kasih Allah
  • KGK 459 – Sang Sabda menjadi manusia untuk menjadi teladan kekudusan
  • KGK 460 – Inkarnasi – untuk membuat kita pengambil bagian di dalam kodrat ilahi
  • KGK 464- 469 – Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia
  • KGK 470- 477 – Bagaimana Putera Allah menjadi manusia

IV. Kepenuhan rencana Allah

Allah Tritunggal Maha Kudus telah mempunyai rencana keselamatan bagi umat manusia, sehingga ketika genap waktunya, Allah mengutus Anak-Nya (lih. Gal 4:4), yang dikandung dari Roh Kudus dan lahir dari seorang perawan – Perawan Maria. Maria mengandung Kristus Sang Putera Allah – bukan dari benih manusia, namun dari Roh Kudus. Dalam artikel ini, kita akan melihat tentang Inkarnasi, mengapa Tuhan memilih cara Inkarnasi untuk menyelamatkan manusia, dan bagaimana Tuhan telah mempersiapkan kedatangan Kristus ke dunia dengan begitu sempurna, termasuk mempersiapkan Maria sebagai Bunda Allah, sehingga Maria dapat menjalankan tugasnya sebagai Bunda Allah dengan baik.

V. Inkarnasi

1. Apakah Inkarnasi adalah suatu keharusan?

Inkarnasi adalah merupakan puncak dari misteri karya keselamatan Allah. Tanpa kehilangan kodrat Allah, Putera Allah mengambil kodrat manusia dan masuk dalam sejarah manusia untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Maka Inkarnasi adalah suatu misteri terbesar yang dilakukan Tuhan. Misteri ini tidak dapat dipahami hanya dengan pemikiran manusia, karena hal ini menyangkut pikiran dan tindakan bebas yang dilakukan oleh Tuhan. Kini pertanyaannya adalah, apakah Inkarnasi merupakan suatu keharusan? St. Thomas Aquinas menjawabnya dengan “ya” dan “tidak”. ((St. Thomas Aquinas, ST, III, q.1, a.2)) Dapat dikatakan bahwa Inkarnasi bukanlah suatu keharusan yang mutlak, karena Tuhan juga dapat menyelamatkan manusia dengan cara yang lain. Namun, kita dapat mengatakan bahwa Inkarnasi adalah suatu keharusan yang relatif, karena itu adalah cara yang paling layak (the most fitting) dan sempurna (the most perfect) untuk membawa manusia kembali kepada Tuhan dari jurang yang tak terseberangi antara Tuhan dan manusia, yang diakibatkan oleh dosa. Karena kodrat Tuhan adalah sempurna, maka Tuhan mengambil cara yang sempurna – yaitu Inkarnasi – sebagai cara yang sesuai dengan kodrat-Nya.

2. Apakah Inkarnasi bertentangan dengan kodrat Tuhan?

Banyak orang  tidak mempercayai Inkarnasi, karena dua alasan utama, yaitu: (a) Tuhan tidak mungkin menjadi manusia; (b) Inkarnasi menurunkan derajat Allah. Namun, sebenarnya Inkarnasi justru membuktikan bahwa Tuhan yang adalah maha dalam segalanya, juga maha dalam kasih sehingga Ia mau menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran akibat dosa.

Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah maha dalam segalanya, mengapakah kita membatasi kemampuan dan kehendak Tuhan untuk menjadi manusia? Memang Tuhan tidak dapat mempertentangkan diri-Nya, seperti Tuhan yang kudus tidak mungkin berdosa, karena dosa bertentangan dengan kekudusan. Namun, Allah yang menjadi manusia atau Inkarnasi tidaklah bertentangan dengan kodrat Allah, karena dalam Inkarnasi, Allah tidak berhenti menjadi Allah. Akan menjadi bertentangan kalau Allah berhenti menjadi Allah. Sebaliknya, dalam Inkarnasi, Allah tetap mempertahankan kodrat-Nya sebagai Allah walaupun pada saat yang sama Ia juga mengambil kodrat manusia, sehingga karenanya kodrat manusia diangkat oleh Allah ke derajat yang sungguh mulia.

Keberatan yang lain datang dari sebagian orang yang berpendapat bahwa tidak mungkin Tuhan menjadi manusia, karena hal tersebut sama saja dengan merendahkan derajat Tuhan yang Maha kuasa dan besar. Namun, misteri Inkarnasi membuktikan sebaliknya, bahwa dengan menjadi manusia, Tuhan telah menunjukkan bagaimana Ia mengasihi kita dengan kasih-Nya yang tidak terbatas, sehingga kita seharusnya lebih mengasihi Tuhan dengan segenap kekuatan kita.  Dalam keseharian kita, bukankah dibutuhkan kekuatan dan kebesaran hati bagi seseorang yang ‘dari kalangan atas’ untuk merendahkan diri dan ikut solider dengan orang-orang jelata? Bayangkanlah kebesaran Allah yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus dengan menjelma menjadi manusia! Ia yang mengatasi segala waktu, masuk ke dalam waktu, Ia yang luar biasa besar dan tiada terbatas mengosongkan diri hingga menjadi setitik sel (embrio) dalam rahim Bunda Perawan Maria. Kita juga dapat melihat bahwa ‘kebesaran’ seseorang yang mengundang rasa kagum, tiada berarti jika tidak diimbangi kasih, bukan?  Dalam kehidupan kita sehari-hari, mungkin kita melihat dengan kagum pada sosok artis atau aktor tertentu. Namun tentu saja kita akan lebih mengasihi orang tua kita dibandingkan dengan para aktor atau artis, bukan karena orang tua kita lebih cakap daripada aktor atau artis, namun karena orang tua kita telah mengasihi kita dengan kasih yang besar, yang terbukti dengan segala pengorbanan yang dilakukan mereka demi kebahagiaan kita.

3. Mengapa harus dengan Inkarnasi?

Sekarang, mari kita melihat mengapa Tuhan mengambil cara Inkarnasi, suatu cara yang sebenarnya ada di luar jangkauan akal budi manusia. Mari kita melihatnya dari dua sisi, yaitu dari sisi Tuhan dan dari sisi manusia. Dari sisi Tuhan, kita melihat bahwa Inkarnasi adalah cara terbaik yang dipakai Tuhan untuk (a) menyatakan kebaikan-Nya dan (b) menyatakan kasih, pengampunan, keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Sedangkan dari sisi manusia, Inkarnasi menjadi cara untuk: (c) membebaskan manusia dari belenggu dosa; (d) mengembalikan harkat dan jati diri manusia; (e) memperkuat iman, pengharapan dan kasih; (f) menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya memberikan perintah namun juga jalan. Dari alasan-alasan ini terlihatlah bahwa Inkarnasi adalah cara yang sungguh luar biasa yang dilakukan Tuhan yang Maha luar biasa. Mari sekarang kita membahas satu persatu dari beberapa alasan Inkarnasi.

a. Inkarnasi sebagai cara Tuhan untuk menyatakan kebaikan

Kalau kita melihat dari perspektif Tuhan, kita akan melihat bahwa Inkarnasi adalah sesuatu yang sudah layak dan seharusnya, oleh karena sifat Tuhan sendiri. Sebab secara prinsip, segala sesuatu akan bertindak sesuai dengan sifat dan hakekatnya. Contoh: batu kalau dilepaskan akan jatuh, tanaman kalau diberi air dan sinar secukupnya akan tumbuh, manusia bertindak sesuai dengan akal budi dan keinginan bebasnya. Atau, seorang ibu akan mengasihi anaknya dan akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan anaknya.

Di dalam Tuhan, hakekat- Nya bukan hanya menjadi bagian dari-Nya, namun Tuhan adalah hakekat tersebut secara sempurna, seperti: Tuhan adalah Kebaikan, Kebenaran, Keindahan, dan Kasih. Kita juga dapat menerapkan prinsip penting yang lain, yaitu “bonum diffusivum sui” atau “kebaikan akan menyebar dengan sendirinya“, sama seperti panas yang akan menyebarkan hawa panasnya ke segala arah, atau lilin yang bercahaya dalam kegelapan. Dan kalau Tuhan adalah Kebaikan -dalam pengertian yang absolut dan sempurna- maka kebaikan ini akan tersebar dan mencoba menjangkau setiap orang. Pertanyaannya, bagaimana Tuhan dapat mengkomunikasikan kebaikan ini kepada manusia?

Cara pertama adalah dengan cara yang sempurna dan absolut, yang hanya ada dalam kehidupan Tritunggal Maha Kudus. Manusia hanya dapat berpartisipasi di dalamnya, dan partisipasi ini akan mencapai kesempurnaanya pada saat kita berada di surga. Kedua, adalah dengan cara yang terbatas, yaitu partisipasi dari semua makhluk ciptaan. Ini adalah pembuktian ke-empat dari St. Thomas Aquinas tentang keberadaan Tuhan. Ketiga, adalah dengan melalui rahmat pengudusan. Ini yang kita peroleh pada waktu Pembaptisan, di mana hakekat kita diangkat ke tingkat adi-kodrati, yaitu kita dapat berpartisipasi di dalam kehidupan Allah. Namun cara ini hanya dimungkinkan setelah Tuhan sendiri menjadi manusia, menanggung dosa manusia untuk menebusnya, dan memberikan jalan untuk bersatu dengan Tuhan kembali. Cara yang ke-empat adalah dengan cara yang yang paling agung dan mulia, yaitu dengan cara mengambil sifat kemanusiaan tersebut dan membuatnya menjadi satu kesatuan dengan diri-Nya. Cara yang terakhir inilah yang dilakukan oleh Tuhan dalam misteri Inkarnasi. Melalui Inkarnasi, Tuhan sendiri menjadi manusia, sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa. Dengan cara ini, maka manusia tidak hanya berpartisipasi di dalam kehidupan Tuhan, namun Tuhan yang berinkarnasi telah membuat kemanusiaan menjadi satu dengan kepribadian Tuhan. Dengan menjadi manusia, Tuhan tidak hanya menyucikan kemanusiaan Yesus, tetapi seluruh umat manusia, karena sifat ke-Tuhanan yang melampaui semua manusia.

Oleh karena Tuhan baik dalam pengertian yang sempurna dan absolut, maka Tuhan akan mengambil cara yang paling sempurna dan luhur. Seperti halnya lilin kecil hanya mungkin menerangi satu ruangan kecil, namun sebaliknya matahari mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk menerangi seluruh bumi, maka Tuhan selayaknya mengambil cara yang paling sempurna untuk menyampaikan kebaikan-Nya kepada manusia yaitu melalui misteri Inkarnasi. Inkarnasi adalah cara yang paling agung dan sempurna untuk menyampaikan kebaikan Tuhan.

b. Inkarnasi sebagai manifestasi kasih, pengampunan, keadilan dan kebijaksanaan Tuhan

Kita dapat memberikan argumentasi yang lain tentang kelayakan Inkarnasi, yaitu melalui sifat-sifat Tuhan yang lain, yaitu maha kasih, berbelas kasih, adil, dan bijaksana. Sudah selayaknya, Tuhan yang sempurna dan maha mulia mengkomunikasikan segala sifat-Nya dengan cara yang paling sempurna, yang terwujud dalam misteri Inkarnasi.

Yesus telah menunjukkan kesempurnaan belas kasihan dan kasih-Nya kepada umat manusia melalui penderitaan-Nya, yang mencapai puncaknya di kayu salib.  Karena kasih-Nya kepada umat manusia, Tuhan telah memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk keselamatan umat manusia (Yoh 3:16).

Tuhan juga telah menunjukkan keadilan-Nya yang begitu besar dan tak terselami. Karena manusia tidak dapat membayar dan menghapuskan dosa yang telah dilakukannya, maka Tuhan sendiri, melalui Tuhan yang menjadi manusia, membayar semua dosa yang telah dilakukan manusia.

Mungkin ada yang bertanya, kenapa tidak cukup hanya dengan manusia meminta ampun kepada Tuhan? Mari kita lihat contoh dalam kehidupan kita, kalau kita membuat kesalahan kepada rekan sekerja, maka kita dapat meminta maaf secara langsung. Namun kalau kita dengan teman-teman membuat suatu hal yang begitu serius, misalnya membakar bendera negara lain, yang menjadi simbol dan harkat dari negara tersebut, maka tidak cukup bagi kita untuk meminta maaf secara pribadi. Karena yang dirugikan adalah suatu negara, yang harkatnya jauh lebih tinggi dari kita, maka permasalahannya tidak akan selesai kalau pribadi yang bersalah meminta maaf. Namun, kalau seseorang yang mempunyai harkat yang sama dengan negara tersebut, contohnya: menteri luar negeri, duta besar, atau presiden meminta maaf kepada negara yang dirugikan, maka masalahnya akan selesai dan keadilan dapat ditegakkan.

Pada saat manusia berbuat dosa, maka manusia telah melawan Tuhan, suatu martabat yang jauh lebih tinggi dan tak terbatas jika dibandingkan dengan manusia. Agar keadilan dapat kembali ditegakkan, maka seseorang yang mempunyai harkat yang sama harus mewakili manusia untuk mempersatukan kembali hubungan yang dirusak oleh dosa. Yesus, Tuhan yang menjelma menjadi manusia mengambil sifat manusia, sehingga Ia dapat mewakili manusia; namun karena Ia sekaligus juga adalah Putera Allah, maka Ia menjadi satu-satunya sosok yang mungkin untuk mempersatukan kembali hubungan antara Allah dan manusia.

Tuhan juga dapat mengkomunikasikan kebijaksanaan-Nya dengan cara yang paling sempurna, yaitu dengan mengutarakannya secara langsung kepada manusia, dengan cara dan bahasa yang dimengerti oleh manusia. Kita melihat bagaimana Yesus memberikan kebijaksanaan-Nya dengan perumpamaan dalam bahasa yang dimengerti manusia.

Dengan Inkarnasi, Tuhan menunjukkan kekuatan-Nya, dengan melakukan banyak mukjizat termasuk membangkitkan orang mati, terutama  Kebangkitan-Nya sendiri dari kematian.

Jadi kita melihat, bahwa dengan Inkarnasi, Tuhan telah memilih jalan yang paling sempurna untuk menyatakan kebaikan, kasih, belas kasihan, keadilan, dan juga kekuatan-Nya kepada umat manusia. Tuhan telah menawarkan dan memberikan jalan yang terbaik sehingga manusia dapat memperoleh keselamatan, yaitu persatuan kembali dengan Tuhan untuk selamanya.

c. Inkarnasi untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa

Tujuan utama dari Inkarnasi adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa, sehingga manusia dapat bersatu kembali dengan Tuhan. Misteri ini, seperti yang telah dipaparkan di atas, membuka suatu misteri kasih Allah yang tak terbatas kepada manusia. Namun misteri ini juga menunjukkan sisi paling gelap dari dosa, yang manifestasinya terlihat dalam penderitaan Kristus. Jadi penderitaan Kristus di kayu salib menunjukkan akan besarnya kasih Tuhan, namun di saat yang sama, menunjukkan kegelapan/keburukan dosa.

Melihat dua hal tersebut di atas, maka manusia perlu menanggapinya dengan menghindari dosa dengan segala kekuatannya dengan cara bekerjasama dan bergantung kepada rahmat Tuhan yang mengalir dari penderitaan Kristus. Ini berlaku bagi kita masing-masing karena Yesus datang dan berkorban untuk menebus setiap kita dan dosa-dosa yang kita lakukan, agar kita dapat memperoleh keselamatan abadi.

d. Inkarnasi mengembalikan harkat dan jati diri manusia

Melalui misteri Inkarnasi, kebaikan Allah dinyatakan dan martabat manusia yang begitu tinggi diteguhkan, karena Tuhan sendiri berkenan menjadi manusia dan mengambil kodrat manusia dalam diri-Nya. Dengan ini, manusia seharusnya melihat Inkarnasi Kristus dengan penuh rasa syukur dan tertunduk dalam kerendahan hati, serta mencoba dengan segenap kekuatan untuk berusaha hidup kudus dengan cara mengikuti teladan Kristus.

Misteri ini menyadarkan kita, bahwa tanpa kedatangan Kristus ke dunia ini, kita semua akan masuk ke dalam api neraka. Pengertian yang mendalam tentang misteri Inkarnasi akan mencegah manusia untuk melakukan dosa yang sama dengan dosa Adam yaitu dosa kesombongan, yang membawa manusia kepada jurang kehancuran. Sama seperti kegelapan yang hanya dapat ditanggulangi dengan terang, maka kesombongan hanya dapat ditanggulangi dengan kerendahan hati. Kerendahan hati ini mencapai mencapai puncak kesempurnaannya pada misteri Inkarnasi Tuhan Yesus, karena Seorang Pencipta mengambil  kodrat ciptaan-Nya; Sang Pencipta merendahkan diri dalam keterbatasan ciptaan-Nya (lih. Flp 2: 5-11). Dan yang lebih luar biasa adalah, Sang Pencipta menyerahkan diri-Nya untuk wafat demi menyelamatkan ciptaan-Nya pada waktu ciptaan-Nya masih berdosa (Rom 5:8).

e. Inkarnasi memperkuat iman, pengharapan, dan kasih manusia.

Aspek lain dari Inkarnasi adalah diperkuatnya iman, pengharapan, dan kasih umat manusia. Iman mensyaratkan manusia untuk memberikan dirinya – akal budi: pemikiran dan keinginan – secara bebas kepada kebenaran. Adakah cara yang lebih sempurna, agar manusia dapat memberikan diri kepada kebenaran selain daripada jika Kebenaran itu sendiri datang dalam rupa manusia untuk berbicara secara langsung kepada umat manusia, sehingga mereka dapat memahami-Nya? Yesus berkata, “Akulah Jalan, dan Kebenaran, dan Hidup” (Yoh 14:6). Apa yang lebih menguatkan manusia kalau dibandingkan dengan kehadiran Yesus, Sang Jalan, Sang Kebenaran, Sang Kehidupan dan Sang Terang, yang berbicara, membimbing, dan memberikan terang sehingga manusia dapat lepas dari belenggu kegelapan? Itulah sebabnya St. Agustinus mengatakan, “Agar manusia dapat berjalan dengan lebih yakin menuju kepada kebenaran, maka Kebenaran itu sendiri, Anak Allah, telah mengambil kodrat manusia, menetapkan dan mendirikan iman.” ((St. Agustine, De civitate Dei xi,2 ))

Inkarnasi juga menguatkan pengharapan. Karena obyek dari pengharapan adalah kebaikan di masa depan, maka Inkarnasi memberikan keyakinan akan pengharapan yang nyata. Inkarnasi, sebagai manifestasi kasih, memberikan pengharapan yang pasti akan kebahagiaan yang akan dialami oleh manusia, jika ia bekerja sama dengan rahmat Allah. St. Agustinus mengatakan “Tidak ada yang lebih diperlukan untuk menumbuh-kembangkan pengharapan kita selain menunjukkan kepada kita bagaimana Allah sungguh-sungguh mengasihi kita. Dan bukti apa yang lebih kuat tentang hal ini selain bahwa Anak Allah telah menjadi teman seperjalanan dengan kita dalam kodrat manusia.” ((St. Agustine, De Trinitate xiii)) Dengan demikian, Inkarnasi memberikan jalan yang pasti untuk membawa manusia kepada kebaikan di masa depan, yaitu kebahagiaan abadi di surga. Rasul Paulus mengatakan, “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” (1 Kor 2:9). Inkarnasi juga menunjukkan bahwa di dalam penderitaan, manusia tidak boleh kehilangan harapan; sebagaimana telah ditunjukkan oleh Kristus. Karena jika manusia setia menjalankan kehendak Bapa, maka akhirnya ia akan memperoleh kebahagiaan abadi di Sorga.

Inkarnasi juga memperkuat kasih. Hakekat kasih adalah bergembira akan sesuatu yang baik yang ada pada diri orang yang dikasihi dan juga mengharapkan yang baik terjadi pada orang yang dikasihi. Dari definisi ini, kita dapat melihat bahwa Inkarnasi adalah perwujudan kasih yang sempurna, karena Tuhan masih melihat bahwa ada sesuatu yang baik dalam diri manusia, walaupun manusia telah berdosa. Tuhan juga mengharapkan yang terbaik terjadi pada kita, dengan memberikan Diri-Nya sendiri kepada kita manusia.

f. Inkarnasi menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya memberikan perintah, namun juga jalan

Waktu saya mau pergi ke perpustakaan, di salah satu pusat kota di Amerika saya tersesat. Kemudian saya berhenti dan bertanya kepada seseorang yang berada di depan salah satu pertokoan. Orang tersebut menerangkannya dengan fasih, seperti: dari sini belok ke kiri, kemudian setelah melewati dua lampu merah belok kanan, dan kira-kira 200 meter dari pom bensin belok kanan, dan belokan pertama terus belok kiri, dan kita-kira 200 meter dari situ, letak perpustakaan ada di sebelah kanan. Saya berterima kasih atas kebaikan orang itu, namun saya bingung, karena terlalu banyak belokan dan tanda yang harus saya ingat. Menyadari kebingungan saya dan tahu saya orang asing di situ, maka orang tersebut berkata “Mari, ikuti mobil saya, saya akan tunjukkan jalan untuk ke perpustakaan.” Mendengar perkataan tersebut, saya tersenyum lebar, karena tahu bahwa saya tidak akan tersesat lagi dan pasti akan menemukan perpustakaan yang saya cari.

Itulah yang terjadi dengan Inkarnasi, karena Inkarnasi membuktikan bahwa Tuhan tidak hanya memberikan perintah-perintah, namun Ia sendiri menjadi contoh untuk semua perintah dan kebajikan Ilahi, seperti: kasih yang sempurna, ketahanan untuk tabah dalam penderitaan, keadilan yang sempurna, kebijaksanaan yang sempurna, kesederhanaan, kelemahlembutan dan kerendahan hati. Karena Yesus telah menunjukkan jalan-Nya kepada manusia, maka manusia dapat mengikuti teladan-Nya. Dengan mengikuti teladan-Nya, manusia berpartisipasi di dalam kehidupan Ilahi, yaitu menjadi anak-anak angkat Allah di dalam Kristus, “We are sons in the Son of God” sebab oleh rahmatNya kita semua menjadi anggota Tubuh Kristus.

VI. Peran Perawan Maria dalam karya keselamatan

Setelah kita melihat tentang mengapa Tuhan menggunakan Inkarnasi untuk menyelamatkan manusia, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana Tuhan datang ke dunia, masuk ke dalam dimensi waktu dan tempat. Ternyata Tuhan menggunakan cara yang dapat dikatakan luar biasa namun sekaligus sungguh biasa. Tuhan menggunakan cara yang biasa, yaitu seperti layaknya manusia lahir, yaitu dari rahim seorang wanita – wanita yang telah dipilih oleh Allah untuk menjadi Bunda Allah, yaitu Bunda Maria. Cara ini sekaligus menjadi cara yang luar biasa, karena Putera Allah dilahirkan bukan dari benih laki-laki namun Ia dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan dari seorang perawan. Mari sekarang kita menganalisa beberapa hal berkaitan dengan peran Maria dalam karya keselamatan Allah, yaitu: (1) Apakah Maria layak mengemban peran sebagai Bunda Allah; (2) Bagaimana jika Maria menolak menjadi Bunda Allah?; (3) dan mengapa Putera Allah lahir dari seorang perawan?

1. Apakah Maria layak mengemban peran sebagai Bunda Allah?

Banyak teolog dan umat beriman mempertanyakan apakah Bunda Maria layak mengambil peran sebagai Bunda Allah yaitu peran yang mungkin merupakan peran yang terbesar setelah peran Kristus sendiri dalam karya keselamatan Allah. Di satu sisi, terlihat bahwa hal itu sepertinya tidak mungkin, karena Inkarnasi adalah benar-benar merupakan rahmat atau pemberian bebas dari Allah, dan tiada seorang manusia-pun yang layak untuk menerima pemberian ini. Namun, di satu sisi, banyak Bapa Gereja mengatakan bahwa kesucian, kerendahan hati dan kasih dari Maria membuat Maria layak (dalam pengertian tertentu) untuk menjadi Bunda Allah. Mengenai hal ini, Kitab Suci menuliskan, “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” (Gal 4:4).

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka terlebih dahulu kita perlu mendefinisikan kata “layak”. St. Thomas Aquinas membedakan kata layak dalam dua pengertian, yaitu yang disebut congruous merit dan condign merit. Kata condign merit merujuk kepada makna literal dari layak atau layak secara adil atau layak untuk mendapatkan imbalan atau layak untuk mengklaim sesuatu karena jasanya. Sebaliknya, congruous merit merujuk kepada kelayakan bukan dalam pengertian seseorang layak mendapatkan imbalan, namun satu hal yang membuat rahmat dan belas kasih Allah terjadi karena doa permohonan. ((ST I-II, q. 114, a. 2.)) Dari pengertian ini, maka Bunda Maria tidak pernah layak dalam pengertian condign merit, karena tidak seorang manusiapun layak untuk menjadi Bunda Allah. Hal yang sama dapat kita katakan bahwa tidak seorangpun layak (condign merit) untuk masuk Surga. Namun, Bunda Maria dikatakan layak secara congruous merit, menjadi Bunda Allah, karena kerendahan hati, kemurnian dan kasih Bunda Maria yang senantiasa bekerjasama dengan rahmat Allah.

St. Thomas melanjutkan bahwa ’congruous’ ini berdasarkan kesetaraan yang proporsional. ((ST I-II, q. 114, a. 3.)) Prinsip yang sama dapat kita lihat dalam Kitab Suci, yang mengajarkan “Doa orang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya” (Yak 5:16). Bukan berarti Tuhan berhutang dan mempunyai kewajiban untuk mengabulkan doa orang benar. Namun, doa orang yang benar – yaitu doa yang dilakukan dengan disposisi hati yang benar, dan mengalir dari iman, pengharapan dan kasih – secara proporsional layak (congruous merit)  untuk mendapatkan perhatian Tuhan. Dengan prinsip yang sama, maka Maria yang mempunyai tingkat kesucian, kerendahan hati, dan kasih yang begitu tinggi secara proporsional diangkat derajatnya ke tempat yang lebih tinggi lagi, yaitu menjadi Bunda Allah. Ini bukan karena dia layak untuk mendapatkan haknya (condign merit), sebab kesucian, kerendahan hati dan kasih yang begitu sempurna dari Bunda Maria juga adalah merupakan rahmat pemberian Allah. Tentang hal ini, St. Agustinus mengungkapkan dengan indahnya:

Siapakah engkau yang akan mengandung? Kapankah engkau layak untuk mendapatkannya? Darimanakah engkau mendapatkannya? Bagaimanakah Dia yang menciptakan engkau [Maria] dibentuk oleh engkau [Maria]? Dari manakah, saya bertanya, begitu besar rahmat untukmu? Engkau adalah seorang perawan, engkau kudus; engkau telah mengucapkan sebuah kaul. Engkau telah layak memperolehnya secara berlimpah, tetapi engkau telah menerimanya juga secara berlimpah. Tetapi, bagaimana engkau layak menerimanya? Biarlah malaikat menjawab. Katakan kepadaku, malaikat, kapan semuanya ini diterima oleh Maria? Saya telah mengatakannya, ketika saya menyapanya: Salam, penuh rahmat (Ave, gratia plena).” ((St. Agustinus, Sermo 291, De Sanctis))

Dengan kata lain, memang benar bahwa rahmat diberikan secara cuma-cuma kepada manusia, juga termasuk kepada Bunda Maria. Namun, karena itu adalah cuma-cuma, maka juga terserah kepada Allah untuk memberikan rahmat yang terbesar kepada Maria, karena perannya untuk mendatangkan Kristus ke dunia ini (LG 56; KGK, 490). Kemudian, rahmat bukanlah sesuatu yang terjadi hanya satu kali dan tidak terjadi terus-menerus. Keistimewaan Maria justru pada besarnya rahmat yang diberikan Allah kepada Maria dan bagaimana Maria senantiasa bekerjasama dengan rahmat Allah secara terus-menerus selama hidupnya, sehingga rahmat Allah dapat terus tercurah secara penuh. Allah yang Maha Tahu telah mengetahui hal ini sejak awal penciptaan dunia.

Selanjutnya tak dapat kita lupa bahwa rahmat Allah dicurahkan kepada manusia dan bukan kepada robot. Manusia mempunyai kemampuan untuk menerima atau menolak rahmat Allah. Dengan demikian, ada kerja sama antara rahmat Allah dan keinginan bebas manusia. Memberikan penekanan pada rahmat (grace) tanpa melihat aspek keinginan bebas manusia (free will) menjadikan manusia seperti robot. Sebaliknya, mengedepankan keinginan bebas tanpa rahmat Allah membuat seolah-olah manusia dapat menyelamatkan dirinya sendiri tanpa Allah. Maka, penekanan hanya rahmat saja tanpa kehendak bebas atau kehendak bebas saja tanpa rahmat, keduanya keliru.  Rahmat dan kehendak bebas harus bekerja sama dalam menuntun seseorang kepada keselamatan.

Maria tidak membanggakan dirinya sendiri, bahkan dia justru mengakui akan rahmat Allah yang tercurah kepadanya secara luar biasa kepadanya (lih. Luk 1:49). Namun, karena Allah sendiri yang memilih Bunda Maria sebagai Bunda Allah, maka kita semua seharusnya dapat melihat bahwa Bunda Maria dipilih secara istimewa oleh Allah, berdasarkan kebijaksanaan-Nya. Jadi, kalau Gereja Katolik dan beberapa pendiri gereja Protestan mengatakan bahwa Bunda Maria adalah figur yang istimewa, yang tertinggi dari seluruh umat manusia setelah Kristus, itu justru karena menghormati keputusan Allah yang memilih yang terbaik. Terbaik di sini jangan dilepaskan dari rahmat Allah, karena Gereja Katolik juga tidak mengajarkan bahwa seseorang dapat mencapai kekudusan tanpa rahmat Allah.

Dalam rangka mempersiapkan Maria sebagai Bunda Allah inilah, maka Allah sungguh mencurahkan rahmat-Nya yang begitu luar biasa – penuh rahmat / full of grace (lih. Luk 1:28), sehingga tidak ada lagi ruang untuk dosa. Inilah sebabnya para Bapa Gereja dan Magisterium Gereja mengatakan bahwa Maria telah ditebus sejak ia dikandung. Ajaran ini akhirnya didefinisikan dalam dogma “Maria Dikandung tanpa Noda Asal” pada tanggal 8 Desember 1854 oleh Paus Pius IX dalam Bulla Ineffabilis Deus (Tuhan yang Tak Terhingga) demikian:

“Dengan inspirasi Roh Kudus, untuk kemuliaan Allah Tritunggal, untuk penghormatan kepada Bunda Perawan Maria, untuk meninggikan iman Katolik dan kelanjutan agama Katolik, dengan kuasa dari Yesus Kristus Tuhan kita, dan Rasul Petrus dan Paulus, dan dengan kuasa kami sendiri: “Kami menyatakan, mengumumkan dan mendefinisikan bahwa doktrin yang mengajarkan bahwa Bunda Maria yang terberkati, seketika pada saat pertama ia terbentuk sebagai janin, oleh rahmat yang istimewa dan satu-satunya yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Besar, oleh karena jasa-jasa Kristus Penyelamat manusia, dibebaskan dari semua noda dosa asal, adalah doktrin yang dinyatakan oleh Tuhan dan karenanya harus diimani dengan teguh dan terus-menerus oleh semua umat beriman.”

2. Bagaimana jika Maria menolak menjadi Bunda Allah?

Dewasa ini, ada orang yang berspekulasi apakah Tuhan dapat mengganti Maria dengan wanita lain kalau Maria menolak untuk menjadi Bunda Allah? Memang kita dapat mempunyai spekulasi tentang banyak hal, termasuk kita dapat berspekulasi bahwa kalau Maria menolak, maka Tuhan dapat memilih orang lain menjadi Ibu Tuhan. Namun, satu kenyataan yang tak bisa dipungkiri, bahwa spekulasi ini tidaklah terbukti dan bahkan tidak mungkin kalau dianalisa secara lebih jauh. Sebenarnya, spekulasi tidak ada di dalam Tuhan, karena bagi Tuhan semua adalah begitu jelas/ transparan di hadapan-Nya, baik – masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Dengan demikian, rancangan Tuhan itu lengkap, memperhitungkan segala sesuatu, termasuk melihat bahwa Maria akan menjawab “ya”, walaupun Allah tetap menghormati kehendak bebas Maria.

Maka, dapat dikatakan bahwa sebelum dunia dijadikan, Tuhan tahu (karena Tuhan adalah maha tahu) bahwa Adam dan Hawa akan jatuh ke dalam dosa, dan kelak pada saat genap waktunya, maka Allah mengutus Putera-Nya, yang lahir dari seorang perempuan (lih. Gal 4:4). Dan perempuan yang sama, yang disebutkan oleh Rasul Paulus, juga disebutkan di dalam Kitab Kejadian, yaitu: “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini [RSV, KJV = the woman dan bukan this woman], antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej 3:15) Demikianlah, pada saat waktunya tiba, Tuhan mengutus malaikat Gabriel dan menyapa Maria dan menawarkan janji di dalam Kitab Kejadian kepada perempuan ini, “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.” (Lk 1:30-31).

Dengan demikian, kita melihat, bahwa Allah telah mempersiapkan rancangan keselamatan bagi manusia, yang akan melibatkan para nabi di Perjanjian Lama; seorang wanita – yaitu Bunda Maria, dan seorang Penebus – yaitu Kristus. Mengingat bahwa Tuhan dapat mempersiapkan nabi Yeremia menjadi seorang nabi, maka apakah yang dapat menghalangi Allah untuk mempersiapkan Bunda Maria dengan lebih baik – mencurahkan rahmat yang terbesar kepada Maria lebih daripada semua rahmat yang pernah dicurahkan kepada manusia yang lain– mengingat tidak ada tugas yang lebih besar yang dapat dilakukan oleh manusia, selain daripada menjadi Bunda Allah, di mana kemanusiaan dari Sang Penebus-pun mengalir darinya. Jadi, pemilihan Maria sebagai Bunda Allah bukanlah tanpa persiapan dari Allah, sehingga seolah-olah hanya membuang undi dan kalau Maria menolak, maka Tuhan akan mengatakan, “O, tidak apa-apa, karena engkau menolak, Aku juga dapat memilih wanita lain untuk menjadi Bunda Allah…“

Spekulasi bahwa Bunda Maria dapat menolak Allah dan kemudian Allah dapat memilih wanita lain adalah tidak benar, karena mengindikasikan bahwa Allah tidak mempersiapkan Bunda Maria sebelumnya. Allah tidak mempersiapkan beberapa wanita cadangan kalau Bunda Maria menolak, melainkan sejak awal mula, di dalam kebijaksanaan-Nya, Allah telah memilih seorang wanita, Bunda Maria, untuk menjadi Bunda Allah. Justru karena Allah telah mempersiapkan Bunda Maria sedemikian rupa – termasuk melindungi Maria dari dosa asal – maka Maria dapat mengikuti keinginan Tuhan tanpa kehilangan keinginan bebasnya. Keinginan bebas dari Maria sedemikian bebas, tanpa dosa, sehingga dia dengan bebas akan senantiasa menjawab “ya” terhadap rencana Allah, walaupun kadang dia sendiri tidak/ belum mengerti secara keseluruhan rencana Allah. Allah telah mempersiapkan Bunda Maria dengan begitu sempurna, sehingga Bunda Maria menjawab “ya” tanpa pelanggaran terhadap keinginan bebasnya. Persiapan sempurna bagi Bunda Allah ini hanya dilakukan terhadap satu orang, yaitu Bunda Maria. Tidak ada spekulasi apapun tentang hal ini, karena rencana Allah tetap dan sempurna. Paus Pius IX menuliskan bahwa Tuhan telah mempersiapkan Maria untuk menjadi Bunda Allah dalam Bulla Ineffabilis Deus (Tuhan yang Tak Terhingga)  demikian:

Tuhan yang tak terhingga yang mana jalan-jalan- [Nya] adalah belas kasih dan kebenaran … telah melihat lebih dahulu dalam kekekalan, kemalangan menyedihkan dari seluruh umat manusia sebagai akibat dosa Adam, memutuskan, dengan rencana tersembunyi selama berabad-abad, untuk menyelesaikan pekerjaan pertama dari kebaikan-Nya dengan sebuah misteri, yang lebih agung melalui Inkarnasi Firman. Hal ini diputuskan-Nya agar manusia yang, bertentangan dengan rencana kerahiman Ilahi telah dipimpin ke dalam dosa oleh kejahatan tipu daya setan, tidak binasa; dan agar apa yang telah hilang dalam Adam yang pertama akan dipulihkan secara mulia di dalam Adam kedua. Dari sejak awal, dan sebelum waktu dimulai, Bapa yang kekal telah memilih dan mempersiapkan bagi Anak-Nya yang tunggal, seorang ibu yang mana Putera Allah akan berinkarnasi dan dari padanya, dalam kepenuhan waktu, Dia akan dilahirkan ke dalam dunia.” (Ineffabilis Deus)

3. Mengapa Putera Allah lahir dari seorang perawan?

Tujuh abad sebelum  Bunda Maria mengandung, Tuhan telah memberikan nubuat melalui nabi Yesaya: “Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yes 7:14) Sebelum ayat 14, kita dapat melihat konteksnya, yaitu Allah, melalui nabi Yesaya berfirman kepada raja Ahas agar raja Ahas dapat meminta tanda yang paling sulit sekalipun. Di Yes 7:11 dikatakan: “Mintalah suatu pertanda dari TUHAN, Allahmu, biarlah itu sesuatu dari dunia orang mati yang paling bawah atau sesuatu dari tempat tertinggi yang di atas.” Namun dikatakan bahwa nabi Ahas tidak berani meminta karena tidak mau mencobai Tuhan (ay. 12). Karena raja Ahas tidak mau meminta tanda, maka Allah sendiri yang memberikan tanda, yaitu tanda yang begitu luar biasa, yang melebihi tanda dari dunia orang mati maupun dari tempat tertinggi. Kalau dalam Kitab Suci bahasa Indonesia diterjemahkan bahwa tanda tersebut adalah “seorang perempuan muda akan mengandung”, maka apanya yang istimewa? Seorang muda yang bersuami tentu saja dapat mengandung. Namun, yang istimewa adalah, seperti yang diterjemahkan oleh beberapa versi yang lain – RSV, KJV, NASB, DRB – yang mengandung bukan hanya seorang perempuan muda, namun adalah seorang perawan. Ketika seorang perawan mengandung tanpa benih laki-laki, maka hal tersebut menjadi tanda yang begitu istimewa, sehingga anak yang dikandungnya dapat menyandang gelar Imanuel – Allah yang beserta kita. Mengapa Allah Putera memilih untuk dilahirkan oleh seorang perawan? Katekismus Gereja Katolik KGK 503-507 menjelaskan alasannya sebagai berikut: (a) menunjukkan prakasa absolut Allah; (b) peran Roh Kudus dalam Inkarnasi; (c) Yesus, Adam Baru dilahirkan dari Roh; (d) tanda iman Maria; (e) citra hakekat Gereja dan Gereja dalam arti penuh. Mari kita melihat teks dari Katekismus:

KGK 503.    Keperawanan Maria menunjukkan bahwa Allah mempunyai prakarsa absolut dalam penjelmaan menjadi manusia. Yesus hanya mempunyai Allah sebagai Bapa (Bdk. Luk 2:48-49.). Ia “tidak pernah asing bagi Bapa-Nya, karena manusia yang sudah ia terima – [Ia adalah Putera] kodrati Bapa menurut keallahan, [Putera] kodrati Bunda menurut kemanusiaan, tetapi ia adalah [Putera] Bapa yang sebenarnya dalam kedua-duanya” (Syn. Friaul 696: DS 619).

KGK 504.    Yesus dikandung dalam rahim Perawan Maria oleh Roh Kudus, karena Ia adalah Adam baru (Bdk. 1 Kor 15:45.), yang membuka ciptaan baru: “Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari surga” (1 Kor 15:47). Kodrat manusiawi Kristus dipenuhi oleh Roh Kudus sejak perkandungan-Nya karena Allah “mengaruniakan Roh-Nya dengan tidak terbatas” (Yoh 3:34). “Karena dari kepenuhan-Nya” – Kepala umat manusia yang tertebus (Bdk. Kol 1:18.) – “kita semua menerima kasih karunia demi kasih karunia” (Yoh 1:16).

KGK 505.    Oleh perkandungan yang perawan, Yesus, Adam baru, memulai kelahiran baru, yang dalam Roh Kudus membuat manusia menjadi anak-anak Allah melalui iman. “Bagaimana hal itu mungkin terjadi?” (Luk 1:34; Bdk. Yoh 3:9.). Keikut-sertaan dalam kehidupan ilahi datang “bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1:13). Kehidupan ini diterima secara perawan, karena ia diberikan kepada manusia semata-mata oleh Roh. Sifat keperawanan dari panggilan manusia kepada Allah (Bdk. 2 Kor 11:2.) terlaksana secara sempurna dalam keibuan Maria yang perawan.

KGK 506.    Maria adalah perawan, karena keperawanannya adalah tanda imannya, “yang tidak tercemar oleh keraguan sedikit pun” (LG 63), dan karena penyerahannya kepada kehendak Allah yang tidak terbagi (Bdk. 1 Kor 7:34-35.). Berkat imannya ia dapat menjadi Bunda Penebus: “Maria lebih berbahagia dalam menerima iman kepada Kristus, daripada dalam mengandung daging Kristus” (Agustinus, virg. 3).

KGK 507.    Maria adalah perawan sekaligus bunda, karena ia adalah citra hakikat Gereja dan Gereja dalam arti penuh (Bdk. LG 63.): Gereja, “oleh menerima Sabda Allah dengan setia pula – menjadi ibu juga. Sebab melalui pewartaan dan baptis, Gereja melahirkan bagi hidup baru yang kekal-abadi putera-putera yang dikandungnya dari Roh Kudus dan lahir dari Allah. Gereja pun perawan, yang dengan utuh-murni menjaga kesetiaan yang dijanjikannya kepada Sang Mempelai. Dan sambil mencontoh Bunda Tuhannya, Gereja dengan kekuatan Roh Kudus secara perawan mempertahankan imannya, keteguhan harapannya, dan ketulusan cinta kasihnya” (LG 64).

VII. Yesus dan Maria dalam karya keselamatan Allah

Dari penjabaran di atas, kita dapat melihat bagaimana Allah sejak awal, telah mempunyai rencana keselamatan untuk manusia dengan cara Inkarnasi. Hubungan manusia dengan Allah yang terputus karena dosa Adam dan Hawa, dipulihkan dengan cara mendatangkan Adam kedua yang lahir bukan dari daging, namun dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh Hawa kedua yang menjawab “ya” terhadap karya keselamatan Allah. Inkarnasi adalah karya puncak rancangan karya keselamatan Allah, yang telah dipersiapkan semuanya oleh Allah dengan sempurna, mulai dari para nabi sampai nabi yang terakhir – yaitu Yohanes Pembaptis. Kalau Allah telah mempersiapkan para nabi untuk mewartakan kedatangan Mesias, maka menjadi sungguh tepat kalau Allah juga mempersiapkan dengan lebih sempurna Bunda Maria, yang bukan hanya menjadi pewarta namun juga menjadi Bunda Allah.

Apa Pandangan Gereja Katolik tentang Bedah Kosmetik?

10

Sejujurnya, Gereja Katolik tidak membahas hal bedah kosmetik secara khusus di dalam dokumen-dokumen Magisterium.

Namun Katekismus Gereja Katolik hanya mengajarkan prinsip dasarnya, yaitu:

KGK 2288    Kehidupan dan kesehatan merupakan hal-hal yang bernilai, yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Kita harus merawatnya dengan cara yang bijaksana dan bersama itu juga memperhatikan kebutuhan orang lain dan kesejahteraan umum….

KGK 2289    Memang ajaran susila menuntut menghormati kehidupan jasmani, tetapi ia tidak mengangkatnya menjadi nilai absolut. Ia [ajaran susila] melawan satu pendapat kafir baru, yang condong kepada pendewaan badan, mengurbankan segala sesuatu untuknya dan mendewakan keterampilan badan dan sukses di bidang olahraga….

KGK 2293    ….Ilmu pengetahuan dan teknik merupakan sarana-sarana yang bernilai kalau mengabdi kepada manusia dan memajukan perkembangannya secara menyeluruh demi kebahagiaan semua orang …Ilmu pengetahuan dan teknik ditujukan kepada manusia, olehnya mereka diciptakan dan dikembangkan; dengan demikian mereka menemukan, baik kesadaran mengenai tujuannya maupun batas-batasnya, hanya di dalam pribadi manusia dan nilai susilanya.

KGK 2294    Pendapat bahwa penelitian ilmiah dan pemanfaatannya adalah bebas nilai, merupakan satu ilusi. Juga kriteria untuk pengarahan penelitian tidak dapat begitu saja disimpulkan secara sempit dari daya guna teknis atau dari manfaatnya, yang dinikmati oleh yang satu sambil merugikan yang lain; atau lebih lagi tidak bisa disimpulkan dari ideologi yang berlaku. Ilmu pengetahuan dan teknik sesuai dengan artinya menuntut penghormatan mutlak akan nilai-nilai dasar moral. Mereka harus melayani manusia, hak-haknya yang tidak boleh diganggu gugat, kebahagiaannya yang benar dan menyeluruh, sesuai dengan rencana dan kehendak Allah.

Dengan demikian, bedah plastik dapat dikatakan dibenarkan, jika dapat menjadi langkah penyembuhan, entah secara fisik, contoh untuk bedah rekonstruktif untuk memperbaiki fungsi bagian tubuh akibat cacat bawaan atau kecelakaan, atau secara psikologis. Tentu asalkan prosedurnya tidak menimbulkan resiko kerusakan yang sama atau bahkan yang lebih besar, dan kalau prosedurnya secara mendasar dapat diterima secara moral.

Nampaknya, bedah plastik dapat diizinkan -walaupun tanpa efek penyembuhan- asalkan hal itu tidak merusak tubuh/ tidak berpotensi besar merusak tubuh dan asalkan prosedurnya secara mendasar dapat diterima secara moral, mungkin contohnya seperti mengoperasi tahi lalat, atau operasi kecil lainnya yang sifatnya kosmetik dan relatif tidak berbahaya. Namun sejujurnya, tentang hal ini, prudence/ kebijaksanaan diperlukan, untuk menentukan apakah operasi tersebut layak dilakukan. Mengingat biaya bedah plastik juga umumnya tidak murah, maka diperlukan kebijaksanaan untuk menimbang apakah biaya itu lebih baik digunakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat; atau diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Selain itu, ada nilai-nilai lain yang juga patut dipertimbangkan, yaitu jangan sampai melalui operasi tersebut, orang yang bersangkutan mendewakan kecantikan tubuh.

Namun bedah plastik tidak dapat diizinkan jika itu merusak kebaikan lebih besar daripada apa yang dapat dicapai, dan apabila tujuan dan prosedurnya secara mendasar tidak dapat diterima secara moral, seperti transgender/ ganti jenis kelamin. Sedangkan tentang operasi memperbesar payudara, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

Tanggapan di atas memang bukan tanggapan yang baku, karena tidak ada dokumen Gereja Katolik yang secara tegas mengatur hal bedah kosmetik. Namun semoga dengan prinsip dasar di atas, kita dapat, dengan hati nurani yang bersih menentukan penilaian tentang hal ini, sesuai dengan keadaan dan kasusnya. Dengan prinsip ini, silakan sang dokter dan calon pasiennya itu menilai, dengan hati nuraninya masing-masing, apakah tindakan operasi kosmetik itu dapat/ layak dilakukan.

 

Sekilas Makna Liturgi dan Beberapa Pelanggaran Liturgi

263

[Berikut ini adalah artikel tentang Liturgi, yang ditulis berdasarkan atas korespondensi/ diskusi dengan Rm. Boli Ujan SVD, seorang pakar Liturgi di tanah air, dan salah satu pembimbing situs katolisitas.org. Apa yang tertulis di sini telah disetujui oleh beliau].

Arti liturgi

Liturgi (leitourgia) pada awalnya berarti “karya publik”. Dalam sejarah perkembangan Gereja, liturgi diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya keselamatan Allah. Di dalam liturgi, Kristus melanjutkan karya Keselamatan di dalam, dengan dan melalui Gereja-Nya. ((lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1069)) Dalam kitab Perjanjian Baru, yaitu Surat kepada Jemaat di Ibrani, kata leitourgia dan leitourgein disebut 3 kali (lih. Ibr 8:6; 9:21; 10:11) yang mengacu kepada pelayanan imamat Kristus.

Maka, liturgi merupakan wujud pelaksanaan tugas Kristus sebagai Imam Agung, di mana Kristus menjadi Pengantara satu-satunya antara manusia kepada Allah Bapa, dengan mengorbankan diri-Nya sekali untuk selama-lamanya (lih. Ibr 9:12; 1 Tim 2:5). Korban Kristus yang satu-satunya inilah yang dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus, dalam perayaan Ekaristi. Dengan demikian, liturgi merupakan penyembahan Kristus kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus, dan dalam melakukan penyembahan ini, Kristus melibatkan TubuhNya, yaitu Gereja. Karena itu, liturgi merupakan karya bersama antara Kristus-Sang Kepala, dan Gereja yang adalah Tubuh Kristus, ((lih. Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concillium 7)) sehingga tidak ada kegiatan Gereja yang lebih tinggi nilainya daripada liturgi karena di dalam liturgi terwujudlah persatuan yang begitu erat antara Kristus dengan Gereja sebagai ‘Mempelai’-Nya dan Tubuh-Nya sendiri. ((lih. KGK 1070, SC 7))

Jadi definisi liturgi, menurut Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi Suci, Mediator Dei, menjabarkan definisi liturgi sebagai berikut:

“Liturgi adalah ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus kita sebagai Kepala Gereja kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang dilakukan oleh komunitas umat beriman kepada Pendirinya [Kristus], dan melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya, liturgi adalah ibadat penyembahan yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus secara keseluruhan, yaitu Kepala dan anggota-anggotanya.” ((Paus Pius XII, Mediator Dei 20))

atau menurut Rm. Emanuel Martasudjita, Pr, “Liturgi adalah perayaan misteri karya keselamatan Allah di dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.” ((Rm. Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi, Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), p.22))

Partisipasi aktif dan sadar

Karena liturgi merupakan perayaan karya keselamatan yang dilakukan oleh Kristus dalam kesatuan dengan Gereja-Nya, maka kita yang adalah anggota- anggota-Nya harus turut mengambil bagian secara aktif di dalam liturgi. Mengapa? Karena liturgi dimaksudkan sebagai karya Kristus dengan melibatkan kita anggota- anggota-Nya, yaitu karya keselamatan Allah yang diperoleh melalui Misteri Paska Kristus, yaitu: wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke surga. Kita disatukan dalam Misteri Paska Kristus ini, dengan membawa persembahan hidup kita ke hadapan Allah, dan dengan inilah kita menjalankan martabat Pembaptisan kita sebagai umat pilihan Allah.

Redemptionis Sacramentum (RS) 36     Perayaan Misa, sebagai karya Kristus serta Gereja, merupakan pusat seluruh hidup Kristiani, baik untuk Gereja universal maupun untuk Gereja partikular, dan juga untuk tiap-tiap orang beriman, yang terlibat di dalamnya “pada cara-cara yang berbeda-beda sesuai dengan keanekaragaman jenjang, pelayanan dan partisipasi nyata.” Dengan cara ini umat Kristiani, “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, milik Allah sendiri”, menunjukkan jenjang-jenjangnya menurut susunan hirarki yang rapih. “Adapun imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda hakekatnya dan bukan hanya tingkatannya, saling terarahkan. Sebab keduanya dengan cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.”

RS 37     Maka itu partisipasi kaum beriman awam dalam Ekaristi dan dalam perayaan-perayaan gerejawi lain, tidak boleh merupakan suatu kehadiran melulu, apalagi suatu kehadiran pasif, sebaliknya harus sungguh dipandang sebagai suatu ungkapan iman dan kesadaran akan martabat pembaptisan.

Partisipasi secara aktif dan sadar ini terlihat dari keikutsertaan umat dalam aklamasi-aklamasi yang diserukan oleh umat, jawaban-jawaban tertentu, lagu-lagu mazmur dan kidung, gerak-gerik penghormatan, menjaga keheningan yang suci pada saat-saat tertentu, dan adanya rubrik-rubrik untuk peranan umat. Di samping itu peluang partisipasi umat dapat diwujudkan dalam pemilihan lagu-lagu, doa-doa, pembacaan teks Kitab Suci, dan dekorasi gereja. Keikutsertaan umat ini tujuannya adalah untuk semakin meningkatkan penghayatan akan sabda Allah dan misteri Paska Kristus yang sedang dirayakan (lih. RS 39). Namun demikian, di atas semua itu, partisipasi aktif dan sadar ini menyangkut sikap batin, yang semakin menghayati dan mengagumi makna perayaan Ekaristi:

RS 40   Akan tetapi, meskipun perayaan liturgis menuntut partisipasi aktif semua orang beriman, belum tentu berarti bahwa setiap orang harus melakukan kegiatan konkrit lain di samping tindakan dan gerak-gerik umum, seakan-akan setiap orang wajib melakukan satu tugas khusus dalam perayaan Ekaristi. Sebaliknya, melalui instruksi katekis harus diusahakan dengan tekun untuk memperbaiki pendapat-pendapat serta praktek-praktek yang dangkal itu, yang selama beberapa tahun terakhir ini sering terjadi. Katekese yang benar akan menanam kembali dalam hati seluruh orang Kristiani kekaguman akan mulianya serta agungnya misteri iman, yakni Ekaristi…. seluruh hidup Kristiani yang mendapat kekuatan daripadanya dan sekaligus tertuju kepadanya….

Tentang sikap batin ini, Redemptionis Sacramentum mengajarkan:

“Maka, haruslah menjadi jelas buat semua, bahwa Tuhan tidak dapat dihormati dengan layak kecuali pikiran dan hati diarahkan kepada-Nya…. (RS 26) Oleh karena itu, ….. semua umat harus sadar bahwa untuk mengambil bagian di dalam kurban Ekaristi adalah tugas dan martabat mereka yang utama. Dan maka bahwa bukan dengan cara yang pasif dan asal-asalan/malas, melantur dan melamun, tetapi dengan cara penuh perhatian dan konsentrasi, mereka dapat dipersatukan dengan se-erat mungkin dengan Sang Imam Agung, sesuai dengan perkataan Rasul Paulus, “Hendaklah kamu menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp 2:5) Dan bersama dengan Dia dan melalui Dia hendaklah mereka membuat persembahan, dan di dalam kesatuan dengan Dia, biarlah mereka mempersembahkan diri mereka sendiri (RS 80). “….menaruh pikiran yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” mensyaratkan bahwa semua orang Kristen harus mempunyai, sedapat mungkin secara manusiawi, sikap batin yang sama dengan yang telah terdapat pada Sang Penebus ilahi ketika Ia mempersembahkan Diri-Nya sebagai korban. Artinya mereka harus mempunyai sikap kerendahan hati, memberikan penyembahan, hormat, pujian dan syukur kepada Tuhan yang Maha tinggi dan maha besar. Selanjutnya, artinya mereka harus mengambil sikap seperti halnya sebagai kurban, [yaitu] bahwa mereka menyangkal diri mereka sendiri sebagaimana diperintahkan di dalam Injil, bahwa mereka dengan sukarela dan dengan kehendak sendiri melakukan pertobatan dan tiap-tiap orang membenci dosa-dosanya dan membayar denda dosanya. Dengan kata lain mereka harus mengalami kematian mistik dengan Kristus di kayu salib, sehingga kita dapat menerapkan kepada diri kita sendiri perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan Kristus” (Gal 2:19) (RS, 81)

“…. Jelaslah penting bahwa ritus kurban persembahan yang diucapkan secara kodrati, menandai penyembahan yang ada di dalam hati. Kini kurban Hukum yang Baru menandai bahwa penyembahan tertinggi di mana Sang Kepala yang mempersembahkan diri-Nya, yaitu Kristus, dan di dalam kesatuan dengan Dia dan melalui Dia, semua anggota Tubuh Mistik-Nya memberi kepada Tuhan penghormatan dan sembah sujud yang layak bagi-Nya. (RS 93)…. Agar persembahan di mana umat beriman mempersembahkan Kurban ilahi di dalam kurban ini kepada Bapa Surgawi memperoleh hasil yang penuh, adalah penting bahwa orang-orang menambahkan…. persembahan diri mereka sendiri sebagai kurban (RS 98). Maka semua bagian liturgi, akan menghasilkan di dalam hati kita keserupaan dengan Sang Penebus ilahi melalui misteri salib, menurut perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan Kristus. Aku hidup namun bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:19-20) Jadi kita menjadi kurban…. bersama dengan Kristus, untuk semakin memuliakan Bapa yang kekal.” (RS 102)

Penyesuaian liturgi bertujuan untuk meningkatkan peran serta para peraya secara aktif

Liturgi, sebagai karya Gereja (karya Kristus dan anggota-anggota-Nya) mengalami perkembangan dan penyesuaian; dan hal ini kita lihat dalam sejarah Gereja. Sebab bagaimanapun, liturgi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Gereja, dan karena itu segala bentuk penyesuaiannya harus semakin mendorong partisipasi umat di dalamnya dan mengarahkan umat kepada peningkatan penghayatan akan maknanya yang luhur.

Romo Boli Ujan SVD, seorang pakar liturgi di tanah air dan salah seorang narasumber di situs ini, pernah menulis di artikel tentang Penyesuaian dan Inkulturasi liturgi, silakan klik, demikian:

“Arah penyesuaian liturgi dari pihak para peraya sekaligus mengingatkan kita akan tujuan dari penyesuaian liturgi yaitu agar para peraya dapat dengan mudah dan jelas serta aktif mengambil bagian dalam perayaan. Dengan demikian kita lebih mampu memahami tindakan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya. …. Liturgi adalah perayaan pertemuan antara Allah dengan manusia dan antara anggota persekutuan satu sama lain yang disatukan dalam Allah. Kehadiran Allah dalam liturgi ini merupakan hal pokok yang tidak dapat digantikan oleh yang lain. Inilah yang membuat keseluruhan suasana perayaan menjadi kudus dan berbeda dengan suasana profan…..

[Namun] Sering penyesuaian liturgi dipandang sebagai kegiatan satu arah saja yaitu upaya dari pihak Allah dan para petugas khusus untuk membuat liturgi itu menjadi relevan dan sesuai dengan para peraya. Padahal liturgi merupakan pertemuan antara Allah dan manusia, dalamnya terjadi dialog bukan monolog. Liturgi sebagai karya Allah ditanggapi oleh para peraya. Maka penyesuaian dari pihak Allah dan para petugas khusus dalam liturgi perlu ditanggapi oleh semua peraya. Dalam liturgi manusia harus berusaha menyesuaikan diri dengan Allah serta rencana-rencana-Nya, dan menyesuaikan diri dengan pedoman-pedoman liturgi terutama pedoman umum mengenai hal-hal pokok dan penting yang dipandang sebagai unsur pembentuk liturgi. Arah penyesuaian terakhir sering kurang mendapat perhatian dalam pembicaraan mengenai pokok ini, sebab yang lebih diutamakan dalam diskusi dan proses penyesuaian liturgi adalah segala upaya membuat liturgi itu sesuai atau cocok untuk para peraya. Kalau demikian penyesuaian liturgi menjadi pincang.”

Beberapa Pelanggaran Liturgi dalam Perayaan Ekaristi

Setelah kita mengetahui pengertian tentang liturgi, mari kita lihat bersama adanya pelanggaran-pelanggaran yang umum terjadi di dalam liturgi Perayaan Ekaristi, yang biasanya didasari oleh kekurangpahaman ataupun ketidakseimbangan dialog antara pihak Allah dan pihak peraya. Dewasa ini, ada kecenderungan untuk terlalu mengikuti kehendak para peraya, sampai mengesampingkan apa yang sebenarnya menjadi hal prinsip yang menjadi kehendak Allah, atau yang selayaknya diberikan kepada Allah sebagai ungkapan penghargaan kita akan Misteri Paska yang kita rayakan dalam liturgi. Kekurangpahaman ataupun ketimpangan penyesuaian dalam liturgi ini melahirkan banyak pelanggaran-pelanggaran, dan berikut ini adalah beberapa contohnya:

Pelanggaran sehubungan dengan persiapan batin sebelum mengikuti Misa Kudus:

1. Tidak berpuasa sedikitnya sejam sebelum menerima Komuni

Seharusnya:

KHK Kan. 919

§ 1 Yang akan menerima Ekaristi Mahakudus hendaknya berpantang dari segala macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya satu jam sebelum komuni, terkecuali air semata-mata dan obat-obatan.

Maksud puasa sebelum Komuni tentu adalah untuk semakin menyadarkan kita bahwa yang akan kita santap dalam Ekaristi adalah bukan makanan biasa, namun adalah Tuhan sendiri: yaitu Kristus Sang Roti Hidup, yang dapat membawa kita kepada kehidupan kekal (lih. Yoh 6:56-57)

2. Menggunakan pakaian yang tidak/ kurang sopan ke gereja, datang terlambat, ngobrol, berBBM/ SMS di gereja, makan dan minum di dalam gereja, terutama anak- anak, anggota koor yang minum sebelum/ sesudah bertugas, umat saat menunggu dimulainya perayaan Ekaristi.

Seharusnya:

KGK 1387 ….Di dalam sikap (gerak-gerik, pakaian) akan terungkap penghormatan, kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus menjadi tamu kita. (CCC 1387 …. Bodily demeanor (gestures, clothing) ought to convey the respect, solemnity, and joy of this moment when Christ becomes our guest)

Sudah sewajarnya dan sepantasnya jika kita memberikan penghormatan kepada Allah yang kita jumpai di dalam liturgi. Jika sikap seenaknya tidak kita lakukan jika kita sedang bertemu bapak Presiden, maka selayaknya kita tidak bersikap demikian kepada Tuhan yang kita jumpai di gereja.

3. Tidak memeriksa batin, namun tetap menyambut Komuni meskipun dalam keadaan berdosa berat

Seharusnya:

RS 81    Kebiasaan sejak dahulu kala menunjukkan bahwa setiap orang harus memeriksa batinnya dengan mendalam, dan bahwa setiap orang yang sadar telah melakukan dosa berat tidak boleh menyambut Tubuh Tuhan kalau tidak terlebih dahulu menerima Sakramen Tobat, kecuali jika ada alasan berat dan tidak tersedia kemungkinan untuk mengaku dosa; dalam hal itu ia harus ingat bahwa ia harus membuat doa tobat sempurna, dan dalam doa ini dengan sendirinya tercantum maksud untuk mengaku dosa secepat mungkin (lih. KGK 1385, KHK Kan 916, Ecclesia de Eucharistia, 36) 

Dosa berat memisahkan kita dari Kristus, dan karena itu untuk bersatu dengan-Nya kita harus meninggalkan dosa tersebut, dan mengakukannya di dalam sakramen Tobat. Contoh dosa berat ini misalnya jika hidup dalam perkawinan yang tidak sah menurut hukum Gereja Katolik, atau hidup dalam perzinahan/ percabulan, atau dalam keadaan kecanduan obat-obatan, dst. Kekecualian akan “adanya alasan berat dan tidak tersedia kemungkinan mengaku dosa”, contohnya adalah bahaya maut, atau jika tinggal di daerah terpencil di mana Komuni dibagikan oleh seorang asisten imam dalam waktu sekian minggu sekali.

Pelanggaran dalam bagian- bagian Misa Kudus:

1. Mazmur Tanggapan digantikan dengan lagu rohani lainnya

Seharusnya:

Redemptoris Sacramentum (RS) 62    “Tidak juga diperkenankan meniadakan atau menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagimengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi Sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci.” (lih. juga PUMR 57)

Katekismus mengajarkan bahwa kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi nyata dalam: 1) diri imamnya; 2) secara khusus dalam rupa roti dan anggur; 3) dalam sabda Allah (bacaan-bacaan Kitab Suci); 4) dalam jemaat yang berkumpul (lih. KGK 1088). Nah sabda Allah yang dimaksud di sini adalah bacaan di dalam Liturgi Sabda, dan ini termasuk bacaan Mazmur pada hari itu.

Selanjutnya tentang pembahasan topik ini, klik di sini.

2. Ordinarium digantikan dengan lagu- lagu lain dengan teks yang berbeda, yang tidak sama dengan yang sudah disahkan KWI.

RS 59    Di sana-sini terjadi bahwa Imam, Diakon atau umat dengan bebas mengubahkan atau menggantikan teks-teks liturgi suci yang harus mereka bawakan. Praktek yang amat tidak baik ini harus dihentikan. Karena dengan berbuat demikian, perayaan Liturgi Suci digoyahkan dan tidak jarang arti asli liturgi dibengkokkan.

Seharusnya:

PUMR 393    Perlu diperhatikan pentingnya nyanyian dalam Misa sebagai bagian utuh dari liturgi. Konferensi Uskuplah yang berwenang mengesahkan lagu-lagu yang serasi, khususnya untuk teks-teks Ordinarium, jawaban dan aklamasi umat, dan untuk ritus-ritus khusus yang diselenggarakan dalam kurun tahun liturgi….

Rumusan Ordinarium merupakan pernyataan iman Gereja yang sifatnya baku, sehingga tidak selayaknya diubah-ubah atas kehendak pribadi.

3. Kurangnya saat hening.

Seharusnya:

PUMR 45    Beberapa kali dalam Misa hendaknya diadakan saat hening. Saat hening juga merupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda menurut makna bagian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat umat mawas diri, dan sesudah ajakan untuk doa pembuka umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang didengar. Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati.
Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.

PUMR 56    Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari. Selama Liturgi Sabda, sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung pada besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapkan sabda Allah, dengan dukungan Roh Kudus, dan untuk menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.

4. Diizinkannya seorang awam untuk berkhotbah/ memberikan kesaksian di dalam homili  (misalnya untuk mengisi homili Minggu Panggilan, homili di misa requiem, ataupun kesempatan khusus lainnya).

Seharusnya:

RS 64    Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari liturgi itu “pada umumnya dibawakan oleh Imam perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam….”

RS 66    Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh ada kekecualian untuk orang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun.

RS 74    Jika dipandang perlu bahwa kepada umat yang berkumpul di dalam gereja, diberi instruksi atau kesaksian tentang hidup Kristiani oleh seorang awam, maka sepatutnya hal ini dibuat di luar Misa. Akan tetapi jika ada alasan kuat, maka dapat diizinkan bahwa suatu instruksi atau kesaksian yang demikian disampaikan setelah Doa sesudah Komuni. Namun hal ini tidak boleh menjadi kebiasaan. Selain itu, instruksi atau kesaksian itu tidak boleh bercorak seperti sebuah homili, dan tidak boleh homili dibatalkan karena ada acara dimaksud.

RS 67 Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh berdasarkan misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta patokan hidup Kristiani, bertitik tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang bagian umum (Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dala Misa ataupun suatu perayaan gerejawi lain…..

5. Pemberian Salam Damai yang dilakukan terlalu meriah dan panjang, sampai imam turun dari panti imam.

Seharusnya:

RS 71    Perlu mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, untuk saling menyampaikan salam damai menjelang Komuni. Sesuai dengan tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimaksudkan sebagai rekonsiliasi atau pengampunan dosa, melainkan mau menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus. Segi rekonsiliasi antara umat yang hadir lebih diungkapkan dalam upacara tobat pada awal Misa, khususnya dalam rumus pertama.

RS 72    “Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang pantas.” “Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu….”

Salam Damai perlu dipertahankan, hanya hal dinyanyikan atau tidak, itu tidak secara eksplisit dinyatakan di dalam dokumen Gereja. Bagi yang memilih untuk menyanyikannya, dasarnya karena menganggap bahwa nyanyian itu merupakan cara menyampaikan damai. Sedangkan yang tidak menyanyikannya, kemungkinan menganggap bahwa hal dinyanyikannya Salam Damai tidak eksplisit disyaratkan dalam dokumen Gereja, dan karena jika dinyanyikan malah dapat mengganggu pusat perhatian saat itu yang seharusnya difokuskan kepada Kristus. Jika kelak ingin diseragamkan, maka pihak KWI-lah yang berwenang untuk menentukan apakah Salam Damai ini akan dinyanyikan atau tidak dinyanyikan.

Pelanggaran dalam hal penerimaan Komuni:

1. Umat mencelupkan sendiri Hosti ke dalam piala anggur.

Seharusnya:

RS 94     Umat tidak diizinkan mengambil sendiri– apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus.

RS 104     Umat yang menyambut, tidak diberi izin untuk mencelupkan sendiri hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia menerima hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya…..

PUMR 160     Umat tidak diperkenankan mengambil sendiri roti kudus atau piala, apalagi saling memberikannya antar mereka. Umat menyambut entah sambil berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan ketentuan Konferensi Uskup…

Pada hakekatnya Komuni adalah sesuatu yang “diberikan” oleh Kristus: “Terimalah dan makanlah inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi-Mu…. Terimalah dan minumlah, inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu….”. Jadi bukan sesuatu yang dapat diambil sendiri.

2. Pengantin saling menerimakan Komuni.

Seharusnya, tidak boleh:

RS 94     Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga penyimpangan di mana kedua mempelai saling menerimakan Komuni dalam misa perkawinan.

Ekaristi kudus adalah kurban Kristus, dan diberikan oleh Kristus (melalui imam ataupun petugas pembagi Komuni tak lazim yang diberi tugas tersebut), sehingga bukan untuk saling diterimakan oleh umat sendiri.

3. Umat yang menerima Komuni dengan tangan, tidak melakukan sikap penghormatan sebelum menerimanya.

Seharusnya:

PUMR 160    ….Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat yang serasi, sebagaimana ditentukan dalam kaidah- kaidah mengenai komuni.

Adalah baik jika sesaat sebelum menyambut Komuni umat menundukkan kepala, tanda penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir di dalamnya.

4. Patena sudah jarang digunakan.

Seharusnya:

RS 93    Patena Komuni untuk umat hendaknya dipertahankan, demi menghindarkan bahaya jatuhnya hosti kudus atau pecahannya.

5. Umat tidak menjawab “Amin” pada perkataan Romo, “Tubuh Kristus” sebelum menerima hosti.

Seharusnya:

PUMR 287    Kalau komuni dua rupa dilaksanakan dengan mencelupkan hosti ke dalam anggur, tiap penyambut, sambil memegang patena di bawah dagu, menghadap imam yang memegang piala. Di samping imam berdiri pelayan yang memegang bejana kudus berisi hosti. Imam mengambil hosti, mencelupkan sebagian ke dalam piala, memperlihatkannya kepada penyambut sambil berkata: Tubuh dan Darah Kristus. Penyambut menjawab: Amin, lalu menerima hosti dengan mulut, dan kemudian kembali ke tempat duduk.

6. Petugas Pembagi Komuni Tak Lazim (atau dikenal umat dengan istilah pro-diakon) membagi Komuni, Pastor malah duduk.

Seharusnya:

RS 154    Seperti  sudah dinyatakan, “pelayan yang selaku pribadi Kristus dapat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah Imam yang ditahbiskan secara sah” (lih. KHK Kan 900, 1) Karena itu, istilah “pelayan Ekaristi: hanya dapat diterapkan pada seorang Imam. Di samping itu, berdasarkan pentahbisan suci, pelayan-pelayan yang lazim untuk memberi komuni adalah Uskup, Imam dan Diakon….

RS 151    Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan tak lazim dalam perayaan liturgi. Permohonan akan bantuan yang demikian bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan, karena kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat…..

RS 152    Jabatan- jabatan yang semata- mata pelengkap ini jangan dipergunakan untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh para Imam demikian rupa…..

RS 157    ….Tidak dapat dibenarkan kebiasaan para Imam yang, walaupun hadir pada perayaan itu, tidak membagi komuni dan menyerahkan tugas ini kepada orang-orang awam.

Pelanggaran dalam hal musik liturgis:

1. Dinyanyikannya lagu-lagu pop rohani dalam perayaan Ekaristi

Seharusnya:

Tra le Sollecitudini  1    Musik liturgis (sacred music)… mengambil bagian dalam ruang lingkup umum liturgi, yaitu kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pengajaran umat beriman. Musik liturgis memberi kontribusi kepada keindahan dan keagungan upacara gerejawi, dan karena tujuan prinsipnya adalah untuk melingkupi teks liturgis dengan melodi yang cocok demi pemahaman umat beriman, tujuan utamanya adalah untuk menambahkan dayaguna-nya kepada teks, agar melaluinya umat dapat lebih terdorong kepada devosi dan lebih baik diarahkan kepada penerimaan buah-buah rahmat yang dihasilkan oleh perayaan misteri-misteri yang paling kudus tersebut.

Tra le Sollecitudini  2     Karena itu musik liturgis (sacred music) … harus kudus, dan harus tidak memasukkan segala bentuk profanitas, tidak hanya di dalam musik itu sendiri, tetapi juga di dalam cara pembawaannya oleh mereka yang memainkannya.

Tra le Sollecitudini  5    Gereja telah selalu mengakui dan menyukai kemajuan dalam hal seni, dan menerima bagi pelayanan agama semua yang baik dan indah yang ditemukan oleh para pakar yang ada sepanjang sejarah — namun demikian, selalu sesuai dengan kaidah- kaidah liturgi. Karena itu musik modern juga diterima Gereja, sebab musik tersebut menyelesaikan komposisi dengan keistimewaan, keagungan dan kedalaman, sehingga bukannya tak layak bagi fungsi-fungsi liturgis. Namun karena musik modern telah timbul kebanyakan untuk melayani penggunaan profan, maka perhatian yang khusus harus diberikan sehubungan dengan itu, agar komposisi musik dengan gaya modern yang diterima oleh Gereja tidak mengandung apapun yang profan, menjadi bebas dari sisa-sisa motif yang diangkat dari teater, dan tidak disusun bahkan di dalam bentuk- bentuk teatrikal seperti cara menyusun lagu- lagu profan.

Harus dibedakan bahwa untuk lagu-lagu liturgis, lagu bukan hanya sebagai ungkapan perasaan tetapi ungkapan iman (lex orandi lex credendi).

2. Adanya tari- tarian yang menyerupai pertunjukan/ performance diadakan dalam perayaan Ekaristi, kemudian diikuti dengan tepuk tangan umat.

Seharusnya:

RS 78     … Perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik.

Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi 17    …. Di kalangan sejumlah suku, nyanyian secara naluriah terkait dengan tepuk tangan, gerak tubuh secara ritmis, dan bahkan tarian. Ini semua adalah bentuk lahiriah dari gejolak batin dan merupakan bagian dari tradisi suku ….Jelas, itu hendaknya menjadi ungkapan tulus doa jemaat dan tidak sekedar menjadi tontonan…

Paus Benediktus XVI dalam The Spirit of the Liturgy (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 198: “Adalah suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi “menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin ditarikan oleh grop dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut pandang profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan. Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi  telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius. Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai bentuk gelitik religius.”

Kardinal Arinze menjelaskannya demikian: bahwa pada budaya- budaya tertentu (yaitu di Afrika dan Asia), tarian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cara penyembahan, namun gerakan ini adalah ‘graceful movement‘ untuk menunjukkan suka cita dan penghormatan, dan bukan ‘performance‘. Dalam budaya ini, gerakan tersebut dapat diadakan dalam prosesi perayaan Ekaristi, namun bukan sebagai pertunjukan. Sedangkan di tempat- tempat lain di mana tarian tidak menjadi bagian dari penyembahan/ penghormatan (seperti di Eropa dan Amerika) maka memasukkan tarian ke dalam perayaan Ekaristi menjadi tidak relevan. Untuk mendengarkan penjelasan Kardinal Arinze tentang hal ini, silakan klik.

3. Band masuk gereja dan digunakan sebagai alat musik liturgi.

Seharusnya:

Tra le Sollecitudini 19    Penggunaan alat musik piano tidak diperkenankan di gereja, sebagaimana juga alat musik yang ribut atau berkesan tidak serius (frivolous), seperti drum, cymbals, bells dan sejenisnya.

Tra le Sollecitudini 20    Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan organ.

Maka diperlukan izin khusus untuk menggunakan alat-alat musik lain, terutama jika alat tersebut dapat memberikan efek ribut/ keras, dan berkesan profan/ tidak serius.

Beberapa Pertanyaan tentang Liturgi:

1. Mengenai musik liturgi, apa seharusnya alat musik yang digunakan? Bolehkah menggunakan organ dengan tambahan suara alat musik lain?
Bila mengacu kepada Sacrosanctum Concilium 120, alat musik yang sebaiknya digunakan adalah organ pipa. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan penggunaan alat musik lain, sepanjang disetujui oleh pihak otoritas Gereja, dan asalkan sesuai untuk digunakan dalam musik sakral.

SC 120    “Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke surga. Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.”

Paus Pius XII mengeluarkan dokumen tentang Musik Liturgis yang berjudul Musicae Sacrae (MS), dan secara khusus menyebutkan tentang hal ini demikian:

MS 59    “Selain organ, alat-alat musik lain dapat digunakan untuk memberikan bantuan besar dalam mencapai maksud yang tinggi dari musik liturgi, asalkan mereka tidak memainkan apapun yang profan, yang berisik atau hingar bingar dan tidak bertentangan dengan pelayanan sakral atau martabat tempat kudus. Di antara alat-alat musik ini, biola dan alat-alat musik lainnya yang menggunakan cekungan (bow) adalah baik sebab ketika dimainkan sendiri atau dengan alat musik senar lainnya, alat- alat musik ini mengekspresikan perasaan suka cita dan dukacita dalam jiwa dengan kekuatan yang tak dapat dilukiskan…”

Sedangkan tentang hal alat musik ini, Rm. Bosco da Cunha dari Komisi Liturgi KWI mengatakan:

“KWI masih dalam proses berusaha mengaktualisasi dokumen Sacrosanctum Concilium Konsili Vatikan II; KWI tidak gegabah. Usaha penelitian dan percobaan alat musik tradisional aneka suku bangsa sudah mulai dengan “Pusat Musik Liturgi” Yogyakarta dipimpin Romo Karl Edmund Prier SJ sejak 1980an namun masih berlangsung”.

Beliau menyarankan bagi yang berminat mengetahui lebih lanjut untuk mengunjungi PML Yogyakarta di Jl. Abubakar Ali Kotabaru Yogyakarta untuk mengetahui studio dan showroom karya-karya musik liturgi inkulturatif.

2. Bila dikaitkan dengan adaptasi-adaptasi yang muncul di Sacrosanctum Concilium, bagaimana batasan-batasannya agar tidak mengontradiksi dokumen-dokumen Gereja lainnya (dalam hal penentuan musik liturgi)?

Musicae Sacrae 60    “Sebab jika musik itu tidak profan atau bertentangan dengan kesakralan tempat dan fungsi dan tidak berasal dari keinginan untuk mencapai efek-efek yang luar biasa dan tidak lazim, maka gereja-gereja kita harus menerimanya, sebab mereka dapat menyumbangkan dalam cara yang tidak kecil terhadap keagungan upacara-upacara sakral, dapat mengangkat pikiran kepada hal-hal yang lebih tinggi dan dapat menumbuhkan devosi yang sejati dari jiwa.” (lih. MD 193)

Maka, nampaknya yang perlu dijadikan patokan adalah prinsipnya, yaitu:

1) Tidak memasukkan unsur profanitas dalam musik liturgis;
2) Musik itu tidak menghasilkan efek suara yang luar biasa dan tak lazim
3) Musik itu dapat membantu mengangkat pikiran kepada hal- hal yang lebih tinggi:
Apakah membantu ke-empat hal ini: penyembahan (worship/ adoration), syukur (thanksgiving), pertobatan (contrition),     permohonan (supplication).
4) Menggunakan musik-musik yang sudah mendapat persetujuan dari otoritas Gereja (ada Nihil Obstat dan Imprimatur);
5) Mengacu kepada ketentuan yang sudah pernah secara eksplisit ditentukan oleh otoritas Gereja.

3. Bolehkah choir (koor) terdiri dari perempuan?
Walaupun di dokumen yang dikeluarkan oleh Paus Pius X, Tra le Sollecitudini 13,14 (1903) dikatakan bahwa untuk koor anggotanya harus laki-laki- mungkin karena hal ini merupakan tradisi Gereja sejak zaman dulu; namun ketentuan ini kemudian diperbaharui di dokumen berikutnya tentang Musik Liturgi yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII, Musicae Sacrae, demikian:

MS 74     Ketika tidak mungkin diperoleh sekolah paduan suara (Scholae Cantorum) atau di mana tidak ada cukup anak laki-laki untuk koor, diperbolehkan bahwa “kelompok pria dan wanita atau anak-anak perempuan, yang ditempatkan di luar tempat kudus (sanctuary) yang terpisah untuk penggunaan kelompok ini secara khusus, dapat menyanyikan teks-teks liturgi pada saat Misa Agung, sepanjang para pria dipisahkan dari para wanita dan anak- anak perempuan dan segala yang tidak pantas dihindari….

4. Perlukah kita ikut membungkuk setiap saat seorang imam membungkuk dalam Perayaan Ekaristi?
Tidak perlu. Yang ditulis dalam Tata Perayaan Ekaristi adalah, umat membungkuk pada waktu Ritus Pembuka ketika Imam dan Pelayan lain menghormati Altar, dan pada sesudah kata-kata Konsekrasi atas roti dan anggur, ketika Imam berlutut; dan pada saat Credo (syahadat) yaitu pada perkataan, “[Yesus Kristus] yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria”.

5. Bolehkah imam menambah hanya beberapa kata atau bagian dalam sebuah Perayaan Ekaristi?
Jika ada titik-titik (….) boleh disebutkan nama orang yang didoakan (doa bagi orang yang masih hidup maupun orang yang sudah meninggal) seperti dalam Doa Syukur Agung pertama.

RS 51    ….”Tidak ada toleransi terhadap imam-imam yang merasa berhak menyusun Doa Syukur Agungnya sendiri” atau mengubahkan teks-teks yang sudah disahkan oleh Gereja atau memperkenalkan teks-teks lain, yang telah dikarang oleh pribadi-pribadi tertentu.

6. Bagaimana seharusnya kostum pelayan altar? Apakah betul pelayan altar putri seharusnya mengenakan alba dan mengapa?
Apakah wanita ideal untuk menjadi pelayan altar walaupun diperbolehkan?

PUMR 339    Akolit, lektor dan pelayan awam lain boleh mengenakan alba atau busana lain yang disahkan oleh Konferensi Uskup untuk wilayah gerejawi yang bersangkutan.
RS 47    Sangat dianjurkan untuk mempertahankan kebiasaan yang luhur yakni pelayanan altar oleh anak laki-laki atau pemuda, biasanya disebut pelayan Misa, suatu tugas yang dilaksanakannya seturut cara akolit. Hendaknya mereka diberi katekese tentang fungsi mereka sesuai dengan daya tangkap mereka. Perlu diingat bahwa berabad-abad lamanya dari amat banyak anak seperti ini telah muncul banyak pelayan tertahbis….. Anak perempuan atau ibu-ibu boleh diterima untuk melayani altar, sesuai dengan kebijakan Uskup diocesan dan dengan memperhatikan norma-norma yang sudah ditetapkan.

7. Apakah inkulturasi liturgi memperbolehkan penggunaan berbagai macam alat musik di luar organ pipa?

Hal ini dimungkinkan. Pimpinan Gereja yang mengambil keputusan untuk menggunakan alat- alat musik lain, hendaknya dalam proses adaptasi- inkulturasi membuat penelitian untuk mengetahui apakah alat musik tersebut digunakan dalam ibadat religius menurut budaya setempat dan sungguh membantu umat beriman mengangkat hati kepada Tuhan untuk memuji dan menyembahnya? Bisa saja alat musik yang sama digunakan baik dalam upacara keagamaan dan dalam perayaan profan, tetapi harus diperhatikan perbedaan dalam cara menggunakannya. Ada nada dan melodi yang khas dalam upacara keagamaan dan dalam acara profan. Seperti pada alat tifa dalam budaya orang Papua Selatan, ada bunyi dan cara memukul yang khas dalam ibadat religius, yang berbeda dengan bunyi dan cara memukul tifa tersebut jika digunakan untuk kegiatan- kegiatan yang profan saja.

PUMR 393     …. Demikian pula, Konferensi Uskuplah yang berwenang memutuskan gaya musik, melodi, dan alat musik yang boleh digunakan dalam ibadat ilahi; semua itu sejauh serasi, atau dapat diserasikan dengan penggunaannya yang bersifat kudus.

Kesimpulan: Mengapa perlu memperhatikan norma-norma Liturgi dan menghindari penyelewengannya?

Adalah penting kita ketahui bersama, bahwa “Norma-norma liturgi Ekaristi dimaksudkan untuk mengungkapkan dan melindungi misteri Ekaristi dan juga menjelaskan bahwa Gerejalah yang merayakan sakramen dan pengorbanan yang agung. Sebagaimana yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II, “Norma-norma ini adalah ungkapan konkret dari kodrat gerejawi otentik mengenai Ekaristi; inilah maknanya yang terdalam. Liturgi tak pernah menjadi milik perorangan, baik dari selebran maupun komunitas, tempat misteri-misteri dirayakan.” ((Ecclesia de Eucharistia, 52)) Ini berarti bahwa “… para imam yang merayakan Misa dengan setia seturut norma-norma liturgi, dan komunitas-komunitas yang mengikuti norma-norma itu, dengan tenang namun lantang memperagakan kasih mereka terhadap Gereja. ((Ibid., lih. Redemptoris Sacramentum, Lampiran, 2))

Adanya penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam liturgi seringkali berhubungan dengan salah persepsi tentang makna ‘kebebasan’; dan hal ini tidak menuju kepada pembaharuan sejati yang diharapkan oleh Konsili Vatikan II. Karena penyimpangan ini dapat mengakibatkan merosotnya/ hubungan yang perlu antara hukum doa dengan hukum iman, yaitu bahwa doa harus merupakan ungkapan iman (lex orandi, lex credendi).

Akhirnya, marilah kita berpartisipasi secara aktif dan sadar setiap kali kita mengikuti perayaan liturgi, dan juga dengan memperhatikan dan melaksanakan ketentuan- ketentuannya, sebagai tanda bukti bahwa kita mengasihi Kristus dan Gereja-Nya.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab