Dari Yerikho ke Yerusalem

Saya masih ingat ada lagu tentang perikop Orang Samaria yang baik hati, yang liriknya dimulai dengan kalimat, “Dari Yerikho ke Yerusalem, ada jalan belas kasih ….” Ya, belas kasih. Itulah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam perikop ini. Mengapa? Sebab Tuhan Yesus ingin mengajarkan kepada kita bahwa hukum Allah yang terutama bukanlah “Jangan berbuat ini…. jangan berbuat itu” yang kesannya negatif, berupa larangan. Sebaliknya, hukum Tuhan yang terutama adalah sangat positif yaitu, “Kasihilah….” yang berupa perintah untuk berbuat kebaikan. Kasih ini terutama ditujukan kepada Tuhan, dan kemudian, demi kasih kita kepada Tuhan, kita diajarkan untuk mengasihi sesama. Perikop ini selanjutnya menjabarkan tentang siapakah sesama yang harus kita kasihi.

Bacaan Injil Luk 10:25-37

25 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”

26 Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?”

27 Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

28 Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”

29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?”

30 Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.

31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.

32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.

33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.

34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.

35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.

36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”

37 Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Telaah teks

Perikop ini seolah terbagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama menyampaikan tentang apakah perintah Tuhan yang utama, dan bagian yang kedua menyampaikan tentang siapakah sesama manusia.

1. Perintah Tuhan yang utama: Kasihilah Tuhan

Mengapa perintah Tuhan yang utama adalah agar kita mengasihi Tuhan? Khotbah St. Yohanes Maria Vianney (1786-1859) mungkin dapat membantu kita memahami, mengapa demikian:

“Ya, pekerjaan kita satu- satunya di dunia ini adalah perbuatan mengasihi Tuhan- yaitu mulai melakukan pekerjaan yang akan kita lakukan kelak di dalam kekekalan. Mengapa kita musti mengasihi Tuhan? Sebab kebahagiaan kita diperoleh dari mengasihi Tuhan; dan bukan dari hal yang lain. Jadi, jika kita tidak mengasihi Tuhan, kita akan selalu tidak bahagia; dan jika kita berharap untuk menikmati penghiburan dan kelepasan dari kesakitan kita, kita akan mencapainya hanya jika kita mengasihi Tuhan. Jika kamu ingin menjadi yakin akan hal ini, pergilah dan temukanlah seseorang yang paling bahagia menurut ukuran dunia ini; jika ia tidak mengasihi Tuhan, kamu akan menemukan bahwa ternyata ia adalah orang yang tidak bahagia. Dan sebaliknya, jika kamu menemukan seseorang yang tidak bahagia menurut ukuran dunia, kamu akan melihat, bahwa karena ia mengasihi Tuhan ia bahagia di dalam segala sesuatu. O Tuhan! Bukalah mata hati kami, dan kami akan mencari kebahagiaan di mana kami sungguh dapat menemukannya.” ((St. John Mary Vianney, Sermons, Twenty- second Sunday after Pentecost as quoted in The Navarre Bible, St. Luke, Jose Maria Casciaro, ed., (Dublin, Ireland: Four Court Press, 1997 reprint), p. 140))

Jika kita membaca berita tentang tokoh selebriti baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sedikit banyak kita dapat mengetahui bahwa apa yang ditulis oleh St. Yohanes Maria Vianney benar adanya. Sebab ada banyak orang yang nampak bahagia dari luar, namun hatinya kosong, sebab mereka tidak mengenal dan mengasihi Allah. Tak jarang, ada di antara mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena merasa hidupnya tak berarti. Namun sebaliknya, ada juga orang- orang yang nampaknya tidak berkelebihan di mata dunia, namun mereka hidup bahagia, sebab Tuhanlah yang menjadi sumber suka cita mereka. Kita dapat menyebutkan sendiri, orang- orang semacam ini yang Tuhan ijinkan untuk hadir dalam kehidupan kita, untuk membuka mata kita, bahwa bukan kemewahan duniawi yang menentukan kebahagiaan seseorang, tetapi hubungan kasih yang erat dengan Tuhan.

2. Sesama manusia= siapapun yang membutuhkan pertolongan

Perikop ini sesungguhnya jelas mengajarkan kepada kita bahwa sesama bagi kita adalah siapapun -tidak terbatas oleh ras ataupun golongan- yang membutuhkan pertolongan kita. Maka belas kasihan tidak hanya berarti merasa kasihan, tetapi kasih itu harus diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Kita sebagai murid- murid Kristus diajak untuk membagikan belas kasih kita kepada sesama. Sesama di sini bukan hanya teman kita, tetapi juga mereka yang bukan teman kita, bahkan musuh/ orang yang membenci kita. Perumpamaan ini menjelaskan perintah Kristus, “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu… “(Luk 6:27; lih. Mat 5:43). Sebab kasih yang tulus sifatnya memberi, tanpa mengharapkan balasan; menolong karena mengetahui bahwa orang tersebut membutuhkan pertolongan.

Penjelasan The Navarre Bible tentang perikop ini mengatakan bahwa perbuatan belas kasih ada empat belas macam, tujuh bersifat rohani dan tujuh lainnya bersifat jasmani. Perbuatan kasih yang bersifat rohani adalah: membawa orang yang berdosa kepada pertobatan, mengajar mereka yang tidak tahu, menasehati orang yang bimbang, menghibur orang yang berduka, menerima kesalahan dengan sabar, mengampuni kesalahan orang lain, mendoakan orang- orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Sedangkan tujuh perbuatan kasih yang bersifat jasmani adalah: memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi pakaian kepada orang yang tidak berpakaian, memberi tumpangan kepada yang tidak mempunyai tempat tinggal, mengunjungi orang sakit, mengunjungi para tahanan di penjara, dan mengubur orang yang meninggal dunia. ((The Navarre Bible St. Luke, ibid., p. 141))

3. Mengapa Yesus menggunakan perumpamaan dalam mengajarkan tentang belas kasihan ini?

Kemungkinan Yesus mengajar dengan perumpamaan dengan maksud mengkoreksi kebiasaan kesalehan yang palsu yang dilakukan oleh orang- orang pada jaman itu. Menurut hukum Taurat, persentuhan dengan jenazah menjadikan seseorang najis secara hukum, sehingga perlu menjalani ritual pemurnian (lih. Bil 19:11-22, Im 21:1-4, 11-12). Hukum- hukum ini bukan dimaksudkan untuk mencegah orang- orang menolong orang yang terluka; tetapi hukum itu ditujukan untuk alasan kesehatan dan penghormatan kepada orang mati. Penyimpangan para imam dan orang Lewi pada perumpamaan ini adalah, mereka yang tidak tahu apakah orang yang dirampok itu sudah mati atau belum, sengaja memilih untuk menerapkan interpretasi yang keliru terhadap hukum ritual -yang merupakan hukum yang sekunder- dan malah mengabaikan hukum yang lebih utama, yaitu mengasihi sesama dan memberikan bantuan yang diperlukannya. ((lih. The Navarre Bible St. Luke, ibid., p. 142))

Dengan demikian Yesus mengajarkan kita bahwa hukum kasih merupakan hukum yang terutama, dan ini mengatasi hukum- hukum yang lainnya. Hukum kasih mengatasi batas ras/ golongan, seperti yang ditunjukkan dalam perumpamaan ini. Sebab yang terluka karena dirampok itu adalah seorang Yahudi, sehingga sesungguhnya seorang imam Yahudi dan seorang Lewi yang lewat di sana mempunyai kewajiban yang lebih besar untuk menolongnya, karena mereka sebangsa, namun juga karena kedudukan mereka sebagai pemuka umat. Sebaliknya, akan lebih mudah dimengerti jika orang Samaria itu memilih untuk tidak menolongnya, sebab saat itu bangsa Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria (lih Yoh 4:9). Namun demikian, yang terjadi dalam perumpamaan itu adalah sebaliknya: sesama orang Yahudi yang seharusnya menolong malah tidak menolongnya, sedangkan orang Samaria yang tidak dianggap teman itulah yang menolongnya. Kisah ini seharusnya membuka pemikiran kita tentang apakah kita sudah menjadi ‘orang Samaria yang baik hati’ bagi orang yang membutuhkan pertolongan, terutama jika itu adalah saudara kita sendiri?

4. Makna allegoris dari perumpamaan ini

Dikisahkan bahwa orang yang jatuh ke tangan penyamun itu sedang dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Secara geografis, ketinggian Yerusalem dari air laut lebih tinggi daripada ketinggian Yerikho, sehingga jalan dari Yerusalem menuju Yerikho adalah jalan menurun. Yerusalem sering disebut sebagai kota yang kudus/ surgawi, sedangkan Yerikho, kota duniawi. Maka secara simbolis, penurunan ini menggambarkan jatuhnya seseorang dari keadaan rahmat.

St. Agustinus mengajarkan bahwa orang Samaria ini menggambarkan Kristus sendiri, dan orang yang jatuh ke tangan penyamun itu adalah Adam, yang menggambarkan keseluruhan umat manusia yang jatuh dalam dosa oleh jebakan si Jahat. ((St. Augustine, De verbis Domini sermones, 37)) Terdorong oleh belas kasihan, Kristus turun ke dunia untuk menyembuhkan luka-luka manusia, dan menjadikan luka-luka tersebut sebagai luka-luka-Nya sendiri (lih. Yes 53:4; Mat 8:17, 1 Pet 2:24, 1 Yoh 3:5). Kristus merawat luka- luka itu dan mengolesinya dengan minyak dan anggur, yang menggambarkan sakramen; sedangkan tempat penginapan itu menggambarkan Gereja. Perumpamaan ini menggambarkan kisah belas kasihan Kristus kepada umat manusia, sejalan dengan banyak ayat lain di dalam Injil yang menunjukkan betapa Ia berbela rasa dengan sesama-Nya yang menderita (lih. Mat 9:36, Mrk 1:41, Luk 7:13).

5. Pengajaran Magisterium tentang perumpamaan Orang Samaria yang baik hati

a. Katekismus Gereja Katolik

KGK 1825    Kristus telah wafat karena kasih terhadap kita, ketika kita masih “musuh” (Rm 5:10). Tuhan menghendaki agar kita mengasihi musuh-musuh kita menurut teladan-Nya (Mat 5:44), menunjukkan diri kita sebagai sesama kepada orang yang terasing (Bdk. Luk 10:27-37), dan mengasihi anak-anak (Bdk. Mrk 9:37) dan kaum miskin (Bdk. Mat 25:40, 45).

Santo Paulus melukiskan gambaran mengenai kasih yang tidak ada tandingannya: Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri: Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1 Kor 13:4-7).

b. Paus Yohanes Paulus II

Dalam surat ensikliknya, Christifideles laici, Salvifici doloris, seperti dikutip dalam khotbahnya di peringatan ke delapan World Day of the Sick, di Roma 11 Februari 2000.

“Gereja, “dari abad ke abad…. telah membuat perumpamaan Injil Orang Samaria yang baik hati menjadi nyata kembali dan menyampaikan kasihnya yang menyembuhkan dan penghiburan Yesus Kristus….Ini terjadi melalui komitmen yang tak kenal lelah dari komunitas Kristiani dan mereka semua yang merawat para orang sakit dan yang menderita …. bersama dengan pelayanan yang ahli dan murah hati dari para petugas kesehatan.” ((Paus Yohanes Paulus II, Christifideles laici, 53)).

“Teladan Kristus, Sang Orang Samaria yang baik hati, harus menjadi inspirasi bagi sikap orang beriman, mendorongnya untuk “dekat” kepada saudara dan saudarinya yang menderita, melalui penghormatan, pengertian, penerimaan, kelemahlembutan, belas kasihan dan kesediaan tanpa pamrih. Adalah masalah memerangi ketidakpedulian yang membuat tiap-tiap orang dan kelompok dengan egonya menarik diri ke dalam diri mereka sendiri. Sampai akhir, “keluarga, sekolah dan institusi- institusi pendidikan harus, jika untuk alasan-alasan kemanusiaan, bekerja keras demi membangunkan kembali dan menyempurnakan rasa peduli terhadap sesama dan penderitaannya.” ((Paus Yohanes Paulus II, Salvifici doloris, 29)).

Dalam surat ensikliknya Evangelium Vitae:

“Selanjutnya, bagaimana kita gagal untuk menyebutkan semua tanda sehari- hari tentang keterbukaan, pengorbanan dan perawatan yang tak memikirkan diri sendiri yang dibuat oleh orang- orang yang tak terhitung banyaknya di dalam keluarga, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo dan pusat- pusat lain atau komunitas lainnya yang mendukung kehidupan? Dipimpin oleh teladan Yesus, “Orang Samaria yang baik hati” (lih Luk 10:25-37) dan ditopang oleh kekuatan-Nya, Gereja telah selalu berada di garis depan dalam hal memberikan pelayanan kasih: begitu banyak putera puterinya, terutama para religius, dalam bentuk tradisional ataupun baru, telah membaktikan dirinya dan terus membaktikan hidup mereka kepada Tuhan, memberikan diri mereka secara cuma-cuma demi kasih kepada sesama, terutama mereka yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Perbuatan- perbuatan ini memperkuat dasa “masyarakat kasih dan kehidupan” yang tanpanya kehidupan setiap orang dan kelompok kehilangan kualitas manusiawi yang paling asli. Bahkan jika perbuatan- perbuatan tersebut tidak nampak di hadapan kebanyakan orang, iman menjamin kita bahwa Allah Bapa “yang melihat yang tersembunyi” (Mat 6:6) tidak hanya akan memberi penghargaan akan perbuatan- perbuatan ini, tetapi telah di sini dan sekarang membuat mereka menghasilkan buah yang kekal demi kebaikan semua orang. ((Paus Yohanes Paulus II, Evangelium vitae, 27))

Seorang asing bukan lagi orang asing bagi orang yang harus menjadi sesama bagi yang membutuhkan pertolongan, sampai pada titik menerima tanggung jawab bagi kehidupannya, seperti ditunjukkan jelas dalam perumpamaan Orang Samaria yang baik hati (lih. Luk 10:25-37). Bahkan musuh berhenti menjadi musuh bagi orang yang wajib untuk mengasihinya (lih. Mat 5:38-48; Luk 6:27-35), untuk melakukan kebaikan kepadanya (lih. Luk 6:27, 33, 35) dan untuk segera menanggapi kebutuhan-kebutuhannya yang genting dan tanpa pengharapan untuk dibayar kembali (lih. Luk 6:34-35). Keluhuran kasih ini adalah untuk berdoa bagi musuhnya. Dengan melakukan hal itu, kita mencapai kesesuaian dengan kasih Tuhan yang memelihara: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:44-45; lih. Luk 6:28, 35) ((Paus Yohanes Paulus II, Evangelium vitae, 41))

c. Paus Benediktus XVI

Dalam surat ensikliknya, Deus Caritas est:

“Perumpamaan Orang Samaria yang baik hati (lih. Luk 10:25-37) memberikan dua penjelasan yang sangat penting. Sampai saat itu, konsep “sesama” dimengerti sebagai mengacu secara mendasar kepada saudara-saudara sebangsa dan kepada orang-orang asing yang sudah menetap di Israel; dengan perkataan lain, kepada komunitas suatu bangsa yang sudah terjalin erat. Batasan ini sekarang dihapuskan. Siapapun yang membutuhkan saya, dan yang dapat saya bantu adalah sesama saya. Konsep: “sesama” sekarang menjadi universal, tetapi tetap konkret. Walaupun telah diluaskan kepada semua umat manusia, ‘sesama’ ini tidak direduksi menjadi sesuatu yang generik, abstrak dan tidak menyatakan kasih; tetapi yang meminta komitmen praktis saya, di sini dan sekarang….” ((Paus Benediktus XVI, Deus Caritas est, 15))

Perumpamaan Orang Samaria yang baik hati tetap menjadi patokan yang menekankan kasih yang universal kepada mereka yang membutuhkan yang kita temui “secara kebetulan” (lih. Luk 10:31), siapapun dia. Tanpa menyimpang dari perintah mengasihi yang universal ini, Gereja juga mempunyai tanggungjawab yang khusus: di dalam keluarga gerejawinya tidak seorang anggotapun harus menderita kekurangan. Ajaran dari surat kepada jemaat di Galatia cukup tegas: “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.”
((Paus Benediktus XVI, Deus Caritas est, 25))

Kesimpulan

Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita, bahwa hanya dengan mengasihi Tuhan-lah kita dapat hidup bahagia. Kasih kepada Tuhan itu diikuti dan diwujudkan oleh kasih kepada sesama, sebab kita percaya Tuhan hadir di dalam sesama kita yang membutuhkan pertolongan (lih. Mat 25:40). Kisah orang Samaria yang baik hati mendorong kita untuk mengasihi tanpa memandang bulu, tanpa membeda- bedakan ras dan golongan, dan tanpa mengharapkan balasan. Kristus sendiri telah memberikan teladan kepada kita, sebab Ia-lah yang digambarkan sebagai orang Samaria yang baik hati itu. Kristus telah menolong kita, menyembuhkan luka-luka kita akibat kejatuhan kita ke dalam dosa. Setelah mengalami pertolongan Tuhan ini, kitapun dipanggil oleh Kristus untuk melakukan hal yang sama, yaitu menolong sesama kita yang juga membutuhkan pertolongan, baik itu adalah teman kita, ataupun orang yang membenci kita. Setelah kita memenuhi tugas kewajiban kita di dalam keluarga dan pekerjaan kita, kita perlu juga berkarya bagi orang lain dengan menjadi “Orang Samaria yang baik hati” bagi mereka yang membutuhkan. Dengan melakukan hal ini, kita membagikan kasih Tuhan, dan hati kita akan memperoleh suka cita.

Mari kita tanyakan kepada diri kita sendiri: kepada siapakah kita dapat menjadi “orang Samaria yang baik hati” pada hari ini?

22 COMMENTS

  1. tuhan yesus memberkati kita semua
    tugas agama aku selesai tanpa tuhan yesus yang membimbing aku pasti tugas agama aku tdk selsai

    gbu…..:)

    namae: anas m zainuddin
    kelas: VII.2
    sekolah: smp negeri 34 makassar
    alamat: btn mangga tiga blok c

  2. Dear Katolisitas,
    1. Siapakah orang Samaria itu, dan mengapa mereka dianggap kafir oleh orang Yahudi?
    2. Apakah maksud dari Yoh 21:22? Tentang murid yang dikasihi?
    Trimakasih.

    • Shalom Johanes,

      1. Tentang bangsa Samaria

      Bangsa Samaria sering dianggap kafir oleh bangsa Yahudi, sebab bangsa Samaria adalah keturunan dari suku-suku Israel yang kemudian bercampur dengan suku-suku lain non- Israel yaitu bangsa Khaldea, Kuthea, Syria dan Arab, dan kemudian membentuk suatu agama baru yang merupakan campuran antara agama mereka dengan tahyul yang mereka peroleh dari bangsa-bangsa tersebut. Dengan demikian, bangsa Yahudi yang mengklaim bahwa mereka meneruskan ajaran murni nenek moyang mereka, membenci kaum Samaria.

      Sekilas tentang sejarah bangsa Samaria, silakan membaca di link ini, silakan klik.

      2. Tentang Yoh 21:22

      Jawab Yesus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.”

      Di ayat ini Yesus membicarakan tentang murid yang dikasihinya, yaitu Rasul Yohanes. Namun di sana, Yesus tidak mengatakan bahwa murid itu [Yohanes] tidak akan mati. Namun Yesus mengatakan, “jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup…. itu bukan urusanmu.”

      Menurut A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed Dom Orchard, OSB., jawaban ini sesungguhnya berarti: “Bahkan jika Aku membiarkannya hidup sampai kedatangan-Ku yang kedua, apakah ini adalah urusanmu? Ikutilah Aku dan serahkanlah akhir hidup orang lain ke dalam tangan-Ku. Berhubungan dengan kabar rumor bahwa Yesus berkata bahwa murid yang dikasihi ini tidak akan mati- rumor yang tersebar karena umurnya yang panjang- Rasul Yohanes di sini mengarahkan perhatian kepada bentuk persisnya dari perkataan Yesus tentang dia [Yohanes].”

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

    • Shalom Helmyda,

      Memang Kristus lahir dan takluk kepada Hukum Taurat (lih. Gal 4:4) – yang intinya adalah mengajarkan kasih kepada Allah dan kepada sesama. Namun demikian, Kristus adalah Firman yang menjadi manusia dan Firman ini adalah Allah (lih. Yoh 1:1). Karena Kristus adalah Allah dan Allah adalah kasih (lih. 1Yoh 4:8), maka Kristus juga mengatakan agar kita mengikuti Dia dan meninggalkan segala sesuatu (lih. Mrk 10:29), yang berarti mengikuti Kristus yang adalah Allah sesungguhnya adalah merupakan manifestasi dari kasih kepada Allah yang melebihi segala sesuatu. Kalau Kristus kemudian mendirikan Gereja-Nya (lih. Mat 16:16-19) dan Gereja-Nya adalah Gereja Katolik – lihat artikel ini – silakan klik, maka sudah seharusnya kita juga mengikuti Gereja yang didirikan-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  3. Dear Katolisitas,

    Boleh tanya mengapa pada zaman Tuhan Yesus, kaum Samaria seperti kasta kelas dua, dikatakan bahwa orang mereka tidak bergaul dengan orang Samaria (di Injil Lukas).
    Apa latar belakang sejarah ini. Bukankah Samaria pernah menjadi ibukota kerajaan Israel, setelah terpecah dengan Yehuda?

    Terima kasih atas penjelasannya.

    • Shalom Roberts,

      Kota Samaria dibangun oleh Raja Israel yang bernama Omri (900 BC). Nama ‘Samaria’ diambil dari nama Semer, pemilik gunung (2 Sam 16:24). Anak Raja Omri, Raja Ahab, menikah dengan Ratu Jezebel dan memperkenalkan penyembahan berhala kepada Baal (1Raj 16:32). Sesudah itu terjadi tiga tahun masa kelaparan. Sejarah Samaria berkaitan dengan beberapa episode hidup Nabi Elia. Samaria kemudian mengalami masa jatuh bangun sejak zaman Raja Ahab sampai Raja Salmanasar IV dan jenderalnya Sargon (721 BC), sampai dengan keturunannya, yang ditandai dengan percampuran dengan bangsa-bangsa pagan dan skismatik. Di Samaria terdapat kuil Baal, yang lebih dulu ada sebelum kuil Agustus yang dibangun Raja Herodes. Di Samaria terbentuk berbagai bangsa, Kaldea, Kutha, Syria, Arab dan lainnya (2Raj 17:24). Bangsa-bangsa ini kemudian bercampur dengan bangsa Israel dan membentuk perpaduan antara agama dan tahyul. Percampuran ini kemudian melahirkan agama baru bagi orang-orang Samaria. Di sepanjang sejarah terjadi pertikaian di antara kedua bangsa itu, dan orang-orang Samaria ini menjadi musuh bagi bangsa Yahudi. Orang-orang Yahudi menganggap orang-orang Samaria sebagai bangsa yang tidak asli lagi, sebab bangsa itu telah bercampur dengan bangsa-bangsa lain. Permusuhan antara kedua bangsa ini terus berlangsung sampai zaman Yesus dan para Rasul.

      Silakan membaca selengkapnya tentang bangsa Samaria, di link ini, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. Bolehlah kita membedakan kasih yang kita berikan terhadap sesama? Orang yang sudah kita kenal,sering menolong kita di saat kita susah,orang yang mencintai kita,sahabat kita,kelurga kita sendiri bukankah lebih pantas mendapat kasih yang lebih besar daripada musuh kita,orang asing yg belum kita kenal,orang yg pernah membuat kita sengsara,dsb?
    Misalnya di saat yg sama,seorang sahabat kita membutuhkan donor darah dari kita dan seorang musuh kita yang mengalami kecelakaan juga kebetulan membutuhkan donor darah dari kita.Bukankah kita lebih memilih menyelamatkan sahabat kita daripada musuh kita? Jika kita memilih menyelamatkan musuh kita bukankah kurang adil bagi sahabat kita yg selama ini sering menolong kita?Dan pastilah dia akan kecewa karena kebaikannya tdk kita balas bila kita memilih menyelamatkan musuh kita.
    Seorang teman yang kelaparan kita beri dua piring nasi,seorang pengemis cukup sepiring nasi saja
    Bagaimana pendapat tim Katolisitas?

    • Shalom Tarsisius,

      Pada dasarnya, untuk melaksanakan perintah-perintah Tuhan diperlukan “prudence“/ kebijaksanaan, sehingga kita dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan keadaan yang ada dan kemampuan kita. Maka perintah Tuhan untuk mengasihi musuh kita tidak untuk dipertentangkan dengan perintah Tuhan untuk mengasihi sahabat, saudara ataupun orang tua kita. Pada keadaan yang Anda sebutkan itu soal donor darah pada saat sahabat dan musuh (orang yang membenci kita) kita sama-sama mendapat kecelakaan, maka diperlukan kebijaksanaan untuk membantu keduanya, jika kita mau melaksanakan perintah Tuhan. Jika kemampuan kita hanya memungkinkan kita untuk menyumbangkan darah hanya kepada satu orang, tentu kita boleh memilih untuk membantu sahabat kita, namun kita tetap dapat memberikan bantuan kepada musuh kita dengan bentuk yang lain, misalnya dengan bantuan dana, dengan mengunjungi dan mendoakannya, atau pernyataan tanda kasih lainnya. Sebab membantu orang yang sakit tidak harus dinyatakan dengan menjadi donor darah.

      Lalu soal memberi sedekah kepada pengemis dan teman yang kelaparan. Dalam hal ini silakan menilik sendiri kemampuan kita, apakah kita dapat memberi kepada mereka sesuai dengan yang mereka butuhkan? Dan mungkin langkah yang lebih jauh dan lebih heroik adalah mengusahakan bagaimana untuk membantu agar mereka tidak kelaparan di kemudian hari? Nampaknya ini adalah perjuangan yang panjang dan tak sederhana, sebab ada banyak orang yang berkekurangan di sekitar kita. Oleh sebab itu kita dapat memulai dari orang-orang yang terdekat dengan kita, di sekeliling kita sendiri, ataupun mereka yang kita ketahui membutuhkan bantuan, dalam kehidupan kita.

      “Roh Kebijaksanaan, bantulah kami melihat segala sesuatunya dalam hidup kami menurut sudut pandang-Mu, ya Tuhan, supaya kami dapat menjalani kehidupan ini seturut kehendak-Mu.”

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Terima kasih Katolisitas,

    Saya masih belajar untuk menjadi “Orang Samaria yang baik itu”.

    Semoga Tuhan selalu memberkati.

    Regard’s,

  6. Lingk. kami St.Michael stasi Kulim Pekanbaru tadi baru saja sukses melaksanakan pertemuan 1 BKSN dengan diwarnai tanggapan dan kesaksian yg nyata dari peserta/umat kring. Beberapa hal yg telah diuraikan dalam ulasan ini juga tercetus dalam pertemuan doa kami. Terima kasih atas lectio divina yg dapat saya renungkan pagi ini. Syaloom

  7. Mari kembali kepada Kitab Suci, karena Kitab Suci merupakan salah satu sumber iman kita, selain Tradisi Suci, dan Magisterium. Kita bersyukur bahwa umat mulai sadar akan pentingnya memahami Kitab Suci. Sekarang ini sudah begitu banyak program memahami Kitab di lingkup Paroki seperti KEP (Kursus Evangelisasi Pribadi). Yang menjadi pertanyaan setelah KEP mau ngapain? KEP itu memang baik, tapi harus ditindaklanjuti untuk tetap bergaul dengan Kitab Suci. Kitab Suci memang harus dibedakan dengan buku-buku yang lain. Ingat Yohanes 1:1:” Pada mulanya Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah sendiri”. Jadi membaca Kitab Suci artinya saya mau mendengarkan bagaimana Allah mau berbicara kepada saya. Dengan demikian, membaca dan mendengarkan Kitab Suci seharusnya menjadi suatu ‘conditio sine qua non” atau keharusan. Oleh karena itu, mari kita mengejar ketinggalan kita di dalam Kitab Suci selama ini. Bahkan ada anekdot: ” Orang Katolik itu kan Kitab Sucinya Puji Syukur, bukan Alkitab”. Ini adalah kata saudara-saudara Kristen kepada kita. Semoga semangat Bulan Kitab Suci Nasional terus menggelora di dalam hati kita. Tuhan berkati.-***

  8. Shalom.. baik sekali semua yang sudah diuraikan… Tuhan mememang menciptakan kita manusia dengan daya berpikir yang sungguh sangat indah dan luar biasa.. semoga anak-anak Tuhan selalu menjadi inspirasi yang terus menyegarkan hidup.
    amin

  9. Terima Kasih atas ulasan Bahan Kitab Suci 2011 ini…

    Semoga perumpamaan – perumpamaan Tuhan di Bulan Kitab Suci 2011ini dapat membuat kita semakin taat dan setia kepada Allah dan tidak lupa selalu rendah hati kepada Allah dan sesama…

    Semoga Tuhan memberkati kita semua….

    GBU

  10. Saya ingin menambahkan:
    Sebaiknya selama masa BKSN ini umat dalam lingkup KBG atau Lingkungan lebih kita ajak untuk menelaah dengan saksama teks KS yang sudah ditentukan saja (tidak perlu dari sumber lain) dan merenungkan ayat demi ayat dari “Cerita-Cerita Tuhan” yang kita dalami, karena pengetahuan teologis atau tafsir alkitab pada tataran umat tidaklah sama atau cenderung “kurang”. Umat akan lebih bergairah kalau diajak untuk menemukan sendiri apa pesan-pesan yang bisa ditangkap langsung dari setiap ayat yang dibacakan (tentunya sambil dipandu). Referensi-referensi yang perlu disampaikan kepada umat pun (kalau diperlukan) sebaiknya diambil dari ayat-ayat lain dalam alkitab, tidak perlu menggunakan sumber kepustakaan yang lain (diluar Alkitab), karena yang menjadi tujuan disini adalah “mengajak umat untuk lebih senang membaca/ mendengarkan alkitab (lectio) dan merenungkan/ menemukan pesan teks yang didalami itu (meditatio), lalu menanggapi dalam doanya (oratio) serta merasakan dirinya disapa oleh Allah lewat perikop yang dibaca itu (contemplatio) untuk kemudian menerapkan sapaan itu dalam kehidupan pribadi masing-masing (actio)”
    Kalau kita banyak mengambil referensi-referensi dari luar alkitab sebagai penjelasan terhadap teks yang didalami maka tentu akan ada umat yang merasa bahwa mendalami Kitab Suci itu sulit, perlu banyak baca buku-buku teologi lain (yang umumnya berat bagi umat kebanyakan). Umat cukup hadir dengan membawa Alkitab dan mungkin alat tulis, buku catatan kecil serta stabilo untuk mencatat atau menandai bagian kitab suci yang paling berkesan baginya atau yang paling menyentuhnya pada saat pendalaman. Penjelasan-penjelasan yang lebih lengkap toh bisa diperoleh lagi oleh umat pada saat-saat homili di gereja.
    Dibawah ini adalah contoh bagaimana kita memandu umat dengan saksama mendengarkan “Cerita-cerita Tuhan” yang mengasyikkan itu dengan hanya berbekal Kitab Suci saja.
    Pada saat menyampaikan kata pengantar, pemandu perlu menyampaikan secara singkat tentang Latar Belakang Thema Umum, sub thema pada pertemuan itu, serta mengingatkan kepada umat bahwa meskipun bacaan KS yang akan didengar nanti hanyalah sebuah perumpamaan yang diceritakan oleh Tuhan namun kita harus menerimanya sebagai (seolah-olah) kejadian itu benar-benar terjadi. Anggaplah itu sebagai sebuah kisah nyata yang disampaikan oleh Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesannya yang luhur. Kalau umat yang hadir banyak anak-anak/remaja, mungkin di-drama-kan adalah salah satu alternatif untuk menyampaikan bacaan ini secara lebih hidup.
    Setelah keseluruhan teks dibacakan dengan penjiwaan yang baik, mulailah umat diajak untuk mendalami ayat per ayat.
    Contoh: Lukas 10: 25-37
    25 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
    Kalau yang bertanya demikian adalah seorang ahli Taurat, maka pastilah maksud pertanyaan ini adalah untuk menguji pengetahuan/kearifan Yesus, karena bukankah Hukum Taurat sudah menjelaskan tentang hal itu? Type orang yang seperti ini banyak ada diantara kita. Kura-kura dalam perahu: pura-pura tidak tahu. Mungkin maksudnya yang lain adalah ingin mencari kesalahan Yesus atau mau “adu ilmu” atau ingin menunjukkan kalau ia hebat dan berpengetahuan di mata orang-orang lain yang sedang berkumpul mendengarkan pengajaran Yesus. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemukan orang-orang seperti ini, yang karena merasa ahli dalam bidangnya maka kalau ada orang lain berbicara soal bidang yang ia kuasai akan tampil sebagai penyanggah atau selalu ingin beradu argumen dengan motif supaya kelihatan hebat dimata orang-orang yang hadir. Si ahli Taurat ini menyapa Yesus dengan panggilan “Guru” (Rabbi) sebagai basa-basi kesantunan untuk menghargai Yesus di mata orang banyak namun sekaligus sebagai taruhan yang menyiratkan isi hatinya: “kalau memang Engkau seorang Rabbi, jawablah pertanyaanku ini…” Tetapi tentu saja Yesus tahu isi hati si ahli Taurat ini dan Yesus tidak mau terpancing oleh pertanyaannya.
    26 Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?”
    Dialog ini tentunya menjadi perhatian semua yang hadir. Kita bisa membayangkan bahwa orang-orang yang hadir itu tentunya menanti-nantikan jawaban Yesus atas pertanyaan si ahli Taurat ini. Terutama para murid Yesus yang pasti berada dekat dengan Yesus. Mungkin ada di antara murid Yesus yang berharap supaya Yesus memberikan sebuah jawaban yang telak yang bisa membungkam si ahli Taurat ini, karena sebagai murid tentulah akan mendukung gurunya atau berhak merasa tidak suka kalau Yesus Sang Guru yang dihormati itu “dicobai”. Namun Yesus tidak mau langsung menjawab pertanyaan si ahli Taurat yang mau mencobai-Nya itu, melainkan balik bertanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?”
    27 Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
    Terbuktilah sudah bahwa si ahli Taurat ini sesungguhnya tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri. Dia mengutip Kitab Ulangan 6:5 (“Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”) dan Imamat 19:18 (“kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”) Ahli Taurat ini bisa menyebut dengan mudah, tepat dan benar tentang apa syarat yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? Terlihat sedikit aneh bahwa hal yang seperti ini masih dipertanyakan pula oleh si ahli Taurat. Sebagai orang yang ahli dalam bidang Taurat dan Talmud (tafsir taurat) tentulah pertanyaan ini tergolong ringan bagi si ahli Taurat itu, tetapi mengapa dia mengajukan pertanyaan ringan ini kepada Yesus?
    28 Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”
    Tentu saja Yesus akan membenarkan jawaban si ahli Taurat itu, bahkan murid Yesus pun tentu saja tahu jawaban itu, karena memang mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama merupakan dasar utama dari hukum Taurat bahkan menjadi intisari dari ajaran agama Yahudi. Hukum ini sudah diajarkan kepada orang-orang Yahudi sejak di tingkat Madrasah pertama. Perhatikan baik-baik jawaban Yesus ini: “…, perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” Disini Yesus memberikan sebuah jaminan kepada si ahli Taurat itu, yang dalam bentuk negatifnya: “…, jika tidak berbuat demikian, maka engkau tidak akan hidup.” Jaminan ini sekaligus sebagai pukulan yang telak bagi si ahli Taurat itu yang akan kita lihat di akhir cerita ini
    29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?”
    Penginjil Lukas menekankan ayat ini dengan kata-kata “…untuk membenarkan dirinya…” Disinilah letak pertanyaan si ahli Taurat yang sesungguhnya. Ini pertanyaan inti: “Dan siapakah sesamaku manusia?” Ini adalah pertanyaan pengujian. Tentulah si ahli Taurat ini sudah menyiapkan pertanyaan ini sejak awal dia hadir mendengarkan Yesus mengajar dan sekarang dia menggiring Yesus ke sebuah pertanyaan sulit ini, paling tidak dia yakin bahwa Yesus akan kesulitan menjawabnya, karena definisi “sesama” sangatlah rumit di kalangan bangsa Yahudi pada waktu itu dan selalu menjadi polemik. Kata “sesama” dalam teks ini berasal dari kata Yunani plesios yang artinya “orang dekat”. Siapakah yang dimaksud dengan “orang dekat” itu? Ada berbagai pendapat yang berbeda saat itu tentang kriteria “sesama (orang dekat)”. Bagi orang Yahudi pada waktu itu ada manusia/kelompok-manusia yang disebut sesama dan ada yang bukan sesama. Penilaian dan pengertian tentang sesama sangat tergantung dengan statusnya, kondisinya dan relasinya dengan kehidupan mereka. yang biasanya dianggap sesama oleh orang Yahudi waktu itu pada umumnya adalah mereka yang berasal dari suku yang sama atau bangsa yang sama. Lain lagi pandangan orang Farisi dan kaum Esseni yang mempersempit pengertian sesama hanya sebatas kelompok mereka sendiri saja dan orang lain yang diluar kelompok mereka dianggap sebagai “anak-negeri” (am ha-arets) atau orang kebanyakan. Kaum Eseni yang hidup di pesisir laut mati bahkan menganggap orang-orang diluar kelompoknya sebagai “anak-anak kegelapan”. Ada lagi yang memandang sesama dengan ukuran lawan atau kawan. Jadi memang ada kelompok/orang orang lain yang menurut orang Yahudi tidak dianggap sebagai sesama, antara lain bangsa Samaria, kaum pendosa (pencuri, pembunuh, pelacur), para pemungut cukai dan para penderita kusta. Mereka ini umumnya tidak dianggap ”sesama” oleh orang Yahudi pada pada waktu itu. Perbedaan cara pandang yang rumit inilah yang membuat pengertian “sesama” sangatlah kabur di kalangan orang Yahudi pada waktu itu. Maka pertanyaan si ahli Taurat kepada Yesus tentang “siapakah sesamaku manusia?” tentulah memancing jawaban yang mengandung resiko. Yesus memilih untuk tidak mau langsung menjawab pertanyaan itu, melainkan mengajak si ahli Taurat itu untuk menyimak sebuah kisah.
    30 Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
    Yesus membuka kisah ini dengan tokoh “seorang” tanpa menyebutkan identitas atau asal-usul atau pekerjaan orang itu. Maka ini bisa berarti siapa pun (any body). Jarak Yerusalem ke Yerikho kurang lebih 27 Km. Yerusalem adalah ibu kota negara dan berada di ketinggian 1000 meter lebih tinggi dari kota Yerikho. Situasi jalan dari Yerusalem ke Yerikho pada waktu itu melewati padang gurun dan wilayah perbukitan karang. Tentunya pada saat itu jalanan sedang sepi sehingga kawanan penyamun berhasil merampok “si korban” ini habis-habisan. Tentunya juga si korban ini ditinggalkan dalam keadaan berdarah-darah dan sudah sangat tidak berdaya.
    31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.
    Tokoh utama (pertama) yang dipakai Yesus dalam kisahnya adalah seorang Imam Yahudi, seorang tokoh agamawan yang mungkin baru selesai beribadah ke Yerusalem dan akan pulang kembali ke Yerikho. Imam ini melihat si korban tergeletak tak berdaya tetapi berusaha menjauhinya (“melewatinya dari seberang jalan”)
    32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.
    Tokoh utama (kedua) yang dipakai Yesus adalah seorang Lewi. Kaum Lewi adalah juga kelompok agamawan yang berpusat di Yerusalem. Orang Lewi ini juga melihat si korban tergeletak tak berdaya tetapi berusaha menjauhinya (“melewatinya dari seberang jalan”). Dipilihnya seorang Imam dan seorang Lewi oleh Yesus sebagai tokoh-tokoh utama tentunya untuk membuat polarisasi yang ekstrim. Di satu pihak mereka selalu “menjaga kesan” hidupnya yang taat dengan hukum taurat, di lain pihak mereka tidak bisa mengamalkan apa yang mereka pelajari dari hukum Taurat hanya karena alasan-alasan manusiawi yang sederhana. Memang Yesus dalam kisah ini tidak memberikan alasan mengapa Imam dan orang Lewi itu melewati korban begitu saja tanpa memeriksa si korban terlebih dahulu atau pun memberikan pertolongan, namun jelas alasan mereka adalah soal “ketahiran”. Dalam Bil. 19:16: “Setiap orang yang dipadang, yang kena kepada seorang yang mati terbunuh oleh pedang, atau kepada mayat, atau kepada tulang-tulang seorang manusia, atau kepada kubur, orang itu najis tujuh hari lamanya.” Tentunya si Imam atau pun orang Lewi ini menganggap bahwa korban yang tergeletak itu sudah mati sehingga mereka takut menjadi najis kalau bersentuhan dengan jazad korban itu, makanya tanpa perlu memeriksa keadaan si korban mereka memilih untuk menghindari si korban dan hanya melewatinya dari seberang jalan dari pada menjadi najis selama 7 hari. Para Imam dan orang Lewi tidak boleh melayani ibadat atau bersentuhan dengan semua benda-benda suci yang dipakai ibadat kalau mereka dalam keadaan najis. Jadi hanya karena alasan demi menjaga ketahiran “badaniah” mereka lebih cenderung mengabaikan manusia yang terkapar tak berdaya tanpa sedikit pun tergugah untuk memeriksa atau menolongnya. Yesus disini memberikan contoh orang-orang yang karena menjaga status dan pekerjaannya, menjadi hambatan untuk menolong sesama atau menunjukkan solidaritasnya. Lebih parah lagi, alasan-alasan yang berhubungan dengan keagamaan justru dipakai sebagai sebab untuk tidak mau menolong sesama. Kita pun sering menemukan contoh orang-orang seperti ini, yang karena kedudukan, martabat atau gengsinya menghambatnya untuk berbuat kebajikan terhadap sesama. Solidaritas dan kepekaan hati untuk menolong sesama seringkali bahkan hilang sama sekali karena nurani telah dibutakan oleh status dan gengsi.
    33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
    Kita perlu tahu sekilas latar belakang dari tokoh utama (ketiga) dalam kisah ini, atau siapakah orang Samaria yang ditokohkan oleh Yesus dalam kisah ini?
    Tahun 931 BC, setelah kematian Salomo terjadi perpecahan kerajaan Israel menjadi dua. Wilayah Selatan bernama Kerajaan Yehuda dengan ibukotanya Yerusalem dan wilayah Utara bernama Kerajaan Israel dengan ibukotanya Samaria. Kerajaan Israel di wilayah utara ini lebih besar dan lebih makmur, namun juga mengalami dekadensi moral dan iman tradisional karena kehidupan yang lebih modern dan pengaruh agama Kanaan. Kerajaan di wilayah utara ini juga ditaklukan oleh Kerajaan Asyur dan kemudian penduduknya hidup dalam pembuangan. Dengan alasan inilah maka orang-orang Samaria dianggap hina oleh bangsa Yahudi di wilayah Selatan yang masih memegang teguh ajaran agama nenek moyangnya secara murni.
    Orang dari kelompok yang dipandang hina inilah yang dipilih Yesus sebagai tokoh ketiga dalam kisah-Nya, namun yang justru memiliki keluhuran hati untuk menolong sesama. Dengan melihat latar belakang di atas, mestinya orang Samaria ini punya alasan kuat untuk tidak menolong si korban, karena kaumnya sudah dicap pendosa dan dipandang hina oleh orang Yahudi Selatan di lokasi mana kisah ini terjadi, namun yang terjadi justru si Samaritan ini yang hatinya tergerak oleh belas kasihan, padahal dia hanya sedang dalam perjalanan biasa yang bukan untuk ibadah atau bukan pula baru selesai ibadah. Pada sequel inilah terasa kekuatan cerita ini, yang tentunya menjadi pukulan yang telak sebagai jawaban bagi pertanyaan si ahli taurat.
    34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.
    Perhatikan baik-baik dan bayangkan dengan detail setiap kejadian di ayat ini: Si Samaritan itu mematuhi suara hatinya, turun dari keledainya, mendatangi si korban yang hampir mati itu meskipun orang itu mungkin bukan dari kaumnya, memeriksa korban dengan penuh belas kasih, mengambil minyak dan membersihkan luka-luka si korban, mengambil anggur untuk mensterilkan luka-luka itu, membalutnya mungkin dengan sobekan bajunya, lalu menaikkan si korban ke atas keledai tungganngannya. Karena keledai itu kecil maka pastilah tidak bisa dipakai berboncengan, jadi pastilah si Samaritan ini berjalan kaki menuntun keledainya hingga tiba di penginapan. Tidak hanya sampai di situ, ia tetap merawat si korban ini sampai tertidur dan tentu memberikannya makan atau mungkin menyuapinya dan menungguinya sampai esok hari.
    35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
    Tidak hanya sampai di situ, saat ia akan beranjak pergi dititipkannya si pasien (korban) ini kepada pemilik penginapan agar dirawat dan ia akan membayar semuanya saat kembali nanti. Ada pengorbanan bertubi-tubi di sini yang tidak diperhitungkan oleh orang Samaria yang baik hati ini. Bahwa realitas tugas harus memaksanya pergi untuk sementara dan pekerjaan/perjalanannya harus tetap ia lakukan dan lanjutkan namun tanggung-jawab terhadap sesama tetap bisa ia lakukan; hal mana seharusnya bisa juga dilakukan oleh si Imam dan orang Lewi tadi kalau saja mereka mau, kalau saja hati mereka tergerak oleh belas kasihan yakni membayar orang untuk menolong si korban ini, agar mereka tetap tahir tetapi mengamalkan perbuatan kasih yang selalu mereka ajarkan di sinagoga-sinagoga…
    36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”
    Yesus sekali lagi mengembalikan pertanyaan tadi kepada si ahli Taurat. Yesus tidak mau menarik kesimpulan apa pun dari kisah yang baru diceritakannya. Dia membiarkan si ahli Taurat itu membuat kesimpulannya sendiri. Menghadapi pilihan berganda yang sudah pasti akan mengerucut ke jawaban “orang Samaria” membuat si ahli Taurat itu tidak bisa berkutik. Giliran si ahli Taurat sekarang yang harus menjawab pertanyaannya sendiri. Dia tentu tidak bisa berkelit, apalagi puluhan pasang mata dan telinga sedang menatapnya dan menunggu jawaban yang semua orang yang hadir disitu bisa menjawabnya. Tentu saja si ahli Taurat ini menghadapi ancaman malu dengan jawaban yang akan dia ucapkan atau yang ditunggu untuk dia jawab karena semuanya sudah sangat jelas sekarang. Apalagi dia sendiri adalah juga representasi dari kaum Yahudi terdidik yang paham akan seluk-beluk Hukum Tuhan, yang selalu mengajar dan menganjurkan anak didiknya untuk memelihara hukum Tuhan dan mengamalkannya. Haruskah dia mendiskreditkan rekan-rekan dari jajarannya sendiri dengan menyebut Imam dan orang Lewi itu bukanlah “sesama” dari orang yang jatuh ke tangan penyamun? Haruskah dia – di depan khalayak ramai yang sedang mendengar Yesus mengajar – mengakui bahwa orang Samaria yang ia selalu pandang hina itu sekarang – di hadapan sang “Guru” – harus diberi sebutan “sesama”?
    37 Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
    Sebagai seorang ahli Taurat tentu ia tidak akan kehabisan perbendaharaan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Yesus, maka ia tidak mau menjawabnya dengan kalimat: “Tentulah orang Samaria itu” atau semacam itulah. Sebagai orang Yahudi yang masih dianggap saleh dan memelihara hukum nenek moyangnya tentu ia pun tidak mau menyebut “orang Samaria” secara langsung sebagai “sesama” untuk menjawab pertanyaan Yesus yang berasal dari pertanyaannya sendiri. Maka ia menjawab dengan sangat diplomatis: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Dengan jawaban ini, maka si ahli Taurat itu berhasil menghindari frase “orang Samaria” dan dengan demikian jawabannya menjadi firman untuk kita semua, yakni: “Barang siapa yang menunjukkan belas kasihan kepada sesamanya, maka ia akan beroleh hidup yang kekal” Sesama disini adalah siapa saja yang kita temui dalam perjalanan hidup kita, tanpa sekat-sekat agama, tanpa melihat golongan dan kaum, tanpa melihat identitasnya.
    KESIMPULAN:
    Orang Samaria ini menunjukkan dialognya yang intens dengan Tuhan yang berbicara dengannya langsung di dinding hatinya. Ada suara hati (suara Tuhan) yang jelas ia rasakan saat melihat korban tergeletak tak berdaya di jalan. Dia pun bertanya kepada Tuhan: “Tuhan, Apa yang harus kulakukan terhadap orang yang sekarat di hadapanku ini?”
    Tuhan bertanya: “Apa yang ada padamu untuk menolong orang itu?”
    Samaritan itu pun menjawab: “Ada padaku minyak, anggur, kain sobekan baju.”
    Tuhan berkata: “Bersihkan dan rawatlah luka-lukanya, balutlah dengan sobekan bajumu.”
    Sesudah merawat semua luka orang itu, dia bertanya lagi: “Apa lagi yang sekarang harus kuperbuat terhadap orang ini?”
    Tuhan bertanya lagi: “Apa lagi yang engkau miliki untuk menolong orang itu?”
    Dia menjawab: “Ada satu ekor keledai tunggangan bersamaku disini.”
    Tuhan berkata: “Angkatlah saudaramu itu, naikkan ke keledaimu dan bawalah ia bersamamu. Jangan engkau tinggalkan ia disitu sendirian.” Tuhan memberikan makna baru bagi orang asing korban penyamun itu, sebagai saudara orang Samaria ini.
    Keesokan harinya Samaritan ini bertanya lagi kepada Tuhan: “Aku harus melanjutkan perjalananku untuk menyelesaikan urusanku barang beberapa hari. Apa lagi yang harus kulakukan kepada orang yang Kau jadikan saudaraku ini?”
    Bertanyalah Tuhan: “Apalagi yang ada padamu yang bisa kauberikan baginya”?
    Jawabnya: “Ada uang padaku.”
    Tuhan memberikan petunjuk: “Berikan uangmu itu kepada pemilik penginapan dan suruhlah dia merawat saudaramu sementara engkau pergi dan kembalilah untuk mejemputnya setelah urusanmu selesai. Ketahuilah, bahwa segala yang telah kau lakukan ini, kau melakukannya untukku.”
    Lalu pergilah si Samaritan itu setelah mempercayakan perawatan saudaranya kepada pemilik penginapan dan menyerahkan kesembuhan saudaranya ke tangan Tuhan yang membimbingnya.
    Inilah Lectio Divina yang dihayati oleh orang Samaria itu. Yang selalu mendengarkan suara Tuhan yang berdentang di dinding hatinya sebelum melakukan sesuatu dan menanggapinya dengan laku kasih di sepanjang jalan hidupnya, serta menyerahkan segala sesuatunya dalam penyelenggaraan Tuhan.

    Semoga bermanfaat.
    Salam Kasih dalam Kristus

    • Shalom Agust,
      Terima kasih atas masukannya yang sangat baik. Memang di bulan Kitab Suci ini, kita diajak melakukan Lectio Divina, yang juga ditekankan oleh Paus Benediktus XVI dalam Verbum Domini. Dan memang tujuan dari tambahan materi ini bukan untuk seluruh umat, namun sebagai tambahan bahan refleksi terutama bagi para pemandu, seperti yang telah kami jelaskan di bagian ini – silakan klik. Semoga umat Katolik semakin mencintai dan tekun melaksanakan Sabda Tuhan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

    • Bp.Agust .

      Appreciate, ulasan yang sangat bagus dan pastinya akan membantu saya dalam acara BKSN di lingkungan saya. Usul saya Pak, bagaimana kalau pertemuan ke II juga bapak bahas atau tambahkan sehingga bisa menambah wacana saya. Terima kasih dan Tuhan Memberkati.

  11. Alhamdulilah, saya mendapatkan materi yang PAS untuk menjadi pembawa renungan Pertemuan Pertama dalam rangka BKSN.
    Usul, kalau boleh untuk Pertemuan ke II sampai ke IV juga dibahas, sehingga akan menambah wacana saya di dalam mendalami KS dan menafsirkan Perumpamaan yang dilakukan oleh Yesus.
    Tuhan memberkati.

    [dari katolisitas: silakan melihat ini – silakan klik]

  12. Terima kasih ibu Ingrid,
    Sungguh-sungguh menginspirasi hidup saya kembali…
    Semoga Tuhan memberkati karya-karya Ibu selalu..

  13. Shalom, Bu Ingrid…
    Wah, artikel ini sungguh sangat berguna, karena secara tidak sengaja hari ini saya buka website untuk mencari tambahan bahan untuk diberikan di lingkungan dalam rangka BKSN bulan depan…e…ternyata pas, karena bahan untuk BKSN di Semarang bahannya salah satunya ya ini, tentang Orang Samaria yang Baik Hati. Terima kasih, ya Bu.

Comments are closed.