Di tengah keremangan malam, anak-anak pekerja pabrik bersila di lantai beralaskan tikar.
Mereka berdoa kepada Sang Pencipta dengan sepenuh jiwa dalam Misa.
Mereka menyimak kotbah yang aku sampaikan.
Mereka menyanyikan lagu favourite mereka “Mars Berbelarasa” dengan kerasnya karena telah hafal di luar kepalanya.
Setelah Misa purna, mereka bermain dengan penuh sukacita di bawah terang rembulan.
Tiada kegelisahan terhadap masa depan mereka karena mereka terbiasa dengan hidup apa adanya.
Mereka bersyukur masih bisa sekolah walaupun dengan fasilitas seadanya.
Mereka tetap tekun belajar dengan lampu listrik yang kedap-kedip nyalanya.
Seragam sekolahnya yang penuh jahitan tidak menyurutkan semangat mereka untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya.
Tas dan sepatu jadul tidak mengurangi kehendaknya untuk meraih cita-citanya.
Petuah dari orang tuanya “Sinau sing bener, supoyo dadi wong pinter”/Belajarlah yang betul agar menjadi orang pandai, tertanam dalam hatinya.
Petuah itu senantiasa menyegarkan jiwanya.
Tas baru yang dibagikan sebagai hadiah akhir tahun sekolah membuat mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan bagaikan kejatuhan bulan.
Seorang anak membisikkan kata-kata ke telingaku : “Romo, tas ini aku impikan sejak Taman Kanak-Kanak”.
Dalam hati mereka tersirat tekad “aku mau belajar lebih rajin dari tahun sebelumnya agar tidak mengecewakan Tuhan dan orang tua”.
Mereka pulang dengan bangganya mencangklongkan tas barunya di punggungnya.
Mereka meninggalkan pesan “Nikmatilah kesederhanaan, maka sukacita terukir di dalam loh jiwa”.
Kuncinya adalah nasihat Paulus, yaitu “Kejarlah kasih itu” (1 Korintus 14:1a), sampai bersatu dengan Kristus, Sang Kasih itu, sehingga Kristus, yang sederhana, hidup di dalam diri kita.
“Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Galatia 2:20).
Tuhan memberkati kita.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
definisi dari sederhana itu seperti apa yah? apakah itu artinya bagi kita yang memiliki harta benda yang banyak tidak diperbolehkan menggunakannya untuk bersenang senang dan membeli barang mahal?
[Dari Katolisitas: Silakan menggunakan “prudence”/ kebijaksanaan, untuk memutuskan sehubungan dengan ini. Kesederhaaan berhubungan juga dengan kelayakan/ kepantasan, menghindari keinginan untuk menjadi pusat perhatian/ memamerkan barang-barang mahal yang dimiliki. Dengan pemahaman bahwa segala barang materi sifatnya sementara, maka seseorang yang semakin bertumbuh rohaninya, akan tidak mengikatkan diri kepada hal-hal yang sifatnya sementara ini.]
Saya pikir mereka terpaksa menikmati kesederhanaan seperti itu. Maksud saya, seandainya mereka dari kalangan ekonomi menengah ke atas, mereka(anak-anak sd tsb) cenderung ingin memiliki sesuatu yang lebih baik. Dan maksud saya sekali lagi, saya hanya ingin mencari contoh kesederhanaan secara umum, terlebih untuk OMK seperti saya. :)
Shalom Dave,
Yang disampaikan di dalam renungan itu adalah suatu keadaan nyata tentang kesederhanaan anak-anak untuk mensyukuri apa yang mereka punya. Kesederhanaan macam ini tidak harus hanya dimiliki oleh anak-anak, atau dari anak-anak dari kalangan tertentu. Kita semua, baik yang remaja ataupun dewasa ataupun bahkan yang sudah lanjut usia, juga diundang oleh Kristus untuk memiliki kesederhanaan hati semacam ini. Maksudnya, agar kita belajar bersyukur atas berkat yang kita terima dari Allah. Kita mengakui bahwa segala yang baik yang ada pada kita adalah pemberian Allah, dan bukan milik kita sendiri melainkan sesuatu yang ‘dititipkan’ Allah kepada kita, sehingga kita perlu menggunakannya untuk memuliakan Allah. Sikap sedemikian adalah sikap ‘miskin di hadapan Allah’ yang disebut dalam Mat 5:3, sebagaimana kita renungkan pada bacaan Injil hari ini.
Mari kita berjuang agar kita dapat hidup dalam kerendahan hati dan penyerahan diri kepada Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Sangat mengharukan dan seharusnya anak2 ini menjadi contoh kita dan oarang2 sekitar kita, betapa pandai anak2 bersyukur atas berkat Tuhan… Berkah Dalem
Comments are closed.