Bagaimanakah kita mengartikan Markus 16:17-18? Pada masa Gereja awal, mukjizat-mukjizat seperti ini umum terjadi. Banyak terjadi catatan-catatan kejadian seperti ini yang direkam dalam sejarah, seperti yang tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru (lih. Kis 3:1-11, 28:3-6) dan dalam tulisan-tulisan jemaat Kristen pertama, seperti yang dituliskan oleh St. Irenaeus (abad ke-2, lih. Eusebius, HE 5, 7, 4-6).
Hal- hal dalam Mrk 16:17-18, juga disebutkan dalam kitab Perjanjian Baru, seperti bagaimana para rasul mengusir kuasa jahat (Kis 5:16; 8:7), berkata-kata dalam bahasa Roh (lih. Kis 2:3-, 10:46; 19:6; 1 Kor 14), mengangkat ular (lih. Kis 28: 3-; Luk 10:19), meletakkan tangannya ke atas orang-orang sakit dan menyembuhkan (lih. Kis 28:8). Maka memang perkataan Yesus ini digenapi secara luar biasa pada para jemaat pertama.
Mukjizat memang merupakan sesuatu yang penting dan pantas terjadi di abad- abad awal, untuk menjadi tanda bukti kebenaran agama Kristiani. Mukjizat-mukjizat seperti ini masih terjadi sekarang, walau dari segi frekuensinya tidak lagi sesering pada jemaat pertama. Hal ini pantas (fitting) juga, karena ajaran Kristiani telah dikenal oleh banyak orang dan diterima sebagai kebenaran, dan untuk memberi ruang bagi iman, di mana oleh iman seseorang dapat menerima mukjizat tersebut dari Tuhan. St. Jerome pernah mengajarkan demikian, “Mukjizat-mukjizat itu diperlukan pada saat awal untuk meneguhkan iman orang-orang. Namun pada saat iman seseorang sudah diteguhkan, maka mukjizat-mukjizat tidak diperlukan” (lih. Commentary on Mark, in loc). Pernyataan ini sungguh benar, karena semakin kita dekat dan bersatu dengan Tuhan, kita mempunyai keterbukaan untuk menerima apapun rencana Tuhan dalam hidup kita. Menerima mukjizat kesembuhan jasmani atau tidak, tidak menjadi sesuatu yang utama; atau hal melihat mukjizat terjadi (melihat orang yang mengangkat ular atau minum racun tapi tidak celaka) tidaklah menjadi berpengaruh terhadap iman mereka. Pendeknya, orang yang sungguh beriman tidak lagi mementingkan mukjizat -mukjizat lahiriah, tetapi lebih memusatkan perhatian terhadap hal- hal rohani, sebab ia mengetahui bahwa pada akhirnya segala yang rohani dan surgawi merupakan sesuatu yang lebih penting dan ‘mengatasi’ yang bersifat jasmani. Sebab orang- orang yang menerima mukjizat jasmani suatu saat tidak akan menerimanya lagi, dan akan ada saatnya semua orang akan wafat dan menghadap Allah. Maka yang terpenting pada akhirnya adalah bagaimana mempersiapkan hati jika saat itu tiba: sebab pada akhirnya para beriman akan kembali ke rumah Bapa dengan hanya membawa ketiga hal ini: iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya adalah kasih (1 Kor 13:13). Nubuat akan berakhir, bahasa Roh akan berhenti, pengetahuan akan lenyap, tetapi kasih akan tetap, tidak berkesudahan (lih. 1 Kor 13:8).
Namun demikian, bukan berarti bahwa Gereja sekarang tidak disertai Allah dengan mukjizat-mukjizat. Allah tetap bekerja melalui para orang kudusnya di sepanjang sejarah manusia. Di dalam sejarah Gereja Katolik, tak terhitung mukjizat-mukjizat yang terjadi melalui perantaraan orang-orang kudusnya. Beberapa mukjizat yang tercatat dalam sejarah adalah mukjizat kesembuhan, mukjizat mengatasi kodrat (ketika berdoa dapat terangkat dari bumi, ketika wafat jenazahnya masih utuh, seperti contohnya dapat dilihat di sini, silakan klik), ‘bilocation’ (dapat hadir di dua tempat pada saat yang bersamaan), mukjizat menerima stigmata luka- luka Yesus, mukjizat membangkitkan orang mati dst. Mukjizat ini juga terus terjadi sampai saat ini di tempat-tempat ziarah tempat penampakan Bunda Maria, seperti yang terjadi di Lourdes, Perancis.
Kesembuhan ini juga tak terjadi secara supernatural, tetapi juga melalui pengobatan dan perawatan. Melalui karya kerasulan Gereja Katolik, banyak orang mengalami kesembuhan melalui rumah-rumah sakit Katolik (tahun 1992 sekitar 5, 478 rumah sakit Katolik dengan merawat 4.5 milyar pasien di seluruh dunia), juga panti asuhan dan panti jompo.
Hal ini membuktikan nubuat Yesus sendiri, “Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu…” (Yoh 14:12).
Maka bagi umat Katolik, yang terpenting adalah mengimani Tuhan Yesus dan menjalani kehidupan ini bersama-Nya dan di dalam Dia. Selanjutnya masalah perwujudan mukjizat dalam kehidupan manusia tidaklah menjadi faktor utama di dalam iman. Sebab kita tidak perlu melihat mukjizat dahulu baru kemudian percaya. Sebaliknya, kita sudah percaya, dan kita serahkan kepada Tuhan perihal mukjizat tersebut, jika dipandangnya berguna bagi iman kita, Ia dapat memberikannya. Namun jika tidak, tidaklah menjadi masalah, sebab Tuhanlah yang dengan kebijaksanaan-Nya memahami yang terbaik bagi setiap umat-Nya.
Sebab, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibr 11:1) Oleh sebab itu memang kita dikatakan sungguh beriman jika kita tetap dapat mengimani Tuhan walaupun tidak melihat Dia dan mukjizat-mukjizat-Nya. Bagi umat Katolik, mukjizat yang begitu besar namun juga begitu sederhana terjadi di dalam setiap perayaan Ekaristi, di mana Tuhan Yesus hadir mengambil rupa roti dan anggur. Di dalam Ekaristi inilah rahmat Tuhan mengalir di dalam Tubuh Gereja-Nya, untuk menumbuhkan ketiga kebajikan ilahi di hati umat-Nya, yang diperhitungkan di akhir nanti, yaitu: iman, pengharapan dan kasih. Jika ketiga hal ini sudah diberikan di dalam hati umat beriman, adalah kebijaksanaan Yesus yang menentukan apakah Ia akan memberikan mukjizat yang lain, jika dipandang-Nya berguna bagi pertumbuhan rohani umat-Nya. Itulah sebabnya, sampai sekarang mukjizat kesembuhan melalui Ekaristi juga masih terjadi, baik atas perantaraan para pendoa seperti Sr. Briedge McKenna, Romo Yohanes Indrakusuma O Carm, ataupun melalui doa- doa pribadi tiap- tiap orang beriman; namun yang terpenting, adalah bagaimana kehidupan rohani umat beriman setelah menerima mukjizat tersebut.
Salam dan damai sejahtera bagi pengasuh dan pembaca situs ini,
Saya adalah orang yg tidak mempunyai kelebihan dalam, (dan tidak berharap dpt memiliki), hal2 yg supra-natural (baca: termasuk membuat mukjizat) namun senang juga jika melihat ada orang yg memiliki kelebihan tersebut dan menggunakannya untuk kebaikan di dalam nama Tuhan Jesus.
Pernah ditayangkan di televisi, ada banyak umat sekte Kristen tertentu (tidak jelas sekte apa itu) di Amerika Serikat (kebetulan mereka berdiam di daerah selatan-barat daya yg terkenal banyak ular berbisa), yg terlatih memegang ular berbisa dan kebal atas racunnya. Menurut narator tv, mereka sengaja melakukan hal itu untuk ‘menggenapi’ Mark. 16:18. Orang2 itu melakukan ‘ritual’nya dengan mengangkat ular rattler dan membiarkan diri digigit ular sambil menari-menyanyi memuji Tuhan Jesus. Bisa dipastikan bhw orang2 itu telah terpilih krn berbakat dan dilatih sejak kecil agar nanti bisa ‘menggenapi ayat itu’.
Raaksi saya atas tayangan tsb, serta klaim mereka tentang penggenapan itu, adalah biasa2 saja. Kelebihan orang2 itu, (dalam pandangan saya, jika saya boleh berpendapat), tidak membuat mereka lebih hebat dari umat Kristen lainnya dan sebaliknya juga tidak membuat mereka terlihat aneh yg mengarah kepada jahat (seperti dukun sihir-hitam). Mereka punya kelebihan tsb krn dilatih.
Jika melihat hal2 spt itu, saya hanya perlu mengingatkan diri sendiri bahwa “karunia itu berbeda-beda, namun ROH adalah satu”. Karena talenta dan pendidikan-latihan, serta dibantu dengan doa dan usaha, kita melihat ada banyak orang yg memiliki berbagai keahlian yg mengagumkan dalam berbagai bidang. Yg penting, keahlian tsb berguna bagi sesama dan dapat memuliakan nama Tuhan.
Shalom.
Shalom Herman,
Karunia Roh Kudus diberikan kepada umat pilihan-Nya untuk membantu mereka dalam melakukan misi dan pelayanannya. Namun, tayangan yang memperlihatkan orang-orang yang bermain dengan ular untuk menggenapi Mrk 16:18, tidak memberikan efek apapun kepada misi evangelisasi. Jadi, kita mohon karunia Roh Kudus, terutama adalah tujuh karunia Roh Kudus yang disebutkan dalam Yesaya 11, sehingga kita dapat bertumbuh dalam kekudusan dan secara berani dan bijaksana melakukan karya-karya misi evangelisasi, sehingga lebih banyak lagi orang-orang yang mengenal dan mengasihi Kristus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
salam RD Yohannes, Bapak Stefanus Tay & Ibu Inggrid
saya sangat tertarik dengan kata “dilatih” dari pernyataan Bapak Hermanwib terkait dengan karunia Roh Kudus.
1.Benarkah karunia Roh Kudus dapat “dilatih” ????
2.Benarkah karunia Roh Kudus hanya diberikan untuk orang2 tertentu ???
3.Benarkah Orang bisa mendengar “SUARA TUHAN DARI SORGA” ???
mohon pencerahan
terimakasih & salam
rusli
Salam Rusli,
Kita tidak bisa melatih karunia Roh Kudus. Yang bisa kita lakukan ialah melatih diri sendiri agar peka pada bimbingan Roh Kudus melalui:
1. Pertimbangan hati nurani
2. Perenungan nasehat orang lain
3. Perenungan pembacaan Kitab Suci dan dokumen ajaran Gereja serta tulisan para penulis rohani.
4. Pembicaraan atau pembahasan hal tertentu bersama orang-orang lain.
Jika kita dianugerahi rahmat dari karunia Roh Kudus, maka kita bisa melatih diri, mendisiplinkan diri dengan berdoa dan olah rohani serta meningkatkan kemampuan melayani sesuai karunia itu, dengan tujuan untuk pembangunan Umat Allah.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Saya sedih. Ada berita bahwa di West Virginia seorang pendeta meninggal karena ritual gigitan ular.
Berita ini jadi bahan olok-olok orang atheist terhadap iman kita.
Bagaimana ya kita menanggapinya?
Tks.
Salam,
Seandy
http://news.yahoo.com/serpent-handling-west-virginia-pastor-dies-snake-bite-173406645–abc-news-topstories.html
Shalom Yohanes,
Pertama, yang perlu disikapi adalah untuk semakin menyadari bahwa tidak semua hal di dalam Kitab Suci harus diartikan secara literal. Dengan kata lain, tidak perlu kita melakukan dengan sengaja untuk bermain-main dengan ular berbisa berdasarkan Mrk 16:18. Kalau kita melihat dalam Kitab Suci, para rasul tidak pernah bermain-main dengan ular dengan sengaja. Rasul Paulus memang pernah digigit ular berbisa dan tidak mati (lih. Kis 28:1-6), namun dia tidak pernah secara sengaja bermain-main dengan ular. Masih ada begitu banyak cara untuk membuktikan iman kita, di mana yang terbaik adalah dalam perbuatan kasih.
Kedua, kita tidak perlu kecil hati dengan kejadian ini. Kita hanya perlu lebih bijaksana dalam menyikapi keadaan ini. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Jadi, mari terus bertumbuh terus dalam iman, pengharapan dan kasih. Dan agar kita tidak mengimani hal yang salah, maka kita harus berpegang pada pengajaran dari Magisterium Gereja.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Selamat Paskah kepada tim Katolisitas
Salam kasih dalam Kristus
Berbicara ttg mukjizat mmg menarik,namun mmg pd inti nya adl apa yg Tuhan mau dr peristiwa mukjizat itu dn bagaimana kita sbg org b’iman menanggapi nya,klo mnrt sy slama kita cm mmandang nya sbg hal yg wah scr duniawi(tidak membawa pertumbuhan dan kebaikan iman)maka itu merupakan peristiwa biasa yg kosong,sy spendapat dng bu inggrid ttg tulisan st.Jerome d atas.
Bagi setiap orang beriman yg semakin dekat dengan Tuhan,akan lebih peka merasakan setiap peristiwa(baik besar maupun kecil)yakin mukjizat Tuhan slalu datang pd nya.Amin
Sy jg mau menanyakan
1.Bolehkah kita memilih p’akuan dosa kepada romo tertentu krn merasa romo tsb memberi nasihat yang lebih mnrt sy(dlm bhs jawa nya lebih sreg hehehehe)
2.Bbrp hari lalu sy mdapat ptanyaa
“Mengapa manusia harus menjalani hidup jika memamng Tuhan sudah merencanakan keselamatan,kenapa tidak lgsg di selamatkan saja,knp hrus menjalani hidup?”
Trima Kasi
Berkah Dalem
Shalom Michael,
1. Anda boleh memilih bapa rohani/ bapa Pengakuan, artinya Anda berhak untuk memilih kepada siapa Anda secara rutin akan mengaku dosa, misalnya sebulan sekali. Alangkah baiknya jika ia adalah Romo yang sama, sehingga Romo tersebut dapat membantu Anda untuk mengenali kelemahan Anda, supaya ia dapat membantu Anda untuk bertumbuh secara rohani.
2. Mengapa manusia menjalani hidup?
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian:
KGK 293 ….. “Dunia diciptakan demi kemuliaan Allah” (Konsili Vatikan I: DS 3025). Sebagaimana St. Bonaventura jelaskan, Tuhan menciptakan segala sesuatu “bukan untuk menambah kemuliaan-Nya melainkan untuk mewartakan dan menyampaikan kemuliaan-Nya” (sent. 2,1,2,2, 1).
KGK 294 …. “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia” (Ef 1:5-6). “Karena kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup… Tujuan akhir ciptaan ialah bahwa Allah “Pencipta akhirnya menjadi ‘semua di dalam semua’ (1 Kor 15:28), oleh karena itu menjamin kemuliaan-Nya dan sekaligus kebahagiaan kita” (AG 2).
KGK 358 Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk manusia (Bdk. GS 12,1; 24,2; 39,1), tetapi manusia itu sendiri diciptakan untuk melayani Allah, untuk mencintai-Nya dan untuk mempersembahkan seluruh ciptaan kepada-Nya
Maka manusia diberikan kehidupan dan menjalani kehidupan untuk mencintai dan melayani Allah, sehingga dengan demikian ia memuliakan Allah. Manusia diberi kesempatan untuk hidup, agar ia dapat menyatakan dengan kehendak bebasnya, kasih kepada Allah, yang sudah lebih dahulu mengasihi dia. Maka, Allah menciptakan manusia agar Ia dapat menyampaikan kasih dan kemuliaan-Nya kepada manusia, agar kemudian manusia menanggapinya dengan mengasihi dan memuliakan Dia, dan dengan demikian manusia menemukan kebahagiaannya, dan Allah dimuliakan karenanya. Jadi hidup diberikan kepada manusia sebagai kesempatan untuk menerima dan membalas kasih Allah.
Kehidupan itu pertama-tama diberikan kepada Adam dan Hawa (manusia pertama) di taman Eden. Eden ini bukan Surga di mana manusia dapat memandang Allah “dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (1Yoh 3:2), sebab dalam Surga tidak mungkin ada dosa. Tentang Eden, silakan klik di sini. Namun karena manusia pertama jatuh dalam dosa, maka mereka diusir keluar dari Eden, dan mereka kehilangan rahmat pengudusan dan karunia awal (preternatural gifts), sehingga mereka dapat menderita dan mati. Namun ini tidak mengubah kenyataan bahwa hidup mereka dan semua manusia keturunan mereka, tetap adalah anugerah, dan dimaksudkan untuk menjadi kesempatan membalas kasih Allah, melayani Allah dan memuliakan nama-Nya.
Maka penebusan Kristus dimaksudkan bukan untuk menghilangkan kesempatan manusia untuk hidup, melainkan untuk memperoleh bagi manusia kebahagiaan semula (yaitu memandang Allah dalam keadaan-Nya yang sebenarnya dalam kehidupan kekal) yang telah direncanakan Allah, namun yang telah dirusak oleh dosa asal manusia pertama itu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Katolisitas, Saya ingin bertanya:
Dalam injil Markus 16:18
mereka akan memegang ular, dan sekalipun
mereka minum racun maut, mereka tidak
akan mendapat celaka; mereka akan
meletakkan tangannya atas orang sakit,
dan orang itu akan sembuh.”
Apakah maksud dari ayat ini? Apakah dengan iman & percaya jika saya minum racun maka saya tidak akan celaka?mohon penjelasanya?
[dari katolisitas: Silakan melihat tanya jawab di atas – silakan klik]
Salam damai,
Saya ingin bertanya, apakah Markus 16:17 (versi Indonesia Katolik-terjemahan baru) :
=============
“Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka”
=============
(link : http://ekaristi.org/bible/index.php)
——————
khususnya pada bagian ” mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka” lebih spesifik kata2 : ” bahasa-bahasa yang baru ” HANYA dan PASTI berarti ” bahasa Roh “??
JIka merujuk pada tafsir resmi Gereja Katolik apakah juga berarti “bahasa Roh”?
Terima kasih atas perhatiaan dan kesediaan untuk menjawab
Deo Gratias ^_^
Shalom Johanus Adwijan,
Menurut keterangan cross index dari The Jerusalem Bible, (1966), “bahasa-bahasa baru” yang disebutkan di ayat Mrk 16:17 berkaitan dengan Kis 2:4, “Maka penuhlah mereka [para rasul] dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.” Sedangkan ayat Kis 2:4 juga berhubungan dengan ayat Kis 10:45-46, yaitu yang mengatakan, “Dan semua orang percaya dari golongan bersunat yang menyertai Petrus, tercengang-cengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga, sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh dan memuliakan Allah…”
Dengan demikian ‘bahasa-bahasa baru’ yang disebutkan di Mrk 16:17 tersebut adalah 1) bahasa-bahasa lain (yang lain daripada yang mereka ketahui sebelumnya); 2) bahasa-bahasa baru itu diberikan oleh Roh Kudus kepada mereka.; 3) salah satu manifestasi karunia Roh Kudus adalah karunia berkata-kata dalam bahasa Roh tersebut.
Nah selanjutnya, Kitab Suci menyebutkan tentang jenis bahasa Roh: 1) bahasa sebagai keluhan yang tak terucapkan (Rom 8:26); 2) bahasa lain di dunia yang tadinya tak diketahui oleh si pembicara, namun yang kemudian dipahami oleh orang yang mendengarkan (lih. Kis 2:7-11); 3) bukan merupakan bahasa di dunia, namun yang diucapkan sebagai nubuat, dan membutuhkan interpretasi (lih. 1 Kor 14: 27, 29). Pembahasan selanjutnya tentang Bahasa Roh, sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam damai sejahtera
Dear pengasuh katolisitas
Di dalam Injil Markus ada tertulis demikian :
Markus 16 : 17 – 18 = Maka segala tanda ini akan menyertai orang yang percaya itu : bahwa atas namaKu mereka itu akan MEMBUANGKAN SETAN dan mereka itu akan BER-KATA2 DENGAN BAHASA ROH – mereka itu akan MENGANGKAT ULAR, maka jikalau mereka itu MINUM BARANG YANG MEMBAWA MATI, TIADALAH HAL ITU AKAN MEMBERI BAHAYA kepada mereka itu; Maka mereka itu akan MELETAKKAN TANGANNYA KE ATAS ORANG SAKIT, lalu orang itupun akan SEMBUH.
Tetapi pada kenyataannya tidak pada setiap orang beriman ada 5 (LIMA) tanda ini, mengapa ?
Orang percaya yang manakah yang dimaksud dalam ayat ini ?
Bagaimanakah tanda2 orang beriman yang diharapkan oleh Tuhan, yang normal menurut ukuran Tuhan ?
Salam
Mac : 18.February.2010
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Salam damai sejahtera
Dear Ingrid
Ada sedikit hal yang saya rasa kurang pas dengan yang anda sampaikan sbb :
“Mukjizat-mukjizat itu diperlukan pada saat awal untuk meneguhkan iman orang-orang.
Namun pada saat iman seseorang sudah diteguhkan, maka mukjizat-mukjizat tidak diperlukan” (lih. Commentary on Mark, in loc)
Berikut saya ingin sharingkan pada pembaca katolisitas tentang : MUJIZAT
MUJIZAT DALAM HIDUP ORANG BERIMAN
Apakah orang beriman itu selalu hidup dalam mujizat atau sudahkah masa mujizat itu berlalu ?
Kedua hal ini adalah extrim.
EXTRIM KOSONG
Orang2 golongan ini berpendapat bahwa kita tidak boleh mengharapkan mujizat sebab :
• Yusak menghentikan matahari dan bulan, tetapi itu hanya satu kali di dalam seluruh Alkitab.
• Tuhan Yesus berjalan di atas air di danau Galilea hanya satu kali. Setiap kali Ia menyeberang danau Galilea Ia selalu naik perahu, Tidak berjalan diatas air
• Tuhan Yesus membuat mujizat roti ber-tambah2 hanya dua kali. Pada waktu Tuhan Yesus dan murid2Nya lapar dan tak ada makanan, Tuhan Yesus tidak lagi memecahkan roti. Dst
Sebab itu orang2 kristen semacam ini sama sekali tidak mengharapkan mujizat.
Kalau toh ada, itu suatu perkecualian dan tidak bisa diharapkan.
EXTRIM HIDUP SELALU BER MUJIZAT
Dalam setiap gerak dan tindakannya selalu mengharapkan mujizat Tuhan terjadi.
Ada banyak ayat2 yang menjanjikan hal ini misalnya :
• Mar 9 : 23 , kalau punya iman, segala perkara bisa terjadi
• Rom 8 : 31 , Allah yang di dalam kita adalah Allah yang maha kuasa.
Sehingga seringkali orang2 seperti ini selalu mengharapkan mujizat Tuhan, misalnya : Di waktu mereka harus rajin bekerja dengan tekun dan membanting tulang, mereka tidak tekun tetapi bekerja dengan malas dan mengharap mujizat Tuhan terjadi sebagai ganti kerja keras.
Kalau mereka tidak mendapatkannya, maka mereka menjadi kecewa !
ORANG KRISTEN YANG WAJAR MENURUT ALKITAB
Jelas kedua extrim diatas menerapkan Firman Tuhan secara sepihak.
Alasan2 yang ada diatas itu betul, tetapi baru sebagian.
Kita melihat kehidupan Putra manusia Yesus, murid2 dan orang Kristen dalam Gereja yang tulus di dalam Alkitab selalu limpah dengan mujizat.
Tidak habis2nya Putra Manusia Yesus membuat mujizat dalam segala segi hidupnya, juga rasul-rasul. Ini adalah contoh dari hidup Kristen yang wajar menurut Alkitab.
Bahkan :
1. Hidup suci setiap hari adalah mujizat ! Juga termasuk orang yang lahir baru itu juga suatu mujizat.
2. Hidup sehat dan setiap kali menerima kesembuhan dari penyakit kita oleh bilur Tuhan Yesus (1Pet 2 : 24) adalah suatu mujizat.
Ini seharusnya kita alami setiap hari sebab Tuhan Yesus menghendaki kita selalu sehat jasmani dan rohani (3Yoh 2 = Saudaraku yang kekasih, aku berdoa, semoga engkau baik-baik dan sehat-sehat saja dalam segala sesuatu, sama seperti jiwamu baik-baik saja.)
Di dalam segi kehidupan yang lain, tidak salah mengharapkan mujizat, kalau :
1. Ada janji dalam ayat2 Alkitab
2. Ada keyakinan dari Rohkudus bahwa itu maksud Tuhan bagi pribadi kita. Kalau tidak, jangan mengharapkan, jangan bertindak dengan iman, sampai Rohkudus meyakinkan bahwa itu untuk pribadi kita.
Sebab itu jangan mengharapkan mujizat berlebihan untuk menggantikan kewajiban atau tugas kita.
Tetapi orang yang percaya bahwa Firman Tuhan tentang mujizat itu sudah lalu, sudah berubah, akan mempunyai hidup yang kosong dari mujizat Tuhan.
Hidup orang beriman yang wajar itu limpah dengan mujizat, baik yang nyata se-olah2 kebetulan, maupun yang jelas2 nyata di luar kemampuan manusiawi (supra natural)
Demikianlah seharusnya orang2 beriman itu hidup.
Kalau ia selalu dipimpin Roh berjalan di jalan rencana Allah, pasti ada cukup banyak mujizat yang dialami baik dalam hidup kesucian, kesehatan dan dalam setiap segi kehidupannya mujizat Tuhan masih berlaku !
Apakah saudara dan saya masih merasakan mujizat terjadi di dalam diri kita masing-masing ?
Ataukah mujizat itu sudah berlalu di dalam kehidupan kita ?
Hanya kita yang bisa menjawabnya .
Salam
Mac : 2.Maret.2010
Shalom Machmud,
Yang anda kutip itu adalah pengajaran St. Jerome, yang mengatakan, “Mukjizat-mukjizat itu diperlukan pada saat awal untuk meneguhkan iman orang-orang. Namun pada saat iman seseorang sudah diteguhkan, maka mukjizat-mukjizat tidak diperlukan” (lih. St. Jerome, Commentary on Mark, in loc).
Tentu maksud St. Jerome mengatakan demikian untuk membandingkannya dengan keadaan di jaman jemaat awal, di mana oleh kuasa Tuhan Yesus, para rasul menyembuhkan semua orang yang sakit yang dibawa ke hadapan mereka (lih. Kis 5:12-16), dalam hal ini tidak disebutkan apakah orang banyak itu beriman kepada Yesus atau tidak sebelum menerima kesembuhan. Yang jelas dikatakan adalah dengan para rasul melakukan tanda/ mukjizat itu maka semakin bertambahlah jumlah orang yang percaya kepada Tuhan (ay. 14). Maka pada saat itu tanda- tanda kesembuhan itu diberikan kepada semua yang sakit, agar orang banyak percaya akan pemberitaan para rasul. Sedangkan pada tahun- tahun berikutnya (pada jaman St. Jerome sampai sekarang), saat sudah banyak orang percaya, maka kita ketahui, tidak semua orang yang memohon mukjizat dari Tuhan, menerimanya. Walau memang dapat dikatakan bahwa ada faktor iman berperan di sini, namun di atas segalanya, kebijaksanaan Tuhanlah yang berperan. Sebab Tuhan melihat ke kedalaman hati setiap orang, apakah mukjizat itu akan semakin menumbuhkan iman orang itu, atau malah sebaliknya; dan Ia sebagai Bapa yang penuh kasih akan memberikan yang terbaik bagi kita umat-Nya yang mengasihi Dia.
Maka jika St. Jerome mengatakan bahwa “mukjizat-mukjizat tidak diperlukan” hanya dalam konteks jika iman seseorang sudah diteguhkan. Sebaliknya, jika Tuhan memandang mukjizat itu berguna untuk meneguhkan iman seseorang, maka, Ia tetap dapat memberikan mukjizat-mukjizat-Nya, seperti yang masih terjadi di kalangan para umat beriman sampai saat ini. Anda pernah mengalaminya, saya juga pernah mengalaminya. Mukjizat itu akan semakin meneguhkan iman kita. Namun kita harus menyadari pula bahwa bukan kita yang dapat ‘memaksa’ Allah untuk melakukan mukjizat. Kita dapat berdoa memohon mukjizat Allah, kita boleh mengharapkan mukjizat, namun pada akhirnya kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa mukjizat itu diberikan atas kehendak Allah. Akan ada saatnya Tuhan atas kebijaksanaan-Nya memutuskan untuk tidak memberikan mukjizat (lagi) kepada kita, misalnya mukjizat kesembuhan dari penyakit, sebab pada akhirnya masing-masing dari kita akan dipanggil Tuhan. Jika iman kita sudah teguh, hal ini tidak akan menjadikan kita kehilangan iman dan kasih kepada Allah. Sebab kita yakin dan percaya akan janji Kristus ini, “Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada.” (Yoh 14:3)
Maka komentar saya berikutnya adalah, “Pernyataan [St. Jerome] ini sungguh benar, karena semakin kita dekat dan bersatu dengan Tuhan, kita mempunyai keterbukaan untuk menerima apapun rencana Tuhan dalam hidup kita. Menerima mukjizat kesembuhan jasmani atau tidak, tidak menjadi sesuatu yang utama; atau hal melihat mukjizat terjadi (melihat orang yang mengangkat ular atau minum racun tapi tidak celaka) tidaklah menjadi berpengaruh terhadap iman mereka.”
Jadi saya sepakat dengan pendapat anda, memang kita tidak boleh terlalu ekstrim mengatakan bahwa mukjizat itu tidak ada, ataupun sebaliknya terlalu mengagung-agungkan mukjizat, sehingga iman kita tergantung hanya dari mukjizat. Orang yang sungguh beriman harus mampu melihat mukjizat-mukjizat Tuhan dalam hal- hal sederhana yang terjadi di sekeliling kita dan bukannya hanya mengharapkan mukjizat-mukjizat yang spektakular. Kita harus melihat sebagai mukjizat Tuhan, misalnya, seseorang yang bertobat, dari yang tadinya ketagihan rokok ataupun kecanduan obat- obat terlarang, dapat meninggalkan kebiasaan itu dan bahkan dapat “membenci” kebiasaan lama tersebut, oleh kuasa Roh Kudus. Ataupun seperti kata anda, hidup kudus setiap hari, di tengah masyarakat yang mencemooh makna kekudusan, juga adalah sesuatu yang ajaib dan patut disyukuri.
Ya, mukjizat itu masih tetap terjadi sampai sekarang, dan bagi yang mengalaminya, mengucap syukurlah kepada Tuhan. Namun janganlah sampai iman kita tergantung dari mukjizat dan tanda; dan janganlah kita menghakimi orang lain yang tidak mengalami mukjizat (misal mukjizat kesembuhan) sebagai orang yang ‘tidak beriman’. Sebab kita tidak pernah mengetahui secara persis rencana Tuhan bagi setiap orang.
Demikian, yang dapat saya tuliskan mengenai komentar anda. Semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Comments are closed.