[Minggu Adven IV: Yes 7:10-24; Mzm 24:1-6; Rm 1:1-7; Mat 1:18-24]
Tak terasa, kita telah sampai di Minggu terakhir Adven. Bacaan sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk merenungkan penggenapan janji Allah untuk menyelamatkan kita. Itulah sebabnya kita mempunyai pengharapan yang teguh, dan masa Adven ini adalah masa untuk meneguhkan kembali pengharapan kita; masa untuk memupuk rasa rindu akan kedatangan-Nya kembali dalam hati kita. Mungkin pertanyaannya adalah, sejauh mana aku telah mempunyai kerinduan itu, untuk bertemu dengan Yesus Tuhanku?
Bacaan Pertama hari ini mengisahkan tentang nubuat Nabi Yesaya (700 SM), yang disampaikannya untuk menasihati Raja Ahas. Saat itu Raja Ahas, Raja Yehuda, sedang membangun koalisi dengan Raja Assyria (sekarang daerah Irak), karena takut kalah dari Raja Israel yang berkoalisi dengan Raja Suriah. Mungkin Raja Ahas berpikir, dengan demikian ia bisa menyelamatkan bangsanya dan mendatangkan damai sejahtera kepada rakyatnya. Ia mengandalkan pemikiran dan kekuatannya sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Maka sebenarnya, perkataan Raja Ahas bahwa ia tak mau mencobai Tuhan, tidaklah sesuai dengan kenyataan. Sebab sebaliknya, ia sedang mencobai Tuhan dengan berkukuh memegang kehendaknya sendiri, tanpa mengindahkan kehendak Allah yang tidak berkenan dengan persekutuan dengan bangsa Assyria ini, yang membawa pengaruh penyembahan berhala kepada umat-Nya. Sebagai nabi Allah, Yesaya mengetahui isi hati Raja Ahas, dan menegurnya. Sebagai tanggapannya, Nabi Yesaya memberikan nubuatan yang menjadi janji Allah. Bahwa Allah sendiri akan menyelamatkan umat-Nya. Datangnya keselamatan yang dari Allah nampak dari suatu tanda besar yang belum ternah terjadi sebelumnya. Yaitu seorang perawan akan melahirkan seorang Anak laki-laki, dan Anak itu akan disebut Imanuel, yang artinya: “Allah menyertai kita” (lih. Yes 7:10-24).
Pikir punya pikir, mungkin kitapun kadang bersikap seperti Raja Ahaz, yang lebih mengandalkan pemikiran, kekuatan dan kehendak sendiri, daripada mengandalkan Tuhan. Kita terikat dengan berbagai pandangan dan banyak hal di dunia ini, sehingga sulit bagi kita untuk secara total berpasrah kepada Tuhan. Sikap terlalu terikat pada diri sendiri dan pada dunia ini, membuat kita tidak dapat dengan sepenuhnya mengharapkan Tuhan dan merindukan kedatangan-Nya. Pasalnya, kita seperti punya rencana sendiri dalam hidup kita: plan A, kalo nggak berhasil, plan B, dan kalo kepepet, plan C. Tapi masalahnya, apakah sebelum membuat rencana, kita setulusnya mencari kehendak Tuhan? Dan tetap menyerahkan segala sesuatunya kepada pimpinan-Nya? Mungkin kita punya banyak rencana di tahun depan, atau bahkan saat ini sedang sibuk melaksanakan sebagian dari rencana kita. Namun Minggu ini kita diajak untuk berhenti sejenak dan merenung, apakah semua rencana kita itu sudah kita bawa dalam doa? Sudahkah kita berpikir, apakah rencanaku adalah pilihan yang terbaik, jika ditinjau dari sisi: sejauh mana hal itu dapat membawaku kepada keselamatan kekal? Menjadikanku lebih kudus? Membawa seluruh keluargaku lebih mengasihi Allah dan sesama? Memberitakan Injil Allah dan mewartakan kemuliaan Allah yang lebih besar?
Natal sebentar lagi tiba. Rasul Paulus mengingatkan bahwa kita “telah dipanggil untuk menjadi milik Kristus”, agar kita percaya dan taat kepadaNya, dan dijadikan-Nya orang-orang kudus (Rm 1:6-7). Jika kita mengingat akan panggilan kita ini, tentu hati kita diliputi rasa syukur tanpa henti, sebab Kristus telah menjadikan kita milik-Nya sendiri. Betapa tidak, kita dijadikan “kekasih”-Nya! Bukankah orang-orang yang saling mengasihi akan saling merindukan satu sama lain? Demikianlah, jika kita sungguh mengasihi Kristus, dan menjadikan-Nya Kekasih jiwa kita, maka Natal merupakan peristiwa yang kita rindukan. Kedatangan-Nya kita nantikan dengan iman, dan ketaatan kepada-Nya. Di hari-hari menjelang Natal ini, mari kita membawa serta dalam pikiran dan hati kita, penantian St. Yusuf dan Bunda Maria. Sebab dari merekalah kita belajar nilai keteguhan iman dan ketaatan. Membiarkan kehendak Tuhan yang terjadi, dan bukan kehendak diri sendiri. Menyediakan diri kita seutuhnya demi terwujudnya rencana Tuhan. Bukankah ini kita lihat dari teladan Perawan Maria, yang memberikan diri sepenuhnya kepada Allah, sehingga nubuat Nabi Yesaya dapat tergenapi? Bukankah ini kita lihat juga dari St. Yusuf, yang menaati perintah Tuhan, yang disampaikan oleh malaikat-Nya, dengan bersedia menerima Perawan Maria sebagai istrinya? (lih. Mat 1:18-24) Bunda Maria dan Santo Yusuf memberi teladan kepada kita, bagaimana menantikan penggenapan rencana Allah, dengan hati tak terbagi. Mereka taat sepenuhnya, merindukan Mesias dengan hati yang murni. Apa yang menjadi kehendak-Mu ya, Tuhan, terjadilah di hidupku…. Sejak saat itu kehidupan Bunda Maria dan Santo Yusuf hanya terpusat pada Yesus, Sang Putra Allah yang Mahatinggi. Bagaimana dengan aku: apakah atau siapakah pusat hidupku?
Hati yang murni dan tak terbagi. Bagaimana itu mungkin? Gereja selalu mengajarkan bahwa dengan bantuan rahmat Tuhan kita akan dimampukan untuk melakukan kebajikan kemurnian hati. Rahmat itu secara khusus kita terima dalam sakramen Ekaristi dan Sakramen Pengakuan Dosa, yang diterima secara teratur. Teratur maksudnya, bukan setahun sekali, atau setahun dua kali. Tetapi sedapat mungkin sebulan sekali menerima sakramen Pengakuan Dosa, dan Ekaristi setiap hari. Tentu penerimaan sakramen-sakramen tersebut, juga perlu diikuti oleh tindakan nyata sebagai tanda pertobatan dan pertumbuhan iman. Nah, mumpung lagi masa Adven, di awal tahun Liturgi, tak ada salahnya, kita membuat suatu niatan hati, untuk lebih berkomitmen dalam hal ini. Semoga dengan demikian, kita memperoleh rahmat Tuhan yang memampukan kita menyambut kedatangan Tuhan Yesus di hari Natal dengan kasih yang lebih penuh. Supaya masa Adven dan Natal bagi kita bukan hanya sekedar ngumpul-ngumpul dengan teman-teman dan sanak saudara, sibuk belanja ini itu, ngobrol soal politik bahkan lebih seru daripada merenungkan kedatangan Tuhan Yesus. Atau sebaliknya, lebih banyak melamun dan tak tahu harus berbuat apa. Atau sebaliknya lagi, sudah ikut pesta Natal ke sana ke mari padahal masih masa Adven… dan belum ngaku dosa, pula. Kalau demikian halnya, nampaknya harus diakui, sikap batin kita masih jauuhh sekali dari sikap batin Bunda Maria dan Santo Yusuf, saat menantikan kedatangan Tuhan Yesus. Padahal sejujurnya, persiapan kita untuk menyambut Tuhan sangatlah penting, atau bahkan paling penting. Archbishop Fulton Sheen berkata, “Hanya satu hal dalam hidup ini yang berarti. Ditemukan layak bagi Sang Terang Dunia pada saat kunjungan-Nya.” Sebab kunjungan-Nya di hari Natal merupakan momen untuk mempersiapkan kita pada kedatangan-Nya kelak, yang menentukan, apakah kita dianggap-Nya pantas untuk dibawa-Nya serta ke dalam Kerajaan-Nya.
Saudara dan saudariku, mari memohon rahmat Tuhan, agar kita dapat menyambut Yesus dengan hati terarah kepada-Nya, dengan hati tak terbagi:
“Ya Yesus, curahkanlah rahmat-Mu kepada kami, agar kami bertumbuh dalam kasih dan kerinduan akan kedatangan-Mu, yang telah memilih kami menjadi milik-Mu. Supaya di hari-hari ini kami berusaha bertumbuh dalam kasih; supaya Engkau menemukan kami berada dalam hadirat-Mu, bersukacita menyambut kedatangan-Mu dengan sepenuh hati. Amin.”