Sumber gambar: http://4.bp.blogspot.com/-o6aQwl8_k5A/Uf6_ZomDKHI/AAAAAAAARvs/ddXBhoUbIns/s320/parable-of-the-pharisee-and-tax-collector.jpg

[Hari Minggu Biasa XXX: Sir 35:12-18; Mzm 34:2-3, 17-23; 2Tim 4:6-8,16-18; Luk 18:9-14]  

Pukul enam kurang sepuluh menit. Cuaca mendung membuat pagi itu terasa masih gelap. Bergegas kumasuki gereja untuk mengikuti Misa Kudus, mengambil tempat seperti biasa. Tepat di hadapanku berlutut seorang ibu yang rambutnya telah putih, hampir seluruhnya. Ketika hendak kupejamkan mata, tak kusengaja aku melihat sesuatu yang membuatku tersenyum sendiri. Ibu itu memakai baju yang terbalik, sehingga tampaklah merk dan obrasannya. Mestinya aku langsung berdoa, tapi nyatanya, pikiranku melesat jauh… “Wah,… buru-buru kali ya si ibu ini, sampai memakai baju terbalik ke gereja….” Namun rupanya, cerita pagi itu tidak berakhir sampai di situ. Tepat sore harinya ketika hendak berolah raga, aku bergegas memakai kaos, sementara pikiranku melayang kepada hal-hal lain. Begitu selesai berolah raga, ketika hendak mandi, kupandang diriku di cermin, dan … astaga! Rasanya aku hampir tak percaya. Aku pun memakai kaos yang terbalik! Rupanya Tuhan sedang mengajariku, untuk tidak mudah mengomentari orang lain, sebab aku pun dapat berbuat kesalahan yang sama. Tuhan, ampunilah aku!

Bacaan Injil hari ini mengajarkan agar kita tidak lekas menghakimi, dan merasa diri lebih baik daripada orang lain, terutama dalam doa-doa kita. Kita dapat belajar dari kisah orang Farisi dan pemungut cukai itu, yang sama-sama berdoa, namun isi doa mereka sangatlah berlawanan. Dalam doanya, orang Farisi itu meninggikan diri sedangkan sang pemungut cukai itu, merendahkan dirinya. St. Agustinus berkata, “Kalau kamu memeriksa perkataannya [doa orang Farisi], kamu menemukan bahwa ia tak meminta apapun kepada Tuhan. Memang ia berdoa, tetapi bukannya meminta kepada Tuhan, ia memuji dirinya sendiri; dan bahkan menghina orang yang meminta. Sebaliknya, pemungut cukai itu, terdorong oleh hati nuraninya yang terluka berdiri jauh-jauh, dan oleh kesalehannya ia dibawa mendekat…. Tuhan dekat kepadanya dan mendengarkan dia. Sebab Allah ada di tempat tinggi, namun Ia mendengarkan orang yang rendah itu…. Hati nuraninya membebaninya, namun harapannya mengangkatnya, ia memukul dadanya sendiri, ia menjatuhkan penilaian atas dirinya sendiri. Karena itu Tuhan berkenan kepada orang yang menyesal itu. Kamu telah mendengar tuduhan orang yang sombong itu, dan kamu telah mendengar pengakuan yang rendah hati dari orang yang dituduh itu. Kini dengarkanlah keputusan Sang Hakim: Sungguh Kukatakan kepadamu, orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang yang lain itu tidak” (St. Augustine, Catena Aurea, Luk 18:9-14). Allah berkenan kepada orang-orang yang rendah hati, yang dalam kelemahannya mengandalkan pertolongan Tuhan. Demikianlah dalam berbagai kisah dalam Kitab Suci tertulis betapa Allah berkenan kepada pihak-pihak yang lemah yang berlindung kepada-Nya, seperti contohnya para janda dan yatim piatu—sebagaimana kita dengar di Bacaan Pertama (lih. Sir 35:12-18); dan para murid Tuhan yang dikejar-kejar dan dianiaya, seperti Rasul Paulus (lih. 2Tim 4:16-18).   

Jadi sabda Tuhan hari ini mengajarkan kepada kita, sikap batin yang benar dalam berdoa. Pertama, doa adalah dialog dengan Tuhan. Ketika berdoa, kita mengarahkan hati kepada-Nya, dan tidak berfokus kepada diri kita sendiri ataupun pikiran akan diri sendiri. Kedua, kita datang ke hadirat Tuhan dengan kerendahan hati, dengan mengakui kelemahan dan dosa-dosa kita. Kita tidak membandingkan diri kita dengan orang lain, apalagi merasa lebih baik daripada orang lain. Ketiga, kita memohon belas kasihan-Nya dan mengandalkan Allah, sebab kita percaya bahwa Ia berkenan kepada orang yang rendah hati yang berbakti kepada-Nya.

Kini menjadi semakin make sense bagiku, mengapa dalam  perayaan Ekaristi, kita dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, mendaraskan doa-doa tobat: “Saya mengaku, kepada Allah yang maha kuasa, dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa…. Tuhan, kasihanilah kami, Kristus, kasihanilah kami, Tuhan kasihanilah kami…; Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, kasihanilah kami… Doa-doa ini mengungkapkan iman Gereja yang dengan kerendahan hati datang kepada Tuhan. Kuucapkan doa-doa tersebut dengan penghayatan yang baru. Saat imam mengangkat Hosti yang telah diubah menjadi Tubuh Kristus dan berkata, “Inilah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Berbahagialah kita yang diundang ke perjamuan-Nya….”, kuarahkan mata hatiku kepada Tuhan Yesus yang hadir dalam Hosti itu. Dan dalam kerendahan sebagai seorang hamba, kutundukkan kepalaku dan kudaraskan doa ini dengan sungguh, “Ya, Tuhan, saya tidak pantas, Tuhan datang pada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh….”