Pengantar
Tema aktual yang sering dibicarakan di komisi seminari dan juga komisi liturgi adalah homili. Bagi komisi seminari menyiapkan para calon imam agar kelak menjadi imam yang memiliki ketrampilan dalam mewartakan sabda Tuhan adalah tugas utama. Terlebih ketika imam bertugas sebagai seorang pemimpin liturgi. Sebagai pemimpin liturgi seorang imam dituntut bukan hanya tahu tentang sikap liturgis, cara membawakan upacara liturgi dengan baik tetapi terlebih juga cara memaklumkan Sabda Tuhan. Bagian ini sering kurang disiapkan secara baik sejak seminari menengah dan tinggi. Mungkinkah dibuat kerjasama lintas komisi, dalam hal ini komisi seminari dan komisi liturgi berkolaborasi-bersinergi menyiapkan calon imam sebagai pengkotbah sejak dini di seminari menengah. Bagaimana bentuknya?
Kesadaran tugas utama mewartakan Sabda Tuhan
Apa tugas khas dari imam, yang tidak dimiliki oleh umat lain? Kanon 757 menyatakan: “Tugas dari imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup ialah memaklumkan Injil Allah; terutama para Pastor Paroki dan mereka yang diserahi tugas reksa jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang dipercayakan kepada mereka; juga para diakon, dalam persatuan dengan Uskup dan Presbyteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda”. Teks ini mau menyatakan bahwa tugas pokok dan bersifat khas bagi seorang imam adalah memaklumkan-mewartakan Injil Allah. Tugas mewartakan Sabda Allah itu merupakan pelaksanaan pewartaan sabda dan secara konkrit melalui kegiatan homili saat perayaan ekaristi. “Diantara bentuk-bentuk kotbah, homililah yang paling unggul yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri” (bdk. kan. 767). Jadi homili adalah bagian integral dari perayaan ekaristi (bdk. SC, 35,52; PUMR, 29). Maka kegiatan homili atau kotbah dalam perayaan ekaristi tidak bisa lepas dari tugas pokok seorang imam yakni mengajar umat. Melalui liturgi khususnya Perayaan Ekaristi – kaum beriman dimampukan untuk mengungkapkan dalam kehidupan mereka serta memperlihatkan kepada orang-orang lain misteri Yesus Kristus dan hakekat asli dari Gereja yang sejati (bdk. SC, 2).
Homili: bercerita dan bersaksi tentang pribadi Yesus
Homili adalah sebuah pewartaan yang mengisahkan atau bercerita tentang kisah Yesus dalam perayaan Ekaristi. Untuk dapat bercerita tentang Yesus kita perlu memiliki pengalaman pribadi berjumpa dengan Yesus, mengalami pribadi Yesus. Cerita tentang Yesus akan efektif, kalau cerita itu keluar dari pengalaman hidup pribadi kita; sebab orang lebih percaya kepada kesaksian hidup daripada sekedar berkata-kata (bdk. 1Yoh 1:1-4; EN, 41; EA, 42). Dengan bercerita tentang Yesus, kita mengungkapkan identitas diri kita sebagai umat kristiani (umat Katolik); dan kita tidak boleh menyembunyikan diri kita sebagai murid-murid-Nya. Dengan berada bersama dengan orang-orang sebangsa, yang dirundung kemiskinan dan hidup dalam pluralitas agama dan kebudayaan, kita menjadi sungguh-sungguh katolik dan sungguh-sungguh warga Indonesia. Dengan “berbuat” bagi mereka yang dirundung kemiskinan, dan hidup dalam pluralitas budaya dan agama, kita semakin menjadi Kristiani. Maka dalam homili yang tidak lepas dari kenyataan hidup konkrit umat, perlulah diperhatikan konteksnya (pendengarnya).
Kontekstualiasi Homili
Dimensi kontekstualisasi homili dalam perayaan ekaristi sangatlah penting. Umat merasakan kekuatan dari Sabda Tuhan, jika Sabda yang menjadi warta homili menyentuh kehidupan konkrit; jika Sabda Tuhan mengubah perilaku hidup manusia sehingga kehidupan nyata menjadi sejahtera dan damai. Itulah panggilan dasar Gereja yakni menjadi terang bagi bangsa-bangsa (bdk. Lumen Gentium, 1). Gereja menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah dan mendirikannya di tengah bangsa-bangsa (bdk. Lumen Gentium, 5). Sementara Gereja membantu dunia atau menerima banyak dari dunia, yang menjadi tujuan satu-satunya adalah datangnya Kerajaan Allah serta terwujudnya keselamatan bagi seluruh umat manusia (bdk. Gaudium et Spes, 45). Kontekstualisasi homili juga melihat kehidupan masyarakat yang ditandai dengan pluralitas agama dan budaya, serta mayoritas penduduknya hidup dalam kemiskinan. Karena itu hidup menggereja dilakukan lewat dialog antar umat beragama, berinkulturasi dan pembebasan manusia yang seutuhnya dan menyeluruh aspek bidang kehidupan (bdk. FABC I, 1974; V, 1990). Homili hendaknya menjadi suara kenabian ketika masyarakat menawari praksis “yang kuat yang menang, yang bermodal besar (kaum kapitalis) menguasai yang tidak bermodal kaum miskin)”. Kita sebagai Gereja perlu memperlihatkan baik melalui perkataan maupun perbuatan bahwa “yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir harus didahulukan.” (bdk. Nota Pastoral: Keadaban Publik, KWI 2004, art. 18.1). Ketika masyarakat digiring untuk menyembah uang, Gereja perlu bersaksi dengan mewartakan Allah yang solider, penuh kasih dan kerahiman. Melalui homili sebagai bentuk komunikasi iman dalam perayaan, kita dapat mengajak umat beriman untuk melihat kehidupan dalam terang Sabda Tuhan, dan melakukan pertobatan.
Bagaimana menyiapkan Homili
Menyiapkan homili tidaklah mudah, perlu ketekunan dan keseriusan. Bagi seorang pewarta Sabda Tuhan, diperlukan satu minggu untuk menyiapkan Homili jika hal itu dilakukan oleh Pastor Paroki yang setiap minggu harus memberi homili pada perayaan ekaristi bersama umat. Calon imam belajar memberikan homili di dalam misa kelompok di rumah bina. Komisi liturgi memberikan panduan sederhana bagaimana berhomili yang baik? Di bawah ini cara menyiapkan homili yang mungkin berguna bagi para pewarta sabda Tuhan. Persiapan menyampaikan homili terbagi dalam 2 tahap: persiapan jarak jauh dan jarak dekat.
Persiapan jarak jauh: meliputi tiga tahap (1) renungan pribadi: melakukan permenungan atas bacaan Sabda Tuhan dengan tertulis yang menjadi inspirasi homili, (2) hidup kerohanian pribadi yang mendalam, yang dimaksudkan adalah sebagai pewarta sabda Tuhan hendaknya memiliki hidup rohani yang matang, memiliki kebiasaan berdoa dan membaca sabda Tuhan dalam Kitab Suci, (3) kepribadian dari si homilist (pembawa homili): sangatlah menentukan. Di sini dibutuhkan integritas kepribadian dari si pewarta sabda Tuhan. Apa yang saya katakan, juga saya lakukan, berhomili berarti juga mengandung tuntutan untuk melakukannya.
Persiapan jarak dekat: (a) membaca dan merenungkan Sabda Tuhan, (b) menentukan satu tema berdasarkan hasil permenungan, (c) mendengarkan konteks penerima (audiens), (d) membaca sumber tambahan (dapat diambil dari ajaran Gereja, nota pastoral, (e) kesesuaian dengan ajaran Kitab Suci dan Gereja, (f) menyusun draft homili, (g) membawakan homili: menentukan metode, sarana, berdoa sebelum kotbah dan mendengarkan gerakan Roh apa yang hendak homilist katakan kepada umat.
Suatu kerjasama lintas komisi
Mungkinkah terjalin kerjasama lintas komini seminari dan liturgi dalam menyiapkan calon imam agar menjadi homilist yang unggul? Kerjasama terjalin jika sejak seminari menengah diberikan pelajaran pengajaran tentang liturgi sebagai komunikasi sabda (komunikaturgi). Liturgi adalah perwujudan iman dalam upacara tapi sekaligus sebuah komunikasi iman. Sejak seminari menengah diajarkan tentang menulis renungan singkat dan dibawakan kepada teman-teman sendiri. Komisi Liturgi keuskupan dan para dosen liturgi sudah saatnya memberikan pengajaran tentang homili sejak di seminari menengah. Bagi seminari tinggi agar para frater diajarkan bagaimana: menggali kekayaan sabda Tuhan dengan pelbagai metode tafsir kitab suci yang praktis untuk umat, bagaimana berkomunikasi yang benar dalam ruang publik (public speaking dan public appearance), bagaimana menata integritas kepribadian homilist agar kata menjadi tindakan konkrit? Bagaimana komisi seminari dan komisi liturgi membuat buku-buku panduan tema dan gagasan homili mingguan dengan bahasa sederhana untuk calon imam seminari menengah dan tinggi?
Syaloom,
Bolehkan dengan percaya Roh Kudus memimpin seorang Pastor / Pendeta atau hamba Tuhan tidak menyiapkan materi atau tema apapun sampai dia maju ke depan mimbar dan percaya Biar Roh Allah yang membukakan apa yang harus disabdakan.
Karena banyak praktek seperti itu, percaya penuh kepada Roh Kudus memimpin dirinya. Bagaimana pendapat anda?
Tq
Shalom Richard,
Terima kasih atas pertanyaannya. Menurut saya, seseorang yang membagikan Firman, namun tidak mempersiapkan diri secara baik dengan alasan bergantung sepenuhnya pada Roh Kudus, sebenarnya tidak bijaksana. Bahkan, dapat dikatakan malas. Ini sama saja orang yang mau ujian, namun tidak mau belajar, dengan alasan Roh Kudus dapat membantu. Dalam membagikan Sabda Allah, seseorang harus mempersiapkan diri dengan benar-benar, termasuk tahu latar belakang dari perikop, mempelajari tema dengan baik, bagi umat Katolik harus mengetahui pengajaran Gereja Katolik, dll. Dalam proses, kita harus terus melibatkan Roh Kudus, dan kita terus berdoa agar Tuhan memberikan Roh Pengertian dan Roh Kebijaksanaan, sehingga kita dapat mendalami misteri iman. Dengan kata lain, kita telah melibatkan Roh Kudus dalam proses persiapan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
syalom bu Ingrid & p’ Stef
saya orang awam yang sedang belajar mengenal Tuhan Jesus lebih dekat lagi
maaf mungkin pertanyaan ini agak nyeleneh, dalam obrolan dengan temen2 di KPKS ada pertanyaan sbb :
apakah boleh seorang awam membawakan homili dalam perayaan Misa?
kalau boleh apa yang mendasarinya dari sudut pandang ajaran gereja, seandainya tidak diperbolehkan apa yang mendasarinya juga?
Sebelumnya terimakasih atas jawabannya
Tuhan Jesus memberkati
Greg yth,
Seturut Kitab Hukum Kanonik 767 pasal 1, yang boleh membawakan homili dalam Misa adalah uskup dan imam serta diakon tertahbis saja, dalam kesatuan dengan bapa uskup sebagai pewarta Injil. Sedangkan awam tidak diperkenankan. Demikian bunyi Kanon tersebut:
767 § 1: Di antara bentuk-bentuk khotbah, homililah yang paling unggul, yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri dan direservasi bagi imam atau diakon; dalam homili itu hendaknya dijelaskan misteri- misteri iman dan norma-norma hidup kristiani, dari teks suci sepanjang tahun liturgi.
Sebagai wawasan lebih lanjut, silahkan membaca artikel “Menyiapkan homilist yang baik sejak dari seminari”, silahkan klik.
Salam,
Rm Wanta
Trimakasih romo atas penjelasannya…
Tuhan memberkati pelayanan romo….
Romo…
buat saya Homili bukan utama, yang utama buat saya adalah saat Konsekrasi. Dan tidak bisa didapat digereja2 lain selain Gereja Katolik.
salam
Yulius Yud
[dari Katolisitas: Memang Konsekrasi dan Komuni (liturgi Ekaristi) adalah puncak dari perayaan Ekaristi, namun puncak ini tidak terlepas dari kehadiran Kristus dalam liturgi Sabda, yaitu dalam pembacaan Kitab Suci dan homili. Oleh karena itu, Romo Wanta juga berusaha untuk menyiapkan para Romo yang lain dalam pendidikan para imam, untuk dapat mempersiapkan homili dengan baik. Mari kita mendukung usaha para Romo untuk mempersiapkan homili dengan baik ini dengan doa- doa kita. Semoga dengan homili yang baik, umat dapat semakin menghayati kehadiran Kristus dalam Sabda-Nya, yang menghantar kita kepada persatuan kita dengan Kristus, Sang Sabda yang kemudian hadir dalam rupa sepotong hosti yang kita sambut dalam Komuni kudus]
Salam damai,
Kadangkala kita sebagai umat sangat menuntut agar stp imam dapat sempurna dalam berbagai hal (salah satunya homili). Hal ini membuat kita lupa bahwa seorang imam pun adalah manusia biasa yg mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sebagai saran, hendaknya kita sebagai umat mau juga mempersiapkan diri dengan membaca terlebih dahulu bacaan pada hari minggu tsb, sehingga pada wkt homili diberikan oleh para imam maka kita paling tidak sudah mengetahui garis besar dari bacaan2 tsb dan pada saat mendengarkan homili kita akan mendapatkan apa pesan yg ingin disampaikan melalui Sabda Tuhan tsb. Dan yg lebig terpenting, marilah kita belajar melaksanakannya dalam kehidupan sehari hari. Imanuel.
Shalom Teddy,
Ya, saya setuju dengan anda. Membaca bacaan Misa Kudus dan merenungkannya sebelum Misa Kudus adalah salah satu bentuk persiapan diri kita sebelum mengikuti perayaan Ekaristi, seperti telah dituliskan di artikel Cara memeprsiapkan diri menyambut Ekaristi, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth Romo Wanta
Setiap pastor dlm membawakan homili memang berbeda antara satu dengan lainnya , mungkin juga karena pembawaan karakter masing masing pastor, ada yang serius hingga umat tidur atau ada yang lucu sehingga umat juga ikut aktif mendengarkan tapi mungkin sebagian besar dari umat setelah pulang misa tidak mendapat suatu yang lebih, pulang ya…. sudah pulang saja. Romo, maaf ya mungkin tidak ya pastor kita pada waktu homili turun dari mimbar altar , berhomili berjalan turun sambil menyapa umat, kadang umat yang berada di belakang tidak mendengarkan homili , jadi bisa saja ada pembicaraan 2 arah antara pastor dengan umat dan homili menjadi lebih hidup. tetapi sekali lagi itu mungkin saja terjadi dan kalau gereja mengizinkan ya Romo. Cukup sekian dulu Romo mohon maaf kalau pemikiran ini salah. Terima kasih
salam,
kusuma
Kusuma Yth
Bagi saya siapapun yang membawakan homili harus memperhatikan banyak hal: konteks pendengar, media audio, bahasa, intonasi suara, pengeras suara dan boleh sambil berjalan. Tapi diingat agar waktu homili terbatas 10-12 menit (ideal) mengingat sesudah misa ada misa lagi. Kecuali paroki di desa homili bisa 1 jam bisa dilakukan karena umat rindu mendengarkan pengajaran, beda di kota yg sibuk dengan aneka macam kegiatan (hal ini harus diperhitungkan). Tanya jawab dalam homili bisa rancu dengan katekese iman, maka sering kali ada kritik kalau rama membawakan homili dengan tanya jawab, bisa panjang lebar dan lama dan seperti pengajaran di kelas. Pada hal homili mewartakan sabda Tuhan untuk menenguhkan iman umat yang dibacakan saat misa. Demikain jawaban saya semoga bermanfaat.
salam
Rm Wanta
Syalom Kusuma, saya ingin menanggapi hal masalah homili :
*Memang bagi para katolik militan, apapun kondisi homili yang dibawakan romo ( entah itu menyenangkan, lucu, membosankan, jenuh, menarik ) maka mereka PASTI sadar dan MEMPERHATIKAN DENGAN SUNGGUH – SUNGGUH, karena itu adalah SABDA TUHAN yang sedang dibicarakan dan PASTI mendapat hikmat ketika pulangnya. Namun bagi umat katolik asal – asalan memang terkadang agak susah, karena itu terasa kewajiban. Oleh karena itu bagi umat katolik yang masih ‘merasa’ kurang mendapat FIRMAN, ada banyak persekutuan doa di Katolik yang bisa membawakan firman lebih banyak. jadi kerinduan umat akan FIRMAN akan terobati. ( tentunya dalam kadar tidak meremehkan FIRMAN HOMILI, karena kedua – duanya adalah sabda TUHAN yang berbicara ).
TUHAN YESUS MEMBERKATI & Bunda Maria selalu menuntun anda pada putraNYA.
Daripada homili banyak pastor lebih suka memberikan khotbah yang kadang egocentris, menceritakan dirinya ber-ulang2 , ilustrasi sinetron, dsb. Apakah kalau homili lebih susah karena harus mempersiapkan diri dengan banyak membaca dan mengajarkan Sabda kepada umatnya. Yang dilupakan sering lupa melepaskan kelekatan “dirinya” sehingga seolah hendak ditonjolkannya daripada Yesus sendiri, dan banyak yang tidak bisa mengatur waktu sehingga PE berlangsung 1 1/2 jam karena khotbah lebih dari 15 menit. Mohon pencerahan dan komentar. Terima kasih.
Hendraboe yth
Persoalan anda dapat diatasi dengan kegiatan pelatihan berkotbah, berhomili bagi para pastor di keuskupan masing-masing. Komisi Liturgi KWI akan membuat sebuah buku tentang hal itul dan bisa menjadi panduan dalam kegiatan tsb. Semoga dengan cara itu para imam mampu menyampaikan homili dan kotbah dengan baik. Jika anda peduli tentang hal ini silakan dukung dan sampaikan kegiatan ini pada pastor paroki atau keuskupan, dengan harapan anda dan kaum awam ikut menjadi sponsor kegiatan tsb.
salam
Rm Wanta
Berkat Tuhan Romo Wanta,
Saya baru beberapa hari ini mengikuti dengan cukup intens tulisan di katolisitas Romo,
Homili sebagai puncak dari Liturgi Sabda, menurut saya memang harus bisa memikat umat yang mendengarnya, caranya tergantung pada masing masing Romo. Sangat disayangkan banyak Romo dalam membawakan homili dengan cara membaca tanpa intonasi, datar membuat umat mengantuk. Memang tidak perlu harus seperti pendeta yang berhotbah dengan cara yang berapi-api tetapi sering diulang-ulang karena bisa dari bermacam-macam tema. Sedangkan kita yang Katholik dibatasi dengan tema dari bacaan Kitab Suci / Injil pada hari itu. Tetapi dari Romo yang homilinya bikin mengantuk itu saya punya cara mendengarnya dengan mengulang kata-kata Romo tadi, hasilnya sungguh menakjubkan, karena kantuk saya hilang dan saya bisa mendapat inti homili yang sungguh bermanfaat. Rupanya Roh Kudus juga mau berkarya melalui homili yang membosankan tadi, asal kita sungguh mau memdengarkan dan meresapi (sambil memcoba untuk mengamalkanynya).
Mohon maaf Romo saya mau tanya yang menyimpang dari topik homili.
Bagaimana caranya menyadarkan umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi Kudus supaya sungguh sungguh mengikuti dengan penuh hormat sebagai persiapan dalam menyambut Tubuh Kristus?
Banyak umat yang asyik mengobrol dan baru berhenti waktu Konsekrasi dan kemudian ngobrol lagi sampai menerima Komuni Kudus tanpa merasa mengganggu umat lainnya. Juga dalam bersikap mau menerima ataupun sesudah menerima Komuni, berjalan seenaknya tanpa ada rasa hormat. Salam
Aloysius yth.
Cara yang baik untuk mendidik umat dalam merayakan liturgi ekaristi dengan baik dan benar adalah melalui katekese liturgi. Kini sedang digiatkan katekese liturgi di beberapa keuskupan. Jika anda mau bisa mendatangkan komisi liturgi KWI atau beberapa ahli di katolisitas saya kira mampu untuk membawakan hal itu. Caranya kumpulkan seluruh pengurus lingkungan dan dewan paroki selama sehari bisa diberikan katekese liturgi ekaristi. Saya kira cara demikian yang terbaik.
salam
Rm Wanta
Mohon pencerahan , apakah boleh seorang pastor dalam homili dan atau khotbahnya selalu diisi dengan “ndagel”, bukan joke hanya sekedar untuk membuat umat senang (menurut pendapat pribadi ybs) karena umat jadi tertawa, baik yang sungguhan atau yang kecut. Ndagel itu kadang lebih dominan dari bacaan Sabda, dan lebih dari itu kebanyakan sharing dirinya yang dikaitkan dengan hal-hal yang lucu dan sebenarnya tidak terlalu relevan dengan bacaan.
Hendraboe Yth
Homili dalam perayaan ekaristi harus mendasarkan pada sabda Tuhan tidak diperkenankan ndagel, ngelucu. Kalau cerita rohani yang berkaitan dengan teks atau cerita bijak berkaitan dengan gagasan homili bisa, atau sharing pribadinya yang berkaitan dengan teks sabda Tuhan juga bisa malahan baik karena pengalaman pribadi tapi bukan melucu. Homili beda dengan kotbah, keduanya tidak diperkenankan sebagai tempat untuk melawak, atau menyanyi.
salam
Rm Wanta
Shalom Romo Wanta,
Saya masih ingat sekali, dulu ada seorang pastor paroki di daerah saya, yang homilinya bisa kami bawa pulang ke rumah. Saya mendengar banyak sekali umat, yang mengaku sangat senang mendengarkan homili dari pastor tersebut. Ya, laksana dosen yang pandai mengajar, sehingga mahasiswanya sangat senang menghadiri kuliahnya, sampai saling berebut agar bisa duduk di barisan depan, dan kecewa sekali kalau sang dosen tak datang mengajar. Coba kalau cara mengajar dosen itu membosankan, mahasiswanya pada berharap: lebih baik ia tak masuk kelas saja.
Mungkin baru hampir dua tahun belakangan ini, ketika homili berlangsung, saya berusaha keras menyimaknya dengan baik. Hasilnya: penilaian saya berubah total. Sebelumnya saya menilai, banyak homili menguap sia-sia; masuk telinga kiri umat, dan langsung keluar begitu saja dari telinga kanan. Sekarang, ketika saya berusaha keras menyimak ketika ia disampaikan, saya justru merasa: lebih banyak homili yang bisa dibawa pulang daripada yang tidak – asal saya mau sungguh-sungguh memasang telinga untuk mendengarkannya.
Saya menemukan, bahasa yang dipakai dalam homili-homili yang pernah saya dengar adalah bahasa Indonesia yang khas, bahasa yang halus, gaya bahasa yang sama dengan gayanya Alkitab. Contoh: dalam homili selalu dipakai kata “hendaklah kita” bukan “kita harus”. Barangkali kami sebagai umat memang lebih faham kalau mendengar kata “kita harus” daripada kata “hendaklah kita”. Untuk itu, sekarang saya bisa maklum kenapa gaya bahasanya seperti itu, karna dalam Alkitabpun begitu, seperti di Matius 13:9 “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” Makanya, dalam homili-homili selalu terdengar “hendaklah kita…”, karna di Matius 13:9 tadi bukan tertulis “Siapa bertelinga, ia harus mendengar!”
Dari homililah, saya mengerti mengapa kita memegang daun palem saat perayaan Minggu Palem. Selama ini saya selalu merasa enggan jika memegang daum palem, karna merasa seperti umat Yerusalem yang mengelu-elukan Yesus saat Ia memasuki Yerusalem, namun berbalik menuntut menyalibkanNya beberapa hari kemudian. Namun, dari homililah, dikatakan kepada saya bahwa dengan memegang daun palem ini, kita ingin seperti para kudus di surga yang memuliakan Allah dengan memegang daun palem di tangan – seperti yang tertulis di Kitab Wahyu 7:9. (Sekali lagi, saya mendapatkan point yang membuktikan kepada saya betapa liturgi Gereja Katolik sangat Alkitabiah.)
Dari homililah, saya dibuat sadar agar mau meminta tujuh karunia Roh Kudus, dan memilikinya.
Minggu yang lalu, tanggal 18 Juli 2010, saya menghadiri misa pemberian Sakramen Krisma. Homili dari bapa uskup memang sangat-sangat bagus, sampai saya harus membuat punggung saya tidak menyentuh sandaran bangku gereja agar perhatian saya tidak berkurang. Senang sekali saya bisa mendengarkan Ketua KWI saat ini membawakan homilinya. Gayanya selalu “hendaknya kita…”.
Jadi, saya merasa, saya bisa menangkap apa yang disampaikan dalam homili setelah saya berusaha menyimaknya dengan baik. Memang, ada juga homili yang tetap terasa membosankan, tak ngerti, tak sesuai dengan bacaan – tapi persentasenya tak sebanyak yang saya bayangkan selama ini – yang membuat saya merasa perlu berdoa untuk pastor tersebut agar ia menyediakan lebih banyak waktu guna mempersiapkan homilinya.
Dan, dengan segala hormat, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa umat yang tidak mendapatkan apa-apa dari homili berarti umat tersebut tidak menyimak dengan baik. Mungkin ada faktor lain yang telah terjadi, yang tidak saya ketahui, sehingga walau sudah menyimak dengan baikpun, umat tersebut tetap tidak mendapatkan apa-apa dari homili.
Maju terus Romo, untuk menyiapkan homilist yang baik dari sejak seminari.
Salam kasih dalam Tuhan Yesus,
Lukas Cung
Lukas Yth
Terimakasih atas supportnya dan semoga karya pelayanan katolisitas semakin menjawab kebutuhan iman umat Katolik. Puji Tuhan
salam
Rm Wanta
Sekedar sharing saja,
Sewaktu studi di Eropa, ada satu romo tua yang kalau khotbah suaranya pelan sekali bikin ngantuk. Belum lagi banyak anak kecil yang menangis. Saya pun sering asyik dengan pikiran sendiri sambil menunggu kata Amin dari si romo. Suatu waktu, saya ceritakan hal ini kepada salah seorang teman. Dan dia menjelaskan bahwa romo tersebut mengidap penyakit kanker walaupun sekarang sudah sembuh. Tetapi tubuhnya jadi lemah. Saat itu saya menyadari betapa besar perjuangan romo tersebut untuk dapat menyampaikan homili dengan kondisi fisik yang lemah. Sejak saat itu saya berusaha dengan amat sangat untuk menyimak homili romo tua tersebut karena suaranya yang sangat pelan dan lemah. Di dalam suaranya yang pelan dan lemah itu saya menemukan semangat hidup yang sangat luar biasa. Kecerdasan romo tersebut juga tersirat dalam kata – kata yang digunakannya untuk mengajar kami. Mulai saat itu saya selalu berusaha menghargai homili betapapun membosankan homilinya. Kalau ada teman atau saudara yang mengkritik romo dalam menyampaikan homili dengan mudah saya tanggapi, “Kalau Anda merasa bisa lebih baik dari romo tersebut silahkan menjadi romo (kalau lelaki) atau silahkan anak lelaki anda jadi romo (kalau wanita) dan kemudian gantikan romo tersebut.” Kebanyakan dari mereka sih tidak mau menggantikan karena emang lebih mudah mengkritik.
Kalau ada anak muda yang datang ke Romo Wanta dan berkata, “Romo, nanti 10 tahun lagi biar saya saja yang khotbah. Romo duduk saja. Pasti senang sekali ya Romo?”
Salam,
Edwin ST
apakah ngobrol, berbincang-bincang tentang Sabda Tuhan dan karyaNya yang dibawakan oleh seorang awam katolik dalam ibadat Sabda dalam komunitas basis (atau kring) dapat disebutkan juga homili ?
Piet Yth
Ngobrol ttg sabda Tuhan dalam ibadat sabda bukan homili tetapi renungan atau sharing iman. Pembawa homili selalu Uskup atau Imam (diakon klerus) dalam konteks perayaan ekaristi.
salam
Rm Wanta
shalom buat semua Tim Katolisitas,
seperti yang anda tahu,bahwa saudara kita protestan banyak melakukan siaran rohani di radio-radio,melakukan pewartaan sabda2 Tuhan,berdiskusi dan melakukan pelayanan bagi orang2 yang mengalami kesulitan dalam hidup. saya ingin bertanya, mengapa Katolik tidak seperti itu juga?melakukan siaran rohani. karena saya sering mendengarkan siaran2 tersebut setiap malam hari dan semakin menambah pengetahuan saya tentang Alkitab serta Ajaran Yesus sendiri. apakah sebenarnya Katolik juga melakukan siaran seperti itu?tapi karena saya tidak menemukannya jadi saya kira Katolik tidak melakukan siaran rohani…
Terima Kasih..
Salam Damai dan Sejahtera untuk kita semua dalam Kasih KRISTUS…
Marc Yth
Siaran radio untuk renungan rohani agama katolik ada di beberapa kota yang diproduksi oleh Lumen Indonesia. Silahkan anda mencari di internet browsing lumen indonesia akan menemukan banyak pengajaran melalui radio. Komisi Komsos KWI juga bekerjasama dengan banyak siaran televisi dan radio silakan anda buka mirifica.net. Anda bisa juga melihat karya komsos KWI di situs tsb. Untuk orang yang mengalami kesulitan di paroki-paroki juga sudah ada ruang konseling dan bantuan pelayanan untuk doa. Jakarta di Shekinah dimana PDKK Keuskupan Agung Jakarta juga melayani hal yang sama seperti anda tanyakan. Puskat Ykt dengan audiovisualnya membuat VCD dan DVD ttg renungan rohani, Taman Komunikasi Kanisius menyediakan buku buku rohani yang bermutu. Indonsiar bekerja sama dengan Puskat Ykt menyiarkan penyejuk rohani pagi hati tiap minggu silakan mencari tahu dg melihat jadwal tayangan di TV Indosiar akan menemukan hal itu. Semoga penjelasan ini bermanfaat.
salam
Rm Wanta
Saya adalah seorang pembaca setia katolisitas, namun baru pertama kali ini tergelitik untuk bertanya. Terima kasih atas artikel Romo Wanta tentang menyiapkan homilist. Romo menulis “Di antara bentuk-bentuk kotbah, homililah yang paling unggul yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri” (bdk. kan. 767). Romo Wanta, perkenankanlah saya bertanya mengenai akar kata homili itu sendiri. Homili itu kata dari bahasa apa dan artinya apa? Apa ada bedanya homili dengan Kotbah? Maaf saya sering mendengar kotbah-kotbah para pendeta yang berapi-api dan menarik perhatian dengan berbagai cara. Apakah itu boleh disebut homili juga? Apakah para imam Katolik tidak boleh memakai metode kotbah para pendeta yang berapi-api itu agar menarik perhatian umat? Maaf, kesan saya, para pastor Katolik itu kotbahnya bikin ngantuk, nadanya monoton, dan isinya kita semua sudah tahu, ilustrasinya kurang. Kesan saya, homili artinya kotbah yang monoton, sedangkan kotbah ialah homili yang bersemangat. Apakah homili memang harus begitu, beda dengan kotbah? Lagi pula, kami yang tinggal di Jakarta, misa di paroki-paroki dibatasi hanya satu jam, homili imam hanya 10 menit. Sering merasa kurang waktu untuk mengendapkan renungan dari Alkitab. Terima kasih sebelumnya.
Salam kasih dan hormat saya.
Adriana Primawati
Adriana Yth
Homili dari kata Yunani homilein artinya ngobrol, berbincang-bincang. Tentunya dalam konteks liturgi ekaristi homili berarti berbincang tentang Sabda Tuhan dan karya-Nya dalam kehidupan umat beriman. Kotbah dari kata bahasa Arab, maknanya lebih kepada memberikan renungan, ceramah. Maka dari sisi waktu durasinya homili lebih pendek dibandingkan kotbah. Homili selalu dalam konteks liturgi yang dirayakan saat itu dengan teks tertentu, sedangkan kotbah lebih pada tematis teks terpilih sesuai tema, dan pada umunya di luar perayaan ekaristi. Homili maksimum 15 menit kemudian dilanjutkan dengan pengendapan hening sejenak setelah homili kurang lebih 3 menit baru dilanjutkan lagi dengan Credo. Homili adalah puncak liturgi sabda (sabda yang didengarkan diwartakan oleh seorang imam). Sering para rama misa keburu dan tidak ada waktu hening sebaiknya ada waktu hening untuk pengendapan seperti yang anda inginkan.
salam
Rm Wanta
Terima kasih romo untuk artikel yang menarik ini.
Sekalipun tujuannya adalah untuk para kaum religius tapi umat awam sepertinya juga perlu tahu tahapan yang mesti ditempuh para imam agar homilinya berkesan dan tinggal membekas di hati umat.
Dalam menyikapi homili yang diberikan kita awam kita selayaknya memberi perhatian pada apa yang disampaikan. Saat ini masih banyak umat yang pilih-pilih romo karena homili yang disampaikannya. Semoga dengan ulasan yang disampaikan pada artikel ini homili yang disampaikan makin berkualitas sehingga tidak akan ada lagi kita dengar umat lebih memilih satu dua romo untuk menghadiri misa hanya karena homili yang disampaikannya ‘lebih baik’ (menurut mereka) dari romo-romo yang lainnya.
Rgds, Budi
Yth. Rm Wanto,
Sebenarnya saya amat tertarik untuk memperoleh jawaban Romo terhadap komentar dan pertanyaan yang diajukan sdr. Adriana mengenai kesannya, dan kesan amat banyak umat tentang banyak imam Katolik yang khotbahya dikatakannya “bikin ngantuk, nadanya monoton, dan isinya kita semua sudah tahu, ilustrasinya kurang”. Karena kesan itu rasanya cukup meluas di kalangan umat Katolik sehingga mestinya para imam sudah mengetahui hal ini juga. Bagaimana hal ini disikapi dan ditanggapi oleh pimpinan Gereja Katolik dan para imam pada umumnya? Adakah kajian yang dilakukan terhadap masalah ini, dan adakah ditemukan hal-hal yang perlu dibenahi sehubungan dengan kesan umat yang demikian?
Terima kasih untuk tambahan dan kelengkapan jawabn terhadap masalah yang diungkapkan pada pertanyaan sdr. Adriani.
Salam hormat,
Soenardi
Bapak Soenardi Yth
Ini jawaban saya atas komentar sdrai Adriana dan bapak sendiri. Pertama harus diakui bahwa ketrampilan berkotbah berhomili di mimbar tergantung pada faktor kemampuan komunikasi yang ada dalam diri imam. Jujur tidak semua imam memiliki kemampuan berkomunikasi secara mumpuni bisa dikembangkan dengan baik. Kesalahan pada kurang ada nya pengembangan diri dalam hal komunikasi di depan publik atau tidak mau belajar atau tidak memiliki kemampuan sama sekali (yang ini agak ‘celaka’). Pada hal imam seharusnya adalah komunikator ulung tentang Sabda Tuhan. Maka seorang imam dituntut bisa memberikan kotbah atau homili yang baik. Sekarang apa standarnya homili atau kotbah yang baik? Bermacam macam karena kebutuhan umat pendengar berbeda. Tapi dari sisi liturgi, homili yang baik adalah membawa kegembiraan batin dan peneguhan iman bagi para pendengar saat Ekaristi kudus. Itulah yang pokok. Kini komisi liturgi KWI akan mengeluarkan buku panduan tentang homili. Semoga dibaca para imam dan jika imam anda belum punya sampaikan ada buku itu, syukur kalau membelikannya. Kami di KWI sudah semaksimal melakukan pelatihan komisi komsos mengadakan kursus public speaking dan public appearance ke seminari tinggi seluruh Indonesia. Semoga kerja keras ini membuahkan hasil. Jika pastor paroki anda dirasakan kurang membawakan homili yang baik bisa ikut kursus ini hubungi komisi KWI Jakarta.
salam
Rm Wanta
Comments are closed.