Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Saat kita merenungkan Injil hari ini, Perumpamaan tentang Penabur, kita diundang untuk mempertanyakan respons kita terhadap Firman Tuhan. Apakah kita seperti benih yang jatuh di pinggir jalan, tanah yang berbatu, semak duri, atau tanah yang baik?
Paus Benediktus XVI pernah mengatakan, bahwa di awal perjalanan rohani kita, seringkali kita dikuasai oleh rasa ketakutan. Rasa ketakutan ini datang dari kekhawatiran jika seandai nya kita merespons Tuhan dengan sepenuh hati, maka bersamaan dengan penyerahan diri kita kepada Tuhan, kita pun harus mau melepaskan apa yang terasa familiar dan nyaman di hidup kita. Rasa ini bisa dibandingkan seperti seorang anak yang memegang erat-erat kelereng berwarna, dan sang anak takut bahwa melepaskannya akan membuat tangannya menjadi kosong. Yang anak itu tidak bisa melihat adalah di balik tangan Tuhan Yesus yang meminta kelereng tersebut, adalah suatu permata indah yang tak ternilai yang siap diberikan Tuhan kepada sang anak. Tetapi anak itu justru malah menjadi takut kehilangan batu yang telah menjadi begitu familiar, sehingga dia menolak untuk membuka tangannya untuk dapat menerima permata tersebut. Kadang inilah kondisi kita. Dalam memegang yang familiar, kita melewatkan kesempatan untuk menerima kekayaan tak terbandingkan yang Tuhan sediakan untuk kita.
Mari kita lihat kehidupan Santo Agustinus sebagai contoh. Jalannya menuju iman tidak selalu lurus; ada masa ketika dia mirip tanah berbatu, menentang Firman Tuhan, terjerat dalam hiburan dan bahkan dosa duniawi. Namun, meski dalam pergulatannya, Firman Tuhan terus ditaburkan kepadanya.
Pengalaman mendalam tentang belas kasihan Tuhan mengubah Santo Agustinus dari tanah yang berbatu menjadi tanah yang baik dan subur. Santo Agustinus membuka hatinya untuk menerima Firman Tuhan di usia yang tidak lagi belia. Namun, dia tetap menghasilkan buah buah hikmat dan kebajikan yang begitu luar biasa, dan kisah hidup pertobatannya, ajarannya masih menyentuh banyak dari kita sampai hari ini. Dalam pengakuannya yang mendalam tentang kasih Tuhan, dia menyatakan, sekalipun nampaknya dia ‘lambat’ untuk menyadari keindahan Tuhan yang begitu megah, nyatanya Tuhan tidak pernah berhenti memanggil dan memanggil dia sampai ketulian rohani nya ahirnya terbuka. ( Late have I loved you, O beauty ever ancient, ever new. You have called to me and have called out, and have shattered my deafness).
Santo Agustinus, seperti anak yang akhirnya membuka tangannya untuk dapat menerima berlian terindah, menemukan bahwa apa yang awalnya dia takuti akan kehilangan, ternyata tidak sebanding dengan keindahan dan kegembiraan dalam mengenal dan mengasihi Tuhan. Menemukan Tuhan, katanya, adalah petualangan terbesar di dalam hidupnya.
Ini membawa kita kembali kepada kebijaksanaan Paus Benediktus XVI, yang mengingatkan kita bahwa ketakutan kita bahwa Tuhan akan mengambil sesuatu berharga dari kita tidak berdasar dan ketakutan itu malah justru seringkali menyebabkan kita menjadi salah arah. Ketika kita menjadi tanah yang subur dan siap menyambut Firman Tuhan, kita tidak akan kehilangan apapun, tetapi sebaliknya akan mendapatkan segalanya. Tuhan tidak akan merampas kegembiraan kita, Dia justru memperbesarnya dengan suka cita Nya yang tidak ternilai. Dia akan merawat kita, menjaga pertumbuhan spiritual kita sehingga hidup kita bisa menghasilkan buah yang berlimpah.
Saudara-saudari, kita semua pernah menemukan diri kita pada berbagai tahap dari perjalanan rohani ini kita. Beberapa dari kita mungkin merasa seperti anak itu, ragu untuk melepaskan batu. Tetapi mari kita ingat bahwa kita sedang mengejar berlian, suatu suka cita yang jauh lebih besar. Kita dipanggil untuk menjadi tanah yang subur, untuk menyambut Firman Tuhan dengan hati yang terbuka, untuk membiarkan ajaran-Nya meresap ke dalam kehidupan dan tindakan sehari-hari kita, dan membiarkan sabda Tuhan mengubah kita. Sama seperti yang ditemukan oleh Santo Agustinus, ketika kita membuka tangan kita yang mengepal dan kita mempercayai janji Tuhan, kita tidak kehilangan apa pun, tetapi mendapatkan segalanya.
Dalam kebiasaan kehidupan sehari-hari kita, marilah kita menjadi semakin terbuka akan kasih dan anugerah Tuhan yang luar biasa. Mari kita ingat bahwa setiap tindakan kebaikan, setiap momen pengampunan, setiap saat melangkah keluar dari zona nyaman kita dalam iman, adalah langkah kita untuk menjadi tanah yang semakin subur, yang akan mengantar kita ke petualangan terbesar dalam mencari, mengenal dan mengasihi Tuhan.
Amin.