Pertanyaan:
Dear Romo,
Thanks for the answer. Satu lagi sy mau tanya, apakah dosa jika seseorang yg beragama Katolik datang ke upacara pernikahan gereja temannya yg menikahi seorang Kristen? mengapa dan apa alasannya?
Sy punya teman yang menolak untuk menghadiri (walau hanya sbg tamu) upacara pernikahan temannya yang akan menikah dgn seseorang beragama Kristen dengan dalih bahwa hal itu dilarang oleh hukum gereja Katolik.
Regards,
angela
Jawaban:
Shalom Angela,
Sebenarnya hal menghadiri upacara perkawinan adalah pilihan bebas dari setiap orang yang diundang, sama seperti sang pengundang mempunyai kebebasan mengundang siapapun yang dianggap tepat untuk diundang. Maka, seseorang bebas untuk datang atau tidak datang ke suatu undangan upacara perkawinan. Jika teman anda menolak untuk menghadiri upacara perkawinan temannya, tentulah ada alasannya, apalagi jika ia mengatakan bahwa perkawinan itu sesungguhnya tidak memenuhi persyaratan perkawinan yang sah menurut Hukum Gereja Katolik.
Sesungguhnya andapun dapat memeriksa, terutama jika anda juga mengenal dengan baik sahabat anda itu, apakah ada halangan/ cacat dalam perkawinan yang akan dilangsungkan itu. Jika ada, maka wajarlah jika anda atau teman anda itu memutuskan untuk tidak menghadiri perkawinan itu, terutama jika pemahamannya tentang kehadiran dalam upacara/ perayaan perkawinan adalah turut memberikan restu dan dukungan kepada perkawinan tersebut. Jika di mata Gereja Katolik, perkawinan itu cacat dan sesungguhnya tidak sah, maka apakah kita sebagai umat Katolik mau turut merestui perkawinan tersebut atau tidak? Tentu hal ini terpulang kepada hati nurani masing- masing; namun tentu jika seseorang menolak untuk menghadiri undangan tersebut, itu adalah haknya secara pribadi.
Seperti telah dituliskan oleh Romo Wanta (selengkapnya, klik di sini), berdasarkan Kitab Hukum Kanonik 1983, kan. 1057 ada tiga syarat bagi perkawinan yang sah menurut hukum Gereja Katolik, yaitu: 1) dilaksanakan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempunyai kemampuan legitim untuk melaksanakan perkawinan itu, yakni tidak terhalang oleh halangan yang menggagalkan dari hukum ilahi atau hukum positif (gerejawi dan sipil); 2) adanya saling kesepakatan tanpa cacat mendasar untuk perkawinan; 3) secara publik dilaksanakan dengan tata peneguhan yang diwajibkan hukum, yakni sebagaimana dituntut oleh hukum gereja atau negara. Dengan perkataan lain, jika tidak dipenuhi ketiga syarat ini, maka sebenarnya perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sah sebagai perkawinan secara hukum Gereja Katolik. Jadi hal yang membatalkan perkawinan menurut hukum kanonik adalah: 1) halangan menikah (untuk mengetahui tentang apa saja yang termasuk di dalamnya, klik di sini); 2) cacat konsensus; dan 3) cacat forma kanonika (untuk penjelasan point 2 dan 3, klik di sini)
Sebagai contohnya, jika salah satu dari pasangan sudah pernah menikah secara sah (walaupun menurut agama lain), maka sesungguhnya ia tidak dapat menikah lagi secara sah menurut hukum Gereja Katolik (ini termasuk halangan menikah, lih. Kan. 1085). Atau jika pasangan menikah untuk alasan yang salah, misalnya demi memperoleh ijin tinggal di luar negeri, sehingga tidak ada niatan yang sungguh untuk terus mempertahankan kesetiaan perkawinan (ini termasuk cacat konsensus, lih. Kan. 1101, §2). Atau kalau salah satu pihak dari mempelai adalah Katolik, namun ia merencanakan pemberkatan perkawinan di gereja non-Katolik, tanpa meminta ijin dari pihak Ordinaris/ keuskupan (ini termasuk cacat forma canonica, lih. Kan. 1108). Sebab pada dasarnya, tanpa ijin dari otoritas Gereja, tidak diperbolehkan adanya perkawinan campur antara seorang Katolik dengan seorang Kristen non- Katolik (lih. Kan. 1124). Namun demikian, pihak Ordinaris dapat memberikan ijin, jika terdapat alasan yang adil dan masuk akal, dengan kondisi: 1) pihak Katolik harus berjanji untuk tetap Katolik dan berusaha sekuat tenaga untuk membaptis dan mendidik anak- anak secara Katolik, 2) pihak yang non- Katolik menyadari janji dan kewajiban dari pihak yang Katolik ini; 3) kedua pihak harus menerima instruksi tentang tujuan dan hakekat perkawinan Katolik (lih. Kan. 1125).
Jadi nampaknya, masalahnya bukan apakah Gereja Katolik melarang umat Katolik untuk hadir di upacara perkawinan yang diadakan di gereja non- Katolik. Sebab larangan itu memang tidak ada. Yang ada adalah Gereja Katolik menetapkan syarat- syarat suatu perkawinan yang sah menurut hukum kanonik, yang mengikat umat Katolik dan pasangan yang menikah dengan seorang Katolik (walaupun ia non- Katolik). Nah, jika ada di antara syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka dapat dimengerti jika seorang Katolik yang diundang memutuskan untuk tidak menghadiri undangan tersebut, karena kemungkinan keputusan ini dibuat sesuai dengan hati nuraninya, yang tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan ketentuan Gereja Katolik. Namun sebaliknya, jika yang menikah keduanya bukan Katolik (bahkan bukan Kristen) maka ketentuan hukum kanonik, terutama forma canonica tidak mengikat pasangan yang menikah itu. Maka, jika umat Katolik diundang ke upacara pemberkatan perkawinan non- Katolik ini, dan jika tidak ada halangan menikah dalam perkawinan tersebut -sehingga hati nuraninya tidak menghalanginya untuk turut merestui/ mendukung perkawinan itu- maka tentu saja ia dapat menghadiri upacara maupun perayaan perkawinan tersebut.
Demikianlah Angela, tanggapan saya atas pertanyaan anda. Semoga dapat menjadi masukan buat anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Saya mencoba membagikan refleksi seputar perkawinan katolik:
Dasar dari perkawinan katolik adalah Bebas, Sadar/Tahu dan Mau serta SALING Mencintai:
1. Bebas: sebagai syarat bahwa perkawinan dilakukan oleh orang dengan bebas dan tanpa paksaan. Dia memang terpanggil untuk menikah. Dalam hal ini berlaku untuk kedua pribadi, pasangan perkawinan ini.
2. Sadar / Tahu: Menyadari dan mengetahui hakikat perkawinan katolik dengan segala hal-ighwal tentangnya: tujuan, ciri dan sifat serta syarat-syaratnya. Diandaikan hal ini diperoleh dari belajar sendiri dan dilengkapi dalam kursus persiapan perkawinan;
3. Mau: setelah menyadari dan mengetahuinya, dan dengan bebas memilihnya, kemudian mau melaksanakannya.
4. Dan ketiga hal di atas baru bisa dilaksanakan kalau sudah terbukti bahwa mereka saling mencintai dengan pengertiaan cinta yg benar seturut ajaran Tuhan. Point² ini terutama akan diketahui dalam proses penyelidikan kanonik.
Dengan pengertian dasar ini, maka:
1. Mustinya tidak akan pernah dilangsungkan perkawinan katolik bila salah satu saja dari unsur hakiki di atas tidak terpenuhi.
2. Unsur hakiki itu sama sekali bukan sesuatu yg membelenggu atau yg bertentangan dengan kebebasan, sebab justru kebebasan yg sejati tercermin di sana, yakni ketika orang memilih menikah, tanpa paksaan siapapun. Sama dengan pilihan utk beriman menjadi katolik (atau memilih agama apapun: krn ini termasuk Hak Azasi Manusia)
3. Jika pilihan dgn bebas sdh dijatuhkan, maka tentu segala hal yg berkaitan dengan tanggungjawab atas dasar pilihan itu, diterima dan dilaksanakan dengan sukarela pula, dalam hal ini, segala aturan dalam hukum perkawinan katolik. Akan menjadi aneh kalau orang hanya menerima sebagian dan menolak sebagian lain atau malah mengharapkan diperlakukan sesuai keinginannya sendiri.
4. Selalu ada kekecualian², misalnya utk kasus² khusus perkawinan beda agama atau beda gereja; namun semuanya telah diatur sedemikian rupa secara katolik. Maka di sinipun mustinya aturan²nya diterima dan disadari amat berguna bagi kepentingan “iman” pihak yg katolik. Akan menjadi aneh, kalau ada yg katolik, yg justru malah merasa dirugikan.
5. Ketika seseorang setelah mengalami proses semua di atas, tetap merasa bahwa itu sesuatu yg membelenggu dan kemudian memilih untuk menikah secara lain, menjadi rancu kalau ia meminta tetap dianggap katolik; akan lebih tepat bhwa dia memutuskan meninggalkan iman katolik. Saya kira tak seorangpun berhak mengguggatnya. Itu jauh lebih mulia, ketimbang ia malah menggugat aturan dan hukum perkawinan katolik. Kita harus yakin, itu hukum terbaik yg dimaksudkan untuk melayani kita: kita sdh dengan bebas memilih jadi katolik, tentu dengan bebas pula rela menerima segala aturannya.
6. Lalu kenapa harus ada janji perkawinan? Ya karena kita tidak pernah tahu apa yg akan terjadi setelah perkawinan berlangsung. Maka janji menjadi pengikat: apapun yg terjadi sehat maupun sakit, untung maupun malang, suka maupun duka ;itu tidak akan mengubah cinta yg sdh diikrarkan.
Soal cinta-mencintai:
1. Bila cinta itu memang bersifat universal, maka memang kita dimungkinkan untuk saling mencintai dengan siapapun, orang dari agama apapun. Artinya: kalau kita bisa memutuskan untuk mencintai seseorang dari agama lain, kenapa kita tidak bisa mencintai seseorang dari agama sendiri? Proses memilih jodoh memang bukan perkara mudah, tapi tidak sebetulnya untuk orang yang memahami bahwa cinta itu universal, apalagi memahami cinta Kristus.
2. Bila cinta benar-benar menjadi dasar perkawinan, maka tak mungkin ada perceraian, apalagi bila sdh ada anak dlm keluarga itu. Tak akan pernah valid perceraian terjadi dengan alasan demi kepentingan anak, itu pasti demi kepentingan egoisme. Sebab kalau demi anak bercerai bisa, kenapa rujuk dan bersatu malah tidak bisa?
3. Tak pernah ada kehidupan keluarga tanpa problem, tetapi problem yg terjadi setelah perkawinan sah dilakukan, tak pernah valid bila dijadikan alasan utk menggagalkan perkawinan. Saling mencintai itu adalah syarat mutlak perkawinan bisa dilangsungkan, namun saling mencintai tanpa syarat itulah isi dari menghayati perkawinan. Maka kalaupun ada problem, sebesar apapun problem, dia tidak akan memenuhi syarat utk alasan bahwa orang boleh tidak saling mencintai lagi.
4. Kalau kita mencintai seseorang, kita disebut tidak lagi egois, dan dengan kata SALING Mencintai berarti kita tidak saling egois.
Kita melihat betapa Agung panggilan Tuhan dalam hidup perkawinan katolik: Monogami, tak terceraikan, diakukan dengan TAHU/SADAR, BEBAS dan MAU, untuk kesejahteraan Suami-Istri dan Anak: gambaran rahasia besar dari relasi Kasih antara Kristus dengan Gereja. Dan semua itu dijanjikan di depan Allah, Gereja dan orang yg hadir: menjadi tanda bhwa mereka berdualah yg sedang mewartakan apa yg telah dengan bebas dan sadar serta mau mereka pilih. Oleh karenanya mereka sendirilah yg saling menerimakan Sakramen Perkawinan: yg lain hanyalah saksi bagi mereka.
Sesuatu yg terbaik normalnya juga yg tersulit dilaksanakan, yg tersulit dipahami, yg tersulit diatur. Tapi itulah yg benar, maka mari kita tak tergoda utk menjadikannya mudah, krn sangat mungkin justru menjadi salah. Hukum Perkawinan Katolik, dengan segala detilnya musti kita hayati sebagai hukum terbaik untuk kita, dan kita punya tugas untuk menjalankannya dan juga mewartakannya.
Salam dan doa. GBU.
Saya mau tanya :
1.Saya Katholik tapi menikah dengan non -muslim…jika memang dikatakan bahwa Katholik tidak melarang pernikahan beda agama, mengapa ada persyaratan bahwa untuk dapat menikah secara gereja Katholik, suami n istri harus mengadakan perjanjian : Anak yang dilahirkan kelak harus dididik secara Katholik?
2.Jika saya dan suami tetap menjalani agama masing-masing setelah menikah dan tidak pernah mempersoalkan beda agama di antara kami? Tapi secara Katholik saya tidak boleh menerima sakramen Ekaristi? Apa yang harus saya lakukan jika saya ingin menerima tanpa harus melakukan perjanjian seperti no.1?
3.Saya ingin sekali dunia ini tenang dan damai tanpa harus mempermasalahkan agama…apakah mungkin?? Padahal ibarat kita menuju suatu tempat, agama hanyalah kendaraan yang kita tumpangi sehingga bisa sampai ke tempat tujuan kan? Tapi kenapa kendaraan justru memperumit keadaan???
Makasih.
Fransiska yth
Gereja melarang bahkan ada halangan perkawinan yang diadakan beda agama atau beda Gereja. Bukan Gereja tidak melarang, Gereja melarang dan halangan. Namun nah ini penting, kemurahan Gereja Katolik, karena situasi sosial, budaya, hukum, politik setempat tidak memungkinkan perkawinan Katolik-Katolik karena pluralitas agama di tempat itu, maka Gereja memberi kemurahan dalam bentuk dispensasi dan izin untuk beda Gereja. Tapi jangan disalahgunakan!! Gereja Katolik melindungi pihak Katolik agar tidak murtad, maka ada perjanjian dengan pihak non Katolik, tentang kebebasan beragama pihak Katolik, karena sering pihak Katolik lemah dan diperdaya sehingga mengalami perpisahan pada akhirnya. Pihak non Katolik wajib mengetahui norma perkawinan Katolik, hormat pada pasangan yang Katolik, dan pendidikan Katolik bagi anak-anak. Anda bisa hidup damai dengan saling menghormati tapi tidak mengekang pihak lemah (perempuan Katolik lagi) untuk ke Gereja, jangan ada intimidasi pada akhirnya harus murtad. Inilah yang dijaga dan tidak diinginkan Gereja Katolik, maka ada perjanjian. Silakan hidup beragama menurut keyakinan masing-masing tapi pokok adalah hormat, saling menerima dan menghargai satu sama lain. Pihak Katolik diharapkan tetap beriman Katolik. Anda bisa komuni jika perkawinan secara kanonik, karena hukumnya begitu, wajib pihak Katolik kalau menikah sesuai forma kanonika Gereja Katolik. Kedamaian ada kalau batin dan iman saya dihargai tanpa ada tekanan. Perkawinan itu perbuatan kerohanian, bukan hanya duniawi (sosiologis), tapi ada aspek religius. Melibatkan Tuhan, maka mau tidak mau melibatkan iman dan agama yang dianutnya. UU no. 1 1974 masih berlaku akan direvisi perkawinan menurut agama masing-masing. Dunia damai kalau saling menghargai, hormat, dan ada keadilan. Dalam keluarga ada harmonis sejahtera kalau saling hormat dan percaya satu sama lain. Dengan demikian perkawinan masih menyoalkan agama karena menyangkut hal rohani. Semoga dapat dipahami.
Salam
Rm Wanta
Dear Romo,
Bagaimana jika suami tetap tidak mau membuat perjanjian itu karena suami tidak mau anaknya mendapat didikan secara Katholik?
Shalom Fransiska,
Nampaknya sang wanita itu sendiri yang perlu memutuskan akan hal ini, sebab Romo atau siapapun tidak dapat memaksakannya. Pertanyaan yang perlu direnungkannya adalah, sejauh mana ia menganggap bahwa iman Katolik menjadi sesuatu yang sangat berharga baginya, yang ingin diturunkannya kepada anaknya? Sebab jika ia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang berharga yang perlu dipertahankan dan diturunkan kepada anak yang dikasihinya, maka tidak ada seorangpun yang dapat memaksanya. Namun kalau ia menganggap iman Katolik sungguh berharga dan oleh karena itu ia akan berjuang sedapat mungkin untuk menurunkannya kepada anaknya, maka ia akan mengusahakan agar suaminya dapat memahami dan menyetujui (dalam artian mengetahui dan tidak menentang) niat baik ini. Jika suami tetap tidak menyetujui atau bahkan menentangnya, maka kembali keputusan ada di tangan wanita itu, akankah ia ‘mengorbankan’ niat baik itu demi mengikuti kehendak suaminya? Apalagi jika kemudian pihak suami mengharuskannya pindah agama, maka pertanyaannya adalah, sejauh mana iman Katolik itu berharga/ berarti bagi dirinya sendiri? Sejauh mana ia menghayati bahwa Gereja Katolik adalah sarana keselamatan? Seharusnya pertanyaan ini sudah didiskusikan dan dipahami sebelum perkawinan diteguhkan. Agaknya yang perlu ditanya bukan Romo atau siapapun, tetapi hati nurani sang wanita itu sendiri. Semoga Roh Kudus membantunya membuat keputusan yang sangat penting ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Fransiska,
Saya kutipkan Kanon 1125: 1. Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik; 2. Mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak Katolik itu, pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik;
Kemudian Kanon 1126 menyebutkan tugas Konferensi Waligereja menentukan cara pernyataan dan janji yang dituntut itu dalam tata lahir, dan cara memberitahu pihak tidak Katolik. Dalam hal ini misalnya, para Waligereja Regio Jawa menentukan caranya ialah dengan “surat pernyataan tertulis” di mana pihak tidak Katolik ikut tandatangan di bawah keterangan “mengetahui”. Di sini ia harus mengetahui bahwa pihak Katolik berusaha sekuat tenaga untuk mendidik dan membaptis anak-anak yang lahir dari perkawinan ini, dan pihak non- Katolik tidak menentangnya.
Buku Statuta Keuskupan Regio Jawa, terbitan Kanisius, 1995, pada hlm 85 lampiran 4 menyebutkan FOMULIR JANJI PIHAK KATOLIK. Di situ pihak tidak Katolik hanya diminta tandatangan di bawah kata “mengetahui”, letaknya di samping kolom tandatangan pihak Katolik yang berjanji itu. Jika pun tetap menolak bahkan hanya di bawah kata “mengetahui” (padahal memang sudah diberitahu, dan bahkan janji pihak Katolik ini pun diucapkan di hadapan pastor penyelidik Kanonik di mana si pihak tak Katolik ini juga mendengarnya dengan jelas), maka tidak masalah, karena pastor hanya perlu menambahkan keterangan: “Pihak Tak Katolik Menolak menandatangani kolom ini”, lalu pastor pemeriksa kanonik menandatangani keterangan itu.
Secara administratif sesuai tuntutan hukum Gereja, mudah saja begitu, namun secara pastoral dan usaha pendidikan anak-anak bagi pasangan itu merupakan preseden dan perlu usaha lebih keras, daripada jika si tidak Katolik mau tandatangan “mengetahui” itu.
Catatan saya: “Agama” dalam hal ini Gereja Katolik, menurut Anda hanya “kendaraan” namun bagi kita kendaraan yang perlu dan jelas bagi tujuan keselamatan, karena itulah Kristus mendirikan Gereja-Nya ini. “Lumen Gentium 14”: Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan baptis (lih. Mrk 16:16; Yoh 3:5). Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Salam Romo,
dengan penjelasan diatas, dapat membuka pikiran saya bahwa memang demikian aturan gereja katolik tentang perkawinan antara umat katolik dengan umat non-katolik. saya seorang teman, sekarang dia telah menjalini pernikahan dengan seorang lelaki non katolik (protestant), tetapi mereka meminta agar mereka dapat menerima sakrament perkawinan. Namun dari sang suami agar pernikahan di jalan dengan mengikuti gereja protestant dan gereja katolik. karena masing-masing mempertahankan agama nya.
semoga dari penjelasan diatas dapat berguna bagi kedua teman tersebut.
saya akan menjelaskan kepada mereka tentang perkawinan beda agama.
Salam damai dalam Kristus Yesus
“Fortiter In Re, Suaviter In Modo”
Aquilino Amaral
Shalom Aquilino,
Cara termudah adalah, silakan anda menganjurkan agar pasangan tersebut menemui Pastor paroki calon pengantin yang Katolik, dan silakan mereka mendapatkan pengarahan di sana. Pemberkatan perkawinan hanya dapat dilakukan sekali saja, jadi tidak bisa dengan cara Katolik dan Kristen non- Katolik. Pemberkatan secara Katolik tidak mengharuskan pasangan yang non- Katolik tersebut untuk menjadi Katolik, namun ada persyaratan yang harus dipenuhi, seperti telah dijabarkan di atas. Jika pihak suami (yang non- Katolik) berasal dari gereja yang masuk dalam PGI, yang baptisannya diakui oleh Gereja Katolik, maka pemberkatan perkawinan mereka dapat dikatakan sebagai sakramen. Jika suami tidak menjadi Katolik, maka perkawinan mereka ini termasuk katagori perkawinan campur beda gereja, tetapi bukan perkawinan beda agama.
Semoga menjadi lebih jelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Berkah Dalem
Romo, saya mau bertanya, saya seorang Katholik dan saya menikah secara Islam karena pacar saya dulu hamil di luar nikah dan akhirnya saya menuruti untuk menikah secara Islam demi anak yang sedang dikandung. Saya masih janggal dengan status perkawinan saya, apakah syah di hadapan Tuhan, sampai sekarangpun keluarga saya banyak pertengkaran dan selisih paham. Masalah agama anakpun jadi perebutan, sampai ga boleh saya bawa ke gereja. Saya menyesal atas perlakuan buruk yang saya alami dulu. Mohon petunjuk Romo..
Leonardos Yth
Sebaiknya anda ke pastor paroki dan meminta bimbingan konseling keluarga. Cobalah bicara baik baik dengan pasangan anda dan anda bisa dibereskan keabsahan perkawinan. Jika dia mau lalu mulailah hidup baru. Memang inilah problem utama hidup perkawinan orang muda sekarang, mau cepat bondo nekat menikah, tapi tanpa persiapan, akhirnya kalang kabut. Kalau sudah begini merawat dan menyembuhkannya agak susah, kecuali ada kemauan dari pihak pasangan untuk datang ke konseling keluarga. Leonardos coba refleksikan mengapa kamu dulu memilih dia, ada cinta? Apakah dia masih mencintaimu? Bagaimana komunikasi harian anda sekarang dengan dia? Bicarakah dari hati ke hati. Carilah jalan terbaik untuk kita dalam perkawinan, bukan untuk masing-masing.
salam
Rm Wanta
Dear Romo dan pengasuh Katolisitas
Terkadang sy letih mendengar semua perihal hukum2 gereja Katolik, menurut sy terlalu banyak ini itu yg sangat complicated padahal bagi sy, agama tertentu tidak menjamin perilaku seseorang. Banyak sekali contoh buruk yg dilakukan oleh orang-2 beragama termasuk Katolik. Teman sy menikah secara Katolik, dia meninggalkan istrinya dan anaknya dan berselingkuh di tempat kerja, banyak sekali kejadian yg tidak baik pun terjadi dalam keluarga2 yg katanya sangat spiritual.
I am so sorry but I don’t believe any specific church anymore. I believe in God only.
Thanks buat reply nya anyway.
Regards,
Angela
Shalom Angela,
Terima kasih atas tanggapannya. Sebenarnya, kalau kita masuk menjadi anggota dari sebuah perkumpulan, masuk dalam sekolah, atau hidup dalam keluarga, atau mengendarai mobil di jalan raya, maka kita harus memberikan diri kita untuk mengikuti peraturan yang berlaku. Dan peraturan ini diperlukan untuk menjaga kebaikan bersama (common good). Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita capai untuk mematuhi peraturan berkendaraan dan kemudian memutuskan untuk berjalan terus walaupun lampu merah menyala. Kalau kita nekad melakukannya, maka kita dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
Saya tidak ingin menutupi bahwa ada sebagian umat Katolik yang tidak menjalankan imannya dengan baik, sehingga menjadi batu sandungan. Namun, sama benarnya bahwa ada sebagian umat dari agama lain, juga ada yang tidak menjalankan imannya dengan baik sehingga juga menjadi batu sandungan. Kalau anda ingin menilai agama Katolik, lihatlah dari orang-orang yang benar-benar menjalankan iman Katolik, seperti para santa-santo.
Anda mengatakan “I am so sorry but I don’t believe any specific church anymore. I believe in God only.” Pertanyaannya adalah apakah anda sekarang tidak ke gereja lagi? Dan kalau anda masih ke gereja non-Katolik, apakah parameter yang anda gunakan untuk memilih denominasi tersebut? Kalau anda hanya mempercayai Tuhan saja apa halangannya anda tetap berada di dalam Gereja Katolik? Apakah tidak ada Tuhan di dalam Gereja Katolik? Jadi, Tuhan seperti apa yang anda percayai? Apakah ada gereja tertentu yang menawarkan Tuhan persis seperti yang anda inginkan? Kalau anda mau berdiskusi lebih lanjut, silakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya berikan dalam warna merah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Anda mengatakan “I am so sorry but I don’t believe any specific church anymore. I believe in God only.” Pertanyaannya adalah apakah anda sekarang tidak ke gereja lagi? Dan kalau anda masih ke gereja non-Katolik, apakah parameter yang anda gunakan untuk memilih denominasi tersebut?
Jawaban: Tidak sama sekali, sy berdoa di rumah.
Kalau anda hanya mempercayai Tuhan saja apa halangannya anda tetap berada di dalam Gereja Katolik? Apakah tidak ada Tuhan di dalam Gereja Katolik? Jadi, Tuhan seperti apa yang anda percayai?
Jawaban: Banyak sekali halangannya yang membuat sy heran. Contohnya tanggapan Komen Vinsensius yg menjelekan umat Protestan, dia bilang bahwa umat Protestan itu cuma mau memperbanyak jemaat maka mereka maksa menginjili orang-orang dan juga mereka itu harusnya berdoanya duduk manis dan diam ga usah jingkrak-jingkrak (What a pathetic comment, menjala manusia itu adalah perintah Tuhan dan Daud pun menari dan bersorak pada saat memuliakan Tuhan, sy jabarkan lengkap jawaban ini di email sebelumnya namun tidak dimuat oleh Katolisitas) lalu juga tanggapan seorang umat Katolik lain yg seolah menganggap sy itu murtad krn sy tidak mau lagi ke gereja Katolik….what a very very much more pathetic comment….tau ga sih apa itu apostasy atau murtad? Wong sy tetep Jesus’ follower kok dibilang murtad….itulah…banyak dari mereka yg belagu abis…kesannya: gue Katolik..lu semua ga ada yg sebagus gue…!
Sy tidak menutup mata banyak kok orang agama lain yg juga seperti itu..makanya itu sy bilang, sy tidak berada pada agama tertentu, gereja tertentu…sy percaya pd Yesus saja…capek hati kalo memikirkan kaum dan komunitas agama2 tertentu.
Apakah ada gereja tertentu yang menawarkan Tuhan persis seperti yang anda inginkan?
Jawaban: tidak! Tuhan hidup di hati sy….lebih baik sy focus memperbaiki diri sy, memperbaiki perilaku dan hati nurani sy…menjalani hidup sy hanya dengan Yesus yang tidak akan pernah meninggalkan sy. Terserah deh dibilang apapun…who cares…sy tidak bisa membuat dunia setuju dengan sy…but I will always love You…Jesus….to give up, I would be a fool!
Angela
Shalom Angela,
Terima kasih atas jawaban anda. Dari jawaban anda, maka anda mengatakan bahwa sebelumnya anda ke Gereja Katolik dan sekarang anda tidak pernah ke gereja manapun, karena bagi anda yang penting adalah berdoa secara pribadi dan yang terpenting adalah mengasihi Yesus dan anda tidak mau terikat dengan gereja manapun. Kalau anda tidak mau mengikat diri pada satu institusi, maka apakah yang benar-benar anda percayai? Apakah anda mempercayai Kristus yang hadir secara nyata dalam Ekaristi (lih. Mat 26:26-29)? Apakah anda mempercayai bahwa Kristus mendirikan satu Gereja dan Kristus memberikan kunci Kerajaan Sorga kepada rasul Petrus (lih. Mat 16:16-19)? Kalau anda percaya bahwa Kristus mendirikan Gereja dan anda tidak mau masuk ke dalamnya, bukankah sikap ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Kristus? Kalau anda tidak mempercayainya, maka apakah dasar dari argumentasi anda dan bagaimana anda yakin bahwa argumentasi yang anda berikan adalah benar?
Terus terang, situs ini ditujukan untuk orang-orang yang ingin membahas ajaran Gereja Katolik dan bukan membahas kejelekan-kejelekan, yang dapat dilakukan oleh umat Katolik maupun non-Katolik. Dengan demikian, saya tidak akan melayani diskusi yang tidak berhubungan dengan dogma dan doktrin. Jadi, kalau alasan anda untuk tidak ke Gereja Katolik hanyalah karena anda melihat ada komentar atau kehidupan orang-orang Katolik yang kurang sesuai dengan apa yang anda inginkan, maka pertanyaan saya adalah apakah iman anda tergantung dari perlakuan orang-orang? Kalau alasan anda pindah bukan karena alasan perasaan pribadi melainkan karena pencarian akan kebenaran, maka silakan menyebutkan satu doktrin Gereja Katolik yang menurut anda telah menyimpang dari Kitab Suci dan tidak lagi sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Kristus.
Saya tidak tahu komentar mana dari anda (sebelum tanggal 21 Juli saat anda membuat tanggapan ini) yang menyangkut dogma dan doktrin yang belum ditampilkan di situs ini. Akhirnya, tidak ada seorangpun yang dapat memaksa anda untuk tetap tinggal di dalam Gereja Katolik. Kami dapat menghimbau, mendoakan, namun akhirnya keputusan ada di tangan anda. Selama alasan yang anda kemukakan adalah bersifat pribadi, alasan perasaan, dll, maka kami tidak dapat membantu. Namun, kalau anda mempunyai alasan untuk menggali lebih dalam tentang kebenaran iman Katolik, maka dalam keterbatasan, kami akan menjawab pertanyaan anda semampu kami. Dan tentu saja, kalau suatu saat anda ingin kembali ke Gereja Katolik, maka Gereja – yang adalah ibu – akan senantiasa menantikan dan menyambut anda kembali. Semoga dapat dimengerti.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Pak Stef,
Inilah komen dari Doktor Scott Hahn. Seorang Prof Theology anti-Katolik yang berpindah ke Gereja Katolik…mari bicara tentang dogma dan doktrin…
I like to ask my students whenever I teach the course on the theology of marriage, “How many religions teach strict monogamy and mandate that in their practice?” Usually the response is, “Well, doesn’t Judaism? What about Christianity, both Protestant and Catholic varieties?” Then I shock them by saying none of them except Catholic Christianity. Judaism has practiced or at least allowed for polygamy through the ages. It wasn’t until 1948 that the Yemenite rabbis for strategic purposes forbade polygamy. But you look at Abraham, you look at Jacob: Abraham had two, Jacob had two wives and two concubines. Solomon not to be outdone had seven hundred wives and three hundred concubines. There’s one religion in the history of mankind that has mandated and enforced strict monogamy and that’s the Catholic Church.
_________________________________________________________________
Oke…so it seemed that Abraham only belongs to non Catholics Church..but wondering why I saw Abraham’s name in Catholic bible too while Scott said bad words about him….
For me…people do make mistakes…Like King David..but he repented and God saved him…the most important is to accept God’s love in your life…
I know people…who got married more than once…and they are Catholic…they are allowed to re-marry. ..sad but true in the Catholic churches…blessed by Catholic Fathers..(I knew about annulment…but how could someone be given twice annulment?)
I personally against Scott H views…His wife wrote: What do you call someone who father more than one family? A Scoundrel….
Awesome Emily!….a very very “P” comment…….no comment…you will be angry when ever I against Scott H….
Shalom Angela,
Terima kasih atas komentarnya. Namun silakan menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan sebelumnya:
Dari jawaban anda, maka anda mengatakan bahwa sebelumnya anda ke Gereja Katolik dan sekarang anda tidak pernah ke gereja manapun, karena bagi anda yang penting adalah berdoa secara pribadi dan yang terpenting adalah mengasihi Yesus dan anda tidak mau terikat dengan gereja manapun. Kalau anda tidak mau mengikat diri pada satu institusi, maka apakah yang benar-benar anda percayai? Apakah anda mempercayai Kristus yang hadir secara nyata dalam Ekaristi (lih. Mat 26:26-29)? Apakah anda mempercayai bahwa Kristus mendirikan satu Gereja dan Kristus memberikan kunci Kerajaan Sorga kepada rasul Petrus (lih. Mat 16:16-19)? Kalau anda percaya bahwa Kristus mendirikan Gereja dan anda tidak mau masuk ke dalamnya, bukankah sikap ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Kristus? Kalau anda tidak mempercayainya, maka apakah dasar dari argumentasi anda dan bagaimana anda yakin bahwa argumentasi yang anda berikan adalah benar?
Jadi, kalau alasan anda untuk tidak ke Gereja Katolik hanyalah karena anda melihat ada komentar atau kehidupan orang-orang Katolik yang kurang sesuai dengan apa yang anda inginkan, maka pertanyaan saya adalah apakah iman anda tergantung dari perlakuan orang-orang? Kalau alasan anda pindah bukan karena alasan perasaan pribadi melainkan karena pencarian akan kebenaran, maka silakan menyebutkan satu doktrin Gereja Katolik yang menurut anda telah menyimpang dari Kitab Suci dan tidak lagi sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Kristus.
Dan berikut ini adalah tanggapan yang dapat saya berikan terhadap tanggapan anda yang baru.
1. Sebenarnya apa yang ingin anda diskusikan? Apakah anda ingin mengatakan bahwa anda tidak setuju tentang perkawinan monogami yang dijunjung tinggi oleh Gereja Katolik? Apakah anda ingin mengatakan bahwa sebenarnya Gereja Katolik tidak mendukung perkawinan monogami? Kalau memang anda berpendapat demikian, silakan memberikan bukti secara DOKTRINAL. Mohon untuk memberikan point diskusi yang jelas, sehingga diskusi dapat berjalan dengan baik dan tidak melebar ke mana-mana.
2. Tentang apa yang ditulis Scott Hahn secara lengkap dapat dibaca di sini – silakan klik. Artikel di bagian tersebut hanya ingin mengemukakan bahwa Gereja Katolik benar-benar menghormati lembaga perkawinan. Dan memang tokoh-tokoh di dalam Perjanjian Lama mempunyai beberapa istri. Namun, agama Kristen bukan hanya bergantung pada Perjanjian Lama. Bahkan Gereja Katolik senantiasa menekankan pentingnya membaca Perjanjian Lama dalam terang Perjanjian Baru. Dan inilah yang dikatakan oleh Yesus “Lalu kata Yesus kepada mereka: “5 Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. 6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, 7 sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, 8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.” (Mrk 10:5-8)
Artikel tersebut bukan ingin merendahkan para leluhur kita dalam iman, seperti Abraham, Daud, Salomo, dll., melainkan, ingin memberikan gambaran bahwa memang pengajaran di dalam Perjanjian Baru adalah lebih sempurna. Dan kesempurnaan pengajaran Kristus ini yang terus dipertahankan oleh Gereja Katolik. Pertanyaan saya, apakah anda setuju dengan pengajaran Gereja Katolik tentang monogami dan yang mempunyai hukum Gereja yang mengatur hal ini? Kalau anda tidak setuju apa alasannya?
Anda memberikan contoh kasus-kasus. Pertama anda dan saya tidak tahu secara persis kejadiannya seperti apa. Kedua, kalaupun kejadian tersebut benar, hal ini tidak mengubah bahwa Gereja Katolik mempunyai sistem untuk menegakkan kehidupan perkawinan. Anggaplah bahwa keputusan tribunal di situ tidaklah benar. Namun, hal ini tidak membuktikan bahwa Gereja Katolik tidak mendukung perkawinan monogami. Atau dengan kata lain, Gereja Katolik mempunyai sistem yang mengatur itu, mempunyai sistem hukum yang lengkap, mempunyai perangkat hukum yang lengkap untuk membuat perkawinan sebagai sesuatu yang benar-benar penting dan tak terceraikan. Dengan kata lain, dari beberapa kasus yang dianggap salah (tentu saja hal ini harus dibuktikan apakah memang benar salah atau tidak. Anda dan saya tidak mempunyai data yang lengkap untuk membuktikannya), kita tidak dapat mengeneralisasi bahwa seluruh institusinya tidak benar.
Saya belum menemukan kutipan asli dari Kimberly Hahn seperti yang anda berikan. Namun, kalaupun kutipan benar, secara prinsip kita dapat melihat bahwa seorang laki-laki yang menjadi kepala dari beberapa keluarga – dengan kata lain poligami – berada dalam kondisi dosa berat. Pertanyaan saya, apakah anda tidak menyetujui bahwa poligami adalah berdosa atau apakah anda tidak setuju dengan istilah yang diberikan oleh Kimberly Hahn? Kalau alasannya yang kedua, silakan menulis surat secara langsung kepadanya. Namun, kalau keberatan anda adalah karena alasan pertama – poligami berdosa – maka silakan memberikan argumentasi.
Sekali lagi, saya ingin menghimbau anda, agar diskusi berfokus pada doktrinal. Dan kalau anda ingin melanjutkan diskusi ini, silakan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya beri warna merah. Saya mohon maaf, bahwa saya tidak dapat memasukkan komentar anda lebih lanjut, sebelum anda menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Semoga dapat dimengerti.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam kasih Angela,
Bila Yesus memberikan perumpamaan terakhir tentang Kerajaan Sorga seperti pukat yang dilabuhkan ke laut, yang mengumpulkan semua jenis ikan, yang baik maupun yang tidak baik. Adakah pukat yang dapat menjaring semua jenis ikan yang baik saja?
Andai kata kita seekor ikan, termasuk jenis ikan apa kita ini? Ikan yang ikut terjaring dalam pukat itukah? Atau seekor ikan yang bebas tak terjaringkah? Bila ya,
-Apakah kita seekor ikan paus yang besar dan bermegah dalam kesendirian dengan resiko terdampar dan mati terkapar di tepi pantai?
-Apakah kita seekor ikan dolphin dalam kelompoknya sendiri bernyanyi ceria dan meloncat bebas hingga sulit ikut terjaring oleh pukat itukah?
-Apakah kita seekor ikan hiu yang ganas yang selalu menunjukkan gigi dan keagresifannya maka sangat kecil kemungkinan tertangkap dengan pukat saja?
-Apakah kita seekor ikan laut yang hidup tenang di kedalaman laut yang tak tersentuh sinar sang surya sehingga tidak mungkin terjangkau dengan pukat saja?
-Ataukah kita sejenis ikan laut lainnya yang berenang bebas mengikuti arah selamatnya saja sehingga tidak perduli terjaring atau tidak oleh pukat nantinya?
Dalam Misa pagi ini saya dengan tulus turut mendoakan bagi anda, menceritakan pada Yesus perasaan hati anda. Dengan terang kasih-Nya, kita yang jujur akan melihat dengan baik dan jelas untuk bertindak benar dalam merasakan kasih kemurahan-Nya. Damai sejahtera.
Peace and Best Wishes
Anastasia Rafaela
Hi Anastasia,
Terimakasih atas doanya…terima kasih atas perumpaan nya yg luar biasa bijak
but I am not a fish, you are neither..We both are humans…fishes do not need to worry about things as human..they do not work, they do not feel hurted, they do not worry about laws…they only look for food..breeding and keeping their eggs safe…..that’s it…
I will never compare myself with a fish…If I were a fish, I would not be knowing about God….
Small fishes do not go to school…they only know about food…so I think life as a human is not comparable as life as a fish…hope u understand :) thankz
angela
[dari katolisitas: saya pikir kalau perumpamaan juga tidak dapat diterima dan tidak dapat dimengerti, maka diskusi ini tidak perlu dilanjutkan. Kita doakan saja.]
Angela,
Manusia diatur lewat hukum. Itu anda harus mengerti. Andaikan sahaja jika dunia ini bebas tanpa hukum dan undang undang, apa yang akan terjadi? Perlu anda ketahui, hukum dan undang undang diberikan bukan untuk menjadikan dunia ini sempurna. Sorga lah tempat yang sempurna. Maka selagi anda dan saya masih ada didunia ini, kita masih butuh hukum untuk melindungi kita dan juga mejadi pegangan dalam hidup. Sedangkan alam ini sahaja ada hukumnya, contoh yang paling simple: Terbit dan terbenamnya matahari, itulah buktinya dunia ini ditadbir oleh hukum alam yang telah ditetapkan oleh TUHAN. anda dan saya juga terikat dalam hukum alam, iaitu kita semua akan menjadi tua dan akhirnya akan mati. Maka sadarilah, maksud hukum itu wujud adalah untuk MENGATUR dan bukan untuk tujuan yang sia sia.
Sekian
To: Linda
Memang betul manusia itu diatur lewat hukum dan sy sangat mempercayai hukum2 Tuhan…
Kenapa ya susah sekali menjelaskan di sini…sy tidak akan pernah meninggalkan Tuhan namun yg sy tekankan di sini, agama tertentu tidak menjamin perilaku dan hati nurani seseorang.
Ya sudahlah, tidak menghadiri pernikahan sy ya tidak apa kok…drpd repot dan ribet berdebat terus.
Angela
Shalom Angela,
Terima kasih atas komentarnya. Sedari awal, memang situs ini didirikan untuk memaparkan pengajaran iman Katolik. Menjadi hak anda untuk mempunyai pendapat dan bertahan dengan pendapat anda, namun adalah menjadi hak kami untuk menjelaskan sesuai dengan pengajaran iman Katolik. Tidak ada yang dapat memaksa anda untuk menerima penjelasan kami. Diskusi tentang agama, silakan diteruskan di sini – silakan klik. Kami tidak mempersoalkan siapa yang menikah, apakah teman anda atau anda sendiri, namun yang dapat kami berikan adalah prinsip-prinsip iman yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Angela yang terkasih,
Tiada agama pun yang menjamin perilaku dan hati nurani seseorang kerana itu bukan prinsip agama. Agama cuma MENGAJAR perilaku yang dapat diterima oleh manusia bermasyarakat.
Hati nurani seseorang itu juga bukan dijamin oleh sesiapapun tetapi oleh orang yang empunya dirinya sendiri. Perilaku seseorang dan hati nurani seseorang itu ditentukan oleh dirinya sendiri, tetapi Tuhan menjadi hakim atas apa yang ditentukan oleh perilaku dan hati nurani orang itu sendiri.
Maka agama menjadi panutan bagi orang yang mau belajar dengan rendah hati tentang berperilaku dan MENERAPKANNYA dalam hidupnya sehari hari. Gagalnya seseorang itu MENGAPLIKASIKAN perilaku tersebut bukanlah salah agama itu sendiri tetapi adalah kelemahan dari dalam diri kita sendiri. Jadi, yang harus belajar adalah kita sebagai manusia yang berakal dan mempunyai hati nurani dalam menentukan perilaku dan cara berfikir kita sehari hari. Dan apa yang hendak kita pelajari itu ada dalam sistem yang kita kenali sebagai AGAMA.
Sekian Salam Kasih
Dear Romo,
Thanks for the answer. Satu lagi sy mau tanya, apakah dosa jika seseorang yg beragama Katolik datang ke upacara pernikahan gereja temannya yg menikahi seorang Kristen? mengapa dan apa alasannya?
Sy punya teman yang menolak untuk menghadiri (walau hanya sbg tamu) upacara pernikahan temannya yang akan menikah dgn seseorang beragama Kristen dengan dalih bahwa hal itu dilarang oleh hukum gereja Katolik.
Regards,
angela
[Dari Katolisitas: pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
romo……..
bgaimna dngan in……..
ad tmnd sya wanita in dy mnjlin hubungn sma non kristiani (islam)……
apkah in wajar ato tdg………..
sdangkan org tua sang wanita in tdk stuju tp mrka in ttap mnjlin hubungan brdua tnpa d ketahuii oleh org tua.a…………..
dan sya memasuki hubungan mereka krn sya tau pasangan sang wanita in seorg muslim …..apkah hal in wajar……..
sya sngat prihatin sma cwe in karna dy mngkin trpngaruh olh lki2 in
Shalom Aldi,
Setiap orang berhak menentukan sendiri pasangan hidupnya, walaupun tentu diharapkan juga ia sudah siap untuk menerima pasangannya apa adanya dan menanggung segala resikonya. Tentu resiko akan lebih besar ditanggung oleh mereka yang menikah beda agama, karena secara obyektif akan ada lebih banyak hal kesulitan, penyesuaian, pengorbanan dan toleransi yang harus diterapkan di antara mereka berdua. Melihat hal ini, maka wajar jika orang tua yang mempunyai lebih banyak pengalaman dalam hidup berkeluarga, menasehati anak-anaknya agar tidak mencari pasangan yang berbeda agama. Adalah hak orang tua untuk mendidik anaknya demikian, walaupun pada akhirnya sang anak juga yang harus dengan bertanggungjawab memutuskan.
Mungkin yang perlu disampaikan untuk menjadi perhatian kepada teman Anda itu adalah pada saat pemberkatan perkawinan itu. Sebab sebagai orang Katolik ia seharusnya menikah di Gereja Katolik walaupun pasangannya non-Katolik. Jika tidak demikian, apalagi jika sampai ia mengucapkan syahadat agama lain, maka sesungguhnya dengan perbuatan itu ia meninggalkan Gereja Katolik. Hal inilah yang perlu menjadi bahan permenungannya, apakah ia sungguh-sungguh mau melakukan hal tersebut. Sebab jika demikian, sesudah menikah, ia tidak dapat lagi menerima Komuni kudus, sebab ia telah memisahkan diri sendiri dari kesatuan dengan Gereja Katolik.
Maka silakan Anda memeriksa diri Anda sendiri juga apakah motivasi Anda masuk dalam hubungan teman Anda itu. Jika motivasi Anda adalah kasih yang murni sebagai sahabat, maka saya rasa wajar. Anda dapat saja mengingatkan teman wanita Anda itu tentang resiko perkawinan beda agama, namun keputusannya ada pada teman Anda itu yang dengan hati nuraninya dapat menentukan tentang hal ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.