[Minggu Paskah V, Kis 14:21-27; Mzm 145: 8-13; Why 21:1-5; Yoh 13:31-35]
Injil hari ini mengingatkan akan perintah Tuhan Yesus yang sudah sering kita dengar. Yaitu, perintah baru untuk saling mengasihi. Mungkin kita bertanya, “Apanya yang baru? Bukankah sejak zaman dulu sabda Allah mengajarkan kita agar mengasihi sesama?” Ternyata pertanyaan yang sama ini pernah dijawab oleh St. Agustinus, demikian: “Dan kini Ia [Yesus] mengajar mereka…: ‘Sebuah perintah baru Kuberikan kepadamu, agar kamu saling mengasihi.’ Tapi bukankah hukum lama telah berkata, ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’ (Im 19:19)? Lalu mengapa Ia [Yesus] menyebutnya perintah yang baru? Apakah karena perintah itu melucuti manusia lama dalam diri kita dan memakaikan pada kita manusia yang baru? Yaitu bahwa perintah tersebut memperbarui pendengarnya, atau lebih tepatnya, pelakunya? Cinta kasih memang melakukan ini; tetapi yang dimaksud di sini adalah kasih yang Tuhan bedakan dengan kasih jasmani. ‘Kasihilah sesamamu, seperti Aku telah mengasihi kamu.’ Tidak dengan kasih yang dengannya manusia mengasihi satu sama lain, tetapi dengan kasih anak-anak Allah yang Mahatinggi, yang menjadi saudara-saudara bagi Putra-Nya yang Tunggal. Maka, kasihilah satu sama lain dengan kasih yang dengannya Kristus telah mengasihi mereka dan kasih ini akan memimpin mereka kepada pemenuhan kerinduan mereka…. Ini adalah kasih yang Tuhan bedakan dari semua kasih manusiawi, ketika Ia menambahkan, ‘seperti Aku telah mengasihi kamu’. Dengan mengasihi kita, Ia [Kristus] mengasihi Allah [Bapa] di dalam kita… sehingga Ia dapat berada di dalam kita. Karena itu, marilah kita mengasihi satu sama lain, supaya oleh kasih ini, setiap kita membuat sesama kita menjadi tempat kediaman Allah” (St. Augustine, Catena Aurea, John 13:33-35).
Jadi yang baru dari perintah kasih itu adalah: Kasih itu sendiri, yang kita sampaikan kepada sesama kita. Sebelum kita menjadi murid Kristus, kita mengasihi dengan kasih yang bersifat manusiawi. Namun setelah kita menjadi murid Kristus dan hidup di dalam Dia, Kristus menghendaki agar kita mengasihi seperti Dia mengasihi, yaitu dengan kasih yang bersifat ilahi. Betapa besar kasih yang telah Kristus nyatakan kepada kita, sehingga Ia rela menyerahkan nyawa-Nya untuk menyelamatkan kita. Kasih ilahi ini tidak menghitung untung rugi, namun tulus dan terus setia memberi, walau itu menuntut pengorbanan. Kasih ini mengusahakan agar sesama kita dapat menerima rahmat keselamatan. Bunda Teresa pernah mengajarkan tentang kasih yang seperti ini. Katanya, “Aku harus mau memberi apa pun yang diperlukan untuk berbuat baik kepada sesama. Ini mensyaratkan bahwa aku mau memberi sampai terasa sakit. Sebab kalau tidak demikian, tak ada kasih sejati di dalam diriku…. Aku telah menemukan suatu paradoks, yaitu kalau kamu mengasihi sampai terasa sakit, maka tak akan ada lagi rasa sakit, hanya bertambahnya cinta kasih.” Tuhan Yesus telah mengasihi kita sehabis-habisnya sampai merasakan sakit sedemikian hebat di kayu salib. Namun di kayu salib itu, Yesus tidak mengingat sakit-Nya, namun kasih-Nya yang meluap tiada batasnya, kepada kita.
Nampaknya kasih yang semacam ini telah menjadi ciri khas para rasul dan jemaat perdana, seperti yang kita dengarkan di Bacaan Pertama. Para rasul menguatkan jemaat agar bertekun dalam iman, walaupun untuk itu mereka harus mengalami banyak sengsara (lih. Kis 14:22). Mereka dikejar-kejar oleh para penguasa, yang ingin menumpas umat Kristen. Mungkin tak terbayangkan bagi kita sekarang, betapa besar taruhannya untuk menjadi Kristen di abad-abad awal itu. Namun semangat mereka tidak pudar. Dengan doa dan puasa, para rasul itu menetapkan penatua-penatua jemaat—yaitu para imam—dan menyerahkan mereka kepada Tuhan. Pengorbanan kasih dari para rasul dan para imam tersebut membuahkan hasil. Semakin banyak orang, bahkan dari bangsa-bangsa lain, menjadi percaya kepada Kristus. Kita pun merupakan buah dari pewartaan iman para rasul dan para imam itu, sebab dari merekalah kita menerima karunia iman dan mengalami kasih karunia Allah. Melalui merekalah, kita menerima rahmat Allah, yang menjadikan kemah-Nya ada di tengah-tengah kita dan Ia tinggal bersama-sama dengan kita (lih. Why 21:3). Bukankah ini nyata secara khusus dalam sakramen Baptis dan Ekaristi yang kita terima melalui Gereja-Nya? Sebab melalui sakramen- sakramen-Nya, Allah sungguh tinggal di dalam kita.
Saat kita merenungkan sabda Tuhan hari ini, marilah kita melihat betapa eratnya sabda Tuhan tersebut dengan pesan Konsili Vatikan II. Para Bapa Konsili mengajak kita agar kita bertumbuh dalam kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan kasih (lih. Lumen Gentium 40). Artinya, dalam persatuan dengan Kristus, kita dimampukan untuk mengasihi sesama dengan kasih Kristus. Dengan demikian, kita mengikuti jejak Kristus, yang membaktikan diri bagi kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama. Meskipun bisa jadi, itu melibatkan “rasa sakit” dari pihak kita. Namun dalam kesatuan dengan Kristus, semua itu akan diubah-Nya menjadi kasih yang mendatangkan kebahagiaan sejati, dan yang menjadikan kita bertumbuh semakin menyerupai Dia.
“Sebarkanlah kasih ke manapun engkau pergi. Pertama-tama di dalam rumahmu. Kasihilah anak-anakmu, istri atau suamimu, dan tetanggamu… Jangan biarkan seorang pun yang datang kepadamu tidak merasa lebih baik dan lebih bahagia. Jadilah perwujudan yang hidup akan kebaikan Tuhan; kebaikan di wajahmu, di matamu, di senyum-mu dan di dalam sapaanmu yang hangat” (St. Teresa dari Kalkuta).