Sumber gambar: http://www.warrencampdesign.com/heartyBoys-fpcc.com/part4/week67.html

[Hari Minggu Biasa XXXII: 2Mak 7:1-2,9-14; Mzm 17:1-15;  2Tes 2:16-3:5; Luk 20:27-38]

Tak terlukiskan rasa kagumku setiap kali mendengar kesaksian seseorang yang memilih untuk memberikan dirinya secara total untuk Kerajaan Allah, entah sebagai imam, biarawan atau biarawati. Aku kagum akan besarnya rahmat Allah yang tercurah kepada mereka, namun juga kemurahan hati mereka untuk menanggapinya. Mereka menjadi gambaran bagi dunia, tentang persatuan kasih dan kebahagiaan penuh di Surga yang bersumber pada Allah semata.

Perjalanan hidup kita di dunia ini memang menjadi semacam “persiapan” bagi penggenapannya di kehidupan yang akan datang, yaitu untuk persatuan dengan Allah. Karena itu, kalau kita benar-benar ingin masuk Surga, itu harus tercermin dari keputusan kita ketika dihadapkan pada pilihan: mau ikut dunia atau mau taat kepada Tuhan. Ini seperti apa yang kita dengar di Bacaan Pertama, tentang kisah ibu dan ketujuh anaknya yang memilih untuk menaati hukum Taurat, walaupun karenanya mereka dihukum mati (lih. 2Mak 7). Dalam konteks sekarang, di tengah berbagai tawaran dunia, kita juga dituntut untuk mentaati hukum Kristus. Hal kontras ini dapat mengemuka di banyak keadaan. Bagi pasangan suami istri: mau pilih untuk selingkuh atau setia memegang janji perkawinan? Bagi pasangan muda mudi yang belum menikah: mau pilih seks pranikah atau menjaga kemurnian? Bagi yang punya kecenderungan seksual pada sesama jenis: mau mengikuti dorongan nafsu atau mengendalikan diri? Bagi para pecandu dosa tertentu: mau jatuh lagi, atau meninggalkan kebiasaan buruk itu? Bagi pengusaha: mau korupsi atau jujur? Bagi rohaniwan rohaniwati: mau taat, hidup sederhana dan kudus atau sebaliknya? Di sepanjang hidup di dunia, kita dihadapkan pada banyak pilihan, dan pilihan yang kita buat saat ini mencerminkan apakah kita sudah siap untuk memasuki kehidupan kekal di Surga. Jika kita masih lebih memilih apa yang lebih diterima dunia daripada apa yang dikehendaki Allah, maka sebenarnya, perbuatan kita belum sesuai dengan harapan kita sendiri untuk masuk Surga. Jika kita masih jatuh bangun untuk menaati perintah Tuhan, firman Tuhan hari ini mengingatkan kita untuk bertobat dan kembali memilih Allah daripada kesenangan kita sendiri. Sebab hanya dengan demikian, kita dapat menjadi semakin serupa dengan mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam kehidupan kekal di Surga.

Injil hari ini memaparkan tentang penjelasan Tuhan Yesus tentang bagaimana keadaan mereka yang di Surga. Yesus menjelaskan hal ini untuk menjawab pertanyaan orang-orang Saduki tentang kasus seorang wanita yang dinikahi oleh seorang pria yang kemudian meninggal dunia tanpa dikaruniai anak. Lalu wanita itu dinikahi oleh saudaranya yang kedua sampai ketujuh, yang masing-masing meninggal, tanpa keturunan. Setelah itu, wanita itu pun meninggal. Orang-orang Saduki itu bertanya kepada Yesus: setelah kebangkitan, menjadi istri saudara yang ke-berapa-kah wanita itu, karena ketujuhnya telah beristrikan dia. Sepertinya, orang-orang Saduki ini sengaja menyusun kisah yang ekstrim, supaya sepertinya tidak bisa dijawab, tentang bagaimana akhir kisah percintaan yang ruwet itu, jika masih ada kehidupan setelah di dunia ini. Namun makna perkawinan menurut dunia memang tidak sama dengan makna perkawinan menurut Tuhan, yang memiliki dimensi gambaran kasih Allah kepada umat-Nya.    Firman Tuhan mengajarkan, agar suami  mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi Gereja-Nya, dan istri mengasihi suaminya seperti Gereja mengasihi Kristus (lih Ef 5:22-33). Dengan mengikuti teladan kasih yang total antara Kristus dan Gereja, suami dan istri mengambil bagian dalam kasih Allah, dan dengan demikian mereka saling menguduskan dan mempersiapkan diri bagi penggenapan kasih Allah itu di Surga. Demikian pula, mereka yang menjalani hidup selibat bagi Allah, yang telah dengan lebih jelas menyatakan hubungan kasih yang total itu, sejak hidup di dunia ini.

Jadi pikiran kaum Saduki memang tidak sejalan dengan pikiran Tuhan Yesus. Mereka tidak percaya akan adanya kebangkitan orang mati. Mereka tidak percaya bahwa jiwa manusia itu kekal, dan akan menikmati persatuan kasih yang sempurna dengan Allah, tentu jika ia taat setia kepada Allah. Maka setelah Yesus mengajarkan tentang adanya kebangkitan, dan bahwa Ia sendiri akan bangkit pada hari ketiga setelah kematian-Nya (lih. Luk 18:32-33), kaum Saduki  menyusun kisah tentang ketujuh saudara itu, untuk mencobai Yesus. Namun Yesus menjawab bahwa mereka yang dibangkitkan itu, “tidak kawin dan tidak dikawinkan, sebab mereka tidak dapat mati lagi….” (Luk 20:35-36). Bagaimana memahami pernyataan Yesus ini?  St. Agustinus menjelaskan, “Perkawinan adalah demi anak-anak, anak-anak ada demi kelanjutan keturunan dan kelanjutan keturunan ada, karena ada kematian. Karena itu, ketika tidak ada lagi kematian, tidak ada lagi perkawinan…. Karena percakapan kita tersusun dan dituntaskan oleh kepergian/ kesudahan dan kelanjutan suku-suku kata, demikian juga manusia itu sendiri… dengan kepergian dan kelanjutan, menyusun dan merampungkan keteraturan di dunia ini, yang  dibangun oleh keindahan benda-benda yang sifatnya hanya sementara. Tetapi di kehidupan yang akan datang, dengan melihat kepada Sang Sabda yang kita rindukan—yang terbentuk bukan dari kepergian dan kelanjutan suku-suku kata, tetapi semua yang Ia miliki, dimiliki-Nya secara kekal dan seketika—maka mereka yang mengambil bagian di dalam-Nya—yang bagi mereka Sabda itu sendiri menjadi hidup—tak akan berakhir oleh kematian, ataupun dilanjutkan dengan kelahiran, seperti bahkan sekarang ini terjadi pada para malaikat. Demikianlah dikatakan selanjutnya, sebab mereka menjadi sama seperti para malaikat. Sebab sebagaimana begitu banyak malaikat yang memang sangat besar jumlahnya, tetapi mereka tidak menjadi lebih banyak melalui kelahiran, melainkan mereka telah ada sejak penciptaan. Sehingga juga kepada mereka yang dibangkitkan kembali, mereka tidak lagi perlu untuk menikah….” (St. Augustine, Catena Aurea, Luk 20:27-40).

Maka “menjadi seperti malaikat” di Surga bukan berarti bahwa di Surga suami istri tidak saling mengenali dan mengasihi. Yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu bahwa kasih mereka akan menjadi sempurna di dalam Allah, sebab segalanya sempurna di Surga. Namun bahwa kebahagiaan mereka tidak lagi diperoleh dari hubungan perkawinan mereka, melainkan dari Allah sendiri, yang meraja di dalam semua (lih. 1Kor 15:28).

Mengakhiri renungan ini, mari kita mengarahkan hati kepada pengharapan iman kita akan keselamatan kekal. Biarlah doa Rasul Paulus ini meneguhkan kita, agar kita dapat selalu memilih untuk taat kepada Tuhan: “Semoga Tuhan menghibur dan menguatkan hatimu dalam segala karya dan tutur kata yang baik… Ia akan menguatkan hatimu dan akan memelihara kamu terhadap yang jahat… Kiranya Tuhan tetap mengarahkan hatimu kepada kasih Allah dan kepada ketabahan Kristus” (2Tes 2: 17; 3:3,5). Ya Allah Bapa, topanglah kami dengan rahmat-Mu, supaya kami dapat menjadi taat setia seperti Kristus dalam menjalani hidup kami di dunia ini. Supaya dengan demikian kelak Kau dapati kami boleh memperoleh keselamatan kekal. Amin.