Pertanyaan:

Shalom,
Pertanyaan pertama. Saya ingin bertanya lebih dalam lagi tentang cara menerima komuni dengan tangan karena adik saya pada penerimaan sakramen perkawinan puteranya pernah ditegur rama karena meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan saat hendak menerima komuni. Begitu juga ketika dia membuka mulutnya untuk menerima komuni. Jika kita menerima komuni dengan tangan kanan di atas tangan kiri, apakah boleh kita mengambil hosti tersebut dengan tangan kiri untuk dimasukkan ke dalam mulut? Ataukah kita dekatkan saja tangan kanan ke mulut sehingga hosti tersebut bisa langsung diambil oleh mulut kita?
Pertanyaan kedua. Apakah rotary dan lion club termasuk ke dalam gerakan fremason?
Terima kasih dan Tuhan memberkati. – Andryhart

Jawaban:

Shalom Andry,
Seperti sudah pernah dibahas sebelumnya, maka terdapat dua cara menerima komuni, yaitu dengan tangan atau langsung di mulut/ di lidah, dengan berlutut ataupun berdiri.

Dasarnya adalah dari Redemptionis Sacramentum, demikian:

RS 90    “Ketika menyambut Komuni, umat hendaknya berlutut atau berdiri, sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Konferensi Uskup” …. Tetapi jika Komuni disambut sambil berdiri, maka hendaklah umat memberi suatu tanda hormat sebelum menyambut Sakramen seturut ketetapan yang sama.

RS 91. …. Oleh karena itu setiap orang Katolik yang tidak terhalang oleh hukum, harus diperbolehkan menyambut Komuni. Maka tidak dapat dibenarkan jika Komuni ditolak kepada siapa pun di antara umat beriman hanya berdasarkan fakta misalnya bahwa orang yang bersangkutan mau menyambut Komuni sambil berlutut atau sambil berdiri.

RS 92    Walaupun tiap orang tetap selalu berhak menyambut komuni dengan lidah jika ia menginginkan demikian, namun kalau ada orang yang ingin menyambut komuni di tangan, di wilayah-wilayah  di mana Konferensi Uskup setempat dengan recognitio oleh Tahta Apostolik yang telah mengizinkannya, maka hosti harus diberikan kepadanya. Akan tetapi harus diperhatikan baik-baik agar hosti dimakan oleh si penerima pada saat masih berada di hadapan petugas komuni, sebab orang tidak boleh menjauhkan diri sambil membawa Roti Ekaristi di tangan. Jika ada bahaya profanasi, maka hendaknya komuni suci tidak diberikan di tangan.”

Berikut ini adalah cara menerima komuni yang benar:

  1. Dengan Mulut/ lidah
    • Berjalanlah ke hadapan Pastor/ petugas Prodiakon dengan tangan terkatup.
    • Sesaat sebelum giliran anda menyambut Hosti, anda maju dan tundukkanlah kepala anda dengan hormat untuk menghormati Kristus yang hadir dalam rupa Hosti kudus.
    • Ketika Pastor/ Prodiakon mengangkat hosti dan mengatakan “Tubuh Kristus”, pandanglah Hosti itu katakanlah “Amin” (artinya, Saya percaya)
    • Bukalah mulut anda dengan posisi lidah yang pantas agar Pastor/ petugas Prodiakon dapat meletakkan Hosti pada lidah anda.
    • Sambil anda kembali ke tempat duduk anda, anda dapat mengunyah Hosti itu, ataupun membiarkan Hosti itu hancur di mulut anda.
  2. Dengan Tangan
    • Berjalanlah ke hadapan Pastor/ petugas Prodiakon dengan tangan terkatup.
    • Sesaat sebelum giliran anda menyambut Hosti, anda maju dan tundukkanlah kepala anda dengan hormat untuk menghormati Kristus yang hadir dalam rupa Hosti kudus.
    • Letakkan telapak tangan, satu di atas yang lain, dengan terbuka menghadap ke atas. Tangan yang dipakai untuk mengambil Hosti diletakkan di bawah telapak tangan yang lain.
    • Arahkan telapak tangan anda dengan jelas, sehingga Pastor/ Prodiakon dapat melihat bahwa anda akan menerima Hosti dengan tangan.
    • Ketika Pastor/ Prodiakon mengangkat hosti dan mengatakan “Tubuh Kristus”, pandanglah Hosti itu katakanlah “Amin” (artinya, Saya percaya)
    • Setalah Hosti diberikan di telapak tangan yang teratas, ambillah Hosti tersebut dengan telapak tangan yang di bawah, dan segera letakkan hosti tersebut di mulut anda. (Jangan membawa hosti tersebut ke bangku anda/ kemanapun)
    • Sekembalinya anda ke tempat duduk anda, anda dapat mengunyah Hosti itu, ataupun membiarkan Hosti itu hancur di mulut anda.
    • Pastikan anda memakan serpihan Hosti (jika ada) yang mungkin jatuh di telapak tangan anda.

Maka memang tidak ada ketentuan apakah tangan kiri atau tangan kanan yang di atas/ di bawah. Bagi kita orang Timur, memang jika kita menyambut dengan tangan, maka tangan yang mengambil Komuni ke dalam mulut adalah tangan kanan, tetapi ini tidak berarti bahwa harus demikian, karena orang yang kidal mungkin lebih dapat menggunakan tangan kiri.

Yang jelas jika sudah menyambut dengan tangan, jangan mengambil Hosti dengan lidah, karena resiko Hosti jatuh lebih besar. Kecuali jika anda melihat ada serpihan Hosti di tangan, maka anda harus mengambilnya dengan lidah anda, untuk anda makan. Sebab kita percaya serpihan Hosti itu juga adalah Kristus.

Jika ingin menyambut Hosti dengan mulut/lidah, silakan menyambutnya dengan cara yang benar, pada point 1.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – https://katolisitas.org

19 COMMENTS

  1. Salam. Saya mendapatkan respon yang beragam dari pastor-pastor yang saya tanyai tentang ‘komuni berlutut-di lidah’:
    pastor 1: sebaiknya sama seperti yang lainnya di tangan-berdiri.
    pastor 2: boleh, tapi berdiri cukup.
    pastor 3: boleh, malah menunjukkan kesalehan.
    pastor 4: lebih baik di lidah tapi tetap berdiri.

    Saya sangat ingin komuni lidah-lutut. Terkadang saya bingung harus bagaimana. Di satu sisi, ingin menyambut Tubuh Kristus tidak seperti menyambut biskuit dengan berlutut-di lidah. Tapi, di sisi lain, seorang pastor pun malah kurang mendukung. Jadi ragu untuk berlutut-di lidah.
    Terima kasih banyak.

    [Dari Katolisitas: Mari mengacu kepada ketentuan yang dikeluarkan oleh Magisterium Gereja, tentang cara menerima Komuni, silakan klik. Imam dapat memberi masukan, namun pandangan mereka secara pribadi tidak mengikat kita. Yang menjadi patokan bagi kita adalah apa yang telah diajarkan oleh Magisterium, sebab pada akhirnya para imampun seharusnya mengacu kepada ajaran Magisterium Gereja.]

  2. Selamat Siang..

    Maaf Bapak Stef dan Ibu Ingrid, mau sharing dan bertanya.. ^^

    Syukur kepada Allah, karena saya lebih bisa menghayati perayaan Ekaristi sepanjang 3 bulan ini. saya merasa benar – benar seperti dicelikkan mata dan hati saya secara pribadi oleh pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib, untuk setiap tetesan darahNya yang MahaIndah, untuk setiap cintaNya yang dalam kepada kita..
    awalnya saya mencoba memberanikan diri untuk menerima komuni dengan lidah (karena mayoritas di gereja saya menerima komuni dengan tangan), karena baru awal, maka timbul perasaan dalam hati seperti : takut, malu (karena berbeda cara dari yg lain), dan juga ada perasaan tidak layak (karena menurut saya pribadi ini adalah cara yg benar2 spesial)..
    Minggu pertama saya terpaksa tidak menerima komuni, karena dalam perayaan ekaristi tersebut hati saya tidak atau belum bisa menjadi 1 dengannya (karena cara komuni ini sebenarnya bertentangan dengan apa yg saya alami selama ini). Jadi selama misa saya hanya bergumul dengan pemikiran2 sy yg konyol.. lalu minggu keduanya mulai ada rasa keberanian untuk menerima, rasa malu dan takut yg selama ini saya rasakan sudah hampir hilang.. namun saya juga memilih untuk tidak menerima komuni suci itu, karena saya tau kalau menerima komuni suci dengan hati yang tidak siap dan mantap maka hanya akan menyakiti hati Tuhan Yesus sendiri.. saya berusaha menceramahi hati saya seperti itu. Lalu syukur kepada Allah, pada minggu ketika ada kerinduan yang begiituu besar untuk dapat menerima komuni suci, saya tidak peduli walaupun cara saya ini berbeda dari yg lain, toh yang penting inilah cara penghayatan dan kemantapan hati saya.. akhirnya saya mampu untuk mengatasi diri sendiri.. dan ini berhasil.. dan tidak berhenti di situ, hosti yang saya terima benar2 seperti hidup.. Hosti yang telah menjadi tubuh dan darah ini seperti tinggal di atas lidahku, padahal wujudnya sudah tidak ada.. dan saya benar -benar merasakan sesuatu yang “Woow luaar biasa sekali”. Hosti yang tinggal di lidah ini bisa saya rasakan selama 10 hari, mungkin bisa lebih, karena pada hari yg ke 10 saya berbuat dosa.. dan saya sungguh menyesal karenanya.. rugi besar, karena dosa ini saya memutuskan untuk tidak menerima komuni lagi selama 2 minggu, ya.. itu semua karena saya merasa tidak pantas karena dosa2 saya, lalu saya berusaha bangkit dari dosa ini dan menemukan sesuatu yang baru bagi pengalaman rohani saya.. karena selama 2 minggu tidak menerima komuni ada kerinduan yang meluap2 dalam hati saya, dan pada minggu yang ketiga saya mengakukan dan menyesali dosa pribadi saya, dan memantapkan diri untuk menerima komuni suci lagi, dan benar saja.. hosti yang saya terima ini seperti membakar lidah saya selama 4 hari (rasanya seperti menyeruput minum teh/kopi panas), dan waktu itu saya jd ingat dalam katolisitas juga tertulis mengenai ini, kalau Hosti ini juga bagaikan kerubim dan serafim (kalau tidak salah^^)..
    Saya beruntung karena mengalami peristiwa ini.. dan sampai saat ini saya merasa sangat sedih karena banyak orang yang kurang mengerti makna sebenarnya dari perayaan ini.. demikian sharing singkat saya.. dan yang mau saya tanyakan adalah sekarang saya menemui sebuah hambatan.. ketika saya membaca sebuah buku yg mengenai sakramen ekaristi, dalam bukunya (kira2 terbitan tahun 2004) ada seorang Romo yang menuliskan bahwa menerima komuni suci dengan lidah merupakan suatu hal yang tidak pantas dan layak, dan beliau juga menambahkan sebuah ayat dari Surat Yakobus “3:5 Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.
    3:6 Lidah pun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka. “.

    mohon kesediaan dari Bapak dan Ibu untuk menjawab, (Minta tolong juga untuk mengoreksi tulisan saya bila ada yg salah.. Vielen Dank

    __________________________________________________________________________________________________________

    fiat mihi secundum verbum tuum

    • Shalom Yohanes,

      Sesungguhnya yang menghalangi seseorang untuk menerima Komuni kudus adalah jika ia dalam keadaan berdosa berat, dan bukannya karena ia masih menimbang-nimbang akan cara penerimaan Komuni (apakah di lidah ataupun di tangan). Sebab Komuni dapat diterimakan di mulut (di lidah) atau di tangan, dan kedua cara ini sah. Maka tak usah ragu untuk menerima Komuni di mulut (di lidah) jika memang Anda terpanggil untuk menerima dengan cara demikian; namun juga tidak salah menerima Komuni di tangan.

      Pengalaman Anda tentang menerima Komuni di lidah, lalu ada semacam perasaan hangat di mulut Anda yang bertahan selama berhari-hari, itu adalah pengalaman subyektif dan bukan bagian kami untuk memberi komentar. Sebab yang terpenting dalam penghayatan iman adalah bukan perasaan tetapi ketatan. Jadi sepanjang Anda dapat taat beriman (melaksanakan perintah/ kehendak Tuhan), tidak menjadi masalah, apakah Anda menerima Komuni di tangan atau di lidah, apakah akan mengalami perasaan hangat atau tidak. Jika Anda mengalami pengalaman-pengalaman rohani yang mendukung penghayatan iman Anda, bersyukurlah, namun pengalaman/ perasaan-perasaan tersebut bukan yang utama.

      Kalau Anda ingin mengutip sesuatu untuk mendukung pertanyaan/ argumen Anda, silakan disertakan sumbernya yang lengkap sehingga dapat diperiksa. Sebab menurut ajaran Magisterium kedua cara penerimaan Komuni ini sah dan dapat dilakukan, sehingga tidak pada tempatnya menghubungkan ayat Yak 3:5-6 dengan cara menerima Komuni di lidah/mulut. Harap disadari bahwa menerima Komuni dengan tangan juga akhirnya dimasukkan ke mulut. Jadi ayat Yak 3:5-6 ini harap diartikan sesuai dengan konteksnya, yaitu agar kita menjaga ucapan/ perkataan yang keluar dari mulut kita, agar jangan sampai dengan lidah kita memuji Tuhan, tetapi dengan lidah yang sama kita mengutuk sesama (lih. Yak 3:9-10).

      Walau kedua cara sama-sama diperbolehkan, namun catatan sejarah Gereja menunjukkan, bahwa sebenarnya penerimaan Ekaristi langsung ke mulut inilah yang dianjurkan oleh sebagian besar Bapa Gereja dan para orang kudus. Hal ini sudah pernah ditulis di artikel tanya jawab ini, silakan klik.

      Selanjutnya, dalam Instruksi VI tentang sejumlah hal yang perlu dilaksanakan ataupun dihindari berkaitan dengan Ekaristi kudus, Redemptionis Sacramentum, menuliskannya tentang penyambutan Komuni, demikian:

      90. “Ketika menyambut Komuni, umat hendaknya berlutut atau berdiri, sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Konferensi Uskup” …. Tetapi jika Komuni disambut sambil berdiri, maka hendaklah umat memberi suatu tanda hormat sebelum menyambut Sakramen seturut ketetapan yang sama.

      91. …. Oleh karena itu setiap orang Katolik yang tidak terhalang oleh hukum, harus diperbolehkan menyambut Komuni. Maka tidak dapat dibenarkan jika Komuni ditolak kepada siapa pun di antara umat beriman hanya berdasarkan fakta misalnya bahwa orang yang bersangkutan mau menyambut Komuni sambil berlutut atau sambil berdiri.

      92. Walaupun tiap orang tetap selalu berhak menyambut komuni dengan lidah jika ia menginginkan demikian, namun kalau ada orang yang ingin menyambut komuni di tangan, di wilayah-wilayah  di mana Konferensi Uskup setempat dengan recognitio oleh Tahta Apostolik yang telah mengizinkannya, maka hosti harus diberikan kepadanya….”

       

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Salam Damai Sejahtera

        Kepada tim katolisitas,apa d perbolehkan seorang romo “memaksa” umat untuk menerima dengan lidah?
        *memaksa disini begini kasus nya,ada seorang romo yg pd akir misa m’ingatkan pd umat bahwa cara menerima komuni yg BENAR dengan cr dengan lidah..(Maaf bukan maksud sy untuk berteriak dng m’gunakan huruf besar pd kata benar)
        Apa cr” pemaksaan spt itu d perkenankan?

        Mohon tanggapan dn bimbingan nya,

        Trima Kasi Berkah Dalem

        • Shalom Michael,

          Seharusnya tidak boleh ada pemaksaan terhadap suatu cara menerima Komuni, karena baik penerimaan dengan lidah maupun dengan tangan, itu diperbolehkan. Tetapi sejujurnya, saya meragukan apakah memang romo itu “memaksa”. Sebab cara menerima Komuni dengan lidah maupun dengan tangan itu sama-sama ada dasarnya. Kemungkinan Romo itu hanya mau menggarisbawahi apa yang dikatakan oleh dokumen Memoriale Domini bahwa, cara penerimaan Komuni dengan lidah, sebagaimana dilaksanakan dalam misa tradisional “ensures, more effectively, that holy communion is distributed with the proper respect, decorum and dignity” (memastikan dengan lebih efektif, bahwa Komuni suci dibagikan dengan penghormatan, sikap dan martabat yang sepantasnya).

          Ketentuan dari Redemptionis Sacramentum, tentang hal ini adalah:

          90. “Ketika menyambut Komuni, umat hendaknya berlutut atau berdiri, sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Konferensi Uskup” …. Tetapi jika Komuni disambut sambil berdiri, maka hendaklah umat memberi suatu tanda hormat sebelum menyambut Sakramen seturut ketetapan yang sama.

          91. Perlu diingat bahwa dalam membagi Komuni, “para pelayan rohani tidak boleh menolak pelayanan sakramen kepada orang yang memintanya secara wajar, berdisposisi baik, serta tidak terhalang oleh hukum untuk menerimanya”. Oleh karena itu setiap orang Katolik yang tidak terhalang oleh hukum, harus diperbolehkan menyambut Komuni. Maka tidak dapat dibenarkan jika Komuni ditolak kepada siapa pun di antara umat beriman hanya berdasarkan fakta misalnya bahwa orang yang bersangkutan mau menyambut Komuni sambil berlutut atau sambil berdiri.

          92. Walaupun tiap orang tetap selalu berhak menyambut komuni dengan lidah jika ia menginginkan demikian, namun kalau ada orang yang ingin menyambut komuni di tangan, di wilayah-wilayah di mana Konferensi Uskup setempat dengan recognitio oleh Tahta Apostolik yang telah mengizinkannya, maka hosti harus diberikan kepadanya….”

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Salam Damai Sejahtera

            Puji Tuhan bu,romo kmrn memberi penjelasan yg mendetail ttg komuni lidah dn tangan,spt yg bu inggrid jlskan kmrn,smoga umat d paroki kami smakin jlas dn tidak ada ptentangan lg m’enai hal komuni,mohon doa nya slalu,Amin

            Berkah Dalem

  3. Apakah kita diperkenankan menerima komuni di tangan??
    Karena menurut buku tentang santo-santa mengatakan bahwa komuni di tangan itu sangat dilarang. Dan juga bahwa para paus pun melarang keras akan hal itu.

    [Dari Katolisitas: silakan membaca artikel ini, silakan klik]

  4. Salam Damai Kristus,

    Sebaiknya saya langsung pada pertanyaan, yaitu :

    1. Pada saat komuni pertama, kami diajarkan untuk menerima Hosti Kudus dengan cara berlutut dan dengan lidah. Apakah itu berarti kami memang diajarkan bahwa cara yang lebih baik adalah dengan berlutut dan dengan lidah? Seolah-olah ada pesan dari pengajar, bahwa inilah cara menerima Hosti Kudus yang baik, namun “untuk selanjutnya terserah anda”. Karena ketika masih belajar, hanya satu cara yang diajarkan, bukan seperti pada kenyataan di lapangan.

    2. Salam Damai. Dulu, ketika saya masih kecil, tidak ada salam damai (bersalam-salaman dengan umat disekitar tempat duduk kita). Tetapi beberapa waktu kemudian, barulah ada salam damai ini, bahkan saya pernah melihat pastor sampai turun bersalam-salaman dengan umat, meninggalkan Yesus di altar. Bukankah berdamai dengan sesama dilakukan pada saat sebelum pergi atau masuk ke gereja? Tapi syukurlah, belakangan ini salam damai tidak dilakukan terlalu lama, sehingga kita dapat berkonsentrasi lagi ke Tubuh dan Darah Kristus di altar.

    3. Kita melihat prodiakon dan putra altar sekarang tidak lagi duduk berderet di depan tabernakel, tapi duduk bersama umat. Apakah ini memang instruksi dari Vatikan? Dan dengan pertimbangan apa?

    Demikian pertanyaan dari saya, yang mungkin dapat mewakili rekan-rekan lainnya. Mohon maaf bila ada hal yang tidak berkenan di hati.

    Salam hangat,
    Yustinius HM

    • Shalom Yustinus,

      1. Cara menerima Komuni

      Sejujurnya memang tidak disebutkan secara eksplisit di dalam dokumen Gereja, tentang bagaimanakah cara yang terbaik untuk menyambut Ekaristi. Yang dikatakan dalam Redemptoris Sacramentum adalah, “Ketika menyambut komuni, umat hendaknya berlutut atau berdiri, sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Konferensi Uskup”, yang keputusannya diberi recognitio oleh Takhta Apostolik. Tetapi jika Komuni disambut sambil berdiri, maka hendaklah umat memberi suatu tanda hormat sebelum menyambut Sakramen, seturut ketetapan yang sama.” (RS 90).

      Jika kita melihat sejarah, memang nampaknya di masa jemaat awal, terdapat dua cara penerimaan Komuni, yaitu dengan mulut/ lidah maupun dengan tangan. Sejarah juga mencatat bahwa kemudian cara yang lebih lama dilakukan oleh Gereja Katolik adalah dengan lidah dan berlutut, sebagaimana diajarkan oleh Paus Leo Agung di abad ke-5 dan Gregorius di abad ke-6, dan sejak Konsili Rouen (650) yang berlangsung sampai Abad Pertengahan, bahkan sampai masa sebelum Konsili Vatikan II. Hal ini terlihat dari lay-out gedung-gedung gereja Katolik (sebelum Konsili Vatikan II) dengan bangku penerimaan Komuni (communion rail) di muka Altar, tempat umat menyambut Komuni dengan berlutut dan dengan mulut/lidah. Namun pada setelah Konsili Vatikan II, diperbolehkan kembali penerimaan Komuni di tangan (karena kebiasaan ini nampaknya juga sudah pernah dilakukan di jemaat awal), asalkan umat diberi katekese yang baik agar tetap menghayati kehadiran Kristus secara nyata dalam Ekaristi; dan juga dalam pelaksanaannya harap diperhatikan agar tidak ada partikel hosti [yang sudah dikonsekrasikan] yang tercecer (lihat Immensae Caritatis, 4).

      Rm. Bosco Da Cunha O Carm dari Komisi Liturgi KWI mengatakan bahwa cara penerimaan Komuni diatur terutama melalui dokumen  Eucharistiae Sacramentum 21, yaitu:

      “Tetapi Konferensi Waligereja boleh menentukan – setelah keputusan mereka diteguhkan oleh Takhta Apostolik – bahwa dalam wilayah kekuasaannya komuni juga boleh diterimakan dengan meletakkan hosti kudus pada tangan umat beriman, asal saja dicegah jangan sampai hati mereka disusupi oleh sikap kurang hormat atau pandangan yang keliru mengenai Ekaristi Mahakudus………..Entah diterimakan pada lidah entah pada tangan penyambut, komuni kudus dibagikan oleh petugas yang berwewenang, yang menunjukkan dan menyerahkan hosti kudus sambil berkata, “Tubuh Kristus”; lalu ditanggapi penyambut dengan “Amin”.

      Di Indonesia, keputusan MAWI 1968 mengatakan bahwa usul-usul yang diedarkan melalui PWI (Panitia Waligereja Indonesia untuk Liturgi- sekarang disebut Komisi Liturgi) dianggap sah oleh MAWI dan dapat dipakai untuk seluruh Indonesia. Artinya, MAWI menyetujui penerimaan Komuni di atas tangan, dengan tetap menghormati kebebasan umat dalam hal ini.

      Selanjutnya tentang topik Bolehkah menerima hosti dengan tangan, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

      2. Salam Damai

      Tentang ketentuan Salam Damai, Instruksi Redemptoris Sacramentum dengan jelas menyebutkan:

      72. “Salam Damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang pantas.” “Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu. Demikian pula jika karena alasan yang tepat ia ingin memberikan tanda salam damai kepada beberapa di antara umat”. “Corak ucapan salam damai hendaklah ditetapkan oleh Konferensi Uskup agar sesuai dengan selera serta kebiasaan masyarakat setempat”; penetapan itu membutuhkan recognitio dari Takhta Apostolik.”

      Dengan demikian seharusnya Romo tidak diperkenankan meninggalkan panti imam untuk memberikan salam damai kepada umat.

      3. Petugas Pembagi Komuni Tak Lazim

      Menurut General Instruction of the Roman Missal (Pedoman umum Misa Romawi), dikatakan:

      The seat for the deacon should be placed near that of the celebrant. Seats for the other ministers are to be arranged so that they are clearly distinguishable from those for the clergy and so that the ministers are easily able to fulfill the function entrusted to them.” (GIRM 310)

      Terjemahannya:

      “Tempat duduk diakon [diakon tertahbis] harus ditempatkan di dekat imam selebran. Tempat duduk untuk para pelayan lainnya agar diatur sehingga mereka dapat dengan jelas dibedakan dari tempat duduk para klerus dan sehingga para pelayan tersebut dengan mudah dapat melaksanakan tugas yang dipercayakan kepada mereka.” (GIRM 310)

      Dengan demikian, sebenarnya yang terpenting adalah: tempat duduk para pelayan itu harus dibedakan dari tempat duduk imam (dan diakon tertahbis, jika ada). Pelayan lainnya di sini termasuk putera-puteri altar dan petugas pembagi komuni tak lazim (lih. RS 100). Di sini tidak disebut secara eksplisit bahwa tempat duduknya harus di panti imam dekat tabernakel, namun yang jelas tempat duduk mereka harus dibedakan dengan tempat duduk imam. Maksudnya tentu jelas, karena imam selebran, pada saat menunaikan tugasnya memimpin perayaan Ekaristi, ia melaksanakan peran in persona Christi (melaksanakan peran Kristus) sedangkan peran ini tidak dilaksanakan oleh para pelayan yang lainnya, sehingga wajarlah jika tempat duduk mereka tidak sama dengan tempat duduk imam.

      Jika ada para putera Altar, yang diperkenankan duduk di panti imam, itu tidak menyalahi ketentuan, asalkan tempat duduk mereka dibedakan dengan tempat duduk imam selebran. Namun jika jumlah putera Altar banyak dan tidak memungkinkan, maka tidak semua dari mereka dapat duduk di panti imam.

      Sedangkan untuk petugas pembagi Komuni Tak lazim, karena dari namanya sesungguhnya menunjukkan bahwa mereka bertugas membantu hanya dalam keadaan ‘darurat’, artinya hanya jika kondisi mensyaratkan demikian (lih. RS 157,158), maka logislah jika mereka tidak duduk di panti imam, namun umumnya di bangku umat bagian depan, agar memudahkan mereka melaksanakan tugasnya untuk membantu imam membagikan Komuni pada saatnya.

      Demikian tanggapan dari saya. Jika nanti ada jawaban dari Romo Boli yang tidak sesuai dengan jawaban ini, silakan mengacu kepada jawaban Romo Boli, sebab beliaulah ahlinya dalam hal ini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      Tetapi Konferensi Waligereja boleh menentukan – setelah keputusan mereka diteguhkan oleh Takhta Apostolik – bahwa dalam wilayah kekuasaannya komuni juga boleh diterimakan dengan meletakkan hosti kudus pada tangan umat beriman, asal saja dicegah jangan sampai hati mereka disusupi oleh sikap kurang hormat atau pandangan yang keliru mengenai Ekaristi Mahakudus………..Entah diterimakan pada lidah entah pada tangan penyambut, komuni kudus dibagikan oleh petugas yang berwewenang, yang menunjukkan dan menyerahkan hosti kudus sambil berkata, “Tubuh Kristus”; lalu ditanggapi penyambut dengan “Amin”.
  5. Syallom Bapak dan Ibu,

    Saya baru saja menjadi Katolik, yang ingin saya tanyakan kalau di website ini apa ada tata cara penerimaan komuni sakramen Ekaristi (roti dan anggur / tubuh dan darah) Kristus. Contohnya seperti posisi tangan pada saat maju dan menerima roti., dll… di sebelah mana ya?

    Terima kasih atas bantuannya, karena informasi ini sangat berguna bagi saya.

    God bless

    [Dari Katolisitas: Cara menerima Komuni, dengan lidah atau dengan tangan, klik di sini. Sedangkan jika Komuni diberikan dengan dua rupa, yaitu dalam rupa roti dan anggur, cara menerimanya klik di sini]

  6. Bu Ingrid dan Bpk Stef,

    Bagaimana caranya menerima komuni berlutut dan di lidah pada saat yang lain berdiri dan tidak ada tempat berlutut? Kalau di Vatikan & Paus Benediktus kan disediakan tempat berlutut.

    Saya juga mengalami yang aloysius rasakan…. sampai2 setiap komuni rasanya jadi seperti kemartiran. Di tangan bersalah, di lidah juga salah dan suka membuat bingung romonya. Karena tidak siap malah beberapa kali lidah/mulut saya tersentuh jari Pastur. Saya jadi takut

    Karena… walaupun menerima di lidah, tdk ada orang yang menadahi serpihan yang bakal jatuh…. Kalau di Latin Mass, ada altar boy yang menadahi setiap “communicant” dengan paten emas walaupun komuni di lidah.

    • Shalom Kerry,

      Menerima Komuni berlutut dan di lidah memang bukan merupakan cara yang umum dilakukan di Indonesia, walaupun memang itulah cara yang kami pilih; karena menurut hemat kami, cara tersebut lebih mencerminkan penghormatan yang seharusnya diberikan kepada Tuhan Yesus yang hendak kami sambut. Jadi jika Anda terpanggil untuk menyambut Komuni dengan cara ini, silakan Anda melakukannya, dengan berlutut pada saat tiba giliran Anda menyambut dan sesudah mengatakan Amin terhadap perkataan “Tubuh Kristus“, silakan membuka mulut Anda. Bisa terjadi ada Romo [atau petugas pelayan Komuni tak-lazim] yang canggung menyikapinya, mungkin karena tidak banyak umat yang menyambut dengan cara ini, tetapi nanti toh jika Anda rutin mengikuti Misa di paroki, lama kelamaan mereka juga terbiasa. Sebab merekapun perlu menyesuaikan diri dengan cara menerimakan Komuni sedemikian, yang tidak dilarang, dan bahkan merupakan cara yang sama- sama diperbolehkan untuk menyambut Komuni:

      PUMR 160… Umat tidak diperkenankan mengambil sendiri roti kudus atau piala, apalagi saling memberikannya antar mereka. Umat menyambut entah sambil berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan ketentuan Konferensi Uskup. Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat yang serasi, sebagaimana ditentukan dalam kaidah- kaidah mengenai komuni.

      PUMR 161 Kalau komuni dibagikan hanya dalam rupa roti, imam mengangkat sedikit dan menyambut sambil berkata: Tubuh Kristus. Masing- masing orang menjawab: Amin, lalu menyambutnya entah dengan lidah entah dengan tangan. Begitu diterima, hosti hendaknya langsung dimakan.

      Seharusnya, memang altar boy (misdinar) menadahi dengan patena agar tidak ada yang serpihan yang jatuh. Namun jika bicara tentang serpihan, nampaknya resiko itu juga ada pada saat membagikannya di tangan. Bahkan bukannya tidak mungkin orang yang menyambut Komuni di tangan tidak menyadari bahwa ada serpihan yang mungkin tertinggal di tangannya. Kemungkinan ini malah lebih kecil terjadi jika menyambut dengan lidah, sebab serpihan yang melekat pada hosti akan segera masuk dalam mulut.

      Jika Anda terpanggil untuk menyambut Komuni dengan cara berlutut dan dengan lidah, silakan melakukannya dengan tulus, tidak usah terlalu khawatir akan tanggapan orang lain. Yang penting cara tersebut diperbolehkan, dan cara tersebut sesuai dengan penghayatan iman Anda. Tidak perlu merasa bahwa melakukan hal sederhana ini sebagai kemartiran, atau tepatnya walaupun Anda dapat merasakan hal ini sepertinya tidak mudah dilakukan, namun ingatlah bahwa hal ini merupakan suatu langkah yang sesungguhnya sangat sederhana untuk menyatakan penghormatan Anda kepada Siapa yang Anda sambut dalam Komuni Kudus itu. Mohonlah rahmat Tuhan untuk tetap dapat melakukan hal yang sederhana itu dengan kerendahan hati, dan semoga Anda tidak lagi merasa canggung di kemudian hari.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  7. Salam,

    Saya pernah menonton video di Youtube yang secara kebetulan saya temukan.[silahkan kunjungi http://www.youtube.com]/watch?v=Jii6NCfTW68.
    Video itu berisi dialog antar Fr Mitch Pacwa dengan Most Rev Athanasius Schneider tentang cara penerimaan komuni. Dari dialog itu, saya menangkap bahwa sebenarnya Komuni ditangan sangat tidak dianjurkan/dianggap tidak pantas bahkan dianggap sebagai “grave fault”. Saya percaya bahwa Fr Mitch Pacwa dan Most Rev Athanasius Schneider adalah pastor dan uskup yang berkompeten dalam hal ajaran Gereja Katolik khususnya dalam bidang liturgi dan sakramen. Apalagi dialog itu disiarkan melalui EWTN channel yang dapat dipercaya dalam hal penyampaian ajaran dan iman Gereja Katolik dan juga sudah terkenal bukan hanya di Amerika tetapi juga di Eropa.

    Jujur saya kaget dan bingung. Manakah yang harus saya percayai dan taati? Jadi selama ini umat Katolik di Indonesia diajarkan cara menerima komuni yang salah? Padahal sejak komuni pertama, saya diajarkan menerima komuni di tangan.
    Dan lagi saya punya teman dari Flores. Dia mengatakan bahwa umat di gerejanya di Flores menerima komuni di lidah. Dan dia kaget ketika merantau ke jawa untuk sekolah kemudian saat pertama kali misa di salah satu gereja Katolik di jawa, komuni disambut di tangan. Akhirnya dia terpaksa menerima komuni di tangan, sampai sekarang.

    Juga banyak video yang lain di Youtube yang sudah saya tonton yang berisi hal yang sama, yaitu kontra terhadap komuni di tangan tetapi mendukung Komuni di lidah dan sambil berlutut. Bahkan juga ada video yang menggambarkan bahwa Paus Benedict XVI juga mendukung komuni di lidah sambil berlutut. [silahkan kunjuni http://www.youtube.com/watch?v=A3zHpo3gtN0%5D

    Maka, pertanyaan saya ialah:
    >Mengapa ada perbedaan cara dan pendapat mengenai cara penerimaan komuni?
    >Siapakah atau gereja manakah yang pertama kali mempraktekkan komuni di lidah? Dan kapan itu dimulai?
    >Bagaimana cara umat Kristen perdana menerima komuni?
    >Apa sikap Gereja terhadap hal ini, bagaimana Kongregasi Ajaran Iman mengajarkan?
    >Lalu cara yang manakah yang harus diikuti?

    Mohon pencerahannya supaya saya tidak lagi bingung dan merasa bersalah setiap kali menyambut komuni di tangan.
    Terima kasih

    • Shalom Aloysius,

      Tentang Komuni di Lidah atau di tangan?

      Dari tulisan- tulisan para Bapa Gereja, dapat diketahui bahwa Komuni memang dapat diberikan di tangan ataupun di lidah. Namun memang benar, bahwa jika kita memperhatikan kemungkinan tercecernya fragmen/ partikel Hosti, jika Komuni diberikan di tangan, maka penerimaan langsung di mulut/ lidah menjadi lebih sesuai. Mengapa? Karena keseluruhan Kristus hadir bahkan dalam setiap serpihan Hosti, dan karenanya kita harus memperlakukan-Nya dengan semestinya.

      KGK 1377 Kehadiran Kristus dalam Ekaristi mulai dari saat konsekrasi dan berlangsung selama rupa Ekaristi ada. Di dalam setiap rupa dan di dalam setiap bagiannya tercakup seluruh Kristus, sehingga pemecahan roti tidak membagi Kristus (bdk Konsili Trente DS 1641)

      Maka memang terdapat resiko yang lebih besar akan tercecernya partikel Hosti, jika diberikan di tangan, karena seolah ada ‘tempat sementara’ Hosti ditempatkan, sebelum dimasukkan ke dalam mulut. Dalam hal ini, maka menjadi lebih masuk akal jika Hosti langsung diberikan di lidah, agar jika ada serpihan, maka serpihan itu tidak terbuang. Penerimaan hosti langsung di mulut juga sesuai dengan apa yang disampaikan dalam Yeh 2:1,8,9; 3:1-3.

      Maka meskipun St. Cyril dari Yerusalem (313-386) mengajarkan penerimaan Komuni dengan tangan, namun ia juga mengajarkan agar jangan sampai ada serpihan yang terjatuh. “Approaching do not come with thy palms stretched flat nor with fingers separated. But making thy left hand a seat for thy right, and hollowing thy palm, receive the Body of Christ, responding Amen. And having with care hallowed thine eyes by the touch of the Holy Body, take it, vigilant lest thou drop any of it. For shouldst thou lose any of it, it is as though thou wast deprived of a member of thy own body.” Demikian juga dengan Theodorus Mospsuestia (350) yang mengajarkan demikian, “Jangan datang dengan tangan- tangan terulur dengan jari-jari yang terbuka. Namun, buatlah tangan kirimu sebagai tahta bagi tangan kananmu sebelum menerima Rajamu, dan terimalah Tubuh Kristus di telapak tanganmu, sambil mengatakan “Amin”…. Perhatikanlah agar jangan sampai kamu kehilangan satu partikelpun yang lebih berharga dari emas maupun permata.” (Theodore of Mospsuestia, Homily XV).

      Mungkin untuk mencegah adanya partikel yang terbuang, maupun untuk menunjukkan penghormatan yang lebih nyata kepada Ekaristi, maka penerimaan Komuni langsung di mulut sambil berlutut, menjadi tradisi yang memang sangat kuat di Gereja Katolik. Berikut ini adalah pengajaran para Bapa Gereja tentang hal ini:

      1. Paus St. Leo Agung (440-461)

      Dalam komentarnya dalam bab ke-6 dalam Injil Yohanes, ia mengajarkan tentang Komuni di mulut demikian, “Seseorang menerima di mulut apa yang ia percayai dengan iman.”

      2. Paus St. Gregorius Agung (590-604)

      Dalam dialognya dia menyebutkan bagaimana mukjizat yang terjadi pada saat Paus St. Agapito meletakkan Tubuh Kristus di mulut seorang umat ((Roman 3, c.3)). Cara pemberian Komuni seperti ini oleh Paus Agapito, juga dicatat oleh Yohanes Sang Diakon.

      3. St. Basil (330-379)

      St. Basil mengatakan bahwa penerimaan Komuni dengan tangan diijinkan hanya pada masa penganiayaan, atau pada kasus para rahib di gurun ketika tidak ada diakon atupun imam yang ada untuk membagikan komuni kepada mereka, “… tidaklah merupakan kesalahan yang besar bagi seseorang untuk mengambil dengan tangannya sendiri [Komuni kudus], ketika tidak adan imam atau diakon…” (lihat St. Basil, Letter 93). Artinya dalam keadaan biasa, pada saat ada iman dan diakon, komuni tidak diberikan di tangan, tetapi di lidah.

      4. Konsili Rouen (650)

      Konsili di Rouen tahun 650 mengatakan, “Jangan meletakkan Ekaristi di tangan kaum awam baik pria maupun wanita, tetapi hanya di mulut mereka.”

      5. Konsili Trente (1545-1563)

      “Perihal penerimaan sakramen, adalah selalu sebagai kebiasaan Gereja Tuhan bahwa para awam harus menerima Komuni dari para imam; tetapi ketika para imam ketika merayakan [Misa] dapat mengkomunikasikan sendiri, dan ini kebiasaan yang telah diturunkan dari tradisi Apostolik, harus dipertahankan dengan keadilan…” (Sess 13, c.8)

      Kita ketahui bahwa sampai sebelum Konsili Vatikan II, norma yang dipakai di Gereja Katolik untuk menerima Komuni adalah di lidah, dan dengan berlutut. Komuni diberikan oleh para imam/ para tertahbis. Namun setelah Konsili Vatikan II, dengan pertimbangan- pertimbangan tertentu, maka Tahta Apostolik mengizinkan penerimaan Komuni di tangan, kemungkinan atas dasar fakta bahwa di Gereja- gereja awal praktek tersebut juga sudah ada. Namun demikian, bukan berarti bahwa cara penerimaan langsung di mulut/ di lidah menjadi tidak berlaku. Mother Teresa dan para biarawati Missionary of Charity tetap menerima Komuni di lidah. Fr. George William Rutler, yang pernah mengunjungi dan berbincang- bindang dengan Mother Teresa di Kalkuta, menanyakan kepada Mother Teresa tentang apakah yang menjadi masalah terbesar di dunia ini, apakah kelaparan, wabah penyakit, apakah perceraian dalam keluarga, apakah masalah ekonomi dunia, ancaman nuklir, dst. Terhadap pertanyaan ini Mother Teresa menjawab, “Setiap kali saya pergi ke seluruh dunia, hal yang paling menyedihkan saya adalah melihat orang- orang menerima Komuni di tangan.” (Fr. George William Rutler, Good Friday, 1989, sermon at St. Agnes Church, New York City). Sayangnya Mother Teresa tidak menyebutkan secara rinci mengapa ia berpendapat demikian. Walaupun memang adalah fakta juga bahwa penerimaan Komuni di tangan tanpa penghayatan yang benar, membuka lebar terhadap resiko kurang dihormatinya Ekaristi sebagai sesuatu yang sakral, karena orang cenderung menyamakannya dengan cara memakan chips atau makanan yang lain.

      Maka sebenarnya, bukan hal menerima Komuni di tangan-nya yang menjadi masalah, namun adalah sejauh mana orang tersebut menghayatinya dengan sungguh tentang Siapa yang disambutnya. Mungkin baik kita simak penjelasan dari Paus Yohanes Paulus II:

      “Di beberapa negara, praktek penerimaan Komuni dengan tangan diberlakukan. Praktek ini telah diminta oleh konferensi- konferensi uskup secara individual dan telah memperoleh persetujuan dari Tahta Apostolik. Namun demikian, kasus- kasus menyedihkan tentang kekurangan hormat terhadap spesies Ekaristi telah dilaporkan, kasus yang menyangkut kesalahan para individu maupun para pastor gereja yang tidak cukup waspada berkenaan dengan sikap umat beriman terhadap Ekaristi. Juga terjadi, dalam beberapa kesempatan, bahwa pilihan bebas orang-orang yang memilih untuk meneruskan praktek penerimaan Ekaristi di lidah, tidak diperhitungkan di daerah- daerah di mana pembagian Komuni di tangan telah diperbolehkan. Maka, adalah sulit pada konteks surat ini, untuk tidak menyebutkan fenomena yang menyedihkan seperti telah disebutkan di atas. Ini tidak untuk mengacu kepada mereka yang, menerima Yesus di tangan, melakukannya dengan penghormatan dan devosi yang mendalam, di negara- negara di mana praktek menerima Komuni di tangan ini telah diperbolehkan.” (Dominicae Cenae, 11)

      Selanjutnya tentang topik menerima Komuni di tangan atau di lidah, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Selanjutnya penjelasan dari Kardinal Arinze, selaku Prefect Emeritus of the Congregation for Divine Worship and the Discipline of the Sacraments -di U-tube tentang More on kneeling for Communion, silakan klik di sini.

      If a person prefers to kneel while receiving Holy Communion can he do so anywhere in the world? (Jika seseorang memilih untuk berlutut sewaktu menerima Komuni Kudus, dapatkah ia melakukannya di manapun di dunia?)

      Cardinal Arinze says:

      Yes! (Ya)

      GIRM- the General Instruction on the Roman Missal- Par #160, ….Communion is to be received kneeling (that is the traditional position) or standing, according as the bishops of the country may decide…… Even if the norm [in the diocese] is standing, if you want to kneel you remain free to do so.

      (Menurut GIRM, Komuni harus diterima dengan cara berlutut (ini cara tradisional) atau berdiri, tergantung dari keputusan para uskup di negara itu ….. Meskipun normanya adalah berdiri, jika kamu mau berlutut, kamu tetap bebas untuk melakukan itu (yaitu menerima Komuni dengan berlutut).

      Saya rasa jelaslah yang disampaikan oleh Kardinal Arinze ini. Memang ada banyak diskusi tentang penerimaan Komuni, baik di lidah ataupun di tangan, dengan dasarnya masing- masing. Kita tidak perlu bingung karenanya, karena yang terpenting adalah apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Dan untuk ini kita berpegang pada GIRM dan penjelasan dari Magisterium, dalam hal ini Memoriale Domini the Instruction on the Manner of Administering Holy Communion, The Congregation for Divine Worship on 29 Mei 1969, silakan klik.

      Dengan demikian, jika anda ingin menerima Komuni di lidah dengan berlutut, silakan saja anda lakukan. Apalagi setelah saya tanyakan kepada Romo Boli, belum ada ketentuan tertulis di keuskupan di Indonesia yang tentang keseragaman cara (misal dengan cara berdiri) sebagai norma yang diberlakukan untuk menerima Komuni kudus di keuskupan- keuskupan di Indonesia. Saya dan Stef memutuskan untuk menerima Komuni dengan berlutut dan langsung di lidah, karena menurut hemat kami, inilah cara yang lebih menunjukkan penghayatan akan kehadiran Kristus yang kami sambut dalam Ekaristi. Paus Benediktus XVI juga telah menetapkan bahwa semua orang yang akan menerima Komuni darinya harus menerimanya dengan berlutut dan langsung di mulut. Ini juga adalah salah satu bukti tentang cara penerimaan Komuni di mulut sebagai cara yang lebih mencerminkan maknanya. Bukankah kita akan berlutut, atau bahkan sujud/ rebah sekalipun, jika Tuhan Yesus sungguh hadir di hadapan kita?

      Namun pada akhirnya, yang terpenting adalah penghayatan di dalam hati ataupun sikap batin. Sebab rebah atau berlututpun, jika tidak dibarengi dengan sikap batin yang benar, maka tidak akan ada artinya. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah, anda dapat menerima Komuni dengan berdiri atau berlutut, dengan tangan atau dengan mulut/ lidah. Yang terpenting terimalah dengan hormat dan syukur.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Salam Ingrid,

        Terima kasih atas penjelasannya. Saya jadi agak lebih lega. Betapa bahagianya Stef dan Ingrid dapat menerima komuni dilidah dgn berlutut.

        Dari penjelasan Ingrid, saya dapat menyimpulkan bahwa setiap umat berhak untuk menerima komuni dengan cara yang ia kehendaki baik dengan cara di lidah sambil berlutut atau di tangan.

        Masalah:
        Saya pernah mencoba untuk menerima komuni di lidah(sambil berdiri) sebanyak 3 kali dalam waktu 3 minggu(3 misa mingguan) berturut-turut di paroki tempat saya berdomisili. Namun, tiga kali pula saya ditolak oleh pembagi komuni untuk menerima komuni di lidah. Pertama, saya ditolak oleh seorang suster; kedua, saya ditolak oleh seorang pastor non-pribumi; dan ketiga, saya ditolak oleh seorang pastor pribumi(bahkan pastor itu bertanya,”Apakah kamu sudah komuni pertama?”). Mereka memaksa saya untuk menerima komuni di tangan. Saya merasa kecewa dan sedih ketika itu. Akhirnya saya memutuskan untuk menerima komuni di tangan untuk seterusnya meskipun dengan terpaksa.

        Pertanyaan:
        1. Apakah komuni di lidah dilarang dipraktekkan di beberapa Gereja Katolik Indonesia ? Atau itu hanya ketidaktahuan sebagian imam dan para pembagi komuni?
        2. JIkalau Komuni di lidah(sambil berlutut) merupakan cara yg terbaik menyambut Tuhan, mengapa bukan cara itu yang diajarkan dan dipraktekkan?
        3. Kenapa ya saya koq merasa kurang enak setiap kali menerima komuni di tangan setelah menonton video ttg komuni di lidah(yg pernah saya tunjukkan sebelumnya)? Apakah perasaan kurang enak itu berlebihan(kurang wajar)?

        Terima kasih sebelumnya. Saya juga pernah mengirim respon ini sebelumnya, tapi ketika itu koneksi internet kurang baik jadi saya khawatir tidak terkirim. Mohon maaf jika ada pertanyaan-pertanyaan saya yang kurang berkenan. Saya hanya ingin menjadi seorang Katolik yg sejati dan mengetahui kebenaran iman Katolik sehingga saya benar-benar merdeka.

        Salam,

        • Shalom Aloysius,
          1. Setahu saya komuni di lidah tidak pernah dilarang di manapun. Seandainya sekarang tidak terlalu umum dilakukan di Indonesia, kemungkinan karena memang secara umum cara penerimaan komuni di Indonesia yang diajarkan adalah dengan tangan, sambil berdiri. Seperti telah saya sampaikan di jawaban saya sebelumnya, ini juga bukan cara yang salah, karena memang ada juga dasarnya dari tulisan Bapa Gereja.
          Jika ada imam ataupun para pembagi komuni yang menolak memberi Komuni di lidah, itu mungkin karena mereka tidak terbiasa untuk mebagikan komuni dengan cara demikian. Atau mungkin juga, ada dari mereka yang tidak tahu jika pemberian komuni di lidah tetap dipertahankan oleh Gereja Katolik. Padahal, cara menerima Komuni di lidah tetap merupakan norma yang berlaku, menurut dokumen dari SCDW (Sacred Congregation for Divine Worship), yang berjudul Memoriale Domini, tentang pembagian Komuni Suci. Untuk membaca teksnya klik di sini.

          2. Mengapa bukan cara menerima Komuni di lidah yang diajarkan dan dipraktekkan?

          Terus terang, saya tidak mengetahui alasannya. Namun demikian, kita dapat mengetahui bahwa menerima Komuni di tangan juga bukan sesuatu yang salah. Sebab jika dihayati maknanya, maka tidak menjadi masalah menerima dengan tangan atau di lidah.

          Kita mengetahui bahwa cara menerima Komuni di lidah merupakan cara yang umum digunakan di negara- negara lain, misalnya di Filipina, di Amerika dan negara- negara Eropa, terutama di Vatikan sendiri. Maka tidak benar bahwa cara menerima Komuni dengan lidah sudah dihapuskan.

          3. Kurang enak jika menerima Komuni di tangan?

          Jika anda menghayatinya, tidak perlu merasa tidak enak. Tetapi jika memang ada dorongan untuk menerima di lidah dengan berlutut, maka silakan melakukan hal itu, sebab seperti perkataan Kardinal Arinze, hal itu diperbolehkan, dan bahkan ini adalah cara yang dipakai oleh Bapa Paus Benediktus XVI, dan norma yang telah berabad- abad berlaku dalam sejarah Gereja Katolik.

          Jika anda mempunyai kesempatan, silakan anda berbicara dengan pastor paroki anda ataupun ketua petugas prodiakon/ pembagi Komuni, dan berikanlah masukan kepada mereka tentang hal ini, berikut link u-tube dari Kardinal Arinze, dan link tentang penerimaan Komuni di Vatikan. Mereka mungkin belum mengetahuinya, dan jika mereka mengetahuinya, dapat membuka kemungkinan agar anda dapat menerima Komuni di lidah dan sambil berlutut, tanpa perlu ‘ditegur’ pada saat anda melakukannya. Di atas semua itu, silakan memberikan masukan dengan kerendahan hati, dan tanpa maksud mengajari, hanya menyampaikan apa yang anda ketahui dipraktekkan oleh Gereja universal. Semoga masukan anda dapat didengarkan/ diperhatikan.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Bu Ingrid,

            Saya menemukan artikel berikut 5 Kesalahpahaman Umum Mengenai Konsili Vatikan II. Secara khusus saya ingin menyoroti poin yang ke-3 “Konsili Vatikan II mengamanatkan penerimaan Komuni Kudus di tangan sambil berdiri”.

            Dalam poin no-3 tersebut disebutkan:
            “Praktik menerima Komuni Kudus di tangan adalah indult atau pengecualian terhadap norma universal Gereja Katolik yang diberikan oleh Para Paus kepada konferensi-konferensi para uskup yang meminta indult tersebut di wilayahnya. Tanggal 29 Mei 1969 (4 tahun sesudah Vatikan II), dalam Instruksi Memoriale Domini, Paus Paulus VI mengamanatkan agar setiap konferensi para uskup mempertahankan norma tradisional penerimaan Komuni Kudus di lidah sambil berlutut. Namun, di samping itu juga, Paus Paulus VI menyatakan dapat memberi indult (pengecualian dari norma Gereja Universal) kepada konferensi-konferensi para uskup yang memintanya terkait penerimaan Komuni Kudus di tangan. Sejak 1970, banyak konferensi para uskup menerima indult tersebut. Romo Greg J. Markey membandingkan permintaan indult ini dengan kasus perceraian yang diizinkan Musa (bdk Mat 19:8). Karena ketegaran para uskup meminta indult Komuni di tangan, Paus Paulus VI mengizinkannya. Akan tetapi, sejak semula tidaklah demikian.”

            Lalu di Redemptionis Sacramentum disebutkan juga hal yang senada
            “RS 92 Walaupun tiap orang tetap selalu berhak menyambut komuni dengan lidah jika ia menginginkan demikian, namun kalau ada orang yang ingin menyambut komuni di tangan, di wilayah-wilayah di mana Konferensi Uskup setempat dengan recognitio oleh Tahta Apostolik yang telah mengizinkannya, maka hosti harus diberikan kepadanya.”

            Di sisi lain, kalau saya tidak salah mengerti di dalam Memoriale Domini disebutkan praktek kuno cara menerima komuni adalah dengan tangan. Apakah maksudnya ini praktek cara menerima komuni oleh jemaat perdana? Saya juga pernah mendengar seminar Romo Bosco yang mengatakan bahwa yang lebih asli adalah menerima komuni dengan tangan. Saya jadi merasa kurang nyaman dan bingung :(, karena menerima dengan tangan ternyata merupakan suatu indult atau pengecualian. Syukur kepada Tuhan, saya agak terhibur :) membaca penutup bu Ingrid di atas bahwa “…. pada akhirnya, yang terpenting adalah penghayatan di dalam hati ataupun sikap batin.” Saya rasa memperbaiki penghayatan di dalam hati jauh lebih penting daripada bingung mana yang lebih baik menerima dengan tangan atau lidah. :D

            Ini petikan dari Memoriale Domini:
            “At the same time in recent years a fuller sharing in the eucharistic celebration through sacramental communion has here and there evoked the desire to return to the ancient usage of depositing the eucharistic bread in the hand of the communicant, he himself then communicating, placing it in his mouth.”

            Tuhan memberkati.

          • Shalom Anto,

            Prinsipnya, kedua cara untuk menerima Komuni, yaitu baik dengan lidah ataupun dengan tangan adalah cara yang diperbolehkan Gereja. Umat dapat memilih satu dari kedua cara itu, yang paling dapat menunjukkan penghormatan yang selayaknya kepada Kristus yang hadir dalam Ekaristi.

            Memang sebelum Konsili Vatikan II, norma umum untuk menerima Komuni kudus adalah dengan lidah, sambil berlutut. Namun setelah Konsili Vatikan II, terdapat hasrat untuk menerima Komuni dengan tangan, dengan melihat bahwa cara itu-pun pernah diterapkan dalam Gereja di abad-abad awal. Dokumen Memoriale Domini memang menuliskan demikian. “It is certainly true that ancient usage once allowed the faithful to take this divine food in their hands and to place it in their mouths themselves.” (‘once’ allowed, artinya pernah sekali waktu diperbolehkan (kemungkinan di zaman St. Sirilus dan St. Basil, di abad ke-4). Tetapi catatan sejarah tidak mengatakan bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menyambut Komuni, sebab cara menyambut dengan lidah, juga berasal dari kebiasaan Gereja awal, seperti yang ditulis oleh Paus Leo Agung I di abad ke-5.)

            Dokumen tersebut juga mengakui bahwa komunitas- komunitas tertentu di tempat-tempat tertentu telah menerapkan cara ini [menerima Komuni dengan tangan] bahkan tanpa memohon persetujuan dari Tahta Suci, dan bahkan tanpa usaha untuk mempersiapkan umat beriman dengan selayaknya. Namun demikian, menurut ketentuan Gereja dan bukti dari Bapa Gereja menunjukkan bahwa penghormatan tertinggi diberikan kepada Sakramen Mahakudus dan umat harus bertindak dengan kebijaksanaan yang tertinggi agar dapat mewujudkan penghormatan yang sedemikian. Maka, jika kita terus membaca dokuman tersebut, dikatakan di sana, bahwa kemudian dengan bertambah dalamnya pemahaman akan makna Ekaristi, dirasakan bertambahnya hasrat untuk menunjukkan penghormatan terhadap sakramen ini dan sikap kerendahan hati untuk menyambutnya, maka terbentuklah kebiasaan untuk menempatkan Komuni di lidah. Dan cara menerima dengan lidah ini harus dipertahankan.

            Berikut ini saya sertakan beberapa kutipan langsung dari dokumen tersebut, dalam bahasa Inggris:

            “At the same time in recent years a fuller sharing in the eucharistic celebration through sacramental communion has here and there evoked the desire to return to the ancient usage of depositing the eucharistic bread in the hand of the communicant, he himself then communicating, placing it in his mouth.

            Indeed, in certain communities and in certain places this practice has been introduced without prior approval having been requested of the Holy See, and, at times, without any attempt to prepare the faithful adequately.

            It is certainly true that ancient usage once allowed the faithful to take this divine food in their hands and to place it in their mouths themselves…..

            However, the Church’s prescriptions and the evidence of the Fathers make it abundantly clear that the greatest reverence was shown the Blessed Sacrament, and that people acted with the greatest prudence. …. “For it is the Body of Christ.”….

            Later, with a deepening understanding of the truth of the eucharistic mystery, of its power and of the presence of Christ in it, there came a greater feeling of reverence towards this sacrament and a deeper humility was felt to be demanded when receiving it. Thus the custom was established of the minister placing a particle of consecrated bread on the tongue of the communicant.

            This method of distributing holy communion must be retained, taking the present situation of the Church in the entire world into account, not merely because it has many centuries of-tradition behind it, but especially because it expresses the faithful’s reverence for the Eucharist. The custom does not detract in any way from the personal dignity of those who approach this great sacrament: it is part of that preparation that is needed for the most fruitful reception of the Body of the Lord.

            This reverence shows that it is not a sharing in “ordinary bread and wine” that is involved, but in the Body and Blood of the Lord….

            Further, the practice which must be considered traditional ensures, more effectively, that holy communion is distributed with the proper respect, decorum and dignity. It removes the danger of profanation of the sacred species, in which “in a unique way, Christ, God and man, is present whole and entire, substantially and continually.” Lastly, it ensures that diligent carefulness about the fragments of consecrated bread which the Church has always recommended: “What you have allowed to drop, think of it as though you had lost one of your own members.”

            Catatan: Pemberian huruf tebal oleh saya.

            Maka, walaupun dokumen Memoriale Domini itu mengakui bahwa penerimaan Komuni dengan tangan itu memang pernah diperbolehkan dalam Gereja kuno, namun dokumen tersebut juga menyebutkan bahwa cara penerimaan dengan lidah juga harus dipertahankan, karena lebih efektif menjamin bahwa Komuni dibagikan dengan penghormatan yang selayaknya.

            Akhirnya, mari kembali saja kepada prinsip dasarnya, yaitu yang terpenting adalah kita memberikan penghormatan yang layak kepada Kristus yang kita terima dalam Ekaristi. Asalkan kita pahami prinsip ini, tidaklah menjadi masalah, apakah kita mau menerima Komuni dengan tangan, atau dengan lidah. Saya dan Stef memilih menerima Komuni dengan lidah, namun kami percaya bahwa menerima Komuni dengan tangan juga dapat dilakukan, asalkan dilakukan dengan penghormatan yang layak.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

  8. Shalom,
    Pertanyaan pertama. Saya ingin bertanya lebih dalam lagi tentang cara menerima komuni dengan tangan karena adik saya pada penerimaan sakramen perkawinan puteranya pernah ditegur rama karena meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan saat hendak menerima komuni. Begitu juga ketika dia membuka mulutnya untuk menerima komuni. Jika kita menerima komuni dengan tangan kanan di atas tangan kiri, apakah boleh kita mengambil hosti tersebut dengan tangan kiri untuk dimasukkan ke dalam mulut? Ataukah kita dekatkan saja tangan kanan ke mulut sehingga hosti tersebut bisa langsung diambil oleh mulut kita?
    Pertanyaan kedua. Apakah rotary dan lion club termasuk ke dalam gerakan fremason?
    Terima kasih dan Tuhan memberkati.

    [dari katolisitas: telah dijawab – silakan klik]

Comments are closed.