Di malam itu, Engkau mengadakan Perjamuan Malam Terakhir bersama kami, para murid-Mu. Engkau menyiapkan makanan dalam piring-piring yang tersedia dan menghidangkannya. Suasana khidmat begitu terasa saat mazmur demi mazmur mulai Kau daraskan bersama mereka. Suasana begitu hangat dan penuh kekeluargaan, tapi sekaligus agung dan khusyuk. Semua makan dengan penuh penghayatan, seolah mereka berada di ruang dan waktu yang sama ketika Allah melawat Mesir untuk menyelamatkan Bangsa Israel di malam Paskah Pertama ribuan tahun lalu.
Tiba-tiba, Engkau bangkit berdiri, menanggalkan jubah-Mu, mengambil sehelai kain, dan mengikatkan pada pinggang-Mu. Engkau lalu menuang air ke sebuah baskom dan mulai membasuh kaki Para Rasul. Wajah para Rasul membeku terpana karena terkejut melihat apa yang Engkau lakukan. Begitu juga denganku dan Bunda Maria, yang menatapMu dengan bingung dari meja seberang. Kulihat St. Petrus sempat menolak kakinya Kau basuh. Namun, setelah berbicara sebentar, akhirnya ia membiarkan kakinya Kau bersihkan dengan air dan Kau keringkan dengan kain itu.
Ketika giliran Yudas Iskariot tiba, aku bisa melihat jelas wajahnya menegang hingga urat pipi dan kepalanya terlihat. Entah kenapa, ia terlihat begitu gugup dan kikuk. Kulihat Engkau tersenyum padanya sambil membasuh kakinya. Engkau tampak membisikkan sesuatu padanya. Namun, ia hanya terdiam sambil menatap kosong tembok di samping. Sebagaimana yang lain, Engkau mengecup kakinya dengan lembut, penuh cinta. Engkau mengasihi kami semua senantiasa, dan demikianlah sekarang Engkau mengasihi kami sampai pada kesudahannya (Yoh 13:1).
Suasana berubah tegang mencekam ketika Engkau mengatakan ada pengkhianat di dalam ruangan ini. Ada sedikit keributan di meja makan tempat Engkau dan para Rasul makan. Tak lama kemudian, Yudas Iskariot keluar dari ruangan. Mungkin, ia Kau suruh melakukan sesuatu. Engkau lalu berbicara mengenai kepergian-Mu dan perintah supaya kami saling mengasihi. St. Petrus langsung berdiri menyela,”Tuhan, ke manakah Engkau pergi?” Dengan tenang, Engkau menjawab,”Tempat aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti aku sekarang. Tetapi, kelak engkau akan mengikuti Aku.” Kulihat ia langsung protes dan memaksa ikut.
Pikiranku melayang bersama dengan protes St. Petrus,”Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang?” Aku juga ingin mengikuti Engkau, sebagaimana St. Petrus yang mau memberikan nyawanya untukMu. What does it take to follow You? Apa yang aku perlukan untuk bisa mengikutiMu?
Aku perlu komunitas biaraku dan semua orang-orang di sekelilingku, para saudara seperjalanan, siapapun itu. Aku perlu semangat lepas-bebas dan hidup miskin. Aku juga perlu agar jiwaku mau melayani sesama, sebuah kerendahan hati yang nyata. Bagaimana caranya agar aku memiliki semua itu? Andaikata aku menjadi imam nanti, apakah aku sungguh memiliki kerendahan hati yang kudus dan semangat melayani sesama? Apakah aku akan memiliki kerendahan hati untuk berbagi tanpa menjadi angkuh? Apakah aku berani memberi diri untuk semua saudara seperjalananku?
Apapun bentuk dan warnanya, gulali terbentuk dari gula yang manis. Apapun tugas yang akan Kau percayakan padaku, aku hanya butuh manisnya cinta-Mu. Berikanlah padaku cinta sejati, cinta-Mu. Berikanlah padaku cinta yang tetap membasuh dan mencium kaki orang, sekalipun aku tahu pasti bahwa ia akan mengkhianati dan menolak cintaku. Berikan padaku cinta-Mu, yang tetap memberikan diri seutuhnya, walaupun pengorbananku disia-siakan. Jangan biarkan aku takut mencintai walaupun tersakiti.
“Ketika aku tidak memiliki sesuatupun untuk kupersembahkan lagi padaNya, aku akan mempersembahkan ketiadaan ini.” – St. Therese Lisieux
Shalom, team Katolisitas yg t’kasih…
Artikel yg sangat menarik & menyentuh… Saya ada 1 soalan. Apakah maksud m’cuci kaki ini bagi adat istiadat Yahudi pada waktu itu..?
Thanx in advance.
God bless…
Shalom John,
Orang-orang Israel seperti pada bangsa-bangsa Timur lainnya, menggunakan sandal daripada sepatu, dan karena mereka umumnya tidak menggunakan alas kaki di rumah, maka kebiasaan mencuci kaki merupakan keharusan. Maka di antara orang-orang Israel, adalah tugas utama si penerima tamu untuk menyediakan air untuk mencuci kaku (lih. Gen 18:4; 19:2, 24:32, 43:24; Hak 19:21). Tidak ada hukum yang jelas bagi orang-orang awam sehubungan dengan pencucian kaki, namun untuk kalangan kaum imam, ada aturan yang jelas tentang pencucian kaki (lih. Kel 30:19-20). Di sana disebutkan bahwa imam harus mencuci kaki dan tangan saat memasuki kemah pertemuan atau sebelum mendekati altar kurban; maka semua dilakukan saat menjalankan tugas sebagai imam. Sama seperti tak seorangpun dapat mendekati raja tanpa persiapan selayaknya, termasuk mencuci tangan dan kaki, demikian pula orang-orang Israel, secara khusus, imamnya, tidak boleh mendekati Allah dalam keadaan yang tidak bersih.
Namun kemudian, Kristus memberikan makna baru tentang pembasuhan kaki, yaitu untuk menunjukkan makna kasih yang melayani, sebagaimana ditunjukkan-Nya sendiri, kepada sahabat-sahabat-Nya. Kepada Rasul Petrus yang tadinya mungkin merasa janggal bahwa Guru-nya malah mau membasuh kakinya, Yesus berkata, “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku…. Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya.” (Yoh 13:8-10). Yesus menghendaki para murid-Nya memahami bahwa merekapun harus saling mengasihi dan melayani, dan dengan demikian menjadi tanda bagi banyak orang, bahwa mereka adalah murid-murid-Nya (lih. Yoh 13:35).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.