[Minggu Biasa XXVIII: 2 Raj 5:14-17; Mzm 98:1-4; 2Tim 2:8-13; Luk 17:11-19]

Ketika kami tinggal di Singapura, di paroki kami diadakan suatu acara doa penyembuhan dengan mengundang salah seorang Romo, yang terkenal mempunyai karunia penyembuhan. Aula gereja yang cukup besar tidak mampu untuk menampung umat yang membludak, sehingga banyak di antara mereka yang akhirnya harus berdiri di luar. Beberapa minggu kemudian, Romo yang sama itu datang lagi di aula yang sama, bukan untuk memimpin doa penyembuhan, tetapi untuk memberikan pengajaran. Tapi herannya, aula yang pada waktu acara penyembuhan itu tidak mampu menampung umat, kini hanya terisi kurang dari setengahnya saja. Rupanya kebanyakan orang lebih tertarik kepada acara penyembuhan daripada pengajaran. Banyak orang lebih tertarik kepada acara-acara yang nampak sensasional, mencari dan mengharapkan untuk melihat mukjizat-mukjizat dibandingkan dengan pengajaran- pengajaran tentang iman. Betapa banyak umat Katolik yang rajin mengikuti acara-acara doa penyembuhan, bahkan yang tidak diadakan di Gereja Katolik. Tapi menghadiri pengajaran iman untuk lebih mengenal Yesus? Ogah ah, bosan!

Bacaan Injil Lukas pada hari ini menceritakan tentang sepuluh orang kusta yang berteriak kepada Yesus, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Penyakit kusta adalah penyakit yang paling hina saat itu, yang membuat para penyandangnya menjadi kaum yang dikucilkan. Maka Yesus, yang tergerak oleh belas kasihan, memberikan kesembuhan kepada kesepuluh penderita kusta yang memohon kepada-Nya ini (lih. Luk 17:17). Namun ternyata, setelah mendapati diri mereka telah sembuh, hanya satu orang dari mereka yang kembali kepada Yesus untuk berterima kasih kepada-Nya dan memuliakan Allah. Orang itu adalah seorang Samaria, seorang asing. Ah, ternyata sembilan orang kusta yang lain lebih tertarik kepada kesembuhan yang telah mereka terima, namun tidak peduli kepada Sang Pemberi kesembuhan. Kesembilan orang ini tidak menyadari bahwa Tuhan Yesus tidak hanya ingin memberikan kesembuhan fisik, namun lebih daripada itu, kesembuhan rohani. Dengan kembali kepada Yesus, orang Samaria tersebut menerima berkat lebih banyak lagi, yaitu karunia iman yang menyelamatkan (lih. Luk 17:19).

Orang Samaria ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa kembali kepada Tuhan Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Mari kita lebih mengutamakan Sang Pemberi berkat, daripada berkat-berkat-Nya. Mari kita belajar untuk semakin mendalami iman kita, yang berpusat pada Yesus Kristus, agar kita dapat semakin mengenal dan mengasihi-Nya. Semoga dengan demikian, iman kita bertumbuh dalam kesatuan dengan pengharapan dan kasih, sehingga iman kita sungguh adalah iman yang menyelamatkan. Pertanyaannya sekarang adalah: Di manakah kita dapat kembali menemukan Tuhan Yesus untuk bersyukur kepada-Nya? Memang Tuhan ada di mana-mana, dan dalam doa kita dapat selalu bersyukur kepada-Nya. Namun secara khusus, keseluruhan Kristus, yaitu Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya, hadir dalam Sakramen Ekaristi. Maka sudah selayaknya kita kembali kepada Kristus dalam Ekaristi, untuk bersyukur dan memuliakan Allah, atas segala sesuatu yang diberikan-Nya kepada kita.

Sudahkah kita datang kepada Kristus dalam Ekaristi dengan penuh iman dan syukur? Semoga kita dapat mendengar suara-Nya yang berbisik dalam hati kita, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!”

2 COMMENTS

  1. Saya mengharapkan renungan harian di email saya. Terima kasih.

    [Dari Katolisitas: Mohon maaf, kami belum dapat melakukannya. Yang baru kami mulai untuk melakukannya adalah renungan Mingguan dalam rubrik Embun Minggu.]

Comments are closed.