Latihan Rohani (Spiritual Exercises) dari St. Ignatius dari Loyola menandai spiritualitas Katolik dengan memberikan semacam cara praktis untuk melakukan meditasi dalam kehidupan rohani bagi mereka yang ingin bertumbuh dalam kekudusan. Dalam karyanya, Spiritual Exercises (SE), St. Ignatius menjabarkan banyak cara untuk berdoa, namun yang paling berpengaruh dan paling dikenal adalah apa yang disampaikannya dalam Latihan Pertama (First Exercise– SE 45-54) di mana imajinasi, ingatan, pemahaman dan kehendak dikerahkan dalam meditasi, dan diakhiri dengan percakapan yang akrab dengan Tuhan (yang disebut colloquy). Dengan cara ini, semua kemampuan jiwa diarahkan untuk masuk ke dalam misteri iman agar misteri tersebut dapat tergabung di dalam kehidupan kita dan hati kita, dan dapat menghasilkan buah, yaitu membuat kita menjadi semakin menyerupai Kristus.
1. Jadi langkah-langkah meditasi secara garis besar menurut St. Ignatius, adalah:
A. Langkah pendahuluan meditasi: Gunakan imajinasi
Langkah pertama dari meditasi apapun selalu adalah menyadari bahwa kita berada di dalam hadirat Allah, dan kita memohon kepada-Nya agar membantu kita melakukan meditasi dengan baik dan menghasilkan buah yang baik bagi pertumbuhan rohani kita; dan kita menyampaikan maksud hati yang murni untuk mengasihi dan melayani Dia dengan lebih baik dan mempersembahkannya untuk kemuliaan Tuhan yang lebih besar lagi.
Langkah berikutnya adalah mendayakan imajinasi kita -yang seringnya juga menyebabkan pelanturan (distraction) saat berdoa- untuk menghadirkan sesuatu yang berhubungan dengan misteri yang ingin kita renungkan dalam doa meditasi itu. Maka, jika kita sedang memeditasikan kisah sengsara Tuhan Yesus, kita harus menggunakan imajinasi untuk membayangkan Kristus Tuhan di Taman Getsemani, di hadapan para ahli taurat, di hadapan Pilatus, pada saat memikul salib, dan ketika akhirnya Ia menyerahkan nyawa-Nya dan wafat bagi kita.
Langkah ketiga adalah untuk memohon kepada Tuhan rahmat khusus atau buah yang kita cari di dalam meditasi itu. Ketika kita sedang merenungkan tentang dosa, maka kita memohon agar kita dapat memperoleh rasa sesal yang mendalam, dan dukacita oleh karena dosa kita karena semua itu merupakan tindakan yang berlawanan dengan kasih kepada Allah dan sesama. Jika kita merenungkan kelahiran Tuhan Yesus, maka kita mohon agar memperoleh sukacita yang mendalam dan rasa syukur sebab Ia telah berkenan menjelma menjadi manusia. Jika kita merenungkan kisah sengsara Kristus, kita mohon agar kita dapat turut merasakan dukacita Kristus, yang rela menderita demi menebus dosa-dosa kita. Jika kita merenungkan tentang kebangkitan-Nya, kita mohon agar diberi suka cita yang besar atas kemenangan Kristus atas dosa dan maut.
B. Dayakan ingatan
Berikutnya adalah dayakan ingatan akan suatu kejadian yang telah berlalu yang ingin kita pikirkan secara mendalam. Dapat saja berupa dosa Adam dan Hawa, atau bahkan dosa-dosa saya sendiri. Atau dapat pula kejadian-kejadian yang ada dalam Injil.
C. Renungkanlah
Setelah kita mendayakan ingatan kita akan suatu kejadian tertentu, lalu ingatan itu mengarahkan pikiran kita untuk menghubungkannya dengan kasih Tuhan, belas kasih-Nya yang tak terbatas, pelanggaran dosa, rasa kurang berterima kasih, dukacita dan pengorbanan Kristus, dst. Kita dapat pula merenungkan tentang pikiran Kristus yang ada di dalam Hati-Nya, hasrat-Nya agar kita mau bekerja sama dengan-Nya dan agar kita dapat hidup kudus. Di samping itu, kita dapat pula merenungkan kelemahan kita, kecenderungan kita akan dosa tertentu, apa panggilan Tuhan terhadap hidup kita, bagaimana caranya untuk melayani Tuhan dengan lebih baik, bagaimana untuk menghindari dosa dan bertumbuh dalam kebajikan.
Renungan ini dapat mendorong kita untuk mengungkapkan kasih kepada Allah, pertobatan, penyesalan, ketetapan hati ataupun resolusi untuk mengubah diri ke arah yang baik, ataupun persembahan diri kepada Tuhan. Atau dapat juga hanya merupakan kontemplasi akan apa yang direnungkan. Sikap-sikap batin ini sangat berharga dalam meditasi.
D. Colloquy
Puncak meditasi adalah percakapan yang intim dan langsung dengan Tuhan, yang disebut oleh St Ignatius sebagai ‘colloquy‘ (SE 63). Doa adalah mengangkat hati kepada Tuhan. Bagian- bagian awal dari meditasi bertujuan untuk mempersiapkan kita membuat percakapan dengan Tuhan dengan akrab, dengan perasaan, pemahaman yang mendalam. Ini adalah saatnya memberikan diri dengan murah hati kepada Tuhan.
St. Ignatius memberi contoh-contoh tentang colloquy yang mengakhiri periode meditasi (30-60 menit). Dalam Latihan Rohani tentang Dosa, colloquy dibuat di hadapan Kristus yang tersalib, yang kita bayangkan hadir di hadapan kita. St. Ignatius mengajarkan kita untuk mulai berkata-kata dengan Dia, dan bertanya kepada-Nya, bagaimana bahwa Ia yang adalah Sang Pencipta telah merendahkan diri begitu rupa sampai menjadi manusia, dan untuk menembus kekekalan menuju kematian di dalam waktu di dunia ini, agar dapat wafat demi menebus dosa-dosa kita. Kitapun harus bertanya pada diri sendiri: “Apa yang dapat kuperbuat untuk Kristus? Apakah yang sedang kuperbuat untuk Dia? Apakah yang harus kuperbuat untuk Kristus?” Ketika kupandang Kristus di dalam sengsara-Nya tergantung di salib, aku harus merenungkan apa yang hadir di pikiran saya tentang hal itu.”
Colloquy harus mendorong keakraban kita dengan Kristus, Allah Bapa, Roh Kudus dan Bunda Maria. Percakapan ini merupakan kesempatan untuk menyampaikan kasih kita kepada Tuhan, dan keinginan kita untuk melayani Dia dan berjalan bersama-Nya. Di dalam colloquy ini kita memohon rahmat untuk: 1) memperoleh pengetahuan dan kebencian akan dosa; 2) memahami ketidakteraturan dari perbuatan pelanggaran kita agar kita dapat memperbaikinya; 3) memperoleh pengetahuan tentang dunia sehingga kita dapat berjuang untuk membuang dari kita segala yang bersifat duniawi dan sia-sia.
2. Prinsip dan pondasi meditasi
Latihan rohani tersebut diawali dengan renungan akan tujuan akhir hidup kita (SE, 23):
“Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, dan melayani Tuhan, dan dengan demikian ia memperoleh keselamatan jiwanya. Dan segala sesuatu yang lain di dunia diciptakan untuk manusia dan bahwa mereka dapat membantunya untuk mencapai tujuan akhir yang untuknya manusia diciptakan. Dari sini, artinya, manusia harus mempergunakan hal-hal duniawi tersebut asalkan hal-hal tersebut dapat membantunya mencapai tujuan akhir-nya, dan ia harus membuang hal-hal tersebut sejauh itu menghalanginya untuk mencapai tujuan akhir. Untuk ini, adalah penting untuk membuat diri kita tidak terikat kepada semua hal yang diciptakan, di dalam segala sesuatu yang diperbolehkan menjadi pilihan bebas kita dan yang tidak dilarang; sehingga di pihak kita, kita tidak menginginkan kesehatan daripada penyakit, kekayaan daripada kemiskinan, penghormatan daripada penghinaan, umur panjang daripada umur pendek, sehingga di dalam segala sesuatu, hanya menginginkan dan memilih apa yang paling kondusif bagi kita untuk mencapai tujuan akhir yang untuknya kita diciptakan.” (SE, 23)
Di sini St. Ignatius mengajarkan: 1) keutamaan tujuan akhir di dalam setiap pengambilam keputusan; 2) kenyataan bahwa semua hal yang diciptakan adalah hanya merupakan sarana/ alat untuk mencapai tujuan akhir; 3) pentingnya melakukan discernment tentang penggunaan semua hal yang diciptakan; 4) sangat pentingnya ‘interior detachment‘ (ketidakterikatan dalam batin’ yang disebut juga ‘indifference‘) dari semua hal yang diciptakan (termasuk kesehatan, umur panjang, kekayaan, kehormatan, dst; dan 5) kita harus memilih sarana yang paling kondusif untuk mencapai tujuan akhir kita. Dengan kata lain, kita harus memilih apa yang dapat memberikan kemuliaan yang lebih besar kepada Tuhan: ad majorem Dei gloriam.
‘Indifference‘ yang dimaksudkan oleh St. Ignatius adalah sikap batin untuk bertumbuh dalam kebijaksanaan adikodrati, yaitu kebajikan untuk memilih sarana/ cara yang terbaik demi mencapai tujuan akhir, dan juga karunia nasehat, yang olehnya kita membiarkan diri digerakkan oleh Allah untuk memilih sarana yang terbaik untuk mewujudkan rencana-Nya untuk menguduskan kita dan menyempurnakan kita dalam kasih.
3. Struktur Latihan Rohani yang diajarkan oleh St. Ignatius.
St. Ignatius membagi Latihan Rohani tersebut menjadi empat ‘minggu’. Ini bukan tujuh hari dalam seminggu, tetapi hanya menunjukkan tingkatan dalam perjalanan rohani dan komitmen yang sepenuh hati bagi pelayanan kepada Tuhan.
A. Minggu pertama: Meditasi tentang neraka
Untuk menggambar meditasi tentang neraka, baik jika kita membaca kutipan tulisan St Teresia dari Avila, Life (ch. 32):
“Suatu ketika di dalam doa saya menemukan diri saya, tanpa saya ketahui bagaimana, di dalam keadaan di mana kelihatannya seperti di tengah neraka. Aku mengerti bahwa Allah menghendaki aku melihat di sana sebuah tempat yang disiapkan oleh setan-setan bagi saya, … yang dapat kuterima oleh karena dosa-dosaku…..Di sisi sana ada semacam cekungan di dinding …, di mana saya dimasukkan ke sana dan ditutup dengan rapat…. Aku merasakan api di jiwaku, yang tak kumengerti bagaimana mengungkapkannya…. Kesakitan tubuh yang paling tak tertahankan…. semua tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan jiwa yang merana….sebuah derita kesedihan yang begitu dalam dan dengan dukacita karena ditinggalkan. Sebab untuk mengatakan bahwa jiwa itu dicabut dari akarnya adalah terlalu kecil, sebab sepertinya ada sesuatu yang lain yang mengakhiri hidup kita; tapi di sini jiwa itu sendiri yang nampaknya memotong-motong dirinya sendiri, … terbakar dan hancur menjadi berkeping-keping…. Semuanya menyesakkan, dan tak ada terang, tapi semuanya hitam kelam. Aku tak mengerti bagaimana bisa terjadi, bahwa tanpa terang, semua dapat terlihat dengan pedih… Aku tak tahu bagaimana, tetapi aku mengerti bahwa itu adalah sebuah rahmat dan bahwa Tuhan menghendakiku untuk melihat dengan mata saya sendiri sebuah tempat yang darinya saya telah dibebaskan oleh karena belas kasihan-Nya.”
Maka fase ini adalah waktu untuk merenungkan di dalam hidup kita kasih Allah yang tidak terbatas bagi kita. Kita melihat bahwa tanggapan kita akan kasih Tuhan terhalang oleh dosa. Kita berjuang mengalahkan dosa, sebab kita tahu bahwa Allah ingin membebaskan kita dari segala sesuatu yang menghalangi tanggapan kasih kita kepada-Nya. Fase pertama ini berakhir dengan meditasi tentang panggilan Kristus untuk mengikuti Dia.
B. Meditasi Minggu kedua: Meditasi Kristus sebagai Raja, Dua Standar, dan Tiga Klasifikasi Orang
Meditasi dan doa-doa dari minggu kedua ini mengajarkan bagaimana kita harus mengikuti Kristus sebagai murid-Nya. Di sini kita merenungkan perikop-perikop: Kelahiran Kristus dan Pembaptisan-Nya, khotbah di bukit, mukjizat-mukjizat penyembuhan-Nya dan pengajaran-Nya, membangkitkan Lazarus dari mati. St. Ignatius juga mengajarkan meditasi tentang Kristus sebagai Raja. Prinsip dan pondasi dari meditasi ini adalah untuk mengajarkan kita membuat semua pilihan demi mencapai tujuan akhir, yaitu mengasihi, memuji dan melayani Tuhan. Di sini St. Ignatius mengajarkan kita untuk membuat semua pilihan keputusan kita untuk melayani Kristus Raja yang mengatasi dunia demi kemuliaan Tuhan (SE 91-100). Selanjutnya, St. Ignatius juga mengajarkan meditasi tentang adanya Dua Standar yang berlawanan di dunia, yaitu standar iblis dan standar Kristus (SE 136-147). Meditasi Dua Standar ini dilanjutkan dengan meditasi tentang Tiga Klasifikasi Orang (149-157).
Di meditasi Tiga Klasifikasi orang ini kita merenungkan tiga orang yang memperoleh kekayaan besar dengan cara yang halal. Maka masalahnya bukan masalah dosa. Mereka memperoleh kekayaan ini tanpa memperhitungkan kemuliaan Tuhan ataupun kehendak-Nya. Namun melalui fase minggu kedua ini, ketiga orang itu menginginkan keselamatan jiwa dan damai dari Tuhan karena melaksanakan kehendak-Nya. Mereka telah meninggalkan dosa melalui tahap minggu pertama, dan kini mereka ingin mengetahui kehendak Tuhan bagi mereka. Setelah merenung, mereka mengakui bahwa mereka mempunyai keterikatan yang berlebihan terhadap kekayaan mereka. Namun terdapat tiga kemungkinan reaksi terhadap kesadaran tentang hal itu: 1) tipe orang yang pertama: ingin melepaskan keterikatan yang berlebihan ini, tetapi tidak berhasil karena tidak memilih satu saranapun untuk memeranginya; 2) tipe orang kedua: ingin melepaskan keterikatan yang berlebihan dan melakukan kehendak Tuhan, namun keinginan ini tidak murni, sebab mereka menghendaki Tuhan menyetujui kepemilikan harta mereka; mereka ingin agar kehendak Tuhan sesuai dengan kehendak mereka, bukannya benar- benar terbuka untuk menyesuaikan diri mereka dengan kehendak Tuhan; 3) tipe orang ketiga: melepaskan keterikatannya dengan harta miliknya, “Mereka menghendaki untuk mempertahankan ataupun melepaskannya [harta milik] semata-mata tergantung dari yang Tuhan gerakkan di dalam kehendak mereka, dan juga sesuai dengan apa yang mereka pandang menjadi lebih baik bagi pelayanan dan pujian bagi kemuliaan Ilahi.” (SE 155)
Jadi tujuan meditasi di fase ini adalah: 1) agar kita tidak tuli terhadap panggilan Kristus yang menghendaki kita bekerja bersama Dia, sehingga dengan berjerih payah bersama-Nya, kita dapat masuk pula dalam kemuliaan-Nya. 2) berkarya bersama Tuhan; 3) St. Ignatius mengajarkan hal yang lebih tinggi: yaitu mencapai semangat kebesaran jiwa/magnanimity, yaitu melalui pemberian diri ataupun pengorbanan diri yang total bagi kemuliaan Allah.
Maka menurut St. Ignatius, ketiga hal ini berhubungan dengan tiga tingkat kerendahan hati (SE 165-167): 1) kerendahan hati untuk taat kepada hukum Tuhan di atas segala sesuatu; 2) disposisi ketidakterikatan dengan hal-hal duniawi, kerendahan hati menyerahkan segala sesuatunya kepada kehendak Tuhan, seperti Bunda Maria, “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”; membuang keterikatan terhadap dosa-dosa (bahkan dosa ringan sekalipun) yang disengaja; sehingga demi kasih kepada Tuhan, lebih baik memilih mati daripada dengan sengaja melakukan dosa, bahkan dosa yang ringan; 3) kerendahan hati untuk memilih jalan hidup yang dilalui Kristus sebagai jalan hidupnya sendiri.
Atas dasar ini, seseorang juga dapat memilih jalan hidup panggilan yang ingin ditempuhnya (135, 169-189), yang didasari oleh satu kesadaran bahwa jalan panggilan hidup ini hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir. Ada dua cara yang diajarkan oleh St. Ignatius dalam memilih panggilan hidup:
1.Tiga kondisi yang dapat meyakinkan kita akan kehendak Tuhan dalam hidup kita:
1) Kondisi pertama, (ini jarang terjadi/ extraordinary) bahwa kita sudah dengan sangat yakin; inilah kehendak Tuhan bagi kita.
2) Kondisi kedua: kita sampai pada suatu kejelasan dan pengetahuan tentang apa yang harus kita pilih setelah melalui pengalaman konsolasi dan desolasi.
3) Kondisi ketiga (yang paling umum) adalah ketika kita merasakan damai sejahtera akan pilihan kita tersebut.
2. Empat pertimbangan lain untuk mengetahui kehendak Tuhan:
1) Periksalah, atas dasar kasih kepada siapa yang mendorong kita melakukan hal itu: apakah murni untuk kemuliaan Tuhan ataukah untuk kemuliaan diri kita sendiri.
2) Bayangkanlah jika ada seseorang datang kepada kita meminta saran/ bimbingan akan permasalahan yang sama ini, untuk memberikan kemuliaan yang lebih besar kepada Tuhan. Kita membayangkan apakah jawaban kita kepadanya, dan lalu terapkanlah jawaban itu kepada diri kita sendiri.
3) Pikirkan seandainya kita sedang dalam sakrat maut, pikirkan apa yang akan kita pilih pada saat itu sebelum kita memasuki kekekalan.
4) Pikirkan kita pada saat hari penghakiman, dan bagaimana kita berharap telah memutuskan tentang hal itu, agar mencapai pada pemenuhan hasrat batin dan sukacita pada saat penghakiman itu.
C. Meditasi Minggu ketiga (tentang Kisah Sengsara Yesus- Kontemplasi pertama)
Kita merenungkan Perjamuan Terakhir, kisah sengsara dan wafat Tuhan Yesus. Kita melihat bahwa penderitaan-Nya dan rahmat Ekaristi sebagai pernyataan kasih Allah yang paling sempurna.
St. Ignatius menjelaskan tentang rahmat Allah yang diperoleh di minggu ketiga ini mengarahkan kita kepada kontemplasi yang pertama: “Di sini saatnya memohon agar turut merasakan dukacita yang mendalam… karena Tuhan menjalani sengsara-Nya demi dosa-dosa saya.” (SE, 193). Selanjutnya, “Ingatlah betapa Ia menderita semua ini demi dosa-dosa saya… dan juga tanyakan [pada diri sendiri], Apakah yang harus kulakukan bagi-Nya?”.
Saat merenungkan kisah sengsara Tuhan Yesus, adalah layak jika kita memohon, “dukacita bersama Kristus yang berduka cita, hati yang hancur bersama dengan Kristus yang hancur, karunia air mata dan penderitaan batin karena besarnya penderitaan yang telah dipikul oleh Kristus demi aku.” (SE, 203).
D. Meditasi Minggu ke-empat: Kebangkitan Kristus dan penampakan Kristus setelah kebangkitan-Nya kepada Bunda Maria dan para murid-Nya (SE, 218-225)
“Di sini kita memohon rahmat untuk bersukacita dan bergembira dengan sangat oleh karena kemuliaan dan suka cita yang besar dari Kristus Tuhan kita.”(SE, 221)
Setelah meng-kontemplasikan peristiwa-peristiwa mulia, kita merenungkan, “betapa keilahian, yang nampaknya tersembunyi sepanjang kisah sengsara Kristus, kini memperlihatkan diri dan menyatakan dirinya secara ajaib di dalam Kebangkitan-Nya yang kudus ini, melalui akibat-akibat-nya yang sejati dan terkudus.” (SE, 223). Selanjutnya, kita merenungkan, “peran Sang Penghibur yang diutus oleh Kristus dan membandingkannya dengan cara sahabat saling menghibur.”
Pada minggu ke-empat ini kita mengalami penghiburan rohani yang mendalam dan sukacita, peluasan jiwa, dan persatuan yang erat dengan Yesus Kristus, yang menghibur kita dengan akrab. Penghiburan ini memperlengkapi kita untuk meneguhkan pilihan status panggilan hidup ataupun reformasi hidup yang telah dibuat di dalam latihan rohani ini. Sebab pengalaman damai sejahtera rohani yang mendalam merupakan tanda bahwa kita telah dengan benar melihat kehendak Allah bagi kita.
4. Doa di dalam Latihan Rohani
Terdapat dua macam bentuk doa yang diajarkan di Latihan Rohani, yaitu meditas dan kontemplasi. Di dalam meditasi, kita menggunakan pikiran. Kita merenungkan prinsip-prinsip dasar yang membimbing kehidupan kita. Kita berdoa dengan kata-kata, gambar dan ide-ide. Kontemplasi adalah lebih berupa perasaan daripada pikiran. Kontemplasi sering mencampur emosi dan menyalakan keinginan-keinginan yang mendalam. Di dalam kontemplasi, kita mengandalkan imajinasi kita untuk menempatkan diri kita di dalam “setting” peristiwa dalam Injil ataupun dalam kejadian yang diusulkan oleh St. Ignatius. Kita berdoa dengan Kitab Suci, bukan mempelajarinya.
Dengan meditasi dan kontemplasi ini, kita melakukan “discerment of spirits“/ pembedaan roh. Kita melihat pergerakan batin dan melihat ke mana pergerakan itu memimpin kita. Jika kita melakukannya secara rutin, kita akan terbantu dalam membuat keputusan dengan baik. St. Ignatius menekankan pentingnya pemeriksaan batin yang dilakukan secara teratur/ rutin di dalam kehidupan rohani. Jika kita melakukannya secara rutin, jiwa kita akan menyadari akan titik kelemahan kita, dan jika kita terus merenungkannya dan berjuang mengalahkan titik kelemahan itu, maka kita akan dapat memperoleh kebajikan yang menjadi lawan dari titik kelemahan tersebut. Untuk melawan kekurangan tertentu (misalnya, kesombongan, kemalasan, dst), St. Ignatius menyarankan diadakannya pemeriksaan batin dua kali sehari, agar kita dapat menelusuri perkembangan kita mengalahkan kelemahan kita itu.
Demikianlah sekilas tentang ringkasan Latihan Rohani (Spiritual Exercises) yang diajarkan oleh St. Ignatius dari Loyola. Penekanan yang diajarkannya adalah, agar kita dapat menjalankan kehidupan kita di dunia ini dengan mata hati terarah kepada tujuan akhir kita kelak bersama Tuhan di surga. Dengan demikian, dalam segala sesuatu hati kita terdorong untuk melakukan apapun yang dapat mendatangkan kemuliaan yang lebih besar kepada Tuhan: for the greater glory of God, ad majorem Dei gloriam!
Syaloom! belakangan ini dalam meditasi saya ada muncul kesadaran yang saya rasakan bahwa JIWA mau keluar dari dalam TUBUH tapi karena ada rasa takut dan tidak memahami fenomena tersebut maka akhirnya saya hentikan meditasinya. Saya ada membaca buku John J.Heaney tentang : yang kudus dan yang ajaib. Dari buku itu saya memahami bahwa ada hipotesis atau kemungkinan JIWA berada di luar tubuh dan menempuh hidup yang lebih luas dari kematian. Saya baca juga St.Teresia dari Avila mengatakan hal tersebut. Saya mau melanjutkan kesadaran yang lebih luas itu dengan JIWA yang terlepas dari tubuh hanya saja saya perlu seorang guru atau orang yang mengerti hal ini untuk mendampingi saya. Apakah ada orang yang mengenal punya kemampuan tersebut dalam gereja katolik? Atau ada referensi? Terimakasih dan salam!
Salam Mercelles,
Anda memerlukan seorang pembimbing rohani. Silakan menghubungi pastor di paroki Anda.
Memang, jika dilakukan dengan intensif, doa akan membawa jiwa pada-Nya. Namun sebagaimana sebuah perjalanan, seorang yang mau maju dalam hidup rohani, memerlukan peta jalan, petunjuk jalan, pembimbing perjalanan dan teman berjalan agar sampai ke tujuan. Silakan membaca buku “Latihan Rohani” karya St. Ignatius Loyola, terbitan Kanisius, Yogyakarta yang sudah ada di toko-toko buku. Ringkasan Latihan Rohani St Ignasius juga dapat Anda baca dalam artikel di atas, atau silakan klik di sini.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Shalom,
saya adalah salah satu seminaris dari Seminari Menengah Stella Maris Bogor, dan saya berada ditingkat akhir. Saya sedang mengerjakan sebuah skripsi yg berhubungan dengan Examen Conscientiae, saya belum menemukan pandangan Gereja terhadap examen conscientiae tersebut. Mohon bantuannya, Terima Kasih. Tuhan Memberkati
Shalom Michael,
Karena Anda menanyakan bahan untuk skripsi, maka ada baiknya jika Anda mencari sendiri materi tentang Examen Conscientiae (examination of conscience) ini, sebab itu merupakan bagian dari proses pembelajaran bagi Anda. Dalam buku Katekismus, ada cukup banyak keterangan yang berhubungan dengan hati nurani (conscience) dan mengapa itu perlu dibentuk/ diarahkan agar tidak keliru. Nah pemeriksaan batin/ hati nurani ini berhubungan dengan pembentukan hati nurani agar senantiasa disesuaikan dengan perintah dan kehendak Allah.
Lalu, silakan juga Anda mencari/ membaca di dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, juga sehubungan dengan hati nurani. Paus Yohanes Paulus II juga pernah memberikan homili-nya sehubungan dengan hati nurani ini, pada tanggal 13 September, 1987 di Westover Hills, San Antonio, Texas, juga tentang hati nurani/ conscience. Contohnya bisa dilihat di buku the Handbook of Prayers, edited by Fr. Jim Socias, atau di artikel ini, silakan klik. Silakan Anda mencari selanjutnya di internet.
Teriring doa dari kami di Katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Sayang. Meditasi yang baik adalah berdoa terus dan kosentrasi kepada kehadiran Yesus. Bukan berimajinasi. Coba saja maka anda mungkin dapat merasakan seperti yang saya rasakan yaitu puncak meditasi yang dimulai dengan mendengar desing angin lalu disertai dengan keheningan. Jika sudah sampai di situ anda mungkin lebih mudah merasakan sensasi kehadiran roh yang sangat halus seperti lapisan air atau udara di sekeliling tubuh anda bila anda sedang berdoa. <3 from Christ. :-D
Shalom Budi,
Memang meditasi tidak sama dengan imajinasi. St. Ignatius juga tidak mengajarkan bahwa keduanya sama. St. Ignatius mengajarkan bahwa imajinasi dapat merupakan langkah awal agar kita dapat berkonsentrasi akan Tuhan yang hadir, dan bahwa kita berada dalam hadirat Tuhan.
Silakan membaca kembali artikel di atas, berikut ini saya copy -paste:
“A. Langkah pendahuluan meditasi: Gunakan imajinasi
Langkah pertama dari meditasi apapun selalu adalah menyadari bahwa kita berada di dalam hadirat Allah, dan kita memohon kepada-Nya agar membantu kita melakukan meditasi dengan baik dan menghasilkan buah yang baik bagi pertumbuhan rohani kita; dan kita menyampaikan maksud hati yang murni untuk mengasihi dan melayani Dia dengan lebih baik dan mempersembahkannya untuk kemuliaan Tuhan yang lebih besar lagi….”
Maka kalau Anda katakan bahwa Anda “berdoa terus dan konsentrasi kepada kehadiran Yesus“, itu artinya Anda melakukan yang disarankan oleh St. Ignatius. Hanya kemungkinan Anda tidak mengikuti langkah berikutnya yang disarankan oleh St. Ignatius.
Doa bagi kita umat Kristiani bukan semata merasakan sensasi atau perasaan emosional tertentu yang menyenangkan. Doa adalah suatu komunikasi batin, hubungan kasih antara kita dengan Tuhan yang mempersatukan. Dalam spiritualitas Katolik, perasaan emosi/konsolasi dalam doa, baru merupakan tahap awal. Ketika seseorang mengalami pengalaman pertobatan, ketika ia menjadi serius untuk berusaha menyenangkan Tuhan- kerap kali Tuhan mengirimkan kepadanya pengalaman-pengalaman konsolasi itu, untuk membantu orang tersebut memisahkan jiwanya dari hal-hal duniawi. Tetapi jika pengalaman ini terus menerus dialaminya, maka menjadi berbahaya bagi pertumbuhan rohaninya. St. Fransiskus dari Sales mengatakan kita perlu waspada agar jangan sampai kita mencari pengalaman-pengalaman konsolasi tersebut, lebih daripada mencari Tuhan yang memberikan pengalaman tersebut. Maka seringnya, dalam hidup seseorang, ada saatnya Tuhan memutuskan untuk tidak lagi memberikan pengalaman konsolasi, justru untuk memurnikan iman orang tersebut. Orang yang dapat membuktikan kesetiaan imannya kepada Tuhan dalam keadaan sedemikian inilah, yang dapat kemudian mengalami persatuan dengan Tuhan yang sempurna. Sebab dengan mengalami juga pengalaman desolasi, sebagaimana Kristus mengalaminya saat Ia disalibkan, orang tersebut sungguh-sungguh disatukan dengan Kristus, dan dengan demikian disatukan pula dengan kuasa Roh Kudus yang membangkitkan Kristus dari kematian. Dan kesatuan dengan Kristus inilah yang menjadikan orang itu semakin hari semakin menyerupai Kristus, semakin rendah hati dan semakin mengasihi sesamanya, demi kasihnya kepada Allah.
Semoga Tuhan memberikan rahmat-Nya kepada kita, untuk juga setia berdoa dan beriman kepada-Nya, sampai akhir hidup kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Bp Stefanus dan Ibu Ingrid,
Mohon sharingnya untuk pertanyaan saya ini, kadangkala pada saat saya ke gereja, ada saat2 tanpa alasan jelas saya merasa sangat terharu dan ingin sekali menangis,bahkan kadang sudah saya tahan2 tapi tetap air mata menetes juga. Padahal saya merasa sedang tidak ada masalah berat atau apapun yg saya bawa dalam doa atau ada tujuan apapun dlm kedatangan saya ke gereja, hanya saya ingin mengikuti misa saja seperti biasa. Seperti misalnya pada minggu palma kemarin, saya datang ya karena minggu palma saya harus ke gereja. Tetapi begitu misa dimulai tiba2 semua terasa menyentuh dan tanpa alasan saya meneteskan air mata. Mungkin kedengarannya konyol, tapi begitulah, saya lihat umat lain biasa2 saja.Pernah juga suatu ketika, pada saat misa dinyanyikan lagu Bapa kami, biasanya saya biasa saja,saat itu saya mencoba menyanyi dengan telapak tangan terbuka seperti menerima komuni (sebelumnya saya menyanyi dg sikap tangan biasa), tiba2 tanpa alasan saya sangat tersentuh dan saya susah payah menahan tangis sampai tidak dapat menyanyi sama sekali.
Hal2 seperti ini kadang terjadi tanpa alasan, bukan karena mendengar kotbah romo, atau ada kata2 dlm misa yg menyentuh. Jadi tanpa alasan apapun. Pernah juga terjadi saat mengikuti misa jumat pertama dengan adorasi sakramen maha kudus,tiba2 saya merasa begitu terharu, sampai untuk berdoa saja saya tidak mampu, rasanya saya paksakan berdoa kata2 saya malah kacau. Masih ada contoh hal2 seperti ini terjadi.
Mungkin ada yang pernah mengalami hal seperti ini? Apakah ini karena saya yang belum cukup ‘baik’ dalam kehidupan iman saya?
Mohon sharingnya…Terimakasih sebelumnya.
May.
[Dari Katolisitas: Pertanyaan serupa sudah pernah ditanyakan dan sudah pula kami tanggapi, silakan membaca di sini, silakan klik. Silakan juga membaca artikel tentang Latihan Rohani menurut St. Ignatius Loyola di atas. Menangis pada saat berdoa bukan sesuatu hal yang memalukan, namun dapat diarahkan untuk membangun iman kita.]
shalom
Tolong saya, beritahukan saya bagaimana cara berdoa dengan baik? bagaimana cara kita berbicara dengan Tuhan? karena saya sedang mengalami peperangan iman. terima kasih atas jawabannya
Tuhan Memberkati,
salam saya
ADI
[Dari Katolisitas: SIlakan membaca artikel yang ditulis Rm. Wanta tentang doa, silakan klik. Doa yang baik adalah doa yang keluar dari hati. Maka, mari dalam berdoa, kita mengarahkan hati sepenuhnya kepada Tuhan dan dengan kerendahan hati menyampaikan doa-doa kita yang keluar dari hati.]
Setahu saya istilah dua standard bagi yang pernah menjalani retreat agung 30 hari memang agak asing. Setahu saya dulu disebut dua panji atau dua bendera. Panji Kristus dan Panji Si Jahat, nah kita tentu ingin di bawah panji Kristus. Saran saya, kalau mau mendalami, silakan ke rumah retreat sj saja. Coba meminta (walaupun biasanya tidak gampang), pasti Yohanes akan lebih jelas saat menjalaninya.
Salam
[dari katolisitas: Kalau kita melihat buku “Spiritual Exercise”, maka kata “standard” digunakan. Namun, standard ini juga berarti bendera, yang menyatakan kita masuk dalam golongan yang mana. Lihat link ini: http://www.ignatianspirituality.com/ignatian-prayer/the-spiritual-exercises/the-two-standards/ ]
Dear Katolisitas
Bisakah latihan rohani ini kita jalankan sendiri tanpa bantuan dari pastor?
Terima kasih
Shalom Imelda,
Dalam Latihan Rohani tersebut, St. Ignatius mengajarkan beberapa prinsip cara meditasi. Meditasi ini dapat dilakukan juga untuk merenungkan kisah-kisah dalam Kitab Suci, dengan cara membayangkan diri kita hadir dalam kejadian tersebut, ataupun kita menjadi sebagai salah satu dari tokoh dalam perikop yang dengan kita renungkan. Atau cara meditasi, dengan membayangkan kisah kelahiran Tuhan Yesus Kristus ataupun kisah sengsara Kristus. Cara meditasi sedemikian dapat kita lakukan sendiri tanpa bimbingan imam/pastor. Bukankah meditasi macam ini juga kurang lebih kita lakukan pada saat berdoa rosario, dengan merenungkan peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus.
Namun, salah satu kekhususan meditasi yang diajarkan oleh St. Ignatius dari Loyola ini adalah meditasi yang dilakukan untuk menentukan suatu keputusan, yang berkaitan dengan panggilan hidup, ataupun suatu keputusan yang penting lainnya dalam kehidupan kita. Dan untuk hal ini, ada baiknya jika kita meminta bimbingan dari imam yang mendalami Latihan Rohani ini, agar ia dapat membantu kita dalam proses discernment sehingga nantinya kita dapat mengambil keputusan dengan benar.
Untuk mengetahui tentang retret semacam ini (dapat diadakan selama 7 hari atau bahkan sampai 30 hari) silakan menghubungi rumah-rumah retret SJ yang menerapkan Latihan Rohani sebagaimana diajarkan oleh St. Ignatius dari Loyola tersebut, seperti di Girisonta, ataupun di Chiang Mai, Thailand, seperti ada di situs ini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Katolisitas
Apakah Team Katolisitas tahu di mana diadakan kelas LR Ign Loyola ini? Khususnya yang materi dan waktunya sudah disesuaikan untuk peserta Karyawan di Jakarta?
GBU.
[Dari Katolisitas: Terus terang kami tidak tahu di mana kelas latihan rohani menurut St. Ignatius dari Loyola diadakan di Jakarta. Apakah ada dari pembaca yang mengetahuinya?]
Setahu saya, Serikat Jesus tidak mengadakan semacam kursus/kelas LR ini untuk umum. Kalaupun ada untuk umum, pastinya tidak secara komersil dengan jadwal tertentu. LR yang baik harus ada pembimbingan yang benar dari seorang imam yang ditunjuk yang menguasai; tidak bisa hanya mengikuti text-book. LR ini tidak bisa dilakukan dengan cara mencomot sebagian-sebagian saja; karena akan kehilangan esensinya sebagai latihan rohani.
Sewaktu di biara fransiskan pada kesempatan retret 1 bulan, saya berkesempatan mengikuti LR Ignatius Loyola dengan dibimbing oleh Rm. Mardi Prasetyo SJ (alm.) dan bagi saya tahap yang paling sukar adalah apa yang disampaikannya dalam Latihan Pertama (First Exercise).
LR dari Ignatius Loyola ini merupakan bagian dari spiritualitas Ignatian yang juga adalah salah satu harta kekayaan dari Gereja Katolik. Ada banyak spiritualitas lainnya, misalnya spiritualitas Fransiskan yang memberi penekanan pada kemiskinan/kesahajaan, spiritualitas Benediktin yang menekankan hidup ketaatan, spriritualitas Opus Dei, Karmelit, dll. Semuanya pada intinya adalah cara/jalan untuk mengusahakan hidup bakti/kekudusan. Setiap orang bebas memilih spiritualitas yang ingin dihayatinya dan sesuai dengan karakternya. Tetapi jika seseorang baru mau memulai, sebaiknya didampingi oleh pembimbing rohani agar tidak salah arah.
Di Penerbit Kanisius tersedia Buku Latihan Rohani St. Ignatius (seri Ignasiana). Buku itu tidak dimaksudkan sebagai “bacaan rohani” tetapi panduan untuk menolong “pemberi retret,” yang membimbing orang yang mengadakan latihan rohani selama retret.
Terima kasih untuk Katolisitas atas tulisan LR ini.
salam kasih,
erwin.
Dear Mas Erwin,
Terimakasih atas infonya, Memang saya pernah membeli buku itu, sudah saya baca, dan ternyata memang bukan buku pengantar peserta. Kelihatannya memang LR ini agak sulit kalau hanya dari buku saja dan memang butuh pendamping untuk mengarahkan.
Saya tetap berusaha dengan membaca buku itu sambil mencari2 info kalau2 memang ada kelas tatap muka untuk LR ini. Kalau untuk meluangkan waktu satu bulan utk LR ini sepertinya agak sulit bagi saya.
Salam,
Hi Kris,
Menambahkan komentar Erwin di bawah. Saya dulu sekolah di sekolah yang dikelola Pater2 Jesuit selama 6 tahun tetapi juga tidak pernah mendengar soal LR ini. Tidak pernah juga mendengar setelah lulus ada LR untuk umum/karyawan.
Tetapi kalau Kris memang mau meluangkan waktu, bisa di coba untuk menghubungi salah satu romo Jesuit karena kalau tidak salah mereka memberikan LR untuk umum di rumah retret yang masih satu kompleks dengan novisiat mereka di Girisonta, Semarang. Lamanya 28 hari (4minggu). Coba di cross check lagi dengan salah satu Jesuit.
Salam,
Edwin ST
Dear Erwin ST.
Terimakasih infonya. Sy akan coba follow.
Salam
Hi Kris,
Sedikit tambahin detail dari Pusat Spiritualitas Girisonta saya ambil dari http://puspita.provindo.org/
Terima kasih atas kunjungan Anda di Puspita (Pusat Spiritualitas Girisonta). Puspita adalah karya pelayanan kerohanian Serikat Jesus Provinsi Indonesia bagi Gereja di Indonesia dalam bentuk retret dan kursus-kursus kerohanian. Sebagai sebuah karya kerohanian Serikat Jesus, Puspita menyelenggarakan kursus-kursus terutama bagi kaum religius melalui pedagogi Latihan Rohani (Spiritual Exercises) Santo Ignasius Loyola. Latihan Rohani gaya Ignasian ini bertujuan membantu peserta kursus dan peserta retret terbimbing dalam merefleksikan hidup berlandaskan pada spiritualitas Santo Ignasius, yaitu mengarahkan diri pada Kristus sebagai Tuhan, Penebus dan Sahabat. Dengan demikian diharapkan, peserta kursus dan retretan semakin menjiwai hidup dan karya mereka dalam kenyataan sehari-hari selaras dengan panggilan, bakat dan kemampuan masing-masing. Ad Maiorem Dei Gloriam!
——————————————————————-
Silahkan mengunjungi website di atas untuk info lebih lanjut.
AMDG!
Edwin
Dear Katolisitas dan teman2 semua,
di Jakarta dan Jogjakarta sebenarnya ada program pendalaman Spiritualitas Ignasian dan Latihan Rohani yang diadakan oleh komunitas Magis Jakarta. Namun program tersebut diprogram untuk pendampingan Orang Muda Katolik berumur 18-35 tahun dan belum menikah. Programnya sendiri berlangsung selama kurang lebih 1 tahun (11 sampai 12 bulan) dengan mengadakan pertemuan 1 bulan sekali di hari minggu untuk mendalami materi2 yang telah dipersiapkan. pematerinya sendiri biasanya diberikan oleh Romo / Frater dari Serikat Yesus atau Kongregasi Suster-suster yang mendalami spiritualitas Ignasian juga.
untuk teman-teman yang tertarik dan ingin mengetahui lebih lanjut bisa mengunjungi situs kami di:
http://magis-indonesia.org/aboutus.php
Terima kasih
Regards,
Septian Marhenanto
anggota maGis Jakarta 2011
Shalom,
diatas disebutkan tiga kondisi yang dapat meyakinkan kita akan kehendak Tuhan dalam hidup kita. Kondisi yang paling umum adalah adanya damai sejahtera dan kondisi yang lebih khusus adalah pengetahuan tentang apa yang harus kita pilih setelah melalui pengalaman konsolasi dan desolasi.
Apakah ini berarti bahwa melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan tidak selalu diawali dengan perasaan damai sejahtera pada awalnya? Karena banyak kita dengar kalau apakah sesuatu itu merupakan kehendak Tuhan atau bukan ya dari ada atau tidaknya damai sejahtera itu.
Terima kasih. GBU
Shalom Agung,
Ya, ketentuan umum dikenalinya kehendak Tuhan adalah adanya damai sejahtera di hati saat kita memutuskan sesuatu. Namun demikian, seringkali setelah diambil suatu keputusan tersebut, dapat terjadi keadaan konsolasi maupun desolasi yang dapat membuat kita bertanya-tanya kembali, apakah keputusan yang diambil tersebut adalah sungguh kehendak Tuhan.
Tentang konsolasi dan desolasi ini terdapat beberapa ketentuan prinsip, yang tak terlepas dari perkembangan rohani orang yang bersangkutan. Beberapa tahapan dan ketentuannya yaitu (diadaptasi dari sumber selengkapnya: klik di sini):
1. Pada orang- orang yang sering melakukan dosa berat, maka si Jahat umumnya menggoda mereka dengan kesenangan duniawi, membuat mereka membayangkan nikmat dunia untuk menyeret mereka ke dalam dosa. Namun di dalam mereka, Roh Kudus dapat memberikan peringatan di dalam hati nurani mereka melalui proses dalam akal budi. Maka metoda berpikir menggunakan akal budi cocok digunakan pada tahap ini.
2. Pada orang-orang yang ada dalam proses membersihkan diri dari dosa dan bangkit melakukan hal-hal yang lebih baik untuk melayani Tuhan, maka metoda yang dilakukan oleh si Jahat adalah terbalik, yaitu ia membuat sedih, menempatkan halangan, membuat tidak tenang dengan banyak alasan agar mereka tidak bertahan. Maka baik jika di tahap ini terus diusahakan kekuatan, penghiburan, inspirasi, dan penyingkiran segala penghalang, agar mereka dapat terus melakukan yang baik.
3. Tentang Konsolasi rohani. Disebut konsolasi rohani, ketika di dalam jiwa dihasilkan dorongan di mana jiwa dapat dinyalakan oleh api cinta kasih Allah Sang Pencipta; dan sebagai akibatnya, jiwa dapat mengasihi, bukan mahluk ciptaan di dunia, tetapi Allah Pencipta segala sesuatu.
Konsolasi dialami saat kita menitikkan air mata yang mendorong kita untuk mengasihi Allah, entah karena rasa dukacita akibat dosa kita, atau karena merenungkan Kisah Sengsara Tuhan kita Yesus Kristus, atau karena hal-hal lain yang berhubungan dengan pelayanan-Nya maupun pujian kepada-Nya.
Disebut juga sebagai konsolasi, setiap pertambahan harapan, iman dan cinta kasih dan semua sukacita di dalam hati yang mengingat dan menarik kepada hal-hal surgawi dan kepada keselamatan jiwa seseorang, dan menyerahkannya ke dalam tangan Tuhan Sang Pencipta.
4. Tentang Desolasi rohani: Desolasi rohani adalah kebalikan dari konsolasi, seperti kekelaman/ kegelapan di jiwa, dorongan ke hal-hal yang rendah dan duniawi, ketidaktenangan oleh pergerakan emosi dan godaan, kekurangan kepercayaan diri, tanpa harapan, tanpa cinta kasih, ketika seorang mendapatkan dirinya malas, suam-suam kuku, sedih dan seperti seolah terpisah dari Tuhan Sang Pencipta. Pikiran yang datang pada masa desolasi bertentangan dengan pikiran yang datang pada masa konsolasi.
5. Di saat desolasi, jangan pernah membuat perubahan; tetapi harus tetap teguh dan secara terus menerus tetap pada resolusi/ keputusan dan keyakinan yang diperoleh sehari sebelum pengalaman desolasi terjadi, atau di dalam keyakinan yang kita miliki di saat pengalaman konsolasi sebelumnya. Sebab, di dalam konsolasi, semangat yang baiklah yang membimbing dan menghibur kita, sedangkan di saat desolasi adalah semangat yang tidak baik, sehingga dalam kondisi ini kita tidak dapat membuat keputusan dengan benar.
6. Walaupun di saat desolasi kita seharusnya tidak mengubah resolusi yang sudah kita buat, namun adalah sangat membantu, jika kita mengubah diri kita melawan desolasi, yaitu dengan semakin rajin berdoa, meditasi, memeriksa batin dan dengan semakin banyak melakukan perbuatan silih/ tanda pertobatan.
7. Di saat desolasi, mari merenungkan bagaimana Tuhan telah menguji kita di dalam kekuatan kodrati kita, agar kita dapat mengalahkan godaan si Jahat, sebab kita dapat melakukannya dengan bantuan Ilahi, sebab Tuhan telah memberikan rahmat dan kasih yang besar yang cukup untuk keselamatan kekal.
8. Biarlah siapapun pada saat desolasi berusaha dengan kesabaran, walaupun bertentangan dengan godaan yang datang kepadanya. Biarlah ia berpikir bahwa ia akan segera dihibur (mengalami konsolasi), dan berusaha melawan desolasi sebagaimana disebut di point 6.
9. Terdapat tiga alasan, mengapa kita mengalami desolasi: 1) karena kita suam-suam kuku, malas atau mengabaikan latihan rohani kita, dan juga melalui kesalahan-kesalahan kita, konsolasi rohani tidak lagi kita alami; 2) karena Tuhan menguji kita untuk melihat bagaimana kita melayani dan seberapa jauh kita memberikan diri dalam pelayanan dan pujian kepada Tuhan tanpa imbalan konsolasi dan rahmat yang besar; 3) untuk memberikan pengenalan dan pengetahuan yang sejati, bahwa kita dapat secara rohani merasakan bahwa bukan bagian/ milik kita untuk menjaga/ memelihara devosi yang besar, kasih yang menyala, air mata ataupun konsolasi rohani lainnya, tetapi semua itu adalah karunia dan rahmat Tuhan. Bahwa kita tak dapat membuat sarang di dalam hal yang bukan milik kita, atau menaikkan pikiran kita pada suatu kesombongan yang sia-sia, menganggap bahwa segala devosi dan segala yang berhubungan dengan konsolasi rohani sebagai milik/ usaha kita sendiri.
10. Biarlah ia yang mengalami konsolasi berpikir akan bagaimana kelak ia di dalam keadaan desolasi yang akan dialaminya di waktu mendatang, dan dengan demikian memperoleh kekuatan pada saat itu.
11. Biarlah ia yang dihibur dapat merendahkan dirinya sedapat mungkin, berpikir bahwa betapa kecil yang dapat dilakukannya pada saat desolasi, tanpa rahmat yang diterimanya di saat konsolasi. Sebaliknya biarlah ia yang di dalam keadaan desolasi berpikir bahwa ia akan dapat melakukan banyak hal dengan rahmat yang cukup untuk mengalahkan si Jahat, dengan mengandalkan kekuatan dari Tuhan Sang Pencipta.
Demikian sekilas mengenai konsolasi dan desolasi. Dengan dipahaminya ciri-ciri dua keadaan ini, kita juga dapat terbantu dalam membuat keputusan yang penting di dalam hidup, dan tetap teguh berpegang dan melakukan yang baik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih Bu Inggrid untuk informasinya. Sangat membantu… GBU
Terima kasih atas petunjuk LR St. Ignatius Loyola yang singkat padat dan jelas.
AMDG.
Edwin
Terima Kasih Banyak Ibu Ingrid Listiati..
Akhirnya… :)
____________________________________
For the greater glory of God, ad majorem Dei gloriam!..
____________________________________
Berkah Dalem Gusti..
Fiat Voluntas Tua^^
Der Herr Jesus Segne Dich..
Shalom..^^
Maaf Ibu.. mau tanya..
Mengenai Meditasi Minggu kedua: Meditasi Kristus sebagai Raja, Dua Standar, dan Tiga Klasifikasi Orang..
saya kurang begitu paham / jelas mengenai Dua standar..
Disana dijelaskan Dua Standar yang berlawanan di dunia, yaitu standar iblis dan standar Kristus, maksudnya bagaimana ya..?^^
Mohon penjelasannya, Terima kasih.. ^^
Berkah Dalem Gusti..
Fiat Voluntas Tua^^
Der Herr Jesus Segne Dich..
Shalom Yohanes,
Meditasi Dua Standar yang diajarkan oleh St. Ignatius dari Loyola mengambil prinsip seperti yang diajarkan oleh St. Agustinus dalam tulisannya City of God, tentang adanya pertentangan antara kasih kepada kepada Tuhan (love of God) dan kasih kepada diri sendiri (love of self). Kasih kepada diri sendiri yang dimaksud di sini adalah mencintai diri sendiri secara berlebihan sehingga membenci ataupun mengesampingkan Tuhan. Tuhan Yesus juga mengajarkan bahwa jalan-Nya bertentangan dengan jalan/ cara pandang dunia; sehingga mereka yang mengikuti cara dunia menentang Kristus (lih. Luk 11:23)
Berikut ini adalah tulisan yang saya adaptasikan dari tulisan Fr. Joseph A. Tetlow, SJ tentang Meditasi Dua Standar, yang selengkapnya dapat dibaca di link ini:, silakan klik:
… Semua murid Kristus harus memilih, di mana mereka akan berdiri: sepihak dengan Yesus atau dengan dunia. Kita yang sudah menerima Baptisan dan Krisma, dipanggil untuk berdiri di bawah bendera Kristus.
Kita mengambil standar Yesus, ketika kita mempunyai keyakinan yang hidup bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian Tuhan. Entah kita memiliki banyak atau sedikit, kita tetap mengatakan dengan syukur, “Lihatlah pada segala yang Tuhan berikan pada saya”. Hal ini akan membantu kita agar tidak menjadi orang yang sombong. “Apa yang dapat saya bantu?” harus menjadi pertanyaan kita sepanjang hari. Melalui kehidupan kasih dan pelayanan, Roh Kudus membantu kita untuk menjadi lemah lembut dan rendah hati, entah kita menjadi seorang penari yang tersohor ataupun seorang programmer komputer yang tak dikenal.
Cara dunia berbeda sama sekali. Titik tolaknya adalah memperoleh kekayaan sebanyak mungkin. Kamu akan mengatakan, “Lihat akan semua barang ini yang kumiliki,” atau “Lihatlah aku dengan segala barang ini.” Dan akhirnya kamu dapat berkata, “Lihatlah aku.” Kamu menjadi yakin bahwa kamu adalah pusat dunia. Memang kamu dapat saja belum berdosa, tetapi itu hanya tinggal tunggu waktu.
Tiga Bentuk Pertentangan dengan Standar Dunia
Standar dunia memikat para murid Kristus, sama seperti memikat banyak orang yang lain. Maka, meskipun kita sudah membuat pilihan untuk mengikuti standar Kristus, namun kita harus terus memurnikan kehidupan sehari-hari kita dari pertentangan dengan standar dunia. Pertentangan ini ada dalam tiga bentuk:
1. Kecondongan kepada sekularisme.
Banyak orang yang tidak mengenal Kristus juga hidup baik. Namun banyak orang yang sudah dibaptis dapat hidup dengan kecondongan sekularisme sedemikian, hidup baik tanpa perlu mengenal Tuhan. Kadang kita membantu orang miskin hanya karena orang lain berbuat demikian. Kita dapat berbuat baik kepada keluarga kita dan jujur di tempat kerja. Tak ada bahaya yang langsung dari cara hidup sedemikian, tetapi ini hanyalah tidak lebih dari semangat sekular, karena tak mengacu kepada Tuhan.
2. Pencarian kesenangan.
Kita hidup di zaman yang disebut oleh Rasul Paulus sebagai cara hidup kedagingan. Banyak orang hidup menurut keinginan daging, hawa nafsu, iri hati, dst, seolah mengikuti hukum yang dikendalikan oleh daging. Mereka yang mengikuti cara hidup ini akan dengan serta merta tunduk kepada hukum daging menuju dosa.
3. Akhirnya, pertentangan dalam hal menyerah kepada kekuatan kegelapan. Pembunuhan, perbuatan kekerasan, ketergantungan terhadap obat-obatan, dst terjadi di dunia sekitar kita. Kebencian, balas dendam, kekerasan, kebiasaan menghancurkan diri sendiri- semua ini muncul dari sudut-sudut gelap kedosaan manusia.
Mari meninggalkan kegelapan dan meloncat menuju terang. Di dunia ini dalam kehidupan sehari- hari, kita dapat menemukan diri kita di dalam keadaan kecondongan terhadap sekularisme atau cara hidup menurut daging. Kita dapat menemukan keamanan dalam standar Kristus, hanya jika kita dengan teguh memulai segala sesuatunya dengan ucapan syukur kepada Tuhan dan terus memeriksa apa yang sedang kita lakukan, dan mengapa kita melakukan hal itu.
Demikian, semoga uraian di atas berguna kita semua.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima Kasih Ibu Ingrid Listiati, atas kesediaannya untuk menjawab pertanyaan2 yang kami tanyakan..
Tuhan Yesus Memberkati.. ^^
____________________________________________________________________
fiat mihi secundum verbum tuum..
Shalom.. Katolisitas..
Saya mau tanya mengenai Latihan Rohani yang diajarkan oleh St. Ignatius De Loyola..
Mohon penjelasannya… :)
Vielen Dank…
Berkah Dalem Gusti..
___________________________________________________________
Fiat Voluntas Tua
Ecce Crucem Domini
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab melalui artikel di atas, silakan klik]
Comments are closed.