[Hari Minggu Prapaskah II: Kej 22:1-18; Mzm 116:10-19; Rm 8:31-34; Mrk 9:2-10].
Sebuah pesan masuk ke HP-ku, dari seorang teman. Ia menyertakan kisah hidup seorang bruder sahabatnya di Singapura. Sebelum menjadi bruder, sahabatnya itu bekerja sebagai seorang pengacara yang sukses, tinggal di Penthouse apartment, memiliki mobil BMW plus supir pribadi. Namun semua harta benda itu ditinggalkannya untuk menjadi seorang biarawan Katolik dan melayani orang-orang jompo. Belum lama ini bruder itu terkena kanker lidah, sehingga harus kehilangan separuh lidahnya. Dokter memperkirakan bahwa ia takkan dapat berbicara lagi seumur hidup. Namun mukjizat terjadi. Beberapa bulan kemudian, ia dapat kembali berbicara secara normal seperti ketika lidahnya belum dioperasi. Temanku bertanya, “Bruder sudah meninggalkan kemewahan duniawi untuk membaktikan diri pada Tuhan, tetapi malah terkena kanker lidah. Apakah bruder nggak marah pada Tuhan?” Jawab bruder, “Kalau Tuhan mau saya punya lidah cuma separuh, saya terima. Kebahagiaan saya terletak pada melakukan kehendak Tuhan apapun itu wujudnya. Justru saya bersyukur walaupun lidah saya tinggal separuh, tapi saya bisa bicara dengan lancar…” Aku tertegun membaca pesan itu. Betapa aku perlu belajar beriman seperti bruder itu, yang dengan caranya sendiri, meneladan iman bapa Abraham (lih Kej 22:1-18). Yaitu, mau melaksanakan kehendak Tuhan dan menyerahkan segalanya bagi Tuhan tanpa pamrih. Ia percaya penuh kepada Tuhan, di tengah keadaan apapun yang Tuhan izinkan terjadi dalam kehidupannya, sebab ia tahu bahwa pertolongan Tuhan tidak akan datang terlambat.
Rasul Paulus dalam suratnya yang dibacakan hari ini, juga mengingatkan kita untuk terus menaruh harap pada kuasa pertolongan Tuhan. “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Rm 8:31) Allah yang bahkan tidak menyayangkan Putra-Nya sendiri, tetapi menyerahkan-Nya untuk menyelamatkan kita, tentu Ia akan menganugerahkan segala sesuatu yang kita perlukan untuk menghadapi kehidupan ini, bersama dengan Putra-Nya, Tuhan kita Yesus Kristus (lih. Rm 8:32). Demikianlah salah satu maksud utama peristiwa Transfigurasi, yaitu ketika Allah menyatakan kemuliaan Yesus Putra-Nya di hadapan Rasul Petrus, Yohanes dan Yakobus. Allah menghibur mereka dari kegelisahan hati setelah mereka mendengar nubuat tentang penderitaan dan kematian yang harus dilalui Yesus sebelum kebangkitan-Nya. Namun terang kemuliaan Allah yang mereka lihat di gunung itu tidak bertahan selamanya, dan mereka harus kembali ke kehidupan sehari-hari. Mereka kembali melihat Yesus apa adanya seperti manusia biasa, yang bisa lapar, haus, lelah dan sedih. Dari pengalaman para Rasul, kitapun diajak untuk mencari dan menemukan Kristus yang hadir secara nyata dalam banyak peristiwa di dalam hidup kita. Kristus hadir di tengah Gereja-Nya, mengampuni kita dalam sakramen Pengakuan Dosa, dan terutama dalam sakramen Ekaristi. Kristus juga hadir dan menyapa kita lewat sesama kita yang membutuhkan bantuan, mereka yang lapar dan haus, yang berduka, yang sakit dan miskin. Sebab Tuhan Yesus, yang di Injil hari ini menyatakan kemuliaan-Nya di gunung Tabor, adalah Tuhan Yesus yang sama yang selalu hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. Ia hadir untuk menopang dan menolong kita, namun juga menyapa kita, agar kita mau mengulurkan tangan kepada-Nya yang hadir di dalam diri sesama kita yang memerlukan bantuan.
St. Alfonsus Liguori berkata, “Ketika Tuhan memberimu rahmat untuk merasakan kehadiran-Nya, dan menghendaki agar engkau dapat berbicara kepada-Nya seperti kepada sahabat yang terkasih, katakanlah kepada-Nya perasaanmu dengan bebas dan percaya diri. Sang Kebijaksanaan itu akan bersegera menyatakan diri-Nya kepada orang-orang yang mencari-Nya (lih. Keb 6:14). Ia akan bersegera menghampirimu, ketika engkau mencari kasih-Nya. Ia akan menghadirkan diri-Nya kepadamu, untuk memberimu rahmat dan obat yang engkau perlukan. Ia hanya menunggu satu kata darimu, untuk menunjukkan bahwa Ia ada di sisimu dan mau mendengarkanmu dan menopangmu….” (St. Alfonsus Liguori, How to converse continually and familiarly with God). Bukankah masa Prapaska ini akan menjadi berbeda, jika kita terus merasakan kehadiran Allah dalam setiap kejadian yang kita alami sehari-hari? Semoga Tuhan membantu kita untuk mengarahkan hati kepada-Nya di masa tobat ini, agar kita lebih sering mengucapkan doa-doa sederhana yang dipenuhi rasa cinta dan penyerahan diri kepada-Nya; lebih terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan kasih dan silih atas dosa-dosa kita, dan lebih lagi merindukan persekutuan dengan-Nya.
Biarlah kisah iman bapa Abraham, Rasul Paulus, juga Rasul Petrus, Yohanes, Yakobus, mengingatkan kita untuk terus percaya kepada Tuhan dan kehadiran-Nya dalam kehidupan kita. Biarlah doa sederhana yang menjadi Antifon di awal perayaan Ekaristi hari ini terus menggema di dalam hati kita, “Kepada-Mu, ya Tuhan, hatiku berkata, “Kucari wajah-Mu.” Wajah-Mu kucari, ya Tuhan, janganlah memalingkan wajah-Mu daripadaku” (Mzm 27:8-9).